Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MATA KULIAH

MANAJEMEN KEJADIAN LUAR BIASA


“Manajemen Bencana Erupsi Gunung Sinabung”

Oleh:
Kelompok 14 IKM A 2012

Rizqi Amaliyah 1012 111 31016


Putri Berliana Syah 1012 111 32009
Atik Qurrota A’Yunin A. 1012 111 32012
Amelinda Calida 1012 111 32033

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

18
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang lebih indah untuk kami ucapkan kecuali kalimat alhamdulillah sebagai
ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, tuntunan dan takdir-
Nya, kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah dengan judul “Manajemen
Bencana Erupsi Gunung Sinabung” untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen KLB,
tepat pada waktunya.
Keberhasilan pembuatan makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan, bimbingan, motivasi
dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang telah bersedia untuk mencurahkan waktu,
tenaga serta pikirannya demi terwujudnya makalah ini. Pada kesempatan kali ini, kami akan
menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada dosen mata kuliah Manajemen
KLB yang telah membimbing kami dengan penuh ketulusan dan kesabaran.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya, dan semua pihak pada
umumnya. Dan semoga karya tulis ini dapat memperluas khazanah dan wawasan kita semua.
Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Surabaya, Oktober 2014

Penyusun

ii
18
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Manajemen Pra-Bencana ....................................................................................... 4
2.2 Manajemen Saat Bencana ...................................................................................... 9
2.2.1 Tanggap Darurat ........................................................................................ 9
2.2.2 Respon Cepat ............................................................................................. 11
2.3. Manajemen Pasca Bencana ................................................................................... 13
2.3.1 Rehabilitasi ................................................................................................ 14
2.3.2 Rekonstruksi .............................................................................................. 16
2.4. Integrasi Manajemen Bencana .............................................................................. 18
2.3.1 Program Integrasi Penanggulangan Erupsi ................................................ 18
2.3.2 Standar Kompetensi Petugas dalam Penanggulangan Erupsi .................... 19
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24

