FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2010
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat ini istilah remaja (adolescent) mempunyai arti yang luas mencakup
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut Piaget dalam Hurlock (1980)
masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa.
Usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia tiga belas tahun sampai usia enam
belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau
sampai delapan belas tahun. Selama rentang umur ini, terjadi beberapa perubahan
penting pada remaja dalam sikap dan perilaku. Tidak jarang pada masa ini, remaja
mulai mempunyai masalah-masalahnya sendiri. Permasalahan ini bisa berasal dari
minat-minat sosial yang timbul pada rentang waktu ini. Salah satu minat sosial yang
umum pada remaja yang dapat menimbulkan masalah adalah perilaku merokok pada
remaja.
Data tahun 2004 menunjukkan bahwa jumlah perokok remaja sebesar 0,45%.
Tahun 2008, peningkatan jumlah perokok remaja mengalami peningkatan hingga 2%.
Tidak berbeda jauh dengan data yang diberikan oleh Komunikasi Pembinaan dan
Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI), diperkirakan dari 70 juta anak Indonesia,
37% atau 25,9 juta anak diantaranya merokok. Jumlah itu menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia berdasarkan penelitian Global Youth
Tobacco (Nusantaranews.wordpress.com). Menurut survei di beberapa SMP di Jakarta,
setiap siswa di sekolahnya mulai mengenal bahkan mencoba merokok dengan
presentase 40% sebagai perokok aktif yang terdiri atas 35% putra dan 5% putri. Dan
berdasarkan pemantauan lanjutan dari para pelajar yang merokok itu sebanyak 25%
Drop Out. Diperoleh dari hasil angket Yayasan Jantung Indonesia, sebanyak 77% siswa
merokok karena diajak teman (www.bahayamerokok.net).
Perilaku merokok pada remaja ini merupakan perilaku yang timbul akibat dari
upaya remaja untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok sebaya. Hal ini
sesuai dengan studi Mirnet (Tuakli dkk, 1990 dalam Nasution, 2007) yang menemukan
bahwa perilaku merokok diawali oleh rasa ingin tahu dan pengaruh teman sebaya dan
mulai merokok terjadi akibat pengaruh lingkungan sosial (Smet, 1994). Hurlock (1980),
mengungkapkan bahwa perilaku merokok bisa dimulai pada saat anak mulai duduk
dibangku SMP tingkat pertama, sedangkan Sarafino (1994), mengungkapkan bahwa di
Amerika Serikat remaja mulai mengenal rokok pada saat mereka berusia 11 tahun.
Idealnya, remaja tidak merokok. Bahaya merokok bagi remaja diantaranya dapat
meningkatkan resiko kanker paru-paru dan penyakit jantung di usia yang masih muda.
Selain itu kesehatan kulit tiga kali lipat lebih beresiko terdapat keriput di sekitar mata
dan mulut. Kulit akan menua sebelum waktunya atau biasa disebut penuaan dini. Dari
segi reproduksi, merokok di usia dini bisa menyebabkan impotensi dan mengurangi
jumlah sperma pada pria dan mengurangi tingkat kesuburan pada wanita.
(www.bahayamerokok.net)
Meskipun remaja mengetahui bahwa kebiasaan merokok adalah kebiasaan buruk
dan mempengaruhi kesehatan manusia namun remaja merasa lebih penting untuk
diterima oleh kelompok sebayanya. Konformitas terhadap perilaku merokok pada
remaja terkait juga dengan proses perkembangan kepribadian dan sosial yang terjadi
pada masa remaja awal, perhatian yang berkembang pada masa remaja adalah apa yang
menurut mereka benar pada simbol status (Hurlock, 1980).
Simbol status yang sering digunakan oleh remaja adalah rasa ingin dianggap
sebagai orang yang dewasa. Untuk memperoleh pengakuan ini seorang remaja akan
melakukan hal-hal yang mereka anggap lazim dilakukan oleh orang dewasa dan bila
saatnya bagi mereka untuk memungkinkan hal ini. Hurlock (1980) menyebutnya dengan
taboo pleasure atau kesenangan yang ditabukan, yaitu bentuk-bentuk perilaku yang
dianggap tabu untuk dilakukan remaja, karena mereka masih terlalu muda. Contoh-
contoh taboo pleasure antara lain perilaku sex premarital, minum-minuman keras,
merokok, serta berbagai jenis obat-obatan terlarang. Saat ini perilaku yang banyak
dilakukan kelompok remaja, dimana rata-rata usia mereka sekitar tiga belas sampai
dengan sembilan belas tahun, salah satunya adalah perilaku merokok, terutama pada
saat mereka sedang berkumpul bersama teman-temannya.
Banyak kasus remaja yang merokok disebabkan karena remaja itu tidak
memiliki kemampuan untuk menolak secara tegas ajakan teman mereka yang merokok
sehingga menyebabkan mereka terpengaruh dan mencobanya. Penelitian yang
dilakukan oleh Family & consumer di Ohio, AS (Marini dan Andriani, 2005),
menunjukkan bahwa kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, napza, serta hubungan
seksual berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk berperilaku asertif (Marini dan
Andriani, 2005). Maka dari itu, kemampuan untuk berperilaku asertif sangat dibutuhkan
untuk menghindari dan menanggulangi kebiasaan ini. Karena pada diri seorang remaja
perilaku asertif merupakan salah satu cara untuk mencegah agar tidak terpengaruh oleh
kebiasaan merokok teman-teman mereka. Hal inilah yang menjadi landasan bagi kami
untuk merancang pelatihan asertivitas bagi remaja. Sasaran pelatihan ini adalah siswa
SMP yang berada pada masa remaja awal yaitu usia 12-15 tahun (Monks,1999).
Pelatihan asertivitas ini terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama adalah introduction.
Kemudian dilanjutkan dengan sesi pelatihan komponen verbal dan non verbal, sesi
kognitif, dan sesi emosional. Sesi yang akan kami kembangkan lebih lanjut adalah sesi
pelatihan yang mencakup komponen verbal dan non verbal. Alasan memilih sesi
komponen verbal dan non verbal adalah komponen ini lebih dapat menggambarkan diri
seseorang baik itu pikiran ataupun perasaan. Komponen non verbal (seperti:
gesture,posture) dan verbal (pemilihan kata) yang tepat dapat menghindari besarnya
kesalahan interpretasi dalam berkomunikasi sehingga dapat tercapainya perilaku yang
asertif (Bishop, 2000). Sesi ini ditujukan untuk merubah tingkah laku peserta, dari yang
tidak mampu berkomunikasi secara asertif menjadi mampu berkomunikasi secara
asertif.
BAB II
TEORI
A. Perilaku Asertif
Definisi Konseptual
Burley dan Allen (1983), mendefinisikan bahwa asertivitas adalah suatu
pendekatan untuk berinteraksi dengan orang lain secara aktif dan inisiatif, peduli,
menekankan aspek positif pada diri sendiri dan orang lain; mengekspresikan diri
melalui hak-hak dasar tanpa menyangkal hak-hak orang lain dan tanpa mengalami
kecemasan atau perasaan bersalah. Asertif adalah suatu sikap tidak menghakimi dengan
menhindari penggunaan label, stereotip, prasangka, dan mengkomunikasikan keinginan,
rasa tidak suka dan perasaan dengan cara yang jelas, langsung, dan tidak bersifat
mengancam.
Komponen Perilaku Asertif
Menurut Burley dan Allen (1983) perilaku asertif terdiri dari empat komponen
yaitu:
1. Komponen verbal
Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang menunjukkan perasaan
inidividu yang sebenarnya dan membuat orang nyaman. Kata-kata yang
digunakan juga tidak menyudutkan orang lain karena tidak terdapat penilaian
atau pemberian label pada orang lain. Kata- kata yang menyudutkan orang lain
adalah “ kamu seharusnya...”, “kamu telah melakukan kesalahan”, atau “kamu
selalu saja…”
2. Komponen Kognitif
Komponen kignitif berkaitan dengan apa yang dialami individu secara
internal, mencakup semua hal yang mengganggu perilaku individu untuk
menuju perilaku yang diiinginkan. Perilaku asertif didasari oleh penilaian
positif hal-hal yang terjadi pada diri mereka, sehingga konsep diri orang yang
asertif cenderung positif.
3. Kompenen Emosional
Komponen emosional yang mencakup tingkat emosional yang diekspresikan,
volume suara dan intonasi. Penting bagi individu untuk mengungkapkan pesan
dan tingkat emosional yang situasinya sesuai karena nada suara memainkan
peranan penting bagaimana pesan diterima oleh orang lain.
4. Komponen Non Verbal
Perilaku non verbal pada perilaku asertif terdiri dari gerakan non verbal yang
diekspresikan, misalnya kontak mata individu yang asertif diarahkan pada
lawan bicaranya; ekspresi muka yang asertif yang sesuai dengan apa yang
dirasakanya, misalnya, individu yang asertif tidak tersenyum ketika marah;
gerak isyarat menentukan perilaku yang ditampilkan; bahasa tubuh individu
yang asertif rileks dan tidak kaku; kecepatan bicara individu yang asertif
adalah moderat dan normal; pengaturan waktu. Individu yang asertif
mempertimbangkan waktu yang tepat dalam mengungkapkan perasaan dan
pikiran mereka; jarak, dimana individu yang asertif tidak mengambil jarak
ketika berinteraksi dengan orang lain; kelancaran dan isi.
Concrete experience
Concrete experience adalah suatu proses pemberian kegiatan yang sengaja
dirancang untuk memberikan pengalaman nyata kepada peserta pelatihan agar peserta
dapat merasakan sendiri apa yang terjadi pada dirinya ketika ia mengikuti kegiatan
tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk melatih peserta dalam mengkomunikasikan
persaan atau keinginan yang dirasakan dalam situasi yang berbeda-beda. Pada sesi ini
metode yang digunakan dalam CE adalah metode role play. Waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan kegiatan ini adalah 50 menit. Jumlah peserta yang terlibat adalah 20
orang. Kemudian peserta dibagi menjadi ke dalam empat kelompok kecil oleh pemandu.
Caranya adalah setiap peserta diminta untuk memilih satu kertas bergambar. Lalu
peserta diinstruksikan untuk mencari peserta lain yang memiliki kertas bergambar yang
sama. Kemudian setelah terkumpul lima peserta dalam setiap kelompok, setiap
kelompok akan didampingi oleh seorang fasilitator.
Sesi pemanduan ini akan dilakukan dalam ruangan tertutup (indoor). Setting ini
dipilih dengan alasan agar pemberian kegiatan dapat berjalan lebih efektif dengan
menghindari kebisingan, agar kegiatan yang berlangsung dapat lebih terkontrol dengan
menghindari pengaruh faktor cuaca yang mungkin saja dapat menghambat berjalannya
pemanduan, dan dalam sesi concrete experience (CE) tidak terdapat kegiatan yang
memerlukan ruang untuk bergerak bebas. Sesi pemanduan ini memerlukan ruangan
berukuran 6 x 7 meter. Dengan pertimbangan besar ruangan disesuaikan dengan jumlah
peserta pada pelatihan ini yaitu 20 orang. Dengan setting ruangan diatur seperti gambar
di bawah ini :
pemandu
fasilitato fasilitato
r r
fasilitato fasilitato
r r
Pada kertas bergambar yang telah diambil setiap peserta, terdapat skenario yang
berisi gambaran mengenai situasi yang akan diperankan oleh setiap peserta di dalam
kelompoknya. Dalam satu kelompok, setiap peserta mendapatkan skenario yang
berbeda-beda.
Cara pelaksanaan kegiatan ini adalah dalam setiap kelompok, fasilitator akan
menentukan giliran peserta untuk tampil memainkan peran di depan kelompok. Di
setiap kelompok, masing-masing fasilitator bertugas untuk menjadi lawan main atau
stimulator bagi peserta. Ketika seorang peserta memainkan peran bersama fasilitator,
peserta lain dikelompok tersebut memperhatikan mereka berdua.
Skenario CE
Dibawah ini terdapat beberapa situasi dimana saudara harus menolak permintaan
seseorang dalam berbagai situasi. Saudara diminta menolak dengan asertif.
1. Situasi 1
2. Situasi 2
3. Situasi 3
Hari ini sedang berlangsung konser group band musik yang terkenal di
salah satu pusat perbelanjaan di kota Anda. Kebetulan Anda memang menyukai
group band tersebut dan ingin menonton konsernya. Tapi di sisi lain, di sekolah
sedang ada ulang harian Biologi. Sahabat-sahabat Anda bermaksud untuk bolos
sekolah dan menonton konser. Sebagai sahabat yang selalu bersama, mereka
tentu mengajak Anda untuk bolos sekolah pada hari itu demi menonton konser
group band kesukaan kalian. Sebenarnya di dalam hati anda, anda tidak ingin
membolos karena Anda ingin mengikuti ulangan harian Biologi. Menurut Anda,
mengikuti ulangan lebih penting daripada menonton konser sekalipun konser
dari group band kesukaan Anda.
4. Situasi 4
5. Situasi 5
Reflective Observation
RO merupakan proses mengamati dan merefleksikan “pengalaman nyata” yang
baru saja dilalui dalam kegiatan sebelumnya atau CE. RO diperlukan untuk menggali
fakta atau data atau informasi spesifik yang dialami oleh masing-masing peserta.
Pada sesi ini diharapkan pemandu dapat menggali insight dari peserta
berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya. Bentuk kegiatan RO yang akan
dilakukan adalah diskusi dalam kelompok kecil.
Setelah semua peserta di setiap kelompok memainkan perannya bersama
fasilitator, seluruh peserta akan dikumpulkan untuk melakukan diskusi dalam kelompok
kecil. Peserta membentuk kelompok berisi empat orang yang mendapatkan skenario
yang sama ketika role play. Kemudian pemandu menginstruksikan para peserta untuk
mendiskusikan pengalaman mereka pada kegiatan role play. Mereka diminta
menceritakan perasaan, kesulitan, kelebihan dan kekurangan mereka ketika memainkan
peran.
Diskusi dalam kelompok kecil ini dilakukan selama 15 menit. Setelah itu,
selama 15 menit pemandu meminta satu orang perwakilan dalam tiap kelompok untuk
menceritakan hasil diskusi.
DAFTAR PUSTAKA