Manajemen Kejadian Luar Biasa
Manajemen Kejadian Luar Biasa
Oleh:
Kelompok 14 IKM A 2012
18
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang lebih indah untuk kami ucapkan kecuali kalimat alhamdulillah sebagai
ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, tuntunan dan takdir-
Nya, kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah dengan judul “Manajemen
Bencana Erupsi Gunung Sinabung” untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen KLB,
tepat pada waktunya.
Keberhasilan pembuatan makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan, bimbingan, motivasi
dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang telah bersedia untuk mencurahkan waktu,
tenaga serta pikirannya demi terwujudnya makalah ini. Pada kesempatan kali ini, kami akan
menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada dosen mata kuliah Manajemen
KLB yang telah membimbing kami dengan penuh ketulusan dan kesabaran.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya, dan semua pihak pada
umumnya. Dan semoga karya tulis ini dapat memperluas khazanah dan wawasan kita semua.
Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
ii
18
DAFTAR ISI
iii
18
BAB I
PENDAHULUAN
3
18
BAB II
PEMBAHASAN
5
18
S
e
m
e
n
t
a
r
a
G
a
18
6
4. Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang merupakan
pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif dalam hal
kebencanaan.
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ciri alam setempat yang
memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
2.1.2 Kesiapsiagaan
Bencana meletusnya Gunung Sinabung telah membuat warga panik
berhamburan meninggalkan pemukiman mereka. Ini disebabkan karena tidak
adanya peringatan atau pemberitahuan sebelumnya terhadap warga yang tinggal
di kaki Gunung Sinabung dari pihak yang berwenang. Kepanikan mungkin saja
tidak akan terjadi andaikan aktivitas Gunung Sinabung diinformasikan oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Kita tidak akan pernah tahu Gunung Sinabung tersebut berbahaya atau
tidak jika tidak melakukan pemantauan terhadap Gunung Sinabung itu sendiri. Di
Indonesia, banyak tempat rawan bencana yang dihuni oleh rakyat kecil. Oleh
karena itu, pemerintah harus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi ancaman bencana gunung meletus, upaya tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan berbagai program yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan kesiapsiagaan Masyarakan Sinabung.
Berikut ini adalah upaya kesiapsiagaan yang dapat diterapkan pada pra-
bencana eruspsi Gunung Sinabung:
1. Kesiapsiagaan Daerah
a. Kesiapan Sarana dan Prasarana Kesehatan
Dalam kesiapan sarana dan prasarana kesehatan, yang harus diperhatikan
adalah siapnya fasilitas pelayanan kesehatan yang disiagakan dan
penyiapan sarana prasarana, serta logistik.
b. Kesiapan Tenaga Kerja
Tenaga kesehatan harus disiapkan, misalnya penyediaan dokter, perawat
dan bidan yang mencukupi.
2. Sistem informasi
a. Pemantauan Kualitas Lingkungan
18
7
BBTKL (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan) berkolaborasi
dengan Dinas Kesehatan setempat harus melakukan surveilans faktor
risiko dan antisipasi kesiapsiagaan apabila terjadi erupsi.
b. Mobilisasi SDM Kesehatan
c. Mobilisasi Logistik Kesehatan
d. Upaya Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan setempat harus melakukan upaya mengaktifkan pos
kesehatan di Puskesmas dan menyiapkan rumah sakit rujukan.
18
8
Selain itu, kesiapsiagaan juga harus diterapkan di lingkungan sekolah.
Sama dengan prinsip rencana siaga di rumah tangga, gedung sekolah perlu
diperiksa ketahanannya terhadap bencana alam. Sebaiknya, sekolah dibangun
berdasarkan standar bangunan tahan bencana. Anak sekolah perlu sering dilatih
untuk melakukan tindakan penyelamatan diri bila terjadi gempa, misalnya
sekurang kurangnya 2 kali dalam setahun.
18
9
karenanya, penanganan kesehatan pada saat bencana haruslah memperhatikan
koordinasi lintas sektoral yang terkait. Sektor tersebut diantaranya, Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo, Dinas Kesehatan Propinsi, Kementerian Kesehatan
melalui Pusat Penanggulangan Krisis dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) sebagai komando tanggap darurat.
Penanganan pengungsi pada masa tanggap darurat akibat erupsi Gunung
Sinabung telah dilakukan sejak tanggal 3 November 2013 sampai saat ini.
Pemerintah Kabupaten Karo telah memperpanjang masa tanggap darurat hingga
15 Februari 2014. Surat Keputusan Bupati Karo Nomor 361/032/Bakesbang/2014
berisi tentang Tim Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada masa
tanggap darurat. Belum terbentuknya BPBD di Kabupaten Karo menyebabkan
masih sulitnya penanganan pengungsi Gunung Sinabung dikarenakan kurangnya
koordinasi dengan dinas ataupun badan lain yang ada hubungannya dengan
masalah bencana.
Sampai saat ini, penanganan pengungsi masih dilakukan oleh BPBD
Provinsi Sumatera Utara dengan Satuan Komando Tanggap Darurat
Penanggulangan Bencana Kabupaten Karo (karena sampai saat ini Rancangan
Peraturan Daerah Pembentukan BPBD Karo masih diproses), dimana Dandim
0205/TK selaku Komandan Tanggap Darurat dan Operasi.
Erupsi Gunung Sinabung juga mempengaruhi status kesehatan
pengungsi. Angka kesakitan meningkat, berdasarkan data pada tanggal 3
November 2013 hingga 7 Februari 2014, jumlah kunjungan di pos kesehatan
sebanyak 121.731 orang, dengan rincian penyakit gastritis sebanyak 22.591
orang, ISPA sebanyak 77.000 orang, conjunctivitis sebanyak 3.248 orang, diare
sebanyak 3.448 orang, hipertensi sebanyak 3573 orang, anxietas sebanyak 1.415
orang dan penyakit lainnya 9.966 orang. Penyakit itu muncul akibat debu
vulkanik yang keluar setiap terjadi erupsi, serta minimnya fasilitas kebutuhan
dasar bagi pengungsi, seperti mandi, cuci dan kakus (MCK) yang tidak sesuai
dengan jumlah pengungsi.
Untuk menekan dan mencegah jatuhnya korban pasca erupsi, perlu
dilakukan berbagai upaya dari semua sektor termasuk sektor kesehatan. Upaya
kesehatan dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun
demikian, upaya yang bertujuan memberikan pelayanan bagi masyarakat korban
bencana dapat terhambat bila berjalan sendiri dan tidak ada hubungan saling
18
10
keterkaitan. Oleh karena itu, semua upaya yang dilakukan harus dikoordinasikan
agar berjalan sinergi dan memberi dampak yang lebih maksimal bagi korban
bencana.
Menurut Kepmenkes Nomor 145 Tahun 2007, Dinas Kesehatan berperan
untuk melayani, mendampingi dan mengawasi setiap kegiatan yang melibatkan
permasalahan kesehatan pada pengungsi. Maka, setiap instansi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi maupun relawan yang ingin melakukan kegiatan
yang berkenaan dengan pelayanan kesehatan seharusnya berkoordinasi atau
melaporkan kegiatan pada Dinas Kesehatan sebagai koordinator bidang
kesehatan. Namun, ada pelayanan kesehatan dari organisasi atau lembaga
swadaya masyarakat yang melakukan secara langsung tanpa berkoordinasi
dengan satuan tugas tim kesehatan seperti pengobatan gratis yang dilakukan oleh
instansi lain secara langsung di Pos Pengungsi tanpa melibatkan Dinas
Kesehatan. Kegiatan pengobatan gratis memang sangat diperlukan pengungsi,
namun koordinasi kepada Dinas Kesehatan sebaiknya dilakukan untuk mencegah
hal yang tidak diinginkan.
11
18
3. Pemerintah pusat merapat untuk memberikan bantuan yang bersifat ekstrim
jika diperlukan.