iii
18
BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran


bagi masyarakat Indonesia dan dunia, bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam
musibah tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam
mengantisipasi bencana. Disamping itu, berbagai kejadian bencana tersebut pun semakin
menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan dalam
penanggulangan bencana.
Menurut catatan Bakornas, sebelum kejadian bencana tsunami di NAD dan Nias, di
Indonesia telah terjadi 23 kali bencana gempa yang diikuti dengan tsunami dengan besaran
skala yang bervariasi dalam kurun waktu tahun 1997 – 2004. Bencana gempa dan tsunami ini
bukanlah merupakan satu-satunya jenis bencana yang kerap melanda negeri ini. Dalam kurun
waktu yang sama, dinyatakan telah terjadi 647 kali kejadian bencana alam yang meliputi
bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin topan dan letusan gunung berapi, dengan
jumlah korban jiwa sebanyak 2.022 dan perkiraan jumlah kerugian material ratusan milyar
Rupiah (Kusmiati, 2005).
Kejadian bencana yang seringkali terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan
sebuah perwujudan dari kombinasi antara sifat alam yang rawan dengan kerentanan sistem
fisik yang ada dalam masyarakat Indonesia disertai sistem sosial, budaya, dan juga politik.
Seperti diketahui bersama bahwa letak geografi negara Indonesia yang berada di antara 6°
LU – 11° LS dan diantara 95° BT – 141° BT, telah memposisikan negara ini dalam posisi
yang rawan bencana secara geologis. Dalam posisi ini, Indonesia berada dalam wilayah
perbenturan tiga lempeng kerak bumi, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng
India Australia yang membawa dampak kerawanan Indonesia terhadap berbagai aktivitas
seismik yang kuat dan intensif. Letak ini pun ternyata merupakan wilayah yang rawan
bencana karena ternyata selain pertemuan lempeng benua, wilayah ini juga merupakan zona
pertemuan dua jalur gempa, yaitu jalur Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic
yang menyebabkan kerawanan terhadap aktivitas gempa bumi yang cukup tinggi dan tsunami
apabila gempa tersebut terjadi dalam kekuatan yang besar dan pusat gempanya berada
dalam jarak yang tidak jauh dari dasar laut.
Keberadaan gunung berapi yang berderet hampir melingkari seluruh wilayah
kepulauan di Indonesia juga telah menambah faktor kerawanan wilayah Indonesia. Selain itu,
kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan yang tinggi dan juga musim kemarau yang cukup
1
18
panjang juga sangat potensial untuk menghantarkan penduduk Indonesia pada bencana banjir,
longsor dan kekeringan serta kelaparan. Kondisi sistem sosial yang sangat plural dalam
berbagai dimensinya pun selain menjadi kekayaan yang sangat bernilai juga ternyata dapat
mempertinggi kerawanan bencana sosial semacam konflik sosial, apabila jika tidak dikelola
dengan baik.
Meski kejadian bencana sering terjadi di Indonesia dengan korban yang tidak sedikit
jumlahnya, namun hingga saat ini nampak belum terdapat sebuah sistem manajemen
penanggulangan bencana efektif yang disiapkan oleh pemerintah sebagai sebuah bentuk
fungsi perlindungan bagi warga. Keefektifan manajemen penanggulangan bencana dapat
dilihat dari ketersediaan upaya preventif yang bersifat memberdayakan bagi warga untuk
dapat melindungi diri dan mencegah kerugian materiil. Secara nyata, indikator keefektifan
dapat dilihat dari tersedia atau tidaknya panduan dan informasi yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran berbagai stakeholder untuk paham akan bencana dan selalu siap
dalam menanggulangi bencana dalam rangka mencegah dampak bencana yang bersifat
negatif. Apabila bersandar pada paparan tersebut, maka penilaian tentang tidakefektifnya
manajemen penanggulangan bencana di Indonesia tentu terasa tidaklah berlebihan.
Pengamatan yang dapat dilakukan secara sederhana terhadap berbagai kejadian
bencana yang ada di Indonesia hampir selalu menampakkan gambaran yang sama, yakni
suatu sikap reaktif dan spontan yang seolah tak terencana yang diperlihatkan oleh berbagai
stakeholder. Setiap bencana di Indonesia hampir selalu diwarnai dan diikuti dengan sebuah
proses yang disebut Turner dan Killian sebagai milling process yakni sebuah situasi dimana
orang tidak tahu bagaimana harus bertindak atau menyikapi bencana karena tidak terdapat
panduan yang jelas untuk bersikap atau jikapun ada, panduan tersebut tidak relevan dengan
kondisi yang dihadapi oleh masyarakat (Schneider, 1992). Gambaran dari kebingungan pola
sikap atau pola tindak ini seringkali nampak dari sikap kebingungan atau kepanikan manakala
terjadi bencana, sikap individualistic atau pola parsial yang ditunjukkan oleh warga dalam
mengupayakan tindakan pencegahan terhadap bencana, juga nampak pada pola pemberian
bantuan serta upaya rehabilitasi yang tidak terkoordinasi. Seluruh cerminan prilaku dari
milling process tersebut hanya bermula dari sebuah sebab, yakni tidak adanya panduan pola
sikap yang merupakan hasil pembelajaran dari kejadian bencana yang telah terjadi. Kondisi
itulah yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila setiap
kejadian bencana, pemerintah dan masyarakat harus kembali pada fakta jatuhnya korban yang
begitu banyak, yang sebenarnya hal itu dapat dihindarkan atau diminimalkan.
Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias (Sumatera
2
18
Utara) tahun 2004 menjadi titik balik yang telah membuka wawasan pengetahuan di
Indonesia dan bahkan di dunia. Kejadian tersebut mengubah paradigma manajemen
penanggulangan bencana dari yang bersifat tanggap darurat menjadi paradigma pencegahan
dan pengurangan risiko bencana (PRB). Penyelenggaraan penanggulangan bencana di
Indonesia dilakukan pada berbagai tahapan kegiatan dan intervensi yang berpedoman pada
kebijakan pemerintah, yaitu Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dan Peraturan Pemerintah terkait lainnya.
Dalam kondisi alam dan sistem sosial yang sangat rawan seperti dipaparkan di atas,
Indonesia tentulah membutuhkan sistem manajemen penanggulangan bencana yang lebih
tepat dan efektif. Fakta ketidakefektifan sistem manajemen penanggulangan bencana seperti
yang telah disinggung di atas tentulah tidak layak diabaikan begitu saja. Serangkaian
treatment serius terhadap sistem manajemen penanggulangan bencana yang ada di Indonesia
tentulah mendesak untuk dilakukan. Terdorong oleh spirit perbaikan sistem manajemen
penanggulangan bencana itulah, maka tulisan ini disusun sebagai sebuah telaah dan
rekomendasi sederhana menuju perbaikan sistem manajemen penanggulangan bencana di
Indonesia. Pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan menjadi landasan
atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko bencana dalam
penanggulangan bencana.

3
18
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Pra-Bencana


2.1.1 Pencegahan dan Mitigasi
Kegiatan pada tahap pra-bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi
bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan
oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan
tindakan untuk mengurangi risiko maupun dampak dari suatu bencana yang
dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan
pengurangan risiko jangka panjang.
Pada tahun 2013, Gunung Sinabung meletus kembali di bulan September
2013 dan telah terjadi 4 (empat) kali letusan. Letusan pertama terjadi pada
tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi kembali pada sore harinya.
Status Gunung Sinabung dari WASPADA (Level II) menjadi SIAGA (level III).
Pada 17 September 2013, terjadi 2 (dua) letusan pada siang dan sore hari. Letusan
ini melepaskan awan panas dan abu vulkanik. Tidak ada tanda sebelumnya,
bahwa akan terjadi peningkatan aktivitas sehingga tidak ada peringatan dini
sebelumnya. Hujan abu mencapai kawasan Sibolangit dan Berastagi. Tidak ada
korban jiwa dilaporkan, tetapi ribuan warga pemukiman sekitar terpaksa
mengungsi ke kawasan aman. Oleh sebab itu, upaya mitigasi dapat dilakukan
untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1. Penilaian bahaya (hazard assessment), diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini
memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas
kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang
kedua unsur mitigasi lainnya.
2. Peringatan (warning), diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami
yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi,
dan sebagainya). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang
4
18
terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun
masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat
dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3. Persiapan (preparedness), kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan
pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan
pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus
melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah serta pemahamannya
sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah yang
diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu, jenis
persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi
fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non
struktur), serta usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman
terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat


Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta
merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan
dalam bentuk kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat,
manajemen barak, dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang
berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Perwujudan Masyarakat atau komunitas yang berdaya dalam
menghadapi bencana dapat diwujudkan melalui Siklus Pengurangan Risiko
Berbasis Masyarakat atau Komunitas berikut:

5
18
S
e
m
e
n
t
a
r
a

G
a

Gambar 1. Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat

Sementara itu, upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam


kegiatan sebelum atau pra bencana dapat dilakukan melalui penguatan unit atau
lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan
koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun di tingkat nasional, mengingat
bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki
rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.
Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan, dan dilakukan bersama-sama
oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung
usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak
membangun di lokasi yang rawan bencana.
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, kegiatannya mulai
dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga
penyelenggaraan kegiatan yang sifatnya preventif dalam hal kebencanaan.
3. Identifikasi lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya
menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik.

