Anda di halaman 1dari 12

Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 65-76

BADAN PENDIDIKAN DAN


PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN JURNAL BPPK
REPUBLIK INDONESIA

INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN


MONETER
Arif Setiawan(a)
(a) Pusat Harmonisasi Kebijakan, Kementerian Keuangan; e-mail: setiawanarif08@gmail.com (penulis
berkorespondensi)

INFO ARTIKEL ABSTRAK


SEJARAH ARTIKEL Inflation Targeting Framework (ITF) in the last two decades becoming popular as the new
Diterima Pertama framework in setting monetary policy which used inflation as nominal anchor, replacing other
28 September 2012 nominal anchor such as money growth. But its popularity was not without critics. Opponents
of ITF criticized ITF to its concern on stabilization that would sacrifice other objectives of
Dinyatakan Dapat Dimuat policies: output and employment. Proponents of ITF answered the critics by arguing that ITF
26 November 2012 was a flexible framework rather than a rigid rule. It could anticipate problem of output in the
short run such during a crisis. While some researches on this field found that in some ITF
countries monetary policy response to inflation tended to be lower after implementing ITF. For
Indonesia which had implemented ITF since July 2005, how the changes in monetary policy
responses due to ITF implementation was an object of this research. By using Taylor Rule as
monetary policy responses function, changes of the response measured by changes in
KATA KUNCI: parameter of the model which estimated with a time varying parameter method. Evidence
Inflation Targeting showed that during the early phase of ITF implementation the response increased very
Framework, signifant and it tended to be what so called over shooting. The response then decreased at the
Monetary Policy Responses, next phase and looked more stabil. By an event studies: the Global Economic Crisis and the rise
Time Varying Parameter. of oil price, in this research we could also see how monetary otority react in dealing with those
two critical events in the economy.

Inflation Targeting Framework (ITF) dalam dua dekade terakhir semakin popular sebagai
sebuah pendekatan baru dalam kebijakan moneter yang menggunakan inflasi sebagai
sasaran utama kebijakan menggantikan besaran lain seperti pertumbuhan jumlah uang
beredar. Namun, ITF menemui banyak kritik menyangkut orientasi kebijakan yang
mengutamakan stabilisasi yang menurut pengkritik akan mengorbankan pertumbuhan dan
pengangguran. Atas kritik tersebut pendukung ITF menunjukkan bahwa ITF adalah
kerangka kebijakan yang flexible yang dalam jangka pendek dapat merespon permasalahan
output seperti di masa krisis. ITF merupakan pendekatan kebijakan yang bersifat diskresi
daripada sebuah rule yang kaku. Sementara beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa
respon terhadap inflasi pada negara yang menerapkan ITF justru menurun setelah
penerapan ITF. Sedangkan untuk Indonesia, yang menerapkan ITF sejak Juli 2005,
bagaimana perubahan respon kebijakan moneter dengan penerapan ITF menjadi objek
utama dalam penelitian ini. Penelitian menggunakan model Taylor Rule sebagai fungsi
respon kebijakan moneter. Perubahan respon diukur dari perubahan parameter dalam
fungsi respon kebijakan moneter yang akan diestimasi dengan model Time Varying
Parameter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ITF di Indonesia membuat
respon kebijakan moneter meningkat terhadap inflasi pada awal penerapan ITF yang
menunjukkan gejala over shooting. Respon kemudian cenderung menurun dan stabil pada
periode berikutnya. Dengan tambahan analisis event study krisis keuangan global dan
kenaikan pada harga BBM, dalam penelitian ini kita dapat juga melihat bagaimana otoritas
moneter bereaksi menghadapi dua kejadian penting tersebut dalam perekonomian.

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perintis awal penggunaan ITF adalah Selandia Baru
Sejak tahun 1990 penggunaan inflasi sebagai jangkar yang kemudian diikuti oleh Inggris, Kanada, Swedia
nominal yang digunakan sebagai target utama dan Australia.Dalam perkembangannya ITF sampai
kebijakan moneter mulai menjadi pilihan bagi bank dengan tahun 2007 telah diadopsi oleh 26 negara di
sentral di beberapa negara (Bernanke Mishkin, 1997). dunia. Popularitas ITF ini menggeser paradigma lama
Kerangka baru kebijakan moneter tersebut kemudian kebijakan moneter yang menggunakan target jumlah
dikenal sebagai Inflation Targeting Framework (ITF). uang beredar dan besaran moneter lainnya.
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan

Namun demikian, kebijakan moneter dengan ITF Adapun pencapaian target inflasi yang ditetapkan
bukan tanpa kritik. Beberapa ahli ekonomi Bank Indonesia dalam 10 tahun terakhir dapat dilihat
melontarkan kelemahan ITF sebagai kerangka kerja pada Tabel 1.1 di bawah ini. Dari tabel tersebut
kebijakan yang mengabaikan tingkat pertumbuhan terlihat bahwa Bank Indonesia menetapkan target
ekonomi dan tingkat pengangguran. Selain itu, dalam inflasi dalam kisaran yang cukup lebar. Hal tersebut
masa krisis dimana diperlukan penurunan suku bunga menunjukkan fleksibilitas dan merupakan ciri awal
untuk menstimulus perekonomian ITF tidak dapat dari penerapan ITF. Sementara dari perbandingan
menjustifikasi kebutuhan itu. Terhadap klaim dengan data inflasi yang terjadi pada setiap tahunnya
keberhasilan menekan inflasi pada negara yang maka sejak penerapan ITF secara penuh pada
menerapkan IT dikatakan bahwa inflasi yang rendah pertengahan tahun 2005 target inflasi dapat tercapai
pada negara-negara tersebut telah terjadi sebelum pada tahun 2006, 2007, dan 2009.
penerapan ITF. Akhirnya disimpulkan bahwa ITF Sekilas capaian tersebut cukup menjanjikan
lebih sebagai sarana cuci tangan bank sentral bahwa ITF mampu mengarahkan ekpektasi inflasi
terhadap permasalahan dalam perekonomian. sesuai dengan yang ditargetkan penguasa moneter.
Atas kritik terhadap ITF tersebut, pendukung ITF Jika dilihat dari tahun 2001 dimana Bank Indonesia
menjelaskan bahwa ITF mampu memberikan solusi mulai melakukan fase persiapan ITF inflasi lebih
bagi stabilitas jangka panjang dengan inflasi yang banyak meleset dari target. Tentu hal tersebut dapat
rendah dan tetap dapat mengakomodasi kebutuhan dimaklumi karena memang pada masa persiapan ITF
untuk melakukan stabilisasi perekonomian dalam tersebut Bank Indonesia masih menjalani program
jangka pendek untuk mendorong pertumbuhan. ITF pemulihan dengan asistensi dari International
bukanlah rule yang kaku seperti model pertumbuhan Monetary Fund (IMF) yang menggunakan pendekatan
uang yang diusulkan oleh Milton Friedman. Beberapa kuantitatif.
fitur dalam ITF seperti target inflasi dalam kisaran Namun demikian, kritik terhadap ITF yang
(range) dan horison menengah dan panjang dalam membuat bank sentral lebih fokus pada inflasi dan
pencapaian target memberikan keleluasaan untuk mengabaikan target tingkat pertumbuhan dan
pencapaian stabilisasi harga pada jangka panjang juga pengangguran sebagaimana telah diuraikan
pencapaian tingkat output dan pengangguran pada sebelumnya, harus tetap menjadi perhatian. Bank
jangka pendek. Lebih lanjut kelebihan ITF atas Indonesia sendiri telah menyatakan bahwa penerapan
pendekatan kuantitatif adalah pada transparansi dan ITF di Indonesia tidak bersifat rule yang kaku dan
akuntabilitas yang baik bagi pengelola kebijakan tetap menggunakan diskresi dengan
moneter yang membuat pelaku pasar lebih mempertimbangkan besaran ekonomi selain inflasi
mengetahui arah kebijakan moneter dan akhirnya seperti pertumbuhan dan nilai tukar. Untuk
mendorong ekspektasi inflasi pada tingkat yang mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan
diinginkan. berdasarkan fakta empiris maka perlu dilakukan
Popularitas ITF dan klaim peningkatan penelitian lebih lanjut.
kinerja perekonomian negara-negara yang
menerapkan ITF menarik perhatian Bank Indonesia 1.2. Tujuan Penelitian
untuk menerapkan ITF. Penerapan ITF ini Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan
menggantikan pendekatan kuantitatif base money harus dapat memberikan jawaban berdasarkan data
yang telah lama digunakan Bank Indonesia sebagai empiris ada atau tidak adanya perubahan respon
jangkar dalam menetapkan kebijakan moneter. kebijakan moneter setelah ITF diterapkan. Kemudian
Pendekatan kuantitatif tersebut berdasarkan lebih dalam lagi dikaji bagaimana perubahan respon
penelitian Bank Indonesia semakin sulit dilakukan kebijakan moneter tersebut terjadi menggunakan
untuk mengendalikan besaran moneter karena metodologi yang biasa digunakan untuk meneliti
adanya ketidakstabilan kecepatan peredaran uang. perubahan respon kebijakan moneter.
Akhirnya setelah melalui masa persiapan yang cukup Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
panjang sejak tahun 2001 maka pada September 2005 yang penting bagi para pengambil keputusan dan
ITF resmi digunakan sebagai kerangka kerja baru akademisi sebagai bahan evaluasi terhadap penerapan
kebijakan moneter Indonesia. ITF berdasarkan penerapannya di Indonesia. Selain
itu, penelitian ini juga memberikan gambaran spesifik
Tabel 1.1 Perbandingan Target dan Aktual Inflasi
Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual
penerapan ITF di Indonesia yang mungkin berbeda
2001 4-6% 12,55% dengan pengalaman penerapan ITF di negara lain.
2002 9-10% 10,03%
2003 8-10% 5,16% 1.3. Hipotesis
2004 4,5-6,5% 6,4% Penerapan ITF di Indonesia diduga mengubah
2005 5-7% 17,11%
2006 7-9% 6,6% respon kebijakan moneter menjadi lebih responsif
2007 5-7% 6,59% terhadap inflasi. Respon tersebut tercermin dalam
2008 4-6% 11,6% penetapan suku bunga acuan yang akan lebih
2009 3,5-5,5% 2,78% dipengaruhi oleh besaran inflasi. Perubahan respon
2010 4-6% 6,96%
Sumber: Bank Indonesia
tersebut diperkirakan akan terjadi secara gradual
dalam periode yang diteliti.

66 Jurnal BPPK Volume 5, 2012


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
Sesuai dengan kaidah ITF sebagai framework dan Ketidakstabilan hubungan pertumbuhan uang dan
bukan rule yang kaku, respon kebijakan moneter inflasi ini pada akhirnya akan menyulitkan bank
diduga akan lebih memberi toleransi kepada inflasi sentral yang menggunakan target pertumbuhan uang
dalam periode dimana terjadi tekanan terhadap sebagai dasar kebijakan moneter.
output perekonomian Indonesia. lni artinya dalam Faktor lain yang mendorong ITF adalah
periode tersebut terjadi penurunan respon terhadap berakhirnya rezim fixed exchange rate pada tahun
inflasi dalam penetapan suku bunga acuan. Kebijakan 1970an. Peralihan ke sistem nilai tukar mengambang
suku bunga akan lebih ditujukan untuk mendorong membuat bank sentral memiliki keleluasaan dalam
pertumbuhan daripada menjaga tingkat inflasi sesuai menentukan kebijakan moneter dan kemudian
dengan target yang ditetapkan. mencari target nominal baru menggantikan nilai kurs.
Beberapa target nominal seperti pertumbuhan uang,
2. KERANGKA TEORITIS inflasi dan stabilitas harga menjadi pilihan yang dapat
2.1. Inflation Targeting Framework dipergunakan oleh bank sentral sebagai jangkar
Bernanke dan Mishkin (1997) mendefinisikan nominal dalam menetapkan kebijakan moneter.
Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai sebuah Dorongan untuk menjadikan inflasi sebagai target
pendekatan dalam kebjakan moneter yang ditandai kebijakan moneter juga disebabkan oleh beberapa
dengan pengakuan eksplisit bahwa inflasi adalah perkembangan penting dalam teori ekonomi makro
tujuan utama dari kebijakan moneter. Fitur terpenting antara lain:
dalam ITF adalah komunikasi dengan public mengenai ● Netralitas Uang
rencana dan tujuan kebijakan fiskal serta Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi
akuntabilitas bank sentral dalam pencapaian target besaran kuantitas seperti output dan
tersebut. pengangguran dalam jangka pendek. Dalam jangka
ITF menunjukkan perubahan strategi kebijakan panjang peningkatan nominal uang hanya akan
moneter yang pada umumnya menggunakan membuat tingkat harga naik secara proporsional.
pertumbuhan uang sebagai sasaran kebijakan (Blanchard, 2009).
moneter seperti yang terlihat pada era tahun 1970an. ● Inflasi rendah mendorong output jangka
Kemudian pada tahun 1980an mulai muncul upaya panjang
serius bank sentral beberapa negara untuk Tidak adanya trade off antara inflasi dan output
mengurangi tingkat inflasi dan meningkatkan dipertegas oleh fischer (1993) yang menemukan,
independensi. Pada akhirnya Selandia Baru di tahun dari model regresi data panel, bahwa inflasi yang
1990 memulai pendekatan ITF yang kemudian diikuti rendah dan surplus anggaran mendorong
oleh beberapa negara seperti Inggris, Kanada, Swedia, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Australia dan Finlandia. Maastricht Treaty juga Hubungan tersebut dapat dilihat melalui jalur
menetapkan stabilitas harga sebagai tujuan utama investasi dan produktifitas. Inflasi yang tinggi
Bank Sentral Eropa. akan menurunkan investasi dan produktifitas.
Sebagaimana diketahui dalam pendekatan target ● Pentingnya Kredibilitas Kebijakan
pertumbuhan uang bank sentral menetapkan target Dalam upaya untuk menurunkan tingkat inflasi
pertumbuhan nominal uang berdasarkan tingkat maka kredibilitas kebijakan dipandang sebagai
inflasi yang dikehendaki dalam jangka menengah faktor utama yang dapat mengarahkan agen
dengan memperhitungkan faktor lain seperti ekonomi membentuk ekpektasi inflasi ke arah
kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
penduduk. Dalam jangka pendek bank sentral dapat Penelitian oleh Kydland dan Prescott (1977)
memberi toleransi terjadinya deviasi dari nominal menunjukkan kebijakan yang bersifat diskresi
target uang dan target. Seperti dalam masa resesi seperti kebijakan yang bersifat aktif dalam
maka bank sentral dapat meningkatkan uang beredar menangani resesi akan memberikan hasil kinerja
diatas target untuk menurunkan suku bunga dan perekonomian yang dibawah optimal dengan
menaikkan output perekonomian. Dan saat terjadi asumsi agen ekonomi memiliki ekspektasi yang
booming dalam perekonomian maka bank sentral rasional.
dapat melakukan hal sebaliknya. (Blanchard, 2009).
Permasalahan dalam penggunaan target 2.2. Penerapan Inflation Targeting Framework
pertumbuhan uang sebagai dasar kebijakan moneter Dalam pelaksanaannya ITF tidak secara frontal
adalah terletak pada asumsi bahwa terdapat melakukan stabilisasi terhadap inflasi. Sebaliknya ITF
hubungan yang kuat antara inflasi dan pertumbuhan secara gradual mengarahkan inflasi dari level yang
uang pada jangka menengah. Fakta empiris sedang terjadi menuju ke level steady state yang
menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak selalu diinginkan. Alasan penekanan pada inflasi sebagai
kuat seperti yang dibayangkan. Penyebabnya adalah target utama kebijakan moneter adalah karena pada
terjadinya pergeseran pada money demand seperti umumnya pada ahli ekonomi sepakat bahwa
misalnya pengaruh dari penggunaan credit card. kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi
Money demand turun dengan penggunaan credit card besaran riil output dan pengangguran dalam jangka
namun tidak dengan inflasi karena transaksi mungkin pendek.
justru meningkat dengan penggunaan credit card.

Jurnal BPPK Volume 5, 2012 67


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan

Derajat penerapan target inflasi juga berbeda menerapkan ITF maka ditemukan hal sebaiknya. Bank
diantara negara-negara yang menerapkan ITF. Sentral di negara ITF dalam publikasinya sebagai
Selandia Baru merupakan negara yang sangat ketat bentuk komunikasi publik tidak hanya
dalam menjalankan ITF. Untuk menjaga tingkat memamaparkan target inflasi semata. Proyeksi
disiplin otoritas moneter terdapat kontrak yang besaran makro ekonomi lain juga disampaikan seperti
memberi sanksi jika Bank Sentral gagal mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kritik
target inflasi. Sementara pada negara lain tidak bahwa bank sentral dalam ITF tidak transparan hanya
terdapat sanksi khusus jika target inflasi tidak karena menyampaikan besaran inflasi sementara
tercapai. tetap memperhatikan besaran makro ekonomi lainnya
tidak terbukti.
2.3. Kritik Terhadap ITF
Galbraith (1997) memberikan komentar atas 2.5. Penerapan dan Capaian ITF di Indonesia
penelitian Bernanke dan Mishkin (1997) bahwa ITF Sejak tahun 2001 Bank Indonesia telah
berjalan atas pondasi yang lemah dimana para ahli menyampaikan secara rutin kepada publik target
ekonomi masih belum sepakat tentang teori yang inflasi yang menjadi acuan kebijakan moneter.
melatarbelakangi ITF yakni Non-Accelerating- Namun, pada saat itu Bank Indonesia belum
Inflation Rate of Unemployment (NAIRU). Selain itu, sepenuhnya menerapkan ITF karena masih
ITF hanya membuat bank sentral tidak peduli kepada menggunakan target Based Money yang merupakan
besaran kinerja ekonomi makro lain yang penting bagian dari program asistensi International Monetary
yakni output dan pengangguran karena menjadikan Fund (IMF). Selanjutnya, pada bulan Juli tahun 2005
inflasi sebagai satu-satunya jangkar nominal untuk Bank Indonesia secara resmi telah menyatakan
menentukan kebijakan moneter yang diambil. Selain penerapan ITF secara penuh. Fase persiapan
itu, dari klaim capaian ITF yakni rendahnya inflasi di pelaksanaan ITF antara tahun 2001 sampai dengan
Negara ITF, sebagaimana disampaikan sendiri oleh Juli 2005 dikenal sebagai periode Lite ITF. Sementara
Bernanke dan Mishkin (1997), telah terjadi sebelum mulai Juli 2005 sampai dengan sekarang disebut
penerapan ITF sehingga tidak bisa dianggap sebagai sebagai periode full pledged ITF (Harmanta, 2009).
capaian dari penerapan ITF.
Dari sudut transparansi yang menjadi fitur utama, 2.5.1. Capaian ITF di Indonesia
ITF juga mendapatkan sorotan tajam. Friedman Sebagai capaian dalam pelaksanaan ITF di
(2004) menyatakan bahwa ITF justru tidak Indonesia Anwar dan Chawwa (2008) menyimpulkan
transparan karena Bank Sentral negara ITF pada bahwa penerapan ITF telah mengarahkan ekspektasi
kenyataannya tetap memperhatikan besaran makro inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi
ekonomi selain inflasi seperti output, tingkat yang ditetapkan oleh pemerintah atas rekomendasi
pengangguran atau nilai tukar. Sementara dalam Bank Indonesia. Namun, volatilitas ekpektasi inflasi
penyampaiannya kepada publik hanya terbatas setelah penerapan ITF justru mengalami peningkatan.
kepada besaran target inflasi yang ingin dicapai. Terkait dengan kredibilitas kebijakan moneter
Sementara itu Stiglitz (2008) dalam sebuah Bank Indonesia, Harmanta (2009) mencatat adanya
artikel mengatakan bahwa dewasa ini inflasi di kenaikan kredibilitas kebijakan moneter Bank
banyak negara terjadi karena kenaikan harga pangan Indonesia sejak penerapan ITF. Kenaikan kredibilitas
dan energi dunia. Upaya meredam inflasi tersebut kebijakan moneter ini kemudian berpengaruh kepada
dengan menaikkan suku bunga pada negara yang turunnya persistensi inflasi di Indonesia.
menerapkan ITF tidak dapat menyelesaikan masalah Sementara ditinjau dari pencapaian target inflasi
karena sumber inflasi merupakan imported inflation. sebagaimana terlihat pada tabel 1.1 bab 1 maka pada
Dalam kondisi seperti itu maka kenaikan suku bunga periode setelah penerapan ITF, yaitu terhitung sejak
justru akan membuat perekonomian berjalan lebih tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, target inflasi
lambat dan semakin tidak berdaya untuk mengatasi tercapai pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Pada tiga
permasalahan pangan dan energi. tahun lainnya yakni tahun 2005, 2008, dan 2010
inflasi aktual tercatat melebihi target inflasi yang
2.4. Hasil Capaian Kinerja Perekomian Negara ITF ditetapkan.
dan Non ITF
Walsh (2009) memaparkan perbandingan kinerja 3. METODOLOGI PENELITIAN
makro ekonomi negara-negara ITF dengan Non ITF Dalam menganalisis perubahan respon kebijakan
pada negara-negara maju dan negara-negara moneter dalam penelitian ini dipilih pendekatan
berkembang. Dari studi yang dilakukan dan metodologi yang bersifat unrestricted. Artinya, tidak
rangkuman hasil beberapa penelitian disimpulkan ada pembatasan tertentu seperti pemisahan periode
bahwa negara-negara ITF memiliki kinerja makro sampel data (split sample) untuk menunjukkan adanya
ekonomi yang lebih baik. Selain itu, negara-negara ITF perubahan respon kebijakan moneter. Dengan
tidak terasosiasi dengan ketidakstabilan pada output pendekatan ini maka ada tidaknya perubahan respon
ekonomi. akan dijawab secara lebih objektif oleh data itu
Mengenai kritikan Friedman (2004) tentang tidak sendiri.
transparannya bank sentral pada negara yang

