ExSum - Child Marriage - Bahasa - FINAL
ExSum - Child Marriage - Bahasa - FINAL
Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Sekitar 650 juta anak perempuan dan perempuan yang hidup hari ini menikah
sebelum usia 18 tahun, dan jika tidak ada percepatan upaya pencegahan, maka
150 juta anak perempuan akan dinikahkan pada tahun 2030 mendatang
(UNICEF 2019).
Beberapa tahun terakhir ini, perkawinan anak telah menjadi fokus kebijakan publik
Indonesia. Pada September 2019, DPR secara bulat menyepakati untuk meningkatkan usia
legal pernikahan bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, sehingga setara dengan usia legal
pernikahan bagi laki-laki (DPR, 2019). Penurunan angka perkawinan anak juga telah
dijadikan salah satu sasaran RPJMN 2020-2024, dan Strategi Nasional Pencegahan
Perkawinan Anak telah disusun untuk mendukung tujuan-tujuan tegas yang telah ditetapkan.
Perubahan-perubahan ini berpotensi menjadi kabar baik bagi anak Indonesia saat ini dan di
masa depan, namun undang-undang ini belum dilaksanakan di seluruh Indonesia. Tujuan
laporan ini adalah mendokumentasikan konsekuensi perkawinan anak bagi anak perempuan
dan laki-laki Indonesia - ketika mereka tumbuh dewasa, dan juga bagi rumah tangga dan
anak-anak mereka - agar dapat berkontribusi untuk lebih memahami dampak perkawinan
anak dan manfaat penerapan kebijakan untuk membantu mengurangi prevalensi dan
konsekuensinya.
Di sini kami memaparkan kajian tentang apa yang diketahui sebagai pendorong dan
konsekuensi perkawinan anak di Indonesia dan di seluruh dunia, lalu memaparkan analisis
data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS). IFLS adalah sebuah survei sosial-ekonomi
dan kesehatan longitudinal dan mendalam yang memungkinkan kita mengikuti kehidupan
perempuan dan laki-laki yang menjadi sampel yang menikah di usia muda, serta melaporkan
konsekuensinya pada aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan mereka maupun anak-anak
mereka.
Perkawinan anak sangat berdampak pada pengalaman kehamilan dan melahirkan perempuan
serta kesehatan anak mereka. Perkawinan anak mengakibatkan perempuan memiliki anak
pertamanya tiga tahun lebih awal dibandingkan perempuan lainnya. Hal ini menyebabkan
mereka lebih banyak mengalami kehamilan dan memiliki anak. Perkawinan anak mengurangi
perawatan yang diterima perempuan saat hamil, mengurangi peluang perempuan
mendapatkan proses melahirkan yang didampingi tenaga kesehatan, dan meningkatkan
kemungkinan meninggalnya bayi sebelum usia 1 tahun. Angka kematian anak di bawah 5
tahun juga meningkat.
Anak-anak yang tetap bertahan berpeluang besar mengalami stunting (tinggi rendah
berbanding usia), yang diketahui juga terkait dengan berbagai masalah kesehatan lain ketika
usia dewasa. Anak-anak ini juga mendapatkan nilai lebih rendah dalam tes kemampuan
kognitif. Anak laki-laki dan perempuan memperoleh tingkat pendidikan rata-rata yang lebih
rendah, meskipun belum jelas apakah efek ini adalah sebab-akibat atau bukan. Mereka
berpeluang lebih rendah memperoleh akta kelahiran yang dibutuhkan untuk mengakses
layanan publik tertentu.
Laki-laki dan perempuan yang menikah di usia anak menyatakan kesejahteraan dan kepuasan
hidup keseluruhan yang lebih rendah.
Pernikahan antara anak perempuan dengan anak laki-laki (seringkali akibat tekanan orang
tua) tampak menambah beban bagi pasangan yang berjuang untuk membiayai keluarga muda
mereka dengan pendidikan yang rendah. Namun, pernikahan ini tampak lebih bahagia karena
pasangan pada pernikahan ini cenderung lebih sedikit bercerai dibandingkan pasangan anak
perempuan yang menikah dengan pria yang lebih tua.
Ini berarti bahwa selain perubahan legislatif, kebijakan yang membantu keluarga unuk
mendukung anak muda mereka juga akan dibutuhkan.
Meningkatkan akses kepada pendidikan dan pelatihan
Keputusan terkait perkawinan anak dan pendidikan sangat saling terkait, mengingat biasanya
anak-anak berhenti dari sekolah ketika menikah. Mengurangi biaya pendidikan yang
ditanggung orang tua berpotensi menunda usia perkawinan, karena orang tua akan lebih
cenderung terus menyekolahkan anaknya (perempuan maupun laki-laki) alih-alih
menikahkannya. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan keluarga untuk
mengakses pendidikan, dan secara fisik dengan pembangunan sekolah dan/atau mengurangi
biaya pendidikan.
Insentif Finansial
Berbagai program yang telah memberikan insentif ekonomi bagi keluarga, dengan syarat
menunda menikahkan anak perempuan mereka hingga mencapai usia legal minimal, terbukti
berhasil menunda usia perkawinan dan meningkatkan pencapaian pendidikan. Sementara
bantuan langsung tunai yang diberikan dengan syarat kehadiran sekolah (seperti PKH)
meningkatkan pencapaian pendidikan, namun tidak efektif menunda perkawinan anak.
Pemerintah memiliki berbagai alat untuk mengurangi prevalensi perkawinan anak dan
konsekuensinya. Membuat produk legislasi terkait perkawinan anak adalah awal yang baik,
namun akan lebih efektif jika dilengkapi dengan kebijakan yang mendampingi keluarga
untuk mendidik, alih-alih menikahkan, anak perempuan dan laki-laki mereka. Kebijakan
untuk menurunkan perkawinan anak harus mempertimbangkan peran ekonomi dalam
perkawinan dan peran penting dari norma budaya. Kampanye informasi sangat penting untuk
mencapai keberhasilan. Kesadaran masyarakat yang lebih besar terkait konsekuensi dan
biaya, khususnya biaya jangka panjang perkawinan anak adalah komponen kunci dan
diperlukan dalam setiap upaya untuk mengubah norma budaya terkait perkawinan, demi
kebaikan individu, keluarga, maupun masyarakat itu sendiri.