18
6
4. Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang merupakan
pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif dalam hal
kebencanaan.
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ciri alam setempat yang
memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

2.1.2 Kesiapsiagaan
Bencana meletusnya Gunung Sinabung telah membuat warga panik
berhamburan meninggalkan pemukiman mereka. Ini disebabkan karena tidak
adanya peringatan atau pemberitahuan sebelumnya terhadap warga yang tinggal
di kaki Gunung Sinabung dari pihak yang berwenang. Kepanikan mungkin saja
tidak akan terjadi andaikan aktivitas Gunung Sinabung diinformasikan oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Kita tidak akan pernah tahu Gunung Sinabung tersebut berbahaya atau
tidak jika tidak melakukan pemantauan terhadap Gunung Sinabung itu sendiri. Di
Indonesia, banyak tempat rawan bencana yang dihuni oleh rakyat kecil. Oleh
karena itu, pemerintah harus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi ancaman bencana gunung meletus, upaya tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan berbagai program yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan kesiapsiagaan Masyarakan Sinabung.
Berikut ini adalah upaya kesiapsiagaan yang dapat diterapkan pada pra-
bencana eruspsi Gunung Sinabung:
1. Kesiapsiagaan Daerah
a. Kesiapan Sarana dan Prasarana Kesehatan
Dalam kesiapan sarana dan prasarana kesehatan, yang harus diperhatikan
adalah siapnya fasilitas pelayanan kesehatan yang disiagakan dan
penyiapan sarana prasarana, serta logistik.
b. Kesiapan Tenaga Kerja
Tenaga kesehatan harus disiapkan, misalnya penyediaan dokter, perawat
dan bidan yang mencukupi.
2. Sistem informasi
a. Pemantauan Kualitas Lingkungan

18
7
BBTKL (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan) berkolaborasi
dengan Dinas Kesehatan setempat harus melakukan surveilans faktor
risiko dan antisipasi kesiapsiagaan apabila terjadi erupsi.
b. Mobilisasi SDM Kesehatan
c. Mobilisasi Logistik Kesehatan
d. Upaya Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan setempat harus melakukan upaya mengaktifkan pos
kesehatan di Puskesmas dan menyiapkan rumah sakit rujukan.

Program pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik jika


masyarakatnya sendiri kurang peduli akan keselamatan diri mereka sendiri. Maka
dari itu, setiap orang dalam rumah sebaiknya tahu apa yang harus dilakukan dan
kemana harus pergi bila situasi darurat terjadi.
1. Rencana Darurat Sederhana
Rencana darurat rumah tangga dibuat sederhana, sehingga mudah diingat
oleh seluruh anggota keluarga. Bencana adalah situasi yang sangat
mencekam sehingga mudah mencetus kebingungan. Rencana darurat yang
baik hanya berisi beberapa rincian saja yang mudah dilaksanakan.
2. Tentukan Jalur Evakuasi
Pastikan Anda dan keluarga tahu jalan yang paling aman untuk keluar dari
rumah saat sekiranya ada tanda bencana. Jika Anda berencana meninggalkan
daerah atau desa, rencanakan beberapa jalan dengan memperhitungkan
kemungkinan beberapa jalan yang putus atau tertutup akibat bencana itu
sendiri.
3. Tentukan Tempat Bertemu
Dalam keadaan anggota keluarga terpencar, misalnya ibu di rumah, ayah di
tempat kerja, sementara anak-anak di sekolah saat terjadi bencana, tentukan
tempat bertemu. Tempat pertama, semestinya lokasi yang aman dan dekat
rumah. Tempat ini biasanya menjadi tempat anggota keluarga bertemu pada
keadaan darurat. Tempat kedua, dapat berupa bangunan atau taman di luar
desa, digunakan dalam keadaan anggota keluarga tidak bisa kembali ke
rumah. Setiap orang mestinya tahu tempat tersebut.

18
8
Selain itu, kesiapsiagaan juga harus diterapkan di lingkungan sekolah.
Sama dengan prinsip rencana siaga di rumah tangga, gedung sekolah perlu
diperiksa ketahanannya terhadap bencana alam. Sebaiknya, sekolah dibangun
berdasarkan standar bangunan tahan bencana. Anak sekolah perlu sering dilatih
untuk melakukan tindakan penyelamatan diri bila terjadi gempa, misalnya
sekurang kurangnya 2 kali dalam setahun.