68 Jurnal BPPK Volume 5, 2012


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
Untuk itu terdapat dua metode yang akan dengan data tahun 2002 berkaitan dengan
digunakan yaitu CUSUM test dan Time Varying keterbatasan dalam penelitian untuk mendapatkan
Parameter dengan Kalman Filter. CUSUM test dapat data periode sebelum tahun 2002 dan kemungkinan
menunjukkan ada tidaknya perubahan respon bahwa sebelum periode tersebut kebijakan moneter
kebijakan moneter dan kapan terjadinya. Sedangkan masih bersifat backward looking.
bagaimana perubahan respon kebijakan moneter itu
terjadi dapat diestimasi dengan menggunakan model 3.2. Alat Analisis Data
Time Varying Parameter. Sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka
berpikir, untuk meneliti perubahan respon kebijakan
3.1. Sampel Data, Definisi Operasional, dan maka digunakan sebuah model respon kebijakan
Sumber Data moneter. Kemudian ada tidaknya perubahan akan
Sebagaimana pendekatan yang dilakukan Boivin dievaluasi berdasarkan stabilitas parameter dalam
(2005) dalam sampel data yang digunakan dalam model tersebut. Lebih lanjut lagi proses terjadinya
penelitian ini berusaha semaksimal mungkin perubahan respon kebijakan akan diukur berdasarkan
menggunakan data real time yakni data yang tersedia perubahan nilai parameter model dari waktu ke
dan menjadi dasar dalam pengambilan respon waktu.
kebijakan moneter. Penggunaan real time data Model respon kebijakan moneter yang akan
dimaksudkan untuk mendapatkan respon kebijakan digunakan adalah model yang dikenal sebagai Taylor
moneter yang mendekati kondisi pada saat respon Rule. Model ini pertama kali dipopulerkan oleh Taylor
kebijakan moneter tersebut diputuskan. (1993) sebagai sebuah aturan dalam menentukan
Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan data real kebijakan suku bunga bank sentral dengan
time yang dalam hal ini adalah data yang disiapkan memperhitungkan variabel suku bunga riil, inflasi,
untuk Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk dan selisih output aktual dengan output potensial
memutuskan respon kebijakan moneter. Untuk itu (output gap). Secara formal model tersebut
sebagai penggantinya digunakan data yang tersedia dirumuskan sebagai berikut:
dan diperkirakan digunakan oleh Bank Indonesia
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan it =i + ß1(t-1 – * ) + ß2yt ………….………………………….. (1)
kebijakan moneter. i adalah suku bunga bank sentral, i adalah rata-
Untuk pengukuran ekpektasi inflasi maka sumber rata suku bunga bank sentral, t-1 adalah inflasi , *
data yang digunakan adalah ekspektasi inflasi yang adalah target inflasi dan yt adalah output gap.
dikeluarkan oleh lembaga Consensus Forecast. Selanjutnya model Taylor Rule semakin populer
Consensus Forecast menghasilkan analisa prediksi digunakan dan berkembang dalam variasi yang sangat
besaran ekonomi makro berdasarkan prediksi yang banyak. Diskusi kemudian mengerucut pada
diterbitkan beberapa lembaga keuangan yang penggunaan model Taylor Rule yang sederhana,
terpercaya. Hasil prediksi setiap lembaga tersebut bersifat forward looking dan memperhitungkan
selanjutnya diambil angka rata-ratanya yang smoothing yang dilakukan Bank Sentral dalam
kemudian digunakan sebagai hasil consensus atas menentukan suku bunga (Clarida Gali Gertler, 2000).
prediksi lembaga-lembaga keuangan yang di survei. Untuk penelitian ini model yang digunakan
Hasil ekspektasi inflasi dari Consensus Forecast mengacu pada model respon kebijakan moneter yang
dipilih untuk digunakan dari hasil survei lainnya digunakan Harmanta (2009) dengan
karena berdasarkan penelitian Anwar Chawwa (2008) mempertimbangankan dua hal. Pertama model
hasilnya lebih presisi dalam memprediksi inflasi. dimaksud memiliki kriteria sederhana, forward
Dalam Laporan Kebijakan Moneter Bank Indonesia looking dan memperhitungkan smoothing yang
hasil Consensus Forecast juga disajikan sebagai bagian dilakukan bank sentral. Kedua analisis respon
analisa kondisi makro ekonomi. kebijakan moneter lebih mudah dilakukan dengan
Sedangkan untuk output gap dipilih hasil melihat langsung dari parameter model hasil
penghitungan resmi oleh Bank Indonesia yang pernah pengolahan data. Adapun bentuk formal model adalah
disajikan dalam Laporan Kebijakan Moneter edisi sebagai berikut:
Triwulan ke 3 tahun 2007. Untuk output gap triwulan
berikutnya dilakukan estimasi berdasarkan output it= pit −1 + α ( πt + k−π *) + β ( yt) ……………….….(2)
gap estimasi Bank Indonesia dengan variabel penentu
i adalah suku bunga bank sentral, dan * adalah
tingkat kapasitas produksi terpakai hasil Survei
ekspektasi inflasi dan target inflasi, yt adalah output
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh
gap. Sementara p adalah parameter yang mengukur
Bank Indonesia.
pengaruh suku bunga periode sebelumnya pada
Basis data yang digunakan adalah data
periode berjalan, p dapat mewakili pengaruh inertia
triwulanan. Untuk periode sampel data yang
terhadap penentuan suku bunga dan smoothing yang
digunakan maka dipilih periode 2002 sampai dengan
dilakukan penguasa moneter dalam menaikkan atau
2010. Pilihan periode tersebut dilakukan dengan
menurunkan suku bunga (Harmanta,2009).
pertimbangan bahwa dalam periode sampel data
tersebut tercakup masa sebelum dan sesudah
penerapan ITF secara penuh. Sampel data dimulai

Jurnal BPPK Volume 5, 2012 69


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan

3.3. Analisis Perubahan Struktur : CUSUM Square matriks dari regressor variable. e adalah matriks
Test disturbance yang diasumsikan memiliki zero mean
Analisis perubahan struktur dengan CUSUM value.
Square test dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya Model TVP berasumsi bahwa parameter time
perubahan parameter (instabilitas struktur) dalam variant mengikuti driftless random walk. Dengan
model respon kebijakan moneter selama periode demikian, parameter mengikuti persamaan
observasi. Selain itu, waktu terjadinya perubahan juga transisi/prediksi sebagai berikut:
dapat diketahui melalui plot nilai CUSUM square pada
waktu. Ht = Ht-1 + vt …………………………………………………………..(5)

Tes Cumulative Sum (CUSUM) dikembangkan oleh H merupakan matriks parameter (unobserved
Brown Durbin Evans (1975) berdasarkan jumlah state variables), v adalah matriks error model
kumulatif (cumulative sum) dari recursive residuals. transisi/prediksi .
Tes ini memberikan plot dari cumulative sum bersama
dengan critical lines 5% . Ketidakstabilan parameter 3.4.1. Estimasi Maximum Likelihood dengan
dapat terlihat jika cumulative sum berada di luar Kalman Filter
critical lines. Selanjutnya, dalam penelitian ini proses estimasi
parameter menggunakan paket aplikasi statistik
3.3.1. Teknik Analisis Eviews 6. Dalam Eviews 6 estimasi Time Varying
Setelah mendapatkan plot dari statistik CUSUM Parameter dilakukan dalam model State Space yang
Square maka dapat dilihat ada tidaknya perubahan mengacu kepada prosedur sebagaimana diuraikan
struktur dari fungsi reaksi moneter. Jika plot dari oleh Hamilton (1994).
statistik CUSUM Square berada di luar dua garis Dalam model State Space estimasi parameter
significant criticalline 5% maka dugaan adanya dilakukan berdasarkan maximum likelihood.
perubahan struktur adalah significant. Sebagaimana diketahui maximum likelihood adalah
Selain itu, dari CUSUM Square test dapat diketahui salah satu metode untuk melakukan estimasi
periode terjadinya perubahan struktur yang diamati parameter sebuah model. Estimasi dilakukan
dari statistik CUSUM Square yang diplot terhadap berdasarkan likelihood function.
waktu (sumbu horizontal). Kapan terjadinya Estimasi dengan maximum likelihood selanjutnya
perubahan struktur dideteksi dengan mengamati dikombinasikan dengan penggunaan Kalman Filter.
sumbu horizontal yang berkorespondensi dengan Metode Kalman Filter memberikan estimasi dengan
perubahan slope statistik CUSUM Square pada sumbu cara yang dapat meminimalkan mean square error
vertikal. sehingga memungkinkan mendapatkan hasil estimasi
yang optimal (Welch Bishop, 2001).
3.4. Analisis Time Varying Parameter
Pada model Time Varying Parameter estimasi 3.4.2. Teknik Analisis
perubahan kebijakan moneter di augmentasi dengan Perubahan respon dapat diukur dari perubahan
parameter yang bersifat time variant. Pemilihan parameter dalam periode sampel data. Hal tersebut
model ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa menunjukkan bagaimana perubahan respon kebijakan
model tersebut dapat memberikan gambaran moneter terjadi. Kenaikan parameter menjelaskan
perubahan respon kebijakan moneter tanpa meningkatnya respon kebijakan moneter. Begitu juga
memberikan batasan kepada data seperti pada sebaliknya penurunan parameter menunjukkan
metode parameter konstan dengan split period. Pada menurunnya respon kebijakan moneter. Misalnya, jika
metode tersebut data di restriksi dengan pemisahan parameter respon terhadap inflasi naik pada suatu
periode tertentu yang kemudian dianalisa secara periode tertentu maka hal tersebut menandakan
terpisah untuk kemudian hasilnya diperbandingkan. terjadi peningkatan respon terhadap inflasi pada
Sementara pada model Time Varying Parameter tidak periode tersebut. Artinya, perubahan ekspektasi
terdapat pemisahan periode dan data sendiri yang inflasi relatif terhadap target inflasi diiringi dengan
akan menunjukkan ada tidaknya perubahan dan perubahan suku bunga kebijakan yang lebih besar
kapan terjadinya perubahan respon tersebut. dari periode sebelumnya. Sebaliknya, jika parameter
Dengan menggunakan model respon Time Varying respon menurun artinya perubahan ekspektasi inflasi
Parameter kebijakan moneter akan menjadi seperti relative dengan target inflasi akan diiringi dengan
sebagai berikut: perubahan suku bunga bunga yang lebih kecil dari
it= ptit −1 + αt( πt + k−π *) + βt( yt) +et (3)
periode sebelumnya.
………………………..
Selanjutnya perubahan respon yang terjadi dalam
atau dapat ditulis dalam persamaan matriks sebagai periode observasi akan dikaitkan dengan periode
berikut: diterapkannya ITF. Dengan demikian dapat dilakukan
perbandingan respon yang terjadi pada periode
it =H’tZt + et ……………………………………………………………(4)
setelah ITF dan periode sebelumnya. Perbedaan
i merupakan matriks suku bunga bank sentral, H respon yang terjadi dapat menjelaskan dampak
merupakan matriks parameter (unobserved state penerapan ITF terhadap respon kebijakan moneter.
variables) yang bersifat time variant dan Z merupakan

