Anda di halaman 1dari 91

R.L.

Stine

Hantu Auditorium

(Goosebumps # 24)

SINAR... TIRAI... HANTU...

Sahabat Brooke, Zeke, mendapat peran utama dalam lakon The Phantom, Sang
Hantu. Zeke sangat menghayati perannya. Dia suka memakai kostum hantunya,
dan menakuti-nakuti pemeran lainnya dengan berbagai cara. Brooke sampai
berpikir, kali ini Zeke benar-benar keterlaluan.

Tapi kemudian sesuatu yang menakutkan benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja


muncul pesan di tirai panggung: JANGAN GANGGU RUMAHKU! Lalu,
lampu panggung pun jatuh...

Siapakah yang berusaha menggagalkan pementasan ini?

Benarkah sang Hantu asli muncul kembali?

Goosebumps

Ya! Dijamin kalian pasti ber-goosebumps-ria alias merinding ketakutan kalau


membaca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah
horor yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya? Baca saja sendiri kalau
berani!!!

PT Gramedia Pustaka Utama

Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6

Jakarta 10270

Penerjemah: Hendarto Setiadi

Ebook by: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu


1

SEKOLAH kami dihuni hantu misterius.


Tak seorang pun pernah melihatnya. Tak seorang pun tahu di mana dia tinggal.

Tapi sudah lebih dari tujuh puluh tahun dia gentayangan di sekolah kami.

Sahabat karibku, Zeke, dan aku-lah yang menemukannya. Kami memergokinya


waktu kami sedang ikut sandiwara yang bercerita tentang hantu di sekolah.

Guru kami memang sempat cerita bahwa sandiwara itu dibayangi kutukan, tapi
kami tidak percaya. Kami pikir dia cuma bercanda.

Tapi waktu hantu itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, aku langsung tahu
guruku tidak bercanda. Cerita tentang kutukan itu memang benar. Seratus
persen benar.

Malam saat kami menemukan hantu itu adalah malam paling menakutkan dalam
hidup kami!

Tapi sebaiknya aku mulai dari awal saja.

Namaku Brooke Rodgers, dan aku duduk di kelas enam di Woods Mill Middle
School. Zeke Matthews sahabat karibku. Banyak anak cewek menganggap aneh
karena aku bersahabat dengan anak cowok, tapi aku tidak peduli. Zeke lebih
lucu dan lebih asyik diajak berteman daripada semua anak cewek yang kukenal.
Dia juga penggemar film horor, sama seperti aku.

Sudah sembilan tahun Zeke dan aku bersahabat. Dan masing-masing tahu
segala sesuatu tentang yang lainnya. Misalnya, aku tahu Zeke sampai sekarang
masih pakai piyama bergambar Kermit si Kodok.

Dia paling sebal kalau aku menceritakannya kepada orang lain. Mukanya selalu
jadi merah padam. Dan bintik-bintik di hidungnya jadi semakin kelihatan.

Zeke benci bintik-bintik itu hampir sama seperti aku benci kacamataku. Aku tak
habis pikir kenapa dia begitu ribut tentang bintik-bintik itu. Setelah beberapa
lama, kita sudah terbiasa sehingga tidak akan memperhatikannya lagi. Dan di
musim panas, waktu kulitnya jadi cokelat karena kena sinar matahari, bintik-
bmtik itu malah hilang sama sekali.

Coba kalau kacamataku juga bisa lenyap begitu saja. Gara-gara kacamata itu,
tampangku jadi kayak kutu buku. Tapi kalau aku tidak pakai kacamata, bisa-
bisa dinding di depan mata pun kutabrak!

Beberapa teman cewekku menganggap Zeke kece. Tapi aku tidak pernah
berpikir begitu. Mungkin karena aku sudah begitu lama bersahabat dengannya.
Tepatnya sejak ibuku dan ibunya berkenalan di tempat boling. Setelah
mengobrol ke sana ke mari, akhirnya ketahuan mereka tinggal di jalan yang
sama.

Ribut-ribut soal hantu itu dimulai hari Jumat, beberapa minggu lalu. Waktu itu
jam pelajaran sudah selesai, dan aku sedang berusaha membuka locker.
Kusibakkan rambutku menghadapi kunci kombinasi yang harus diputar-putar.
Kunci brengsek itu selalu macet, dan aku selalu uring-uringan karenanya.

Setelah gagal empat kali, akhirnya aku berhasil membuka locker-ku. Buku-
bukuku kulempar ke dalam, lalu pintunya kubanting keras-keras. Aku tidak mau
membawa pulang buku pelajaran selama akhir pekan. Pokoknya mulai detik ini
aku libur! Dua hari penuh tanpa sekolah.

Asyik.

Sebelum aku sempat menoleh, sebuah kepalan tangan melesat di samping


kupingku dan menghantam pintu locker. BANG!

"Wah, Brookie,” sebuah suara berseru di belakangku, “tidak ada PR untuk


minggu depan?"

Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa orangnya. Hanya ada satu orang di
seluruh dunia yang berani memanggilku Brookie.

Aku berbalik dan melihat Zeke cengar-cengir tak jelas. Rambut pirangnya yang
panjang di depan, dan pendek sekali - bahkan hampir botak - di belakang,
menutupi sebelah matanya.

Aku tersenyum, lalu menjulurkan lidah.

“Persis seperti anak kecil, Brookie,” Zeke bergumam.

Cepat-cepat aku melipat kelopak mataku ke atas supaya kelihatan seram. Aku
sering berbuat begitu untuk menakut-nakuti orang.
Tapi Zeke tidak bereaksi. Berkedip pun tidak. Dia sudah sering melihat trik itu.
“Kali ini tidak ada tugas apa-apa!” sahutku. “Aku benar-benar bebas.”
Tiba-tiba aku dapat ide bagus. “Eh, Zeke,” kataku, “barangkali Rich bisa
mengantar kita ke festival Creature besok?"

Aku sudah tak sabar menonton ketiga film Creature yang lagi diputar di
Cineplex. Salah satunya malah berupa film 3-D! Zeke dan aku sering nonton
film horor, sekadar untuk menertawakan bagian-bagian yang seram. Asal tahu
saja, kami ini bersaraf baja. Kami tidak kenal takut.

“Mungkin," balas Zeke sambil menyingkirkan rambut dari mukanya. “Tapi


Rich lagi dihukum. Dia tidak boleh pakai mobil selama satu minggu.”

Rich, abang Zeke. Dan sepertinya dia selalu dihukum oleh orangtuanya.

Zeke memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke kanan. “Sudahlah, Brooke,


jangan pikirkan festival Creature itu. Kita ada urusan yang lebih penting. Masa
sih kau lupa?"

Aku mengerutkan hidung. Lupa? Rasanya tidak ada apa-apa yang perlu diingat.
“Apa sih?" aku akhirnya bertanya.

“Aduh, Brookie! Coba ingat-ingat dulu!”

Aku benar-benar tidak tahu maksud Zeke. Aku mengikat rambutku dengan karet
rambut yang melingkar di pergelangan tanganku.

Aku selalu pakai karet rambut di pergelangan tangan. Kiri dan kanan. Karet
rambut selalu banyak gunanya.

“Ayo dong, Zeke. Aku tidak tahu,” ujarku sambil mengencangkan kuncir
“Jangan bikin aku penasaran."

Sekonyong-konyong aku ingat lagi, “Daftar pemain!” aku berseru sambil


menepuk kening. Kok aku bisa sampai lupa? Sudah dua minggu Zeke dan aku
menunggu untuk melihat apakah kami dapat peran dalam sandiwara sekolah.

“Ayo! Kita cari pengumumannya” Aku meraih lengan baju Zeke dan
menyeretnya ke auditorium.

Zeke dan aku sama-sama ikut tes. untuk sandiwara itu. Tahun lalu, kami dapat
peran figuran dalam sandiwara musikal Guys and Dolls. Ms. Walker, guru
kami, sudah bilang bahwa sandiwara tahun ini bakal seram.
Itulah yang ditunggu-tunggu oleh Zeke dan aku. Pokoknya, kami harus ikut
main dalam sandiwara itu!

Waktu kami sampai di auditorium ternyata sudah ada kerumunan murid di


depan papan pengumuman. Semuanya berebut membaca daftar pemain.

"Aku gugup sekali “Aku tidak berani lihat, Zeke” aku memekik. “Kau saja yang
lihat, oke?”

“Yeah, boleh sa -”

“Tunggu! Biar aku saja!” seruku lagi karena telah berubah pikiran. Aku sering
berubah-ubah pikiran. Dan Zeke selalu jengkel.

Aku menarik napas panjang lalu menerobos kerumunan orang. Sambil


menggigit kuku jempol kiri, aku menyilangkan jari tangan kanan dan
mengamati papan pengumuman.

Tapi waktu aku melihat yang tertulis di situ, hampir saja jempolku kugigit
sampai putus!

Di samping daftar pemain ada pengumuman lain:

Perhatian Brooke Rodgers: Harap

lapor ke kantor Mr. Levy. Kau

dikeluarkan dari Sekolah.

DIKELUARIKAN?

Aku sampai melongo.


Jangan-jangan Mr. Levy akhirnya tahu bahwa aku yang melepaskan tikus kecil
di ruang guru?

Dikeluarkan.

Aku langsung lemas. Orangtuaku pasti marah sekali.

Kemudian aku mendengar tawa cekikikan.

Kubalikkan tubuhku, dan kulihat Zeke terbahak-bahak. Anak-anak lain juga


ikut ketawa.

Dengan geram kupelototi Zeke. “Kau yang pasang pengumuman itu, ya?”

“Siapa lagi!” sahutnya, dan tawanya semakin keras.

Dia memang jail.

“Kaupikir aku percaya! Enak saja!” aku berbohong.

Aku kembali berpaling ke papan pengumuman untuk membaca daftar pemain.


Aku membacanya sampai tiga kali. Dan setelah ketiga kalinya, aku tetap tidak
percaya “Zeke!” aku berteriak untuk mengalahkan hiruk-pikuk di sekelilingku,
“Kau dan aku - kita jadi pemeran utama!"

Zeke terbengong-bengong. Kemudian dia menatapku sambil nyengir. “Mau


balas dendam nih?” dia bergumam.

“Aku serius! Kita dapat dua peran terbesar! Lihat saja sendiri kalau tidak
percaya! Kau dapat peran 'Si Hantu'!”

“Mana mungkin!” Zeke tetap tidak percaya.

“Dia benar, Zeke,’ ujar anak cewek di belakangku Tina Powell, anak kelas
tujuh, muncul di sampingku.

Dari dulu aku merasa bahwa Tina Powell tidak suka padaku. Aku tidak tahu
kenapa. Aku tidak seberapa mengenalnya. Tapi setiap kali ketemu aku, ia selalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sisa makanan tersangkut di celah
gigiku.

“Coba kulihat!” kata Zeke sambil mendesak semua orang. “Wow! Benar juga!
Aku dapat peran utama!”
“Aku jadi Esmerelda,” aku membaca. “Hmm, kira-kira siapa dia, ya? Hei,
mungkin dia ibu tiri si Hantu yang gila, atau istri tanpa kepala yang bangkit dari
kubur untuk—”

“Jangan mengkhayal, Brooke,” Tina memotong sambil mengerutkan kening.


“Esmerelda cuma putri pemilik sebuah gedung teater” Dia mengatakannya
seakan-akan Esmerelda cuma peran figuran.

“Oh, kau dapat peran apa, Tina?" tanyaku.

Tina langsung salah tingkah. Beberapa anak menoleh untuk mendengar


jawabannya.

“Aku cadangan!” dia bergumam sambil menunduk. “jadi kalau kau sakit atau
tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peran Esmerelda.

“Tapi aku juga bertugas mengatur dekorasi” dia langsung menambahkan.

Sebenamya aku ingin memberi komentar pedas, biar Tina tahu rasa, tapi
sayangnya tak ada ide yang melintas di benakku.

Aku bukan orang yang berlidah tajam, dan sulit bagiku untuk mencari kata-kata
yang nyelekit biarpun aku lagi sebal sama seseorang.

Karena itu aku memutuskan untuk tidak menggubris Tina. Aku terlalu gembira
mengetahui peran yang kudapat.

Aku memakai jaket jeans-ku, lalu memanggul ranselku “Ayo, Hantu," aku
berkata kepada Zeke “Kita harus mulai gentayangan."

***

Latihan sandiwara dimulai Senin sore Ms. Walker yang memimpin.

Dia berdiri di panggung auditorium, menatap kami semua sambil membawa


setumpuk naskah.

Rambut Ms. Walker ikal dan merah, dan matanya berwarna hijau. Dia kurus
sekali, sekurus tiang bendera. Sebenarnya sih, dia guru yang baik, hanya saja
agak terlalu disiplin.

Zeke dan aku duduk bersebelahan di baris ketiga. Aku memandang berkeliling
dan mengamati anak-anak yang lain. Semuanya asyik mengobrol. Semuanya
kelihatan bersemangat sekali.
“Sudah tahu sandiwara ini tentang apa?" tanya Corey Sklar. Dia berperan
sebagai ayahku. Maksudnya, ayah Esmerelda. Corey berambut cokelat, seperti
aku. Dan dia juga pakai kacamata. Mungkin karena itu kami dipasang sebagai
ayah dan anak.

“Belum,” sahutku sambil angkat bahu. “Belum ada yang tahu. Tapi katanya sih,
ceritanya seram.”

“Aku tahu!” Tina Powell berkata keras-keras.

Aku menoleh. “Tahu darimana kau?" tanyaku. “Ms. Walker kan belum
membagikan naskah.”

“Kakek buyutku bersekolah di Woods Mill Middle School dulu. Dia


menceritakan semuanya tentang The Phantom atau Sang Hantu,” Tina
membanggakan diri.

Aku baru mau bilang bahwa tak ada yang peduli tentang cerita kakek buyutnya,
tapi Tina keburu menambahkan, “Dia juga bercerita tentang kutukan yang
melekat pada sandiwara ini!”

Semua orang langsung terdiam. Termasuk aku.

Perhatian Ms. Walker pun beralih kepada Tina.

Zeke menyikut rusukku, dan matanya berbinar-binar. “Kutukan?” dia berbisik


dengan gembira. “Wow asyik!”

Aku mengangguk. “Yeah, asyik,” gumamku.

“Kakek buyutku menceritakan kisah seram tentang sandiwara ini,” lanjut Tina.
“Dan dia juga bercerita tentang hantu di sekolah kita. Hantu sungguhan yang -"

“Tina!” Ms. Walker memotong sambil melangkah maju. Dia menatap Tina
dengan tajam. “Saya rasa kisah itu tidak perlu diceritakan sekarang.”

“Hah? Kenapa tidak?” seruku.

“Yeah. Kenapa tidak?” Zeke menimpali.

“Saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita menakutkan
yang belum tentu benar,” Ms Walker berkata dengan tegas. "Hari ini saya akan
membagikan naskah, dan -”

“Ms. Walker tahu ceritanya?" tanya Tina.


“Ya, saya sudah mendengarnya," jawab Ms Walker “Tapi sebaiknya kausimpan
sendiri saja, Tina. Ceritanya sangat seram. Sangat menakutkan. Dan saya kira -”

“Cerita! Cerita! Cerita!” Zeke mulai berseru-seru.

Dan seketika kami semua menatap Ms. Walker sambil nyengir dan berseru-seru,
“Cerita! Cerita! Cerita!”

Kenapa Ms. Walker tidak ingin kami mendengar cerita itu aku bertanya-tanya.

Seberapa seram sih ceritanya?

“CERITA! Cerita! Cerita!” kami terus mendesak.

Ms. Walker mengangkat kedua tangannya supaya kami diam.

Tapi isyaratnya itu justru memancing kami untuk berseru-seru sambil


mengentak-entakkan kaki.

“Cerita! Cerita! Cerita!”

“Oke!” Ms. Walker akhirnya mengalah. “Oke, saya akan bercerita. Tapi ingat -
ini hanya cerita. Saya tidak mau kalau kalian sampai ketakutan.”

“Kami tidak takut!” balas Zeke.

Semuanya tertawa. Tapi aku menatap Ms. Walker. Sepertinya dia benar-benar
keberatan kami mendengar cerita itu. Aku mulai heran kenapa dia tidak mau
bercerita soal si Hantu.

“Cerita ini berawal tujuh puluh dua tahun lalu,” Ms. Walker mulai, “ketika
Woods Mill Middle School baru dibangun. Sepertinya kakek-buyut Tina jadi
murid di sini waktu itu.”
“Ya,” seru Tina, “kakek-buyut saya murid kelas pertama yang belajar di sini.
Katanya waktu itu di sekolah ini hanya ada 25 murid.”

Ms. Walker menyilangkan tangannya, lalu meneruskan ceritanya. “Para murid


ingin mementaskan sebuah sandiwara. Salah satu dari mereka bermain-main di
ruang bawah tanah Perpustakaan Old Woods Mill. Di sana dia menemukan
naskah sandiwara berjudul The Phantom .

"Sandiwara itu seram sekali, menceritakan tentang anak perempuan yang


diculik oleh hantu misterius. Anak laki-laki yang menemukan naskah tersebut
memperlihatkannya kepada gurunya. Dan gurunya menganggap sandiwara itu
menarik untuk ditampilkan. Mereka berniat membuat pertunjukan besar dengan
berbagai efek khusus yang menakutkan.”

Zeke dan aku berpandangan. Sandiwara itu pakai efek khusus! Kami tergila-gila
pada efek khusus!

“Latihan The Phantom pun dimulai,” Ms Walker melanjutkan. “Anak laki-laki


yang menemukan naskah di perpustakaan mendapat peran utama”

Semuanya menoleh ke arah Zeke Dia tersenyum lebar, seakan-akan ada yang
patut dibanggakannya.

“Setiap hari seusai sekolah mereka mengadakan latihan,” Ms. Walker


menjelaskan. "Dan semua orang merasa senang. Semuanya bekerja keras untuk
menyukseskan sandiwara itu. Semuanya berjalan lancar, sampai - sampai -”

Ms. Walker berhenti bicara.

“Ayo dong, Ms. Walker” aku berseru keras-keras.

“Cerita! Cerita!” beberapa anak kembali mendesak Ms Walker.

“Saya minta kalian ingat ini hanya cerita,” Ms Walker menegaskan sekali lagi.
“Tidak ada bukti cerita ini benar-benar terjadi.”

Kami semua mengangguk.

Ms. Walker berdeham, lalu kembali bicara. “Pada malam perdana, semua
pemain sudah siap - dengan kostum masing-masing. Auditorium dipadati
orangtua dan teman-teman mereka. Auditorium ini. Semua pemain tampak
bersemangat, sekaligus gugup.
“Guru mereka menyuruh mereka berkumpul untuk memberi wejangan terakhir.
Pertunjukan sudah akan dimulai. Tapi anak yang akan tampil sebagai Hantu
ternyata tidak ada”

Ms Walker mulai mondar-mandir di panggung. “Mereka memanggil-


manggilnya. Mereka mencarinya di belakang panggung. Tapi mereka tidak
berhasil menemukan si Hantu, bintang pertunjukan mereka.

“Mereka menyebar. Mereka mencari di mana-mana. Tapi mereka tetap tidak


berhasil menemukannya. Anak itu hilang.

“Mereka mencarinya selama satu jam,” Ms. Walker melanjutkan "Semua orang
bingung dan kuatir. Terutama orangtua anak itu.

“Akhirnya, guru mereka naik ke panggung untuk mengumumkan bahwa


sandiwara itu tidak bisa diteruskan. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa,
mereka mendengar jeritan mengerikan.”

Ms. Walker berhenti “Jeritan itu sangat menakutkan. Kata orang,


kedengarannya seperti lolongan binatang.

“Si guru langsung berlari ke arah bunyi itu. Dia kembali memanggil-manggil
anak yang hilang Tapi tak ada yang menyahut. Suasananya hening. Tak ada
jeritan lagi.

“Mereka langsung melakukan pencarian di seluruh sekolah. Tapi anak itu tak
pernah ditemukan."

Ms Walker menelan ludah.

Kami semua terdiam. Tak ada yang berani menarik napas!

"Dia tak pernah muncul lagi,” Ms. Walker mengulangi. "Rasanya bisa dibilang
si Hantu jadi hantu sungguhan. Dia menghilang begitu saja. Dan sandiwara itu
tak pernah dipentaskan.”

Dia berhenti mondar-mandir dan menatap kami. Pandangannya beralih dari satu
kusi ke kursi berikut.

"Aneh!" seseorang berkata di belakangku.

“Kau percaya cerita itu” aku mendengar salah satu anak cowok berbisik.

Dan kemudian, di sampingku, Corey Sklar memekik tertahan. “Oh, ya ampun!”


dia berseru sambil menunjuk ke pintu samping. “Itu dia! Itu si Hantu!”
Aku menoleh - sama seperti semua orang lain - dan melihat wajah si Hantu
yang mengerikan. Sambil menyeringai, dia menatap kami dari ambang pintu.

COREY SKLAR menjerit.

Hampir semua anak menjerit. Sepertinya, Tina juga ikut menjerit.

Si Hantu menyeringai lebar. Rambutnya yang merah terang berdiri kaku.


Sebelah matanya menyembul dari kelopaknya. Jahitan hitam bekas luka
melintang di sisi wajahnya

“BOO!” si Hantu berseru sambil melompat maju.

Anak-anak kembali menjerit-jerit.

Aku cuma tertawa. Aku tahu itu Zeke.

Aku sudah pernah melihatnya memakai topeng konyol itu. Dia menyimpannya
di locker, supaya bisa dipakai sewaktu-waktu.

“Zeke, jangan macam-macam!" seruku.

Dia melepaskan topengnya. Mukanya kelihatan merah. Zeke menatap kami


sambil nyengir lebar. Dia senang karena berhasil menakut-nakuti teman-teman
kami.

Anak-anak mulai ketawa.

Seseorang melempar Zeke dengan kotak susu yang sudah kosong. Anak lain
mencoba menjegal kakinya waktu dia kembali ke kursinya.

“Lucu sekali, Zeke,” ujar Ms. Walker sambil geleng-geleng kepala. "Mudah-
mudahan ini kunjungan terakhir Si Hantu.”
Zeke kembali duduk di sampingku. “Kenapa kau menakut-nakuti mereka?”
bisikku.

"Habis, kapan lagi ada kesempatan seperti itu?” Dia masih tetap nyengir lebar.

“Jadi, kita yang pertama menampilkan sandiwara ini?” Corey bertanya kepada
Ms. Walker.

Guru kami mengangguk. “Ya. Setelah anak itu menghilang tujuh puluh dua
tahun lalu, pihak sekolah memutuskan akan memusnahkan semua naskah dan
dekor. Tapi satu salinan tetap disimpan dalam lemari besi sekolah. Dan
sekarang kita yang akan mementaskan The Phantom untuk pertama kali.”

Anak-anak langsung sibuk berbisik-bisik. Baru beberapa saat kemudian Ms


Walker berhasil menenangkan suasana

“Dengarkan baik-baik,” dia berkata sambil bertolak pmggang “Ini hanya cerita.
Saya yakin kakek-buyut Tina pun akan menegaskan bahwa kisah ini tidak
benar. Saya menceritakannya sekadar untuk menciptakan suasana horor.”

"]api bagaimana dengan kutukannya?” tanyaku. "Tina bilang ada kutukan!”

“Ya,” Tina menimpali. “Kakek-buyut saya bilang sandiwara ini dikutuk. Si


Hantu takkan membiarkannya dipentaskan oleh siapa pun. Dia bilang, si Hantu
masih ada di sini. Hantu itu sudah tujuh puluh dua tahun gentayangan di sekolah
kita! Tapi sampai sekarang belum pernah ada yang melihatnya”

“Asyik!”seru Zeke, matanya berbinar-binar.

Beberapa anak ketawa. Beberapa anak lain kelihatan kikuk. Seperti ketakutan.

“Saya sudah katakan tadi, itu hanya cerita,” ujar Ms. Walker “Nah, sekarang
kita mulai saja, oke? Siapa yang mau membantu saya membagi-bagikan
naskah? Saya sudah membuat salinan untuk semua pemain. Kalian harus
membawanya pulang dan mempelajari peran masing-masing.”

Zeke dan aku nyaris terjatuh ketika kami berebut naik tangga untuk membantu
Ms Walker. Dia menyerahkan setumpuk naskah. Kami turun lagi dan mulai
membagi-bagikan semuanya. Tapi ketika aku sampai di depan Corey, dia justru
menarik tangannya. “Ba-bagaimana kalau kutukan ini memang ada?” tanyanya
kepada Ms. Walker.
“Corey,” Ms. Walker berkata dengan tegas, “saya tidak mau mendengar satu
kata pun lagi tentang hantu dan kutukan itu. Masih banyak yang harus kita
kerjakan, dan—”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.


Dia, malah menjerit.

Aku menoleh ke panggung, tempat Ms. Walker masih berdiri sedetik


sebelumnya.

Dia lenyap.

Seakan-akan menguap.

TUMPUKAN naskah itu terlepas dari tanganku.

Aku bergegas naik ke panggung. Di belakangku aku mendengar anak-anak


berseru dan memekik karena kaget.

"Dia lenyap begitu saja!” aku mendengar Corey bergumam.

Tapi dia tidak mungkin hilang begitu saja!” teriak salah satu cewek.

Zeke dan aku menaiki panggung berbarengan. "Ms. Walker - Anda di mana?"
panggilku. “Ms Walker?"

Hening.

“Ms. Walker? Anda bisa mendengar saya?” seru Zeke.

Kemudian aku mendengar suara guruku itu, sayup-sayup. “Saya di bawah sini!”
dia berseru.
"Di bawah mana?” Zeke bertanya dengan bingung.

"Di bawah sini!”

Di bawah panggung? Sepertinya dari situlah dia memanggil.

"Bantu saya naik!” Ms. Walker kembali berseru.

Ada apa ini? aku bertanya-tanya. Kenapa kita bisa mendengarnya, tapi tidak
melihatnya?

Akulah yang pertama menemukan lubang besar berbentuk persegi di panggung.


Zeke dan anak-anak yang lain ikut berkerumun di sekeliling lubang itu. Aku
maju sampai ke tepi lubang dan memandang ke bawah.

Ms. Walker sedang menatap ke atas. Dia berdiri di sebuah pelataran kecil
berbentuk bujur sangkar, sekitar satu setengah sampai dua meter di bawah
panggung. “Kalian harus menaikkan pelataran ini," katanya.

“Bagaimana caranya?” tanya Zeke.

“Tekan tuas di panggung,” Ms. Walker memberi petunjuk. Ia menunjuk tuas


kayu di sebelah kanan pintu panggung.

"Oke!" seru Zeke. Dia menekan tuas itu. Kami mendengar bunyi berdentang.
Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak.

Perlahan-lahan pelataran itu mulai bergerak naik. Ms. Walker segera melangkah
ke panggung. Dia cengar-cengir menatap kami, sambil menepis debu yang
melekat di celana panjang birunya. “Saya lupa memberitahu soal pintu kolong
ini,” katanya. “Untung saja saya tidak patah kaki.”

Zeke berlutut dan mengintip ke lubang di panggung.

“Saya lupa menyinggung bagian paling seru dari sandiwara kita,” Ms. Walker
memberitahu kami. “Pintu kolong ini sengaja dibuat untuk pementasan The
Phantom yang pertama dulu. Setelah itu tak ada yang mengingatnya. Pintu
kolong ini belum pernah digunakan dalam pertunjukan sandiwara sekolah
sampai sekarang!”

Aku melongo. Rupanya ada pintu kolong! Asyik juga!

Ms. Walker membungkuk dan menarik Zeke menjauh dari lubang itu. "Hati-
hati. Kau bisa jatuh,” dia mewanti-wanti “Saya sendiri yang menurunkan
pelataran tadi. Dan saya lupa menaikkannya lagi.”
Zeke bangkit. Melihat tampangnya, aku langsung tahu dia tertarik sekali pada
pintu kolong itu.

"Ketika The Phantom hendak ditampilkan dulu,” Ms. Walker bercerita, “pihak
sekolah membuat pintu kolong ini supaya Si Hantu bisa menghilang atau
muncul dari bawah. Waktu itu, pintu kolong ini termasuk efek khusus yang
canggih.”

Aku berpaling kepada Zeke. Sepertinya dia sudah tak sanggup menahan
semangatnya yang meluap-luap.

“Cuma saya, kan, yang pakai pintu kolong ini dalam pertunjukan nanti?” dia
bertanya dengan berapi-api. “Saya boleh coba sekarang, ya? Ya?"

"Nanti, Zeke,” sahut Ms. Walker dengan tegas. "Pelatarannya masih harus
diperiksa, soalnya jangan-jangan sudah tidak aman untuk dipakai. Sebelum itu
tidak boleh ada yang mengutak-atiknya."

Zeke langsung berlutut lagi dan mengamati pintu kolong itu.

Ms. Walker berdeham keras-keras “Sudah jelas? Zeke?”

Zeke menarik hapas panjang. “Ya, Ms. Walker,” gumamnya.

"Bagus," kata Ms. Walker. “Sekarang silakan duduk lagi. Saya minta semuanya
membaca naskah ini sampai habis sebelum kita pulang nanti. Sekadar supaya
kalian mendapat gambaran mengenai cerita dan tokoh-tokohnya.”

Kami kembali ke kursi masing-masing. Tapi roman muka Zeke berkesan


mencurigakan. Aku sudah pernah melihatnya bertampang seperti itu. Keningnya
berkerut-kerut, dan alis kirinya terangkat sedikit. Aku langsung tahu bahwa dia
sedang sibuk memutar otak.

Kami menghabiskan satu jam untuk membaca naskah sandiwara itu. The
Phantom ternyata memang seram!

Ceritanya menyangkut laki-laki bernama Carlo. Dia pemilik gedung teater tua
yang biasa digunakan untuk konser dan pementasan sandiwara. Carlo yakin
gedung teaternya berhantu.

Ternyata memang ada orang misterius yang tinggal di ruang bawah tanah.
Wajahnya rusak. Tampangnya seperti monster. Karena itu dia selalu memakai
topeng. Tapi Esmerelda, putri Carlo, jatuh cinta padanya. Mereka bahkan
sampai berniat kawin lari. Tapi rencana itu tercium oleh Eric, pacar Esmerelda
yang tampan.

Eric mencintai Esmerelda. Dia melacak orang misterius itu di tempat tinggal
rahasianya, sebuah lorong gelap jauh di bawah panggung. Mereka berkelahi.
Dan Eric berhasil membunuh lawannya.

Perbuatan itu membuat Esmerelda patah hati. Dia kabur dan rumah dan tak
pernah lagi terdengar kabarnya. Dan si orang misterius hidup terus sebagai
hantu. Dia akan gentayangan untuk selama-lamanya di gedung teater itu.

Cukup seru, ya?

Rasanya kami semua senang membaca naskah itu. Kami langsung sadar bahwa
pementasannya bakal ramai sekali.

Waktu aku membaca peranku sebagai Esmerelda, aku mencoba membayangkan


bagaimana rasanya mengenakan kostum dan tampil di atas panggung. Aku
sempat menoleh ke belakang, dan melihat Tina membaca peranku sambil
mengucapkannya tanpa bersuara.

Dia langsung berhenti waktu sadar bahwa aku menatapnya. Dan seperti biasa,
dia membalas tatapanku sambil mengerutkan kening.

Dia iri, aku berkata dalam hati. Aku yakin dia sebenarnya ingin jadi Esmerelda.

Sejenak aku merasa kasihan pada Tina. Aku tidak terlalu menyukainya. Tapi
aku juga tidak ingin dia benci padaku karena aku mendapat peran yang
diincarnya.

Tapi aku tidak punya waktu memikirkan dia. Masih banyak yang harus kubaca.
Esmerelda sering tampil di panggung dalam sandiwara itu. Perannya memang
besar.

Ketika kami akhirnya selesai membaca, semuanya bertepuk tangan dan


bersorak-sorai.

“Oke. Sekarang kalian pulang dulu,’ Ms. Walker berkata sambil menggiring
kami ke pintu “Mulailah mempelajari peran kalian. Besok kita akan bertemu
lagi.”

Aku mulai mengikuti anak-anak lain ke pintu, tapi tiba-tiba seseorang


menarikku dan belakang. Aku menoleh. Ternyata Zeke. Cepat-cepat dia
menarikku ke balik tiang beton yang besar.
“Zeke - apa-apaan sih?” tanyaku.

Dia segera menempelkan telunjuk ke bibir. “Ssst." Matanya masih berbinar-


binar. “Tunggu sampai Semuanya pulang,” dia berbisik.

Aku mengintip dari balik tiang. Ms. Walker sedang memadamkan lampu-
lampu. Kemudian dia mengambil barang-barangnya, dan meninggalkan
auditorium.

“Kenapa kita harus sembunyi di sini?" aku berbisik dengan jengkel.

Zeke menatapku sambil nyengir. “Aku mau coba pintu kolong itu,” sahutnya.

"Hah?"

“Ayo, kita coba saja. Cepat. Mumpung tidak ada siapa-siapa.”

Aku memandang berkeliling. Auditorium telah gelap. Dan kosong.

“Ayo, masa kau takut?” Zeke mendesak sambil menarikku ke panggung. “Kita
coba saja, oke? Kau takut apa sih?”

Dengan bimbang aku berpaling ke panggung. “Oke,” kataku.

Zeke benar. Apa yang perlu kutakuti?

ZEKE dan aku naik ke panggung. Keadaannya jauh lebih gelap dibandingkan
tadi. Dan udaranya pun terasa lebih dingin.

Papan-papan lantai berderak-derak ketika diinjak. Setiap bunyi terdengar


menggema.
"Pintu kolong ini benar-benar asyik” seru Zeke. "Sayang kau tidak bisa
memakainya dalam pertunjukan nanti.”

Aku mendorongnya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba aku


merasakan bahwa alergiku bakal kumat. Mungkin karena tiram-tiram
auditorium yang penuh debu.

Alergiku benar-benar parah. Aku alergi terhadap hampir segala sesuatu.

Sebutkan saja. Debu, serbuk bunga, kucing, anjing - bahkan beberapa sweter
tertentu.

Kalau lagi kumat, aku bisa bersin tiga belas sampai empat belas kali berturut-
turut. Rekorku adalah tujuh belas kali.

Zeke suka menghitung berapa kali aku bersin, Dia menganggapnya lucu. Dia
menepuk-nepuk lantai dan berseru, “Tujuh! Delapan! Sembilan!”

Ha-ha. Setelah bersin sepuluh kali berturut-turut, aku sudah tidak berminat
bercanda. Hidungku jadi berair, dan kacamataku seperti berkabut. Benar-benar
parah deh.

Kami mengendap-endap ke pintu kolong. “Coba periksa lantai di sebelah sana,"


ujar Zeke pelan-pelan. “Cari tuas untuk membuka pintu.”

Zeke berdiri di atas pintu kolong sementara aku mencari-cari tuas itu dalam
kegelapan. Aku berusaha menahan bersin, tapi itu tidak mudah.

Kemudian aku melihat tuas kecil di lantai itu

“Hei - ini dia!" seruku gembira.

Zeke langsung memandang berkeliling. “Ssst! Jangan keras-keras! Nanti


ketahuan kita masih di sini!”

“Sori,” bisikku. Lalu aku sadar bahwa bersinku tidak bisa ditahan lagi. Mataku
sudah berair, dan hidungku gatalnya minta ampun.

Aku mengambil sebungkus tisu dari kantong dan menempelkan semuanya ke


hidungku. Kemudian aku mulai bersin. Aku berusaha bersin sepelan mungkin.

“Empat! Lima!” Zeke berhitung.


Untung saja aku tidak memecahkan rekorku. Aku berhenti setelah bersin
ketujuh. Aku menyeka hidung dan menyelipkan tisu yang sudah kotor ke dalam
kantong. Memang jorok sih, tapi ke mana lagi harus kubuang?

"Oke, Zeke, siap-siap!” aku memberi aba-aba.

Aku menginjak tuas itu dan melompat ke samping Zeke.

Kami mendengar bunyi berdentang Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak-
derak.

Bagian lantai yang kami injak mulai turun.

Zeke meraih lenganku “Hei -kok goyang begini sih?!” teriaknya.

“Kau takut, ya?” aku menantangnya.

“Enak saja.”

Bunyi berdentang itu bertambah keras. Pelataran bujur sangkar di bawah kaki
kami terus bergetar sambil bergerak ke bawah. Turun, turun - sampai
panggungnya lenyap, dan kami dikelilingi kegelapan pekat.

Tadinya kusangka pelataran itu bakal berhenti persis di bawah panggung,


seperti waktu Ms Walker tadi.

Tapi di luar dugaanku, kami terus bergerak ke bawah. Semakin lama semakin
kencang lagi.

“Hei - ada apa ini?” seru Zeke sambil berpegangan pada lenganku.

“Seberapa jauh kita bakal turun?” tanyaku.

“Ohh” Zeke dan aku sama-sama memekik ketika pelataran itu mendadak
berhenti. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.

Kami sama-sama terlempar ke lantai.

Aku segera bangkit lagi “Kau tidak apa-apa?"

"Sepertinya sih begitu.” Suara Zeke bernada ngeri.

Sepertinya kami berada di suatu terowongan yang panjang dan gelap.

Gelap gulita. Dan hening.


Sebenarnya aku enggan mengakuinya. Tapi aku sendiri juga sudah mulai takut.

Sekonyong-konyong keheningan di sekeliling kami dipecahkan oleh bunyi


menciut-ciut yang terdengar pelan.

Aku mulai dicekam panik. Suara apa itu? Bunyi itu terdengar lagi.

Mirip suara tarikan napas.

Jantungku berdegup-degup. Ya. Suara tarikan napas. Tarikan napas sesosok


makhluk aneh. Begitu dekat.

Persis di sampingku.

Zeke!

“Zeke - kenapa bunyi napasmu seperti itu?" tanyaku. Detak jantungku langsung
normal kembali.

"Bunyi bagaimana?" dia menyahut.

“Ah, sudahlah,” aku bergumam. Napasnya berbunyi begitu karena dia


ketakutan. Kami sama-sama ketakutan Tapi kami sama-sama terlalu gengsi.
untuk mengakuinya.

Kami menengadah dan menatap langit-langit auditorium. Langit-langit itu


tampak seperti kotak kecil yang terang di kejauhan. Seakan-akan berada bermil-
mil di atas kami.

Zeke berpahng padaku. “Kita ada di mana sih?”

"Kira-kira satu mil di bawah panggung,” sahutku sambil merinding.

“Kalau itu sih, aku juga sudah tahu,’ balas Zeke dengan nada mengejek.

"Kalau kau memang lebih tahu, kau saja yang beritahu aku” aku menantangnya.

“Rasanya ini bukan ruang bawah tanah, dia berkata dengan serius “Rasanya kita
jauh di bawah ruang bawah tanah.

"Kelihatannya seperti terowongan,” ujarku, sambil berusaha agar suaraku tidak


bergetar. “Mau menyelidiki?”

Zeke tidak langsung menjawab. “Terlalu gelap untuk diselidiki,” dia akhirnya
berkata.
Sebenarnya aku pun tidak berminat menyelidiki tempat itu. Aku cuma berlagak
berani saja. Biasanya aku senang kalau aku merinding karena ngeri. Tapi
suasana di tempat ini terlalu seram, bahkan untukku sekali pun.

"Nanti kita balik lagi membawa senter,” kata Zeke pelan-pelan.

“Yeah. Senter,” aku mengulangi Terus-terang, aku tidak akan pernah berminat
kembali lagi - dengan atau tanpa senter.

Dengan gugup aku memutar-mutar karet rambut di pergelangan tanganku dan


menatap ke dalam kegelapan. Ada sesuatu yang mengusikku. Sesuatu rang
terasa janggal.

“Zeke,” kataku, “kenapa pintu kolong panggung itu turun sampai ke sini?”

“Entahlah. Mungkin supaya si Hantu bisa lebih cepat pulang setelah


gentayangan di auditorium,” dia berkelakar.

Aku langsung menonjok lengannya “Jangan bercanda soal si Hantu - oke?”

Kalau memang ada hantu di sekolah kita, aku berkata dalam hati, maka di
sinilah tempat tinggalnya.

“Ayo, kita pulang saja,” ujar Zeke sambil menatap kotak terang yang begitu
jauh di atas kepala kami. “Akü bakal telat untuk makan malam.”

"Yeah,” aku bergumam sambil menyilangkan tangan di dada “Cuma ada satu
hal yang mau kutanyakan, Tuan-Serba-Tahu”

“Apa itu?” tanya Zeke.

“Bagaimana caranya kita naik ke sana?"

Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak kami selama beberapa saat.

Setelah sekitar satu menit, Zeke berlutut dan mulai meraba-raba lantai pelataran
“Pasti ada tuas yang bisa ditekan di sini,” katanya.

“Tuasnya ada di atas sana,” sahutku sambil menunjuk ke panggung.

“Kalau begitu pasti ada tombol atau sakelar atau apa saja yang bisa ditekan”
seru Zeke. Suaranya mulai melengking tinggi.

“Tapi di mana? Di mana?" Suaraku tak kalah melengking.


Kami mulai meraba-raba dalam gelap, mencari-cari sesuatu yang bisa diitekan
atau ditarik atau diputar. Sesuatu yang akan membuat pelataran kecii itu naik
kembali dan mengangkat kami ke auditorium.

Tapi setelah mencari selama beberapa menit, aku menyerah.

“Kita terjebak di sini, Zeke," aku bergumam “Kita terjebak.”

"INI semua gara-gara kau,” gumamku.

Aku tidak tahu kenapa aku berkata begitu. Barangkali karena aku begitu takut
sehingga tidak tahu lagi apa yang kukatakan.

Zeke memaksakan tawa “Hei, aku suka tempat ini!” dia berkoar. “Mungkin aku
bakal agak lama di sini. Tempat ini perlu diselidiki.” Dia berusaha tampil
berani. Tapi suaranya kecil dan bergetar.

Dia tidak bisa menipuku.

"Bisa-bisanya kaubawa kita ke sini!" aku berseru.

"Kau sendiri yang mau ikut!" sahutnya.

“Enak saja” aku menyangkal dengan sengit “Ms. Walker kan sudah bilang ini
tidak aman! Dan sekarang kita harus mendekam di sini sepanjang malam!
Mungkin malah untuk selama-lamanya”

"Kecuali kalau kita keburu dimakan tikus!” Zeke berkelakar.

"Aku sudah muak dengan leluconmu yang konyol!” hardikku. Aku benar-benar
lepas kendali. Tanpa berpikir panjang aku mendorongnya dengan kedua tangan.
Dia terjerembap di pelataran.
Keadaannya begitu. gelap sehingga aku sempat tidak bisa melihatnya.

"Aduh!” aku memekik ketika dia membalas dengan cara yang sama.

Lalu aku mendorongnya lebih keras lagi.

Dan dia mendorongku lebih keras dari itu.

Aku terhuyung-huyung ke belakang -dan punggungku menabrak semacam


sakelar.

Aku tersentak kaget ketika mendengar bunyi berdentang yang keras.

“Brooke - ayo, naik! Cepat!” Zeke menjerit.

Aku melompat ke pelataran, dan seketika pelatarannya mulai bergerak ke atas.

Naik. Naik. Perlahan tapi pasti.

Kotak terang di atas kepala kami bertambah besar dan terang ketika kami naik
kembali ke auditorium.

“Hei!” seruku waktu pelataran itu berhenti mendadak.

“Wah, hebat juga kau, Brooke,” Zeke berseru dengan gembira. Punggungku
ditepuknya keras-keras.

"Jangan senang dulu," ujarku. Kami belum sampai di panggung. Pelataran itu
berhenti sekitar satu setengah meter di bawah lantai. Persis seperti waktu Ms.
Walker tadi turun.

Kelihatannya satu-satunya cara untuk naik sampai ke panggung adalah dengan


menginjak tuas di lantai.

“Ayo, bantu aku naik,” Zeke mendesak.

Aku segera menyatukan tangan, dan dia menginjak tanganku dengan sepatu
ketsnya.

“Eh, tunggu dulu!” dia berseru sambil turun lagi. “Wah, gawat! Bagaimana
kalau si Hantu sudah menunggu di atas? Mungkin lebih baik kalau kau yang
naik dulu.”

“Ha-ha. Lucu sekali,” aku berkomentar.


“Oke. Oke. Biar aku saja,” dia bergumam. Dia kembali menginjak tanganku,
lalu meraih tepi lubang. Aku mendorongnya dari bawah.

Aku memperhatikannya memanjat ke panggung. Kemudian dia menghilang dari


pandangan.

Aku menunggu uluran tangan Zeke.

Satu menit berlalu.

“Zeke?” Suaraku terdengar lemah dan kecil.

Aku kembali menunggu, dan pasang telinga.

Tapi aku tidak mendengar apa-apa. Di mana dia?

“Zeke? Di mana kau” aku memanggilnya “Ayo dong! Naikkan pelataran. Atau
tarik aku ke atas
Aku tidak bisa naik tanpa dibantu.”

Satu menit lagi berlalu. Rasanya seperti satu jam.

Dan tiba-tiba aku menyadari rencana Zeke.

Dasar brengsek! Dia mau menakut-nakutiku!

"Hei! Sudah dong!” aku berseru.

Aku sudah capek meladeni keisengan Zeke Matthew.

"Zeke!" teriakku “Cepat dong! Bantu aku naik.”

Akhirnya dia mengulurkan tangan ke bawah.

"Lama betul sih?” ujarku dengan gusar.

Langsung saja kuraih kedua tangan itu. Kubiarkan Zeke menarikku ke


panggung.

Aku menyibakkan rambut. Perlahan-lahan mataku mulai terbiasa dengan cahaya


yang lebih terang. "Zeke, kau benar-benar keterlaluan!” aku membentak.
“Kenapa kaubiarkan aku menunggu di bawah si -”

Aku terdiam dan menelan ludah. Ternyata bukan Zeke yang menarikku ke atas.
Sepasang mata gelap yang menyeramkan menatapku sambil mendelik.

AKU kembali menelan ludah. Di hadapanku berdiri laki-laki kecil yang


memelototiku sambil merengut. Dia memakai celana baggy berwarna kelabu
dan sweter longgar berwarna sama yang kerahnya sudah robek.

Rambut putihnya yang tebal tampak acak-acakan dan menutupi keningnya. Di


sisi wajahnya ada bekas luka memanjang, kira-kira sepanjang bekas luka di
topeng monster kepunyaan Zeke.

Orang itu sudah tua, tapi kecil sekali. Tingginya paling-paling berbeda satu atau
dua inci dengan Zeke.

Tampangnya seperti hantu! Pikiran mengerikan itu melintas begitu saja di


dalam benakku.

“Si - siapa Anda’” aku tergagap-gagap.

“Aku Emile. Penjaga malam merangkap tukang bersih-bersih,” laki-laki itu


menyahut dengan suara parau.

“Mana teman saya, Zeke?” aku bertanya dengan nada melengking ketakutan.

"Brooke, aku di sini," Zeke memanggil dari belakangku.

Aku langsung menoleh Zeke berdiri di seberang pintu kolong. Kedua tangannya
dimasukkan ke kantong celana, dan dia sedang menggigit bibir.

“Zeke” seruku “Ada apa ini? Kenapa -”


“Sekolah sudah bubar!” si penjaga malam menggeram marah. Suaranya kasar,
seperti amplas. “Kenapa kalian masih di sini?”

Zeke dan aku saling berpandangan Zeke maju selangkah. “Kami.,. ehm kami
masih di sini karena ada latihan sandiwara sekolah,” dia berkata kepada laki-
laki itu.

“Ya, betul,” aku menimpali “Ada latihan sandiwara.”

Si penjaga malam tetap menatapku dengan curiga. “Latihan sandiwara? dia


mengulangi. “Kalau begitu mana anak-anak yang lain?”

Aku diam sejenak. Laki-laki itu membuat lututku gemetaran.“Sebenarnya kami


sudah pulang tadi,” aku berdalih, “tapi kami terpaksa balik lagi karena jaket
saya ketinggalan.”

Zeke mengangguk-angguk di belakang Emile. “Dari mana kalian tahu soal pintu
kolong ini?” si penjaga malam bertanya dengan suara amplasnya.

Aku mengerutkan kening. Aneh, aku berkata dalam hati, rasanya aku belum
pernah melihat dia di sekolah.

“Dari Ms. Walker, guru kami. Dia yang menunjukkannya tadi,” ujar Zeke
pelan-pelan. Kelihatan sekali bahwa dia sama ngerinya seperti aku.

Laki-laki itu membungkuk ke arahku Dia memicingkan mata, dan sebelah sisi
wajahnya tampak berkerut-kerut. “Kalian tidak tahu pintu kolong ini
berbahaya?” dia berbisik.

Dia merapatkan wajahnya ke wajahku. Begitu dekat sehingga aku bisa


merasakan napasnya yang panas. Matanya yang kelabu pucat menatapku
dengan tajam “Kalian tidak tahu pintu kolong ini berbahaya?"

***

Malam itu Zeke dan aku bicara lewat telepon. "Orang itu bukan
memperingatkan kita,” aku berkata kepada Zeke “Dia mau menakut-nakuti
kita."

“Hah, aku sama sekali tidak ngeri,” Zeke berkoar. "Tapi kalau kau sih, aku tidak
tahu, Brookie”

Huh, dasar! aku menggerutu dalam hati. Kadang-kadang Zeke terlalu sok aksi.
“Kalau kau tidak ngeri, kenapa kau gemetaran sepanjang jalan waktu kita
pulang” aku mendesaknya.

“Aku tidak gemetaran. Aku cuma berolahraga,” Zeke berkelakar. “Sekadar


melatih otot-otOt betis.”

“Ah, jangan banyak alasan,” ujarku dengan jengkel “Eh, kenapa kita belum
pernah ketemu penjaga malam itu?”

“Soalnya dia bukan penjaga malam. Dia.... si Hantu!” Zeke berseru dengan
suara dibesar-besarkan.

Aku tidak menanggapi kelakarnya. “Aku serius nih,” kataku. "Dia tidak
bercanda. Dia memang mau menakut-nakuti kita.”

“Moga-moga kau tidak mimpi buruk nanti, Brookie,” Zeke menyahut sambil
ketawa.

Langsung saja aku membanting gagang telepon.

***

Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Jeremy, adikku. Sambil jalan, aku
bercerita tentang sandiwara sekolah.

Aku menceritakan semuanya. Tapi soal pintu kolong sengaja tidak kusinggung-
singgung. Ms. Walker sudah berpesan pintu kolong itu sebaiknya dirahasiakan
sampai saat pementasan.

“Sandiwaranya memang mengerikan, ya?” Jeremy bertanya padaku. Jeremy


baru tujuh tahun, dan dia mudah sekali takut. Suatu ketika aku pernah
mengajaknya menonton film Poltergeist bersamaku, dan selama tiga minggu
berikutnya dia terbangun setiap malam sambil menjerit-jerit.

“Yeah, lumayan seram,” ujarku “Tapi bukan seperti Friday the 13th.”

Jeremy kelihatan lega. Dia paling tidak suka hal-hal yang menakutkan. Setiap
Halloween, dia bersembunyi di kamarnya! Aku takkan pernah mengajaknya
menonton Friday the 13th. Bisa-bisa dia mimpi buruk sampai umur lima puluh.

“Sandiwara ini ada kejutannya,” aku menambahkan. “Dan kejutannya benar-


benar seru.”
“Apa sih?" tanya Jeremy.

Aku mengacak-acak rambutnya. Warnanya cokelat, persis seperti


rambutku.“Kalau aku cerita, sekarang, berarti bukan kejutan lagi dong.”

“Ah, kau persis Mama” Jeremy menggerutu.

Keterlaluan!

Aku mengantar adikku sampai ke gerbang sekolahnya, lalu menyeberang jalan,


ke sekolahku. Sambil menyusuri lorong, aku membayangkan peranku dalam
sandiwara. Begitu banyak kalimat yang harus diucapkan Esmerelda. Aku tidak
yakin apakah aku bisa menghafalkan semuanya.

Dan aku juga cemas soal demam panggungku. Tahun lalu, waktu aku ikut main
dalam Guys and Dolls, aku begitu gugup sampai aku berkeringat dingin.
Padahal waktu itu aku sama sekali tidak perlu buka mulut!

Aku masuk ke kelas, menyapa beberapa teman, menuju ke mejaku - dan


berhenti mendadak.

“Hei!” Seorang anak laki-laki yang belum pernah kuithat duduk di kursiku.

Tampangnya boleh juga. Rambutnya cokelat tua, dan matanya berwarna hijau
cerah. Dia memakai kemeja flanel bermotif kotak-kotak merah-hitam dan
celana hitam. Buku-buku pelajaran dan buku-buku catatannya sudah menyebar
di hadapannya. Dia duduk bersandar sambil menaikkan sepatu ketsnya ke atas
meja.

"Ini tempatku,” kataku sambil bertolak pinggang.

Dia menatapku dengan matanya yang hijau. “Kata siapa?" dia menyahut dengan
tenang “ini tempatku.”
9

“APA” ujarku sambil membelalakkan mata.

Dia tersipu-sipu. “Ms. Walker yang menyuruhku duduk di sini,” katanya sambil
memandang berkeliling dengan gugup.

Aku melihat tempat kosong di meja di belakang mejaku “Maksudnya di situ,


barangkali,” kataku sambil menunjuk “Aku sudah dari awal tahun duduk di sini.
Di sebelah Zeke.”

Aku menoleh ke tempat duduk Zeke. Dia belum datang. Seperti biasa, dia telat.

Anak yang duduk di mejaku semakin merah mukanya. “Sori,” dia bergumam
dengan kikuk “Aku masih baru di sini.” Dia mulai mengumpulkan semua
bukunya.

“Ini hari pertama kau di sini, ya?" aku bertanya, lalu memperkenalkan diri.

“Aku Brian Colson," dia berkata sambil berdiri. “Keluargaku baru pindah ke
Woods Mill. Dari Indiana.”
Aku bilang aku belum pernah ke Indiana. Jawaban yang agak norak, memang,
tapi benar.

“Kau Brooke Rodgers?" dia bertanya sambil menatapku “Kudengar kau dapat
peran utama. Dalam sandiwara. sekolah, maksudku.”

"Kok kau tahu sih?” tanyaku.


“Beberapa anak di bus sekolah membicarakannya tadi. Kau pasti pemain
sandiwara yang hebat, ya?" lanjutnya malu-malu.

“Mungkin. Aku sendiri kurang yakin. Aku sering demam panggung,” aku
memberitahunya.

Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu. Kadang-kadang mulutku memang
tidak bisa distop. Barangkali karena itu aku dijuluki Brooke si Bawel oleh
orangtuaku.

Brian tersenyum tipis dan menghela napas. “Di sekolahku yang lama di Indiana,
aku selalu ikut sandiwara sekolah,” dia bercerita. “Tapi aku belum pernah
kebagian peran utama. Coba kalau kami lebih cepat pindah kemari. Kalau
begitu aku masih sempat ikut tes untuk dapat peran dalam The Phantom.”
Aku berusaha membayangkan Brian di atas panggung, tapi tidak berhasil.
Sepertinya dia bukan tipe pemain sandiwara. Dia kelihatan pemalu sekali. Dan
mukanya selalu memerah.

Tapi aku memutuskan memberi kesempatan padanya. “Brian, bagaimana kalau


kau ikut aku latihan nanti sore?” aku mengusulkan. “Siapa tahu masih ada peran
figuran untukmu."

Brian tersenyum seakan-akan aku menawarkan sejuta dolar “Kau serius”


tanyanya dengan mata terbelalak.

“Tentu,” sahutku. “Ikut saja deh.”

Zeke menyelinap masuk dan cepat-cepat menuju ke tempat duduknya. Matanya


tertuju ke meja Ms. Walker. “Aku telat, ya?" dia berbisik.

Aku menggelengkan kepala. Sebenarnya aku mau memperkenalkannya pada


Brian, tapi Ms. Walker keburu masuk dan menutup pintu kelas. Sudah
waktunya memulai pelajaran.

Brian bergegas ke tempat duduknya. Aku pun duduk, tapi sekonyong-konyong


aku sadar bahwa buku catatan IPA-ku ketingalan di locker.

“Permisi sebentar!” aku berseru kepada Ms. Walker. Aku melesat ke luar dan
membelok ke lockerku.

"Hei!” Di luar dugaanku, pintu locker-nya setengah terbuka.

Aneh, aku berkata dalam hati. Aku ingat benar bahwa aku telah menguncinya.

Aku membuka pintunya, hendak meraih buku catatanku.

Lalu aku tersentak kaget.

Di dalam locker-ku ada orang - dan dia sedang melotot ke arahku!


10

WAJAHNYA buruk sekali, berwarna biru dan hijau, dan dia menatapku sambil
menyeringai.

Aku sempat menutup mulut dengan sebelah tangan supaya tidak menjerit. Tapi
kemudian aku malah tertawa.

Zeke dan topeng creature-nya yang konyol.

“Huh, kali ini kau berhasil, Zeke” aku bergumam.

Lalu aku melihat kertas terlipat yang menggantung di bawah topeng. Apa itu?
Sebuah pesan untukku?

Aku mengambil dan membukanya, lalu membaca pesan yang tertulis dengan
krayon merah.

JANGAN GANGGU RUMAHKU

“Ha-ha,” aku kembali bergumam “Bagus, Zeke. Lucu sekali.”

Aku mengambil buku catatanku, membanting pintu locker, dan menguncinya.


Kemudian aku bergegas kembali ke kelas.

Ms. Walker berdiri di belakang mejanya. Dia baru saja memperkenalkan Brian
kepada anak-anak yang lain, dan sekarang dia sedang membacakan beberapa
pengumuman. Aku menyelinap ke kursiku di samping Zeke “Sori, ya, tipuanmu
tidak berhasil,” aku berbohong.

Dia mengalihkan pandangan dari buku catatan matematikanya. Zeke selalu


menyelesaikan PR matematikanya di ruang kelas. "Hah?" Dia menatapku
seakan-akan tidak bersalah.

“Topengmu,” aku berbisik."Kaupikir aku bakal takut?”

“Topeng? Topeng mana?" dia menyahut sambil mengetukkan setip ke lenganku.

Aku menepisnya, “Jangan berlagak bodoh,” kataku dengan ketus “Pesanmu


juga tidak lucu. Masa sih, kau tidak punya ide yang lebih bagus dari itu?”

“Aku tidak pernah menulis pesan untukmu, Brooke,” balas Zeke dengan
jengkel. “Apa sih maksudmu?”
“Huh, dasar,” aku menggerutu. “Jadi kamu tidak tahu apa-apa tentang topeng
dan pesan yang ada di locker-ku, begitu?"

“Sudah deh PR matematikaku belum kelar nih,” dia berkata sambil kembali
memperhatikan buku pelajarannya. “Kau masih mimpi, ya?”

“Oh. Berarti, ini pasti perbuatan Hantu yang asli,” ujarku.

Zeke diam saja. Dia sibuk menuliskan persamaan-persamaan di buku


catatannya.

Dasar jail! pikirku. Ini memang ulah Zeke. Dia saja yang tidak mau
mengakuinya.

***

Seusai sekolah, aku mengajak Brian ke auditorium.

Dia terus menolak, sampai-sampai aku harus menyeretnya ke panggung. Dia


pemalu sekali!

“Ms. Walker, apakah masih ada peran yang belum terisi?” tanyaku “Brian ingin
sekali ikut main dalam sandiwara kita.”

Ms. Walker menoleh dan naskah di tangannya. Naskah itu sudah penuh coretan.
Dia mengamati Brian.

"Maaf, Brian,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Kau terlambat beberapa


hari.”

Brian kembali tersipu-sipu. Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu sering
tersipu-sipu.

“Semua peran dengan dialog sudah terisi,” Ms. Walker memberitahu.

“Barangkali Ms. Walker perlu pemain pengganti?” tanya Brian. “Saya pintar
menghafal. Saya bisa menghafalkan lebih dari satu peran."

Wow, pikirku. Rupanya dia memang ingin sekali ikut bermain dalam sandiwara
kami.

"Hmm, pemain pengganti juga sudah banyak,” ujar Ms. Walker. “Tapi saya
punya ide. Kalau kau mau, kau bisa bergabung dengan tim dekor”

“Asyik!” seru Brian penuh semangat.


"Cobb kautemui Tina di sebelah sana,” kata Ms. Walker sambil menunjuk
sekelompok anak yang edang berkumpul di dinding belakang panggung.

Tina sedang sibuk memberi pengarahan sambil menggerak-gerakkan tangan dan


berjalan mondar-mandir, diikuti anak buahnya.

Brian kelihatan senang sekali. Aku memperhatikannya menghampiri Tina.

Lalu aku mencari tempat di deretan kursi penonton dan mulai membaca
naskahku. Ternyata aku muncul dalam hampir semua adegan. Bagaimana
mungkin aku menghafalkan semua kalimat yang mesti kuucapkan? Aku
menarik napas panjang. Aku merosot di kursiku dan menaikkan kaki ke
sandaran kursi di depanku.

Aku sedang menghafalkan kalimat ketiga, yang berbunyi, “Apa buktinya bahwa
orang ini berbahaya?, ketika lampu-lampu mati.

Semuanya gelap gulita! Aku tidak bisa melihat apa-apa.

Beberapa anak berseru, “Hei! Siapa yang mematikan lampu?"

“Aku tidak bisa melihat!”

“Ada apa ini? Nyalakan lampu dong!”

Kemudian terdengar teriakan melengking, membuatku langsung duduk tegak.

Teriakan mengerikan - bagaikan lolongan binatang - membelah kegelapan dan


menjangkau setiap sudut auditorium.

“Jangan! jangaaan!” aku mendengar Corey Sklar merintih-rintih.

Lalu ada orang lain yang berseru, “Arahnya dari atas! Dari catwalk.”

Sekali lagi suara melengking tadi menggema, “Nyalakan lampu dong!” aku
mendengar Corey memohon-mohon. “Tolong nyalakan lampu dong!”

Anak-anak lain pun mulai takut. “Siapa itu yang menjerit?”

“Tolong - tolong!”

“Ada orang di catwalk!”

Lampu auditorium kembali menyala.


Lolongan berikut dari atas panggung memaksaku mengalihkan pandangan.

Dan kemudian aku melihatnya. Makhluk bertopeng hijau-biru yang memakai


jubah panjang berwarna hitam mengilap.

Dia merosot ke panggung sambil berpegangan pada seutas tali, lalu dia
mendongakkan kepala dan melepaskan tawa yang membuatku merinding.

Aku langsung berdiri dan membelalakkan mata.

Si Hantu.

11

GEDUBRAK! Si Hantu melompat ke panggung.

Dia melepaskan tali, yang kemudian langsung terayun-ayun.

Wajahnya yang hijau-biru menoleh ke kiri-kanan. Tina dan anak buahnya


berdiri seperti patung. Ms. Walker pun terkesima. Dia melongo sambil
memeluk kedua tangannya sendiri.

Jubah si Hantu melambai-lambai ketika dia mengentakkan sebelah kaki di lantai


panggung.

Dia pendek, aku menyadari sambil berdiri dan menatapnya dari barisan kedua.
Tingginya kira-kira setinggi Zeke. Mungkin satu atau dua inci lebih tinggi.

Tapi mungkin juga tingginya persis seperti Zeke karena dia memang Zeke!

“Zeke! Hei - Zeke!” aku berseru.

Wajah bertopeng itu menoleh ke arahku. Si Hantu mulai turun. Mula-mula


sepatunya menghilang dari pandangan. Lalu kakinya yang terbungkus celana
hitam. Turun. Turun.
Rupanya dia telah menginjak tuas pintu kolong.

“Zeke!” aku memanggil. Aku berlari menyusuri gang dan memanjat ke


panggung. “Zeke - ini tidak tucu!” aku berseru.

Tapi si Hantu telah lenyap.

Aku menghampiri lubang di panggung dan memandang ke bawah. Ms. Walker


muncul di sampingku. Wajahnya cemberut karena marah. “Itu Zeke, ya?” dia
bertanya padaku. “Kau yakin itu Zeke?”

“Saya -saya tidak pasti,” aku tergagap-gagap. "Tapi rasanya ya.”

“Zeke!” Ms. Walker memanggil ke lubang itu. "Zeke - kau di bawah sana?”

Tak ada jawaban.

Pelataran itu telah turun sampai ke dasar lubang. Kami tidak melihat apa-apa
selain kegelapan yang pekat.

Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling lubang. Semuanya sibuk bicara,


tertawa, dan saling mengejek.

“Itu Zeke, ya?” aku mendengar Corey bertanya. “Topengnya yang konyol
dipakai lagi, ya?”

“Kenapa Zeke mengganggu latihan kita?" Ms. Walker bertanya dengan gusar.
“Apa dia kira kita harus ditakut-takuti setiap sore?”

Aku angkat bahu. Aku tidak bisa menjawab.

“Barangkali bukan Zeke,” aku mendengar suara Corey. Sepertinya dia


ketakutan setengah mati.

“Pasti dia. Zeke - di mana kau?” Ms. Walker berseru keras-keras. Pelan-pelan
dia membalik. Pandangannya menyapu panggung, lalu seluruh auditorium.
“Zeke Matthews? Kau bisa mendengar saya?”

Tetap tak ada jawaban.

“Dia temanmu, Brooke,” Tina berkata dengan nada menyalahkan “Masa kau
tidak tahu di mana dia? Masa kau tidak bisa melarang dia untuk tidak
mengganggu latihan kita?”
Dia langsung kusemprot. Aku begitu kesal, sehingga aku tidak tahu apa yang
kukatakan padanya.

Habis bagaimana dong? Zeke memang temanku. Tapi aku tidak bertanggung
jawab atas segala tindaktanduknya!

Tina cuma mau menjelek-jelekkanku dan mencari muka di depan Ms. Walker.

“Ok, tim dekor,” ujar Ms. Walker. “Kalian kembali bekerja. Biar saya saja yang
menangani ini. Yang lainnya -”

Ia terdiam. Kami semua mendengar suara itu. Suara berdentang-dentang.

Kemudian terdengar bunyi mendengung.

“Hei, pintu kolongnya naik lagi!” aku berseru sambil menunjuk.

“Bagus,” ujar Ms. Walker. Dia menyilangkan lengan di depan dada dan
memicingkan mata sambil menatap lubang di lantai panggung. “Sekarang saya
akan memberitahu Zeke bagaimana pendapat saya tentang leluconnya.
Leluconnya yang terakhir.”

Oh-oh, aku berkata dalam hati.

Ms. Walker sebenarnya guru yang baik, dan juga orang yang menyenangkan -
tapi kalau dia sudah marah, kalau dia sudah menyilangkan tangan dan
memicingkan mata - maka kita berada dalam kesulitan besar.

Sebab kalau sudah begitu, dia benar-benar tidak kenal ampun.

Aku tahu Zeke cuma bercanda. Dia senang jadi pusat perhatian. Dan dia senang
menakut-nakuti orang, terutama aku.

Dia cuma bermain-main. Dia sekadar ingin membuktikan bahwa semua orang
penakut, dan dia tidak.

Dia selalu berbuat begitu.

Tapi kali ini dia kena batunya. Kali ini dia sudah keterlaluan.

Dan Ms. Walker sedang menunggunya sambil menyilangkan tangan dan


memicingkan mata.

Apakah Zeke akan dicoret sebagam pemeran utama? aku bertanya-tanya.


Ataukah dia sekadar dimarahi habis-habisan supaya kapok?
Dengungan tadi bertambah keras. Seluruh panggung terasa bergetar.
Kami mendengar pelatarannya berhenti - satu setengah meter di bawah
panggung, seperti biasa.

Kasihan Zeke, pikirku. Dia belum tahu apa yang menantinya di sini.

Zeke yang malang.

Aku menatap ke dalam lubang dan memekik tertahan.

12

PELATARANNYA kosong. Tak ada yang berdiri di situ.

Zeke - atau siapa pun orang tadi - telah menaikkannya tanpa ikut naik. Dan dia
menghilang di terowongan yang gelap, jauh di bawah sekolah.

Zeke tidak mungkin berbuat begitu, kataku dalam hati. Zeke memang konyol,
tapi dia tidak mungkin turun seorang diri ke tempat gelap itu. Tanpa membawa
senter. Tanpa tahu apa yang ada di sana.

Tapi..

Mungkin saja! Pertanyaanku kujawab sendiri. Kalau dia merasa bisa membuat
kami benar-benar ngeri, maka dia mau berbuat apa saja.

Ms. Walker membatalkan latihan kami. Tim dekor disuruh meneruskan


pekejaan mereka, sementara yang lain dipersilakan pulang untuk mempelajari
peran masing-masing di rumah.

“Saya akan bicara panjang-lebar pada Zeke kalau saya menemukannya,"


gumam Ms. Walker. Kemudian dia berbalik, meninggalkan auditorium.

Aku tidak terburu-buru waktu pulang. Sepanjang jalan aku memikirkan Zeke
Aku begitu sibuk berpikir, sampai tidak sadar bahwa rumahku sudah terlewat!
Di ujung blok aku melihat Pontiac merah milik ibu Zeke berhenti di depan
garasi mereka. Sambil melindungi mata dari cahaya matahari sore, aku melihat
Mrs. Matthews turun dari mobil. Dan kemudian aku melihat Zeke turun dari sisi
sebelahnya.

"Hei! Zeke!” aku memanggil sambil berlari melintasi halaman rumput. “Zeke!”

Ibunya melambaikan tangan ke arahku, lalu masuk ke rumah mereka. Zeke


kelihatan heran “Latihannya sudah selesai?” tanyanya

“Ya. Gara-gara kamu,” aku bergumam.

“Hah?” Lagi-lagi dia pasang tampang tak berdosa. “Gara-gara aku?”

“Kau sama sekali tidak bisa membuatku takut tadi, Zeke,” kataku padanya.
“Dan tak ada yang menganggap leluconmu itu lucu. Sekarang, kau jadi punya
masalah dengan Ms. Walker.”

Dia memicingkan mata dan mengerutkan wajah, seakan-akan tidak tahu apa-
apa. “Apa maksudmu, Brooke? Bagaimana aku bisa punya masalah dengan Ms.
Walker? Aku kan tidak ada di sana!”

“Jangan pura-pura,” ujarku.

Dia menggelengkan kepala. Bintik-bintik di mukanya seolah-olah bertambah


gelap. Rambutnya yang pirang bergerak-gerak tertiup angin. “Aku kan tidak ada
di sana,” dia mengulangi. “Ms. Walker sudah kuberitahu tadi pagi bahwa aku
tidak bisa datang. Dia sudah tahu aku tidak bisa ikut latihan hari ini.”

"Kau tidak ikut latihan, supaya kau bisa pakai topeng dan jubah, dan melayang
dari catwalk” aku bertanya dengan curiga.

"Bukan. Dia sudah kuberitahu bahwa aku harus ke dokter gigi.”

Aku melongo.

“Kenapa sih kau, Brooke” tanya Zeke. “Gigiku cuma diperiksa kok.”

“Kau - kau benar-benar tidak pergi ke sekolah?” aku tergagap-gagap.

Dia menggelengkan kepala. “Tidak.”

“Kalau begitu, siapa hantu tadi?” kataku dengan bingung. Suaraku terdengar
kecil dan lemah.
Zeke tersenyum simpul.

“Kau!” aku berseru dengan gusar. “Kau tampil sebagai si Hantu, dan setelah itu
kau baru ke dokter gigi’ Ya, kan, Zeke? Ya, kan?”

Zeke cuma ketawa. Dia tidak mau menjawab.

***

Seusai sekolah keesokan sorenya, aku berjalan bersama Brian ke auditorium.


Dia keren juga dengan rompinya yang hitam, T-shirt putih, dan jeans belel.

“Bagaimana dengan Tina?" tanyaku. “Kalian bisa kerja sama?"

“Lumayan,” sahut Brian. “Kadang-kadang dia agak sok ngatur. Tapi aku diberi
kebebasan untuk merancang latar belakang sesuka hatiku."

Aku melambaikan tangan kepada beberapa. temanku yang hendak pulang. Kami
membelok. Aku, melihat Corey dan Tina memasuki auditorium.

“Zeke sudah membereskan urusannya dengan Ms. Walker?” tanya Brian, “Aku
melihat mereka bicara tadi pagi.”

"Kelihatannya sih begitu,” kataku. “Zeke tetap memegang peran utama - untuk
sementara”

“Kau yakin bahwa Zeke yang muncul kemarin?” Brian bertanya.

Aku mengangguk. “Ya. Dia suka rnenakut-nakuti orang. Dari kecil dia sudah
begitu. Kurasa dia mau menakut-nakuti kita. Dia mau meyakinkan kita bahwa
memang ada hantu di sini.” Aku menatap Brian sambil tersenyum. “Tapi aku
tidak gampang takut” ujarku dengan mantap

***

Tidak lama setelah latihan dimulai, Ms. Walker memanggil Zeke dan aku ke
panggung. Katanya dia ingin kami memerankan salah satu adegan. Dia ingin
menunjukkan di mana kami harus berdiri saat berbicara. Istilah yang dipakainya
adalah “blocking.”

Dia juga minta Tina Powell dan Robert Hernandez, pemain pengganti Zeke,
naik ke panggung. Menurut Ms. Walker mereka pun perlu tahu mengenai
blocking itu. Sekadar untuk berjaga-jaga.
"Berjaga-jaga?" pikirku. Kemudian aku teringat ucapan Tina: “Kalau kau sakit
atau tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peranmu.”

Hmm, Tina, sori kalau aku terpaksa mengecewakanmu, gumamku dalam hati,
tapi aku tidak punya rencana untuk sakit atau berhalangan. Jadi nikmatilah
tugasmu mencat dekor, sebab itu satu-satunya kesempatanmu naik panggung.

Aku tahu, aku tahu. Aku tidak boleh sirik. Tapi Tina memang perlu diberi
pelajaran.

Ms. Walker memberitahu Zeke di mana dia harus berdiri. Aku berdiri di tepi
panggung bersama Tina, dan menunggu aba-aba untuk masuk ke panggung,
“Kelihatannya Ms. Walker dan Zeke sudah meluruskan masalah mereka,” ujar
Tina. “Zeke bilang dia. berada di dokter gigi, jadi pasti bukan dia yang
meluncur dan atas.”

Aku baru mau menyuruh Tina diam supaya aku bisa mendengar aba-abaku, tapi
terlambat. Ms. Walker sudah memanggil namaku.

“Brooke Rodgers!” Sepertinya dia kesal. “Ada apa ini? Seharusnya kau sudah
masuk ke panggung.”

“Ini gara-gara Tina,” aku bergumam. Aku berlari ke panggung. Ketika menoleh
ke belakang, aku melihat Tina tertawa sendiri.

Aduh! Keterlaluan! Rupanya Tina sengaja mengajakku mengobrol supaya aku


tidak mendengar aba-abaku!

Dengan bingung aku mencari tempat seharusnya aku berdiri. Aku bahkan tidak
tahu pada halaman berapa di naskah kami berada.

Apa kalimatku yang berikut?

Aku tidak ingat.

Dengan panik aku memandang ke arah anak-anak di tempat penonton.


Semuanya menatapku dan menungguku angkat bicara.

Aku buka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.

“Kalimatnya, ‘Apa ada orang di bawah sini?!” Tina berseru keras-keras.

Brengsek! aku menggerutu dalam hati. Tina mau berbuat apa saja untuk
membuatku kelihatan tidak mampu! Dia berharap Ms. Walker akan mencoretku
dari daftar pemain.
Aku marah sekali. Kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak bisa berpikir
dengan jernih. Aku mengucapkan kalimat itu, lalu menarik napas panjang untuk
menenangkan diri.

Kalimat berikut diucapkan oleh Zeke. Dia seharusnya muncul di panggung dan
menakut-nakuti Esmerelda.

Tapi Zeke tidak kelihatan!

Aku memandang ke tempat penonton. Ms. Walker berdiri di kaki tangga. Dia
sedang bertolak pinggang sambil mengetukkan sebelah kaki ke lantai yang
keras.

Suasana jadi hening. Tak ada suara selain ketukan kakinya. Tuk, tuk, tuk, tuk,
tuk. Sepertinya Ms., Walker benar-benar jengkel.

"Zeke ke mana?" tanya Ms. Walker dengan lesu. “Apa lagi yang
direncanakannya sekarang? Apakah dia mau terbang dari catwalk dengan
kostum lengkap?”

Seharusnya aku sudah tahu apa rencana Zeke. Tapi aku baru menyadarinya
ketika mendengar bunyi yang sudah akrab di telingaku. Bunyi bendentang.
Diikuti bunyi berdengung.

Pelataran pintu kolong! Pelatarannya naik!

Aku mendesah. “Ini dia,”kataku kepada Ms. Walker.

Sedetik kemudian kepala Zeke yang tertutup topeng biru-hijau muncul di


hadapanku.

Aku mundur selangkah dan memperhatikannya menyembul dari bawah lantai.


Kesannya benar-benar hebat. Benar-benar dramatis.

Perlahan-lahan dia muncul di lantai panggung.

Sejenak dia memandang ke arah penonton, seakan-akan berpose untuk difoto.


Dia mengenakan kostum lengkap topengnya, jubah hitam yang membentang
sampai ke mata kakinya, serta celana dan baju berwarna sama.

Dasar tukang pamer! pikirku Dia memang paling senang kalau semua orang
menatapnya dengan kagum!

Dan kemudian dia menghampiriku dengan langkah-langkah panjang. Matanya


menyorot mataku dari balik topengnya.
Aku berusaha mengingat-ingat kalimat selanjutnya.

Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, dia menggenggam kedua pundakku
dan mengguncang-guncangku dengan keras. Terlalu keras.

Hei, jangan terlalu bersemangat, Zeke, aku berkata dalam hati. Ini kan baru
latihan.

“Enyahlah!”dia berseru tertahan.

Aku ingat yang harus kukatakan. Aku hendak membuka mulut.

Tapi kemudian aku terenyak.

Aku melihat seseorang melambai-lambaikan tangan di sisi panggung.

Dia tampak kalang-kabut.

Orang itu Zeke!

13

AKU langsung sadar bahwa ada yang tidak beres.

Kalau Zeke berdiri di sebelah sana, maka siapa yang mengguncang-guncangku


sambil menyeringai di balik topeng itu?

“Tolong! Tolong!” aku menjerit sambil berusaha membebaskan diri.

“Bukan begitu," seru Ms. Walker “Seharusnya kau bilang, "Tolong. Tolong aku,
Ayah ."

Dia belum mengerti.

Masa dia tidak sadar bahwa aku sedang diserang oleh hantu yang asli?
Tiba-tiba si Hantu merapatkan wajahnya yang bertopeng, dan berbisik ke
telingaku, “Enyahlah! Jangan ganggu rumahku!”

Aku menatap matanya.

Sepertinya aku sudah pernah melihat mata itu.

Siapa dia? Aku yakin aku sudah pernah melihatnya.

Tapi sebelum aku sempat mengmgatnya, dia mendadak berbalik, melompat dari
panggung, dan berlari menyusuri gang di antara kursi-kursi penonton. Jubahnya
yang panjang melambai-lambai.

Aku masih terbengong-bengong ketika dia menghambur ke luar lewat pintu.

Beberapa anak tertawa. Aku mendengar Tina berbisik kepada seseorang,


"Memangnya itu ada di dalam naskah?”

Zeke bergegas menghampiriku “Brookie, kau tidak apa-apa?”

“Aku entahlah,” sahutku dengan bingung.

"Wow. Ini benar-benar ajaib!” Zeke berseru.

Ms. Walker melintasi panggung sambil membawa naskah. Sepertinya dia sama
bingungnya denganku. “Apakah ada yang bisa menjelaskan kejadian tadi?”
tanyanya.

***

“Di sekolah ini ada hantu sungguhan,” ujar Zeke pelan-pelan. Dia menatapku
sambil mengerutkan kening dan memicingkan mata.

Kami duduk di baris paling depan di auditorium. Brian sedang membersihkan


noda cat hitam di punggung tangannya. Aku duduk di antara mereka dan sedang
mengamati Zeke.

Lampu-lampu sudah diredupkan. Latihan telah berakhir beberapa menit


sebelumnya. Dari lorong masih terdengar suara-suara Ms. Walker baru saja
meninggalkan auditorium

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Zeke.

“Aku masih belum yakin bahwa kau tidak ada sangkut-paut dengan semua ini,”
kataku terus terang.
Dia menggelengkan kepala “Yeah. Pasti aku biang keladinya,”gumamnya
dengan jengkel “Bagaimana aku bisa berada di dua tempat sekaligus, Brooke?
Coba jawab. Itu bukan sesuatu yang mudah, biarpun untuk orang sehebat dan
secerdik aku.”

Aku ketawa “Tapi bukannya tidak mungkin,” kataku.

“Uh, catnya tidak mau hilang,” Brian mengeluh. "Lihat nih. Bajuku juga kena.”

“Barangkali bisa hilang kalau dicuci dengan air?" ujar Zeke.

“Mana kutahu?” balas Brian. “Label di kalengnya tidak kubaca. Memangnya


kau selalu baca label di kaleng?”

“Zeke cuma baca label di kotak sereal,” aku berkelakar.

“Jangan bercanda terus dong!” Zeke menggerutu. "Sekolah ini ada hantunya.
Dan entah kenapa, dia mau mengacaukan sandiwara kita."

Aku masih mengamati wajah Zeke untuk memastikan apakah dia bohong atau
tidak “Tadi pagi aku melihat kau bicara dengan Andy Seltzer,” aku
memberitahunya. “Bisa saja kau merencanakan. Semuanya berdua dengan dia.
Andy kau beri kostum itu, ya, kan? Kau bilang apa yang harus dikerjakannya.
Ini semua ulahmu dan Andy. Ya, kan?”

Zeke sampai melongo. “Hah? Untuk apa aku berbuat begitu?"

“Untuk menakut-nakuti aku,” jawabku “Untuk menakut-nakuti kami semua.


Supaya kami percaya memang ada hantu sungguhan. Dan habis itu, kau tinggal
ketawa dan bilang "Ketipu”. Dan kami akan merasa seperti orang tolol.”

Zeke mengembangkan senyum “Bagus juga ide itu,” dia bergumam.


“Sayangnya tidak terpikir olehku. Aku serius, Brooke Aku tahu kamu tak bakal
percaya, tapi aku tidak merencanakan apa-apa bersama Andy. Dan aku tidak -”

Tina melompat dari panggung. Rupanya dia masih mengerjakan dekor di balik
tirai. “Sudah tenang lagi, Brooke?” dia bertanya dengan dingin.

Aku berpaling ke arahnya. “Tenang lagi? Aku tidak apa-apa. Apa maksudmu?”

“Kau kelihatan lemas sekali di panggung tadi. Kupikir kau sakit,” katanya
dengan nada mengejek. “Jangan-jangan kau akan terserang flu. Katanya sih,
sekarang memang lagi musim flu.”

“Aku tidak apa-apa,” aku menegaskan.


“Apakah cat ini bisa hilang kalau dicuci dengan air?” Brian bertanya kepada
Tina.

Tina angkat bahu “Entahlah. Coba pakai terpenting saja." Tina menatap Brian
sambil tersenyum. “Rancanganmu untuk latar belakang bagus juga” Kemudian
dia kembali menatapku dan senyumnya langsung lenyap. “Paling tidak ada
yang mengerjakan tugasnya dengan baik.”

Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah berbalik dan bergegas meninggalkan
auditorium.

"Tina berdoa supaya aku kena flu,” aku berkata kepada Zeke. “Keterlaluan,
ya?”

Zeke diam saja. Dia masih sibuk memikirkan hantu itu. Mungkin dia bahkan
tidak mendengarku.

“Jangan-jangan Tina yang mengatur semuanya ini,’ aku menduga-duga “Supaya


aku ngeri, dan dia bisa jadi Esmerelda.”

“Itu tidak masuk akal,” balas Zek

“Yeah. Kau benar,” kataku.

Brian tetap sibuk menghapus cat. hitam yang menempel di tangannya.

“Ayo, kita pulang saja deh,” aku mengajak mereka. “Sudah sore nih. Nanti saja
kita bicara lagi tentang hantu itu” Aku mulai berdiri.

Zeke menatapku sambil mendelik. “Kau tetap tidak percaya, ya?” tuduhnya
“Kau tetap menganggap ini cuma siasat untuk menakut-nakutimu.”

“Mungkin. Mungkin juga tidak,” sahutku sambil melewatinya. Terus-terang,


aku tidak tahu apakah dia bisa dipercaya atau tidak.

Brian bangkit dan mengikutiku ke pintu. Aku berpaling kepada Zeke yang
masih duduk di kursinya “Mau ikut pulang atau mau menginap di sini?”

Zeke berdiri tanpa berkata apa-apa. “Yeah, aku ikut pulang.”

Kami sedang menyusuri lorong ke arah locker ketika Zeke tiba-tiba berhenti
“Oh. Aku lupa.”

“Lupa apa” tanyaku. Sudah hampir waktu makan malam, dan aku ingin segera
pulang. Ibuku selalu uring-urlngan kalau aku terlambat. Dia selalu kuatir aku
ketabrak bus dan sebagainya. Entah kenapa dia berpikiran begitu. Aku belum
pernah kenal seseorang yang ketabrak bus!

“Buku matematikaku,” ujar Zeke. “Aku harus ke kantor kepala sekolah dulu.
Waktu itu bukuku ketinggalan di auditorium. Barangkali ada yang
menyerahkannya."

“Aku duluan, ya,” ujar Brian sambil terus menyusuri lorong.

"Eh, di mana sih rumahmu?” aku berseru padanya.

Dia menunjuk. Ke selatan, kalau aku tidak salah. “Sampai besok” Dia segera
berbalik dan mulai berlari kecil.

Aku mengikuti Zeke ke kantor Mr. Levy. Semua lampu masih menyala, tapi
kantornya sudah kosong. Yang ada cuma sekretarisnya, Dot. Dia baru saja
mematikan komputer dan sedang bersiap-siap pulang.

“Apakah ada yang menyerahkan buku matematika saya ke sini?” Zeke bertanya
sambil bersandar ke komputer.

“Buku matematika?” Dot menatap Zeke sambil mengerutkan kening.

“Waktu itu ketinggalan di auditorium,” Zeke menjelaskan “Saya pikir Emile


pasti menyerahkannya ke sini."

Dot tampak bingung “Siapa? Siapa Emile itu.”

"Yang itu lho,” balas Zeke. “Orang tua berambut putih. Orangnya kecil. Si
tukang bersih-bersih yang bertugas malam.”

Dot menggelengkan kepala. “Barangkali kau keliru, Zeke,” ujarnya “Tidak ada
pegawai bernama Emile di sekolah ini. Dan kita tidak punya petugas kebersihan
yang bekerja malam.”
14

MALAM itu Tina Powell meneleponku di rumah. “Aku cuma mau tanya
bagaimana keadaanmu,” katanya. "Kau kelihatan pucat sekali tadi, Brooke.”

“Aku tidak terserang flu!” seruku. Aku benar-benar naik pitam.

“Kemarin kau sering bersin,” Tina menyahut sambil berlagak prihatin.

“Aku memang sering bersin,” kataku. “Sampai ketemu, Tina."

“Siapa hantu satu lagi yang muncul dl panggung tadi sore?” dia bertanya
sebelum aku sempat meletakkan telepon.

“Aku tidak tahu,” ujarku. “Aku benar-benar -”

“Seram juga, ya,” Tina memotong. “Mudah-mudahan kau tidak terlalu ngeri,
Brooke.”

“Sampai besok, Tina,” aku berkata dengan dingin.

Cepat-cepat aku meletakkan telepon. Lama-lama dia mulai menyebalkan.

Sepertinya dia memang ingin sekali memainkan peran Esmerelda, kataku dalam
hati.

Jangan-jangan dia memang berusaha menakut-nakuti aku, supaya aku


mengundurkan diri?

***

Tidak lama setelah itu Zeke menelepon dan meyakinkan aku bahwa hantu itu
pasti Emile. “Dia membohongi kita, kan?” Zeke bertanya dengan berapi-api.
“Dia bilang dia pegawai sekolah. Dan dia mencoba menakut-nakuti kita. Pasti
dia deh,” Zeke berkeras.

“Yeah. Mungkin saja,” sahutku sambil memutar-mutar karet rambut di


tanganku.

“Tingginya cocok,” Zeke melanjutkan. “Dan dia juga tahu soal pintu kolong
itu.” Zeke menarik napas. “Dan kenapa dia ada di sana, Brookie? Kenapa dia
ada di auditorium malam-malam?"
“Karena dia si Hantu?” tanyaku.

Memang masuk akal.

Aku berjanji datang lebih pagi besok, supaya Zeke dan aku bisa menceritakan
tentang Emile kepada Ms. Walker.

Malam itu aku bermimpi tentang sandiwara kami. Aku berada di atas panggung,
berkostum lengkap.
Semua lampu sorot diarahkan padaku. Aku menatap kursi-kursi yang dipenuhi
penonton.

Auditorium menjadi hening. Semua orang menunggu Esmerelda berbicara.

Aku membuka mulut dan mendadak sadar bahwa aku tidak ingat harus berkata
apa.

Aku menatap wajah para penonton.


Seluruh dialog seperti. terhapus dan ingatanku. Setiap kata. Setiap kalimat.

Semua kata telah terbang bagaikan burung yang. meninggalkan sarang.

Sarangnya kosong. Otakku benar-benar kosong.

Aku berdiri dicekam rasa panik. Aku tidak sanggup bergerak. Aku tidak
sanggup bicara.

Aku terbangun bermandikan keringat dingin. Seluruh tubuhku gemetaran.


Setiap ototku terasa kejang. Selimutku sudah jatuh tergeletak di lantai.

Uh, mimpi itu betul-betul menakutkan.

Aku tidak sabar untuk berpakaian dan berangkat sekolah. Mimpi buruk itu ingin
kulupakan secepat mungkin.

Tapi berhubung aku harus mengantar Jeremy dulu, aku tidak bisa datang sepagi
yang kuharapkan.

Jeremy terus bertanya tentang sandiwara kami. Dia ingin tahu segala sesuatu
tentang si Hantu. Tapi aku tidak berminat membicarakannya. Aku terus teringat
mimpiku, teringat perasaan panik yang menyerang saat aku berdiri di hadapan
tiga ratus orang dan kelihatan seperti orang tolol.
Aku mengantarkan Jeremy sampai ke gerbang sekolah, lalu terburu-buru
menyeberang jalan. Zeke ternyata sudah menunggu di pintu depan. Dengan
kesal dia menatap jam tangannya.

Aku tidak tahu untuk apa. Jamnya tidak menunjukkan waktu dengan tepat. Dia
pakai jam digital dengan tujuh belas macam kontrol. Zeke tak pernah mengerti
bagaimana cara menyetelnya. Dia bisa bermain game— dan jamnya bisa
memainkan selusin lagu. Tapi dia tidak bisa mendapatkan waktu yang tepat.

“Sori aku telat,” kataku.

Dia meraih lenganku dan menarikku ke kelas. Dia bahkan tidak memberi
kesempatan padaku tntuk mengambil buku dan locker atau membuka jaket.

Kami menghampiri Ms. Walker, yang duduk di belakang mejanya sambil


mempelajari pengumuman-pengumuman yang harus disampaikannya pagi itu.
Dia menoleh sambil tersenyum, tapi senyumnya segera lenyap ketika melihat
roman muka kami yang serius.

“Ada masalah?"

“Apakah kami bisa bicara sebentar dengan Anda?” bisik Zeke. DIa menatap
anak-ahak yang sudah berada di dalam kelas. “Bertiga saja?”

Ms. Walker menatap jam di dinding “Apakah tidak bisa menunggu sampai
nanti? Dua menit lagi bel sudah berdering.”

“Kami hanya perlu satu menit,” Zeke berjanji.

Ms. Walker mengikuti kami ke lorong, lalu menyandarkan punggung ke


dinding. “Ada apa?”

"Di sekolah kita ada hantu,” ujar Zeke penuh semangat. “Hantu sungguhan.
Brooke dan saya sudah melihatnya.”

“Nanti dulu!” Ms. Walker bergumam sambil mengangkat kedua tangannya


sebagai isyarat stop.

“Betul kok” aku berkeras “Kami memang melihatnya, Ms Walker. Di


auditorium. Kami menyelinap masuk. Untuk menggunakan pintu kolong, dan -”

“Apa?” dia berseru. Dia memicingkan mata dan menatapku, lalu Zeke.

“Saya tahu, saya tahu,” Zeke berkata sambil tersipu-sipu “Anda sudah melarang
kami. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Di sini ada hantu,” aku menegaskan. “Dan dia berusaha menggagalkan
sandiwara kita.”

“Saya tahu Anda pikir saya-lah yang jail selama ini.” Zeke menambahkan, “tapi
sebenarnya bukan. Itu ulah si Hantu. Dia -”

Ms. Walker kembali mengangkat kedua tangannya. Dia hendak mengatakan


sesuatu, tapi tiba-tiba bel berdering - persis di atas kepala kami.

Kami langsung menutup telinga masing-masing. Ketika bel akhimya berhenti


berdering, Ms. Walker menghampiri pintu kelas. Suasana di dalam benar-benar
gaduh. Anak-anak lain memanfaatkan ketidakhadiran Ms. Walker untuk
bercanda sesuka hati.

“Saya menyesal telah menceritakan kisah itu,” katanya kepada kami.

“Hah?” seru Zeke dan aku berbarengan.

“Seharusnya saya tidak menceritakan kisah hantu itu,” Ms. Walker berkata
dengan nada menyesal. "Banyak anak yang terpengaruh karenanya. Saya minta
maaf karena telah membuat kalian ketakutan.”

“Tapi kami tidak ketakutan!” Zeke memprotes. "Kami melihat seseorang, dan-”

“Kalian bermimpi buruk tentang hantu itu?” tanya Ms. Walker.

Dia tidak percaya pada kami.

“Begini—” aku angkat bicara.

Kami bertiga tersentak kaget ketika terdengar suara benturan keras dari dalam.
Suara benturan yang disusul tawa berderai-derai.

“Ayo, kita masuk saja,” ujar Ms. Walker. Dia menunjuk Zeke “Dan mulai
sekarang jangan macam-macam lagi - oke? Saya tidak mau ada lelucon lagi.
Kita ingin sandiwara ini berhasil, bukan?"

Sebelum kami sempat menyahut, dia sudah bergegas memasuki kelas.

***

“Kenapa aku ada di sini?" Brian mengeluh. Dia gemetaran dan menatap pohon-
pohon gelap di hadapan kami “Kenapa aku mau diajak ke sini?"

“Kau ikut karena kau teman yang setia,” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Bukan. Karena aku bodoh!” Brian meralat.

Sebenarnya ini ide Zeke. Dia muncul di rumahku sehabis makan malam. Aku
memberitahu orangtuaku bahwa ada latihan sandiwara, padahal tidak ada.

Lalu Zeke dan aku berjalan ke sekolah Di depan sekolah Brian bergabung
dengan kami. Dia memang sudah berjanji akan menunggu kami di sana.

“Aku tidak percaya bahwa Ms. Walker tidak percaya cerita kita,” Zeke
mengomel.

“Apakah kau akan percaya cerita gila seperti itu?" aku menantangnya.

“Pokoknya, kita akan mencari si Hantu, dan kita akan membuktikan bahwa kita
benar,” Zeke berkata dengan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain sekarang.
Kalau Ms. Walker tidak mau membantu, kita harus berusaha sendiri."

“Persis seperti dalam cerita petualangan yang seru,” aku berkomentar.

Zeke menoleh ke arahku. “Hmm, Brookie, kalau kau terlalu takut..."

“Tapi kenapa aku harus ikut?” Brian mengulangi sambil memperhatikan gedung
sekolah yang gelap.

“Soalnya kami butuh bantuan!” kataku. Aku mendorong Zeke. “Ayo, jalan. Kita
lihat saja siapa yang takut dan siapa yang tidak.”

“Sebenarnya aku agak ngeri,” Brian mengakui “Bagaimana kalau kita


kepergok?”

“Siapa yang mau memergoki kita” balas Zeke, "Kaudengar sendiri apa kata Dot.
Di sini tidak ada tukang bersih-bersih yang bertugas malam.”

“Tapi bagaimana kalau ada alarm atau sebangsanya?” tanya Brian “Maksudku,
alarm maling.”

“Yang benar saja,” sahutku sambil geleng-geleng kepala “Beli rautan pensil saja
sekolah kita tidak sanggup! Apalagi alarm maling.”

“Hmm, pintunya harus didobrak,” kata Zeke sambil memandang ke jalan.


Sebuah station wagon lewat tanpa mengurangi kecepatan. Dia kembali menarik-
narik pintu depan “Pintu dikunci.”

“Barangkali ada pintu samping” ujar Brian.


Kami mengendap-endap ke bagian samping gedung sekolah. Lapangan bermain
lengang dan sunyi. Rumput tampak berkilau keperakan karena cahaya bulan.

Pintu samping ternyata juga dikunci.

Begitu pula pintu belakang yang menuju ke ruang musik.

Aku mendongak dan memandang ke atap. Gedung sekolah menjulang di atas


kami bagaikan makhluk misterius. Jendela-jendela memantulkan sinar bulan,
yang merupakan satu-satunya cahaya yang terlihat.

“Hei - ada jendela yang terbuka.” bisik Zeke.

Kami Iangsung berlari menghampiri jendela salah satu kelas di lantai dasar.
Jendela itu memang setengah terbuka Setelah mengintip ke dalam, aku
mengenali ruang itu sebagai ruang PKK. Mrs. Langston pasti sengaja
membiarkan jendelanya terbuka, supaya bau biskuit yang dipanggang sore itu
bisa terbawa angin.

Zeke menggenggam ambang jendela dengan kedua tangan, lalu menarik


badannya ke atas. Sambil duduk di ambang jendela, dia mendorong daun
jendela sampai terbuka sepenuhnya.

Beberapa detik kemudian Brian dan aku sudah menyusulnya ke dalam. Bau
biskuit gosong masih tercium jelas. Perlahan-lahan kami mengendap-endap
dalam kegelapan, menuju ke pintu.

“Aduh!” aku berseru tertahan ketika pahaku membentur meja yang rendah.

"Jangan ribut dong!" Zeke langsung menggerutu.

"Hei - aku kan tidak sengaja!" bisikku dengan gusar.

Zeke sudah keluar ke lorong. Brian dan aku menyusul, pelan-pelan, dengan
hati-hati.

Lorong ternyata lebih gelap lagi dari ruang kelas. Kami terus merapat ke
dinding ketika berjalan menuju ke auditorium.

Jantungku berdebar-debar. Aku gugup sekali. Sepatuku menimbulkan bunyi


srek-srek pada lantai yang keras.

Tak ada yang perlu ditakuti, kataku dalam hati. Ini cuma gedung sekolah,
gedung yang sudah jutaan kali kaumasuki. Dan di sini tidak ada siapa-siapa.
Hanya kamu. Zeke. Brian. Dan si Hantu.

Hantu yang tidak mau ditemukan.

“Aku... aku benar-benar ngeri,” bisik Brian ketika kami membelok di ujung
lorong.

“Anggap saja ini cuma film bioskop yang seram,” aku berkata padanya.

“Tapi aku tidak suka film seram,” Brian memprotes.

“Ssst!” Zeke mendesis. Dia mendadak berhenti. Dan aku langsung


menabraknya. “Hati-hati sedikit dong, Brookie,”dia berbisik.

“Bilang-bilang dong kalau mau berhenti, Zekey,” balasku dengan kesal.

Aku memandang ke kegelapan di hadapanku. Kami telah sampai di auditorium.

Zeke membuka pintu terdekat. Kami mengintip ke dalam. Gelap gulita. Udara
di auditorium terasa lebih dingin.

Dingin dan lembap.

Soalnya, di sini tempat tinggal hantu, aku berkata dalam hati.

Jantungku berdegup semakin kencang. Aku langsung menyesal bahwa aku tidak
bisa mengendalikan pikiranku.

Zeke meraba-raba dinding dan menyalakan barisan lampu di atas deretan kursi
di sebelah kiri kami. Baru sekarang aku bisa melihat panggung yang kosong dan
sunyi. Seseorang membiarkan tangga bersandar pada salah satu dinding.
Beberapa kaleng cat ditaruh di bawah tangga.

“Bagaimana kalau semua lampu dinyalakan?” Brian mengusulkan. Sepertinya


dia benar-benar ngeri.

“Jangan,” sahut Zeke sambil mengamati panggung “Kita kan mau menyergap si
Hantu. Jangan sampai dia tahu kita datang”

Sambil saling merapat, kami menyusuri gang di tengah dan menuju ke


panggung. Sinar lampu dari belakang menghasilkan bayangan-bayangan
panjang.

Mirip hantu, pikirku.


Hei - rasanya ada bayangan yang bergerak di dekat panggung!

Ah, mana mungkin.

Jangan macam-macam, Brooke, aku menegur diriku sendiri. Jangan biarkan


daya khayalmu lepas kendali.

Pandanganku terus beralih dari depan ke belakang, dari panggung ke deretan-


deretan kursi yang kami lewati.

Di mana dia? aku bertanya-tanya. Di mana si Hantu?

Apakah dia tinggal di ruangan gelap jauh di bawah panggung itu?

Kami sudah hampir sampai di panggung ketika bunyi itu terdengar.

Suara langkah? Papan lantai yang berderak?

Kami langsung berhenti. Rupanya Zeke dan Brian juga mendengarnya.

Aku meraih lengan Zeke. Dan aku melihat Brian membelalakkan mata karena
ngeri.

Dan kemudian terdengar bunyi lain. Bunyi orang batuk.

“Kita... kita ti - tidak sendirian di sini!” aku tergagap-gagap.

15

“SI—SIAPA itu?!" aku berseru. Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan.

“Ada siapa di sini?” Zeke berseru ke arah panggung.

Tak ada jawaban.

Sekali lagi terdengar bunyi berderak.


Brian langsung mundur selangkah. Dia menggenggam sandaran kursi dan terus
berpegangan.

“Dia ada di belakang sana,” Zeke berbisik ke telingaku. Matanya tampak


berbinar-binar. “Aku yakin dia ada di belakang sana.”

“Di mana?” tanyaku dengan suara parau. Memang sukar untuk berbicara kalau
tenggorokan kita seperti tersekat.

Aku memandang ke panggung, tapi tidak melihat apa-apa.

Aku tersentak kaget ketika terdengar suara orang batuk.

Lalu ada bunyi berdentang-dentang yang bergema di seluruh auditorium.

Mula-mula aku mengira pelataran pintu kolong sedang bergerak ke atas.

Jangan-jangan ada orang yang sedang naik?

Jangan-jangan si Hantu akan muncul di hadapan kami?

Ternyata bukan.

Aku memekik tertahan ketika latar belakang panggung mulai bergerak turun.

Suara berdentang itu bertambah keras. Gambar latar turun pelan-pelan ke


panggung.

“Perbuatan siapa itu?" aku berbisik. “Siapa yang menurunkan gambar latar?”

Zeke dan Brian memandang lurus ke depan. Mereka tidak menyahut.

Zeke terbengong-bengong. Tanpa berkedip dia menatap ke panggung.

Gambar latar terus turun.

Dan kami bertiga menahan napas ketika melihat apa yang telah terjadi dengan
gambar itu.

Semula gambarnya memperlihatkan tembok batu bata berwarna kelabu. Brian


dan beberapa anak lain menghabiskan waktu berhari-hari untuk
mengerjakannya. Mereka mulai dengan membuat sketsa, lalu mengoleskan cat
bata demi bata.

“Si - siapa yang merusak gambarku?” seru Brian.


Zeke dan aku menatap gambarnya dengan mata terbelalak.

Tembok kelabu itu penuh corat-coret cat merah. Sepertinya seseorang


mencelupkan kuas ke dalam cat, lalu menggoreskannya ke seluruh gambar latar.

“Gambarku rusak!” Brian memekik.

Zeke yang pertama bergerak. Dia berpegangan pada. tepi panggung, lalu
menarik badannya ke atas. Brian dan aku segera menyusul.

“Siapa yang ada di sini?” Zeke memanggil sambil menempelkan tangan di


sekeliling mulut. “Siapa yang ada di sini?”

Hening.

Pasti ada orang di sini, aku berkata dalam hati. Orang itu telah menurunkan
gambar latar supaya kami melihat yang telah dilakukannya.

“Siapa yang ada disini? Siapa kau?" Zeke mengulangi.

Tetap tidak ada jawaban.

Kami mendekat pelan-pelan sambil saling merapat.

Dan ketika kami menghampiri gambar latar, kami melihat serangkaian kata
yang ditulis dengan cat merah di bagian bawah.

Aku berhenti dan memicingkan mata untuk membaca pesan itu dalam cahaya
yang redup.

JANGAN GANGGU RUMAHKU

“Astaga,” aku bergumam Aku langsung merinding.

Kemudian aku mendengar pintu samping dibuka. Kami bertiga segera


membalikkan badan melihat sosok gelap yang melangkah ke auditorium.

Kami berseru kaget ketika menyadari siapa orang itu.


16

Orang itu menatap kami sambil melongo. Berkali-kali dia mengedip-ngedipkan


mata, seakan-akan takut telah salah lihat.

"Saya - saya benar-benar tidak menyangka,” Ms. Walker akhirnya berkata.

Aku menelan ludah. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutku.

Zeke dan Brian pun berdiri seperti patung.

"Saya sangat kecewa terhadap kalian bertiga,’ ujar Ms. Walker sambil
menghampiri kami. “Memasuki bangunan dengan paksa dan tanpa izin
merupakan pelanggaran serius. Dan kalian bertiga tidak boleh berada di-”

Dia mendadak terdiam. Pandangannya beralih pada gambar latar, dan dia
memekik tertahan. Dia begitu terkejut melihat Zeke, Brian, dan aku di atas
panggung, sehingga dia tidak memperhatikannya - sampai saat ini.

“Oh! Oh! Ya, ampun!" serunya sambil menempelkan kedua tangan ke pipi. Dia
terhuyung-huyung, seolah-olah tidak sanggup menjaga keseimbangan. Aku
sudah takut dia bakal jatuh!

“Tega-teganya kalian berbuat begini." katanya dengan sedih. Dia bergegas


melintasi panggung sambil terus menatap gambar latar yang berlumuran cat
merah. “Tega-teganya kalian merusak gambar ini. Anak-anak lain sudah bekerja
keras selama berhari-hari untuk menyelesaikannya!”

“Bukan kami yang melakukannya,” ujar Zeke pelan-pelan.

“Ya, bukan kami,” aku menambahkan

Ms. Walker menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan hendak mengusir kami


dari pikirannya. “Kelihatannya kalian tertangkap basah,” dia berkata dengan
nada menyesalkan. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

"Ms. Walker, sebenarnya -,” aku mulai berkata.

Dia mengangkat tangan supaya aku berhenti. “Begitu pentingkah lelucon ini
bagi kalian bertiga?” dia bertanya dengan suara bergetar.
“Ms. Walker -”

“Begitu pentingkah kalian membuat semua orang percaya bahwa ada hantu di
sini? Sampai kalian masuk tanpa izin — dan dengan begitu melakukan
kesalahan serius — lalu merusak latar belakang panggung sandiwara kita?”

“Bukan kami yang melakukannya,” aku berkeras. Suaraku pun bergetar.

Ms. Walker maju selangkah dan menggoreskan jari ke noda cat merah pada
gambar latar. Ketika dia mengangkat jarinya, ujung jarinya berwarna merah.

“Catnya masih basah,” dia berkata sambil menatapku dengan tajam, “Selain
kalian tidak ada siapa-siapa di sini. Apakah kalian akan terus membohongi saya
sepanjang malam?”

“Kalau saja Anda mau mendengarkan - ,” Zeke angkat bicara.

“Kau-lah yang paling mengecewakan saya, Brian,” ujar Ms. Walker. Ia


menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening, “Kau baru satu minggu
bersekolah di sini. Seharusnya kau menunjukkan sikapmu yang paling baik.”

Brian tersipu-sipu. Wajahnya lebih merah dari wajah siapa pun yang pernah
kulihat. Dia menundukkan kepala, seolah-olah memang bersalah.

Aku menarik napas panjang “Ms. Walker, kami harus diberi kesempatan untuk
menjelaskan semuanya!” aku berseru, “Bukan kami yang melakukan ini!
Gambar latarnya sudah begini waktu kami datang! Sungguh?"

Ms. Walker hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian berubah pikiran.


“Oke.” Dia langsung menyilangkan tangan di depan dada. “Silakan. Tapi saya
ingin mendengar yang sebenarnya.”

“Ya,” ujarku. Aku mengangkat tangan kanan, seakan-akan sedang bersumpah


“Brian, Zeke, dan saya memang masuk tanpa izin. Tapi sebenarnya bukan
dengan paksa. Kami memanjat lewat jendela yang terbuka.”

“Kenapa?” Mr. Walker bertanya dengan tegas “Untuk apa kalian datang ke sini?
Kenapa kalian bukan di rumah masing-masing, seperti seharusnya?"

“Kami ingin mencari si Hantu,” Zeke menyahut. Rambutnya yang pirang


disibakkannya dengan sebelah tangan. Dia selalu berbuat begitu kalau lagi
tegang.

“Tadi pagi kami sudah bercerita mengenai si Hantu, tapi Anda tidak percaya.”
“Tentu saja saya tidak percaya” balas Ms. Walker. “Itu hanya legenda tua.
Sebuah cerita.” Ia menatap Zeke sambil mengerutkan kening.

Zeke menghela napas. “Kami sudah bertemu si Hantu, Ms. Walker. Brooke dan
saya. Karni melihatnya. Dia-lah yang mencorat-coret gambar latar. Bukan kami.
Dia yang turun lewat tali dan catwalk. Dan menyergap Brooke waktu latihan.”

“Kenapa saya harus percaya itu?” tanya Ms. Walker, masih sambil
menyilangkan tangan di depan dada.

“Karena memang benar,” kataku. “Zeke, Brian, dan saya - kami datang ke sini
untuk mencari si Hantu.”

“Di mana kalian akan mencarinya?"’ Ms. Walker bertanya.

“Ehm,” Zeke bergumam. “Kemungkinan di bawah panggung.”

“Maksudnya, kalian mau turun lewat pintu kolong?” tanya Ms. Walker.

Aku mengangguk “Mungkin. Kalau terpaksa.”

“Tapi saya sudah melarang semua orang mendekati pintu kolong,” guru kami
menegaskan.

“Saya tahu,” ujarku. “Dan saya menyesal. Kami semua menyesal. Tapi kami
harus menemukan si Hantu, untuk membuktikan kepada Anda bahwa dia
memang ada, bahwa kami tidak mengada-ada.”

Tampang Ms. Walker tetap kencang. Dia tetap menatap kami sambil mendelik.
“Sampai sekarang saya belum mendengar apa pun yang bisa meyakinkan saya."

“Waktu kami datang tadi, kami mendengar suara-suara,” Zeke memberitahunya


sambil bergoyang-goyang dengan canggung. “Suara langkah. Suara lantai
berderak. Jadi kami tahu ada orang lain di sini.”

“Lalu gambar latarnya mulai turun,” Brian menimpali dengan suara kecil. dan
bergetar, “Kami cuma berdiri di sini dan memperhatikannya turun sendiri, Ms.
Walker. Sungguh. Dan waktu kita lihat bahwa gambarnya sudah dicoret-coret,
kami... kami sendiri kaget sekali!”

Roman muka Ms. Walker agak melunak. Brian begitu gugup, sehingga Ms.
Walker kelihatannya mulai percaya.

“Saya sudah bekerja keras untuk membuat gambar latar itu,” Brian melanjutkan.
“Ini tugas pertama yang saya kerjakan di sekolah ini, dan saya ingin hasilnya
sebaik mungkin. Saya tidak mungkin merusak gambar saya sendiri sebagai
lelucon konyol. Saya tidak mungkin berbuat begitu.”

Ms. Walker menurunkan tangannya. Dia menatap kami satu per satu, lalu
kembali memperhatikan gambar latar. Kemudian dia membaca pesan yang
tertulis di bagian bawah sambil menggerakkan bibir tanpa bersuara:

JANGAN GANGGU RUMAHKU

Dia memejamkan mata dan diam beberapa saat. Kemudian dia kembali
berpaling kepada kami. “Sebenarnya saya ingin mempercayai kalian," dia
mengakui sambil mendesah “Tapi saya tidak bisa."

Dia mulai mondar-mandir di hadapan kami. “Saya kembali ke sekolah sebab


saya lupa membawa kertas-kertas ulangan matematika kalian. Lalu saya
mendengar suara di auditorium. Saya masuk ke sini, dan melihat kalian di
panggung. Gambar latar sudah rusak dicoret-coret. Catnya masih basah. Dan
kalian berharap saya percaya bahwa hantu misterius dari tujuh puluhan tahun
silam-lah yang bertanggung jawab.”

Aku diam saja. Begitu pula Zeke dan Brian. Rasanya tak ada lagi yang bisa
kami katakan.

“Anehnya, saya mulai mempercayai kalian,” Ms. Walker menambahkan sambil


mengerutkan kening.

Kami bertiga menarik napas lega


“Maksudnya, saya mulai percaya bahwa bukan kalian yang mencorat-coret
gambar latar.” Dia kembali menggelengkan kepala “Ayo, kita pulang saja,” dia
berkata dengan lembut. “Malam sudah larut. Saya perlu merenungkan kejadian
ini. Barangkali kita perlu minta Mr. Levy mengadakan penyelidikan. Siapa tahu
dia bisa menemukan orang yang berniat menggagalkan sandiwara kita.”

Oh, gawat, ujarku dalam hati. Jangan bawa-bawa kepala sekolah. Bagaimana
kalau dia memutuskan bahwa sandiwara kita harus dibatalkan? Tapi aku tidak
mengatakan apa-apa. Zeke dan Brian pun diam saja. Kami bahkan tidak saling
berpandangan. Kami hanya mengikuti Ms Walker ke lorong.

Aku lega sekali karena Ms. Walker akhirnya mulai mempercayai kami. Dan
juga karena dia tidak menjatuhkan hukuman.

Dia menyalakan lampu di lorong supaya kami tidak perlu berjaian dalam
kegelapan.
Tiba-tiba kami berhenti serempak.

Kami semua melihat bercak-bercak cat merah yang mengotori lantai lorong.

“Hmm, coba lihat ini!" seru Ms. Walker. “Tukang cat kita agak sembrono. Dia
meninggalkan jejak untuk diikuti.”

Ms. Walker menyalakan sejumlah lampu lain, dan kemudian kami mengikuti
bercak-bercak cat itu sampai ke ujung lorong. Jelas-jelas kami melihat jejak
sepatu di salah satu genangan cat.

“Ya ampun,” bisik Zeke. “Dia meninggalkan jejak.”

“Untung saja,” aku menyahut, juga sambil berbisik. “Bercak-bercak cat ini
mungkin akañ membawa kita ke orang yang merusak gambar latar.”

“Maksudmu si. Hantu?" ujar Zeke.

Kami membelok dan melewati sebuah noda kecil.

"Paling tidak ini akan membuktikan kepada Ms. Walker bahwa kita tidak
mengada-ada,” Brian berkata pelan-pelan.

Kami kembali membelok.

Jejak cat merah itu mendadak lenyap. Bercak terakhir tampak di depan sebuah
pintu locker.

“Hmm,” Ms. Walker bergumam sambil mengerutkan kening. Dia mengalihkan


pandangan dari bercak di lantai ke pintu locker. “Kelihatannya jejak ini menuju
kemari.”

"Hei!?" Zeke berseru tiba-tiba, sehingga kami semua tersentak kaget. Aku
melihatnya membelalakkan mata. "Itu lockerku!”
17

SEJENAK semuanya membisu.

Aku mendengar napas Zeke tersengal-sengal. Aku berpaling ke arahnya. Dia


sedang memelototi lockernya seakan-akan pandangannya sanggup menembus
pintu logam yang berwarna kelabu itu.

“Buka locker-mu, Zeke,” Ms. Walker memerintahkan sambil mengertakkan


gigi.

“Hah?” Zeke menatapnya dengan bingung, Seolah-olah tidak mengerti ucapan


Ms. Walker. Dia menundukkan kepala dan memperhatikan bercak-bercak cat
merah pada lantai di bawah pintu lockernya.

“Ayo, buka locker-mu,” Ms Walker mengulangi. Tiba-tiba dia kelihatan letih


sekali.

Zeke tetap tidak bereaksi. “Tapi tapi tidak ada apa-apa di dalamnya,” Zeke
memprotes. “Cuma buku pelajaran dan buku catatan dan sebagainya."

“Ayo” Ms. Walker menunjuk kunci kombinasi “Ayo, Zeke. Sudah malam.”

“Anda menyangka bahwa - ?” Zeke mulai berkata.

Ms. Walker kembali menunjuk kunci kombinasi di pintu.

“Barangkali ada orang yang menjadikan Zeke sebagai kambing hitam,” ujarku
“Barangkali orang itu sengaja meninggalkan bercak-bercak cat yang menuju ke
locker Zeke.”

“Mungkin saja,” Ms. Walker menyahut singkat. "Karena itulah saya minta dia
membuka lockernya.”

“Oke, oke,” Zeke bergumam. Tangannya gemetaran ketika dia meraih kunci
kombinasi. Sambil membungkuk dia memutar kunci itu - mula-mula ke kiri,
lalu ke kanan

“Minggir sedikit dong.” dia menggerutu. “Kau menghalangi sinar lampu.

Aku langsung mundur, “Sori” Aku baru sadar bahwa dia tidak bisa melihat
angka-angka pada kunci kombinasi karena terhalang bayanganku.
Aku melirik ke arah Brian. Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana.
Dia bersandar di dinding dan memperhatikan Zeke memutar-mutar kunci
kombinasi.

Akhirnya terdengar bunyi klik. Zeke segera menarik pegangan pintu dan
membuka pintunya.

Aku langsung mencondongkan badan ke depan untuk mengintip. Ms. Walker


juga. Akibatnya kepala kami nyaris bertabrakan.

Kami sama-sama melihat kaleng kecil berisi cat. Sebuah kaleng cat warna
merah di dasar locker, Tutupnya tidak terpasang rapat. Di pinggir kaleng masih
ada tetes-tetes cat yang mengalir ke bawah.

“Tapi itu bukan punya saya!” Zeke berseru.

Ms. Walker menarik napas panjang. “Sori, Zeke.”

“Kaleng cat itu bukan punya saya!” Zeke berkeras. “Sungguh, Ms. Walker!
Bukan!”

“Saya akan menelepon orangtuamu dan mengundang mereka ke sini untuk


mengadakan pembicaraan serius,” Ms. Walker berkata sambil menggigit bibir.
“Dan tentu saja, kau tidak bisa ikut dalam sandiwara kita.”

“Oh, jangan dong, Ms. Walker!” Zeke menggerutu. Pintu locker-nya dibanting
sekeras mungkin. Bunyinya bergema di sepanjang lorong yang lengang.

Ms. Walker tersentak kaget. Zeke ditatapnya dengan marah. Kemudian dia
berpaling kepada Brian dan aku. “Jadi kalian berdua juga terlibat? Katakan yang
sebenarnya!”

“Tidak!” seru Brian dan aku berbarengan.

“Bukan kami yang melakukannya,” aku menambahkan, lalu hendak berkata,


“Zeke juga bukan.”

Tapi aku sadar bahwa usahaku sia-sia saja. Kaleng cat di locker Zeke
merupakan bukti yang sukar disangkal.
Zeke tidak bisa berkelit.

“Kalau saya mendengar bahwa kau dan Brian ternyata ikut terlibat, maka kalian
juga akan dicoret dari daftar pemain dan orangtua kalian juga akan dipanggil,”
Ms. Walker mengancam. “Sekarang pulanglah.”
Kami segera keluar lewat pintu depan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Udara malam terasa dingin di kulitku yang panas. Aku menggigil.

Bulan sabit setengah tersembunyi di balik gumpalan kabut kelabu. Kabut itu
tampak bagaikan sosok hantu yang hendak menelan bulan

Aku mengikuti Zeke dan Brian menuruni tangga di muka gedung sekolah.

“Brengsek,” Zeke menggerutu dengan gusar. "Betul- betul brengsek.”

“Yeah,” aku bergumam sambil mengangguk-angguk. Kasihan si Zeke. Dia


benar-benar kesal. Dan keadaannya bakal tambah gawat kalau orangtuanya
sudah ditelepon oleh Ms. Walker.

“Bagaimana kaleng cat itu bisa masuk ke locker- mu?” Brian bertanya sambil
melirik ke arah Zeke.

Zeke langsung melengos. “Mana kutahu?!” balasnya sengit.

Kami menuju ke trotoar. Dengan gusar Zeke menendang kotak jus yang sudah
kosong ke tengah jalan.

"Sampai besok deh," ujar Brian dengan muram. Dia melambaikan tangan, lalu
berjalan ke arah rumahnya.

Zeke berlari kecil ke arah yang berlawanan.

"Kita tidak pulang bareng-bareng?" aku memanggil.

“Tidak,” dia menyahut sambil terus berlari. Lega juga rasanya dia
mendahuluiku. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa padanya.
Perasaanku tak menentu. .

Aku berjalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala dan berpikir keras, ketika
aku melihat titik cahaya mengambang di kegelapan di hadapanku.

Titiknya bertambah besar, dan aku menyadari bahwa itu lampu sepeda.
Sepedanya membelok ke pelataran parkir di sekolah, lalu meluncur ke arahku.

Ketika jaraknya tinggal satu atau dua meter, aku baru mengenali
pengendaranya. “Tina!” aku berseru terkejut. “Kenapa kau ada di sini?”

Dia berhenti. Matanya yang gelap memantulkan cahaya lampu jalanan di atas
kepala kami. Dia mengembangkan senyum. Senyum yang janggal.
“Hai, Brooke! "

Apakah dia ada di sekolah tadi? aku bertanya dalam hati. Apakah dia baru dari
sekolah?

“Dari mana kau?" aku mengulangi.

Dia tetap tersenyum simpul. “Dan rumah teman,” katanya.

“Kau baru dari sekolah, ya?” aku mendesak.

“Dari sekolah? Tidak. Untuk apa aku ke sana malam-malam begini?” jawabnya.
Dia bergeser sedikit di jok sepeda, lalu kembali menginjak pedal. “Sebaiknya
jaketmu dikancingkan saja, Brooke,” dia berkata padaku. “Kau tidak ingin kena
flu, kan?”

18

PADA hari Sabtu sepanjang hari kami mengadakan latihan sandiwara di


auditorium. Pertunjukannya tinggal seminggu lagi.

Kami semua bekerja keras, dan latihannya pun berjalan lancar. Aku cuma dua
kali lupa kalimat yang harus kuucapkan.

Tap tanpa Zeke rasanya tetap lain.


Robert Hernandez telah menggantikan tempatnya. Aku suka Robert, hanya saja
dia terlalu serius. Dia tidak pernah bisa memahami lelucon-leluconku, dan dia
juga tidak suka bercanda atau dijaili.

Sehabis makan siang, Robert dan Corey melatih sebuah adegan bersama-sama.
Ms. Walker belum kembali dari makan siangnya.

Aku menghampiri Brian. Dia memegang kuas yang baru dicelupnya ke dalam
cat hitam. Dia sedang berdiri -membungkuk di atas gambar latar yang baru, dan
memberi sentuhan terakhir pada beberapa batu bata.
“Bagus juga," aku memuji. Tiba-tiba saja aku merasa terdorong untuk menepuk
punggungnya supaya catnya berlepotan. Tapi kemudian aku memutuskan
bahwa itu bukan ide yang baik.

Aku sendiri tidak mengerti dari mana dorongan-dorongan mendadak seperti itu
berasal.

“Bagaimana latihannya?” Brian bertanya tanpa menoleh. Dia sedang menambal


beberapa titik yang sebelumnya terlewatkan olehnya.

“Lumayan,” kataku sambil memandang berkeliling. Aku melihat Tina sibuk


dengan kaleng besar berisi lem di seberang panggung. Dia sedang mengoleskan
lem ke lampu gantung yang terbuat dari karton.

“Robert bagus juga sebagai hantu,” ujar Brian sambil menggaruk dagu dengan
ujung tangkai kuas

"Yeah,” aku membenarkan, “tapi aku tetap merasa kehilangan Zeke.”

Brian mengangguk. Kemudian dia menoleh dan menatapku. "Kau tahu, tidak?
Sejak Zeke pergi tak ada lelucon konyol lagi. Tak ada dekor yang rusak. Tak
ada hantu misterius yang mengagetkan kita semua. Tak ada pesan ancaman di
dinding. Tak ada apa-apa. Tak ada satu kejadian buruk pun sejak Ms. Walker
mengusir Zeke.”

Terus-terang, aku sama sekali tidak memperhatikannya Tapi Brian benar. Sejak
Zeke dicoret dari daftar pemain, si Hantu sama sekali tak pernah muncul lagi.

Semuanya berjalan dengan lancar. Dan aku bahkan tidak menyadarinya.

Apakah ini berarti bahwa memang Zeke yang tampil sebagai si Hantu? Bahwa
Zeke yang bertanggung jawab atas segala kejadian aneh yang kami alami?

"Orangtua Zeke pasti marah, ya, waktu Ms. Walker memanggil mereka ke
sekolah?” tanya Brian, "Apakah Zeke kena hukuman?"

“Tentu saja,” sahutku, sambil terus memikirkan si Hantu “Dia dihukum tidak
boleh keluar main seumur hidup. Dan videonya juga diambil. Berarti dia tidak
bisa nonton film horor. Zeke tidak bisa hidup tanpa film horor.”

Brian terkekeh-kekeh, “Barangkali Zeke sudah terlalu banyak nonton film


horor,” katanya.

“Oke, semuanya!” sebuah suara berseru keras-keras. Aku menoleh dan melihat
Ms. Walker sudah kembali dari makan siangnya “Kita mulai dari adegan
pembukaan Babak Dua,” dia mengumumkan. "Kita akan melatih seluruh babak
sampai selesai."

Aku meninggalkan Brian dan bergegas ke bagian depan panggung. Esmerelda


tampil dalam hampir semua adegan di Babak Dua. Kali ini aku akan
memastikan bahwa aku ingat semua kalimat yang harus kuucapkan.

Ketika aku menghampiri Robert, aku melihat Ms. Walker meraih naskahnya
dari meja. Dia memegangnya dengan kedua tangan, hendak membuka Babak
Dua.

Aku memperhatikan ekspresinya berubah ketika tangannya mengutak-atik


naskah tersebut. Dia menggerutu. Kemudian dia kembali menarik-narik buku
tebal itu.

“Hei -” serunya gusar. “Siapa ini yang iseng?”

“Ms. Walker, ada apa?” tanya Robert.

Ms. Walker mengacungkan naskahnya dengan mengguncang-guncangya


dengan jengkel. "Buku saya - semua halamannya direkatkan dengan lem” dia
marah-marah.

Anak-anak di sekitar panggung menahan napas.

“Oke, ini sudah keterlaluan” seru Ms. Walker. Buku naskah dilemparkannya ke
dinding, “Ini lelucon yang terakhir! Sandiwara ini dibatalkan. Silakan pulang,
semuanya! Sandiwara kita batal!”

19

"Tapi Ms. Walker pasti berubah pikiran lagi, kan?" tanya Zeke.
Aku mengangguk. “Yeah. Setelah beberapa detik dia sudah tenang lagi, dan dia
bilang sandiwara kita bisa diteruskan. Tapi sampai selesai latihan dia jadi uring-
uringan dan gampang marah.”

“Paling tidak, kali ini dia tidak bisa menyalahkan aku,” ujar Zeke. Dia
menggelindingkan bola berwarna pink melintasi ruang tamu, dan Buster, anjing
cocker spaniel-nya yang berbulu hitam, langsung mengejarnya.

Brian dan aku sengaja mampir ke rumah Zeke untuk menceritakan


perkembangan terakhir. Zeke dilarang keluar main - mungkin untuk seumur
hidup - sehingga terpaksa mendekam di dalam rumah. Qrangtuanya sedang
nonton film di bioskop. Mereka akan pulang beberapa jam lagi.

Buster melepaskan bola dan mulai menyalak ke arah Brian.

Zeke ketawa. “Dia tidak suka padamu, Brian.” Dia meraih bola dan kembali
menggelindingkannya di atas karpet.

Tapi bolanya tak digubris oleh Buster. Dia terus menggonggong ke arah Brian.

Brian tersipu-sipu. Dia mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepala


anjing itu. “Kenapa sih kau? Aku bukan orang jahat.”

Buster langsung menghindar dan berlari untuk mencari bola yang telah
menggelinding sampai ke lorong.

“Hmm, ini bukti nyata bahwa ada orang iseng lain di kelas kita," ujar Zeke, dan
senyumnya langsung lenyap. Dia menyandarkan punggung di sofa yang
didudukinya. “Berarti sekarang terbukti bahwa bukan aku yang berusaha
menggagalkan sandiwara kita.”

Sebenarnya aku ingin menanggapinya dengan bercanda, tapi aku melihat roman
muka Zeke serius. Karena itu aku diam saja.

“Di sekolah kita memang ada hantu,. dan hantunya bukan aku,” kata Zeke.
“Tapi sekarang semua orang menganggap aku pembohong. Ms. Walker pikir
aku mau menggagalkan sandiwara kita. Dan orangtuaku sendiri menyangka aku
anak yang tidak bisa diatur.”

“Sebagai hantu kau jauh lebih bagus daripada Robert,” aku berusaha
menghiburnya. “Waktunya kurang dari seminggu lagi dan Robert belum juga
hafal kalimat-kalimatnya. Bahkan dia menyesal ikut seleksi sandiwara ini.
Sebenarnya dia sudah tidak mau ikutan lagi.”
Zeke langsung berdiri. “Kalau kita bisa membuktikan bahwa bukan aku
hantunya, aku yakin Ms. Walker akan mengembalikan peran itu padaku.”

"Oh-oh,” kataku. Pikiran Zeke sudah terbaca olehku. Aku sudah tahu ucapannya
yang berikut.

“Oh-oh,” Brian membeo. Rupanya dia juga sudah bisa membayangkannya.

“Ayo, kita ke sekolah,” ujar Zeke. Matanya berbinar-binar. “Kali ini hantu itu
akan kita cari sampai ketemu. Aku benar-benar ingin mendapatkan peranku
kembali.”

Aku menggelengkan kepala. “Jangan, Zekce -“aku mulai membujuknya.

“Aku mau membuktikan kepada semua orang bahwa bukan aku yang berniat
menggagalkan sandiwara kita,” Zeke berkeras.

Brian melemparkan bola kepada Buster. Tapi anjing itu tidak bereaksi “Tapi
kau kan lagi dihukum,” Brian mengingatkan Zeke.

Zeke angkat bahu. “Kalau kita bisa menemukan hantu itu dan membuktikan
bahwa aku tidak bersalah, orangtuaku justru akan senang aku melanggar
larangan mereka. Dan setelah itu hukumanku pasti dihapus. Ayo dong. Kita
coba sekali lagi, oke?”

Aku menatap Zeke sambil mengerutkan kening. Terus terang, aku tidak setuju
pada gagasannya itu. Terakhir kali kami menyusup ke auditorium, kami semua
mendapat kesulitan besar.

Tampang Brian pun menunjukkan bahwa dia enggan pergi ke sana.

Tapi bagaimana kami bisa menolak ajakan Zeke? Dia sudah sampai memohon-
mohon!

***

Udara malam itu sebenarnya cukup hangat, tapi aku tetap kedinginan. Ketika
kami berjalan ke sekolah aku terus melihat bayangan-bayangan yang seakan-
akan hendak menyergap kami. Tapi setiap kali aku menoleh, bayangan-
bayangan itu langsung menghilang.

Brooke, kau terlalu banyak mengkhayal, aku menegur diriku sendiri.

Tapi kenapa jantungku terus berdentum-dentum bagaikan gendang besar ditalu?


Kenapa aku tidak berada di rumah dan menonton TV bersama Jeremy? Aku
punya firasat buruk mengenai petualangan kami. Firasat yang sangat buruk.

Kami tidak membuang-buang waktu dengan mencoba membuka pintu. Kami


memasuki gedung sekolah dengan cara sama seperti terakhir kali, yaitu dengan
memanjat lewat jendela ruang PKK. Kemudian, sekali lagi kami menyusuri
lorong-lorong gelap ke arah auditorium.

Deretan lampu di atas barisan kursi paling belakang ternyata masih menyala.
Panggung tampak gelap dan kosong di hadapan kaml, kecuali gambar latar yang
menempel di dinding.

Zeke menyusuri gang di tengah. Brian dan aku sudah dibekali senter, dan kami
segera menyalakan senter masing-masing ketika menuju ke panggung. Berkas
cahayanya menyoroti deretan bangku kosong. Aku mengarahkan senterku ke
depan dan membiarkan cahayanya menyapu seluruh panggung.

Tak ada siapa-siapa di sana. Semuanya kelihatan biasa saja.

“Zeke, kita cuma buang-buang waktu di sini,” ujarku sambil berbisik, biarpun
tak mungkin ada yang mendengar kami

Dia menempelkan telunjuk ke bibir “Kita harus turun ke bawah panggung,” dia
menyahut sambil memandang lurus ke depan, “Dan kita akan menernukannya,
Brooke. Kali ini, kita akan menemukannya."

Belum pernah aku melihat Zeke begitu serius, begitu bersungguh-sungguh.


Bulu kudukku berdiri. Tapi aku memutuskan untuk tidak berdebat dengannya.

“Ehm.... mungkin lebih baik kalau aku tunggu di sini sementara kalian ke
bawah,” Brian mengusulkan “Aku akan berjaga-jaga di panggung.”

"Berjaga-jaga terhadap siapa?" balas Zeke, sambil menyorotkan senternya ke


wajah Brian.

Roman muka Brian jelas-jelas ketakutan “Terhadap.. siapa saja yang mungkin
datang,” dia menyahut pelan-pelan.

“Semua harus ikut turun,” Zeke berkeras “Aku butuh dua saksi kalau kita
menemukan si Hantu - kau dan Brooke.”

“Tapi si Hantu memang hantu—ya, kan?" tanya Brian “Bagaimana caranya


mencari hantu?”

Zeke langsung melotot, “Pokoknya, kita cari dia sampai ketemu.”


Brian angkat bahu. Dia dan aku sama-sama sadar bahwa malam ini tak ada
gunanya berdebat dengan Zeke.

Papan-papan lantai panggung berderak-derak ketika kami menghampiri pintu


kolong. Berkas sinar senter-senter kami menerangi celah di sekeliling pelataran.

Brian dan aku berdiri di tengah-tengahnya. Zeke menginjak tuas di lantai, lalu
melompat ke samping kami.

Seketika terdengar bunyi berdentang yang sudah akrab di telinga kami. Lalu
bunyi berdengung saat pelatarannya mulai turun. Panggung seakan-akan
bergerak naik. Dalam waktu beberapa detik saja kami sudah dikelilingi empat
dinding gelap.

Cahaya senter menyapu permukaan dinding. Sementara kami terus turun.


Suasana kian mencekam, dan semangatku pun semakin redup. Lututku mulai
gemetaran.
Kami berdiri di tengah-tengah pelataran. Bunyi berdentang dan menggerisik
bertambah keras. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.

Selama beberapa detik tak ada yang bergerak.

Zeke yang pertama turun dan pelataran. Dia mengangkat senternya dan
menyorotkannya ke segala arah. Kami berada di tengah-tengah ruangan besar
yang kosong. Di kiri-kanan ada terowongan yang entah menuju ke mana.

“Sini, Hantu! Kemari, kau!” Zeke memanggil pelan-pelan, seakan-akan


memanggil anjingnya. “Hantu, di mana kamu?" dia bertanya dengan nada
bersenandung.

Aku pun turun dari pelataran dan mendorongnya dengan keras.

“Jangan macam-macam,” kataku. “Tadi kau bilang kau sedang serius. Kenapa
malah bercanda sekarang?”

“Supaya kau jangan terlalu ngeri,” sahut Zeke.

Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Dia bercanda supaya dia jangan terlalu ngeri.

Aku menatap Brian. Dalam cahaya yang redup pun aku langsung melihat bahwa
wajahnya pucat pasi. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya. “Ayo, kita naik
lagi deh.”

"Nanti dulu,” ujar Zeke, "ikuti aku. Arahkan sentermu ke bawah, supaya
jalannya kelihatan.”
Brian dan aku berdampingan mengikuti Zeke. Kami memasuki terowongan
panjang, berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan pasang telinga.

Hening.

Lututku masih gemetaran. Dan bukan lututku saja, tapi seluruh tubuhku. Tapi
Zeke kelihatan begitu berani. Dia tidak boleh tahu bahwa aku ngeri.

“Terowongan ini kemungkinan membentang sampai ke ujung gedung sekolah,”


bisik Zeke sambil mengarahkan senternya ke depan, “Mungkin lebih jauh lagi.
Sampai ke ujung blok”

Kami kembali maju beberapa langkah - lalu berhenti karena mendengar bunyi di
belakang.

Bunyi berdentang diikuti dengungan keras.

“Hei!” Brian memekik.

“Pelatarannya”

Kami bertiga membalik dan mulai berlari ke arah pelataran. Suara langkah kami
terdengar bergema di terowongan yang gelap.

Aku terengah-engah ketika sampai di ruangan semula. Aku nyaris tak sanggup
menarik napas

“Pe - pelatarannya naik sendiri!” Zeke berseru.

Tak berdaya kami rnenyaksikan pelataran itu bergerak ke atas, kembali ke


panggung.

“Tekan tombolnya!” Zeke berpesan padaku. “Bawa turun lagi!"

Aku meraba-raba dinding berusaha menemukan tombol yang dimaksud, lalu


berusaha menggerak-gerakkannya. Tapi tombol itu macet.

Oh, bukan. Ternyata dikunci.

Seseorang menguncinya supaya tidak bisa digunakan.

Pelataran pintu kolong berhenti jauh di atas kepala kami. Zeke, Brian, dan aku
sama-sama membisu sambil memandang kegelapan di atas
“Zeke, kita terperangkap di sini." aku bergumam “Kita tidak bisa naik lagi Kita
benar-benar terperangkap.”

20

KAMI menunggu untuk melihat apakah seseorang akan turun. Tapi


pelatarannya tetap berhenti di
atas.

Brian bertanya dengan suara bergetar, "Siapa yang menaikkan pelataran? Siapa
yang menginjak tuas supaya pelatarannya naik lagi?"

"Si Hantu!” seruku. Aku berpaling kepadá Zeke. “Sekarang bagaimana?”

Zeke angkat bahu. “Kelihatannya tidak ada pilihan lain. Kalau kita mau keluar
dari sini, kita harus menemukan si Hantu!”

Berkas sinar senter-senter kami menerangi lantai ketika kami kembali


memasuki terowongan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kami menyusuri
terowongan yang berliku-liku.

Dasar terowongannya mulai becek dan berlumpur. Udara pun bertambah dingin.

Di kejauhan aku mendengar bunyi menciut-ciut. Moga-moga bukan kelelawar,


aku berharap dengan cemas.

Brian dan aku harus mengayunkan langkah dengan cepat agar tidak tertinggal
oleh Zeke. Dia berjalan dengan Iangkah panjang, sementara senternya berayun
maju-mundur.

Tiba-tiba aku mendengar seseorang bersenandung pelan. Baru kemudian


kusadari itu suara Zeke. Dia sedang bersenandung sendiri.
Ya ampun, Zeke! aku berkata dalam hati. Masa sih kau sama sekali tidak ngeri?
Kau tidak bisa menipuku dengan sikapmu yang sok tenang. Kau sama takutnya
seperti aku.

Aku baru hendak mengolok-oloknya, tapi terowongan mendadak berakhir dan


kami berdiri di depan pintu yang rendah. Brian berdiri di belakang. Tapi Zeke
dan aku langsung menghampiri pintu itu dan memeriksanya di bawah cahaya
senter.

“Siapa di sini?” Zeke memanggil dengan suara kecil yang berkesan janggal.

Tak ada jawaban.

Aku mengulurkan tangan dan mendorong pintu, yang lalu membuka diiringi
bunyi berderak-derak. Zeke dan aku mengangkat senter masing-masing dan
mengarahkannya ke ruangan di balik pintu

Ruangan itu ternyata penuh perabot. Ada kursi lipat. Sofa lusuh dengan satu jok
sudah hilang. Rak-rak buku di sepanjang dinding.

Cahaya senterku menerangi meja kecil. Di atasnya ada mangkuk dan sebungkus
cornflakes (serpihan jagung-edit). Aku mengalihkan senterku dan melihat
tempat tidur kecil yang berantakan di dinding seberang.

Zeke dan Brian menyusulku. Berkas sinar senter-senter kami menyapu semua
barang yang ada di dalam ruangan itu. Sebuah alat pemutar piringan hitam kuno
tampak di atas meja rendah. Di sampingnya terdapat tumpukan rekaman-
rekaman lama.

“Astaga!” bisik Zeke. Senyumnya mulai berkembang.

“Rasanya kita berhasil menemukan tempat tinggal si Hantu,” aku menyahut.

Brian menghampiri meja, lalu menyorot mangkuk sereal dengan senternya. “Si
Hantu - dia baru saja di sini,” ujar Brian. “Cornflakes-nya belum melempem.”

“Wow!” aku berseru. “Ternyata ada orang yang tinggal di sini, jauh di bawah -”

Aku berhenti karena merasa mau bersin. Aku berusaha menahannya. Tapi sia-
sia. Aku bersin satu kali. Dua kali. Lima kali.

“Ssst, Brooke!” Brian mendesis. “Jangan ribut dong. Dia akan mendengarmu.”

“Justru bagus dong. Kita kan mau menemukan dia,” Zeke mengingatkan Brian.
Aku bersin tujuh kali. Lalu sekali lagi sebagai pelengkap. Akhirnya serangan
bersin itu berlalu.

“Dia pasti mendengarnya. Aku jamin dia mendengarnya,” Brian meratap.


Dengan panik dia memandang berkeliling.

Pintu mendadak menutup sendiri.

“Aaah!” Kami bertiga memekik kaget.

Jantungku langsung berdegup kencang. Setiap otot di tubuhku menegang.

Kami berbalik, menatap pintu. Pintu itu tidak terdorong oleh angin. Seseorang
telah menutupnya.

Zeke yang pertama bereaksi. Dia langsung melompat ke pintu, lalu meraih
pegangannya dan mengguncang-guncangkannya dengan sekuat tenaga.

Pintu tak bergerak sedikit pun.

Zeke berusaha mendorong dengan bahunya, tapi hasilnya sama saja.


Untuk pertama kali dia kelihatan ngeri. “Kita - kita terkunci di sini,” ujarnya
pelan-pelan.

21

AKU bergegas ke samping Zeke. “Barangkali pintunya bisa dibuka kalau kita
dorong bersama-sama,” aku mengusulkan.

“Mungkin saja,” sahut Zeke. Tapi sepertinya dia tidak berani berharap terlalu
banyak.

Aku menelan ludah. Melihat Zeke ketakutan membuat aku semakin ngeri.
“Yeah. Coba kita dorong bersama-sama,” Brian mendukung usulku sambil
melangkah maju, “Kalau perlu, pintu ini kita dobrak saja!”

Begitu dong, Brian! kataku dalam hati. Akhirnya dia memperlihatkan sedikit
semangat.

Kami merapatkan pundak ke pintu dan bersiap-siap untuk mendorong.

Aku menarik napas panjang dan menahannya untuk menenangkan diri. Lengan
dan kakiku serasa terbuat dari permen karet.

Aduh, ini benar-benar seram, pikirku. Kalau kami terkunci di ruangan kecil ini
dan tidak sanggup keluar, bisa-bisa kami harus menghabiskan sisa hidup kami
di sini. Kami terpisah bermil-mil jauhnya dari dunia luar.

Semua orang akan mencari kami di atas. Dan mereka takkan pernah
menemukan kami. Biarpun kami menjerit dan berteriak sekuat tenaga, takkan
ada yang mendengar kami.

Kami akan terperangkap untuk selama-lamanya.

Sekali lagi aku menarik napas panjang.

"Oke, aku hitung sampai tiga,” kataku. "Pada hitungan ketiga, semuanya harus
mendorong pintu.”

Zeke mendahuluiku. “Satu... dua...”

“Hei! Tunggu aku memotong, lalu mengamati pintu sambil mengerutkan kening
“Pintunya kita dorong ke sebelah dalam waktu masuk ke sini, yakan?”

“Yeah, rasanya sih ya,” balas Zeke. Dia menatapku sambil mengerutkan kening.

“Berarti tidak bisa didorong dari dalam,” ujarku. “Pintunya harus ditarik.”

“Hei - benar juga!” seru Zeke.

Aku meraih pegangan pintu, memutarnya, dan menarik dengan keras.

Pintu langsung membuka.

Dan kemudian kami melihat laki-laki kecil yang berdiri di ambang pintu.
Senterku kuarahkan ke wajahnya, dan seketika aku mengenalinya.
Emile. Laki-laki kecil berambut putih yang mengaku sebagai petugas
kebersihan yang berdinas malam.

Dia menghalangi pintu dan memelototi kami sambil menyeringai dan


memicingkan mata.

22

“JANGAN ganggu kami!” aku menjerit.

Dia tidak beranjak. Mata kelabunya yang aneh beralih dari Zeke ke Brian lalu
menatapku.

“Jangan ganggu kami!” aku mengulangi. Lalu kutambahkan dengan nada


memohon, “Jangan, ya?”

Roman mukanya malah bertambah kencang. Cahaya senter membuat bekas luka
yang memanjang di pipinya kelihatan semakin dalam dan seram.

Dia tetap menghalangi jalan kami. “Kenapa kalian ada di bawah sini?” dia
bertanya dengan suaranya yang parau. “Kenapa kalian ada di tempat
tinggalku?”

“Jadi - kaulah hantu itu!" aku berseru.

Dia memicingkan mata dengan bingung “Hantu?” Dia mengerutkan kening


“Rasanya aku memang bisa disebut begitu.”

Brian memekik tertahan.

“Ini rumahku,” laki-laki itu berkata dengan gusar. “Kenapa kalian ada di sini?
Kenapa kalian tidak mengindahkan semua peringatan yang kuberikan?"

“Peringatan?” tanyaku. Tubuhku gemetar begitu hebat, sehingga berkas cahaya


senterku seperti menari-nari di dinding.
“Aku sudah berusaha menghalau kalian dari sini,” si Hantu berkata. Menghalau
kalian dari rumahku.

“Maksudnya, dengan mencoret-coret gambar latar? Dengan turun lewat tali dari
catwalk? Dengan menaruh topeng dan pesan itu di locker-ku?"

Si Hantu mengangguk.

"Dan apa yang terjadi tujuh puluh dua tahun lalu?” aku bertanya padanya. “Apa
yang terjadi padamu waktu sandiwara ini seharusnya dipentaskan untuk pertama
kali? Kenapa kau menghilang malam itu?”

Roman muka si Hantu berubah. Aku melihat sorot bingung dalam matanya yang
bersinar-sinar. "Aku - aku tidak mengerti,” dia berkata sambil menatapku
dengan tajam. Rambutnya yang panjang jatuh menutupi keningnya.

“Tujuh puluh dua tahun yang lalu,” aku mendesak.

Dia mengembangkan senyum getir. “Hei - aku belum setua itu!” katanya.
“Umurku baru lima puluh tujuh.”

“Berarti... kau bukan si Hantu?” Zeke bertanya dengan ragu.

Emile menggelengkan kepala dan menghela napas. “Aku tidak tahu-menahu


soal hantu ini, anak muda. Aku cuma orang tanpa rumah yang berusaha
melindungi tempat berteduhku ini.”

Kami bertiga menatapnya sambil menerka-nerka apakah dia bohong atau tidak.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia berkata apa adanya. “Jadi, selama ini
kau tinggal di bawah gedung sekolah?" tanyaku dengan lembut. “Dari mana kau
tahu ten- tang ruangan di bawah sini?”

“Ayahku bekerja selama tiga puluh tahun di sini,” jawab Emile. ‘Dia sering
mengajakku kemari waktu aku masih kecil. Waktu aku kehilangan apartemenku
di kota, aku teringat tempat ini. Dan sejak itu aku tinggal di ini. Sudah hampir
enam bulan sekarang”

Matanya kembali menyorot marah. Dia menepis rambut yang menutupi


keningnya, dan sekali lagi dia pasang tampang kencang. “Tapi kalian merusak
semuanya,” dia berkata dengan ketus, “Gara-gara kalian semuanya jadi rusak.”

Sekonyong-konyong dia melangkah maju, dan menghampiri kami dengan


roman muka yang menakutkan.

Aku langsung mundur. “A - apa yang akan kaulakukan pada kami?”


23

“SEMUANYA jadi kacau. Semuanya,” ulangnya sambil berjalan ke arah kami.

“Tunggu dulu!" aku berseru sambil mengangkat tangan untuk melindungi diri.

Kemudian aku mendengar bunyi itu. Dari arah terowongan. Bunyi berdentang-
dentang.

Aku berpaling kepada Zeke dan Brian. Rupanya mereka juga mendengarnya.

Pelatarannya! Pelatarannya sedang turun. Kami mendengarnya dari ujung


terowongan.

Sepertinya ide itu muncul berbarengan dalam benak kami bertiga. Kami harus
bisa sampai ke pelataran. Itu satu-satunya jalan bagi kami untuk meloloskan
diri.

“Kalian merusak semuarya,” Emile mengulangi. Nada suaranya tiba-tiba lebih


berkesan sedih daripada marah. “Kenapa kalian tidak menghiraukan semua
peringatan yang kuberikan?”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Zeke, Brian, dan aku melesat ke pintu.
"Oh!” Aku sempat menabrak Emile ketika aku melewatinya.

Di luar dugaanku, dia tidak berusaha menangkapku atau mencegahku.

Aku yang pertama menghambur keluar Aku berlari sekencang mungkin. Kakiku
tetap serasa terbuat dari permen karet, tapi kupaksakan untuk terus bergerak,
selangkah demi selangkah.
Aku tidak menoleh ke belakang. Tapi aku bisa mendengar Zeke dan Brian tepat
di belakangku. Dan kemudian aku mehdengar suara Emile membahana di
terowongan: “Kalian merusak semuanya. Semuanya!”

Apakah Emile sedang mengejar kami?


Aku tidak peduli. Satu-satunya keinginanku adalah mencapai pelataran pintu
kolong dan keluar dari situ!

Dengan kalang-kabut aku menyusuri terowongan yang berliku-liku. Sepatuku


setengah terbenam dalam tanah becek setiap kali melangkah Pundakku berkali-
kali membentur dinding terowongan yang kasar, tapi aku tidak mengurangi
kecepatan.

Cahaya senterku menari-nari di hadapanku. Aku segera mengangkatnya ketika


pelataran pintu kolong mulai kelihatan. Napasku tersengal-sengal.

“Hah? Sedang apa kau di sini?” sebuah suara pria berseru.

Ayah Zeke!

Zeke, Brian, dan aku langsung naik ke pelataran.

“Ada apa ini?" tanya Mr. Matthews. “Suara siapa yang saya dengar tadi?”

“Naik!” aku berkata sambil terengah-engah. “Bawa kami naik.”

Zeke mengulurkan tangan dan menekan tombol. Kali ini tombolnya bisa
digerakkan.

Dengan satu sentakan keras pelataran itu mulai bergerak naik

Aku memandang ke arah terowongan. Apakah Emile mengikuti kami?

Tidak. Dia tidak kelihatan.

Dia sama sekali tidak berusaha mengejar.

Aneh, pikirku. Betul-betul aneh.

"Saya mendengar suara laki-laki tadi. Siapa itu?” Mr. Matthews kembali
bertanya.

"Dia tunawisma. Dia tinggal di bawah panggung,” jawabku. Kemudian aku


menjelaskan apa yang terjadi, dan bagaimana Emile mencoba menakut-nakuti
kami selama berminggu-minggu.

“Dari mana Ayah tahu bahwa kami ada di bawah sana?” Zeke bertanya pada
ayahnya.
“Seharusnya kau di rumah,” Mr. Matthews berkata dengan tegas “Kau
dihukum. Dan hukumanmu belum selesai. Tapi waktu Ayah tahu kau tidak ada
di rumah, Ayah langsung bisa menebak bahwa kau pergi ke sekolah untuk
menyelidiki panggung ini. Pintu samping sekolah terbuka Ayah masuk ke
auditorium dan mendengar pelataran pintu kolong bergerak. Karena itu Ayah
memutuskan untuk menyusul ke bawah.”

“Untung saja!” aku berseru. Rasanya Mr. Matthews ingin kupeluk saja.

Begitu pelatarannya berhenti, kami melangkah ke panggung. Ayah Zeke segera


menelepon polisi. Dia memberitahu mereka bahwa ada tunawisma yang tinggal
di bawah gedung sekolah.

Tidak lama kemudian polisi sudah tiba. Kami memperhatikan mereka turun
lewat pintu kolong, lalu menunggu sampai mereka membawa Emile ke atas.

Tapi waktu mereka naik lagi beberapa menit setelah itu, mereka muncul tanpa
Emile.

“Tidak ada siapa-siapa di bawah sana,” salah satu petugas melaporkan. Dia
membuka helm dan menggaruk-garuk kepala. “Kami hanya menemukan tempat
tidur dan perabotan tua.”

“Bagaimana dengan makanannya? Buku-bukunya?” tanyaku.

“Semuanya sudah diangkut,” si petugas rnenyahut. “Sepertinya dia pergi


terburu-buru sekali. Pintu ruang bawah tanah juga masih terbuka.”

Setelah para petugas kembali ke kantor polisi, Brian mengucapkan selamat


malam dan meninggalkan auditorium. Aku diantar pulang oleh ayah Zeke.

Aku berpaling kepada Zeke “Nah, sekarang kita sudah tahu siapa hantu itu,”
ujarku. Aku merasa agak sedih. “Ternyata cuma laki-laki malang yang tidak
punya rumah. Bukan hantu sungguhan berumur tujuh puluh dua tahun yang
sudah gentayangan sejak sekolah ini dibangun.”

“Yeah, aku juga agak kecewa,” sahut Zeke sambil mengerutkan kening,
“Sebenarnya aku kepingin Sekali bertemu hantu sungguhan” Roman mukanya
bertambah cerah “Tapi paling tidak Ms. Walker akan mempercayaiku sekarang.
Dan peranku dalam sandiwara kita akan kudapatkan lagi.”

Sandiwara kita. Aku hampir lupa tentang sandiwara itu.


Zeke benar, pikirku dengan gembira Dia akan mendapatkan kembali perannya.
Semuanya bakal beres.

Si Hantu sudah pergi.

Sekarang kita bisa bernapas lega, pikirku. Sekarang kita bisa bersenang-senang
dan menampilkan pertunjukan yang hebat.

Wah. Ternyata aku salah besar!.

24

PADA malam menjelang pertunjukan, aku duduk di ruang ganti cewek sambil
mengoleskan makeup panggung ke wajahku. Aku belum pernah memakai make
up sebanyak itu, dan kurasa hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya
aku memang tidak mau pakai make up tebal-tebal.

Tapi Ms. Walker berkeras bahwa kami harus memakainya. Anak-anak cowok
juga. Katanya, untuk mengurangi pantulan dari lampu-lampu sorot, supaya
wajah kami tidak terlalu mengilap di atas panggung.

Suasana di ruang ganti cewek kacau balau. Semuanya sibuk mengenakan


kostum dan mengoleskan make up. Lisa Rego dan Gia Bentley - dua anak kelas
lima yang cuma dapat peran figuran - terus berdiri di depan cermin sambil
ketawa cekikikan dan mengagumi diri sendiri.

Ketika aku meninggalkan ruang ganti, manajer panggung sudah berseru,


"Perhatian! Semuanya siap di tempat masing-masing!”

Aku mendadak gugup sekali. Tenang saja, Brooke, ujarku dalam hati. Ingat, kau
seharusnya senang karena bisa tampil di sini.

Aku keluar dan ruang ganti, menyusuri lorong, memasuki auditorium lewat
pintu panggung, lalu mengambil tempat di pinggir. Seseorang menepuk
pundakku, dan aku langsung tersentak kaget. Aduh, gugupnya minta ampun
deh!

Aku segera menengok. Ternyata aku berhadap-hadapan dengan si Hantu!


Aku tahu orang di balik topeng dan kostum itu cuma Zeke, tapi aku tetap
tertegun. “Zeke! Kau kelihatan seperti hantu sungguhan! Mantap sekali!” aku
berkata padanya.

Zeke tidak menyahut. Dia membungkuk dengan sikap formal, lalu bergegas
untuk mengambil tempat.

Tirai panggung masih tertutup. Tapi aku bisa mendengar suara para penonton di
baliknya. Wow! Tak ada satu kursi pun yang kosong, aku menyadari. Tiba-tiba
aku mulai gugup lagi.

Lampu-lampu mulai meredup. Para penonton langsung terdiam. Lampu-lampu


panggung dinyalakan. Musik mulai mengalun.

Ayo, Brooke, aku berkata dalam hati. Sikat saja!

***

Sandiwara kami berjalan lancar sampai akhir babak pertama. Semua pemain
tampil dengan baik hingga saat itu.

Ketika tirai membuka dan para penonton bertepuk tangan untuk menghargai
dekor, aku melangkah ke panggung bersama Corey. Dan aku sama sekali lupa
pada demam panggungku.

“Waspadalah, anakku,” Corey mewanti-wanti, sesuai perannya sebagai ayahku


“Ada makhluk misterius yang tinggal di bawah gedung teater ini, hantu
berwajah mengerikan."

“Aku tidak percaya, Ayah!" aku menyahut sebagai Esmerelda. “Ayah hanya
ingin terus mengaturku. Ayah menganggap aku masih kecil!"

Para penonton tampaknya menikmati pertunjukan kami. Mereka tertawa jika


ada sesuatu yang lucu dan beberapa kali bertepuk tangan.

Wah, asyik juga, pikirku. Aku senang tidak merasa gugup. Aku menikmati
setiap menit keberadaanku di atas panggung.

Dan menjelang akhir babak pertama, aku menanti adegan puncak sandiwara
kami. Kabut dry ice tampak melayang-layang di panggung ditembus sorot
lampu berwarna biru, sehingga berkesan menyeramkan.
Aku mendengar pelataran pintu kolong berdentang-dentang. Dan aku tahu
bahwa Zeke, dengan kostum hantunya, sedang naik dari bawah panggung.

Beberapa detik lagi si Hantu akan muncul di tengah-tengah kabut biru.

Para penonton bakal kagum, pikirku sambil memperhatikan kabut bergulung-


gulung di sekeliling gaunku yang panjang dan berwarna kuhing.

“Hantu, kaukah itu?” aku memanggil. "Engkau datang untuk menemuiku?”

Topeng si Hantu yang berwarna biru-hijau mulai tampak di tengah kabut.


Menyusul pundaknya yang terbungkus jubah hitam.

Para penonton menahan napas lalu bertepuk tangan dengan meriah ketika si
Hantu muncul di hadapan mereka. Dia berdiri kaku di tengah kabut, dengan
jubah melambai-lambai.

Dan kemudian dia melangkah menghampiri, pelan-pelan, penuh wibawa.

“Oh, Hantu! Akhirnya kita bisa bertemu?” aku berseru dengan segenap perasaan
yang dapat kucurahkan, “Sudah begitu lama aku mendambakan saat ini.”

Aku meraih tangannya yang terbungkus sarung tangan, dan mengajaknya


menembus kabut ke bagian depan panggung.

Sebuah lampu berwarna putih menyorot kami.

Aku berpaling dan menghadap ke arah si Hantu. Aku menatap kedua mata di
balik topeng berwarna biru-hijau itu.

Dan seketika aku sadar bahwa itu bukan Zeke!

25

AKU hendak berteriak. Tapi dia meremas tanganku keras-keras.


Matanya menatap mataku dengan tajam. Pandangannya seakan-akan memohon
agar aku tidak berkata apa-apa, agar aku tidak membuka kedoknya.

Siapa dia? aku bertanya-tanya. Sepertinya aku sudah pernah melihatnya.

Aku kembali berpaling kepada para penonton. Suasananya hening. Semua orang
menungguku berbicara.

Aku menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat Esmerelda yang berikut
“Oh, Hantu, mengapa engkau gentayangan di gedung teater ini? Ceritakanlah
kisahmu. Aku berjanji takkan takut.”

Si Hantu mengibaskan jubahnya Matanya tetap menatap mataku. Tangannya


yang terbungkus sarung tangan tetap meremas tanganku, seakan-akan hendak
mencegahku melarikan diri.

“Lebih dari tujuh puluh tahun aku hidup di bawah gedung teater ini,” dia
berkata, “Kisahku sungguh sedih Mungkin bahkan bisa disebut tragis,
Esmerelda-ku yang cantik”

“Teruskanlah!" seruku.

Siapa dia? aku bertanya dalam hati. Siapa?

“Aku terpilih menjadi bintang dalam sebuah sandiwara,” si Hantu


mengungkapkan. “Sebuah sandiwara di gedung teater ini. Malam itu seharusnya
malam paling mengesankan dalam hidupku.”

Dia terdiam agak lama dan menarik napas panjang.

Jantungku berdegup-degup. Ucapannya tidak sesuai dengan yang tertera di


naskah, aku menyadari. Kata-kata itu tidak ada di naskah kami.

Apa maksudnya?

“Namun malam kejayaanku tak pernah tiba!” si Hantu melanjutkan, masih


sambil menggenggam tanganku erat-erat. “Sebab, Esmerelda tersayang, satu
jam sebelum pertunjukan dimulai, aku terjatuh. Aku terempas dan menemui
ajalku!”

Aku menahan napas. Dia menunjuk pintu kolong.

Sekonyong-konyong aku tahu siapa dia. Dia-lah anak laki-laki yang menghilang
tujuh puluh dua tahun yang lalu. Anak laki-laki yang seharusnya berperan
sebagai si Hantu. Tapi dia menghilang dan tak pernah ditemukan lagi.
Dan sekarang dia berdiri di sampingku, di atas panggung yang sama. Dan dia
menjelaskan bagaimana dia menghilang, dan kenapa sandiwara itu tak pernah
dipentaskan.

“Di situlah!” dia berseru sambil menunjuk lubang di lantai panggung. “Di
situlah aku terjatuh. Di situ! Aku terempas sampai tewas. Aku menjadi hantu
sungguhan. Dan sejak itu aku menunggu di bawah sana, menunggu dan
menunggu. Mengharapkan malam seperti ini, di mana aku akhirnya bisa
memainkan peranku yang paling besar!”

Begitu dia selesai bicara, para penonton langsung bertepuk-tangan dan


bersorak-sorai.

Mereka pikir ini memang bagian dan sandiwara, kataku dalam hati. Mereka
tidak menyadan kepedihan di balik ucapannya itu. Mereka tidak tahu bahwa dia
mengungkapkan kisah nyata kepada mereka.

Si Hantu membungkuk rendah-rendah. Tepuk tangan semakin membahana.

Kami berdua diselubungi kabut

Siapa dia? Siapa?

Pertanyaan itu terus berkumandang dalam benakku.

Aku harus mendapatkan jawabannya. Aku harus tahu siapa si Hantu


sesungguhnya.

Ketika dia kembah berdiri tegak, aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

Lalu aku meraih ke atas dan merenggut topengnya!


26

SAMBIL memicingkan mata aku memandang ke kabut biru yang tebal. Aku
betul-betul penasaran.

Namun sekilas mataku silau karena cahaya lampu sorot yang terang benderang,
sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa.

Seketika si Hantu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Aku berusaha menarik tangannya.

“Jangan!” dia memekik “Jangan!”

Dia mundur sambil terhuyung-huyung, menjauhiku.

Kakinya tersandung, dan dia kehilangan keseimbangan

“Jangan! Jangan!” teriaknya.

Dan kemudian dia terjatuh ke belakang.

Ke lubang pintu kolong yang menganga.

Dan dia lenyap ditelan kabut biru yang bergulung- gulung.

Aku mendengar jeritannya saat dia melayang ke bawah.

Lalu hening.

Keheningan yang membuat bulu kudukku berdiri.

Para penonton berdiri serempak dan bertepuk tangan dengan meriah.

“Bravo! Bravo!” mereka berseru-seru.

Mereka pikir semuanya bagian dari sandiwara kami.

Tapi aku tahu itu tidak benar. Aku tahu bahwa Hantu akhirnya memperlihatkan
din, setelah menunggu tujuh puluh dua tahun. Bahwa dia akhirnya memperoleh
kesempatan untuk tampil di atas panggung.

Dan bahwa dia sekali lagi menemui ajalnya.


Ketika tirai menutup dan meredam suara para penonton, aku berdiri di tepi
lubang di Iantai dan menutupi wajahku dengan kedua tangan.

Aku tidak sanggup bicara. Aku tidak sanggup bergerak.

Aku memandang ke dalam lubang di lantai, namun yang terlihat hanya


kegelapan yang hitam pekat.

Lalu, sambil menoleh, aku melihat Zeke berlari menghampiriku. Dia


mengenakan jeans dan T-shirt putih. Dia tampak bingung.

“Zeke!” aku berseru.

“Oh. Kepalaku dipukul orang,” katanya sambil menggosok-gosok kepala. “Aku


sempat pingsan.”

Kemudian dia menatapku. “Brooke, kau tidak apa-apa? Apakah -?”

“Si Hantu!” seruku. “Dia yang memainkan peranmu tadi, Zeke Sekarang dia ada
- di bawah sana.” Aku menunjuk pintu kolong yang terbuka. “Kita harus
mencarinya!”

Aku menginjak tuas di lantai. Serta merta terdengar bunyi berdentang dan
berderak. Pelatarannya muncul dan kegelapan.

Zeke dan aku segera naik.

Kemudian kami turun, ke ruangan gelap jauh di bawah panggung.


Setiap sudut kami periksa. Tapi kami tidak berhasil menemukannya.
Kami tidak menemukan topengnya. Kami tidak menemukan kostumnya. Kami
tidak menemukan apa pun.

Entah kenapa, aku memang sudah menduganya.

Aku sudah tahu bahwa kami takkan pernah lagi bertemu dengannya.

***

“Hebat, anak-anak! Hebat sekali!” Ms. Walker berseru ketika kami turun dari
panggung. "Hantu, saya suka kalimat-kalimat yang kautambahkan tadi! Bagus
sekali! Nanti kita ketemu lagi di pesta untuk para pemain!”

Zeke dan aku menuju ke ruang ganti untuk berganti pakaian. Tapi kami diserbu
oleh orang-orang yang ingin mengucapkan selamat dan memuji penampilan
kami.
Sandiwara kami sukses besar!

Aku mencari Brian. Aku ingin memberitahu dia tentang si Hantu. Tapi aku
tidak melihatnya di tengah kerumunan orangtua dan teman-teman yang sedang
bergembira ria.

“Ayo - kita pergi saja!” seru Zeke. Dia meraih tanganku dan menarikku ke
lorong di luar auditorium.

“Wow! Kita jadi terkenal” ujarku. Aku capek dan senang, dan bingung
sekaligus.

“Kita ambil mantel, ganti bajunya di rumah saja," Zeke mengusulkan.


"Sekalian kita pikir-pikir siapa yang menggantikan tempatku tadi. Kita ketemu
lagi di rumahku nanti, terus berangkat barengan ke tempat pesta.”

“Oke,” kataku “Tapi kita harus buru-buru. Orangtuaku pasti sudah tak sabar
memuji penampilanku."

Suara tawa dan canda ria dari auditorium mengikuti kami ketika kami menuju
ke locker.

“Hei -” Aku berhenti di depan lockerku. “Lihat, Zeke - pintunya terbuka.


Padahal tadi sudah kukunci.”

“Aneh,” Zeke bergumam.

Sebuah buku jatuh ke lantai ketika pintu locker-ku kutarik.

Aku membungkuk untuk memungutnya. Buku itu ternyata sudah tua.


Sampulnya yang cokelat tampak lusuh dan berlapis debu. Aku mengamatinya di
bawah cahaya lampu lorong yang redup.

“Wah, ini buku tahunan yang sudah tua,” aku berkata kepada Zeke. Dari
sekolah ini. Woods Mill. Tapi dari tahun 1920-an.”

“Hah? Bagaimana buku ini bisa masuk ke locker-mu?" Zeke bertanya dengan
bingung.

Tiba-tiba aku melihat secarik kertas yang terselip di antara dua halaman.
Sambil menggenggam buku tua yang berat itu dengan kedua tangan, aku
membuka halaman yang ditandai oleh kertas tadi.

“Wow!” seru Zeke.


Kami melihat artikel buku tahunan mengenai sandiwara yang baru saja selesai
kami tampilkan “The Phantom Akan Naik Pentas di Musim Semi,” begitu
bunyi judulnya.

“Ini pasti ditulis pada awal tahun itu,” kataku. “Kita tahu sandiwara ini belum
pernah dipentaskan. Kita tahu apa yang terjadi waktu itu.”

“Coba bergeser ke tempat yang lebih terang,” ujar Zeke sambil menarikku ke
bawah lampu. “Biar foto-fotonya kelihatan.”

Kami menatap foto-foto kecil yang memenuhi dua halaman.

Dan kemudian kami melihatnya.

Foto hitam-putih yang kabur dan anak laki-laki yang mendapatkan peran utama,
anak laki-laki yang seharusnya tampil sebagai si Hantu. Anak laki-laki yang
menghilang sebelum pertunjukan.
Anak itu adalah Brian.

END

Ebook by: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai