Anda di halaman 1dari 16

KONSEP DAN IMPLEMENTASI AL-‘ÂMM DAN AL-KHÂSH

DALAM PERISTIWA HUKUM KONTEMPORER

Sofian Al Hakim
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: sofyanalhakim74@gmail.com

Abstract
Al-Quran is a way of life for Muslims, then of the Koran becomes important to study
because it is considered as the practice of most of the renowned and as a source of
Islamic law (mashâdîr al-Ahkâm) in resolving a problem. The device to be able to issue
a law from the source (al-Quran) is called ijtihad. One of the main tasks of a mujtahid
must understand the text (Nash), which is better to understand the meaning of a
lafaz, area, object, and how the appointment lafaz on the meaning and the type and
degree of his dilalah. Experts ushûl fiqh divide this theme into two parts, namely the
appointment (dilâlah) text on a meaning and appointment (dilâlah) directly on the
legal texts of syara‘. Appointment (dilâlah) text on a meaning it includes the study
‘âmm and khâsh. Therefore, this paper will be focused on the concept and
implementation of the 'Amm and khâsh in legal events in the present, so that there is
clarity about the legal position that is not explicitly described in the al-Quran and al-
Sunnah.

Abstrak
Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat Islam, maka dari itu al-Quran menjadi
penting untuk dikaji karena dianggap sebagai amalan yang paling mashur dan sebagai
sumber hukum Islam (mashâdîr al-ahkâm) dalam menyelesaikan sebuah perma-
salahan. Perangkat untuk dapat mengeluarkan sebuah hukum dari sumbernya (al-
Quran) yaitu disebut dengan ijtihad. Salah satu tugas pokok seorang mujtahid harus
memahami teks (nash), baik memahami makna sebuah lafaz, wilayah, obyeknya, dan
bagaimana cara penunjukkan lafaz atas makna serta jenis dan derajat dilâlah-nya. Para
ahli ushûl fiqh membagi tema ini ke dalam dua bagian, yaitu penunjukkan (dilâlah)
teks atas sebuah makna dan penunjukkan (dilâlah) teks atas hukum syara‘ secara
langsung. Penunjukkan (dilâlah) teks atas sebuah makna ini meliputi kajian ‘âmm dan
khâsh. Oleh karena itu, tulisan ini akan memfokuskan pada konsep dan implementasi
‘âmm dan khâsh dalam peristiwa hukum dimasa kini, sehingga ada kejelasan tentang
kedudukan hukum yang tidak secara tegas dijelaskan dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Kata Kunci:
al-‘Âmm, al-Khâsh, Mashâdîr al-Ahkâm, Dilâlah

A. Pendahuluan nusia.1 Sapaan Allah tersebut terwujud dalam


Hukum Islam adalah divine law (Hukum al-Quran dan diejawantahkan dalam Sunnah
Tuhan). Ia bukan hanya semata abstraksi ma-
nusia atas realitas masyarakat untuk terja- 1
Kata sapaan ini digunakan oleh Syamsul
dinya keteraturan bagi manusia itu sendiri, Anwar. Baginya kata ini berarti bahwa pertama,
namun lebih sebagai sapaan (khithab) yang konsep hukum islam memiliki dasar-dasar ke-Ilahian.
ditarik dari kehendak Allah SWT untuk ma- Kedua, hukum merupakan kata kerja karena hokum
dikonsepsikan sebagai sebuah sapaan. Tuhan Menyapa
manusia atas tingkah lakunya dan penyapaan itulah
hukum. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah:
Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Ja-
78 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

Nabi SAW. al-Quran dan al-Sunnah merupa- lafaz, dan dilâlah sebuah lafaz atau lafaz
kan sumber hukum Islam (mashâdîr al-ah- yang tersusun.5
kâm). Perangkat untuk dapat menarik hu- Para ahli ushûl fiqh membagi tema ini
kum dari sumber hukum tersebut disebut menjadi dua yaitu: Pertama, penunjukkan (di-
ijtihad. Melalui ijtihad, kehendak Allah yang lâlah) teks atas sebuah makna, bagian ini
termaktub dalam al-Quran dan penjelasan- meliputi ‘âmm, khâsh, mutlâq, muqayyad,
nya oleh Nabi SAW melalui Sunnahnya diana- mushtarak, dan sebagainya. Kedua, penun-
lisis dengan dalam untuk dapat mengetahui jukkan (dilâlah) teks atas hukum syara‘ se-
aturan tentang suatu masalah hukum ter- cara langsung.6 Dalam tradisi ilmu ushûl fiqh,
tentu. terdapat dua mazhab metode untuk me-
Dengan tegas, Allah SWT mengatakan ngurai tema. Pertama metode Hanafiyah
bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa (fuqâha) dan metode Syafi‘iyah (mutakalli-
Arab dan Nabi SAW pun memahami dan me- mîn).7 Untuk kepentingan makalah ini, pe-
ngamalkan serta memberi penjelasan de- nulis menggunakan sistematika yang dike-
ngan menggunakan bahasa Arab.2 Karena mukakan oleh mazhab fuqâha. Mazhab ini
itu, salah satu alat ijtihad yang paling penting memulai penjelasan tentang ugeran bahasa
adalah ugeran-ugeran kebahasaan atau (al- melalui bayân.8 Bayân untuk menyingkap
qawâ‘id al-lugawiyah).3 Menurut al-Ghazalî,4 makna dan hukum yang dikandung sebuah
kerja pokok mujtahid adalah memahami teks teks dibagi menjadi lima, yaitu:9
(nash). Baik memahami makna sebuah lafaz, 1. Bayân taqrîr yaitu menegaskan pernyata-
wilayah (marmâ), obyeknya (madlûl), dan ba- an sehingga tidak dapat dipahami lain
gaimana cara penunjukkan lafaz atas makna selain satu makna saja. Seperti ayat, di
(dilâlah) serta jenis dan derajat dilâlah. Se- bawah ini ‫ فسجد ادلالئكة كلهم امجعني‬kata malaikat
mentara menurut Wahbah al-Zuhaylî, mema- yang diawali al bermakna umum. Kata itu
hami teks hanya dapat dilakukan dengan me- tidak mungkin di-takhshîsh karena
ngetahui uslûb-uslûb bayân bahasa Arab, me- terdapat tawkîd.
tode memahami dilâlah makna atas sebuah 2. Bayân tafsîr yaitu menjelaskan makna
yang samar atau ambigu dari sebuah la-
faz. Seperi ayat ‫ السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما‬. Ayat
ini masih mujmal karena tidak ditentukan
karta: Raja Grafindo Persada. 2007), hlm. 7. Khudari Bik batas tangan. Tangan sendiri adalah
mendefinisikan hukum sebagai: bagian tubuh mulai dari ujung jari sampai
‫خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو وضعا‬ ketiak. Kemudian dijelaskan oleh Hadits
Syaikh Muhammad al-Khudlarî Bik, Ushûl al-Fiqh
(Beirut: Dâr al-Fikr. 1988), hlm. 18. Sementara ‘Abd al-
bahwa batas memotong tangan pencuri
Rahman al- Mahlâwî mendefinisnikan hukum sebagai: adalah sampai pergelangan tangan.
‫خطاب هللا تعالى المتعلق بفعل المكلف باإلقتضاء أو التخيير أو الوضع‬
‘Abd al-Rahman al- Mahlâwî, Tashîl al-Wushûl ilâ
‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Mushthafâ al-Bâbi al-Halabî wa
5
Awladuh. 1341 H), 246. Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi
2
QS. Yûsuf ayat 2; al-Ra‘d ayat 37; Thâha ayat (Damaskus: Dâr al-Fikr. 1986), hlm. 197.
6
11; al-Zumar ayat 28; Fushilat ayat 3; al-Syu‘arâ’ ayat 7; Ibid. hlm. 198.
7
al-Zukhruf ayat 3; al-Ahqaf ayat 12. Untuk kajian lebih lanjut lihat Abû Zahrah,
3
Muhammad Khudarî Bik mendefinisikan ushul Ushûl al-Fiqh (t.pn.: Dâr al-Fikr. t.th.), hlm. 18-24. ‘Abd
fiqh sebagai ‫القواعد التى يتوسل الى استنباط األحكام‬ al-Wahâb Ibrâhim Abû Sulaymân, al-Fikr al-Ushûli
‫( الشرعية من األدلة‬kaidah-kaidah yang mengantarkan (Jeddah: Dâr al-Syurûq. 1983), hlm. 445-462.
8
pada istinbath hukum-hukum syara dari dalil-dalil). Bayân mememiliki tiga makna yaitu: Pertama,
Kaidah-kaidah itu meliputi, qawâid lugawiyah (kaidah- kerja orang yang menjelaskan, seperti Firman Allah
kaidah kebahasaan), qawâid tasyri‘iyah (kaidah-kaidah ‫ لتبين للناس ما نزل اليهم‬,‫علمه البيان‬. Kedua, dalil yang meng-
tentang penetapan hukum), dan qawâid sirr al-tasyri hasilkan penjelasan. Ketiga, madlul yaitu yang ditunjuk
(kaidah-kaidah tentang esensi syara). Lihat Khudarî Bik, oleh dalil lihat ‘Abd al-Rahman al- Mahlâwî, Tashîl al-
Ushul al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr. 1988), hlm. 12-16. Wushûl ilâ ‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Mushthafâ al-Bâbi al-
4
‘Abdul Hamîd al-Ghazalî, al-Mustashfâ min ‘Ilm Halabî wa Awladuh. 1341 H.), hlm. 115-116.
9
al-Ushûl (Kairo: Mathba‘ah Musthafâ. 1352 H), jilid I, Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 199-
hlm. 44. 202.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 79

3. Bayân tagyîr yaitu merubah tujuan sebuah d) Diam untuk menentukan bilangan, se-
pernyataan karena ada syarat atau penge- perti perkataan ‫علي مائة ودينار‬. Kalimat
cualian. Seperti ayat berikut ini ‫وهلل على الناس‬ tersebut adalah ringkasan dari ‫مائة دينار‬
‫حج البيت من استطاع إليو سبيال‬. Pada dasarnya ‫وواحد دينار‬.
semua diperintahkan naik haji namun di- Dalam konteks bayân tafsîr, hubungan
batasi dengan syarat, hanya bagi orang antara lafaz dan maknanya dibagi menjadi
yang sanggup, atau dalam ayat lain yang empat bagian, yaitu: Pertama, fungsi lafaz
berbunyi: bagi makna. Termasuk dalam katagori ini
yaitu ‘âmm, khâsh, mushtarak dan muawwal.
        Kedua, implementasi lafaz dalam makna.
Termasuk dalam katagori ini yaitu hakikat,
         majâz, syarîh, dan kinâyah. Ketiga, dilâlah
lafaz atas makna berkaitan dengan jelas dan
      samarnya sebuah lafaz. Dalam katagori ini
lafaz yang jelas dibagi menjadi zhâhir, nash,
Suami yang mentalak istrinya sebelum
muawwal dan muhkâm. Lafaz yang samar di-
jima wajib membayar setengah mahar,
bagi menjadi khafi, musykil, mujmal dan mu-
kecuali dimaafkan oleh mantan istrinya.10
tasyâbih. Keempat, mekanisme penunjukkan
4. Bayân tabdîl yaitu mengganti (nasakh)
lafaz atas makna dan bagaimana cara mema-
mengganti hukum dengan ketentuan
haminya. Dalam katagori ini, lafaz dibagi
yang datang lebih akhir. Seperti ayat-ayat
menjadi ibarah, isyarah, dilâlah, dan iqtidâ.
yang membahas tentang khamar yang da-
Makalah ini secara sederhana akan men-
tang bertahap. Mulai dari penjelasan ten-
jelaskan dua konsep dalam fungsi lafaz atas
tang manfaat dan madarat khamar, la-
makna, yaitu ‘âmm dan khâsh.
rangan mendekati shalat bagi orang yang
mabuk, sampai penegasan bahwa khamar
B. Konsep al-‘Âmm dan Maknanya
adalah rijs min ‘amal al-syayâthîn.
Al-‘âmm dapat diterjemahkan sebagai
5. Bayân dlarûrah yaitu penunjukan non
umum.11 Secara bahasa al-‘âmm berarti:
moral (dilâlah gayr lafzhiyah). Dilâlah ini di-
‫مشول أمر دلتعدد سواء كان األمر لفظاأم غريه‬
sebut juga dilâlah sukût (diam). Namun
walaupun diam, ia memiliki konsekwensi Ketercakupan sesuatu karena berbilang
hukum tertentu. Bayân dlarurah memiliki baik sesuatu itu lafaz atau yang
empat varian, yaitu: lainnya.12
a) Mâl huwa fî hukm al-mantûq, seperti
ayat ‫فإن مل يكن لو ولد وورثو أبواه فألمو الثلث‬. Ayat itu Secara istilah, Abû Zahrah mendefinisi-
kan al- ‘âmm sebagai berikut:
secara eksplisit menyebut bagian ibu
‫اللفظ الدال على كثرين ادلستغرق ىف داللتو جلميعما يصلو لو وضع واحد‬
1/3 sementara bapak tidak disebut.
Maka berdasarkan bayân bagian bapak suatu lafaz yang mencakup keseluruhan
adalah 2/3; makna yang dikandungnya melalui satu
b) Diam sebagi penjelasan, seperti Hadits ketetapan bahasa.13
taqrîri dimana Nabi SAW diam dalam
merespon sebuah peristiwa; Dalam definisi ini tidak termasuk ke-
c) Diam untuk menghindari ketidakjelas- umuman kandungan atau makna suatu lafaz.
an, seperti diamnya seorang bapak ke- Definisi ini juga membedakan antara hal yang
tika mengantar anaknya yang belum mutlak dengan hal yang umum. Hal ini ka-
balig pergi ke warung karena meng- rena hal yang umum mencakup seluruh lafaz
anggap apa yang dilakukan anaknya yang tidak terbatas, tanpa ditujukan kepada
sudah benar; dan
11
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 1997), hlm. 91.
12
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 243.
10 13
QS. al-Baqarah ayat 237. Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh. hlm. 156.
80 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

suatu lafaz pun, sedangkan lafaz yang mut- 4. Kata benda tunggal yang diawali dengan
lak ditujukan kepada suatu lafaz, baik makna kata sandang al seperti: ‫ السارق‬، ‫اإلنسان‬
tunggal maupun lafaz jamak. Misalnya, apa- Sigat-sigat lafaz al-’âmm, yaitu:
bila seseorang mengatakan: “puasalah dua 1. Lafaz-lafaz jama‘ seperti lafaz ،‫ جميع‬،‫كل‬
hari”, maka yang dimaksudkannya adalah ‫ كافة‬،‫ عامة‬،‫ معشر‬. Allah ber-Firman yang
puasa dua hari diantara hari-hari yang ada, berbunyi:15
tetapi tidak mencakup seluruh hari (Senin
sampai Minggu). Sedangkan lafaz yang ber-     
sifat umum, apabila disebutkan suatu lafaz
maka itu berarti mencakup seluruh sifat-sifat 
lafaz tersebut. Misalnya lafaz al-muslimûn. Nabi bersabda:
Lafaz ini mencakup seluruh orang yang me-
‫خنن معاشر األنبياء ال نورث‬
ngakui dirinya sebagai orang Islam dan tidak
tertuju hanya pada satu, dua atau sekelom- 2. Jama‘ yang di-ma‘rifat-kan dengan al yang
pok orang saja. Selain itu, lafaz umum itu bermakna istigraq atau yan di-ma‘rifat-kan
tidak berbentuk isytirak (punya pengertian dengan idlâfah.16 Contoh:
ganda/ambigu), seperti lafaz al-‘ain (mata) ‫قد أفلح ادلؤمنون‬
yang punya pengertian penglihatan dan sum- ‫إن اهلل يغفر الذنوب مجيعا‬
ber air, atau lafaz al-asad (singa) yang mem- ‫يوصكم اهلل يف أوالدكم‬
punyai dua pengertian yaitu sejenis binatang ‫خذ من أمواذلم صدقة‬
buas yang dikenal semua orang dan sese-
3. Lafaz mufrâd yang di-ma‘rifat-kan dengan
orang yang berani. Sekalipun dalam waktu
al-istigraqiyah atau di-ma‘rifat-kan dengan
yang bersamaan kedua pengertian ini mele-
idlâfah. Contoh:
kat pada lafaz al-‘ain atau al-asad. Namun
‫السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما‬
demikian, apabila lafaz yang punya penger-
tian ganda ini ditujukan kepada satu penger- ‫وأحل اهلل البيع وحرم الربا‬
tian saja dan mencakup seluruh hal yang di- ‫ىو الطهور ماؤه واحلل ميتتو‬
kandung pengertian tersebut, maka lafaz ini 4. Nakirah dalam konteks negasi (larangan)
termasuk dalam lafaz al-‘âmm. Misalnya, atau syarat. Contoh:
apabila dikatakan: “saya melihat mata” dan ‫ال إكراه يف الدين‬
yang dimaksudkan kalimat ini adalah mata
‫الوصية لوارث‬
air, maka lafaz ini menjadi umum, karena di
dalamnya mencakup seluruh mata air, tanpa ‫وال تصل علي أحد منهم مات أبدا‬
menyebutkan rinciannya. Karena itu muncul ‫إن جائكم فاسق بنباء فتبينوا‬
sebuah kaidah: 5. Asma al-mawshûlah
‫ألعام عمومو مشويل وعموم ادلطلق بديل‬ ‫وما من دابة يف األرض إال على اهلل رزقها‬
Keumumuman (lafaz) ‘âmm bersifat ‫إن الدين يأكلون أموال اليتامى ظلما إمنا يأكلون ىف بطوهنم نارا وسيصلون‬
mencakup sementara keumuman (lafaz) ‫سعريا‬
mutlak bersifat subtitusi.14
6. Asma al-syart
‫فمن شهد منكم الشهر فليصمو‬
Lafaz al-‘âmm terbagi empat jenis yaitu:
1. Lafaz jama‘ seperti: ‫ التجار‬،‫ الرجال‬،‫ادلسلمون‬ ‫أينما تكونوا يدرككم ادلوت‬
2. Lafaz jinis seperti: ،‫ اإلبل‬،‫ النساء‬،‫الناس‬ 7. Asma al-istifham
‫من فعل ىاذا بأذلتنا يا إبراىيم‬
3. Kata ganti (al-fâz mubham) seperti: ،‫ ما‬،‫من‬
‫ مىت‬،‫ أين‬،‫أي‬
15
QS. al-Tawbah ayat 36.
16
Dalam konteks ini dikecualikan lafaz jama‘
munakar. Lafaz ini mencakup banyak afrad tapi tidak
14
‘Abdul Hamîd Hâkim, al-Bayân. hlm. 42. tidak semuanya namun hanya sebagian. Seperti lafaz
Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm ‫ رجال‬dalam ayat ‫ يسبح له فيها بالغدو واألصال رجال‬. lihat
Ushûl (Beirut: Dâr al-Fikr. t.th.), hlm. 114. Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 246-247.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 81

‫مىت نصر اهلل‬ Firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat


89 yang berbunyi:
C. Konsep Khâsh dan Maknanya    
Pengertian khâsh adalah lawan dari pe-
ngertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, 2. Bila ada dalil yang menghendaki (pema-
jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm haman lain) dari lafaz khâsh itu kepada
secara tidak langsung, juga dapat memahami arti lain, maka arti khâsh itu dapat dialih-
pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak se- kan kepada apa yang dikehendaki oleh
mua penulis yang menguraikan tentang lafaz dalil itu. Umpamanya sabda Nabi SAW
khâsh dalam bukunya, memberikan pengerti- sebagai berikut:
an lafaz khâsh itu secara definitif. ‫ىف اربعني شاة شاة‬
Al-Amidi sebelum mengemukakan defi- Untuk setiap empat puluh ekor kambing
nisi, ia mengeritik penulis yang mendefinisi- (zakatnya) satu ekor kambing.
kan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan
lafaz ‘âmm”.17 Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam
Sedangkan definisi khâsh yang diajukan Hadits itu ditakwilkan kepada yang lebih
al-Amidi adalah: umum yang mencangkup kambing dan
‫ىو اللفظ الواحد الذى ال يصلح الشرتاك كثريين فيو‬ nilai harganya. Juga mentakwilkan lafaz
Suatu lafaz yang tidak patut digunakan Hadits: “segantung kurma” dalam kewa-
bersama oleh jumlah yang banyak. jiban zakat fitrah, kepada “harga segan-
tung kurma”.
Definisi yang sedikit berbeda yang diru- 3. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat
muskan al-Khudahari Beik: ‘âmm dan ditemukan pula hukum yang
‫ىو اللفظ ادلوضوع لداللة على معىن واحد على سبيل االنفراد‬ khâsh dalam kasus lain, maka lafaz khâsh
Lafaz yang obyeknya adalah dilâlah yang itu membatasi pemberlakukan hukum
bermakna satu dengan cara satu-per- ‘âmm itu. Maksudnya, lafaz khâsh itu
menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam
satu.18
lafaz ‘âmm itu hanya sebagain afrad-nya
saja, yaitu sebagain yang tidak disebutkan
Menurut definisi terakhir ini, lafaz khâsh
dalam lafaz khâsh. Umpamanya hukum
itu ditentukan untuk menunjukan satu satu- ‘âmm yang di Firmankan Allah SWT dalam
an secara perorangan seperti Ahmad atau surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
satu satuan kelompok seperti laki-laki, atau
beberapa satuan yang jumlahnya tidak ter-      
batas seperti “kaum” atau lafaz lain dalam
Keharusan menjalani iddah selama tiga
bentuk satuan yang tidak terbatas, tetapi ti-
quru’ itu berlaku ‘âmm, mencangkup se-
dak menunjukan seluruh satuannya (yang
mua perempuan yang bercerai dari suami-
masuk dalam pengertian ‘âmm).
nya dalam keadaan apapun. Kemudian
Ketentuan lafaz khâsh dalam garis be-
ada ketentuan iddah yang berlaku secara
sarnya adalah :
khusus bagi perempuan yang hamil dalam
1. Bila lafaz khâsh lahir dalam bentuk nash
Firman Allah SWT , surat al-Thalâq ayat 4
syara‘ (teks hukum), ia menunjukan arti-
yang berbunyi:
nya yang khâsh secara qath‘i al-dilâlah
(petunjuk yang pasti dan meyakinkan)       
yang secara hakiki ditentukan untuk itu.
Ada ketentuan khusus ini menjelaskan
Hukum yang berlaku pada apa yang dituju
bahwa perempuan bercerai yang harus
oleh lafaz itu adalah qath‘i. Misalnya
ber-iddah 3 quru’ sebagimana ditetapkan
dalam surat al-Baqarah ayat 228 itu ada-
17
Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. hlm. lah perempuan-perempuan yang ditalak
147. dalam keadaan tidak sedang hamil, ka-
18
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. 204.
82 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

rena bagi yang sedang hamil sudah diatur nya, sesuai dengan firman Allah SWT dalam
secara tersendiri dengan lafaz khâsh surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
dalam surat al-Thalâq ayat 4.
     
Lafaz khâsh dalam hal ini membatasi atau
mengurangi afrad lafaz ‘âmm. Inilah yang Ayat ini menunjukkan keharusan ber-
dinamakan takhshîsh. iddah 3 quru’ terhadap semua istri yang ber-
4. Bila ditemukan kontradiksi antara dalil cerai dari suaminya, baik cerai mati atau cerai
khâsh dengan dalil ‘âmm terdapat perbe- hidup, sedang dalam masa haid atau sudah
daan pendapat, yaitu: 19 berhenti haidnya, sedang hamil atau tidak.
a) Menurut ulama Hanafiyah, seandainya Penetapan bahwa suatu lafaz khâsh itu
kedua dalil itu bersamaan masanya, bersifat qath‘i membawa pengaruh besar di
maka dalil yang khâsh men-takhshîsh kalangan ulama ushûl fiqh dalam menetap-
kan yang ‘âmm, karena tersedianya kan hukum. Misalnya, Mazhab Hanafi dalam
persyaratan untuk takhshîsh. Bila ke- persoalan lafaz al-quru’. Lafaz ini merupakan
duanya tidak bersamaan waktunya di lafaz musytarak (ambigu) yang mengandung
sini ada dua kemungkinan: (1) bila lafaz makna haid dan suci. Menurut Mazhab Ha-
‘âmm terkemudian datangnya, (2) bila nafi, al-quru’ itu bermakna haid. Oleh sebab
lafaz khâsh yang terkemudian dating- itu, dalam pembahasan idah wanita yang
nya, maka lafaz khâsh itu me-naskh masih normal haidnya yang terdapat dalam
lafaz ‘âmm dalam sebagaian afrad-nya. surah al-Baqarah ayat 228, mereka mema-
b) Menurut jumhur ulama, tidak tergam- haminya bahwa idahnya adalah tiga kali haid.
bar adanya kontradiksi antara dalil- Alasan mereka, bilangan "tiga" dalam ayat
‘âmm dengan dalil khusus karena itu adalah lafaz khâsh yang tidak bisa diku-
keduanya bila datang dalam waktu rangi atau ditambahkan. Atas dasar itu, lafaz
bersamaan maka yang khâsh memberi al-quru’ mesti diartikan sebagai haid, karena
penjelasan terhadap yang ‘âmm, ka- lebih sesuai dengan kepastian arti "tiga kali".
rena yang umum itu adalah dalam ben- Apabila lafaz al-quru’ diartikan dengan suci,
tuk lahir yang tetap berkemungkinan maka lafaz "tiga kali" tidak menunjukkan
untuk menerima penjelasan disamping qath‘i lagi, karena perhitungan tiga kali suci
untuk diamalkan menurut keumuman- akan mengurangi makna tiga kali al-quru’.
nya hingga diketahui adanya dalil Dalam pandangan Mazhab Hanafi, talak
khâsh. Lafaz khâsh itulah yang men- itu harus dijatuhkan pada waktu suci. Apabila
jelaskan lafaz ‘âmm. al-quru’ diartikan dengan suci, maka akan ter-
jadi pengurangan masa iddah wanita yang
D. Dilâlah al-’Âmm dan al-Khâsh ditalak dari tiga kali al-quru’, karena perhi-
Di kalangan ulama ushûl fiqh terdapat tungan suci pertama dimulai sejak masa suci
perbedaan pendapat mengenai lafaz umum dijatuhkan talak. Maksudnya, ketika talak di-
yang ditentukan secara lugawi bahwa di jatuhkan wanita itu dalam keadaan suci dan
dalamnya tercangkup semua makna. Juga sejak saat itu dihitunglah masa al-quru’ satu
tidak terdapat perbedaan antara mereka kali suci. Kemudian ditunggu dua kali suci
bahwa bila datang suatu nash syara‘ dalam lagi. Dengan perhitungan seperti ini, makna
bentuk lafaz umum, maka hal itu menunjuk- “tiga kali” yang ditentukan ayat tidak terpe-
kan berlakunya hukum dalam lafaz nash hu- nuhi, karena masa suci pertama (ketika ja-
kum itu terhadap semua satuan pengertian tuhnya talak) tidak penuh. Misalnya, siklus
(afrad atau makna) yang terdapat di dalam- masa suci seorang wanita adalah 23 hari
nya sebelum ada dalil lain yang membatasi (apabila haidnya selama tujuh hari). Ke-
(men-takhshîsh) sebagaian afrad-nya. mudian suaminya menjatuhkan talak pada
Umpamanya kewajiban ber-iddah 3 qu- hari kesepuluh masa suci tersebut. Dengan
ru’ bagi setiap istri yang bercerai dari suami- demikian, masa suci pertama hanya dijalani
selama 12 hari, sedangkan masa suci kedua
19
Ibid. hlm. 252.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 83