70 Jurnal BPPK Volume 5, 2012


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
Analisis juga akan dilakukan dengan beberapa 4.1.2. Ekspektasi Inflasi dan Target Inflasi
peristiwa penting yang memiliki dampak besar Ekspektasi inflasi merupakan prediksi inflasi yang
terhadap perekonomian yang terjadi pada periode dihasilkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan
observasi dikaitkan dengan perubahan respon oleh lembaga Consensus Forecast. Ekspektasi inflasi
kebijakan moneter. Peristiwa penting itu adalah mencerminkan prediksi inflasi yang akan terjadi
kenaikan Bahan Bakar Minyak yang terjadi dua kali setahun ke depan oleh para pelaku usaha yang diukur
pada masa penerapan ITF dan krisis keuangan global dalam persentase satu tahunan. Sementara target
yang terjadi pada mulai pertengahan 2008. Bagaimana inflasi adalah tingkat inflasi yang menjadi sasaran
respon kebijakan moneter dalam mengantispasi yang dituju oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
peristiwa tersebut dapat terlihat dari perubahan Perbedaan antara ekspektasi inflasi dan target inflasi
respon yang terjadi pada periode dimana peristiwa- menjadi dasar dalam penentuan tingkat suku bunga
peristiwa tersebut terjadi. acuan BI (BI rate).
Pergerakan selisih ekspektasi inflasi - target
3.4.3. Robustness inflasi yang disandingkan dengan BI rate dapat dilihat
Menurut Hamilton (1994) space state model pada grafik 4.2. Dari grafik tersebut terlihat secara
dengan parameter bervariasi terhadap waktu umum selisih ekspektasi inflasi – target inflasi
merupakan sebuah model yang tidak stationer atau bergerak searah dengan BI rate. Hal tersebut
tidak linier. Sementara penelitian Lei Guo (1990) ditunjukkan juga dengan perhitungan korelasi yang
menunjukkan bahwa model time varying parameter menunjukkan angka positif 0,4.
dengan Kalman Filter tidak membutuhkan asumsi 0.2
bahwa data harus bersifat stasioner atau independen.
0.15
Sebagai tambahan untuk menguji validitas hasil
penelitian maka maka dilakukan perbandingan 0.1
dengan hasil penelitian sejenis. Untuk itu penelitian
0.05
oleh Harmanta (2009) dan Ramayandi (2010) adalah
beberapa dari penelitian yang akan digunakan sebagai 0
pembanding.
2002-1
2002-3
2003-1
2003-3
2004-1
2004-3
2005-1
2005-3
2006-1
2006-3
2007-1
2007-3
2008-1
2008-3
2009-1
2009-3
2010-1
2010-3
-0.05

BI Rate Selisih Ekspektasi dan Target Inflasi


4. HASIL DAN PEMBAHASAN Grafik 4.2. Pergerakan Selisih Ekspektasi Inflasi-
4.1. Deskripsi Statistik Data Target Inflasi dan BI rate
4.1.1. Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI rate) 4.1.3. Output Gap
Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI rate) Output gap yakni selisih output aktual dengan
merupakan tingkat suku bunga yang mencerminkan output potensial berdasarkan estimasi yang dilakukan
kebijakan Bank Indonesia dalam mengendalikan Bank Indonesia dari tahun 2002 sampai dengan tahun
perekonomian. BI rate ditetapkan dalam Rapat Dewan 2007 triwulan 2 dapat dilihat pada grafik 4.3. Untuk
Gubernur (RDG) BI. Sesuai ketentuan maka RDG output gap tahun 2007 triwulan 3 sampai dengan
dilaksanakan minimal dalam tiga bulan sekali. 2010 dilakukan estimasi berdasarkan kapasitas
Sepanjang periode penelitian maka BI rate adalah produksi yang menganggur sesuai dengan Survei
seperti pada grafik 4.1. Dari grafik terlihat bahwa BI Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan BI dengan hasil
rate berfluktuasi sepanjang periode. Mulai tahun 2002 estimasi menunjukkan tingkat korelasi 0.6.
BI rate bergerak turun dari level 16,76 % hingga Pada grafik yang sama dapat dilihat juga
mencapai level terendahnya pada triwulan kedua perbandingan pergerakan ouput gap dengan BI rate.
tahun 2004 sebesar level 7,33 %. Selanjutnya, BI rate Melihat arah pergerakan keduanya seperti memiliki
bergerak naik dan terjadi lompatan yang cukup tajam hubungan yang berlawanan (negatif). Seperti pada
memasuki triwulan 4 tahun 2005 yang mencapai 12,8 tahun 2002 sampai dengan 2005 BI rate cenderung
% naik 4 % dari periode sebelumnya yaitu 8.8% pada turun sedangkan output gap sebaliknya cenderung
triwulan 3 tahun 2005. Kemudian BI rate terus meningkat. Hasil uji korelasi yang dilakukan
menurun hingga akhir triwulan 4 tahun 2010 setelah menunjukkan keduanya memang berkorelasi negatif
menguat sedikit pada akhir 2008. dengan tingkat korelasi - 0,6.
0.2
0.2 0.15
0.15 0.1
0.1 0.05
0
0.05
2002-1
2002-3
2003-1
2003-3
2004-1
2004-3
2005-1
2005-3
2006-1
2006-3
2007-1
2007-3
2008-1
2008-3
2009-1
2009-3
2010-1
2010-3

-0.05
0
-0.1
2002-1
2002-3
2003-1
2003-3
2004-1
2004-3
2005-1
2005-3
2006-1
2006-3
2007-1
2007-3
2008-1
2008-3
2009-1
2009-3
2010-1
2010-3

-0.15
Output Gap BI Rate

Grafik 4.1.Pergerakan Suku Bunga Acuan BI (BI rate) Grafik 4.3. Pergerakan Output Gap dan BI rate

Jurnal BPPK Volume 5, 2012 71


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
.

4.2. Hasil Analisis Perubahan Struktur - CUSUM degree of freedom 1 dan confidence interval 95% yaitu
Square test 3.84146. Dengan demikian, maka null hypothesis
CUSUM Square test yang dilakukan terhadap ditolak yang artinya model yang dihasilkan adalah
fungsi respon kebijakan moneter menunjukkan hasil significant.
plot CUSUM statistic seperti pada grafik 4.4. Pada plot Sementara parameter akhir untuk suku bunga
tersebut dapat dilihat bahwa nilai CUSUM square acuan BI triwulan sebelumnya menujukkan nilai 0,88
statistic keluar dari critical line 5% pada triwulan 2 dan uji Z statistik menunjukkan hasil tersebut
tahun 2006. Dengan demikian, maka dapat signifikan. Sedangkan parameter inflasi menunjukkan
disimpulkan adanya perubahan struktur respon nilai 0.32 dan uji Z statistic menujukkan hasil tersebut
kebijakan moneter yang signifikan pada periode signifikan. Untuk output gap nilai akhir parameter
tersebut. Namun, lonjakan tajam CUSUM square menujukkan nilai – 0.27 tetapi hasil uji Z statistic
statistic terlihat mulai terjadi pada semester 4 tahun menunjukkan bahwa parameter output gap tidak
2005. signifikan.
1.4
4.3.1. Analisis Respon Kebijakan Moneter
1.2
Terhadap Inflasi
1.0
a. Parameter Respon Terhadap Inflasi Berfluktuasi
0.8
Respon kebijakan moneter terhadap inflasi yakni
0.6
selisih ekpektasi inflasi dengan targetnya dapat dilihat
0.4
dari naik turunnya parameter terkait. Dari hasil olah
0.2 data menunjukkan bahwa parameter respon
0.0 kebijakan moneter terhadap inflasi berfluktuasi
-0.2 sepanjang periode sampel data sebagaimana dapat
-0.4
dilihat pada grafik 4.5. Dalam grafik tersebut terlihat
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 bahwa parameter inflasi pada periode sebelum
CUSUM of Squares 5% Significance
triwulan 4 tahun 2005 nilai tertinggi mencapai 0.2
Grafik 4.4. Plot CUSUM square test
pada triwulan 2 tahun 2003. Kemudian sampai
dengan triwulan 3 tahun 2005 maka nilai parameter
4.2.1. Kesimpulan Hasil Analisis Perubahan inflasi menurun hingga mencapai -0.01.
Struktur Selanjutnya pada triwulan 4 tahun 2005 nilai
Hasil analisis perubahan struktur pada fungsi parameter inflasi meningkat cukup tajam menjadi 0.5.
respon kebijakan moneter dengan CUSUM square test Peningkatan tersebut berlanjut hingga sepanjang
menunjukkan telah terjadi perubahan struktur fungsi tahun 2006 yang nilainya mencapai 0.68. Setelah itu
respon kebijakan moneter yang secara signifikan nilai parameter inflasi menurun mulai triwulan 1
terjadi pada tahun 2006 triwulan kedua. Perubahan tahun 2007 dan kemudian cenderung stabil pada
sebenarnya mulai terdeteksi terjadi sejak triwulan kisaran 0.32 hingga akhir periode sampel tahun 2010.
keempat tahun 2005 yang ditandai dengan slope Suatu hal yang dapat ditarik dari pergerakan
statistic CUSUM square yang cukup tajam pada parameter respon inflasi yang flluktuatif adalah
periode tersebut. bahwa kebijakan moneter tidak menggunakan sebuah
Dikaitkan dengan penerapan ITF yang dimulai rule tertentu yang bersifat kaku. Penggunaan rule
pada triwulan ketiga tahun 2005 maka terdapat akan menghasilkan parameter yang bersifat konstan
indikasi bahwa penerapan ITF membuat perubahan dari waktu ke waktu. Dengan demikian maka
respon kebijakan moneter. Perubahan terjadi sejak penerapan ITF di Indonesia lebih bersifat diskresi
triwulan keempat tahun 2005 dan secara signifikan daripada sebuah rule dalam menentukan suku bunga
terlihat pada triwulan 2 tahun 2006. Selanjutnya, acuan berdasarkan inflasi dan output gap.
untuk mengetahui bagaimana perubahan tersebut
terjadi maka jawabannya ada pada hasil analisis Time
Varying Parameter.

4.3. Hasil Analisis Time Varying Parameter –


Kalman Filter
Berdasarkan estimasi menggunakan Space State
Model Maximum Likelihood dengan Kalman Filter
menggunakan software Eviews 6 maka diperoleh hasil
bahwa model yang digunakan memiliki nilai log
likelihood 89.32764. Uji null hypothesis dilakukan Grafik 4.5. Pergerakan Parameter Inflasi
dengan restricted model dengan memberikan nilai 0
pada salah satu parameter. Nilai log likelihood pada
restricted model adalah -2.32 x 108. Sementara nilai
log likelihood rationya adalah 4.64 x 108. Nilai
tersebut jauh diatas nilai chi square stastistic untuk
72 Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
b. Kenaikan Tajam Respon Terhadap Inflasi Pada Kedua, terdapat indikasi peningkatan kredibilitas
Awal Penerapan ITF Bank Indonesia yang membuat Bank Indonesia lebih
Seperti dapat dilihat pada grafik 4.5 pada triwulan percaya diri dalam mengelola inflasi. Hal tersebut
4 tahun 2005 terjadi peningkatan respon terhadap ditunjukkan dengan tercapainya target inflasi pada
inflasi yang terus menguat hingga triwulan 4 tahun tahun 2007 meski respon terhadap inflasi tidak sekuat
2006. Pada 5 triwulan ini respon inflasi merupakan sebelumnya.
yang tertinggi dibandingkan dengan keseluruhan Namun, hasil yang berbeda terjadi pada tahun
periode dengan nilai parameter inflasi dalam kisaran 2008. Pada tahun itu target inflasi tahun itu meleset
0.5 sampai dengan 0,68. Peningkatan ini sangat tajam cukup jauh yakni 11,6% dari target 4-6%. Kegagalan
jika dibandingkan periode sebelumnya yang pencapaian target inflasi ini kemungkinan didorong
parameter respon terhadap inflasi tertinggi sebesar oleh terjadinya kenaikan harga BBM yang membuat
0.2 pada triwulan 2 tahun 2003. Selanjutnya, respon inflasi dan ekspektasi inflasi meningkat pada
inflasi melemah hingga mencapai nilai terendah pada pertengahan tahun 2008.
triwulan 3 tahun 2008 dengan besaran respon inflasi
0.3. Dilihat secara keseluruhan maka besaran respon d. Perbedaan Respon Terhadap Inflasi Akibat
terhadap inflasi pada periode setelah ITF relatif lebih Kenaikan BBM Pada Periode Penerapan ITF
besar dari sebelum ITF seperti dijelaskan tabel 4.1. Selama penerapan ITF terdapat dua kali kenaikan
BBM yang terjadi pada pertengahan tahun 2005 dan
Tabel 4.1. Perbandingan Respon Terhadap Inflasi pertengahan tahun 2008. Kenaikan BBM yang terjadi
Sebelum dan Sesudah ITF
pada kedua tahun tersebut membuat inflasi terdorong
Pra ITF Pasca ITF naik dan akhirnya target inflasi pada dua tahun
(2002-2005-3) (2005-4 -2010)
tersebut tidak tercapai. Namun, terdapat perbedaan
Parameter Terendah : - 0.8 Terendah : 0.3 respon kebijakan moneter pada tahun 2005 dan tahun
Inflasi (α) Tertinggi : 0.2 Tertinggi : 0,68 2008 dalam mengantisipasi kenaikan harga BBM.
Pada tahun 2005 yang merupakan awal
penerapan ITF respon kebijakan moneter terhadap
Peningkatan respon terhadap inflasi yang terjadi
inflasi yang didorong oleh kenaikan harga BBM
pada triwulan 4 tahun 2005 adalah terjadi satu
terlihat meningkat mencapai 0.5. Sementara pada
triwulan setelah penerapan ITF yang secara resmi
tahun 2008 respon terhadap inflasi baik sebelum dan
diumumkan pada bulan Juli 2005 atau pada triwulan 3
sesudah kenaikan BBM tidak terlalu banyak berubah
tahun 2007. Dengan demikian maka dapat
yakni pada kisaran 0.3.
disimpulkan penerapan ITF di Indonesia ditandai
Peningkatan respon yang sangat tajam pada awal
dengan peningkatan respon terhadap inflasi yang
penerapan ITF diduga untuk meningkatkan
cukup besar.
kredibilitas kebijakan BI dalam kerangka ITF untuk
mencapai target inflasi yang telah ditetapkan.
c. Penurunan Respon Terhadap Inflasi Pada
Sebagaimana diketahui pada pertengahan 2005
Periode Penerapan ITF
pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
Respon terhadap inflasi sejak triwulan satu tahun
yang menyebabkan inflasi naik tajam. Ini menjadi
2007 terlihat mulai menurun seperti terlihat pada
ujian pertama bagi penerapan ITF oleh Bank
grafik 4.5. Parameter respon inflasi pada periode
Indonesia. Namun demikian, meski respon meningkat
tersebut mencapai 0.39 menurun cukup banyak
tajam pada tahun 2005 target inflasi meleset cukup
sekitar 40% dari triwulan sebelumnya yang mencapai
jauh yakni 10 % di atas target yang ditetapkan.
0.68. Penurunan respon tersebut terus berlanjut
Perbedaan respon kebijakan moneter terhadap
hingga tahun 2008 denga nilai parameter terendah 0.3
inflasi akibat kenaikan BBM pada tahun 2005 dan
pada triwulan 2 dan 3 tahun 2008 sebagaimana
tahun 2008 dapat menjelaskan dua hal. Pertama,
terlihat pada tabel 4.1. Selanjutnya, pada mulai tahun
inflasi karena kenaikan harga BBM tidak dapat
2009 parameter inflasi sedikit menguat dan menjadi
diantisipasi dengan peningkatan respon yang tinggi
stabil sampai triwulan 4 tahun 2010 pada nilai 0.32.
terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan pandangan
Tabel 4.2. Penurunan Respon bahwa kebijakan moneter tidak dapat berbuat banyak
Terhadap Inflasi pada Periode ITF
ketika inflasi didorong oleh permasalahan di sisi
Periode Nilai Parameter Infasi (α)
2007-1 0.398497
supply seperti permasalahan lonjakan harga energi
2007-2 0.388801
dan pangan seperti yang disampaikan Stiglitz (2008).
2007-3 0.376556 Kedua, terdapat indikasi bahwa respon terhadap
2007-4 0.376036 inflasi pada awal penerapan ITF yakni triwulan 4
2008-1 0.347434 tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 adalah
2008-2 0.300264 berlebihan (over shooting) jika dibandingkan dengan
2008-3 0.299199 tahun 2008 dan periode sesudahnya. Hal tersebut
dapat ditunjukkan seperti pada respon pada triwulan
Penurunan respon terhadap inflasi pada periode 4 tahun 2005 yang sebesar 0.5 adalah 1,5 kali lebih
pelaksanaan ITF ini sangat menarik. Pertama, hal besar dari respon terhadap inflasi pada tahun 2008
tersebut menunjukkan bahwa ITF tidak selalu dan periode sesudahnya yang menunjukkan nilai
berkorelasi dengan kenaikan respon terhadap inflasi.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 73
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan

parameter respon terhadap inflasi mulai stabil pada yakni dimulai pada pertengahan tahun 2008. Pada
kisaran 0.3. periode tersebut terlihat pada tabel respon terhadap
Tabel 4.3. Perbandingan Respon Terhadap Kenaikan BBM inflasi sedikit menurun pada triwulan 2 tahun 2008
Periode Nilai Parameter Infasi (α) yang turun 0.04 atau 11,5% lebih redah dari respon
2005-4 0.496192 pada triwulan 1 tahun 2008 seperti terlihat pada tabel
2008-3 0.299199 4.4. Respon tersebut kemudian relatif tidak berubah
Respon yang berlebihan terhadap inflasi pada pada triwulan 3 dan 4 tahun 2008 sebelum akhirnya
awal penerapan ITF tersebut dapat dipandang sebagai menguat lagi pada triwulan 1 tahun 2009.
masa pembelajaran bagi Bank Indonesia dalam Dari respon kebijakan moneter tersebut
menentukan besarnya respon yang paling tepat sepertinya terdapat upaya bank sentral untuk lebih
terhadap inflasi. Seiring dengan perjalanan ITF dari memberi toleransi terhadap inflasi dalam upaya
pengalaman yang diperoleh maka BI dapat mendorong output perekonomian. Namun, upaya
menemukan besaran respon yang tepat. Hal terlihat tersebut terlihat sangat lemah dengan perubahan
bahwa sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 respon yang kecil pada periode krisis. Hal tersebut
respon terhadap inflasi relatif tidak banyak berubah. sesuai dengan pernyataan Bank Indonesia dalam
Sementara dari sudut pandang lain seperti Laporan Kebiajkan Moneter yang menyebutkan
Harmanta (2009) memandang meningkatnya respon bahwa kebijakan suku bunga pada waktu itu tetap
terhadap inflasi selama penerapan ITF adalah untuk fokus untuk mengendalikan inflasi.
meningkatkan kredibilitas terhadap kebijakan Tabel 4.4. Respon Terhadap Inflasi
moneter. Mungkin ini juga yang menyebabkan pada Krisis Keuangan Global 2008
Periode Nilai Parameter Infasi (α)
kenaikan respon yang sangat besar pada tahun 2005
2008-1 0.347434
karena untuk menjaga kredibilitas kebijakan moneter 2008-2 0.300264
dengan ITF yang baru saja diimplementasikan secara 2008-3 0.299199
penuh pada tahun itu. 2008-4 0.306008
Namun demikian, fitur terpenting ITF 2009-1 0.336825
sebagaimana disampaikan Bernanke Miskhin (1997) Kondisi di atas sepertinya mengarahkan kepada
adalah pada komunikasi dan akuntabilitas kebijakan. temuan bahwa Bank Indonesia dalam krisis keuangan
Dengan dua hal inilah semestinya kredibilitas global tidak memberikan respon yang memadai untuk
kebijakan moneter dengan ITF dapat dicapai tanpa mendorong perekonomian yang sedang dilanda krisis.
harus selalu diiringi dengan peningkatan respon Namun, kesimpulan tersebut perlu dikaji seksama
terhadap inflasi yang akan mengganggu pencapaian karena pada saat krisis keuangan global tahun 2008
kinerja perekonomian seperti tingkat pertumbuhan Bank Indoensia mengeluarkan serangkaian kebijakan
ekonomi. Turunnya respon terhadap inflasi pada yang bersifat ekspansif seperti penurunan giro wajib
tahun 2007 sampai dengan 2010 yang tidak minimum dan pembelian secara gadai surat utang
berdampak banyak terhadap pencapaian target inflasi pemerintah dari pasar.
menjadi temuan yang menguatkan hal tersebut. Dan
itulah juga yang terjadi pada beberapa negara ITF 4.3.2. Analisis Respon Kebijakan Moneter terhadap
yang diteliti oleh Creel dan Hubert (2010) yang justru Output Gap
menunjukkan penurunan respon terhadap inflasi Berdasarkan hasil pengolahan data respon
setelah pelaksanaan ITF. Maka hasil ini sekaligus juga terhadap output gap bernilai negatif tetapi hasilnya
membantah kesimpulan Ramayandi (2010) yang tidak signifikan yang artinya data tidak menolak
menyatakan bahwa penurunan respon kebijakan bahwa parameter output gap sama dengan 0. Hasil ini
moneter sejak tahun 2007 adalah bentuk menunjukkan bahwa dalam periode sampel yang
ketidakdisiplinan kebijakan moneter. diteliti terlihat Bank Indonesia tidak memberi respon
yang signifikan dan konsisten terhadap output gap.
e. Respon Kebijakan Moneter Terhadap Krisis
Keuangan Global 4.4. Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Dalam periode penerapan ITF terjadi krisis Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan
keuangan global pada tahun 2008-2009. Indonesia kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
mendapatkan juga dampak krisis tersebut melalui Harmanta (2009) yang menggunakan pendekatan
jalur perdagangan dan arus modal. Dari jalur split sampel. Dalam penelitiannya Harmanta mencatat
perdagangan menurunnya permintaan dari negara terjadi kenaikan respon terhadap inflasi pada periode
tujuan ekspor berakibat kepada turunnya ekpsor. setelah penerapan ITF tahun 2005 triwulan ke 3 –
Sedangkan dari arus modal terjadi flight to quality 2009 jika dibandingkan dengan periode tahun
yaitu keluarnya dana asing dari negara berkembang sebelum penerapan ITF. Harmanta kemudian
termasuk Indonesia ke negara maju yang juga sedang mencatat bahwa kenaikan respon tersebut
mengalami permasalahan likuiditas akibat krisis. mendorong naiknya kredibilitas kebijakan moneter.
Respon kebijakan moneter dalam menentukan Sementara penurunan respon terhadap inflasi
suku bunga kebijakan pada saat krisis keuangan yang berdasarkan penelitian ini terjadi mulai triwulan
global terjadi tercermin dalam parameter respon pertama tahun 2007 juga menjadi temuan penelitian
kebijakan moneter pada periode terjadinya krisis Ramayandi (2010). Hanya Ramayandi
74 Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan
menemukannya terjadi pada triwulan kedua tahun moneter terhadap inflasi lebih tinggi dari periode
2007. Atas penurunan respon tersebut Ramayandi sebelum penerapan ITF.
menyebutnya sebagai ketidakdisiplinan kebijakan Dari temuan penelitian juga dapat disimpulkan
moneter. bahwa penerapan ITF di Indonesia lebih bersifat
diskresi daripada sebuah rule dalam menentukan
5. KESIMPULAN suku bunga acuan berdasarkan inflasi dan output gap.
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah Hal tersebut ditunjukkan dengan parameter respon
dilakukan maka pada periode sampel data maka dapat terhadap inflasi yang berfluktuasi sepanjang periode
ditemukan hal-hal sebagai berikut: penerapan ITF. Sementara pendekatan rule akan
a. Penerapan ITF telah menyebabkan perubahan menghasilkan parameter yang bersifat konstan dari
respon kebijakan moneter di Indonesia. Dua waktu ke waktu.
metode yang digunakan memberikan hasil Dari event study yang dilakukan maka sebagai
kesimpulan yang sama terhadap adanya bahan evaluasi maka respon pada awal penerapan ITF
perubahan respon kebijakan moneter dan saat yang terkait dengan kenaikan harga BBM dapat dinilai
terjadinya yang diduga terkait dengan penerapan berlebihan (over shooting) jika dibandingkan dengan
ITF. tahun 2008. Inflasi karena kenaikan harga BBM tidak
b. Terdapat jeda waktu satu triwulan antara dapat diantisipasi dengan peningkatan respon yang
penerapan ITF dengan perubahan respon tinggi terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan
kebijakan moneter. Perubahan respon kebijakan pandangan bahwa kebijakan moneter tidak dapat
moneter dimulai pada triwulan 4 tahun 2005 berbuat banyak ketika inflasi didorong oleh
sedangkan ITF dimulai pada bulan Juli 2005 atau permasalahan di sisi supply. Sedangkan dari periode
pada triwulan 3 tahun 2005. krisis keuangan global tidak ditemukan antisipasi
c. Penerapan ITF di Indonesia ditandai dengan respon kebijakan moneter terhadap krisis dari model
kenaikan tajam respon terhadap Inflasi. yang digunakan.
Peningkatan respon tersebut terjadi mulai
triwulan 4 tahun 2005 atau satu triwulan setelah 6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
penerapan ITF yang mulai berlaku Juli tahun 2005. Dari hasil kesimpulan dalam penelitian ini maka
d. Respon terhadap inflasi kemudian menurun pada terdapat beberapa saran yang perlu dipertimbangkan
tahun 2007 dan mencapai level terendah pada antara lain:
tahun 2008. a. ITF sebagai kerangka kebijakan moneter yang
e. Terdapat perbedaan respon terhadap inflasi akibat cukup luwes perlu untuk dipertahankan dan
kenaikan BBM pada periode saat ITF diterapkan ditingkatkan efektifitasnya.
yakni tahun 2005 dan 2008. Respon terhadap b. Perlunya upaya terus menerus untuk
inflasi pada tahun 2005 jauh 1,5 kali lebih tinggi meningkatkan kredibilitas kebijakan melalui fitur
dari tahun 2008. terpenting dalam pelaksanaan ITF yaitu
f. Pada saat krisis keuangan global yang dampaknya komunikasi dan transparansi kebijakan moneter.
mulai dirasakan tahun 2008, respon terhadap c. Seiring dengan peningkatan kredibilitas kebijakan
inflasi relatif tidak mengalami perubahan. Bank moneter maka respon BI rate terhadap inflasi di
Indonesia dalam kebijakan suku bunga tetap fokus masa yang akan datang dapat terus diturunkan
untuk mengarah pada pencapaian target inflasi. sehingga diharapkan akan lebih mendorong
Antisipasi terhadap krisis dilakukan melalui terciptanya iklim yang kondusif bagi pencapaian
instrumen lain seperti penurunan Giro Wajib output perekonomian.
Minimum dan fasilitas gadai (Repurchase d. Dalam hal inflasi yang terjadi karena adanya shock
Agreement) surat berharga. di sisi supply seperti dari kenaikan harga minyak
g. Dalam hal inflasi yang terjadi karena adanya shock maka peningkatan respon moneter dengan
di sisi supply seperti dari kenaikan harga minyak menaikkan BI rate perlu dipertimbangkan kembali
maka peningkatan respon moneter dengan mengingat langkah tersebut terindikasi kurang
menaikkan BI rate terindikasi kurang efektif dalam efektif.
menjaga inflasi sesuai dengan target inflasi. e. Respon kebijakan moneter terhadap output perlu
h. Dalam periode penerapan ITF kebijakan moneter untuk ditingkatkan dalam batas tertentu yang
dalam menentukan suku bunga kebijakan tidak tidak mengorbankan tujuan pencapaian target
responsif terhadap permasalahan output gap. inflasi seperti pada saat krisis dimana
Berdasarkan temuan di atas maka dapat pertumbuhan output mengalami perlambatan.
disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan respon Untuk penelitian ke depan terkait dengan tema
kebijakan moneter setelah penerapan ITF. penelitian dan metodologi yang digunakan dalam
Respon terhadap inflasi selama periode ITF penelitian ini maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
menunjukkan perubahan yang bertahap diawali berikut:
dengan kenaikan yang cukup besar kemudian diikuti a. Untuk meneliti perubahan struktur model
penurunan respon yang kemudian menjadi stabil disarankan menggunakan model multivariate yang
dalam tiga tahun terakhir. Secara keseluruhan maka digunakan oleh Qu dan Perron (2007). Metode
pada periode setelah penerapan ITF respon kebijakan CUSUM memiliki kelemahan yaitu berkurangnya

Jurnal BPPK Volume 5, 2012 75


INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
Arif Setiawan

sensitivitas untuk mendeteksi perubahan struktur Gujarati D N, Basic Econometrics 4th Edition, McGraw
model dalam periode observasi data yang lebih Hill, 2003.
panjang (Beck,1983). Galbraith J D, The inflation Obsession : Flying in the
b. Perlu diperhatikan penggunaan initial value face of the facts, http://www.foreignaffairs.com,
parameter dan covariance parameter dalam 1997
penggunaan Kalman Filter untuk mendapatkan Hamilton J D, State Space Model, Hand Book of
hasil penelitian yang valid. Perbandingan hasil Econometrics Vol 4 1994
dapat dilakukan berdasarkan initial parameter dan Harmanta, Kredibilitas Kebijakan Moneter dan
covariance parameter yang berbeda untuk menguji Dampaknya Terhadap Persistensi Inflasi dan
bahwa hasil yang diperoleh tidak bergantung pada Strategi Disinflasi di Indonesia, Disertasi FE UI
initial value sebagaimana dilakukan oleh Creel dan 2009
Hubert (2009). Kydland E F, Prescott C E. Rules Rather than
c. Untuk mendapatkan data output gap versi Bank Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans,
Indonesia maka dapat dipertimbangkan untuk The Journal of Political Economy, Vol. 85, No. 3.
menggunakan model multivariate seperti yang (Jun., 1977), pp. 473-492
dikembangkan oleh Tjahjono (2010). Muslimin A, Chawwa T. Analisis Ekspektasi Inflasi
Indonesia pasca ITF. Working Paper BI, 2008
DAFTAR PUSTAKA Orphanides A. Monetary Policy Rules Macroeconomic
Alamsyah H, Joseph C, Agung J, Zulverdy D, Towards Stability and Inflation: A view from the trenches
Implementation Of Inflation Targeting In Journal of Money, Credit and Banking, 2003
Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Qu, Z. Perron P, Estimating and Testing Multiple
Studies, Vol. 37, No. 3, 2001: 309–24 Structural Changes in Multivariate Regressions,
Baxa J, Horvath R, Vasicek B. How Does Monetary Econometrica, 75, 459-502. 2007
Policy Change? Evidence on Inflation Targeting Ramayandi A, Approximating Monetary Policy: Case
Countries.2010 Study for the ASEAN-5 Center for Economics and
Bernanke Ben, Mishkin Frederic S, Inflation Targeting Development Studies, 2007
A New Framework for Monetary Policy, NBER Ramayandi A, Rosario A, Monetary Policy Discipline
No5893, 1997 and Macroeconomic Performance: The Case of
Blanchard O, Macroeconomics 5th Edition, Pearson Indonesia ADB Economics Working Paper Series
Edcation, 2009 No. 238 2010
Boivin J, Has US Monetary Changed? Evidence from Stiglitz J E, The Failure of Inflation Targeting
Drifting Coefficients and Real-Time Data, Journal http://www.project-syndicate.org 2008
of Money, Credit and Banking 2006 Taylor J B, Discretion versus Policy Rules in Practice,’’
Beck Nathaniel, Time Varying Parameter Regresson Carnegie-Rochester Series on
Models, American Journal of Political Science, Vol Public Policy, XXXIX, 1993
27, 1983 Tjahjono E D, Munandar H, Waluyo J. Revisiting
Clarida R, Gali J, Gertler M, Monetary Policy Rules and Estimasi Potential Output dan Output Gap
Macroeconomic Stability: Evidence and some Indonesia: Pendekatan Fungsi Produksi berbasis
Theory The Quarterly Journal of Economics, Model. Working Paper BI, 2010
February 2000 Walsh C E, Inflation Targeting: What have we learned
Creel J, Hubert P, Has Inflation Targeting Changed the International Finance 12:2, 2009
Conduct of Monetary Policy? OFCE Sciences Po, Welch, G, Bishop, G, An introduction to the Kalman
2010 Filter, 2001
Friedman B, Why The Federal Reserve Should not
Adopting ITF? 2004
Guo Lei. Estimating Time Varying Parameter Kalman
Filter Based Algorithm Stability and
Convergence. IEEE Transaction and automatic
control vol 35 1990

76 Jurnal BPPK Volume 5, 2012

Anda mungkin juga menyukai