2.2 Manajemen Saat Bencana


Salah satu jenis bencana di Indonesia yang sering terjadi akibat faktor alam
adalah terjadinya letusan gunung berapi. Letusan gunung api adalah bagian dari
aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bencana erupsi cukup sering
terjadi akhir-akhir ini karena pada dasarnya Indonesia memiliki 129 gunung api aktif
atau sekitar 10% dari jumlah gunung api di seluruh dunia yang tersebar dari ujung utara
Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi Utara.
Letusan atau erupsi gunung api yang berbahaya akan berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan penduduk di sekitarnya. Bahaya
langsungnya adalah bahaya yang diakibatkan oleh material yang keluar dari letusan
gunung api seperti aliran lava, batu kerikil, awan panas, lontaran batu pijar, dan hujan
panas yang jika terkena akan mematikan kehidupan di sekitarnya termasuk penduduk.
Bahaya tidak langsungnya adalah aliran lahar atau banjir lahar akibat bertumpuknya
materi vulkanik di bagian lereng.
Salah satu gunung api aktif yang terdapat di Sumatera Utara, Indonesia yaitu
Gunung Sinabung. Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo mengalami
erupsi yang cukup mengejutkan pada tanggal 29 Agustus 2010. Sejak itu, status
Gunung Sinabung berubah dari status tipe B menjadi tipe A. Berdasarkan data Media
Center di Posko Pendampingan Erupsi Gunung Sinabung 2013, pada tanggal 1 dan 2
November 2013 terjadi peningkatan aktivitas, sehingga statusnya ditingkatkan dari
waspada (level II) menjadi siaga (level III). Pada tanggal 3 November 2013, tepatnya
pukul 03.00 WIB statusnya kembali ditingkatkan menjadi awas (level IV) dan sejak
tanggal 3 November 2013 ditetapkan mulai masa tanggap darurat.

2.2.1 Tanggap Darurat


Banyak sektor yang terlibat dalam penanggulangan bencana Gunung
Sinabung termasuk yang berhubungan dengan kesehatan korban bencana. Oleh

18
9
karenanya, penanganan kesehatan pada saat bencana haruslah memperhatikan
koordinasi lintas sektoral yang terkait. Sektor tersebut diantaranya, Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo, Dinas Kesehatan Propinsi, Kementerian Kesehatan
melalui Pusat Penanggulangan Krisis dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) sebagai komando tanggap darurat.
Penanganan pengungsi pada masa tanggap darurat akibat erupsi Gunung
Sinabung telah dilakukan sejak tanggal 3 November 2013 sampai saat ini.
Pemerintah Kabupaten Karo telah memperpanjang masa tanggap darurat hingga
15 Februari 2014. Surat Keputusan Bupati Karo Nomor 361/032/Bakesbang/2014
berisi tentang Tim Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada masa
tanggap darurat. Belum terbentuknya BPBD di Kabupaten Karo menyebabkan
masih sulitnya penanganan pengungsi Gunung Sinabung dikarenakan kurangnya
koordinasi dengan dinas ataupun badan lain yang ada hubungannya dengan
masalah bencana.
Sampai saat ini, penanganan pengungsi masih dilakukan oleh BPBD
Provinsi Sumatera Utara dengan Satuan Komando Tanggap Darurat
Penanggulangan Bencana Kabupaten Karo (karena sampai saat ini Rancangan
Peraturan Daerah Pembentukan BPBD Karo masih diproses), dimana Dandim
0205/TK selaku Komandan Tanggap Darurat dan Operasi.
Erupsi Gunung Sinabung juga mempengaruhi status kesehatan
pengungsi. Angka kesakitan meningkat, berdasarkan data pada tanggal 3
November 2013 hingga 7 Februari 2014, jumlah kunjungan di pos kesehatan
sebanyak 121.731 orang, dengan rincian penyakit gastritis sebanyak 22.591
orang, ISPA sebanyak 77.000 orang, conjunctivitis sebanyak 3.248 orang, diare
sebanyak 3.448 orang, hipertensi sebanyak 3573 orang, anxietas sebanyak 1.415
orang dan penyakit lainnya 9.966 orang. Penyakit itu muncul akibat debu
vulkanik yang keluar setiap terjadi erupsi, serta minimnya fasilitas kebutuhan
dasar bagi pengungsi, seperti mandi, cuci dan kakus (MCK) yang tidak sesuai
dengan jumlah pengungsi.
Untuk menekan dan mencegah jatuhnya korban pasca erupsi, perlu
dilakukan berbagai upaya dari semua sektor termasuk sektor kesehatan. Upaya
kesehatan dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun
demikian, upaya yang bertujuan memberikan pelayanan bagi masyarakat korban
bencana dapat terhambat bila berjalan sendiri dan tidak ada hubungan saling

18
10
keterkaitan. Oleh karena itu, semua upaya yang dilakukan harus dikoordinasikan
agar berjalan sinergi dan memberi dampak yang lebih maksimal bagi korban
bencana.
Menurut Kepmenkes Nomor 145 Tahun 2007, Dinas Kesehatan berperan
untuk melayani, mendampingi dan mengawasi setiap kegiatan yang melibatkan
permasalahan kesehatan pada pengungsi. Maka, setiap instansi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi maupun relawan yang ingin melakukan kegiatan
yang berkenaan dengan pelayanan kesehatan seharusnya berkoordinasi atau
melaporkan kegiatan pada Dinas Kesehatan sebagai koordinator bidang
kesehatan. Namun, ada pelayanan kesehatan dari organisasi atau lembaga
swadaya masyarakat yang melakukan secara langsung tanpa berkoordinasi
dengan satuan tugas tim kesehatan seperti pengobatan gratis yang dilakukan oleh
instansi lain secara langsung di Pos Pengungsi tanpa melibatkan Dinas
Kesehatan. Kegiatan pengobatan gratis memang sangat diperlukan pengungsi,
namun koordinasi kepada Dinas Kesehatan sebaiknya dilakukan untuk mencegah
hal yang tidak diinginkan.

2.2.2 Respon Cepat


Dalam hal ini, pemerintah telah berupaya membuat konsep tentang
penanggulangan bencana dengan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan
Bencana dan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
BNPB dibentuk untuk mengambil alih beberapa tugas sektor atau dinas
terkait, tetapi lebih banyak sebagai koordinator dan implementator atau fasilitator
pada saat pra-bencana dan pemulihan (pasca bencana) dan berfungsi komando
pada saat tanggap darurat. Sejalan dengan hal tersebut, Presiden RI memberikan
arahan sebagai berikut:
1. Pada saat terjadi bencana, Bupati atau Walikota adalah unsur Pemerintah
yang paling bertanggung jawab sebagai penindak awal.
2. Gubernur merapat untuk memberikan dukungan.

11
18
3. Pemerintah pusat merapat untuk memberikan bantuan yang bersifat ekstrim
jika diperlukan.
4. Melibatkan TNI dan Polri.
5. Penanganan bencana sedini mungkin.
Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Pasal 26, pada ayat 1 menyatakan
bahwa setiap orang berhak:
a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana.
b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
d. Berperan serta dalam perencaanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial.
e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya.
f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Betapa menyedihkan apabila hak masyarakat korban bencana diabaikan. Tempat
tinggal menjadi sangat penting disiapkan, apabila ada rumah warga yang rusak
akibat bencana alam.
Sampai saat ini, tumpahan debu vulkanik Gunung Sinabung
menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan. Petani mengalami rugi
besar. Kepala Dinas Pertanian Karo Agustoni Tarigan mengatakan, erupsi
Sinabung pada September dan Oktober lalu menyebabkan penurunan hasil
pertanian Karo terutama sayur-mayur hingga 30 persen. Penurunan produksi
sayur dan buah-buahan menyebabkan kerugian Rp 70 miliar. Karena itu,
pemerintah harus memberikan ganti rugi bagi petani. Sejauh ini, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan logistik senilai Rp3,93 miliar.
Bantuan senilai Rp2,8 miliar berupa 1.500 paket, family kit 1.500 paket,
kidsware 1.500 paket, peralatan dapur 1.000 paket, masker 15.000 lembar, tenda
gulung 2.000 lembar. Senilai Rp 1,13 miliar berupa tenda pengunsi 20 unit,

18
12
velbed 20 unit, genset 20 unit dan HT 5 unit. Tentu kebutuhan ini belum cukup
mengingat jumlah pengungsi yang kian bertambah dan kebutuhan pun makin
bertambah pula. Kiranya hak warga di daerah bencana diperhatikan lebih serius.
Dalam hal ini, pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh. Di samping ada
pihak lain: asing, swasta dan segenap masyarakat Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sejumlah
kebijakan untuk korban erupsi Sinabung, yaitu:
1. Memberikan insentif cash for work kepada setiap keluarga agar ada biaya
tambahan meski masih dalam kondisi mengungsi.
2. Memberi bantuan bagi lahan perkebunan dan pertanian yang terganggu.
3. Memberikan biaya pendidikan, akan ada beasiswa bagi siswa SD, SMP,
SMA hingga perguruan tinggi (Muharrman, 2014).
Dari sumber lain juga dijelaskan tentang kebijakan yang dikeluarkan
oleh presiden, dan presiden juga meminta masukan dari berbagai pihak terkait,
termasuk jajaran pemerintah daerah setempat, yaitu :
1. Membantu pengadaan kebutuhan pokok, seperti makanan, kesehatan, dan
logistik lainnya. Presiden meminta agar kebutuhan pokok di tempat
penampungan sementara terus dijaga dan ditingkatkan hingga Maret 2014.
2. Memberikan bantuan siswa miskin dan pemberian beasiswa bagi para korban
Gunung Sinabung di berbagai tingkatan pendidikan yaitu SD, SMP, SMA,
dan mahasiswa.
3. Menjalankan program cash for work melalui berbagai skema tunai untuk
membantu menstimulasi warga agar dapat bekerja atau berkreasi di tempat
penampungan sementara (Yun, 2014).

2.3 Manajemen Pasca Bencana


Sejarah letusan Gunung Sinabung telah terjadi sebanyak kurang lebih 4 kali.
Pertama, sebelum tahun 1600, lalu tahun 1912, ketiga di tahun 2010 dan keempat di
tahun 2013. Letusan di tahun 2013 ini menyebabkan 15.281 jiwa menjadi pengungsi.
Jumlah ini lebih banyak dari pengungsi pada letusan sebelumnya, tahun 2010 yang
hanya 12.000 jiwa. Jumlah pengungsi sempat melonjak hingga 15.691 jiwa yang
tersebar di 24 titik pengungsian, yang akhirnya difokuskan di 16 titik (Nugroho, 2014).
Penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan sebelum dan saat bencana,
melainkan juga pasca bencana. Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007,

18
13
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebelum melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi,
sebaiknya dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:
1. Menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil letusan;
2. Mengidentifikasi daerah yang terancam bahaya lanjutan;
3. Memberikan saran penanggulangan bahaya;
4. Memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang;
5. Memperbaiki fasilitas pemantauan yang rusak;
6. Menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun; serta
7. Melanjutkan pemantauan rutin.

2.3.1 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sarana utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar,
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana. Kegiatan ini meliputi:
1. Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Letusan Gunung Sinabung merusak tanaman pertanian dan perkebunan. Dari
seluas 3.863 HA tanaman di enam kawasan, seluas 3.589 HA telah rusak
akibat letusan. Hal ini kemudian berdampak pada kelangkaan bahan
makanan. Pasokan sayur dan buah menurun hingga 40 persen karena banyak
petani tak berani memanen, karena takut bahaya letusan. Terjadi kenaikan
harga yang signifikan, misalnya sawi yang biasanya seharga Rp17.000/kg
naik menjadi Rp20.000/kg. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang
mengalami kerugian terbesar pasca letusan Gunung Sinabung. Untuk
menangani masalah ini, diperlukan kerjasama lintas sektoral dengan sektor
pertanian. Selain itu, lingkungan lain yang terkena dampak bencana juga
perlu dibenahi dengan melakukan kerjasama dengan berbagai sektor.
2. Perbaikan Pra-sarana dan Sarana Umum
Akibat letusan Gunung Sinabung, sebanyak 22 sekolah diliburkan, terdiri
dari 15 Sekolah Dasar dengan siswa sebanyak 2.374 orang, 6 Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dengan siswa sebanyak
2.312 orang. Sekolah yang paling banyak diliburkan berada di Kecamatan

18
14
Naman Teran, antara lain SD Negeri 040478 dan SDN 043950 di Desa
Sigarang-garang, 2 SD di Desa Guru Kinayan dan masing-masing 1 SD di
Desa Sukanalu dan Desa Simacem. Sementara 6 SMP yang diliburkan antara
lain SMP Negeri 1 Simpang Empat, SMPN 1 Naman Teran dan SMP Satu
Atap di Kecamatan Payung. Sedangkan SMA yang diliburkan yakni SMA
Negeri 1 Simpang Empat. Apabila ada kerusakan sekolah, maka harus segera
diperbaiki atau bisa juga dengan mendirikan sekolah sementara. Selain
sekolah, sarana prasarana lain yang rusak juga harus segera diperbaiki,
misalnya memberikan fasilitasi rembug desa untuk pembangunan kembali
jalan dan jembatan desa serta fasilitasi pengelolaan air bersih dan jamban.
Maka dari itu, diperlukan seorang ahli sanitasi yang mampu memberikan
standar sanitasi jamban, kamar mandi serta air bersih yang sesuai untuk
korban bencana.
3. Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat
Pemda Karo dan Pemprov Sumatera Utara bertanggung jawab menyediakan
lahan relokasi untuk warga. Relokasi adalah pemindahan tempat yang lebih
aman sebagai salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk menata kembali dan melanjutkan hidupnya di tempat baru.
Selain itu, perlu juga dilakukan pembuatan panduan dan prinsip mekanisme
subsidi rumah, memberikan fasilitasi pengorganisasian pembersihan rumah
dan lingkungan berbasis masyarakat, serta fasilitasi pengelolaan hunian
sementara.
4. Pemulihan Sosial Psikologis
Bukan hanya lingkungan, sarana dan prasarana saja yang mengalami
kerugian. Namun, letusan Gunung Sinabung juga memberikan dampak sosial
psikologis kepada korbannya. Maka dari itu, perlu disediakan pos trauma
healing dengan bantuan psikiater maupun ahli psikologi lainnya agar dapat
menyembuhkan trauma psikologis korban bencana. Bantuan sosial juga perlu
diberikan dengan memperhatikan sasaran. Bantuan makanan seperti PMT
untuk balita juga tidak boleh diabaikan. Dapat juga disediakan ahli gizi untuk
mengatur pola makan korban agar sesuai dengan kalori yang dibutuhkan.
Sebaiknya, dilakukan kerjasama dengan sektor sosial untuk merencanakan
kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar lainnya untuk para
pengungsi.

18
15
5. Pelayanan Kesehatan
Penyediaan pelayanan kesehatan tentunya sangat penting dilakukan. Ratusan
warga telah dirawat di RSUD Kabanjahe, karena menderita penyakit ISPA
akibat letusan. Sejak terjadinya letusan, jumlah warga yang dirawat sebanyak
148 orang. Maka dari itu, dokter dan tenaga medis lainnya sangat diperlukan
perannya dalam menangani korban bencana.
6. Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Perlu adanya bantuan dari TNI maupun POLRI untuk melakukan rekonsiliasi
dan resolusi konflik yang berpotensi terjadi pasca bencana.
7. Pemulihan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Pemulihan perlu dilakukan juga pada bidang sosial, ekonomi, dan budaya,
yaitu dengan pemulihan kegiatan keagamaan dan revitalisasi organisasi
keagamaan serta melakukan revitalisasi seni budaya yang berguna untuk
mendorong pemulihan.
8. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Kerjasama dengan TNI maupun POLRI dilakukan juga untuk melakukan
pemulihan keamanan dan ketertiban dengan berperan untuk membantu dalam
kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat, termasuk mengamankan rumah
warga korban bencana.
9. Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Pemulihan dilakukan pula pada fungsi pemerintahan agar daerah yang
terkena dampak letusan Gunung Sinabung dapat menjalankan
pemerintahannya seperti sedia kala.
10. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik.

2.3.2 Rekonstruksi
Tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali
sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan
yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat

18
16
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih
baik dan tahan bencana;
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat;
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut :
1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan
daerah
2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk
obat-obatan dan paramedis
3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan
dasar lainnya untuk para pengungsi
4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan lokasi
dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.
5. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi cuaca atau
meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi serta komunikasi.
6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan
mengendalikan upaya mitigasi bencana geologi dan bencana akibat ulah
manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya.
7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan
pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.
8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra-bencana
9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi
khususnya kebakaran hutan atau lahan akibat erupsi gunung.
10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang
bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.
11. Sektor Lembaga Penelitian dan Pendidikan Tinggi, melakukan kajian dan
penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra-bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.

18
17
12. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat
termasuk mengamankan rumah warga korban bencana.

Hal-hal tersebut diatas telah diatur dalam Undang-Undang No 24


Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.

2.4 Integrasi Manajemen Bencana


2.4.1 Program Integrasi Penanggulangan Erupsi

Tabel 1. Program Integrasi Penanggulangan Erupsi


Tahap Bencana
Program
Pra Saat Pasca

Manajemen Rehabilitasi :

Bencana a. Perbaikan lingkungan daerah

Erupsi bencana.

Sinabung Pengkajian cepat dan b. perbaikan prasarana dan


Mitigasi bencana tepat sarana umum.
c. pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat.
d. pemulihan sosial psikologis.

Penentuan status keadaan Rekontruksi:


Sistem deteksi dini darurat a. Pembangunan kembali
prasarana dan sarana;
Penyelamatan dan pembangunan kembali
Pengurangan risiko
evakuasi masyarakat sarana sosial masyarakat.
bencana
terkena bencana b. Pembangkitan kembali
Pemenuhan kebutuhan kehidupan sosial budaya
Pemaduan rencana
dasar masyarakat.
pembangunan
c. Penerapan rancang bangun
Pemberdayaan dan Perlindungan terhadap yang tepat dan penggunaan

18
Manajemen peningkatan kelompok rentan peralatan yang lebih baik
Bencana kemampuan serta tahan bencana.
Erupsi masyarakat
Sinabung
Persyaratan standar
teknis Pemulihan darurat

2.4.2 Standar Kompetensi Petugas dalam Penanggulangan Erupsi

Tabel 2. Standar Kompetensi Petugas pada Bencana Erupsi Sinabung


Tahap Bencana
Profesi
Pra Saat Pasca
a. Membuat peta a. Melakukan RHA. a. Melakukan surveilans
kerawan bencana. b. Surveilans saat bencana. pasca bencana.
b. Surveilans pra c. Memastikan sistem b. Membuat peta kerusakan
bencana. informasi berjalan daerah bencana .
c. Merencanakan dan dengan baik.
mengendalikan upaya d. Membantu penyiapan
Epidemiolog mitigatif di bidang dukungan dan mobilisasi
bencana letusan sumberdaya atau
gunung. logistik.
d. Membuat sistem e. Pengkajian secara cepat
deteksi dini untuk dan cepat terhadap
penyebaran informasi. lokasi kerusakan dan
sumber daya.

a. Upaya preventif, Penyelamatan dan evakuasi Memberikan standar sanitasi


advokasi, dan deteksi masyarakat yang terkena jamban, kamar mandi serta air
dini dalam bencana, terutama pada bersih yang sesuai untuk
Sanitarian
meminimalisir risiko aspek kesehatan lingkungan. korban bencana, terutama di
bencana. pengungsian.
b. Persiapan sarana dan

19
18
prasarana MCK .
c. Menetapkan standar
sanitasi darurat.
d. Menjamin kualitas air.
e. Mensosialisasikan
pengolahan limbah
padat&cair pada saat
bencana terjadi.

a. Perencanaan a. Membuka rumah sakit a. Menyembuhkan


kebutuhan tenaga lapangan. pengsungsi yang
medis. b. Menangani korban menderita penyakit
b. Memetakan tim medis letusan gunung yang akibat manifestasi
pada daerah rawan cedera dan terluka. dampak letusan gunung.
Dokter,
bencana. b. Menangani korban yang
tenaga
c. Mencari data menderita penyakit ISPA
medis, dan
mengenai kelompok dan penyakit lain akibat
paramedis
masyarakat risiko letusan
tinggi seperti
bayi,balita, ibu hamil,
nifas, manula.

Memastikan bahan pangan a. Mempersiapkan bahan a. Mengatur pola makan


pokok tetap tersedia, makanan dan menu korban agar sesuai
meskipun sawah dan untuk makan para dengan kalori yang
ladang masyarakat korban sesuai standar dibutuhkan.
Ahli Gizi nantinya terkena dampak kebutuhan kalori. b. Merencanakan kebutuhan
letusan gunung. b. Penanganan gizi pangan, sandang, dan
darurat. kebutuhan dasar lainnya
untuk para pengungsi.

18
20
BAB III
KESIMPULAN

Perlu disadari penuh oleh masyarakat serta pemerintah, bahwa rakyat Indonesia hidup
di daerah yang rawan bencana, sehingga bencana dapat datang secara tiba-tiba. Dengan
demikian, masyarakat dan pemerintah harus pandai menyiasati cara hidup berdampingan
dengan kondisi alam yang rawan bencana tersebut. Mitigasi bencana dan berbagai tindakan
antisipatif adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam. Perlu
political will pemerintah untuk segera memprioritaskan program mitigasi bencana dengan
melaksanakan penilaian bahaya, peringatan, dan persiapan menghadapi bencana serta
kegiatan sosialisasinya kepada masyarakat. Dalam melaksanakan mitigasi terhadap bencana,
sangat perlu diperhatikan karakter dari kejadian bencana yang akan dan mungkin terjadi,
sehingga dalam aspek pembangunan, perhatian terhadap kaidah kebencanaan harus lebih
diperkuat lagi.
Dalam rangka perbaikan manajemen penanggulangan bencana di Indonesia, terdapat
beberapa rekomendasi penguatan kebijakan dan kelembagaan sebagai berikut:
1. Penguatan Kebijakan, melalui beberapa aksi nyata.
a. Pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang dapat menjadi legal
basis bagi seluruh upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh berbagai
pihak.
b. Pengkajian ulang terhadap beberapa Undang-Undang yang ditujukan sebagai dasar
bagi pencegahan dan penanganan tipe bencana yang bersifat sektoral, seperti UU
No. 11 Tahun 1974 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan UU No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air; UU No.6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan
Masyarakat; UU No. 4 Tahun 1964 tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah direvisi dengan Perpu No. 1
Tahun 2004 tentang Kehutanan. Upaya ini dilakukan dalam rangka menjaga
konsistensi (coherence) antara UU Penanggulangan Bencana yang merupakan dasar
yang bersifat makro dan strategis dengan UU yang bersifat sektoral. Pengkajian
ulang juga hendaknya dilakukan terhadap berbagai kebijakan yang bersifat teknis.

21
18
c. Pengarusutamaan mitigasi bencana dalam rencana pembangunan nasional hingga
rencana pembangunan daerah, agar tidak terjadi penumpulan upaya penanggulangan
bencana oleh pembangunan yang diinisiasikan oleh berbagai pihak, termasuk
pemerintah.
d. Penyusunan index risiko bencana yang komprehensif untuk menilai karakteristik
risiko bencana setiap daerah. Index risiko bencana ini akan berguna untuk upaya
penguatan mitigasi bencana di setiap daerah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat melalui mekanisme penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) ke dalam kas
APBD setiap daerah. Index risiko bencana ini dapat dijadikan sebagai index untuk
memperkaya pemetaan karakteristik daerah dalam kriteria khusus penetapan besaran
DAK.
e. Penetapan aspek kapasitas pengendalian terhadap penanggulangan bencana sebagai
salah satu aspek dalam rangka penilaian kinerja kepala daerah. Kapasitas
pengendalian penanggulangan bencana ini dapat diukur dari turunnya indeks risiko
bencana daerah. Hal ini perlu dilakukan karena acapkali upaya mitigasi bencana
tidak dilaksanakan di lapangan karena kepala daerah tidak memandang aktivitas
mitigasi bencana sebagai aktivitas yang akan mendongkrak popularitas, citra,
ataupun kinerja kepemimpinannya.
f. Penetapan kebijakan teknis atau guidelines untuk penanganan bencana di Indonesia.
2. Pembenahan organisasi yang dapat dilakukan dengan dua cara minimal, yakni:
a. Perubahan nomenklatur Satkorlak dan Satlak menjadi Badan Koordinasi Propinsi
PB dan Badan Koordinasi Kabupaten/Kota PB, berikut dengan pengaturan tentang
kewenangan yang dimiliki.
b. Pembentukan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertugas sebagai
pelaksana aktivitas sektoral penanggulangan bencana sebagai unsur pelaksana dari
Bakornas PB. Dengan demikian, tugas koordinasi tetap dijalankan oleh Bakornas
PB, sedangkan tugas pelaksanaan seluruh aktivitas pelaksanaan penanggulangan
bencana ditangani oleh LPND. LPND ini akan memiliki kekuatan yang relatif besar
dibandingkan deputi-deputi dalam Bakornas PB seperti yang ada saat ini. Selain itu,
aktivitas nyata dari penanggulangan bencana, baik itu aktivitas mitigasi, persiapan,
rehabilitasi maupun rekonstruksi akan terlaksana secara kontinu. Hal yang sama juga
dilakukan di level daerah.

18
22
Integrasi antar program, baik pra, saat, dan pasca bencana sangat dibutuhkan dalam
manajemen penanggulangan bencana. Selain itu, diperlukan juga keterlibatan berbagai pihak
lintas sektoral dalam membenahi manajemen penanggulangan bencana di Indonesia mulai
dari level paling bawah hingga level paling atas.

18
23
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Bupati Karo Nomor: 361/236/BPBD/2014 Tentang Penetapan Perpanjangan


Status Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo Tahun
2014.

Kusmiati, C. Y., 2005. Menuju Perbaikan Manajemen Penanggulangan Bencana Di


Indonesia. Jurnal Administrasi Publik, IV(2), pp. 1-15.

Muharrman, R., 2014. Kebijakan Pemerintah Bagi Korban Erupsi Sinabung. [Online]
Available at: http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/25/6/
210738/ Kebijakan-Pemerintah-Bagi-Korban-Erupsi-Sinabung [Diakses 3 October
2014].

Nugroho, S. P., 2014. Update Penanganan Bencana Tahun 2014, Erupsi Gunung Sinabung
dan Gunung Kelud. [Online] Available at: http://bnpb.go.id/uploads/announcement/6/
kon% 2026%20feb.pdf [Diakses 03 Oktober 2014].

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan
Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana

Schneider, Sandra K. 1992. “Governmental Response to Disasters: The Conflict Between


Bureaucratic Procedures and Emergent Norms.” Public Administration Review 52 (2):
135-145.

Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana

Yun, 2014. Inilah Tujuh Kebijakan Presiden dalam Penanganan Korban Sinabung. [Online]
Available at: http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2014/01/25/9811.html
[Diakses 3 October 2014].

24
18

Anda mungkin juga menyukai