4. Melibatkan TNI dan Polri.
5. Penanganan bencana sedini mungkin.
Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Pasal 26, pada ayat 1 menyatakan
bahwa setiap orang berhak:
a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana.
b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
d. Berperan serta dalam perencaanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial.
e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya.
f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Betapa menyedihkan apabila hak masyarakat korban bencana diabaikan. Tempat
tinggal menjadi sangat penting disiapkan, apabila ada rumah warga yang rusak
akibat bencana alam.
Sampai saat ini, tumpahan debu vulkanik Gunung Sinabung
menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan. Petani mengalami rugi
besar. Kepala Dinas Pertanian Karo Agustoni Tarigan mengatakan, erupsi
Sinabung pada September dan Oktober lalu menyebabkan penurunan hasil
pertanian Karo terutama sayur-mayur hingga 30 persen. Penurunan produksi
sayur dan buah-buahan menyebabkan kerugian Rp 70 miliar. Karena itu,
pemerintah harus memberikan ganti rugi bagi petani. Sejauh ini, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan logistik senilai Rp3,93 miliar.
Bantuan senilai Rp2,8 miliar berupa 1.500 paket, family kit 1.500 paket,
kidsware 1.500 paket, peralatan dapur 1.000 paket, masker 15.000 lembar, tenda
gulung 2.000 lembar. Senilai Rp 1,13 miliar berupa tenda pengunsi 20 unit,
18
12
velbed 20 unit, genset 20 unit dan HT 5 unit. Tentu kebutuhan ini belum cukup
mengingat jumlah pengungsi yang kian bertambah dan kebutuhan pun makin
bertambah pula. Kiranya hak warga di daerah bencana diperhatikan lebih serius.
Dalam hal ini, pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh. Di samping ada
pihak lain: asing, swasta dan segenap masyarakat Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sejumlah
kebijakan untuk korban erupsi Sinabung, yaitu:
1. Memberikan insentif cash for work kepada setiap keluarga agar ada biaya
tambahan meski masih dalam kondisi mengungsi.
2. Memberi bantuan bagi lahan perkebunan dan pertanian yang terganggu.
3. Memberikan biaya pendidikan, akan ada beasiswa bagi siswa SD, SMP,
SMA hingga perguruan tinggi (Muharrman, 2014).
Dari sumber lain juga dijelaskan tentang kebijakan yang dikeluarkan
oleh presiden, dan presiden juga meminta masukan dari berbagai pihak terkait,
termasuk jajaran pemerintah daerah setempat, yaitu :
1. Membantu pengadaan kebutuhan pokok, seperti makanan, kesehatan, dan
logistik lainnya. Presiden meminta agar kebutuhan pokok di tempat
penampungan sementara terus dijaga dan ditingkatkan hingga Maret 2014.
2. Memberikan bantuan siswa miskin dan pemberian beasiswa bagi para korban
Gunung Sinabung di berbagai tingkatan pendidikan yaitu SD, SMP, SMA,
dan mahasiswa.
3. Menjalankan program cash for work melalui berbagai skema tunai untuk
membantu menstimulasi warga agar dapat bekerja atau berkreasi di tempat
penampungan sementara (Yun, 2014).
18
13
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebelum melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi,
sebaiknya dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:
1. Menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil letusan;
2. Mengidentifikasi daerah yang terancam bahaya lanjutan;
3. Memberikan saran penanggulangan bahaya;
4. Memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang;
5. Memperbaiki fasilitas pemantauan yang rusak;
6. Menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun; serta
7. Melanjutkan pemantauan rutin.
2.3.1 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sarana utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar,
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana. Kegiatan ini meliputi:
1. Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Letusan Gunung Sinabung merusak tanaman pertanian dan perkebunan. Dari
seluas 3.863 HA tanaman di enam kawasan, seluas 3.589 HA telah rusak
akibat letusan. Hal ini kemudian berdampak pada kelangkaan bahan
makanan. Pasokan sayur dan buah menurun hingga 40 persen karena banyak
petani tak berani memanen, karena takut bahaya letusan. Terjadi kenaikan
harga yang signifikan, misalnya sawi yang biasanya seharga Rp17.000/kg
naik menjadi Rp20.000/kg. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang
mengalami kerugian terbesar pasca letusan Gunung Sinabung. Untuk
menangani masalah ini, diperlukan kerjasama lintas sektoral dengan sektor
pertanian. Selain itu, lingkungan lain yang terkena dampak bencana juga
perlu dibenahi dengan melakukan kerjasama dengan berbagai sektor.
2. Perbaikan Pra-sarana dan Sarana Umum
Akibat letusan Gunung Sinabung, sebanyak 22 sekolah diliburkan, terdiri
dari 15 Sekolah Dasar dengan siswa sebanyak 2.374 orang, 6 Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dengan siswa sebanyak
2.312 orang. Sekolah yang paling banyak diliburkan berada di Kecamatan
18
14
Naman Teran, antara lain SD Negeri 040478 dan SDN 043950 di Desa
Sigarang-garang, 2 SD di Desa Guru Kinayan dan masing-masing 1 SD di
Desa Sukanalu dan Desa Simacem. Sementara 6 SMP yang diliburkan antara
lain SMP Negeri 1 Simpang Empat, SMPN 1 Naman Teran dan SMP Satu
Atap di Kecamatan Payung. Sedangkan SMA yang diliburkan yakni SMA
Negeri 1 Simpang Empat. Apabila ada kerusakan sekolah, maka harus segera
diperbaiki atau bisa juga dengan mendirikan sekolah sementara. Selain
sekolah, sarana prasarana lain yang rusak juga harus segera diperbaiki,
misalnya memberikan fasilitasi rembug desa untuk pembangunan kembali
jalan dan jembatan desa serta fasilitasi pengelolaan air bersih dan jamban.
Maka dari itu, diperlukan seorang ahli sanitasi yang mampu memberikan
standar sanitasi jamban, kamar mandi serta air bersih yang sesuai untuk
korban bencana.
3. Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat
Pemda Karo dan Pemprov Sumatera Utara bertanggung jawab menyediakan
lahan relokasi untuk warga. Relokasi adalah pemindahan tempat yang lebih
aman sebagai salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk menata kembali dan melanjutkan hidupnya di tempat baru.
Selain itu, perlu juga dilakukan pembuatan panduan dan prinsip mekanisme
subsidi rumah, memberikan fasilitasi pengorganisasian pembersihan rumah
dan lingkungan berbasis masyarakat, serta fasilitasi pengelolaan hunian
sementara.
4. Pemulihan Sosial Psikologis
Bukan hanya lingkungan, sarana dan prasarana saja yang mengalami
kerugian. Namun, letusan Gunung Sinabung juga memberikan dampak sosial
psikologis kepada korbannya. Maka dari itu, perlu disediakan pos trauma
healing dengan bantuan psikiater maupun ahli psikologi lainnya agar dapat
menyembuhkan trauma psikologis korban bencana. Bantuan sosial juga perlu
diberikan dengan memperhatikan sasaran. Bantuan makanan seperti PMT
untuk balita juga tidak boleh diabaikan. Dapat juga disediakan ahli gizi untuk
mengatur pola makan korban agar sesuai dengan kalori yang dibutuhkan.
Sebaiknya, dilakukan kerjasama dengan sektor sosial untuk merencanakan
kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar lainnya untuk para
pengungsi.
18
15
5. Pelayanan Kesehatan
Penyediaan pelayanan kesehatan tentunya sangat penting dilakukan. Ratusan
warga telah dirawat di RSUD Kabanjahe, karena menderita penyakit ISPA
akibat letusan. Sejak terjadinya letusan, jumlah warga yang dirawat sebanyak
148 orang. Maka dari itu, dokter dan tenaga medis lainnya sangat diperlukan
perannya dalam menangani korban bencana.
6. Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Perlu adanya bantuan dari TNI maupun POLRI untuk melakukan rekonsiliasi
dan resolusi konflik yang berpotensi terjadi pasca bencana.
7. Pemulihan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Pemulihan perlu dilakukan juga pada bidang sosial, ekonomi, dan budaya,
yaitu dengan pemulihan kegiatan keagamaan dan revitalisasi organisasi
keagamaan serta melakukan revitalisasi seni budaya yang berguna untuk
mendorong pemulihan.
8. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Kerjasama dengan TNI maupun POLRI dilakukan juga untuk melakukan
pemulihan keamanan dan ketertiban dengan berperan untuk membantu dalam
kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat, termasuk mengamankan rumah
warga korban bencana.
9. Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Pemulihan dilakukan pula pada fungsi pemerintahan agar daerah yang
terkena dampak letusan Gunung Sinabung dapat menjalankan
pemerintahannya seperti sedia kala.
10. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik.
2.3.2 Rekonstruksi
Tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali
sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan
yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
18
16
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih
baik dan tahan bencana;
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat;
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut :
1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan
daerah
2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk
obat-obatan dan paramedis
3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan
dasar lainnya untuk para pengungsi
4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan lokasi
dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.
5. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi cuaca atau
meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi serta komunikasi.
6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan
mengendalikan upaya mitigasi bencana geologi dan bencana akibat ulah
manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya.
7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan
pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.
8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra-bencana
9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi
khususnya kebakaran hutan atau lahan akibat erupsi gunung.
10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang
bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.
11. Sektor Lembaga Penelitian dan Pendidikan Tinggi, melakukan kajian dan
penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra-bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
18
17
12. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat
termasuk mengamankan rumah warga korban bencana.
Manajemen Rehabilitasi :
Erupsi bencana.
18
Manajemen peningkatan kelompok rentan peralatan yang lebih baik
Bencana kemampuan serta tahan bencana.
Erupsi masyarakat
Sinabung
Persyaratan standar
teknis Pemulihan darurat
19
18
prasarana MCK .
c. Menetapkan standar
sanitasi darurat.
d. Menjamin kualitas air.
e. Mensosialisasikan
pengolahan limbah
padat&cair pada saat
bencana terjadi.
18
20
BAB III
KESIMPULAN
Perlu disadari penuh oleh masyarakat serta pemerintah, bahwa rakyat Indonesia hidup
di daerah yang rawan bencana, sehingga bencana dapat datang secara tiba-tiba. Dengan
demikian, masyarakat dan pemerintah harus pandai menyiasati cara hidup berdampingan
dengan kondisi alam yang rawan bencana tersebut. Mitigasi bencana dan berbagai tindakan
antisipatif adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam. Perlu
political will pemerintah untuk segera memprioritaskan program mitigasi bencana dengan
melaksanakan penilaian bahaya, peringatan, dan persiapan menghadapi bencana serta
kegiatan sosialisasinya kepada masyarakat. Dalam melaksanakan mitigasi terhadap bencana,
sangat perlu diperhatikan karakter dari kejadian bencana yang akan dan mungkin terjadi,
sehingga dalam aspek pembangunan, perhatian terhadap kaidah kebencanaan harus lebih
diperkuat lagi.
Dalam rangka perbaikan manajemen penanggulangan bencana di Indonesia, terdapat
beberapa rekomendasi penguatan kebijakan dan kelembagaan sebagai berikut:
1. Penguatan Kebijakan, melalui beberapa aksi nyata.
a. Pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang dapat menjadi legal
basis bagi seluruh upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh berbagai
pihak.
b. Pengkajian ulang terhadap beberapa Undang-Undang yang ditujukan sebagai dasar
bagi pencegahan dan penanganan tipe bencana yang bersifat sektoral, seperti UU
No. 11 Tahun 1974 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan UU No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air; UU No.6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan
Masyarakat; UU No. 4 Tahun 1964 tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah direvisi dengan Perpu No. 1
Tahun 2004 tentang Kehutanan. Upaya ini dilakukan dalam rangka menjaga
konsistensi (coherence) antara UU Penanggulangan Bencana yang merupakan dasar
yang bersifat makro dan strategis dengan UU yang bersifat sektoral. Pengkajian
ulang juga hendaknya dilakukan terhadap berbagai kebijakan yang bersifat teknis.
21
18
c. Pengarusutamaan mitigasi bencana dalam rencana pembangunan nasional hingga
rencana pembangunan daerah, agar tidak terjadi penumpulan upaya penanggulangan
bencana oleh pembangunan yang diinisiasikan oleh berbagai pihak, termasuk
pemerintah.
d. Penyusunan index risiko bencana yang komprehensif untuk menilai karakteristik
risiko bencana setiap daerah. Index risiko bencana ini akan berguna untuk upaya
penguatan mitigasi bencana di setiap daerah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat melalui mekanisme penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) ke dalam kas
APBD setiap daerah. Index risiko bencana ini dapat dijadikan sebagai index untuk
memperkaya pemetaan karakteristik daerah dalam kriteria khusus penetapan besaran
DAK.
e. Penetapan aspek kapasitas pengendalian terhadap penanggulangan bencana sebagai
salah satu aspek dalam rangka penilaian kinerja kepala daerah. Kapasitas
pengendalian penanggulangan bencana ini dapat diukur dari turunnya indeks risiko
bencana daerah. Hal ini perlu dilakukan karena acapkali upaya mitigasi bencana
tidak dilaksanakan di lapangan karena kepala daerah tidak memandang aktivitas
mitigasi bencana sebagai aktivitas yang akan mendongkrak popularitas, citra,
ataupun kinerja kepemimpinannya.
f. Penetapan kebijakan teknis atau guidelines untuk penanganan bencana di Indonesia.
2. Pembenahan organisasi yang dapat dilakukan dengan dua cara minimal, yakni:
a. Perubahan nomenklatur Satkorlak dan Satlak menjadi Badan Koordinasi Propinsi
PB dan Badan Koordinasi Kabupaten/Kota PB, berikut dengan pengaturan tentang
kewenangan yang dimiliki.
b. Pembentukan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertugas sebagai
pelaksana aktivitas sektoral penanggulangan bencana sebagai unsur pelaksana dari
Bakornas PB. Dengan demikian, tugas koordinasi tetap dijalankan oleh Bakornas
PB, sedangkan tugas pelaksanaan seluruh aktivitas pelaksanaan penanggulangan
bencana ditangani oleh LPND. LPND ini akan memiliki kekuatan yang relatif besar
dibandingkan deputi-deputi dalam Bakornas PB seperti yang ada saat ini. Selain itu,
aktivitas nyata dari penanggulangan bencana, baik itu aktivitas mitigasi, persiapan,
rehabilitasi maupun rekonstruksi akan terlaksana secara kontinu. Hal yang sama juga
dilakukan di level daerah.
18
22
Integrasi antar program, baik pra, saat, dan pasca bencana sangat dibutuhkan dalam
manajemen penanggulangan bencana. Selain itu, diperlukan juga keterlibatan berbagai pihak
lintas sektoral dalam membenahi manajemen penanggulangan bencana di Indonesia mulai
dari level paling bawah hingga level paling atas.
18
23
DAFTAR PUSTAKA
Muharrman, R., 2014. Kebijakan Pemerintah Bagi Korban Erupsi Sinabung. [Online]
Available at: http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/25/6/
210738/ Kebijakan-Pemerintah-Bagi-Korban-Erupsi-Sinabung [Diakses 3 October
2014].
Nugroho, S. P., 2014. Update Penanganan Bencana Tahun 2014, Erupsi Gunung Sinabung
dan Gunung Kelud. [Online] Available at: http://bnpb.go.id/uploads/announcement/6/
kon% 2026%20feb.pdf [Diakses 03 Oktober 2014].
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan
Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana
Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana
Yun, 2014. Inilah Tujuh Kebijakan Presiden dalam Penanganan Korban Sinabung. [Online]
Available at: http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2014/01/25/9811.html
[Diakses 3 October 2014].
24
18