Stine
Hantu Auditorium
(Goosebumps # 24)
Sahabat Brooke, Zeke, mendapat peran utama dalam lakon The Phantom, Sang
Hantu. Zeke sangat menghayati perannya. Dia suka memakai kostum hantunya,
dan menakuti-nakuti pemeran lainnya dengan berbagai cara. Brooke sampai
berpikir, kali ini Zeke benar-benar keterlaluan.
Goosebumps
Jakarta 10270
Tapi sudah lebih dari tujuh puluh tahun dia gentayangan di sekolah kami.
Guru kami memang sempat cerita bahwa sandiwara itu dibayangi kutukan, tapi
kami tidak percaya. Kami pikir dia cuma bercanda.
Tapi waktu hantu itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, aku langsung tahu
guruku tidak bercanda. Cerita tentang kutukan itu memang benar. Seratus
persen benar.
Malam saat kami menemukan hantu itu adalah malam paling menakutkan dalam
hidup kami!
Namaku Brooke Rodgers, dan aku duduk di kelas enam di Woods Mill Middle
School. Zeke Matthews sahabat karibku. Banyak anak cewek menganggap aneh
karena aku bersahabat dengan anak cowok, tapi aku tidak peduli. Zeke lebih
lucu dan lebih asyik diajak berteman daripada semua anak cewek yang kukenal.
Dia juga penggemar film horor, sama seperti aku.
Sudah sembilan tahun Zeke dan aku bersahabat. Dan masing-masing tahu
segala sesuatu tentang yang lainnya. Misalnya, aku tahu Zeke sampai sekarang
masih pakai piyama bergambar Kermit si Kodok.
Dia paling sebal kalau aku menceritakannya kepada orang lain. Mukanya selalu
jadi merah padam. Dan bintik-bintik di hidungnya jadi semakin kelihatan.
Zeke benci bintik-bintik itu hampir sama seperti aku benci kacamataku. Aku tak
habis pikir kenapa dia begitu ribut tentang bintik-bintik itu. Setelah beberapa
lama, kita sudah terbiasa sehingga tidak akan memperhatikannya lagi. Dan di
musim panas, waktu kulitnya jadi cokelat karena kena sinar matahari, bintik-
bmtik itu malah hilang sama sekali.
Coba kalau kacamataku juga bisa lenyap begitu saja. Gara-gara kacamata itu,
tampangku jadi kayak kutu buku. Tapi kalau aku tidak pakai kacamata, bisa-
bisa dinding di depan mata pun kutabrak!
Beberapa teman cewekku menganggap Zeke kece. Tapi aku tidak pernah
berpikir begitu. Mungkin karena aku sudah begitu lama bersahabat dengannya.
Tepatnya sejak ibuku dan ibunya berkenalan di tempat boling. Setelah
mengobrol ke sana ke mari, akhirnya ketahuan mereka tinggal di jalan yang
sama.
Ribut-ribut soal hantu itu dimulai hari Jumat, beberapa minggu lalu. Waktu itu
jam pelajaran sudah selesai, dan aku sedang berusaha membuka locker.
Kusibakkan rambutku menghadapi kunci kombinasi yang harus diputar-putar.
Kunci brengsek itu selalu macet, dan aku selalu uring-uringan karenanya.
Setelah gagal empat kali, akhirnya aku berhasil membuka locker-ku. Buku-
bukuku kulempar ke dalam, lalu pintunya kubanting keras-keras. Aku tidak mau
membawa pulang buku pelajaran selama akhir pekan. Pokoknya mulai detik ini
aku libur! Dua hari penuh tanpa sekolah.
Asyik.
Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa orangnya. Hanya ada satu orang di
seluruh dunia yang berani memanggilku Brookie.
Aku berbalik dan melihat Zeke cengar-cengir tak jelas. Rambut pirangnya yang
panjang di depan, dan pendek sekali - bahkan hampir botak - di belakang,
menutupi sebelah matanya.
Cepat-cepat aku melipat kelopak mataku ke atas supaya kelihatan seram. Aku
sering berbuat begitu untuk menakut-nakuti orang.
Tapi Zeke tidak bereaksi. Berkedip pun tidak. Dia sudah sering melihat trik itu.
“Kali ini tidak ada tugas apa-apa!” sahutku. “Aku benar-benar bebas.”
Tiba-tiba aku dapat ide bagus. “Eh, Zeke,” kataku, “barangkali Rich bisa
mengantar kita ke festival Creature besok?"
Aku sudah tak sabar menonton ketiga film Creature yang lagi diputar di
Cineplex. Salah satunya malah berupa film 3-D! Zeke dan aku sering nonton
film horor, sekadar untuk menertawakan bagian-bagian yang seram. Asal tahu
saja, kami ini bersaraf baja. Kami tidak kenal takut.
Rich, abang Zeke. Dan sepertinya dia selalu dihukum oleh orangtuanya.
Aku mengerutkan hidung. Lupa? Rasanya tidak ada apa-apa yang perlu diingat.
“Apa sih?" aku akhirnya bertanya.
Aku benar-benar tidak tahu maksud Zeke. Aku mengikat rambutku dengan karet
rambut yang melingkar di pergelangan tanganku.
Aku selalu pakai karet rambut di pergelangan tangan. Kiri dan kanan. Karet
rambut selalu banyak gunanya.
“Ayo dong, Zeke. Aku tidak tahu,” ujarku sambil mengencangkan kuncir
“Jangan bikin aku penasaran."
“Ayo! Kita cari pengumumannya” Aku meraih lengan baju Zeke dan
menyeretnya ke auditorium.
Zeke dan aku sama-sama ikut tes. untuk sandiwara itu. Tahun lalu, kami dapat
peran figuran dalam sandiwara musikal Guys and Dolls. Ms. Walker, guru
kami, sudah bilang bahwa sandiwara tahun ini bakal seram.
Itulah yang ditunggu-tunggu oleh Zeke dan aku. Pokoknya, kami harus ikut
main dalam sandiwara itu!
"Aku gugup sekali “Aku tidak berani lihat, Zeke” aku memekik. “Kau saja yang
lihat, oke?”
“Yeah, boleh sa -”
“Tunggu! Biar aku saja!” seruku lagi karena telah berubah pikiran. Aku sering
berubah-ubah pikiran. Dan Zeke selalu jengkel.
Tapi waktu aku melihat yang tertulis di situ, hampir saja jempolku kugigit
sampai putus!
DIKELUARIKAN?
Dikeluarkan.
Dengan geram kupelototi Zeke. “Kau yang pasang pengumuman itu, ya?”
“Aku serius! Kita dapat dua peran terbesar! Lihat saja sendiri kalau tidak
percaya! Kau dapat peran 'Si Hantu'!”
“Dia benar, Zeke,’ ujar anak cewek di belakangku Tina Powell, anak kelas
tujuh, muncul di sampingku.
Dari dulu aku merasa bahwa Tina Powell tidak suka padaku. Aku tidak tahu
kenapa. Aku tidak seberapa mengenalnya. Tapi setiap kali ketemu aku, ia selalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sisa makanan tersangkut di celah
gigiku.
“Coba kulihat!” kata Zeke sambil mendesak semua orang. “Wow! Benar juga!
Aku dapat peran utama!”
“Aku jadi Esmerelda,” aku membaca. “Hmm, kira-kira siapa dia, ya? Hei,
mungkin dia ibu tiri si Hantu yang gila, atau istri tanpa kepala yang bangkit dari
kubur untuk—”
“Aku cadangan!” dia bergumam sambil menunduk. “jadi kalau kau sakit atau
tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peran Esmerelda.
Sebenamya aku ingin memberi komentar pedas, biar Tina tahu rasa, tapi
sayangnya tak ada ide yang melintas di benakku.
Aku bukan orang yang berlidah tajam, dan sulit bagiku untuk mencari kata-kata
yang nyelekit biarpun aku lagi sebal sama seseorang.
Karena itu aku memutuskan untuk tidak menggubris Tina. Aku terlalu gembira
mengetahui peran yang kudapat.
Aku memakai jaket jeans-ku, lalu memanggul ranselku “Ayo, Hantu," aku
berkata kepada Zeke “Kita harus mulai gentayangan."
***
Rambut Ms. Walker ikal dan merah, dan matanya berwarna hijau. Dia kurus
sekali, sekurus tiang bendera. Sebenarnya sih, dia guru yang baik, hanya saja
agak terlalu disiplin.
Zeke dan aku duduk bersebelahan di baris ketiga. Aku memandang berkeliling
dan mengamati anak-anak yang lain. Semuanya asyik mengobrol. Semuanya
kelihatan bersemangat sekali.
“Sudah tahu sandiwara ini tentang apa?" tanya Corey Sklar. Dia berperan
sebagai ayahku. Maksudnya, ayah Esmerelda. Corey berambut cokelat, seperti
aku. Dan dia juga pakai kacamata. Mungkin karena itu kami dipasang sebagai
ayah dan anak.
“Belum,” sahutku sambil angkat bahu. “Belum ada yang tahu. Tapi katanya sih,
ceritanya seram.”
Aku menoleh. “Tahu darimana kau?" tanyaku. “Ms. Walker kan belum
membagikan naskah.”
Aku baru mau bilang bahwa tak ada yang peduli tentang cerita kakek buyutnya,
tapi Tina keburu menambahkan, “Dia juga bercerita tentang kutukan yang
melekat pada sandiwara ini!”
“Kakek buyutku menceritakan kisah seram tentang sandiwara ini,” lanjut Tina.
“Dan dia juga bercerita tentang hantu di sekolah kita. Hantu sungguhan yang -"
“Tina!” Ms. Walker memotong sambil melangkah maju. Dia menatap Tina
dengan tajam. “Saya rasa kisah itu tidak perlu diceritakan sekarang.”
“Saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita menakutkan
yang belum tentu benar,” Ms Walker berkata dengan tegas. "Hari ini saya akan
membagikan naskah, dan -”
Dan seketika kami semua menatap Ms. Walker sambil nyengir dan berseru-seru,
“Cerita! Cerita! Cerita!”
Kenapa Ms. Walker tidak ingin kami mendengar cerita itu aku bertanya-tanya.
“Oke!” Ms. Walker akhirnya mengalah. “Oke, saya akan bercerita. Tapi ingat -
ini hanya cerita. Saya tidak mau kalau kalian sampai ketakutan.”
Semuanya tertawa. Tapi aku menatap Ms. Walker. Sepertinya dia benar-benar
keberatan kami mendengar cerita itu. Aku mulai heran kenapa dia tidak mau
bercerita soal si Hantu.
“Cerita ini berawal tujuh puluh dua tahun lalu,” Ms. Walker mulai, “ketika
Woods Mill Middle School baru dibangun. Sepertinya kakek-buyut Tina jadi
murid di sini waktu itu.”
“Ya,” seru Tina, “kakek-buyut saya murid kelas pertama yang belajar di sini.
Katanya waktu itu di sekolah ini hanya ada 25 murid.”
Zeke dan aku berpandangan. Sandiwara itu pakai efek khusus! Kami tergila-gila
pada efek khusus!
Semuanya menoleh ke arah Zeke Dia tersenyum lebar, seakan-akan ada yang
patut dibanggakannya.
“Saya minta kalian ingat ini hanya cerita,” Ms Walker menegaskan sekali lagi.
“Tidak ada bukti cerita ini benar-benar terjadi.”
Ms. Walker berdeham, lalu kembali bicara. “Pada malam perdana, semua
pemain sudah siap - dengan kostum masing-masing. Auditorium dipadati
orangtua dan teman-teman mereka. Auditorium ini. Semua pemain tampak
bersemangat, sekaligus gugup.
“Guru mereka menyuruh mereka berkumpul untuk memberi wejangan terakhir.
Pertunjukan sudah akan dimulai. Tapi anak yang akan tampil sebagai Hantu
ternyata tidak ada”
“Mereka mencarinya selama satu jam,” Ms. Walker melanjutkan "Semua orang
bingung dan kuatir. Terutama orangtua anak itu.
“Si guru langsung berlari ke arah bunyi itu. Dia kembali memanggil-manggil
anak yang hilang Tapi tak ada yang menyahut. Suasananya hening. Tak ada
jeritan lagi.
“Mereka langsung melakukan pencarian di seluruh sekolah. Tapi anak itu tak
pernah ditemukan."
"Dia tak pernah muncul lagi,” Ms. Walker mengulangi. "Rasanya bisa dibilang
si Hantu jadi hantu sungguhan. Dia menghilang begitu saja. Dan sandiwara itu
tak pernah dipentaskan.”
Dia berhenti mondar-mandir dan menatap kami. Pandangannya beralih dari satu
kusi ke kursi berikut.
“Kau percaya cerita itu” aku mendengar salah satu anak cowok berbisik.
Aku sudah pernah melihatnya memakai topeng konyol itu. Dia menyimpannya
di locker, supaya bisa dipakai sewaktu-waktu.
Seseorang melempar Zeke dengan kotak susu yang sudah kosong. Anak lain
mencoba menjegal kakinya waktu dia kembali ke kursinya.
“Lucu sekali, Zeke,” ujar Ms. Walker sambil geleng-geleng kepala. "Mudah-
mudahan ini kunjungan terakhir Si Hantu.”
Zeke kembali duduk di sampingku. “Kenapa kau menakut-nakuti mereka?”
bisikku.
"Habis, kapan lagi ada kesempatan seperti itu?” Dia masih tetap nyengir lebar.
“Jadi, kita yang pertama menampilkan sandiwara ini?” Corey bertanya kepada
Ms. Walker.
Guru kami mengangguk. “Ya. Setelah anak itu menghilang tujuh puluh dua
tahun lalu, pihak sekolah memutuskan akan memusnahkan semua naskah dan
dekor. Tapi satu salinan tetap disimpan dalam lemari besi sekolah. Dan
sekarang kita yang akan mementaskan The Phantom untuk pertama kali.”
“Dengarkan baik-baik,” dia berkata sambil bertolak pmggang “Ini hanya cerita.
Saya yakin kakek-buyut Tina pun akan menegaskan bahwa kisah ini tidak
benar. Saya menceritakannya sekadar untuk menciptakan suasana horor.”
Beberapa anak ketawa. Beberapa anak lain kelihatan kikuk. Seperti ketakutan.
“Saya sudah katakan tadi, itu hanya cerita,” ujar Ms. Walker “Nah, sekarang
kita mulai saja, oke? Siapa yang mau membantu saya membagi-bagikan
naskah? Saya sudah membuat salinan untuk semua pemain. Kalian harus
membawanya pulang dan mempelajari peran masing-masing.”
Zeke dan aku nyaris terjatuh ketika kami berebut naik tangga untuk membantu
Ms Walker. Dia menyerahkan setumpuk naskah. Kami turun lagi dan mulai
membagi-bagikan semuanya. Tapi ketika aku sampai di depan Corey, dia justru
menarik tangannya. “Ba-bagaimana kalau kutukan ini memang ada?” tanyanya
kepada Ms. Walker.
“Corey,” Ms. Walker berkata dengan tegas, “saya tidak mau mendengar satu
kata pun lagi tentang hantu dan kutukan itu. Masih banyak yang harus kita
kerjakan, dan—”
Dia lenyap.
Seakan-akan menguap.
Tapi dia tidak mungkin hilang begitu saja!” teriak salah satu cewek.
Zeke dan aku menaiki panggung berbarengan. "Ms. Walker - Anda di mana?"
panggilku. “Ms Walker?"
Hening.
Kemudian aku mendengar suara guruku itu, sayup-sayup. “Saya di bawah sini!”
dia berseru.
"Di bawah mana?” Zeke bertanya dengan bingung.
Ada apa ini? aku bertanya-tanya. Kenapa kita bisa mendengarnya, tapi tidak
melihatnya?
Ms. Walker sedang menatap ke atas. Dia berdiri di sebuah pelataran kecil
berbentuk bujur sangkar, sekitar satu setengah sampai dua meter di bawah
panggung. “Kalian harus menaikkan pelataran ini," katanya.
"Oke!" seru Zeke. Dia menekan tuas itu. Kami mendengar bunyi berdentang.
Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak.
Perlahan-lahan pelataran itu mulai bergerak naik. Ms. Walker segera melangkah
ke panggung. Dia cengar-cengir menatap kami, sambil menepis debu yang
melekat di celana panjang birunya. “Saya lupa memberitahu soal pintu kolong
ini,” katanya. “Untung saja saya tidak patah kaki.”
“Saya lupa menyinggung bagian paling seru dari sandiwara kita,” Ms. Walker
memberitahu kami. “Pintu kolong ini sengaja dibuat untuk pementasan The
Phantom yang pertama dulu. Setelah itu tak ada yang mengingatnya. Pintu
kolong ini belum pernah digunakan dalam pertunjukan sandiwara sekolah
sampai sekarang!”
Ms. Walker membungkuk dan menarik Zeke menjauh dari lubang itu. "Hati-
hati. Kau bisa jatuh,” dia mewanti-wanti “Saya sendiri yang menurunkan
pelataran tadi. Dan saya lupa menaikkannya lagi.”
Zeke bangkit. Melihat tampangnya, aku langsung tahu dia tertarik sekali pada
pintu kolong itu.
"Ketika The Phantom hendak ditampilkan dulu,” Ms. Walker bercerita, “pihak
sekolah membuat pintu kolong ini supaya Si Hantu bisa menghilang atau
muncul dari bawah. Waktu itu, pintu kolong ini termasuk efek khusus yang
canggih.”
Aku berpaling kepada Zeke. Sepertinya dia sudah tak sanggup menahan
semangatnya yang meluap-luap.
“Cuma saya, kan, yang pakai pintu kolong ini dalam pertunjukan nanti?” dia
bertanya dengan berapi-api. “Saya boleh coba sekarang, ya? Ya?"
"Nanti, Zeke,” sahut Ms. Walker dengan tegas. "Pelatarannya masih harus
diperiksa, soalnya jangan-jangan sudah tidak aman untuk dipakai. Sebelum itu
tidak boleh ada yang mengutak-atiknya."
"Bagus," kata Ms. Walker. “Sekarang silakan duduk lagi. Saya minta semuanya
membaca naskah ini sampai habis sebelum kita pulang nanti. Sekadar supaya
kalian mendapat gambaran mengenai cerita dan tokoh-tokohnya.”
Kami menghabiskan satu jam untuk membaca naskah sandiwara itu. The
Phantom ternyata memang seram!
Ceritanya menyangkut laki-laki bernama Carlo. Dia pemilik gedung teater tua
yang biasa digunakan untuk konser dan pementasan sandiwara. Carlo yakin
gedung teaternya berhantu.
Ternyata memang ada orang misterius yang tinggal di ruang bawah tanah.
Wajahnya rusak. Tampangnya seperti monster. Karena itu dia selalu memakai
topeng. Tapi Esmerelda, putri Carlo, jatuh cinta padanya. Mereka bahkan
sampai berniat kawin lari. Tapi rencana itu tercium oleh Eric, pacar Esmerelda
yang tampan.
Eric mencintai Esmerelda. Dia melacak orang misterius itu di tempat tinggal
rahasianya, sebuah lorong gelap jauh di bawah panggung. Mereka berkelahi.
Dan Eric berhasil membunuh lawannya.
Perbuatan itu membuat Esmerelda patah hati. Dia kabur dan rumah dan tak
pernah lagi terdengar kabarnya. Dan si orang misterius hidup terus sebagai
hantu. Dia akan gentayangan untuk selama-lamanya di gedung teater itu.
Rasanya kami semua senang membaca naskah itu. Kami langsung sadar bahwa
pementasannya bakal ramai sekali.
Dia langsung berhenti waktu sadar bahwa aku menatapnya. Dan seperti biasa,
dia membalas tatapanku sambil mengerutkan kening.
Dia iri, aku berkata dalam hati. Aku yakin dia sebenarnya ingin jadi Esmerelda.
Sejenak aku merasa kasihan pada Tina. Aku tidak terlalu menyukainya. Tapi
aku juga tidak ingin dia benci padaku karena aku mendapat peran yang
diincarnya.
Tapi aku tidak punya waktu memikirkan dia. Masih banyak yang harus kubaca.
Esmerelda sering tampil di panggung dalam sandiwara itu. Perannya memang
besar.
“Oke. Sekarang kalian pulang dulu,’ Ms. Walker berkata sambil menggiring
kami ke pintu “Mulailah mempelajari peran kalian. Besok kita akan bertemu
lagi.”
Aku mengintip dari balik tiang. Ms. Walker sedang memadamkan lampu-
lampu. Kemudian dia mengambil barang-barangnya, dan meninggalkan
auditorium.
Zeke menatapku sambil nyengir. “Aku mau coba pintu kolong itu,” sahutnya.
"Hah?"
“Ayo, masa kau takut?” Zeke mendesak sambil menarikku ke panggung. “Kita
coba saja, oke? Kau takut apa sih?”
ZEKE dan aku naik ke panggung. Keadaannya jauh lebih gelap dibandingkan
tadi. Dan udaranya pun terasa lebih dingin.
Sebutkan saja. Debu, serbuk bunga, kucing, anjing - bahkan beberapa sweter
tertentu.
Kalau lagi kumat, aku bisa bersin tiga belas sampai empat belas kali berturut-
turut. Rekorku adalah tujuh belas kali.
Zeke suka menghitung berapa kali aku bersin, Dia menganggapnya lucu. Dia
menepuk-nepuk lantai dan berseru, “Tujuh! Delapan! Sembilan!”
Ha-ha. Setelah bersin sepuluh kali berturut-turut, aku sudah tidak berminat
bercanda. Hidungku jadi berair, dan kacamataku seperti berkabut. Benar-benar
parah deh.
Zeke berdiri di atas pintu kolong sementara aku mencari-cari tuas itu dalam
kegelapan. Aku berusaha menahan bersin, tapi itu tidak mudah.
“Sori,” bisikku. Lalu aku sadar bahwa bersinku tidak bisa ditahan lagi. Mataku
sudah berair, dan hidungku gatalnya minta ampun.
Kami mendengar bunyi berdentang Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak-
derak.
“Enak saja.”
Bunyi berdentang itu bertambah keras. Pelataran bujur sangkar di bawah kaki
kami terus bergetar sambil bergerak ke bawah. Turun, turun - sampai
panggungnya lenyap, dan kami dikelilingi kegelapan pekat.
Tapi di luar dugaanku, kami terus bergerak ke bawah. Semakin lama semakin
kencang lagi.
“Hei - ada apa ini?” seru Zeke sambil berpegangan pada lenganku.
“Ohh” Zeke dan aku sama-sama memekik ketika pelataran itu mendadak
berhenti. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.
Aku mulai dicekam panik. Suara apa itu? Bunyi itu terdengar lagi.
Persis di sampingku.
Zeke!
“Zeke - kenapa bunyi napasmu seperti itu?" tanyaku. Detak jantungku langsung
normal kembali.
“Kalau itu sih, aku juga sudah tahu,’ balas Zeke dengan nada mengejek.
"Kalau kau memang lebih tahu, kau saja yang beritahu aku” aku menantangnya.
“Rasanya ini bukan ruang bawah tanah, dia berkata dengan serius “Rasanya kita
jauh di bawah ruang bawah tanah.
Zeke tidak langsung menjawab. “Terlalu gelap untuk diselidiki,” dia akhirnya
berkata.
Sebenarnya aku pun tidak berminat menyelidiki tempat itu. Aku cuma berlagak
berani saja. Biasanya aku senang kalau aku merinding karena ngeri. Tapi
suasana di tempat ini terlalu seram, bahkan untukku sekali pun.
“Yeah. Senter,” aku mengulangi Terus-terang, aku tidak akan pernah berminat
kembali lagi - dengan atau tanpa senter.
“Zeke,” kataku, “kenapa pintu kolong panggung itu turun sampai ke sini?”
Kalau memang ada hantu di sekolah kita, aku berkata dalam hati, maka di
sinilah tempat tinggalnya.
“Ayo, kita pulang saja,” ujar Zeke sambil menatap kotak terang yang begitu
jauh di atas kepala kami. “Akü bakal telat untuk makan malam.”
"Yeah,” aku bergumam sambil menyilangkan tangan di dada “Cuma ada satu
hal yang mau kutanyakan, Tuan-Serba-Tahu”
Setelah sekitar satu menit, Zeke berlutut dan mulai meraba-raba lantai pelataran
“Pasti ada tuas yang bisa ditekan di sini,” katanya.
“Kalau begitu pasti ada tombol atau sakelar atau apa saja yang bisa ditekan”
seru Zeke. Suaranya mulai melengking tinggi.
Aku tidak tahu kenapa aku berkata begitu. Barangkali karena aku begitu takut
sehingga tidak tahu lagi apa yang kukatakan.
Zeke memaksakan tawa “Hei, aku suka tempat ini!” dia berkoar. “Mungkin aku
bakal agak lama di sini. Tempat ini perlu diselidiki.” Dia berusaha tampil
berani. Tapi suaranya kecil dan bergetar.
“Enak saja” aku menyangkal dengan sengit “Ms. Walker kan sudah bilang ini
tidak aman! Dan sekarang kita harus mendekam di sini sepanjang malam!
Mungkin malah untuk selama-lamanya”
"Aku sudah muak dengan leluconmu yang konyol!” hardikku. Aku benar-benar
lepas kendali. Tanpa berpikir panjang aku mendorongnya dengan kedua tangan.
Dia terjerembap di pelataran.
Keadaannya begitu. gelap sehingga aku sempat tidak bisa melihatnya.
"Aduh!” aku memekik ketika dia membalas dengan cara yang sama.
Kotak terang di atas kepala kami bertambah besar dan terang ketika kami naik
kembali ke auditorium.
“Wah, hebat juga kau, Brooke,” Zeke berseru dengan gembira. Punggungku
ditepuknya keras-keras.
"Jangan senang dulu," ujarku. Kami belum sampai di panggung. Pelataran itu
berhenti sekitar satu setengah meter di bawah lantai. Persis seperti waktu Ms.
Walker tadi turun.
Aku segera menyatukan tangan, dan dia menginjak tanganku dengan sepatu
ketsnya.
“Eh, tunggu dulu!” dia berseru sambil turun lagi. “Wah, gawat! Bagaimana
kalau si Hantu sudah menunggu di atas? Mungkin lebih baik kalau kau yang
naik dulu.”
“Zeke? Di mana kau” aku memanggilnya “Ayo dong! Naikkan pelataran. Atau
tarik aku ke atas
Aku tidak bisa naik tanpa dibantu.”
Aku terdiam dan menelan ludah. Ternyata bukan Zeke yang menarikku ke atas.
Sepasang mata gelap yang menyeramkan menatapku sambil mendelik.
Orang itu sudah tua, tapi kecil sekali. Tingginya paling-paling berbeda satu atau
dua inci dengan Zeke.
“Mana teman saya, Zeke?” aku bertanya dengan nada melengking ketakutan.
Aku langsung menoleh Zeke berdiri di seberang pintu kolong. Kedua tangannya
dimasukkan ke kantong celana, dan dia sedang menggigit bibir.
Zeke dan aku saling berpandangan Zeke maju selangkah. “Kami.,. ehm kami
masih di sini karena ada latihan sandiwara sekolah,” dia berkata kepada laki-
laki itu.
Zeke mengangguk-angguk di belakang Emile. “Dari mana kalian tahu soal pintu
kolong ini?” si penjaga malam bertanya dengan suara amplasnya.
Aku mengerutkan kening. Aneh, aku berkata dalam hati, rasanya aku belum
pernah melihat dia di sekolah.
“Dari Ms. Walker, guru kami. Dia yang menunjukkannya tadi,” ujar Zeke
pelan-pelan. Kelihatan sekali bahwa dia sama ngerinya seperti aku.
Laki-laki itu membungkuk ke arahku Dia memicingkan mata, dan sebelah sisi
wajahnya tampak berkerut-kerut. “Kalian tidak tahu pintu kolong ini
berbahaya?” dia berbisik.
***
Malam itu Zeke dan aku bicara lewat telepon. "Orang itu bukan
memperingatkan kita,” aku berkata kepada Zeke “Dia mau menakut-nakuti
kita."
“Hah, aku sama sekali tidak ngeri,” Zeke berkoar. "Tapi kalau kau sih, aku tidak
tahu, Brookie”
Huh, dasar! aku menggerutu dalam hati. Kadang-kadang Zeke terlalu sok aksi.
“Kalau kau tidak ngeri, kenapa kau gemetaran sepanjang jalan waktu kita
pulang” aku mendesaknya.
“Ah, jangan banyak alasan,” ujarku dengan jengkel “Eh, kenapa kita belum
pernah ketemu penjaga malam itu?”
“Soalnya dia bukan penjaga malam. Dia.... si Hantu!” Zeke berseru dengan
suara dibesar-besarkan.
Aku tidak menanggapi kelakarnya. “Aku serius nih,” kataku. "Dia tidak
bercanda. Dia memang mau menakut-nakuti kita.”
“Moga-moga kau tidak mimpi buruk nanti, Brookie,” Zeke menyahut sambil
ketawa.
***
Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Jeremy, adikku. Sambil jalan, aku
bercerita tentang sandiwara sekolah.
Aku menceritakan semuanya. Tapi soal pintu kolong sengaja tidak kusinggung-
singgung. Ms. Walker sudah berpesan pintu kolong itu sebaiknya dirahasiakan
sampai saat pementasan.
“Yeah, lumayan seram,” ujarku “Tapi bukan seperti Friday the 13th.”
Jeremy kelihatan lega. Dia paling tidak suka hal-hal yang menakutkan. Setiap
Halloween, dia bersembunyi di kamarnya! Aku takkan pernah mengajaknya
menonton Friday the 13th. Bisa-bisa dia mimpi buruk sampai umur lima puluh.
Keterlaluan!
Dan aku juga cemas soal demam panggungku. Tahun lalu, waktu aku ikut main
dalam Guys and Dolls, aku begitu gugup sampai aku berkeringat dingin.
Padahal waktu itu aku sama sekali tidak perlu buka mulut!
“Hei!” Seorang anak laki-laki yang belum pernah kuithat duduk di kursiku.
Tampangnya boleh juga. Rambutnya cokelat tua, dan matanya berwarna hijau
cerah. Dia memakai kemeja flanel bermotif kotak-kotak merah-hitam dan
celana hitam. Buku-buku pelajaran dan buku-buku catatannya sudah menyebar
di hadapannya. Dia duduk bersandar sambil menaikkan sepatu ketsnya ke atas
meja.
Dia menatapku dengan matanya yang hijau. “Kata siapa?" dia menyahut dengan
tenang “ini tempatku.”
9
Dia tersipu-sipu. “Ms. Walker yang menyuruhku duduk di sini,” katanya sambil
memandang berkeliling dengan gugup.
Aku menoleh ke tempat duduk Zeke. Dia belum datang. Seperti biasa, dia telat.
Anak yang duduk di mejaku semakin merah mukanya. “Sori,” dia bergumam
dengan kikuk “Aku masih baru di sini.” Dia mulai mengumpulkan semua
bukunya.
“Ini hari pertama kau di sini, ya?" aku bertanya, lalu memperkenalkan diri.
“Aku Brian Colson," dia berkata sambil berdiri. “Keluargaku baru pindah ke
Woods Mill. Dari Indiana.”
Aku bilang aku belum pernah ke Indiana. Jawaban yang agak norak, memang,
tapi benar.
“Kau Brooke Rodgers?" dia bertanya sambil menatapku “Kudengar kau dapat
peran utama. Dalam sandiwara. sekolah, maksudku.”
“Mungkin. Aku sendiri kurang yakin. Aku sering demam panggung,” aku
memberitahunya.
Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu. Kadang-kadang mulutku memang
tidak bisa distop. Barangkali karena itu aku dijuluki Brooke si Bawel oleh
orangtuaku.
Brian tersenyum tipis dan menghela napas. “Di sekolahku yang lama di Indiana,
aku selalu ikut sandiwara sekolah,” dia bercerita. “Tapi aku belum pernah
kebagian peran utama. Coba kalau kami lebih cepat pindah kemari. Kalau
begitu aku masih sempat ikut tes untuk dapat peran dalam The Phantom.”
Aku berusaha membayangkan Brian di atas panggung, tapi tidak berhasil.
Sepertinya dia bukan tipe pemain sandiwara. Dia kelihatan pemalu sekali. Dan
mukanya selalu memerah.
“Permisi sebentar!” aku berseru kepada Ms. Walker. Aku melesat ke luar dan
membelok ke lockerku.
Aneh, aku berkata dalam hati. Aku ingat benar bahwa aku telah menguncinya.
WAJAHNYA buruk sekali, berwarna biru dan hijau, dan dia menatapku sambil
menyeringai.
Aku sempat menutup mulut dengan sebelah tangan supaya tidak menjerit. Tapi
kemudian aku malah tertawa.
Lalu aku melihat kertas terlipat yang menggantung di bawah topeng. Apa itu?
Sebuah pesan untukku?
Aku mengambil dan membukanya, lalu membaca pesan yang tertulis dengan
krayon merah.
Ms. Walker berdiri di belakang mejanya. Dia baru saja memperkenalkan Brian
kepada anak-anak yang lain, dan sekarang dia sedang membacakan beberapa
pengumuman. Aku menyelinap ke kursiku di samping Zeke “Sori, ya, tipuanmu
tidak berhasil,” aku berbohong.
“Aku tidak pernah menulis pesan untukmu, Brooke,” balas Zeke dengan
jengkel. “Apa sih maksudmu?”
“Huh, dasar,” aku menggerutu. “Jadi kamu tidak tahu apa-apa tentang topeng
dan pesan yang ada di locker-ku, begitu?"
“Sudah deh PR matematikaku belum kelar nih,” dia berkata sambil kembali
memperhatikan buku pelajarannya. “Kau masih mimpi, ya?”
Dasar jail! pikirku. Ini memang ulah Zeke. Dia saja yang tidak mau
mengakuinya.
***
“Ms. Walker, apakah masih ada peran yang belum terisi?” tanyaku “Brian ingin
sekali ikut main dalam sandiwara kita.”
Ms. Walker menoleh dan naskah di tangannya. Naskah itu sudah penuh coretan.
Dia mengamati Brian.
Brian kembali tersipu-sipu. Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu sering
tersipu-sipu.
“Barangkali Ms. Walker perlu pemain pengganti?” tanya Brian. “Saya pintar
menghafal. Saya bisa menghafalkan lebih dari satu peran."
Wow, pikirku. Rupanya dia memang ingin sekali ikut bermain dalam sandiwara
kami.
"Hmm, pemain pengganti juga sudah banyak,” ujar Ms. Walker. “Tapi saya
punya ide. Kalau kau mau, kau bisa bergabung dengan tim dekor”
Lalu aku mencari tempat di deretan kursi penonton dan mulai membaca
naskahku. Ternyata aku muncul dalam hampir semua adegan. Bagaimana
mungkin aku menghafalkan semua kalimat yang mesti kuucapkan? Aku
menarik napas panjang. Aku merosot di kursiku dan menaikkan kaki ke
sandaran kursi di depanku.
Aku sedang menghafalkan kalimat ketiga, yang berbunyi, “Apa buktinya bahwa
orang ini berbahaya?, ketika lampu-lampu mati.
Lalu ada orang lain yang berseru, “Arahnya dari atas! Dari catwalk.”
Sekali lagi suara melengking tadi menggema, “Nyalakan lampu dong!” aku
mendengar Corey memohon-mohon. “Tolong nyalakan lampu dong!”
“Tolong - tolong!”
Dia merosot ke panggung sambil berpegangan pada seutas tali, lalu dia
mendongakkan kepala dan melepaskan tawa yang membuatku merinding.
Si Hantu.
11
Dia pendek, aku menyadari sambil berdiri dan menatapnya dari barisan kedua.
Tingginya kira-kira setinggi Zeke. Mungkin satu atau dua inci lebih tinggi.
Tapi mungkin juga tingginya persis seperti Zeke karena dia memang Zeke!
“Zeke!” Ms. Walker memanggil ke lubang itu. "Zeke - kau di bawah sana?”
Pelataran itu telah turun sampai ke dasar lubang. Kami tidak melihat apa-apa
selain kegelapan yang pekat.
“Itu Zeke, ya?” aku mendengar Corey bertanya. “Topengnya yang konyol
dipakai lagi, ya?”
“Kenapa Zeke mengganggu latihan kita?" Ms. Walker bertanya dengan gusar.
“Apa dia kira kita harus ditakut-takuti setiap sore?”
“Pasti dia. Zeke - di mana kau?” Ms. Walker berseru keras-keras. Pelan-pelan
dia membalik. Pandangannya menyapu panggung, lalu seluruh auditorium.
“Zeke Matthews? Kau bisa mendengar saya?”
“Dia temanmu, Brooke,” Tina berkata dengan nada menyalahkan “Masa kau
tidak tahu di mana dia? Masa kau tidak bisa melarang dia untuk tidak
mengganggu latihan kita?”
Dia langsung kusemprot. Aku begitu kesal, sehingga aku tidak tahu apa yang
kukatakan padanya.
Habis bagaimana dong? Zeke memang temanku. Tapi aku tidak bertanggung
jawab atas segala tindaktanduknya!
Tina cuma mau menjelek-jelekkanku dan mencari muka di depan Ms. Walker.
“Ok, tim dekor,” ujar Ms. Walker. “Kalian kembali bekerja. Biar saya saja yang
menangani ini. Yang lainnya -”
“Bagus,” ujar Ms. Walker. Dia menyilangkan lengan di depan dada dan
memicingkan mata sambil menatap lubang di lantai panggung. “Sekarang saya
akan memberitahu Zeke bagaimana pendapat saya tentang leluconnya.
Leluconnya yang terakhir.”
Ms. Walker sebenarnya guru yang baik, dan juga orang yang menyenangkan -
tapi kalau dia sudah marah, kalau dia sudah menyilangkan tangan dan
memicingkan mata - maka kita berada dalam kesulitan besar.
Aku tahu Zeke cuma bercanda. Dia senang jadi pusat perhatian. Dan dia senang
menakut-nakuti orang, terutama aku.
Dia cuma bermain-main. Dia sekadar ingin membuktikan bahwa semua orang
penakut, dan dia tidak.
Tapi kali ini dia kena batunya. Kali ini dia sudah keterlaluan.
Kasihan Zeke, pikirku. Dia belum tahu apa yang menantinya di sini.
12
Zeke - atau siapa pun orang tadi - telah menaikkannya tanpa ikut naik. Dan dia
menghilang di terowongan yang gelap, jauh di bawah sekolah.
Zeke tidak mungkin berbuat begitu, kataku dalam hati. Zeke memang konyol,
tapi dia tidak mungkin turun seorang diri ke tempat gelap itu. Tanpa membawa
senter. Tanpa tahu apa yang ada di sana.
Tapi..
Mungkin saja! Pertanyaanku kujawab sendiri. Kalau dia merasa bisa membuat
kami benar-benar ngeri, maka dia mau berbuat apa saja.
Aku tidak terburu-buru waktu pulang. Sepanjang jalan aku memikirkan Zeke
Aku begitu sibuk berpikir, sampai tidak sadar bahwa rumahku sudah terlewat!
Di ujung blok aku melihat Pontiac merah milik ibu Zeke berhenti di depan
garasi mereka. Sambil melindungi mata dari cahaya matahari sore, aku melihat
Mrs. Matthews turun dari mobil. Dan kemudian aku melihat Zeke turun dari sisi
sebelahnya.
"Hei! Zeke!” aku memanggil sambil berlari melintasi halaman rumput. “Zeke!”
“Kau sama sekali tidak bisa membuatku takut tadi, Zeke,” kataku padanya.
“Dan tak ada yang menganggap leluconmu itu lucu. Sekarang, kau jadi punya
masalah dengan Ms. Walker.”
Dia memicingkan mata dan mengerutkan wajah, seakan-akan tidak tahu apa-
apa. “Apa maksudmu, Brooke? Bagaimana aku bisa punya masalah dengan Ms.
Walker? Aku kan tidak ada di sana!”
"Kau tidak ikut latihan, supaya kau bisa pakai topeng dan jubah, dan melayang
dari catwalk” aku bertanya dengan curiga.
Aku melongo.
“Kenapa sih kau, Brooke” tanya Zeke. “Gigiku cuma diperiksa kok.”
“Kalau begitu, siapa hantu tadi?” kataku dengan bingung. Suaraku terdengar
kecil dan lemah.
Zeke tersenyum simpul.
“Kau!” aku berseru dengan gusar. “Kau tampil sebagai si Hantu, dan setelah itu
kau baru ke dokter gigi’ Ya, kan, Zeke? Ya, kan?”
***
“Lumayan,” sahut Brian. “Kadang-kadang dia agak sok ngatur. Tapi aku diberi
kebebasan untuk merancang latar belakang sesuka hatiku."
Aku melambaikan tangan kepada beberapa. temanku yang hendak pulang. Kami
membelok. Aku, melihat Corey dan Tina memasuki auditorium.
“Zeke sudah membereskan urusannya dengan Ms. Walker?” tanya Brian, “Aku
melihat mereka bicara tadi pagi.”
"Kelihatannya sih begitu,” kataku. “Zeke tetap memegang peran utama - untuk
sementara”
Aku mengangguk. “Ya. Dia suka rnenakut-nakuti orang. Dari kecil dia sudah
begitu. Kurasa dia mau menakut-nakuti kita. Dia mau meyakinkan kita bahwa
memang ada hantu di sini.” Aku menatap Brian sambil tersenyum. “Tapi aku
tidak gampang takut” ujarku dengan mantap
***
Tidak lama setelah latihan dimulai, Ms. Walker memanggil Zeke dan aku ke
panggung. Katanya dia ingin kami memerankan salah satu adegan. Dia ingin
menunjukkan di mana kami harus berdiri saat berbicara. Istilah yang dipakainya
adalah “blocking.”
Dia juga minta Tina Powell dan Robert Hernandez, pemain pengganti Zeke,
naik ke panggung. Menurut Ms. Walker mereka pun perlu tahu mengenai
blocking itu. Sekadar untuk berjaga-jaga.
"Berjaga-jaga?" pikirku. Kemudian aku teringat ucapan Tina: “Kalau kau sakit
atau tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peranmu.”
Hmm, Tina, sori kalau aku terpaksa mengecewakanmu, gumamku dalam hati,
tapi aku tidak punya rencana untuk sakit atau berhalangan. Jadi nikmatilah
tugasmu mencat dekor, sebab itu satu-satunya kesempatanmu naik panggung.
Aku tahu, aku tahu. Aku tidak boleh sirik. Tapi Tina memang perlu diberi
pelajaran.
Ms. Walker memberitahu Zeke di mana dia harus berdiri. Aku berdiri di tepi
panggung bersama Tina, dan menunggu aba-aba untuk masuk ke panggung,
“Kelihatannya Ms. Walker dan Zeke sudah meluruskan masalah mereka,” ujar
Tina. “Zeke bilang dia. berada di dokter gigi, jadi pasti bukan dia yang
meluncur dan atas.”
Aku baru mau menyuruh Tina diam supaya aku bisa mendengar aba-abaku, tapi
terlambat. Ms. Walker sudah memanggil namaku.
“Brooke Rodgers!” Sepertinya dia kesal. “Ada apa ini? Seharusnya kau sudah
masuk ke panggung.”
“Ini gara-gara Tina,” aku bergumam. Aku berlari ke panggung. Ketika menoleh
ke belakang, aku melihat Tina tertawa sendiri.
Dengan bingung aku mencari tempat seharusnya aku berdiri. Aku bahkan tidak
tahu pada halaman berapa di naskah kami berada.
Brengsek! aku menggerutu dalam hati. Tina mau berbuat apa saja untuk
membuatku kelihatan tidak mampu! Dia berharap Ms. Walker akan mencoretku
dari daftar pemain.
Aku marah sekali. Kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak bisa berpikir
dengan jernih. Aku mengucapkan kalimat itu, lalu menarik napas panjang untuk
menenangkan diri.
Kalimat berikut diucapkan oleh Zeke. Dia seharusnya muncul di panggung dan
menakut-nakuti Esmerelda.
Aku memandang ke tempat penonton. Ms. Walker berdiri di kaki tangga. Dia
sedang bertolak pinggang sambil mengetukkan sebelah kaki ke lantai yang
keras.
Suasana jadi hening. Tak ada suara selain ketukan kakinya. Tuk, tuk, tuk, tuk,
tuk. Sepertinya Ms., Walker benar-benar jengkel.
"Zeke ke mana?" tanya Ms. Walker dengan lesu. “Apa lagi yang
direncanakannya sekarang? Apakah dia mau terbang dari catwalk dengan
kostum lengkap?”
Seharusnya aku sudah tahu apa rencana Zeke. Tapi aku baru menyadarinya
ketika mendengar bunyi yang sudah akrab di telingaku. Bunyi bendentang.
Diikuti bunyi berdengung.
Dasar tukang pamer! pikirku Dia memang paling senang kalau semua orang
menatapnya dengan kagum!
Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, dia menggenggam kedua pundakku
dan mengguncang-guncangku dengan keras. Terlalu keras.
Hei, jangan terlalu bersemangat, Zeke, aku berkata dalam hati. Ini kan baru
latihan.
13
“Bukan begitu," seru Ms. Walker “Seharusnya kau bilang, "Tolong. Tolong aku,
Ayah ."
Masa dia tidak sadar bahwa aku sedang diserang oleh hantu yang asli?
Tiba-tiba si Hantu merapatkan wajahnya yang bertopeng, dan berbisik ke
telingaku, “Enyahlah! Jangan ganggu rumahku!”
Tapi sebelum aku sempat mengmgatnya, dia mendadak berbalik, melompat dari
panggung, dan berlari menyusuri gang di antara kursi-kursi penonton. Jubahnya
yang panjang melambai-lambai.
Ms. Walker melintasi panggung sambil membawa naskah. Sepertinya dia sama
bingungnya denganku. “Apakah ada yang bisa menjelaskan kejadian tadi?”
tanyanya.
***
“Di sekolah ini ada hantu sungguhan,” ujar Zeke pelan-pelan. Dia menatapku
sambil mengerutkan kening dan memicingkan mata.
“Aku masih belum yakin bahwa kau tidak ada sangkut-paut dengan semua ini,”
kataku terus terang.
Dia menggelengkan kepala “Yeah. Pasti aku biang keladinya,”gumamnya
dengan jengkel “Bagaimana aku bisa berada di dua tempat sekaligus, Brooke?
Coba jawab. Itu bukan sesuatu yang mudah, biarpun untuk orang sehebat dan
secerdik aku.”
“Uh, catnya tidak mau hilang,” Brian mengeluh. "Lihat nih. Bajuku juga kena.”
“Jangan bercanda terus dong!” Zeke menggerutu. "Sekolah ini ada hantunya.
Dan entah kenapa, dia mau mengacaukan sandiwara kita."
Aku masih mengamati wajah Zeke untuk memastikan apakah dia bohong atau
tidak “Tadi pagi aku melihat kau bicara dengan Andy Seltzer,” aku
memberitahunya. “Bisa saja kau merencanakan. Semuanya berdua dengan dia.
Andy kau beri kostum itu, ya, kan? Kau bilang apa yang harus dikerjakannya.
Ini semua ulahmu dan Andy. Ya, kan?”
Tina melompat dari panggung. Rupanya dia masih mengerjakan dekor di balik
tirai. “Sudah tenang lagi, Brooke?” dia bertanya dengan dingin.
Aku berpaling ke arahnya. “Tenang lagi? Aku tidak apa-apa. Apa maksudmu?”
“Kau kelihatan lemas sekali di panggung tadi. Kupikir kau sakit,” katanya
dengan nada mengejek. “Jangan-jangan kau akan terserang flu. Katanya sih,
sekarang memang lagi musim flu.”
Tina angkat bahu “Entahlah. Coba pakai terpenting saja." Tina menatap Brian
sambil tersenyum. “Rancanganmu untuk latar belakang bagus juga” Kemudian
dia kembali menatapku dan senyumnya langsung lenyap. “Paling tidak ada
yang mengerjakan tugasnya dengan baik.”
Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah berbalik dan bergegas meninggalkan
auditorium.
"Tina berdoa supaya aku kena flu,” aku berkata kepada Zeke. “Keterlaluan,
ya?”
Zeke diam saja. Dia masih sibuk memikirkan hantu itu. Mungkin dia bahkan
tidak mendengarku.
“Ayo, kita pulang saja deh,” aku mengajak mereka. “Sudah sore nih. Nanti saja
kita bicara lagi tentang hantu itu” Aku mulai berdiri.
Zeke menatapku sambil mendelik. “Kau tetap tidak percaya, ya?” tuduhnya
“Kau tetap menganggap ini cuma siasat untuk menakut-nakutimu.”
Brian bangkit dan mengikutiku ke pintu. Aku berpaling kepada Zeke yang
masih duduk di kursinya “Mau ikut pulang atau mau menginap di sini?”
Kami sedang menyusuri lorong ke arah locker ketika Zeke tiba-tiba berhenti
“Oh. Aku lupa.”
“Lupa apa” tanyaku. Sudah hampir waktu makan malam, dan aku ingin segera
pulang. Ibuku selalu uring-urlngan kalau aku terlambat. Dia selalu kuatir aku
ketabrak bus dan sebagainya. Entah kenapa dia berpikiran begitu. Aku belum
pernah kenal seseorang yang ketabrak bus!
“Buku matematikaku,” ujar Zeke. “Aku harus ke kantor kepala sekolah dulu.
Waktu itu bukuku ketinggalan di auditorium. Barangkali ada yang
menyerahkannya."
Dia menunjuk. Ke selatan, kalau aku tidak salah. “Sampai besok” Dia segera
berbalik dan mulai berlari kecil.
Aku mengikuti Zeke ke kantor Mr. Levy. Semua lampu masih menyala, tapi
kantornya sudah kosong. Yang ada cuma sekretarisnya, Dot. Dia baru saja
mematikan komputer dan sedang bersiap-siap pulang.
“Apakah ada yang menyerahkan buku matematika saya ke sini?” Zeke bertanya
sambil bersandar ke komputer.
"Yang itu lho,” balas Zeke. “Orang tua berambut putih. Orangnya kecil. Si
tukang bersih-bersih yang bertugas malam.”
Dot menggelengkan kepala. “Barangkali kau keliru, Zeke,” ujarnya “Tidak ada
pegawai bernama Emile di sekolah ini. Dan kita tidak punya petugas kebersihan
yang bekerja malam.”
14
MALAM itu Tina Powell meneleponku di rumah. “Aku cuma mau tanya
bagaimana keadaanmu,” katanya. "Kau kelihatan pucat sekali tadi, Brooke.”
“Siapa hantu satu lagi yang muncul dl panggung tadi sore?” dia bertanya
sebelum aku sempat meletakkan telepon.
“Seram juga, ya,” Tina memotong. “Mudah-mudahan kau tidak terlalu ngeri,
Brooke.”
Sepertinya dia memang ingin sekali memainkan peran Esmerelda, kataku dalam
hati.
***
Tidak lama setelah itu Zeke menelepon dan meyakinkan aku bahwa hantu itu
pasti Emile. “Dia membohongi kita, kan?” Zeke bertanya dengan berapi-api.
“Dia bilang dia pegawai sekolah. Dan dia mencoba menakut-nakuti kita. Pasti
dia deh,” Zeke berkeras.
“Tingginya cocok,” Zeke melanjutkan. “Dan dia juga tahu soal pintu kolong
itu.” Zeke menarik napas. “Dan kenapa dia ada di sana, Brookie? Kenapa dia
ada di auditorium malam-malam?"
“Karena dia si Hantu?” tanyaku.
Aku berjanji datang lebih pagi besok, supaya Zeke dan aku bisa menceritakan
tentang Emile kepada Ms. Walker.
Malam itu aku bermimpi tentang sandiwara kami. Aku berada di atas panggung,
berkostum lengkap.
Semua lampu sorot diarahkan padaku. Aku menatap kursi-kursi yang dipenuhi
penonton.
Aku membuka mulut dan mendadak sadar bahwa aku tidak ingat harus berkata
apa.
Aku berdiri dicekam rasa panik. Aku tidak sanggup bergerak. Aku tidak
sanggup bicara.
Aku tidak sabar untuk berpakaian dan berangkat sekolah. Mimpi buruk itu ingin
kulupakan secepat mungkin.
Tapi berhubung aku harus mengantar Jeremy dulu, aku tidak bisa datang sepagi
yang kuharapkan.
Jeremy terus bertanya tentang sandiwara kami. Dia ingin tahu segala sesuatu
tentang si Hantu. Tapi aku tidak berminat membicarakannya. Aku terus teringat
mimpiku, teringat perasaan panik yang menyerang saat aku berdiri di hadapan
tiga ratus orang dan kelihatan seperti orang tolol.
Aku mengantarkan Jeremy sampai ke gerbang sekolah, lalu terburu-buru
menyeberang jalan. Zeke ternyata sudah menunggu di pintu depan. Dengan
kesal dia menatap jam tangannya.
Aku tidak tahu untuk apa. Jamnya tidak menunjukkan waktu dengan tepat. Dia
pakai jam digital dengan tujuh belas macam kontrol. Zeke tak pernah mengerti
bagaimana cara menyetelnya. Dia bisa bermain game— dan jamnya bisa
memainkan selusin lagu. Tapi dia tidak bisa mendapatkan waktu yang tepat.
Dia meraih lenganku dan menarikku ke kelas. Dia bahkan tidak memberi
kesempatan padaku tntuk mengambil buku dan locker atau membuka jaket.
“Ada masalah?"
“Apakah kami bisa bicara sebentar dengan Anda?” bisik Zeke. DIa menatap
anak-ahak yang sudah berada di dalam kelas. “Bertiga saja?”
Ms. Walker menatap jam di dinding “Apakah tidak bisa menunggu sampai
nanti? Dua menit lagi bel sudah berdering.”
"Di sekolah kita ada hantu,” ujar Zeke penuh semangat. “Hantu sungguhan.
Brooke dan saya sudah melihatnya.”
“Apa?” dia berseru. Dia memicingkan mata dan menatapku, lalu Zeke.
“Saya tahu, saya tahu,” Zeke berkata sambil tersipu-sipu “Anda sudah melarang
kami. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Di sini ada hantu,” aku menegaskan. “Dan dia berusaha menggagalkan
sandiwara kita.”
“Saya tahu Anda pikir saya-lah yang jail selama ini.” Zeke menambahkan, “tapi
sebenarnya bukan. Itu ulah si Hantu. Dia -”
“Seharusnya saya tidak menceritakan kisah hantu itu,” Ms. Walker berkata
dengan nada menyesal. "Banyak anak yang terpengaruh karenanya. Saya minta
maaf karena telah membuat kalian ketakutan.”
“Tapi kami tidak ketakutan!” Zeke memprotes. "Kami melihat seseorang, dan-”
Kami bertiga tersentak kaget ketika terdengar suara benturan keras dari dalam.
Suara benturan yang disusul tawa berderai-derai.
“Ayo, kita masuk saja,” ujar Ms. Walker. Dia menunjuk Zeke “Dan mulai
sekarang jangan macam-macam lagi - oke? Saya tidak mau ada lelucon lagi.
Kita ingin sandiwara ini berhasil, bukan?"
***
“Kenapa aku ada di sini?" Brian mengeluh. Dia gemetaran dan menatap pohon-
pohon gelap di hadapan kami “Kenapa aku mau diajak ke sini?"
“Kau ikut karena kau teman yang setia,” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Bukan. Karena aku bodoh!” Brian meralat.
Sebenarnya ini ide Zeke. Dia muncul di rumahku sehabis makan malam. Aku
memberitahu orangtuaku bahwa ada latihan sandiwara, padahal tidak ada.
Lalu Zeke dan aku berjalan ke sekolah Di depan sekolah Brian bergabung
dengan kami. Dia memang sudah berjanji akan menunggu kami di sana.
“Aku tidak percaya bahwa Ms. Walker tidak percaya cerita kita,” Zeke
mengomel.
“Apakah kau akan percaya cerita gila seperti itu?" aku menantangnya.
“Pokoknya, kita akan mencari si Hantu, dan kita akan membuktikan bahwa kita
benar,” Zeke berkata dengan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain sekarang.
Kalau Ms. Walker tidak mau membantu, kita harus berusaha sendiri."
“Tapi kenapa aku harus ikut?” Brian mengulangi sambil memperhatikan gedung
sekolah yang gelap.
“Soalnya kami butuh bantuan!” kataku. Aku mendorong Zeke. “Ayo, jalan. Kita
lihat saja siapa yang takut dan siapa yang tidak.”
“Siapa yang mau memergoki kita” balas Zeke, "Kaudengar sendiri apa kata Dot.
Di sini tidak ada tukang bersih-bersih yang bertugas malam.”
“Tapi bagaimana kalau ada alarm atau sebangsanya?” tanya Brian “Maksudku,
alarm maling.”
“Yang benar saja,” sahutku sambil geleng-geleng kepala “Beli rautan pensil saja
sekolah kita tidak sanggup! Apalagi alarm maling.”
Kami Iangsung berlari menghampiri jendela salah satu kelas di lantai dasar.
Jendela itu memang setengah terbuka Setelah mengintip ke dalam, aku
mengenali ruang itu sebagai ruang PKK. Mrs. Langston pasti sengaja
membiarkan jendelanya terbuka, supaya bau biskuit yang dipanggang sore itu
bisa terbawa angin.
Beberapa detik kemudian Brian dan aku sudah menyusulnya ke dalam. Bau
biskuit gosong masih tercium jelas. Perlahan-lahan kami mengendap-endap
dalam kegelapan, menuju ke pintu.
“Aduh!” aku berseru tertahan ketika pahaku membentur meja yang rendah.
Zeke sudah keluar ke lorong. Brian dan aku menyusul, pelan-pelan, dengan
hati-hati.
Lorong ternyata lebih gelap lagi dari ruang kelas. Kami terus merapat ke
dinding ketika berjalan menuju ke auditorium.
Tak ada yang perlu ditakuti, kataku dalam hati. Ini cuma gedung sekolah,
gedung yang sudah jutaan kali kaumasuki. Dan di sini tidak ada siapa-siapa.
Hanya kamu. Zeke. Brian. Dan si Hantu.
“Aku... aku benar-benar ngeri,” bisik Brian ketika kami membelok di ujung
lorong.
“Anggap saja ini cuma film bioskop yang seram,” aku berkata padanya.
Zeke membuka pintu terdekat. Kami mengintip ke dalam. Gelap gulita. Udara
di auditorium terasa lebih dingin.
Jantungku berdegup semakin kencang. Aku langsung menyesal bahwa aku tidak
bisa mengendalikan pikiranku.
Zeke meraba-raba dinding dan menyalakan barisan lampu di atas deretan kursi
di sebelah kiri kami. Baru sekarang aku bisa melihat panggung yang kosong dan
sunyi. Seseorang membiarkan tangga bersandar pada salah satu dinding.
Beberapa kaleng cat ditaruh di bawah tangga.
“Jangan,” sahut Zeke sambil mengamati panggung “Kita kan mau menyergap si
Hantu. Jangan sampai dia tahu kita datang”
Aku meraih lengan Zeke. Dan aku melihat Brian membelalakkan mata karena
ngeri.
15
“Di mana?” tanyaku dengan suara parau. Memang sukar untuk berbicara kalau
tenggorokan kita seperti tersekat.
Ternyata bukan.
Aku memekik tertahan ketika latar belakang panggung mulai bergerak turun.
“Perbuatan siapa itu?" aku berbisik. “Siapa yang menurunkan gambar latar?”
Dan kami bertiga menahan napas ketika melihat apa yang telah terjadi dengan
gambar itu.
Zeke yang pertama bergerak. Dia berpegangan pada. tepi panggung, lalu
menarik badannya ke atas. Brian dan aku segera menyusul.
Hening.
Pasti ada orang di sini, aku berkata dalam hati. Orang itu telah menurunkan
gambar latar supaya kami melihat yang telah dilakukannya.
Dan ketika kami menghampiri gambar latar, kami melihat serangkaian kata
yang ditulis dengan cat merah di bagian bawah.
Aku berhenti dan memicingkan mata untuk membaca pesan itu dalam cahaya
yang redup.
Aku menelan ludah. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutku.
"Saya sangat kecewa terhadap kalian bertiga,’ ujar Ms. Walker sambil
menghampiri kami. “Memasuki bangunan dengan paksa dan tanpa izin
merupakan pelanggaran serius. Dan kalian bertiga tidak boleh berada di-”
Dia mendadak terdiam. Pandangannya beralih pada gambar latar, dan dia
memekik tertahan. Dia begitu terkejut melihat Zeke, Brian, dan aku di atas
panggung, sehingga dia tidak memperhatikannya - sampai saat ini.
“Oh! Oh! Ya, ampun!" serunya sambil menempelkan kedua tangan ke pipi. Dia
terhuyung-huyung, seolah-olah tidak sanggup menjaga keseimbangan. Aku
sudah takut dia bakal jatuh!
Dia mengangkat tangan supaya aku berhenti. “Begitu pentingkah lelucon ini
bagi kalian bertiga?” dia bertanya dengan suara bergetar.
“Ms. Walker -”
“Begitu pentingkah kalian membuat semua orang percaya bahwa ada hantu di
sini? Sampai kalian masuk tanpa izin — dan dengan begitu melakukan
kesalahan serius — lalu merusak latar belakang panggung sandiwara kita?”
Ms. Walker maju selangkah dan menggoreskan jari ke noda cat merah pada
gambar latar. Ketika dia mengangkat jarinya, ujung jarinya berwarna merah.
“Catnya masih basah,” dia berkata sambil menatapku dengan tajam, “Selain
kalian tidak ada siapa-siapa di sini. Apakah kalian akan terus membohongi saya
sepanjang malam?”
Brian tersipu-sipu. Wajahnya lebih merah dari wajah siapa pun yang pernah
kulihat. Dia menundukkan kepala, seolah-olah memang bersalah.
Aku menarik napas panjang “Ms. Walker, kami harus diberi kesempatan untuk
menjelaskan semuanya!” aku berseru, “Bukan kami yang melakukan ini!
Gambar latarnya sudah begini waktu kami datang! Sungguh?"
“Kenapa?” Mr. Walker bertanya dengan tegas “Untuk apa kalian datang ke sini?
Kenapa kalian bukan di rumah masing-masing, seperti seharusnya?"
“Tadi pagi kami sudah bercerita mengenai si Hantu, tapi Anda tidak percaya.”
“Tentu saja saya tidak percaya” balas Ms. Walker. “Itu hanya legenda tua.
Sebuah cerita.” Ia menatap Zeke sambil mengerutkan kening.
Zeke menghela napas. “Kami sudah bertemu si Hantu, Ms. Walker. Brooke dan
saya. Karni melihatnya. Dia-lah yang mencorat-coret gambar latar. Bukan kami.
Dia yang turun lewat tali dan catwalk. Dan menyergap Brooke waktu latihan.”
“Kenapa saya harus percaya itu?” tanya Ms. Walker, masih sambil
menyilangkan tangan di depan dada.
“Karena memang benar,” kataku. “Zeke, Brian, dan saya - kami datang ke sini
untuk mencari si Hantu.”
“Maksudnya, kalian mau turun lewat pintu kolong?” tanya Ms. Walker.
“Tapi saya sudah melarang semua orang mendekati pintu kolong,” guru kami
menegaskan.
“Saya tahu,” ujarku. “Dan saya menyesal. Kami semua menyesal. Tapi kami
harus menemukan si Hantu, untuk membuktikan kepada Anda bahwa dia
memang ada, bahwa kami tidak mengada-ada.”
Tampang Ms. Walker tetap kencang. Dia tetap menatap kami sambil mendelik.
“Sampai sekarang saya belum mendengar apa pun yang bisa meyakinkan saya."
“Lalu gambar latarnya mulai turun,” Brian menimpali dengan suara kecil. dan
bergetar, “Kami cuma berdiri di sini dan memperhatikannya turun sendiri, Ms.
Walker. Sungguh. Dan waktu kita lihat bahwa gambarnya sudah dicoret-coret,
kami... kami sendiri kaget sekali!”
Roman muka Ms. Walker agak melunak. Brian begitu gugup, sehingga Ms.
Walker kelihatannya mulai percaya.
“Saya sudah bekerja keras untuk membuat gambar latar itu,” Brian melanjutkan.
“Ini tugas pertama yang saya kerjakan di sekolah ini, dan saya ingin hasilnya
sebaik mungkin. Saya tidak mungkin merusak gambar saya sendiri sebagai
lelucon konyol. Saya tidak mungkin berbuat begitu.”
Ms. Walker menurunkan tangannya. Dia menatap kami satu per satu, lalu
kembali memperhatikan gambar latar. Kemudian dia membaca pesan yang
tertulis di bagian bawah sambil menggerakkan bibir tanpa bersuara:
Dia memejamkan mata dan diam beberapa saat. Kemudian dia kembali
berpaling kepada kami. “Sebenarnya saya ingin mempercayai kalian," dia
mengakui sambil mendesah “Tapi saya tidak bisa."
Aku diam saja. Begitu pula Zeke dan Brian. Rasanya tak ada lagi yang bisa
kami katakan.
Oh, gawat, ujarku dalam hati. Jangan bawa-bawa kepala sekolah. Bagaimana
kalau dia memutuskan bahwa sandiwara kita harus dibatalkan? Tapi aku tidak
mengatakan apa-apa. Zeke dan Brian pun diam saja. Kami bahkan tidak saling
berpandangan. Kami hanya mengikuti Ms Walker ke lorong.
Aku lega sekali karena Ms. Walker akhirnya mulai mempercayai kami. Dan
juga karena dia tidak menjatuhkan hukuman.
Dia menyalakan lampu di lorong supaya kami tidak perlu berjaian dalam
kegelapan.
Tiba-tiba kami berhenti serempak.
Kami semua melihat bercak-bercak cat merah yang mengotori lantai lorong.
“Hmm, coba lihat ini!" seru Ms. Walker. “Tukang cat kita agak sembrono. Dia
meninggalkan jejak untuk diikuti.”
Ms. Walker menyalakan sejumlah lampu lain, dan kemudian kami mengikuti
bercak-bercak cat itu sampai ke ujung lorong. Jelas-jelas kami melihat jejak
sepatu di salah satu genangan cat.
“Untung saja,” aku menyahut, juga sambil berbisik. “Bercak-bercak cat ini
mungkin akañ membawa kita ke orang yang merusak gambar latar.”
"Paling tidak ini akan membuktikan kepada Ms. Walker bahwa kita tidak
mengada-ada,” Brian berkata pelan-pelan.
Jejak cat merah itu mendadak lenyap. Bercak terakhir tampak di depan sebuah
pintu locker.
"Hei!?" Zeke berseru tiba-tiba, sehingga kami semua tersentak kaget. Aku
melihatnya membelalakkan mata. "Itu lockerku!”
17
Zeke tetap tidak bereaksi. “Tapi tapi tidak ada apa-apa di dalamnya,” Zeke
memprotes. “Cuma buku pelajaran dan buku catatan dan sebagainya."
“Ayo” Ms. Walker menunjuk kunci kombinasi “Ayo, Zeke. Sudah malam.”
“Barangkali ada orang yang menjadikan Zeke sebagai kambing hitam,” ujarku
“Barangkali orang itu sengaja meninggalkan bercak-bercak cat yang menuju ke
locker Zeke.”
“Mungkin saja,” Ms. Walker menyahut singkat. "Karena itulah saya minta dia
membuka lockernya.”
“Oke, oke,” Zeke bergumam. Tangannya gemetaran ketika dia meraih kunci
kombinasi. Sambil membungkuk dia memutar kunci itu - mula-mula ke kiri,
lalu ke kanan
Aku langsung mundur, “Sori” Aku baru sadar bahwa dia tidak bisa melihat
angka-angka pada kunci kombinasi karena terhalang bayanganku.
Aku melirik ke arah Brian. Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana.
Dia bersandar di dinding dan memperhatikan Zeke memutar-mutar kunci
kombinasi.
Akhirnya terdengar bunyi klik. Zeke segera menarik pegangan pintu dan
membuka pintunya.
Kami sama-sama melihat kaleng kecil berisi cat. Sebuah kaleng cat warna
merah di dasar locker, Tutupnya tidak terpasang rapat. Di pinggir kaleng masih
ada tetes-tetes cat yang mengalir ke bawah.
“Kaleng cat itu bukan punya saya!” Zeke berkeras. “Sungguh, Ms. Walker!
Bukan!”
“Oh, jangan dong, Ms. Walker!” Zeke menggerutu. Pintu locker-nya dibanting
sekeras mungkin. Bunyinya bergema di sepanjang lorong yang lengang.
Ms. Walker tersentak kaget. Zeke ditatapnya dengan marah. Kemudian dia
berpaling kepada Brian dan aku. “Jadi kalian berdua juga terlibat? Katakan yang
sebenarnya!”
Tapi aku sadar bahwa usahaku sia-sia saja. Kaleng cat di locker Zeke
merupakan bukti yang sukar disangkal.
Zeke tidak bisa berkelit.
“Kalau saya mendengar bahwa kau dan Brian ternyata ikut terlibat, maka kalian
juga akan dicoret dari daftar pemain dan orangtua kalian juga akan dipanggil,”
Ms. Walker mengancam. “Sekarang pulanglah.”
Kami segera keluar lewat pintu depan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bulan sabit setengah tersembunyi di balik gumpalan kabut kelabu. Kabut itu
tampak bagaikan sosok hantu yang hendak menelan bulan
Aku mengikuti Zeke dan Brian menuruni tangga di muka gedung sekolah.
“Bagaimana kaleng cat itu bisa masuk ke locker- mu?” Brian bertanya sambil
melirik ke arah Zeke.
Kami menuju ke trotoar. Dengan gusar Zeke menendang kotak jus yang sudah
kosong ke tengah jalan.
"Sampai besok deh," ujar Brian dengan muram. Dia melambaikan tangan, lalu
berjalan ke arah rumahnya.
“Tidak,” dia menyahut sambil terus berlari. Lega juga rasanya dia
mendahuluiku. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa padanya.
Perasaanku tak menentu. .
Aku berjalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala dan berpikir keras, ketika
aku melihat titik cahaya mengambang di kegelapan di hadapanku.
Titiknya bertambah besar, dan aku menyadari bahwa itu lampu sepeda.
Sepedanya membelok ke pelataran parkir di sekolah, lalu meluncur ke arahku.
Ketika jaraknya tinggal satu atau dua meter, aku baru mengenali
pengendaranya. “Tina!” aku berseru terkejut. “Kenapa kau ada di sini?”
Dia berhenti. Matanya yang gelap memantulkan cahaya lampu jalanan di atas
kepala kami. Dia mengembangkan senyum. Senyum yang janggal.
“Hai, Brooke! "
Apakah dia ada di sekolah tadi? aku bertanya dalam hati. Apakah dia baru dari
sekolah?
“Dari sekolah? Tidak. Untuk apa aku ke sana malam-malam begini?” jawabnya.
Dia bergeser sedikit di jok sepeda, lalu kembali menginjak pedal. “Sebaiknya
jaketmu dikancingkan saja, Brooke,” dia berkata padaku. “Kau tidak ingin kena
flu, kan?”
18
Kami semua bekerja keras, dan latihannya pun berjalan lancar. Aku cuma dua
kali lupa kalimat yang harus kuucapkan.
Sehabis makan siang, Robert dan Corey melatih sebuah adegan bersama-sama.
Ms. Walker belum kembali dari makan siangnya.
Aku menghampiri Brian. Dia memegang kuas yang baru dicelupnya ke dalam
cat hitam. Dia sedang berdiri -membungkuk di atas gambar latar yang baru, dan
memberi sentuhan terakhir pada beberapa batu bata.
“Bagus juga," aku memuji. Tiba-tiba saja aku merasa terdorong untuk menepuk
punggungnya supaya catnya berlepotan. Tapi kemudian aku memutuskan
bahwa itu bukan ide yang baik.
Aku sendiri tidak mengerti dari mana dorongan-dorongan mendadak seperti itu
berasal.
“Robert bagus juga sebagai hantu,” ujar Brian sambil menggaruk dagu dengan
ujung tangkai kuas
Brian mengangguk. Kemudian dia menoleh dan menatapku. "Kau tahu, tidak?
Sejak Zeke pergi tak ada lelucon konyol lagi. Tak ada dekor yang rusak. Tak
ada hantu misterius yang mengagetkan kita semua. Tak ada pesan ancaman di
dinding. Tak ada apa-apa. Tak ada satu kejadian buruk pun sejak Ms. Walker
mengusir Zeke.”
Terus-terang, aku sama sekali tidak memperhatikannya Tapi Brian benar. Sejak
Zeke dicoret dari daftar pemain, si Hantu sama sekali tak pernah muncul lagi.
Apakah ini berarti bahwa memang Zeke yang tampil sebagai si Hantu? Bahwa
Zeke yang bertanggung jawab atas segala kejadian aneh yang kami alami?
"Orangtua Zeke pasti marah, ya, waktu Ms. Walker memanggil mereka ke
sekolah?” tanya Brian, "Apakah Zeke kena hukuman?"
“Tentu saja,” sahutku, sambil terus memikirkan si Hantu “Dia dihukum tidak
boleh keluar main seumur hidup. Dan videonya juga diambil. Berarti dia tidak
bisa nonton film horor. Zeke tidak bisa hidup tanpa film horor.”
“Oke, semuanya!” sebuah suara berseru keras-keras. Aku menoleh dan melihat
Ms. Walker sudah kembali dari makan siangnya “Kita mulai dari adegan
pembukaan Babak Dua,” dia mengumumkan. "Kita akan melatih seluruh babak
sampai selesai."
Ketika aku menghampiri Robert, aku melihat Ms. Walker meraih naskahnya
dari meja. Dia memegangnya dengan kedua tangan, hendak membuka Babak
Dua.
“Oke, ini sudah keterlaluan” seru Ms. Walker. Buku naskah dilemparkannya ke
dinding, “Ini lelucon yang terakhir! Sandiwara ini dibatalkan. Silakan pulang,
semuanya! Sandiwara kita batal!”
19
"Tapi Ms. Walker pasti berubah pikiran lagi, kan?" tanya Zeke.
Aku mengangguk. “Yeah. Setelah beberapa detik dia sudah tenang lagi, dan dia
bilang sandiwara kita bisa diteruskan. Tapi sampai selesai latihan dia jadi uring-
uringan dan gampang marah.”
“Paling tidak, kali ini dia tidak bisa menyalahkan aku,” ujar Zeke. Dia
menggelindingkan bola berwarna pink melintasi ruang tamu, dan Buster, anjing
cocker spaniel-nya yang berbulu hitam, langsung mengejarnya.
Zeke ketawa. “Dia tidak suka padamu, Brian.” Dia meraih bola dan kembali
menggelindingkannya di atas karpet.
Tapi bolanya tak digubris oleh Buster. Dia terus menggonggong ke arah Brian.
Buster langsung menghindar dan berlari untuk mencari bola yang telah
menggelinding sampai ke lorong.
“Hmm, ini bukti nyata bahwa ada orang iseng lain di kelas kita," ujar Zeke, dan
senyumnya langsung lenyap. Dia menyandarkan punggung di sofa yang
didudukinya. “Berarti sekarang terbukti bahwa bukan aku yang berusaha
menggagalkan sandiwara kita.”
Sebenarnya aku ingin menanggapinya dengan bercanda, tapi aku melihat roman
muka Zeke serius. Karena itu aku diam saja.
“Di sekolah kita memang ada hantu,. dan hantunya bukan aku,” kata Zeke.
“Tapi sekarang semua orang menganggap aku pembohong. Ms. Walker pikir
aku mau menggagalkan sandiwara kita. Dan orangtuaku sendiri menyangka aku
anak yang tidak bisa diatur.”
“Sebagai hantu kau jauh lebih bagus daripada Robert,” aku berusaha
menghiburnya. “Waktunya kurang dari seminggu lagi dan Robert belum juga
hafal kalimat-kalimatnya. Bahkan dia menyesal ikut seleksi sandiwara ini.
Sebenarnya dia sudah tidak mau ikutan lagi.”
Zeke langsung berdiri. “Kalau kita bisa membuktikan bahwa bukan aku
hantunya, aku yakin Ms. Walker akan mengembalikan peran itu padaku.”
"Oh-oh,” kataku. Pikiran Zeke sudah terbaca olehku. Aku sudah tahu ucapannya
yang berikut.
“Ayo, kita ke sekolah,” ujar Zeke. Matanya berbinar-binar. “Kali ini hantu itu
akan kita cari sampai ketemu. Aku benar-benar ingin mendapatkan peranku
kembali.”
“Aku mau membuktikan kepada semua orang bahwa bukan aku yang berniat
menggagalkan sandiwara kita,” Zeke berkeras.
Brian melemparkan bola kepada Buster. Tapi anjing itu tidak bereaksi “Tapi
kau kan lagi dihukum,” Brian mengingatkan Zeke.
Zeke angkat bahu. “Kalau kita bisa menemukan hantu itu dan membuktikan
bahwa aku tidak bersalah, orangtuaku justru akan senang aku melanggar
larangan mereka. Dan setelah itu hukumanku pasti dihapus. Ayo dong. Kita
coba sekali lagi, oke?”
Aku menatap Zeke sambil mengerutkan kening. Terus terang, aku tidak setuju
pada gagasannya itu. Terakhir kali kami menyusup ke auditorium, kami semua
mendapat kesulitan besar.
Tapi bagaimana kami bisa menolak ajakan Zeke? Dia sudah sampai memohon-
mohon!
***
Udara malam itu sebenarnya cukup hangat, tapi aku tetap kedinginan. Ketika
kami berjalan ke sekolah aku terus melihat bayangan-bayangan yang seakan-
akan hendak menyergap kami. Tapi setiap kali aku menoleh, bayangan-
bayangan itu langsung menghilang.
Deretan lampu di atas barisan kursi paling belakang ternyata masih menyala.
Panggung tampak gelap dan kosong di hadapan kaml, kecuali gambar latar yang
menempel di dinding.
Zeke menyusuri gang di tengah. Brian dan aku sudah dibekali senter, dan kami
segera menyalakan senter masing-masing ketika menuju ke panggung. Berkas
cahayanya menyoroti deretan bangku kosong. Aku mengarahkan senterku ke
depan dan membiarkan cahayanya menyapu seluruh panggung.
“Zeke, kita cuma buang-buang waktu di sini,” ujarku sambil berbisik, biarpun
tak mungkin ada yang mendengar kami
Dia menempelkan telunjuk ke bibir “Kita harus turun ke bawah panggung,” dia
menyahut sambil memandang lurus ke depan, “Dan kita akan menernukannya,
Brooke. Kali ini, kita akan menemukannya."
“Ehm.... mungkin lebih baik kalau aku tunggu di sini sementara kalian ke
bawah,” Brian mengusulkan “Aku akan berjaga-jaga di panggung.”
Roman muka Brian jelas-jelas ketakutan “Terhadap.. siapa saja yang mungkin
datang,” dia menyahut pelan-pelan.
“Semua harus ikut turun,” Zeke berkeras “Aku butuh dua saksi kalau kita
menemukan si Hantu - kau dan Brooke.”
Brian dan aku berdiri di tengah-tengahnya. Zeke menginjak tuas di lantai, lalu
melompat ke samping kami.
Seketika terdengar bunyi berdentang yang sudah akrab di telinga kami. Lalu
bunyi berdengung saat pelatarannya mulai turun. Panggung seakan-akan
bergerak naik. Dalam waktu beberapa detik saja kami sudah dikelilingi empat
dinding gelap.
Zeke yang pertama turun dan pelataran. Dia mengangkat senternya dan
menyorotkannya ke segala arah. Kami berada di tengah-tengah ruangan besar
yang kosong. Di kiri-kanan ada terowongan yang entah menuju ke mana.
“Jangan macam-macam,” kataku. “Tadi kau bilang kau sedang serius. Kenapa
malah bercanda sekarang?”
Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Dia bercanda supaya dia jangan terlalu ngeri.
Aku menatap Brian. Dalam cahaya yang redup pun aku langsung melihat bahwa
wajahnya pucat pasi. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya. “Ayo, kita naik
lagi deh.”
"Nanti dulu,” ujar Zeke, "ikuti aku. Arahkan sentermu ke bawah, supaya
jalannya kelihatan.”
Brian dan aku berdampingan mengikuti Zeke. Kami memasuki terowongan
panjang, berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan pasang telinga.
Hening.
Lututku masih gemetaran. Dan bukan lututku saja, tapi seluruh tubuhku. Tapi
Zeke kelihatan begitu berani. Dia tidak boleh tahu bahwa aku ngeri.
Kami kembali maju beberapa langkah - lalu berhenti karena mendengar bunyi di
belakang.
“Pelatarannya”
Kami bertiga membalik dan mulai berlari ke arah pelataran. Suara langkah kami
terdengar bergema di terowongan yang gelap.
Aku terengah-engah ketika sampai di ruangan semula. Aku nyaris tak sanggup
menarik napas
Pelataran pintu kolong berhenti jauh di atas kepala kami. Zeke, Brian, dan aku
sama-sama membisu sambil memandang kegelapan di atas
“Zeke, kita terperangkap di sini." aku bergumam “Kita tidak bisa naik lagi Kita
benar-benar terperangkap.”
20
Brian bertanya dengan suara bergetar, "Siapa yang menaikkan pelataran? Siapa
yang menginjak tuas supaya pelatarannya naik lagi?"
Zeke angkat bahu. “Kelihatannya tidak ada pilihan lain. Kalau kita mau keluar
dari sini, kita harus menemukan si Hantu!”
Dasar terowongannya mulai becek dan berlumpur. Udara pun bertambah dingin.
Brian dan aku harus mengayunkan langkah dengan cepat agar tidak tertinggal
oleh Zeke. Dia berjalan dengan Iangkah panjang, sementara senternya berayun
maju-mundur.
“Siapa di sini?” Zeke memanggil dengan suara kecil yang berkesan janggal.
Aku mengulurkan tangan dan mendorong pintu, yang lalu membuka diiringi
bunyi berderak-derak. Zeke dan aku mengangkat senter masing-masing dan
mengarahkannya ke ruangan di balik pintu
Ruangan itu ternyata penuh perabot. Ada kursi lipat. Sofa lusuh dengan satu jok
sudah hilang. Rak-rak buku di sepanjang dinding.
Cahaya senterku menerangi meja kecil. Di atasnya ada mangkuk dan sebungkus
cornflakes (serpihan jagung-edit). Aku mengalihkan senterku dan melihat
tempat tidur kecil yang berantakan di dinding seberang.
Zeke dan Brian menyusulku. Berkas sinar senter-senter kami menyapu semua
barang yang ada di dalam ruangan itu. Sebuah alat pemutar piringan hitam kuno
tampak di atas meja rendah. Di sampingnya terdapat tumpukan rekaman-
rekaman lama.
Brian menghampiri meja, lalu menyorot mangkuk sereal dengan senternya. “Si
Hantu - dia baru saja di sini,” ujar Brian. “Cornflakes-nya belum melempem.”
“Wow!” aku berseru. “Ternyata ada orang yang tinggal di sini, jauh di bawah -”
Aku berhenti karena merasa mau bersin. Aku berusaha menahannya. Tapi sia-
sia. Aku bersin satu kali. Dua kali. Lima kali.
“Ssst, Brooke!” Brian mendesis. “Jangan ribut dong. Dia akan mendengarmu.”
“Justru bagus dong. Kita kan mau menemukan dia,” Zeke mengingatkan Brian.
Aku bersin tujuh kali. Lalu sekali lagi sebagai pelengkap. Akhirnya serangan
bersin itu berlalu.
Kami berbalik, menatap pintu. Pintu itu tidak terdorong oleh angin. Seseorang
telah menutupnya.
Zeke yang pertama bereaksi. Dia langsung melompat ke pintu, lalu meraih
pegangannya dan mengguncang-guncangkannya dengan sekuat tenaga.
21
AKU bergegas ke samping Zeke. “Barangkali pintunya bisa dibuka kalau kita
dorong bersama-sama,” aku mengusulkan.
“Mungkin saja,” sahut Zeke. Tapi sepertinya dia tidak berani berharap terlalu
banyak.
Aku menelan ludah. Melihat Zeke ketakutan membuat aku semakin ngeri.
“Yeah. Coba kita dorong bersama-sama,” Brian mendukung usulku sambil
melangkah maju, “Kalau perlu, pintu ini kita dobrak saja!”
Begitu dong, Brian! kataku dalam hati. Akhirnya dia memperlihatkan sedikit
semangat.
Aku menarik napas panjang dan menahannya untuk menenangkan diri. Lengan
dan kakiku serasa terbuat dari permen karet.
Aduh, ini benar-benar seram, pikirku. Kalau kami terkunci di ruangan kecil ini
dan tidak sanggup keluar, bisa-bisa kami harus menghabiskan sisa hidup kami
di sini. Kami terpisah bermil-mil jauhnya dari dunia luar.
Semua orang akan mencari kami di atas. Dan mereka takkan pernah
menemukan kami. Biarpun kami menjerit dan berteriak sekuat tenaga, takkan
ada yang mendengar kami.
"Oke, aku hitung sampai tiga,” kataku. "Pada hitungan ketiga, semuanya harus
mendorong pintu.”
“Hei! Tunggu aku memotong, lalu mengamati pintu sambil mengerutkan kening
“Pintunya kita dorong ke sebelah dalam waktu masuk ke sini, yakan?”
“Yeah, rasanya sih ya,” balas Zeke. Dia menatapku sambil mengerutkan kening.
“Berarti tidak bisa didorong dari dalam,” ujarku. “Pintunya harus ditarik.”
Dan kemudian kami melihat laki-laki kecil yang berdiri di ambang pintu.
Senterku kuarahkan ke wajahnya, dan seketika aku mengenalinya.
Emile. Laki-laki kecil berambut putih yang mengaku sebagai petugas
kebersihan yang berdinas malam.
22
Dia tidak beranjak. Mata kelabunya yang aneh beralih dari Zeke ke Brian lalu
menatapku.
Roman mukanya malah bertambah kencang. Cahaya senter membuat bekas luka
yang memanjang di pipinya kelihatan semakin dalam dan seram.
Dia tetap menghalangi jalan kami. “Kenapa kalian ada di bawah sini?” dia
bertanya dengan suaranya yang parau. “Kenapa kalian ada di tempat
tinggalku?”
“Ini rumahku,” laki-laki itu berkata dengan gusar. “Kenapa kalian ada di sini?
Kenapa kalian tidak mengindahkan semua peringatan yang kuberikan?"
“Maksudnya, dengan mencoret-coret gambar latar? Dengan turun lewat tali dari
catwalk? Dengan menaruh topeng dan pesan itu di locker-ku?"
Si Hantu mengangguk.
"Dan apa yang terjadi tujuh puluh dua tahun lalu?” aku bertanya padanya. “Apa
yang terjadi padamu waktu sandiwara ini seharusnya dipentaskan untuk pertama
kali? Kenapa kau menghilang malam itu?”
Roman muka si Hantu berubah. Aku melihat sorot bingung dalam matanya yang
bersinar-sinar. "Aku - aku tidak mengerti,” dia berkata sambil menatapku
dengan tajam. Rambutnya yang panjang jatuh menutupi keningnya.
Dia mengembangkan senyum getir. “Hei - aku belum setua itu!” katanya.
“Umurku baru lima puluh tujuh.”
Kami bertiga menatapnya sambil menerka-nerka apakah dia bohong atau tidak.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia berkata apa adanya. “Jadi, selama ini
kau tinggal di bawah gedung sekolah?" tanyaku dengan lembut. “Dari mana kau
tahu ten- tang ruangan di bawah sini?”
“Ayahku bekerja selama tiga puluh tahun di sini,” jawab Emile. ‘Dia sering
mengajakku kemari waktu aku masih kecil. Waktu aku kehilangan apartemenku
di kota, aku teringat tempat ini. Dan sejak itu aku tinggal di ini. Sudah hampir
enam bulan sekarang”
“Tunggu dulu!" aku berseru sambil mengangkat tangan untuk melindungi diri.
Kemudian aku mendengar bunyi itu. Dari arah terowongan. Bunyi berdentang-
dentang.
Aku berpaling kepada Zeke dan Brian. Rupanya mereka juga mendengarnya.
Sepertinya ide itu muncul berbarengan dalam benak kami bertiga. Kami harus
bisa sampai ke pelataran. Itu satu-satunya jalan bagi kami untuk meloloskan
diri.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Zeke, Brian, dan aku melesat ke pintu.
"Oh!” Aku sempat menabrak Emile ketika aku melewatinya.
Aku yang pertama menghambur keluar Aku berlari sekencang mungkin. Kakiku
tetap serasa terbuat dari permen karet, tapi kupaksakan untuk terus bergerak,
selangkah demi selangkah.
Aku tidak menoleh ke belakang. Tapi aku bisa mendengar Zeke dan Brian tepat
di belakangku. Dan kemudian aku mehdengar suara Emile membahana di
terowongan: “Kalian merusak semuanya. Semuanya!”
Ayah Zeke!
“Ada apa ini?" tanya Mr. Matthews. “Suara siapa yang saya dengar tadi?”
Zeke mengulurkan tangan dan menekan tombol. Kali ini tombolnya bisa
digerakkan.
"Saya mendengar suara laki-laki tadi. Siapa itu?” Mr. Matthews kembali
bertanya.
“Dari mana Ayah tahu bahwa kami ada di bawah sana?” Zeke bertanya pada
ayahnya.
“Seharusnya kau di rumah,” Mr. Matthews berkata dengan tegas “Kau
dihukum. Dan hukumanmu belum selesai. Tapi waktu Ayah tahu kau tidak ada
di rumah, Ayah langsung bisa menebak bahwa kau pergi ke sekolah untuk
menyelidiki panggung ini. Pintu samping sekolah terbuka Ayah masuk ke
auditorium dan mendengar pelataran pintu kolong bergerak. Karena itu Ayah
memutuskan untuk menyusul ke bawah.”
“Untung saja!” aku berseru. Rasanya Mr. Matthews ingin kupeluk saja.
Tidak lama kemudian polisi sudah tiba. Kami memperhatikan mereka turun
lewat pintu kolong, lalu menunggu sampai mereka membawa Emile ke atas.
Tapi waktu mereka naik lagi beberapa menit setelah itu, mereka muncul tanpa
Emile.
“Tidak ada siapa-siapa di bawah sana,” salah satu petugas melaporkan. Dia
membuka helm dan menggaruk-garuk kepala. “Kami hanya menemukan tempat
tidur dan perabotan tua.”
Aku berpaling kepada Zeke “Nah, sekarang kita sudah tahu siapa hantu itu,”
ujarku. Aku merasa agak sedih. “Ternyata cuma laki-laki malang yang tidak
punya rumah. Bukan hantu sungguhan berumur tujuh puluh dua tahun yang
sudah gentayangan sejak sekolah ini dibangun.”
“Yeah, aku juga agak kecewa,” sahut Zeke sambil mengerutkan kening,
“Sebenarnya aku kepingin Sekali bertemu hantu sungguhan” Roman mukanya
bertambah cerah “Tapi paling tidak Ms. Walker akan mempercayaiku sekarang.
Dan peranku dalam sandiwara kita akan kudapatkan lagi.”
Sekarang kita bisa bernapas lega, pikirku. Sekarang kita bisa bersenang-senang
dan menampilkan pertunjukan yang hebat.
24
PADA malam menjelang pertunjukan, aku duduk di ruang ganti cewek sambil
mengoleskan makeup panggung ke wajahku. Aku belum pernah memakai make
up sebanyak itu, dan kurasa hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya
aku memang tidak mau pakai make up tebal-tebal.
Tapi Ms. Walker berkeras bahwa kami harus memakainya. Anak-anak cowok
juga. Katanya, untuk mengurangi pantulan dari lampu-lampu sorot, supaya
wajah kami tidak terlalu mengilap di atas panggung.
Aku mendadak gugup sekali. Tenang saja, Brooke, ujarku dalam hati. Ingat, kau
seharusnya senang karena bisa tampil di sini.
Aku keluar dan ruang ganti, menyusuri lorong, memasuki auditorium lewat
pintu panggung, lalu mengambil tempat di pinggir. Seseorang menepuk
pundakku, dan aku langsung tersentak kaget. Aduh, gugupnya minta ampun
deh!
Zeke tidak menyahut. Dia membungkuk dengan sikap formal, lalu bergegas
untuk mengambil tempat.
Tirai panggung masih tertutup. Tapi aku bisa mendengar suara para penonton di
baliknya. Wow! Tak ada satu kursi pun yang kosong, aku menyadari. Tiba-tiba
aku mulai gugup lagi.
***
Sandiwara kami berjalan lancar sampai akhir babak pertama. Semua pemain
tampil dengan baik hingga saat itu.
Ketika tirai membuka dan para penonton bertepuk tangan untuk menghargai
dekor, aku melangkah ke panggung bersama Corey. Dan aku sama sekali lupa
pada demam panggungku.
“Aku tidak percaya, Ayah!" aku menyahut sebagai Esmerelda. “Ayah hanya
ingin terus mengaturku. Ayah menganggap aku masih kecil!"
Wah, asyik juga, pikirku. Aku senang tidak merasa gugup. Aku menikmati
setiap menit keberadaanku di atas panggung.
Dan menjelang akhir babak pertama, aku menanti adegan puncak sandiwara
kami. Kabut dry ice tampak melayang-layang di panggung ditembus sorot
lampu berwarna biru, sehingga berkesan menyeramkan.
Aku mendengar pelataran pintu kolong berdentang-dentang. Dan aku tahu
bahwa Zeke, dengan kostum hantunya, sedang naik dari bawah panggung.
Para penonton menahan napas lalu bertepuk tangan dengan meriah ketika si
Hantu muncul di hadapan mereka. Dia berdiri kaku di tengah kabut, dengan
jubah melambai-lambai.
“Oh, Hantu! Akhirnya kita bisa bertemu?” aku berseru dengan segenap perasaan
yang dapat kucurahkan, “Sudah begitu lama aku mendambakan saat ini.”
Aku berpaling dan menghadap ke arah si Hantu. Aku menatap kedua mata di
balik topeng berwarna biru-hijau itu.
25
Aku kembali berpaling kepada para penonton. Suasananya hening. Semua orang
menungguku berbicara.
Aku menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat Esmerelda yang berikut
“Oh, Hantu, mengapa engkau gentayangan di gedung teater ini? Ceritakanlah
kisahmu. Aku berjanji takkan takut.”
“Lebih dari tujuh puluh tahun aku hidup di bawah gedung teater ini,” dia
berkata, “Kisahku sungguh sedih Mungkin bahkan bisa disebut tragis,
Esmerelda-ku yang cantik”
“Teruskanlah!" seruku.
Apa maksudnya?
Sekonyong-konyong aku tahu siapa dia. Dia-lah anak laki-laki yang menghilang
tujuh puluh dua tahun yang lalu. Anak laki-laki yang seharusnya berperan
sebagai si Hantu. Tapi dia menghilang dan tak pernah ditemukan lagi.
Dan sekarang dia berdiri di sampingku, di atas panggung yang sama. Dan dia
menjelaskan bagaimana dia menghilang, dan kenapa sandiwara itu tak pernah
dipentaskan.
“Di situlah!” dia berseru sambil menunjuk lubang di lantai panggung. “Di
situlah aku terjatuh. Di situ! Aku terempas sampai tewas. Aku menjadi hantu
sungguhan. Dan sejak itu aku menunggu di bawah sana, menunggu dan
menunggu. Mengharapkan malam seperti ini, di mana aku akhirnya bisa
memainkan peranku yang paling besar!”
Mereka pikir ini memang bagian dan sandiwara, kataku dalam hati. Mereka
tidak menyadan kepedihan di balik ucapannya itu. Mereka tidak tahu bahwa dia
mengungkapkan kisah nyata kepada mereka.
Ketika dia kembah berdiri tegak, aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
SAMBIL memicingkan mata aku memandang ke kabut biru yang tebal. Aku
betul-betul penasaran.
Namun sekilas mataku silau karena cahaya lampu sorot yang terang benderang,
sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa.
Lalu hening.
Tapi aku tahu itu tidak benar. Aku tahu bahwa Hantu akhirnya memperlihatkan
din, setelah menunggu tujuh puluh dua tahun. Bahwa dia akhirnya memperoleh
kesempatan untuk tampil di atas panggung.
“Si Hantu!” seruku. “Dia yang memainkan peranmu tadi, Zeke Sekarang dia ada
- di bawah sana.” Aku menunjuk pintu kolong yang terbuka. “Kita harus
mencarinya!”
Aku menginjak tuas di lantai. Serta merta terdengar bunyi berdentang dan
berderak. Pelatarannya muncul dan kegelapan.
Aku sudah tahu bahwa kami takkan pernah lagi bertemu dengannya.
***
“Hebat, anak-anak! Hebat sekali!” Ms. Walker berseru ketika kami turun dari
panggung. "Hantu, saya suka kalimat-kalimat yang kautambahkan tadi! Bagus
sekali! Nanti kita ketemu lagi di pesta untuk para pemain!”
Zeke dan aku menuju ke ruang ganti untuk berganti pakaian. Tapi kami diserbu
oleh orang-orang yang ingin mengucapkan selamat dan memuji penampilan
kami.
Sandiwara kami sukses besar!
Aku mencari Brian. Aku ingin memberitahu dia tentang si Hantu. Tapi aku
tidak melihatnya di tengah kerumunan orangtua dan teman-teman yang sedang
bergembira ria.
“Ayo - kita pergi saja!” seru Zeke. Dia meraih tanganku dan menarikku ke
lorong di luar auditorium.
“Wow! Kita jadi terkenal” ujarku. Aku capek dan senang, dan bingung
sekaligus.
“Oke,” kataku “Tapi kita harus buru-buru. Orangtuaku pasti sudah tak sabar
memuji penampilanku."
Suara tawa dan canda ria dari auditorium mengikuti kami ketika kami menuju
ke locker.
“Wah, ini buku tahunan yang sudah tua,” aku berkata kepada Zeke. Dari
sekolah ini. Woods Mill. Tapi dari tahun 1920-an.”
“Hah? Bagaimana buku ini bisa masuk ke locker-mu?" Zeke bertanya dengan
bingung.
Tiba-tiba aku melihat secarik kertas yang terselip di antara dua halaman.
Sambil menggenggam buku tua yang berat itu dengan kedua tangan, aku
membuka halaman yang ditandai oleh kertas tadi.
“Ini pasti ditulis pada awal tahun itu,” kataku. “Kita tahu sandiwara ini belum
pernah dipentaskan. Kita tahu apa yang terjadi waktu itu.”
“Coba bergeser ke tempat yang lebih terang,” ujar Zeke sambil menarikku ke
bawah lampu. “Biar foto-fotonya kelihatan.”
Foto hitam-putih yang kabur dan anak laki-laki yang mendapatkan peran utama,
anak laki-laki yang seharusnya tampil sebagai si Hantu. Anak laki-laki yang
menghilang sebelum pertunjukan.
Anak itu adalah Brian.
END