Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa

2
plasma lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl.

Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana

kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada

7
penderita.

Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala

hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan

orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula

darah yang ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar

2
gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia.

Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan

bantuan Whipple’s Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan

hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi

2,8
setelah perbaikan kadar gula darah.

Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat

menurut gejala klinis yang dialami oleh pasien (Tabel 1)


6

8
Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan

aktivitas sehari – hari yang nyata

Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan

aktivitas sehari – hari yang nyata

Berat Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri

karena adanya gangguan kognitif

1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan

terapi parenteral

2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler

atau intravena)

3. Disertai kejang atau koma

American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia

mengklasifikasikan kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai

berikut:

Tabel 2.2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Association

9
Workgroup on Hypoglycemia tahun 2005

Severe hypoglycemia Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan

bantuan dari orang lain

Documented Asymptomatic hypoglycemia Probable

symptomatic symptomatic

hypoglycemia hypoglycemia
7

Kadar gula darah plasma ≤ 70 Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa

mg/dl disertai disertai gejala klinis hipoglikemia

gejala klinis hipoglikemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai

pengukuran kadar gula darah plasma

Relative hypoglycemia Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran

kadar gula darah plasma ≥ 70 mg/dl dan terjadi

penurunan kadar gula darah


8

2.2. Gejala dan Tanda Hipoglikemia

Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi

sistem saraf otonom dan neuroglikopenia.

Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami

hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga

pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula

darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat

memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk


10
mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya.

11
Tabel 2.3. Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia

Kadar Gula Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik

Darah

79,2 mg/dL gemetar, goyah, gelisah irritabilita, kebingungan

70,2 mg/dL gugup, berdebar – debar sulit berpikir, sulit

berbicara

59,4 mg/dL berkeringat ataxia, paresthesia

50,4 mg/dL mulut kering, rasa kelaparan sakit kepala, stupor,

39,6 mg/dL pucat, midriasis kejang, koma, kematian


9

Keterangan Gambar:

Rangkaian respon yang terjadi pada

penurunan glukosa plasma. Garis

utuh menunjukkan rata – rata,

sedangkan garis putus – putus

menunjukkan batas atas dan batas

bawah dari kadar gula darah puasa.

Batas – batas penurunan sekresi

insulin, peningkatan sekresi

glukagon, gejala, dan gangguan

kognitif ditentukan pada orang

sehat.

Batas kadar gula darah untuk

kejang, koma, dan kematian neuron

ditentukan

12
Gambar 2.1. Kadar gula darah dan manifestasi hipoglikemia

2.3. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah

Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang

bertujuan meningkatkan kadar gula darah (Tabel 3)

4
Tabel 2.4. Respon fisiologis terhadap penurunan kadar gula darah plasma
10

Respon Batas Kadar Efek fisiologis

Gula Darah

(mg/dl)

Penurunan sekresi 80 – 85 Mempercepat peningkatan glukosa

insulin (Menghambat penurunan glukosa)

Peningkatan sekresi 65 – 70 Mempercepat peningkatan glukosa

glukagon

Peningkatan sekresi
65 – 70 Mempercepat peningkatan glukosa,

epinephrine Menghambat penurunan glukosa

Peningkatan sekresi 65 – 70 Mempercepat peningkatan glukosa,

cortisol dan growth Menghambat penurunan glukosa


Simptom 50 – 55 Sebagai tanda bagi pasien untuk
hormone
Keterangan tabel: Peningkatan glukosa adalah produksi glukosa yang

dilakukan oleh hati dan ginjal (glukoneogenesis). Penurunan glukosa adalah

penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin.


11

Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah

penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe

1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan sekresi

insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah)

karena insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin penggantui yang

berasal dari luar (eksogen).

Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah

peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi

glukosa di hepar dengan memacu glikogenolisis.

Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah

peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila

sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi

epinefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah dengan cara

stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi

penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, perpindahan

substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot, dan gliserol dari

jaringan lemak).

Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula

darah dalam pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin

(aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf

pusat.

Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia,

kadar glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang


12

lebih hebat yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita

hipoglikemia menyadari keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar penderita

segera mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh mekanisme pertahanan ini

berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan pada advanced diabetes

4
mellitus tipe 2.

2.1.4 Identifikasi Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia

2.5.1. Usia

Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih

berat dan terjadi pada kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua

13
dibanding dengan usia yang lebih muda.

Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s

Princle of Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa

hipoglikemia pada penderita diabetes usia lanjut lebih sulit diidentifikas

karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi pada kadar gula

darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes

pada usia yang lebih muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera

neurologisnya sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut.

Simptom autonom hipoglikemia sering tertutupi oleh penggunaan beta-

blocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia lanjut


1
yang sehat dan memiliki fungsi yang baik.

2.5.2. Kelebihan (ekses) insulin

2.5.2.1 Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu

tinggi.

2.5.2.2 Konsumsi glukosa yang berkurang.


13

2.5.2.3 Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah

konsumsi alkohol.
14

2.5.2.4 Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah

berolahraga.

2.5.2.5 Peningkatan sensitivitas terhadap insulin.

2.5.2.6 Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal.

2.5.3. Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang

terganggu Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses)

insulin dan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian

ekses insulin saja belum tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia.

Faktor risiko yang relevan dengan terganggunya mekanisme

kontra regulasi glukosa pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan

2
diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain :

2.5.3.1 Defisiensi insulin pankreas

Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin

eksogen, sehingga apabila gula darah turun di bawah batas

normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin.

2.5.3.2 Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia

(hypoglycemia unawareness), atau keduanya.

2.5.3.3 Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai

dengan kadar HbA1c yang rendah, target kadar gula darah

yang rendah, atau keduanya


15

2.2 HIPERTENSI

2.2.1 Definisi

Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan

diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap

mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90 mmHg

(Elizabeth dalam Ardiansyah M., 2012).

Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016), Hipertensi adalah

sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan

diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi menderita

penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal,

dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya.

Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes (2018),

hipertensi merupakan silent killer dimana gejalanya sangat bermacam-macam

pada setiap individu dan hampir sama dengan penyakit lain. Gejala-gejala tersebut

adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk. Vertigo, jantung berdebar-debar,

mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging atau tinnitus dan mimisan.

2.2.2 Klasifikasi dan Etiologi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,

hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran.

Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan

tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya

ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan
16

pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik

merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan

tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan

tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan

pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh

darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan

terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.

Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam

keadaan relaksasi di antara dua denyutan.

Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan

diastolik.

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus.

Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas

susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na,

peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko,

seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.

Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,

feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,

dan lain-lain.
17

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok

normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II (Tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII29

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat II ≥ 160 ≥ 10

2.2.3 Patofisiologi

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah

secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk

mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek

kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.

Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang

mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.

1. Perubahan anatomi dan fisiologi

Pembuluh darah Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah

yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis

merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah

dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium

dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini

disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil
18

lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan

suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.

Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah

vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi

endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.

2. Sistem renin-angiotensin

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama.

a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh

(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang

pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan

diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang

pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

3. Sistem saraf simpatis


19

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar

dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke

bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron

preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

2.2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:

1. Usia

Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada

laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita

meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.15

2. Ras/etnik

Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul

pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika

Hispanik.

3. Jenis Kelamin

Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada

wanita.

4. Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat


20

Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain

minum minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016), tanda

dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :

1. Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan

dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh

dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah

terdiagnosa jika tekanan darah tidak teratur.

2. Gejala yang lazim Seing dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai

hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini

merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari

pertolongan medis. Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :

a) Mengeluh sakit kepala, pusing

b) Lemas, kelelahan

c) Sesak nafas

d) Gelisah

e) Mual

f) Muntah

g) Epistaksis

h) Kesadaran menurun

2.2.6 Komplilkasi

Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya

sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang


21

berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri,

serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup

penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya

kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa

penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari

kenaikan tekanan darah pada 19 organ, atau karena efek tidak langsung, antara

lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down

regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi

garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya

kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat

meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).

Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum

ditemui pada pasien hipertensi adalah:

1. Jantung

- hipertrofi ventrikel kiri

- angina atau infark miokardium

- gagal jantung

2. Otak

- stroke atau transient ishemic attack

3. Penyakit ginjal kronis

4. Penyakit arteri perifer


22

5. Retinopat

2.2.7 Penatalaksanaan

2.2.8 Prognosis

2.2.9 Edukasi dan Pencegahan

2.2 Diabetes Militus

2.3.1 Definisi

Diabetes Militus (DM) merupakan penyakit metabolik yang terjadi oleh

interaksi berbagai faktor: genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup.

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan

sekresi insulin progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin.

Pernyataan ini selaras dengan IDF (2017) yang menyatakan bahwa

diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang terjadi saat meningkatnya kadar

glukosa dalam darah karena tubuh tidak mampu memproduksi banyak hormon

insulin atau kurangnya efektifitas fungsi insulin.

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes sangatlah

kompleks dan penyakit kronik yang perlu perawatan medis secara berlanjut

dengan strategi pengontrolan indeks glikemik berdasarkan multifaktor resiko.


23

2.3.2 Klasifikasi dan Etiologi

Klasifikasi etiologis diabetes menurut American Diabetes Association

2018 dibagi dalam 4 jenis yaitu :

a. Diabetes Melitus Tipe 1

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

Faktor penyebab terjadinya DM Tipe I adalah infeksi virus atau rusaknya

sistem kekebalan tubuh yang disebabkan karena reaksi autoimun yang merusak

sel-sel penghasil insulin yaitu sel β pada pankreas, secara menyeluruh. Oleh sebab

itu, pada tipe I, pankreas tidak dapat memproduksi insulin. Penderita DM untuk

bertahan hidup harus diberikan insulin dengan cara disuntikan pada area tubuh

penderita. Apabila insulin tidak diberikan maka penderita akan tidak sadarkan diri,

disebut juga dengan koma ketoasidosis atau koma diabetic.

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak

bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin

yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin


24

pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.

Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh kegagalan relatif sel β pankreas

dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk

merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat

produksi glukosa oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu mengimbangi resistensi

insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiesi relatif insulin. Ketidakmampuan

ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun

pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain.

c. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh

kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi sel beta, defek genetik

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain,

iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan sindrom genetik lain yang

berkaitan dengan penyakit DM.

Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam

pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

d. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

2.3.3 Faktor Resiko


25

a. Usia

Terjadinya DM tipe 2 bertambah dengan pertambahan usia (jumlah sel β yang

produktif berkurang seiring pertambahan usia).

b. Berat Badan

Berat badan lebih BMI >25 atau kelebihan berat badan 20% meningkatkan dua

kali risiko terkena DM. Prevalensi Obesitas dan diabetes berkolerasi positif,

terutama obesitas sentral. Obesitas menjadi salah satu faktor resiko utama untuk

terjadinya penyakit DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap

insulin (retensi insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin

resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul di daerah

sentral atau perut.

c. Riwayat Keluarga

Sekitar 40% diaebetes terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM.

d. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditujukkan dalam aktivitas sehari-hari.

Makanan cepat saji (junk food), kurangnya berolahraga dan minum-minuman

yang bersoda merupakan faktor pemicu terjadinya diabetes melitus tipe 2.

Penderita DM diakibatkan oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien

kurang pengetahuan tentang bagaimanan pola makan yang baik dimana mereka

mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan sumber glukosa secara

berlebihan, kemudian kadar glukosa darah menjadi naik sehingga perlu

pengaturan diet yang baik bagi pasien dalam mengkonsumsi makanan yang bisa

diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

e. Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational)


26

Seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi makanannya, sehingga berat

badannya mengalami peningkatan 7-10 kg, saat makanan ibu ditambah

konsumsinya tetapi produksi insulin kurang mencukupi maka akan terjadi DM.

2.3.4 Manifestasi Klinis

Gejala yang muncul pada penderita diabetes mellitus diantaranya :

a. Poliuri (banyak kencing)

Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula darah

sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan dikeluarkan

melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah maka ginjal

menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita diabetes

sering berkemih dalam jumlah banyak.

b. Polidipsi (banyak minum)

Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan

merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.

c. Polifagi (banyak makan)

Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar gula

dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.

d. Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan energi lain dalam

tubuh seperti lemak.

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan pasien


27

antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur,

disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan

khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥

126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM.

Anda mungkin juga menyukai