dan ketiga, masing-masing 23 hari. Penghi- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa


tungan seperti ini, menurut Mazhab Hanafi, lafaz umum menunjukkan berlakunya hukum
mengakibatkan kepada tidak pasti (qath‘i)- dalam semua afrad-nya secara meyakinkan
nya lafaz “tiga kali” yang bersifat khâsh ter- (qath‘i), sebagaimana juga lafaz khusus me-
sebut, karena yang terhitung adalah dua se- nunjukkan hukum secara qath‘i pada apa
tengah kali suci, bukan tiga kali suci sebagai- yang ditujunya. Mereka mengemukakan ar-
mana dituntut dalam ayat. Apabila al-quru’ gumen sebagai berikut :
diartikan dengan haid, maka kandungan 1. Lafaz ‘âmm dibentuk dan digunakan se-
lafaz “tiga kali” terpenuhi, karena perhitung- cara hakiki untuk mencangkup semua
an al-quru' pertama di mulai sejak haid per- makna yang terkandung di dalamnya.
Suatu lafaz sewaktu digunakan dalam ke-
tama yang dilalui istri setelah dijatuhkan ta-
mutlakannya menunjukkan bahwa mak-
lak. Maksudnya, pada saat dijatuhkan talak
nanya yang hakiki secara meyakinkan
wanita/istri itu dalam keadaan suci, setelah
(qath‘i) selama tidak ada petunjuk yang
itu ia haid dan haid pertama inilah yang dihi- memalingkannya dari makna tersebut.
tung sebagai al-quru’ pertama. Dengan demi- 2. Sukar diterima banyaknya maksud dari se-
kian, bilangan “tiga kali” al-quru’ yang ditun- bagian afrad lafaz ‘âmm, karena yang de-
tut ayat terpenuhi. mikian hanya mungkin ada jika diiringi
Perbedaan pendapat ulama terletak pa- oleh qarinah yang menunjukannya, baik
da penunjukan lafaz umum yang belum di- dalam bentuk lafaz atau bukan lafaz. Ke-
ikuti oleh dalil takhshîsh terhadap makna adaan yang seperti ini sedikit sekali. Ada-
(afrad) yang tercangkup di dalamnya. Apa- pun jika sesudah itu datang nash yang me-
kah penunjukannya itu secara meyakinkan ngeluarkan sebagaian afrad-nya (hal se-
(qath‘i) atau tidak meyakinkan (zhanni). perti ini cukup banyak), maka tidak me-
Ulama Syafi‘iyah berbeda pendapat bah- nunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
wa penunjukan lafaz umum terhadap setiap lafaz ‘âmm itu adalah sebagian afrad-nya,
afrad-nya secara khusus adalah zhanni ka- bentuk seperti ini adalah nasikh.21
rena adanya kemungkinan untuk di-takh- Perbedaan pendapat antara dua golong-
shîsh, meskipun belum jelas ada dalil yang an ulama ini dalam dilâlah lafaz ‘âmm, berlan-
men-takhshîsh-nya, karena begitu banyaknya jut pada perbedaan pendapat mengenai ke-
terjadi takhshîsh dalam lafaz umum. Secara mungkinan men-takhshîsh (membatasi) lafaz
bahasa, takhshîsh itu dapat terjadi pada ke- ‘âmm itu untuk pertama kali, apakah boleh
banyakan lafaz umum, sehingga lafaz umum men-takhshîsh dengan dalil yang berkekuat-
itu selalu berada dalam kemungkinan untuk an zhanni?
terkena takhshîsh. Suatu lafaz yang dalam 1. Ulama Syafi‘iyah yang mengatakan bah-
keadaan berkemungkinan untuk terkena wa penunjukkan lafaz ‘âmm itu adalah
takhshîsh tersebut, maka tidak mungkin di- zhanni berpendapat boleh saja men-takh-
katakan bahwa lafaz itu bersifat qath‘i. shîsh lafaz ‘âmm itu dengan kahbar ahad
Mereka mengemukakan argumen seba- dan qiyas karena keduanya memang
gai berikut: bersifat zhanni. Dalil zhanni tidak ada ha-
1. Hasil penelitian terhadap nash atau teks langan untuk men-takhshîsh yang zhanni.
hukum syara‘ yang mengandung lafaz 2. Ulama Hanafiyah yang berpendapat bah-
umum menunjukan bahwa tidak ada lafaz wa penunjukan lafaz ‘âmm adalah qath‘i
umum yang tidak mengalami takhshîsh. berpendapat bahwa tidak boleh men-
2. Sebagaian afrad (satuan pengertian) dari takhshîsh lafaz ‘âmm untuk pertama kali
lafaz umum mempunyai maksud yang ba- dengan khabar ahad dan qiyas karena ke-
nyak. Hal yang demikian menimbulkan duanya berkekuatan zhanni namun bila
adanya beberapa kemungkinan mengenai lafaz ‘âmm itu sudah di-takhshîsh terlebih
makna bagi setiap bagian dari lafaz umum dahulu dengan dalil yang kuat, maka
tersebut. Dengan demikian penunjukkan selanjutnya boleh takhshîsh dengan kha-
terhadap hukum menajadi zhanni.20 bar ahad dan qiyas, karena sesudah di

20 21
Ibid. hlm. 249. Ibid. hlm. 251.
84 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

takhshîsh dengan dalil yang kuat itu, lafaz atau dikurangi. Lafaz seperti ini termasuk
umumnya menjadi zhanni. khâsh yang tidak mungkin diartikan lain. Atas
Perbedaan nampak dalam memutuskan dasar itulah dikatakan bahwa dilâlah khâsh
perkara meninggalkan membaca nama Allah bersifat qath‘i. Jika ada dalil yang menunjuk-
ketika menyembelih. kan pengalihan lafaz khâsh dari makna yang
Allah SWT ber-Firman dalam surat al-An‘am sebenarnya (hakiki), maka makna lafaz ter-
ayat 119 yang berbunyi: sebut tidak lagi qath‘i. Misalnya, kalimat
‫وال تأكلوا مما مل يذكر اسم اهلل عليو‬ “hakim membunuh terpidana”. Kalimat ini
Kemudian Hadits Ahad yang memboleh- mengandung kemungkinan makna, yaitu
kan penyembelihan tanpa menyebut nama hakim menetapkan hukuman bagi terpidana
Allah. dengan hukuman mati. Makna seperti inilah
)‫ذبيحة ادلسلم حالل ذكر اسم اهلل عليو ام مل يذكر (رواه أبو داود‬ yang didukung oleh dalil, karena wewenang
Mazhab Syafi‘i memberlakukan takh- hakim hanyalah menetapkan hukuman, bu-
shîsh pada kasus itu, sementara mazhab kan melaksanakan hukuman. Tetapi, ada ju-
Hanafiyah tetap memberlakukan keumuman ga kemungkinan makna lain dari kalimat ter-
ayat. Bagi mazhab Hanafiyah tidak boleh sebut, yaitu hakim memang benar-benar
men-takhshîsh ayat yang qath‘i dengan membunuh terpidana; hanya kemungkinan
hadits yang zhanni. ini amat kecil, karena tidak didukung oleh
Dalam permasalahan khâsh,22 ulama ush- dalil.23
ûl fiqh mengemukakan pula pembahasan
tentang kualitas hukum yang dikandung dilâ- E. Takhshîsh dan Implementasinya
lah khâsh tersebut, apakah dalil khâsh itu Pengertian takhshîsh adalah sebagai
bersifat qath‘i (pasti) atau zhanni/(relatif). berikut:
Persoalan qath‘i dan zhanni ini amat berpe- ‫بيان أن ادلراد بالعام بعض ما ينتظمو‬
ngaruh dalam hukum-hukum furû‘ (cabang, Menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh
praktis). lafaz umum adalah sebagai cakupan-
Menurut ulama ushûl fiqh, lafaz khâsh itu nya.24
mengandung hukum qath‘i dan diyakini ha- ‫قصر العام على بعض مسمياتو‬
nya menunjuk pada makna yang dikandung Membatasi lafaz umum atas sebagian
lafaz yang bersangkutan kecuali ada dalil lain obyeknya.25
yang mengalihkan makna tersebut pada Al-mukhâsyishât adalah dalil yang men-
makna lain. Pengertian qath‘i dalam hal ini jadi dasar pegangan untuk adanya penge-
adalah makna suatu lafaz yang tidak me- luaran tersebut. Berdasarkan keterangan di
ngandung kemungkinan makna lain yang atas, kiranya dapat dipahami bahwa dalil
muncul dari suatu dalil lain; bukan berarti ‘âmm itu tetap berlaku bagi satuan-satuan
bahwa lafaz itu sama sekali tidak mengan- yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan
dung makna lain. Misalnya, Allah SWT ber- tertentu yang ditunjuk oleh mukhâsyishât.
firman dalam surat al-Baqarah ayat 196 yang Kaidah ushûl untuk itu ialah:
artinya: 26
‫العام بعد التخصيص حجة ىف الباقى‬
"...Tetapi jika ia tidak menemukan (bi-
Dalam hal mukhâsyishât nash al-syar‘
natang kurban atau tidak mampu),
maka antara yang di-takhshîsh dengan pen-
maka wajib berpuasa tiga hari dalam
takhshîsh harus sederajat, seperti Al-Quran
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
dengan Al-Quran dengan Al-Sunnah al-Muta-
kamu telah pulang kembali...".
watir. Demikian pula al-Sunnah sahihat de-
ngan Al-Sunnah Sahihat. Pendapat diatas
Lafaz “tiga hari” dan “tujuh hari” dalam
ayat ini menunjuk pada bilangan pasti, tidak 23
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 205.
mengandung kemungkinan untuk ditambah 24
Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. hlm.
172.
22 25
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Al- Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl. hlm. 142.
26
hlm. 903. ‘Abdul Hamîd Hâkim, al-Bayân. hlm. 63.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 85

tampaknya lebih tepat, namun demikian atas mereka iddah yang kamu minta me-
jumhur ulama membolehkan men-takhshîsh nyempurnakannya.”
dengan Al-Quran dengan Al-Sunnah sekali- Dengan demikian keumuman bagi setiap
pun ahad. Ulama Hanafiyah berpendapat wanita yang dicerai harus ber-iddah tiga
hanya Al-Sunnah Al-Mutawatir atau yang kali suci itu tidak berlaku bagi wanita yang
masyhûr saja yang boleh men-takhshîsh Al- dicerai dalam keadaan belum pernah di-
Quran.27 gauli.
Para ulama ushul fiqh bersepakat ten- 2. Men-takhshîsh al-Quran dengan al-Sun-
tang kebolehan men-takhshîsh keumuman al- nah.30 Misalnya firman Allah SWT dalam
Quran dan al-Sunnah dengan al-Quran, al- surat al-Mâidah ayat 38, yang artinya:
Sunnah al-Masyhûrat atau al-Sunnah al- “Pencuri laki-laki dan perempuan itu
Mutawatirat. Seluruh macam dalil tersebut potonglah tangan keduanya”.
adalah qath‘iyat al-tsubût (kedatangannya Surat al-Mâidah ayat 38 diatas berlaku
pasti dari Allah dan rasul-Nya), sehingga an- umum, yang berisikan ketentuan bahwa
tara satu dalil dengan yang lainnya dapat setiap pencuri, baik laki-laki maupun pe-
men-takhshîsh. Berikut ini akan dikemukakan rempuan, harus dipotong tangannya, baik
macam-macam takhshîsh berikut contoh- nilai barang yang dicuri itu kurang dari se-
contohnya:28 perempat dinar ataupun lebih. Akan te-
1. Men-takhshîsh al-kitab dengan al-kitab.29 tapi surat al-Mâidah ayat 38 diatas di-
Misalnya firman Allah SWT, dalam surat takhshîsh oleh sabda Nabi yang berbunyi:
al-Baqarah ayat 228, yang artinya: “Wahai (‫ )رواه اجلماعة‬.‫ال قطع ىف أقل من ربع دينار‬
wanita-wanita yang ditalak hendaklah Tidak ada hukuman potong tangan di
menahan diri (menunggu) sampai tiga kali dalam pencurian yang nilai barang yang
suci”. dicurinya kurang dari seperempat dinar.
Ketentuan bagi wanita yang ditalak itu (HR. al-Jamâ‘ah).
hendaklah ber-iddah tiga kali suci, seba-
gaimana diketahui dalam surat al-Baqarah Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila
ayat 228 diatas. Ketentuan tersebut ber- nilai barang yang dicuri itu kurang dari se-
laku umum, bisa bagi mereka yang hamil perempat dinar maka si pencuri itu tidak
ataupun tidak. Selanjutnya ketentuan ini dijatuhi hukuman potong tangan. Me-
dapat di-takhshîsh kan bagi wanita-wanita mang demikianlah arti yang dikehendaki
hamil yang iddah-nya sampai melahirkan oleh Allah SWT sejak semula, bukan se-
anak sebagaimana ditunjuk oleh firman luruh pengertian pencuri.
Allah SWT, dalam surat al-Thalâq ayat 4 Contoh lain misalnya firman Allah SWT
yang artinya: “Dan perempuan yang hamil dalam surat al-Nisâ ayat 23 yang artinya:
iddah mereka itu ialah sampai melahir- “Dan menghimpunkan dalam perkawinan
kan”. dua perempuan yang bersaudara”.
Demikian pula surat al-Baqarah ayat 228 Surat al-Nisâ ayat 23 diatas menjelaskan
diatas dapat di-takhshîsh oleh firman bahwa berpoligami dengan saudara pe-
Allah SWT. Dalam surat al-Ahzâb ayat 49 rempuan istri adalah terlarang. Ketentuan
perihal iddah wanita yang dicerai sebelum ayat di atas berlaku umum yang kemudi-
dicampuri, yaitu tidak mempunyai iddah: an di-takhshîsh dengan sabda Rasulullah
“Hai orang-orang yang beriman, bila ka- SAW, yang menerangkan bahwa berpoli-
mu menikahi perempuan yang beriman, gami dengan saudara perempuan bapak
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum dan ibu istrinya juga dilarang. Sabda Rasu-
kamu campuri maka sekali-kali tidak wajib lullah SAW sebagai berikut ini:
(‫ )متفق عليو‬.‫ال جيمع بني ادلرأة وعمتها وال بني ادلرأة وخاهتا‬
Tidak boleh dikumpulkan dalam perka-
27
‘Abd al-Wahâb Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (t.pn.: winan antara seorang wanita dengan sau-
Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyyah. 1978), hlm. 188.
28
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 259.
29 30
Al- Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl. hlm. 157. Ibid.
86 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

dara ayahnya dan antara seorang wanita Tidak ada kewajiban zakat pada tanaman
dengan saudara ibunya. (Muttafaq yang banyaknya kurang dari lima wasaq
‘Alayh) (1000 kilogram). (Muttafaq ‘Alayh)
3. Men-takhshîsh al-Sunnah dengan al-
Quran.31 Para ulama ushûl fiqh berbeda pendapat
Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi: dalam men-takhshîsh-kan al-Quran atau al-
(‫ )متفق عليو‬.‫ال يقبل اهلل صالة أحدكم إذا أحدث حىت يتوضأ‬ Sunnah dengan dalil-dalil lain, seperti dengan
Allah tidak menerima shalat seorang dari khabar al-ahad, ijma‘, qiyas, akal indera, adat
kamu bila ia berhadats sampai ia berwdlu. kebiasaan, dan lain sebagainya. Sebagian
mereka membolehkan dan sebagian lainnya
(Muttafaq ‘Alayh)
tidak membolehkan. Berikut ini di kemuka-
kan pendapat-pendapat mereka dan contoh-
Dalam hadits ini Rasulullah SAW, mela-
contohnya:
rang orang yang berhadats yang hendak
1. Contoh Takhshîsh Al-Quran dengan hadits
melakukan shalat sekiranya ia tidak ber-
ahad
wudlu. Hadits ini kemudian di-takhshîsh
Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-
dengan firman Allah SWT dalam surat al- Nisâ ayat 11 yang artinya: “Allah mensya-
Mâidah ayat 6 yang artinya: riatkan bagimu tentang (pembagian pusa-
Jika kamu sakit atau dalam perjalanan ka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian
atau kembali dari tempat buang air (ka- seorang anak lelaki sama dengan baha-
kus) atau menyentuh perempuan, lalu ka- gian dua orang anak perempuan”.
mu tidak memperoleh air, maka bertayya- Sebagian ulama ushûl fiqh berpendapat
mumlah dengan tanah yang baik (bersih). bahwa surat al-Nisâ ayat 11 di atas dapat
Keumuman hadits yang menerangkan di-takhshîsh-kan oleh hadits nabi berikut
tentang adanya keharusan berwudlu bagi ini:
setiap orang yang hendak shalat di-takh- )‫اليرث ادلسلم الكافر وال الكافر ادلسلم (متفق عليو‬
shîsh dengan tayyamum bagi orang yang
Seorang muslim tidak boleh mewarisi dari
tidak mendapatkan air pada waktu hen- seorang kafir, begitu pula sebaliknya se-
dak shalat sebagaimana di firmankan oleh orang kafir tidak boleh mewarisi dari
Allah SWT dalam surat al-Mâ’idah ayat 6 seorang muslim. (Muttafaq ‘Alayh)
tersebut.
4. Men-takhshîsh al-Sunnah dengan al-Sun- Mereka beralasan bahwa para sahabat
nah.32 nabi juga men-takshis-kan keumuman
Misalnya hadits Nabi SAW sebagai berikut ayat al-Quran dengan hadits. surat al-Nisâ
ini: ayat 11 mengandung ketentuan bahwa
(‫ )متفق عليو‬.‫فيما سقت السماء العشر‬ seorang bapak dapat mempusakai kepa-
Pada tanaman yang di sirami oleh air hu- da anak-anaknya. Jadi ketentuan tersebut
jan zakatnya satu persepuluh. (Muttafaq bersifat umum. Akan tetapi keumuman
‘Alayh) ayat itu di-takhshîsh dengan ketentuan
bahwa apabila seorang bapak di atas kafir
Hadits di atas mengandung ketentuan maka ia tidak dapat mempusakai kepada
bahwa setiap tanaman yang di sirami oleh anak-anaknya, demikian juga sebaliknya.
air hujan yang zakatnya satu persepuluh Selain itu mereka juga beralasan bahwa
itu adalah umum tidak di batasi dengan perintah Allah untuk mengikuti Nabi
jumlah hasil panennnya. Keumuman ha- adalah tidak terbatas. Karena itu apabila
dits itu kemudian di takhshîsh oleh hadits Nabi mengeluarkan suatu perintah umat
yang lain sebagai berikut ini: Islam wajib menaatinya. Seandainya pe-
(‫ )متفق عليو‬.‫ليس فيما دون مخسة أوسق صدقة‬ rintah dan Rasulullah SAW itu, menurut
lahirnya, berlawanan dengan keumuman
al-Quran hendaklah di usahakan untuk
mengkompromikanya adalah men-takh-
31
Ibid. hlm. 158. shîsh-kan keumumanya.
32
Ibid.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 87

Tampaknya ulama di atas juga konsisten pun bagi budak. Keumuman ayat ini di-
dengan pendapatnya yang mengatakan takhshîsh oleh firman Allah dalam surat al-
bahwa dalalat lafaz al-‘âmm kepada seba- Nisâ (4) ayat 25:
gian satuanya itu adalah zhanni. Oleh Maka bila mereka telah menjaga diri de-
karena itu, tidak ada halangan men-takh- ngan kawin kemudian mereka mejalankan
shîsh keumuman Al-Quran (yang hanya perbuatan keji, maka atas mereka sepa-
menunjukan sebagian satuanya.) dengan ruh dari hukuman atas wanita-wanita
hadits ahad yang ber-berdalalat zhanniy merdeka yang bersuami …
itu. Sebagian ulama ushûl al-fiqh lainnya
tidak sependapat dengan sebagian ulama Ayat di atas menerangkan, secara khusus,
ushûl al-fiqhdi atas, diantaranya Ulama bahwa hukuman dera bagi pezina hamba
Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa sahaya perempuan adalah separuh dari
hadits ahad tidak boleh men-takhshîsh Al- dera yang berlaku bagi orang merdeka
Quran. Sebab keumuman al-Quran itu yang berzina. Kemudian hukuman dera
adalah qath‘i, sedangkan hadits ahad itu bagi hamba sahaya laki-laki di-qiyas-kan
hanya zhanni saja, sehingga nash yang dengan hukuman dera bagi hamba sa-
ber-dalalah zhanni tidak dapat untuk men- haya perempuan yang berzina, yaitu lima
takhshîsh nash yang ber-dalalah qath‘i. puluh kali dera.
2. Contoh takhshîsh al-Quran dengan Ijma‘.33
4. Contoh takhshîsh al-Sunnah dengan pen-
Sebagian besar para ulama bersepakat
dapat sahabat.35
bahwa takhshîsh dengan ijma‘ adalah bo-
Jumhur ulama berpendapat, bahwa pen-
leh. Yang dimaksud dengan ijma‘ adalah
kesepakatan ulama bahwa yang dike- dapat sahabat tidak diterima. Sedangkan
hendaki dengan keumuman lafaz al- ‘âmm menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dapat
adalah sebagian satuanya. Sebagai con- diterima apabila sahabat itu yang meriwa-
toh firman Allah dalam surat al-Jum‘ah yatkan hadits yang di- takhshîsh-kannya.
ayat 8: Misalnya:
... Apabila diserukan untuk shalat pada .‫ متفق عليو‬.‫من بدل دينو فاقتلوه‬
hari jum’at maka bersegeralah kepada Barangsiapa menggantikan agamanya
dzikir kepada Allah SWT dan tinggalkan- (dari agama Islam kepada agama lain, yak-
lah berjual beli ... ni murtad), maka bunuhlah dia. (Muttafaq
‘Alayh)
Menurut ayat di atas semua manusia yang Hadits di atas menjelaskan bahwa orang
beriman wajib menunaikan shalat jum’at. murtad, baik laki-laki maupun perempuan,
Akan tetapi sebagian besar ulama berse- hukumnya dibunuh, sebab lafaz al-‘âmm
pakat bahwa kaum wanita dan budak- meliputi orang laki-laki dan perempuan.
budak tidak diwajibkan shalat Jumat.
Akan tetapi dalam pada itu Ibn Abbas
3. Contoh takhshîsh al-Quran dengan al-
sebagai perawi hadits berpendapat bah-
Qiyas.34
wa orang perempuan yang murtad tidak
Kebanyakan ulama membolehkan takh-
shîsh al-Quran dengan al-qiyas. Sebagai dibunuh tetapi hanya dipenjarakan saja.
contoh misalnya firman Allah SWT dalam Pendapat di atas ditolak oleh jumhur
surat al-Nûr ayat 2: ulama yang mengatakan bahwa perem-
Perempuan yang berzina dan laki-laki puan yang murtad juga harus dibunuh
yang berzina deralah tiap-tiap seorang sesuai dengan ketentuan umum hadits
dari keduanya seratus kali dera … tersebut. Oleh sebab itu pendapat saha-
bat yang men-takhshîsh keumuman hadits
Ayat di atas adalah umum. Ia berisikan di atas tidak dibenarkan karena yang
ketentuan hukuman dera sebanyak se- menjadi pegangan kita, demikian kata
ratus kali, baik bagi orang merdeka mau- jumhur ulama, adalah lafaz-lafaz umum
yang datang dari Nabi SAW sendiri. Di-
33
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 257.
34 35
Al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl. hlm. 159. Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 258.
88 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

samping itu dimungkinkan bahwa saha- akal yang menjelaskan bahwa sekalipun
bat tersebut beramal berdasarkan duga- Allah pencipta segala sesuatu namun ia
an sendiri dan dugaan ini tidak menjadi bukan pencipta diri-Nya sendiri.
pegangan bagi yang lainnya. Sehubungan Contoh lain, firman Allah dalam surat ali-
dengan pendapat di atas, al-Syawkani ‘Imrân ayat 97:
berpendapat bahwa men-takhshîsh al- Mengerjakan haji adalah kewajiban ma-
sunnah dengan pendapat sahabat adalah nusia terhadap Allah.
tidak boleh. Kecuali jika pendapat sahabat
itu disepakati oleh sahabat-sahabat lain- Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa ke-
nya, dan inilah yang dinamakan ijma‘ al- wajiban ibadah haji bagi orang yang
shahabat. Dengan demikian dapat dipa- mampu melaksanakannya adalah bersifat
hami bahwa al-Syawkani membolehkan umum, baik bagi orang yang sudah de-
takhshîsh al-Sunnah dengan ijma‘ al-sha- wasa maupun bagi orang yang belum de-
habat, sebagaimana kita lihat pada uraian wasa, baik orang yang pikirannya sehat
takhshîsh al-Quran dengan al-Ijma‘.36 maupun orang yang tidak sehat pikiran-
5. Contoh takhshîsh al-Quran dengan nya. Kemudian keumuman ayat di atas di-
indera.37 takhshîsh oleh logika (akal) bahwa anak
Kebanyakan ulama ushûl fiqh berpenda- yang belum dewasa dan orang gila tidak
pat bahwa men-takhshîsh al-Quran de- diwajibkan melakukan ibadah haji karena
ngan indera adalah boleh. Sebagai contoh mereka tidak memahami khitbah ter-
apabila ada dalil syara‘ secara umum, sebut.
kemudian menurut indera kita bahwa Men-takhshîsh al-Quran dengan akal (lo-
yang dimaksud dengan umum itu adalah gika) ini bukanlah berarti men-tarjih (me-
sebagian satuannya, maka indera terse- lebihkan) dalil akal dari dalil al-Quran,
but sebagai mukhâshsish-nya. Misalnya fir- akan tetapi mengkompromikan keduanya
man Allah dalam surat al-Naml ayat 23: karena tidak adanya kemungkinan di
Sesungguhnya aku menjumpai seorang amalkan dalil al-Quran itu secara umum.
wanita yang memelihara mereka, dan dia 7. Men-takhshîsh Nash dengan Adat Ke-
di anugerahi segala sesuatu serta mem- biasaan.39
punyai singgasana yang besar. Para ulama berbeda pendapat dalam me-
netapkan takhshîsh dengan adat kebiasa-
Menurut indera kita bahwa wanita dalam an. Menurut ulama Hanafiyyah boleh, se-
ayat di atas tidak di beri segala sesuatu dangkan menurut jumhur ulama tidak
yang menjadi milik Nabi Sulaiman a.s., se- boleh.
kalipun di dalam ayat itu di nyatakan de- Ulama Hanafiyyah beralasan bahwa adat
ngan kalimat (arab) (dari segala sesuatu). kebiasaan dapat men-takhshîsh al-nash,
6. Contoh takhshîsh al-Quran dengan akal.38 sebab Nabi SAW dalam menyampaikan
Jumhur ulama membolehkan takhshîsh al-
khitbah-nya itu sudah barang tentu de-
Quran dengan akal. Misalnya firman Allah
SWT dalam surat al-Ra‘d ayat 16: ngan bahasa (lughat) yang dapat di pa-
Katakanlah: Allah adalah pencipta segala hami oleh mereka sesuai dengan kebiasa-
sesuatu. an yang berlaku. Kalau tidak demikian
niscaya adat itu tidak mempunyai penga-
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah ruh hukum dan tidak dapat men-takhsish-
SWT adalah pencipta segala sesuatu yang nya.
ada di langit dan di bumi ini. Kemudian
Misalnya sabda Rasululloh SAW yang ber-
keumuman ayat di atas di-takhshîsh oleh
bunyi:
36
(‫ )رواه مسلم‬.‫أميا إىاب دبغ فقد طهر‬
Al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl. hlm. 160.
37
Ibid. hlm. 157.
38 39
Ibid. hlm. 155. Ibid. hlm. 161.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 89

Kulit apa saja yang disamak adalah suci. Jika kami berwudu dengan air yang
(H.R. Muslîm) sedang kami bawa ini maka kami khawatir
Kulit yang disamak di atas tidak menca- akan kehausan, apakah kami boleh
kup kulit anjing karena mereka pada berwudlu dengan air laut? “Rasulullah
umumnya tidak pernah menyamak dan menjawab:
menggunakannya. .‫ىو الطهور ماؤه احلل ميتتو‬
Sehubungan dengan penolakan jumhur “Laut itu suci airnya dan halal bangkai-
ulama dalam men-takhshîsh al-nash de- nya.” (H.R. Ash-hab al-Sunan).
ngan adat kebiasaan, Muhammad ‘Abduh
berpendapat bahwa setelah abad ketiga, Jawaban Rasulullah SAW ini adalah ber-
para mufassir dalam menafsirkan al-Quran sifat umum bahwa air laut itu tidak dapat
banyak menggunakan istilah yang mereka di pergunakan untuk bersuci, baik ketika
temukan dalam kehidupan adat kebiasa- darurat maupun dalam keadaan biasa.
an masyarakatnya. Sebagai contoh, lafaz Oleh karena itu wajib diamalkan secara
(wali) yang maknanya dalam al-Quran umum, tidak perlu di perhatikan bahwa
adalah penolong kemudian oleh mereka jawaban itu hanya khusus bagi penanya
di tafsirkan dengan sekelompok orang yang sedang berada di dalam keadaan
yang di beri karamat atau kesaktian oleh darurat karena takut kehabisan air untuk
Allah SWT. Dan dapat meramalkan se- minum.
suatu yang belum terjadi. Penafsiran yang
demikian itu, menurut ‘Abduh, tidak di F. Implementasi al-’Âmm dan al-Khâsh da-
kenal oleh para sahabat Nabi SAW. lam Masalah Kontemporer
8. Lafaz al-‘âmm dengan sebab yang khu- Contoh aplikasi pertama:
sus.40 Fatwa MUI Nomor 2/2010 tentang air
Kebanyakan ulama ushûl fiqh berpenda- daur ulang.41 Fatwa itu muncul karena empat
pertimbangan yaitu: (a) bahwa perkembang-
pat bahwa nash syara‘ yang memiliki shi-
an teknologi memungkinkan daur ulang air
gat al-‘âmm hendaklah diamalkan menu- yang semula berasal dari limbah yang ber-
rut apa yang di tunjuk oleh shigat terse- campur dengan kotoran, benda najis, dan
but tanpa memperhatikan sebab yang komponen lain yang merubah kemutlakan
khusus yang didatangkan nash, baik se- air; (b) bahwa penggunaan air daur ulang
bab itu berupa suatu pertanyaan atau dalam masyarakat meningkat seiring dengan
suatu peristiwa. Mereka mendasarkan peningkatan pesat kebutuhan air dan penu-
runan kualitas sumber air akibat dari pening-
pandangannya pada kaidah:
katan jumlah penduduk, laju urbanisasi dan
.‫العربة بعمو اللفظ ال خبصوص السبب‬ perkembangan industri; (c) bahwa selama
“Yang di perhatikan untuk meng-istin- ini belum ada standar baku kehalalan da-
bath-kan hukum adalah pengertian yang lam pemanfaatan air daur ulang sehingga
umum dari suatu lafaz, bukan sebab yang muncul pertanyaan seputar hukum peman-
faatannya; (d) bahwa oleh karena itu di-
khusus.”
pandang perlu menetapkan fatwa ten-
Sebagai contoh, pada suatu ketika para tang pemanfaatan air daur ulang guna dijadi-
sahabat bertanya kepada Rosulullah kan pedoman.
SAW: “Hai Rasulullah, kami semua sedang Fatwa tersebut memutuskan tentang
naik perahu dan membawa sedikit air. ketentuan umum dan ketentuan hukum.

41
CD Kumpulan Fatwa MUI dalam Format PDF
40
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh. hlm. 273. pada folder Kumpulan Fatwa Terbaru 2010.
90 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

Ketentuan umum yaitu bahwa pertama Dalam konsideran fatwa tersebut digu-
yang dimaksud dengan air daur ulang ada- nakan dua hadits yang kontradiktif yang
lah air hasil olahan (rekayasa teknologi) kemudian diselesaikan dengan thariqah
dari air yang telah digunakan (musta‘mal), al-jam‘u (metode kompromi). Metode
terkena najis (mutanajjis) atau yang telah kompromi yang digunakan adalah meto-
berubah salah satu sifatnya, yakni rasa, de takhshîsh al-’âmm antara hadits yang
warna, dan bau (mutagayyir) sehingga dapat ‘âmm dengan hadits yang khusus.
dimanfaatkan kembali. Kedua, air dua kullah ‫عن أبى أمامة رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه‬
adalah air yang volumenya mencapai pa- ‫ إن الماء طهور ال ينجسه شيئ إال ما غلب‬:‫وسلم قال‬
ling kurang 270 liter. Sementara ketentuan )‫على رحيه وطعمه ولونه (رواه إبى ماجه‬
hukum adalah sebagai berikut:
1. Air daur ulang adalah suci mensuci- ‫عن عمر رضي هللا عنه قال سئل النبي صلى هللا عليه‬
kan (thahirmuthahhir), sepanjang di- :‫وسلم عن الماء وما ينوبه من الدواب والسباع فقال‬
proses sesuai dengan ketentuan fikih; )‫إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث (رواه الحاكم‬
2. Ketentuan fikih sebagaimana dimaksud
Al pada kata (‫ )الماء‬dari hadits Umamah
dalam ketentuan hukum nomor 1 ada-
bersifat umum karena mencakup semua
lah dengan salah satu dari tiga cara
air yang ada di dunia ( ‫)ال اإلستغراقية‬. Ke-
berikut:
mudian di-takhshîsh mafhum hadits
a) Thariqat al-Nazh: yaitu dengan cara
Umar yang membatasi keumuman air
menguras air yang terkena najis
tersebut dengan ketentuan dua kullah.
atau yang telah berubah sifatnya
tersebut, sehingga yang tersisa ting-
Contoh Kedua
gal air yang aman dari najis dan yang
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional-MUI No:
tidak berubah satu sifatnya.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Sa-
b) Thariqah al-Mukatsarah: yaitu de-
lam.42 Fatwa ini lahir karena pertama, bahwa
ngan cara menambah air suci lagi
jual beli barang dengan cara pemesanan
mensucikan (thahir muthahir)pada
dan pembayaran harga lebih dahulu dengan
air yang terkena najis (mutanajjis)
syarat-syarat tertentu, disebut dengan
atau yang berubah (mutaghayyir)
salam, kini telah melibatkan pihak per-
tersebut hingga mencapai volume
bankan. Kedua, bahwa agar cara tersebut
paling kurang dua kullah; serta un-
dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
sur sifat yang menyebabkan air itu
memandang perlu menetapkan fatwa ten-
berubah menjadi hilang.
tang salam untuk dijadikan pedoman oleh
c) Thariqah Taghyir: yaitu dengan cara
lembaga keuangan syari'ah.
mengubah air yang najis atau yang
Fatwa itu memutuskan bahwa:
telah berubah sifatnya tersebut
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan
menggunakan alat bantu yang
bentuknya, baik berupauang, barang,
dapat mengembalikan sifat-sifat asli
atau manfaat;
air itu menjadi suci lagi mensucikan
2. Pembayaran harus dilakukan pada saat
(thahir muthahhir), dengan syarat:
kontrak disepakati; dan
1) Volume airnya lebih dari dua
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk
kullah.
pembebasan hutang.
2) Alat bantu yang digunakan harus
Ketentuan tentang Barang:
suci.
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui
3. Air daur boleh dipergunakan untuk
sebagai hutang;
berwudlu, mandi, mensucikan najis dan
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
istinja', serta halal diminum, digunakan
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
untuk memasak dan untuk kepenting-
an lainnya, selama tidak membahayakan
kesehatan. 42
Ichwan Syam, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (Jakarta: Intermasa. 2003), hlm. 30-35.
Sofian Al Hakim, Konsep dan Implementasi al- al-’Âmm dan al-Khâsh dalam ...| 91

4. Waktu dan tempat penyerahan barang ‫العام‬ ‫الخاص‬


harus ditetapkan berdasarkan kesepa- ‫الرجال‬ ahmad
katan; mencakup Satuan yang
5. Pembeli tidak boleh menjual barang se- semua ‫رجل‬ bersifat
belum menerimanya; dan esensial
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepa-
katan.
Pada konsideran fatwa ini dikutip hadits Jika ditelaah lebih dalam, masih terda-
yang membolehkan jual-beli salam. pat pemasalahan yang diperdebatkan oleh
‫ يف شيئ‬43 ‫ من اسلف‬:‫عن ابن عباس أن النيب صلى اهلل عليو وسلم قال‬ para ulama tentang ugeran-ugeran ’âmm
dan khâsh. Karena itu, kajian lebih mendalam
)‫ففي كيل معلوم ووزن معلوم إىل أجل معلوم (رواه البخارى‬
tentang qawâ‘id al-lugawiyah selayaknya se-
Sesungguhnya hadits ini merupakan nantiasa didalami agar ketentuan syara‘ da-
hadits khâsh. Karena terdapat hadits lain pat senantiasa menjawab masalah-masalah
yang bersifat umum yang melarang jual beli hukum dalam sinaran teks yang otoritatif.
yang belum ada barangnya.
‫ ال تبع ما ليس‬:‫عن حكيم بن حزام أن النيب صلى اهلل عليو وسلم قال‬
)‫عندك (رواه اخلمسة‬ Daftar Pustaka
‫ أن النيب صلى اهلل عليو وسلم‬:‫عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جده قال‬
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Sya-
‫ ال حيل سلف وبيع وال شرطان ىف بيع وال ربح ال يضمن وال بيع ما‬:‫قال‬
riah: Studi tentang Teori Akad dalam
)‫ليس عندك ( رواه اخلمسة وصححو الرتمذي وابن خزمية واحلاكم‬ Fikih Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo
Baik Hadits Hakim bin Hizam dan Amr Perkasa. 2007.
bin Syuaib menggunakan bentuk larangan Badran, Ibn. 1996. al-Madkhal Ilâ Mazhab al-
dalam konteks nakirah. Terdapat kontradiksi Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dâr al-
antara hadits Hakim bin Hizam dan Amr bin Kutub al-‘Ilmiyyah.
Syu‘aib yang melarang jual beli yang belum Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abdul al-. 1378 H. al-
ada barangnya dengan hadits Ibn Hizam Mu‘jam al-Mufahras li al-fâzh al-Qur’ân al-
membolehkan jual beli yang belum ada ba- Karîm. Kairo: Mathâbi‘ al-Sha’b.
rangnya dengan sejumlah syarat. Mazhab CD Kumpulan Fatwa MUI dalam Format PDF
hanafiyyah menyelesaikan kasus ini dengan pada folder Kumpulan Fatwa Terbaru
metode istihsan. Dia menggeser (‫ )عدول‬ke- 2010.
tentuan universal ( ‫ ) كلي‬kepada ketentuan Dahlan, Abdul Azis. 1997. Ensiklopedi Hukum
partikular ( ‫) جزعي‬. Namun, nampaknya DSN Islam: Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
menggunakan metode kompromi untuk Ghazalî, ‘Abdul Hamîd al-. 1352 H. al-Mustash-
menyelesaikan kontradiksi ini. Metode kom- fâ min ‘Ilm al-Ushûl. Kairo: Mathba‘ah
promi yang digunakan adalah metode takh- Musthafâ.
shîsh al-’âmm. Hadits yang ‘âmm ditarik pada Hâkim, ‘Abdul Hamîd. t.th. al-Bayân: Padang
ketentuan hadits khâsh sehingga hadits ke- Panjang: Sa’adiyah Putra.
bolehan jual beli salam yang implementatif. Ichwan Syam, dkk. 2003. Himpunan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional. Jakarta: Inter-
G. Penutup masa.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang menga- Khalaf, ‘Abd al-Wahâb. 1978. ‘Ilm Ushûl al-
tur ketentuan ‘âmm dan khâsh merupakan Fiqh. t.pn.: Maktabah al-Da’wah al-Islâ-
salah satu bagian yang penting dalam me- miyyah.
mahami teks. Perbedaan antara ‘âmm dan Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. 1988.
khâsh dapat digambarkan sebagai berikut: Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr.
Mahlâwî, ‘Abd al-Rahman al-. 1341 H. Tashîl al-
43
Kata salaf disini semakna dengan salam yaitu Wushûl ilâ ‘Ilm al-Ushûl. Kairo: Mush-
jual beli dengan membayar uang dimuka dan penye-
thafâ al-Bâbi al-Halabî wa Awladuh.
rahan barang kemudian.
92 | Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015

Sulaymân, ‘Abd al-Wahâb Ibrâhim Abû. 1983. Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986.
al-Fikr al-Ushûli. Jeddah: Dâr al-Syurûq. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Syâfi‘î, Muhammad bin Idrîs al-. 1940 H al- Islami. Bandung: Al-ma’arif.
Risâlah. Kairo: Mushtafâ al-Bâbi al-Halabî Zahrah, Abû. t.th. Ushûl al-Fiqh. t.pn.: Dâr al-
wa Awladuh. Fikr.
Syawkânî. t.t. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq Zuhaylî, Wahbah al-. 1986. Ushûl al-Fiqh al-
min ‘Ilm Ushûl. Beirut: Dâr al-Fikr. Islâmi. Damaskus: Dâr al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai