Anda di halaman 1dari 5

Jabatan Dan Imamat Am Orang-orang Percaya

A. Jabatan

Dalam PL, kita kenal pengertian imam. Jabatan imam ialah pengantara di antara Allah
dan manusia yang memperdamaikan kedua belah pihak. Iman, terutama Imam Besar setiap
tahun mengorbankan korban pada hari grafirat untuk pengampunan dosa (Ima. 16). Akan
tetapi di dalam PB, Yesus Kristus sendirilah yang menjadi Imam Besar. Dalam PL yang
menjadi korban adalah domba dan bahkan yang lainnya. Tetapi, di dala PB korbannya adalah
Yesus sendiri, sebab Dialah yang menjadi domba (Yoh. 1:29-34). Dan lagi, pengorbanan
tidak diulangi lagi setiap tahunnya; korban dari Yesus Kristus adalah “ef hapaks” yang
artinya sekali untuk selamanya (Ibr. 9:21, 10:11, 7:27). Korban dari Yesus Kristus adalah
korban yang sesungguhnya dan satu-satunya yang sempurna. Oleh karena itu, pengertian
Imam dan Imam Besar dalam PL sudah dipenuhi dengan sempurna oleh Yesus Kristus
sendiri, kultus imam dalam PL sudah berakhir dalam diri Yesus Kristus.

Gereja sejak pengorbanan Yesus Kristus, meninggalkan pengertia kultus imam PL


tetapi berpedoman kepada apa yang diperbuat Yesus Kristus dan bukan manusia lagi yang
menjadi pengantara di antara Allah dan manusia. Yesus Kristuslah yang menjadi mediator
atau pengantara. Segala pekerjaan kita di dalam soal-soal gerejawi adalah pelayanan. Seorang
hamba, walaupun banyak dikerjakannya tidak akan membusungkan dadanya. Segala jabatan
dalam gereja harus dihubungkan dengan pelayan. Sebagaimana seorang dulos atau hamba
menerima anugerah dari tuannya, demikianlah kita menerima anugerah dari Tuhan kita di
dalam melaksanakan sesuatu tugas di dalam jabatan gereja. Wujud dari jabatan gereja ialah
pelayanan dan bukan hormat. Barangsiapa melayani dengan sewajarnya walaupun tidak
dikejarnya kuasa, akhirnya ia akan berkuasa, tetapi sebaliknya jika ia seorang pejabat
mengejar kuasa atau melakukan “money politic” untuk jabatan dan mengesampingkan
pelayanan akhirnya tidak akan berkuasa. Selain jabatan organisatoris ada juga jabatan di
dalam gereja adalah jabatan kharismatis. Disebut jabatan organisatoris adalah karena gereja
organisme berada dalam aturan-aturan, misalnya mengenai pendidikan, penahbisan, dan lain-
lain. Disebut jabatan kharismatis adalah karena kita bersandar dan selalu memerlukan
kharisma dari Tuhan di dalam tugas-tugas kita itu. Itulah sebabnya bagi seorang pejabat
(pelayan) gereja perlu persiapan yang berhubungan dengan organisatoris tetapi juga perlu
mendoakan kekuatan dari Roh Kudus. Marthin Luther mengatakan “Ora et Labora” berdoa
dan bekerja.

B. Imamat Am Orang-orang Percaya (Priesthood of All Believers)

Jabatan imam secara kultus PL sudah diganti dengan “imamat am orang-orang percaya”
sebagai persekutuan tubuh Kristus. Imamat dalam PL sudah digenapi Yesus Kristus secara
sempurna oleh Yesus Kristus dalam dan melalui kematian-Nya dan kebangkitan-Nya di PB.
Pekerjaan imamat bukan dihapuskan melainkan digenapi (disempurnakan) oleh Yesus
Kristus. Dengan demikian maka Ibr. 8::20 dalam Pb menunjuk kepada suatu liturgis di surga,
yang dilaksanakan oleh Imam Besar kita yaitu Yesus Kristus. Oleh karena Yesus Kristus
maka semua orang percaya dikuduskan menjadi imamat am orang percaya dalam kaitannya
sebagai persekutuan jemaat, sebagai anggota tubuh Kristus (1 Petr. 2:9). Dalam 1 Pet. 4:10
Rasul Petrus mengatakan bahwa sekalian anggota jemaat menerima karunia Roh Kudus,
walaupun karunia itu berbeda-beda. Dalam Wah. 1:6; 5:10; 10:6, ayat-ayat ini semua menuju
kepada pekerjaan imamat yang diserahkan Yesus Kristus kepada semua orang percaya.
Marthin Luther mengatakan bahwa oleh karena Firman Tuhan yang diterima dengan
kepercayaan maka tiap orang (Kristen) menjadi imamat. Di sinilah perbedaan pandangan
reformasi dan Roma Katholik yang melihat perbedaan kaum klerus dan kaum awam.

Bagi reformasi persoalan klerus dann kaum awam bukanlah berarti tingginya derajat di
antara pejabat-pejabat gereja dan anggota-anggota jemaat. Jabatan dalam reformasi oleh
karena pembagian tugas, sedangkan dalam gereja Roma Katolik, pandangan jabatan itu masih
mirip lagi kepada pengertian imam dalam PL. Seorang pengampu jabatan tidak mempunyai
“character indelibilis”, berarti tidak ada ubahnya dari anggota biasa. Bila seeorang pejabat
gereja lepas dari jabatannya maka dia bukan “imam” atau pejabat lagi, tetapi menjadi anggota
biasa. Character indelibilis” berarti jabatan itu tidak dapat lagi dicabut dari pejabat yang
bersangkutan itu. Dalam gereja Roma Katolik ini dipertahankan, tetapi dalam gereja
reformasi Marthin Luther mengatakan tidak ada “character indelibilis”.

Kepausan dan Jabatan-jabatan Dalam Roma Katholik

A. Kepausan

Menurut Gereja Roma Katholik, sesudah rasul Petrus maka uskup di Roma-lah yang
menjadi penggantinya. Keuskupan ini dalam sejarah gereja pada abad V menjadi kepausan.
Mereka menekankan ini dalam ajaran mereka bahwa uskup di Roma itulah yang menjadi
Paus dan yang mewarisi jabatan rasul Petrus. Dalam sejarah selanjutnya dalam sejarah gereja
pewarisan kerasulan Petrus ini disebut “apostolisi succesi” (suksessi apostolis). Uskup Leo
lah yang pertama sekali menerima nama Paus itu dalam abad ke V, sekitar tahun 450. Bagi
Roma Katolik, rasu Petruslah yang terbesar karena menurut mereka kepadanyalah diserahkan
kunci surga itu berdasarkan Mat. 16:19. Menurut Roma Katolik, di atas pribadinya yang
dimaksud mereka..”di atas pribadi Petrus”... itulah penafsiran Roma Katolik tentang Mat.
16:18. Sedangkan menurut penafsiran Gereja Protestan (reformasi)... di atas pengakuannya
itulah yang dimaksudkan, di atas pengakuan Petrus itu, bukan Petrus sendiri secara pribadi
tapi pengakuannya (te petra).

B. Jabatan-jabatan Dalam Roma Katolik

Sesudah Paus Bonifacius XIII di abad V(1350), mulailah memuncak perlawanan


(pertentangan) antara kelompok konsiliarisme melawan kelompok kurilisme. Juga di dalam
gereja yang dipimpin oleh Paus ada golongan yang menginginkan adanya pembatasan kuasa
Paus itu: Kelompok konsiliarisme ini menghendaki konsili yang berkuasa. Tetapi kelompok
kurialisme mempertahankan kuasa Paus selaku kurios (Tuan, Tuhan). Paus dianggap bukan
saja tuan, tetapi Tuhan. Dalam konsili Trente:kurialisme yang menang. Kemenangan
kelompok kuliarisme yang paling mencolok ialah pada Konsili Vatican I (1870-1877). Yang
terkenal dalam konsili ini ialah bahwa kuasa kepausan sangat memuncak. Dalam codex
canonici (1878) dicantumkan bahwa keunggulan (primat) Petrus bukan keunggulan
kehormatan saja tetapi kekuasaan hukum yang sesungguhnya berlaku atas seluruh gereja.

Mengenai Pembantu Imam dalam Roma Katolik disebut Diaken. Diaken itu terbagi dua
yaitu: Diaken yang ditahbiskan dan Diaken awam. Awam yang menjadi Diaken tahbisan
harus terlebih dahulu menjalani diaken awam selama enam bulan baru dapat ditahbiskan.
Diaken yang ditahbiskan dapat melakukan dua hal atas nama imam yaitu: membaptis dan
pemberkatan perkawinan. Seorang Pastor atau imam bisa melayani beberapa dewan Proki.
Dewan Proki bisa melayani di paroki, stasi, dan lingkungan. Pengurus lingkungan melayani
di lingkungannya sendiri. Klerus dan hirarki adalah: Paus, Kardinal, Uskup Agung, Uskup,
dan Pastor/Imam. Sedangkan awam yaitu Diaken (ditahbis dengan awam), dewan paroki,
dewan stasi, pengurus lingkungan beserta umat adalah menerima pelayanan para klerus.
Kosili Vatican II (1960-1963): sikap Roma Katolik lebih lunak dan mengarah kepada kerja
sama dengan Protestan dan gereja-gereja lainnya. Kalau codex canonici (1878) mengatakan
bahwa kesatuan gereja adalah bersatu di bawah kursi suci Vatican, bersatu berarti bergabung.
Pandangan itu sudah berubah sejak Konsili Vatican II (1960), mereka sudah mencari kerja
sama dengan gereja Protestan (Paus Johannes XXIII); Paus Paulus II dan sejak 2005 Paus
Benedecti XVI. Jadi, pandangan gereja Roma Katolik mengenai gereja-gereja Protestan
sudah berubah sejak Konsili Vatican II; demikian juga sikapnya tentang agama-agama
lainnya mulai berubah mencari kerja sama.

Peneguhan Pendeta dan Penumpangan Tangan

A. Peneguhan Pendeta

Kata kerja “peneguhan” ialah meneguhkan (penabalan), atau di Karo Penangkuhen; atau
juga disebut penobatan. Makna peneguhan ini perlu terus menjadi pemahaman para pendeta
yang diteguhkan di gerejanya dan juga oleh orang tertentu karena keadaannya sendiri
meminta supaya diteguhkan gereja. Tanpa itu dia sudah mengingkari janjinya. Peneguhan
pendeta itu bukan suatu sakramen (tidak sama dengan pengertian di Roma Katolik),
melainkan suatu perjanjian yang suci dihadirat Allah yaitu perjanjian pendeta dengan gereja.
Oleh karena itu, nilainya setara dengan sumpah, maka dari itu juga peneguhan itu harus
dilakukan di dalam kumpulan ibadat atau kebaktian gereja.

B. Penumpangan Tangan

Profesor Grasheid dalam “ Karte Christelijcke Encyclopedie” mengatakan bahwa dalam


PL, penumpangan tangan itu adalah simbol dari pemberian berkat (Kej. 48:13), juga simbol
dari pemberian kutuk (Im. 24:14) dan juga selaku simbol pemberian jabatan. Dalam PB,
peneguhan dalam jabatan gerekawi (I Tim. 5:22). Di dalam gereja lama dan Roma Katolik,
sifatnya peneguhan itu magis karena anugerah jabatan menurut mereka bekerja dengan
sendirinya (Karo: masinteng) yaitu secara ex opere operato artinya berlaku dari/atau dengan
sendirinya, diserahkan oleh uskup yang melayani peneguhan itu.

Di gereja greformed, penumpangan tangan hanya dilakukan waktu peneguhan pendeta


dan hanya satu kali saja di dalam hidupnya. Maksudnya sebagai tanda bahwa yang
ditahbiskan (diteguhkan) itu menyerahkan dirinya untuk jabatan itu. Rullmann menyebutkan
bahwa penumpangan tangan itu adalah suatu upacara yang mengandung yang dalam artinya,
yaitu untuk mengatakan:

a. Bahwa pendeta itu telah menerima panggilan Tuhan sendiri untuk melakukan
tugasnya.
b. Gereja telah mengaku dan menerima orang itu sebagai pendetanya.
c. Pendeta itu juga mempunyai kewajiban mempergunakan segala karunia dan
tenaganya untuk kesentosaan gereja dan kemuliaan Tuhan.

Dr. G. Van der Leeuw dalam bukunya Liturgiek mengatakan bahwa liturgi dalam
pelantikan sudah lama di dalam gerej lama itu terjadi. Di mana dinyatakan suatu perjanjian
bahwa yang dutahbiskan (diteguhkan) dan kepadanya sudah dilaksanakan penumpangan
tangan berjanji untuk menyingkirkan empat bagian dosa dan penulis menambah yang kelima,
sehingga harus menghindari lima dosa yaitu:

1. Sodomi
2. Bestialiteit (kebinatangan)
3. Pelanggaran hukum ke tujuh (jangan berzinah)
4. Perkosaan anak gadis
5. Lesbian

Janji ini dibarengi dengan doa. Hal-hal yang harus disingkirkan ini semuanya berkisar pada
hukum ketujuh. Hal-hal ini dalam gereja lama diperlukan sehubungan dengan hal selibat.
Pendeta belum ada pada waktu itu, tapi yang ada adalah imam-imam dalam gereja lama.

 Di gereja Anglican ada “Tradisi Instrumentorum” yaitu alat-alat peribadatan


diserahkan juga kepada orang yang ditahbiskan dan menerima penumpangan.
 Bagi gereja Roma Katolik, penahbisan imam itu adalah sakramen juga, tapi dalam
gereja reformasi bukan sakramen.
 Di gereja Lutheran (di Swedia), pendeta yang ditahbiskan itu dan menerima
penumpangan tangan harus juga menyaksikan confesio dari apostel-apostel (confesio
apostolorum). Johanes Calvin dalam bukunya Institutio mengatakan bahwa
penumpangan tangan berasal dari kebiasaan orang-orang Yahudi. Jika mereka
menumpangkan tangan atas sesuatu benda atau alat-alat yang berhubungan dengan
peribadatan mereka, itu berarti bahwa benda-benda atau alat-alat itu diperhadapkan ke
hadirat Tuhan. Demikianlah Yakub sewaktu dia memberkati Efraim dan Manase,
menumpangkan tangan di atas kepala mereka (Kej. 48:14). Dalam Mat. 19:15 Tuhan
Yesus memberkati anak-anak dengan penumpangan tangan.
 Barangsiapa sudah ditahbiskan dan menerima penumpangan tangan harus mengingat
bahwa dia bukan lagi tuan atas dirinya sendiri tetapi dia telah menyerahkan dirinya
untuk melayani Tuhan dan gereja. Yang menumpangkan bukanlah semua anggota
jemaat akan tetapi hanya gembala (pendeta-pendeta). Johanes Calvin menyebutkan di
Konsili Necea (325) ditentukan bahwa uskup dari ibukota yang sekarang disebut
dengan Uskup Agung memanggil uskup-uskup lain di daerahnya dan merekalah
bersama-sama menahbiskan imam ini. Paling sedikit harus ada tiga orang uskup. Jika
ada uskup yang tidak dapat hadir harus mengirim surat di mana dinyatakan
persetujuannya. Upacara itu harus dilakukan di hdapan jemaat. David M. Paton dalam
bukunya “ New Form of Ministry” menyebutkan sebagai berikut:
“ if we want to understand the New Testament view of the ministry we must go further
back and look at all ministry from the point of you not of clergy or laity but of the
church”.
d. Maksud Paton dalam hal ini ialah bahwa bukan pembagian kaum imam (pejabat) dan
kaum awam yang dimaksudkan dalam upacara penahbisan itu, akan tetapi dari
pandagan gerejalah kita melihat persoalan ini. Dengan pembagian clergy (pejabat)
dan laity (awam) ada yang menanggapi bahwa clergy (pejabat) itu lebih tinggi
daripada laity (awam) dan clergy (pejabat) itu juga lebih berkuasa. Bukan hal ini yang
mau ditekankan dengan upacara penahbisan itu, tetapi unsur penyerahan diri dari
orang yang ditahbiskan untuk melayani gerej dan melayani Tuhan. Maka, di dalam
pekerjaan gereja bukan kuasa yang ditekankan tetapi pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai