Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP HIPERTENSI

1. Definisi

Hipertensi dikategorikan sebagai the silent disease dalam jangka waktu lama

dan terus menerus memicu stoke, serangan jantung, gagal jantung, dan merupakan

penyebab utama gagal ginjal kronik. Penyakit hipertensi tidak dapat disembuhkan

tetapi penyakit yang dapat dikontrol melalui proses pelaksanaan penyakit

Hipertensi yang tepat salah satunya dengan peningkatan pengetahuan tentang

hipertensi dan kepatuhan terhadap diet. (Joyce M Balck & Jane Hokanson, 2014).

Penderita Penyakit Hipertensi harus memiliki pengetahuan dan kepatuhan

diet tentang Hipertensi, pengetahuan merupakan kemampuan untuk membentuk

model mental yang menggambarkan obyek dengan tepat dan

merepresentasikannya dalam aksi yang dilakukan terhadap suatu obyek,

sedangkan kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan

yang diberikan oleh profesional (Notoatmodjo, 2010).

Hipertensi merupakan penyakit multifaktoral yang disebabkan oleh berbagai

faktor yaitu faktor individu seperti umur, jenis kelamin, faktor genetik. Adapun

faktor lingkungan seperti stress juga memiliki pengaruh terhadap hipertensi

(Insana Maria, 2018). Hipertensi dapat dicegah dan dikontrol dengan cara

mengatur diet yang tepat (seperti mengurangi konsumsi makanan yang

mengandung garam, lemak dan kolesterol serta diet tinggi serat), olahraga yang

teratur, menghindari konsumsi alkohol, menghindari stress dan mengonsumsi obat


antihipertensi sesuai anjuran dokter serta melakukan check-up atau pemeriksaan

tekanan darah secara berkala. (Dewi Yulyan Nur Yusuf, 2013).Hipertensi adalah

suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara abnormal dan

terus menerus pada beberapa kali pemeriksaan tekanan darah yang disebabkan

satu atau beberapa faktor resiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam

mempertahankan tekanan darah secara normal (Wijaya 2013, h.52).

Menurut Tambayong (1999) dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015),

hipertensi adalah peningkatan tekanan sistole, yang tingginya tergantung umur

individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu,

tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stres yang dialami. Tekanan darah

adalah gaya yang diberikan darah pada di dinding pembuluh darah. Tekanan ini

bervariasi sesuai pembuluhdarah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah paling

tinggiterdapat pada arteri-arteri besar yang meninggalkan jantung dansecara

bertahap menurun sampai arteriole (Watson,2002) dalam Siti Rohimah dan Eli

Kurniasih (2015).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik >140 mmHg dan tekanan darah diastolik >90 mmHg. Pada dua kali

pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau

tenang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Hipertensi merupakan

manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem kardiovaskular, yang

mana patofisiologinya adalah multifaktor. Faktor risiko yang berberperan untuk

kejadian komplikasi penyakit kardiovaskular, ialah faktor risiko mayor seperti

hipertensi, dan kerusakan organ sasaran seperti jantung, otak, penyakit ginjal

kronik, penyakit arteri perifer (Anggun et al., 2016).


Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama

(persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung

(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi

secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Penyakit hipertensi dapat

menyebabkan berbagai komplikasi. Hipertensi mencetuskan timbulnya plak

aterosklerotik di arteri serebral dan arteriol, yang dapat menyebabkan oklusi arteri,

cedera iskemik dan stroke sebagai komplikasi jangka panjang (Yonata, 2016).

Hipertensi merupakan penyakit yang kerap dijumpai di masyarakat dengan

jumlah penderita yang terus meningkat setiap tahunnya. Baik disertai gejala atau

tidak, ancaman terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh hipertensi terus

berlangsung (Situmorang, 2015). Faktor risiko hipertensi meliputi: umur, kelamin,

riwayat keluarga, genetik (faktor risiko yang tidak dapat diubah/dikontrol),

kebiasaan merokok, konsumsi garam, kebiasaan konsumsi minum-minuman

beralkohol, obesitas, stres, (faktor risiko yang dapat diubah) (Michael et al.,

2014).

Hipertensi seringkali disebut sebagai the silent killer kerena termasuk

penyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai

peringatan bagi korbannya. Kalaupun muncul gejala tersebut seringkali dianggap

gangguan biasa sehingga korbannya terlambat menya dari akan datangnya

penyakit (Situmorang, 2015). Gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing

individu dan hampir sama dengan penyakit lainnya. Secara umum, gejala

hipertensi meliputi: sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah

bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, penglihatan kabur,

wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil, terutama dimalam hari,
telinga berdenging (tinnitus), dunia terasa berp utar (vertigo) (Michael et al.,

2014).

Tekanan darah tinggi atau yang sering disebut dengan hipertensi adalah

tekanan darah dengan Tekanan Darah Sistolik (TDS) ≥ 130mmHg atau tekanan

darah dengan Tekanan Darah Diastolik (TDD) ≥ 80mmHg. Tekanan darah sistolik

sebesar 130-140 mmHg mengarahkan pada risiko AMI dan serangan stroke 2 kali

lebih besar daripa orang dengan tekanan darah sistolik normal (Whelton, 2017).

Hipertensi adalah penyakit yang dapat menyerang siapa saja, baik muda

maupun tua. Hipertensi juga sering disebut sebagai silent killer karena termasuk

penyakit yang mematikan. Bahkan, Hipertensi tidak dapat secara langsung

membunuh penderitanya, melainkan hipertensi memicu terjadinya penyakit lain

yang tergolong kelas berat dan mematikan serta dapat meningkatkan resiko

serangan jantung, gagal jantung, stroke dan gagal ginjal (Pudiastuti, 2013).

Hipertensi juga merupakan salah satu penyakit degeneratif, umumnya

tekanan darah bertambah secara perlahan dengan seiring bertambahnya umur.

(Triyanto, 2014). Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu

keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal

yang ditunjukkan oleh angka bagian atas (systolic) dan angka bawah (diastolic)

pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik

berupa cuff air raksa (Spygmomanometer) ataupun alat digital lainnya

(Herlambang, 2013).

Tensi (tekanan darah) adalah banyaknya darah yang dipompakan jantung

dikalikan tahanan di pembuluh darah perifer. Adapun hipertensi (tekanan darah

tinggi) adalah keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah

diatas normal atau tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg dan diastoliknya
diatas 90 mmHg (Wijoyo, 2011). Hipertensi adalah suatu keadaan dimana

seseorang mengalami peningkatan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh

angka sistolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada alat pemeriksaan

tensi darah (Aizid,2011).

Hipertensi adalah kondisi abnormal dari hemodinamik, dimana menurut

WHO tekanan sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolic >90 mmHg (untuk usia <

60 tahun) dan tekanan sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan diastolic > 90

mmHg (untuk usia > 60 tahun )(Nugroho,2011). Hipertensi adalah suatu keadaan

dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal

(Sunaryati,2014).

2. Penyebab Hipertensi

Berdasarkan etiologinya hipertensi dikelompokkan menjadi yaitu hipertensi

primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer sering disebut dengan

hipertensi esensial yaitu hipertensi yang etiologinya tidak diketahui secara pasti,

dan merupakan 90% dari semua kasus hipertensi. Jenis hipertensi esensial menjadi

penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang dapat dimodifikasi (Bolívar,

2013). Sekitar 10% orang mengalami tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh

penyakit lain yang diderita atau karena sefek obat, hipertensi karena sebab

tersebut dikelompokkan kedalam jenis hipertensi sekunder. Dalam kasus tersebut

tekanan darah biasanya akan kembali normal atau turun secara signifikan apabila

penyebab diobati. Menurut JNC ketujuh (2003) dalam Nurma,dkk (2014)

Hipertensi merupakan salah satu kasus yang bersifat Ice Bone Phenomenon

dimana jumlah penderita tidak pernah diketahui secara pasti. Penderita hipertensi

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling banyak di negara

berkembang serta menjadi penyebab kecacatan dan kematian utama di negara


maju (Whelton,2004 dalam Nurma,dkk 2014). Hipertensi merupakan salah satu

penyakit kardiovaskular paling umum yang dapat memperberat penyakit

kardiovaskular lain dan menjadi faktor resiko utama terjadinya kematian.gguhnya

diperkirakan jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan data yang ada

(WHO, 2012).

Hipertensi primer lebih umum terjadi dibandingkan dengan hipertensi

sekunder, dimana data menyebutkan bahwa hanya 5% kasus hipertensi yang dapat

teridentifikasi faktor penyebabnya secara pasti. Hipertensi primer dapat terjadi

akibat adanya interaksi beberapa faktor antara lain :

a. Faktor genetik

Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya

menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada

patogenesis hipertensi primer. Beberapa mekanisme yang mungkin

berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum

satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut..

Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi

keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi

genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide,

ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.

b. Faktor fisiologis

Faktor Fisiologi meliputi kecukupan status gizi

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang meliputi gaya hidup, obesitas, merokok,

konsumsi alkohol, dan disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan yang lebih

penting lagi kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi karena


bertambahnya usia lebih besar pada orang yang banyak mengkonsumsi

makanan yang banyak mengandung garam (Kenia, 2013)

d. Faktor psikososial

Faktor Psikososial meliputi stress (Kakar, 2006 dalam Nurma,dkk 2014).

. Biasanya stres bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai kejiwaan.

Akan tetapi karena pengaruh stress tersebut maka penyakit fisik bisa muncul

akibat lemah dan rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut (Mardiana,

2014). Stres adalah tanggapan atau reaksi terhadap berbagai tuntutan atau

beban atasnya yang bersifat non spesifik namun, disamping itu stres dapat juga

merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari suatu gangguan

atau penyakit. Faktor-faktor psikososisal cukup mempunyai arti bagi

terjadinya stres pada diri seseorang. Stres dalam kehidupan adalah suatu hal

yang tidak dapat dihindari (Yosep dan Sutini, 2014).

Sedangkan penderita merupakan hipertensi sekunder yang disebabkan dari

penyakit komorbid atau obat tertentu. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal

akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab

sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun

tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan

menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka

dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi

komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan

hipertensi sekunder (JNC, 2014) .

3. Klasifikasi Tekanan Darah

Menurut Pudiastuti, (2013) hipertensi dikelompokan dalam 2 tipe klasifikasi

yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder . Tekanan darah tinggi atau
hipertensi dapat diakibatkan oleh stres yang diderita individu, sebab reaksi yang

muncul terhadap impuls stres adalah tekanan darahnya meningkat. Selain itu,

umumnya individu yang mengalami stres sulit tidur, sehingga akan berdampak

pada tekanan darahnya yang cenderung tinggi (Sukadiyanto, 2010). Menurut Iqbal

(2011) tekanan darah atau hipertensi berdasarkan klasifkasi dibagi menjadi dua

golongan yaitu :

a. Hipertensi primer lebih dari 90% kasus hipertensi yang terjadi adalah

hipertensi yang terjadi saat ini tidak diketahui penyebabnya.

b. Hipertensi sekunder kecil kasus hipertensi yang berjumlah kurang dari 10%

adalah hipertensi yang dapat diketahui faktor penyebabnya.

Kategori Sistolik Diastolic


Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-tinggi 130-139 85-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99


(ringan)
Subkelompok : 140-149 90-94
Borderline
Hipertensi derajat 2 160-179 100-109
(sedang)
Hipertensi derajat 3 (berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistolik ≥ 140 < 90
terisolasi
Subkelompok borderline 140-149 < 90

Tabel 2.1 Definisi dan klasifikasi tingkat darah dari WHO-ISH 1999 (mmHg) dalam Ade
Yonata dan Arif Satria 2016.

Kategori Sistolik Diastolic


Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.2 Definisi dan klasifikasi hipertensi menurut JNC VII 2003 (mmHg) dalam Ade
Yonata dan Arif Satria 2016

4. Patofisiologi

Dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah menurut Brunner &

Suddarth (2000) dalam Ibrahim (2011) menjelaskan patofisiologi hipertensi

terdapat pada, mekanisme yang mengatur atau mengontrol kontriksi dan relaksasi

pembuluh darah terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat

vasomotor inilah bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda

spinalis dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia simpatis di toraks dan

abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang

bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik

ini, neuron pre ganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut

saraf pasca ganglion ke pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan

vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,

meski tidak diketahui dengan jelas mengapa bisa terjadi hal tersebut. Pada saat

yang bersamaan, sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai

respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang. Hal ini mengakibatkan

tambahan aktifitas vasokontriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin yang

menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid

lainnya untuk memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi

mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal dan memicu pelepasan renin. Pelepasan

renin inilah yang merangsang pembentukan angiotensin I yang akan diubah

menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat yang nantinya akan merangsang

sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon aldosteron ini menyebabkan

retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, sehingga terjadi peningkatan volume
intra vaskular. Semua faktor ini dapat mencetus terjadinya hipertensi. Pada

keadaan gerontologis dengan perubahan struktural dan fungsional sistem

pembuluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah usia

lanjut. Perubahan itu antara lain aterosklerosis hilangnya elastisitas jaringan ikat

dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah. Akibatnya akan

mengurangi kemampuan aorta dan arteri besar dalam mengakomodasi volume

darah yang dipompa oleh jantung (volume secukupnya) dan curah jantung pun

ikut menurun, sedangkan tahanan perifer meningkat (Darmojo & Hadimartono,

1999) dalam Ibrahim (2011).

Patofisiologi Hipertensi Tekanan arteri yang meliputi kontrol sistem

persarafan yang kompleks dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain

dalam mempengaruhi curah jantung dan tahanan vaskuler perifer serta refleks

baroreseptor yang berperan dalam pengaturan tekanan darah dengan mekanisme

sebagai berikut ini. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi

jantung. Tahanan perifer ditentukan oleh diameter arteriol. Bila diameternya

menurun (vasokontriksi), tahananan perifer akan meningkat, dan bila diameternya

meningkat (vasodilatasi), tahananan perifer akan menurun. Pengaturan primer

tekanan arteri dipengaruhi oleh baroreseptor pada stimulus karotikus dan arkus

aorta yang akan menyampaikan implus ke pusat saraf simpatis di medulla, yang

akan menghambat stimulasi sistem saraf simpatis. Mekanisme dengan efek yang

lama dimana ketika renin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal

menurun, sehingga terbentuklah angiotensin I yang akan berubah menjadi

angiotensin II. Angiotensin II akan meningkatkan tekanan darah dengan

mengakibatkan kontraksi langsung pada arteriol. Pelepasan aldosetron yang

mengakibatkan retensi air dan garam di dalam ginjal sehingga terjadi peningkatan
volume ekstraseluler. Jika terjadi gangguan yang menetap maka akan enyebabkan

konstriksi arteriol, tahanan perifer total dan arteri rata-rata meningkat. Mekanisme

tersebut bersifat kompensasi yang akan meningkatkan beban kerja jantung namun

pada saat yang sama terjadi perubahan degeneratif pada arteriol yang menanggung

tekanan tinggi yang terus menerus sehingga terjadi peningkatan tahanan perifer

yang disebut hipertensi (Muttaqin, 2009) dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih

(2015),

5. Tanda dan gejala

Tanda dan Gejala Hipertensi Menurut Palmer (2007) dalam Siti Rohimah dan

Eli Kurniasih (2015) , penderita hipertensi cenderung tidak menampakan gejala

yang pasti, dan biasanya gejalanya bervariasi pada masing-masing individu serta

gejalanya hampir sama dengan penyakit lain. Menurut Vitahealth (2001) dalam

Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015), tanda dan gejala hipertensi meliputi:

a. Jantung berdebar-debar

b. Sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat

c. Mudah lelah

d. Mudah marah

e. Tengkuk terasa tegang atau berat

f. Sukar tidur

g. Mata berkunang-kunang

h. Muka merah

i. Vertigo (dunia terasa berputar).

Salah satu tanda dan gejala hipertensi adalah tengkuk terasa pegal atau

kekakuan pada otot tengkuk yang diakibatkan karena terjadi peningkatan tekanan

pada dinding pembuluh darah di daerah leher yang mana pembuluh darah tersebut
membawa darah ke otak sehingga ketika terjadi peningkatan tekanan vaskuler ke

otak yang mengakibatkan terjadi penekanan pada serabut saraf otot leher sehingga

penderita merasa nyeri atau ketidaknyamanan pada leher (Bararah, 2011).

6. Penatalaksaanaan Hipertensi

Penatalaksanaan pada penderita hipertensi yaitu dengan dua cara yaitu

dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

a. Terapi Farmakologi Ada enam obat yang sering digunakan dalam pengobatan

hipertensi yaitu sebagai berikut:

1) Diuretik

Diuretik misalnya chlortalidone, bendroflumethiazide dan lain-lain.

Diuretik ini dapat menurunkan tekanan darah dengan bekerja pada ginjal

yang menyebabkan ginjal mengeluarkan garam dalam darah melalui urin.

2) Alfa-Bloker

Alfa-bloker misalnya doxazonsin, terazosin dan lain-lain, dimana alfa-

bloker ini dapat menurunkan tekanan darah dengan memblokade zeseptor

pada otot yang melapisi pembuluh darah. Jika reseptor tersebut diblokade,

pembuluh darah akan melebar (berdilatasi) sehingga darah dapat mengalir

lebih lancar.

3) Beta-Bloker

Beta-bloker misalnya atenolol dan bisoprolol, dimana dapat menurunkan

tekanan darah dengan memperlambat denyut dan kontraksi jantung.

Sehingga tekanan yang disebabkan pompa jantung berkurang.

4) Kalsium kanal

Kalsium kanal misalnya amlodipine, felodipine dimana dapat menurunkan

tekanan darah dengan memblokade masuknya kalsium ke dalam sel.


Dengan menghambat kontraksi otot, pembuluh darah akan melebar

sehingga darah akan mengalir dengan lancar( Williams, (2007) dalam Siti

Rohimah dan Eli Kurniasih).

5) Antagonis resptor angiotensin II

Jenis angiotensin II misalnya losartan dan valsartan yang mana akan

bekerja antagonis terhadap aksis angiotensin renin. Dianjurkan pada

penderita gagal jantung atau ganguan ventrikel kiri (Davey, (2005) dalam

Iti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015)).

6) Inhibitor enzim pengubah angiotensin (Angiotensin converting enzim

inhibitor). Jenis angiotensin II misalnya katopril, enaplapril, lisinopril dan

ramipil. Yang mana akan menghambat pembentukan angiotensin II. Efek

sampingnya berupa batuk kering dan angioedema (Davey, (2005) dalam

Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015)).

Berapa hal yang perlu dipertimbangkan pada penggunaan obat anti hipertensi

yaitu:

1) Saat mulai pengobatan harus dengan dosis kecil

2) Bila efek tidak memuaskan tambahkan obat untuk kombinasi

3) Penggunaan obat long acting dengan dosis tunggal yang dapat

mencangkup efek selama 24 jam.

b. Terapi Non-farmakologis

Terapi non farmakologis untuk menangani hipertensi yaitu dengan:

1) Menurunkan berat badan bila gemuk

Tekanan darah cenderung kuat atau meningkat seiring dengan kegemukan

atau kenaikan berat badan. Dengan menurunkan berat badan, berpengaruh

juga pada penurunan tekanan darah, walaupun penurunan berat badan


belum mencapai normal (Freitag, 2010). Pengurangan berat badan sekitar

10 kg berat badan dapat menurunkan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg

per kgBB.

2) Mengurangi konsumsi Na Natrium

Mengurangi konsumsi na Natrium memiliki hubungan yang sangat erat

dengan timbulnya hipertensi. Oleh karena itu konsumsi garam dikurangi

(kurang dari 3gr per hari) mampu menurunkan tekanan darah (Sunardi,

(2000) dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015).

3) Minuman beralkohol

Minuman yang beralkohol yang terlalu banyak, dapat meningkatkan

tekanan darah dan resiko komplikasi kardiovaskuler (Willams, (2007)

dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015).

4) Olahraga

Orang yang memiliki aktivitas yang rendah akan lebih rentan mengalami

tekanan darah tinggi. Penderita hipertensi dianjurkan untuk melakukan

aerobik sedang dalam 30 menit sehari selama beberapa hari dalam

seminggu dapat menurunkan tekanan darah.Beberapa jenis latihan yang

dapat menurunkan tekanan darah yaitu: berjalan kaki, bersepeda,

berenang, aerobik. Namun tidak dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk

melakukan kegiatan olahraga seperti tinju, gulat, angkat besi, karena akan

meningkatkan tekanan darah.

5) Stres emosional

Stres berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah. Semakin stres

tekanan darah semakin tinggi. Oleh karena itu salah satu cara untuk untuk

menurunkan tekanan darah adalah dengan mengelola stres.


6) Merokok

Di dalam rokok terdapat banyak zat yang beracun (oksidan) yang dapat

melukai dinding pembuluh darah dan mempercepat pengerasan pembuluh

darah. Dianjurkan pada penderita hipertensi untuk berhenti atau

mengurangi rokok.

7) Konsumsi serat

Buah-buahan dan sayuran segar, yang mengadung serat tinggi sangat

efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Ada 2 jenis serat yaitu

serat yang dapat larut dan serat yang tidak dapat larut. Keduanya

mempunyai manfaat masing-masing. Serat yang dapat larut dapat

menurunkan kadar kolesterol sedangkan serat yang tidak dapat larut dapat

melancarkan pembuangan sisa makanan secara alami (Anise, (2006) dalam

Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015)

Penatalaksanaan medis tujuan terapi antihipertensi adalah

pengurangan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular dan ginjal.

Karena sebagian besar pasien dengan hipertensi, terutama yang berumur

sedikitnya 50 tahun, mendapatkan tekanan darah diastolik yang normal

bila tekanan sisitolik normal dapat diwujudkan, maka tujuan utama terapi

hipertensi adalah mempertahankan tekanan sistolik dalam batas normal.

Mempertahankan tekanan darah sistolik dan diastolik kurang dari 140/90

mmHg berhubungan dengan menurunnya komplikasi penyakit

kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi yang disertai diabetes dan

penyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah 130/80 mmHg.

Penatalaksanaan medis menurut Sobel (1999) dalam Ibrahim (2011), yaitu:

a. Penatalaksanaan Non Farmakologis:


Adopsis gaya hidup sehat oleh semua individu penting dalam

pencegahan meningkatnya tekanan darah dan bagian yang tidak

terpisahkan dari terapi pasien dengan hipertensi. Terdapat banyak

pilihan terapi non-farmakologis dalam menangani hipertensi pada

lansia, terutama bagi mereka dengan peningkatan tekanan darah yang

ringan. Bukti saat ini menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup

cukup efektif dalam menangani hipertensi ringan pada lansia.

Beberapa cara berikut membantu menurunkan tekanan darah

pada lansia:

1) Mengurangi berat badan yang berlebihan

2) Mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi alkohol

3) Mengurangi intake garam pada makanan, dan melakukan olah

raga ringan secara teratur.

4) Cara lain yang secara independen mengurangi resiko penyakit

arteri terutama adalah berhenti merokok.

Pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (tekanan

diastolik 90-105 mmHg dan atau sistolik 160-180mmHg) terapi

nonfarmakologi dapat dicoba selama 3 sampai 6 bulan sebelum

mempertimbangkan pemberian terapi farmakologis. Pada

hipertensi berat, perubahan gaya hidup dan terapi farmakologi

harus dijalani secara bersama-sama. Pola makan makanan tinggi

kalium dan kalsium serta rendah natrium juga merupakan metode

terapi nonfarmakologis pada lansia penderita hipertensi ringan.

b. Penatalaksanaan Farmakologis:
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:

1) mempunyai efektivitas yang tinggi

2) Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal,

memungkinkan penggunaan obat secara oral,

3) Tidak menimbulkan intoleransi

4) Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh klien, dan

memungkinkan penggunaan jangka panjang. Saat ini, pemberian

terapi farmakologis menunjukkan penurunan morbiditas dan

mortalitas pada lansia penderita hipertensi. Berdasarkan penelitian

terbaru pada obat- obat antihipertensi yang tersedia sekarang ini

angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor),

angiotensin-receptor blocker (ARBs), calcium channel blocker,

diuretik tipe Tiazid, beta-blocker, semua menurunkan komplikasi

penyakit hipertensi. Diuretik tiazid merupakan terapi dasar

antihipertensi pada sebagian besar penelitian. Pada penelitian-

penelitian tersebut, termasuk Antihypertensive And Lipid

Lowering Treatment To Prevent Heart Attack Trial, diuretik lebih

baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat penyakit

hipertensi. Pengecualian datang dari Australian National Blood

Pressure Trial, yang melaporkan hasil yang sedikit lebih baik pada

pria kulit putih yang memulai terapi hipertensi dengan ACE

inhibitor dari pada mereka yang memulai dengan diuretik. Diuretik

menambah keampuhan obat-obat hipertensi, berguna untuk

mengontrol tekanan darah dan lebih terjangkau dari pada obat-obat


antihipertensi lain. Diuretik seharusnya dipakai sebagai pengobatan

awal terapi hipertensi untuk semua pasien, baik secara sendiri

maupun kombinasi dengan 1 dari golongan obat antihipertensi lain

(ACE inhibitor, ARBs, β- Idea Nursing Journal Ibrahim 65

Blocker, CCB), karena memberikan manfaat pada beberapa

penelitian. Namun jika obat ini tidak ditoleransi secara baik atau

merupakan kontraindikasi, sedangkan obat dari golongan lain

tidak, maka pemberian obat dari golongan lain tersebut harus

dilakukan. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan dua atau

lebih obat-obat antihipertensi lain untuk mencapai target tekanan

darah yang diingini. Tambahan obat kedua dari golongan lain

seharusnya dimulai jika penggunaan obat tunggal pada dosis yang

adekuat gagal mencapai target tekanan darah yang diingini. Bila

tekanan darah di atas 20/10 mmHg dari target, pertimbangkan

untuk memulai terapi dengan dua obat, baik pada sebagai resep

yang terpisah maupun pada dosis kombinasi tetap. Pemberian obat

antihipertensi dengan dua obat dapat mencapai target tekanan darah

yang diingini dalam waktu yang singkat, namun mesti diperhatikan

adanya hipotensi ortostatik, seperti pada pasien diabetes mellitus,

disfungsi otonom, dan beberapa kelompok usia tua.

7. Komplikasi pada Hipertensi

Pasien hipertensi biasanya meninggal dunia lebih cepat apabila penyakitnya

tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab

kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai

stroke dan gagal ginjal. Dengan pendekatan per organ sistem, dapat diketahui
komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu antara lain Jantung;

infark miokard, angina pectoris, gagal jantung kongestif. Sistem Saraf Pusat;

stroke, hipertensive encephalopathy. Ginjal; penyakit ginjal kronik. Mata;

hipertensive retinopathy. pembuluh darah perifer; peripheral vascular disease

(Anonim, 2009) dalam Ibrahim (2011).

Komplikasi hipertensi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, infark

jantung, stroke dan gagal ginjal. Komplikasi dari hipertensi tersebut dapat

menyebabkan angka kematian yang tinggi. Dampak dari penyakit hipertensi para

lansia dapat memicu terjadinya resiko serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal

(Depkes, 2007) dalam rohmatul dan Rita (2016) . Sedangkan menurut Wahdah

(2011) tekanan darah yang terus meningkat mengakibatkan beban kerja jantung

yang berlebihan sehingga memicu kerusakan pada pembuluh darah, gagal ginjal,

jantung, kebutaan dan gangguan fungsi kognitif pada lansia. Perubahan dalam

kehidupan pada penderita hipertensi, merupakan salah satu pemicu terjadinya

stres.

8. Faktor-faktor Resiko Hipertensi

Terdapat berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya

hipertensi. Menurut Sugiharto (2007) dalam Nelli,Suyanto dan Wasinton (2016)

dari 310 responden ditemukan faktor risiko hipertensi yang telah terbukti antara

lain:

a. Umur

b. Riwayat keluarga

c. Konsumsi asin

d. Konsumsi lemak jenuh

e. Penggunaan jelantah
f. Tidak biasa olah raga

g. Olah raga tidak ideal

h. Obesitas

i. Penggunaan pil KB selama 12 tahun berturut-turut

Sedangkan faktor risiko yang belum terbukti adalah :

a. Jenis kelamin

b. Kebiasaan mengonsumsi minuman berakohol

c. Stres kejiwaan.

Pada penelitian Mannan H pada tahun 2012 hasil penelitian menunjukkan

bahwa riwayat keluarga, perilaku merokok, aktifitas fisik dan konsumsi garam

merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian hipertensi. Sedangkan

konsumsi kopi dalam penelitian tersebut merupakan faktor risiko yang tidak

bermakna terhadap kejadian hipertensi. Selain itu, tingkat pengetahuan dan sikap

juga dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan terdapat sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang terbukti merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi

adalah:

1) Tidak biasa melakukan aktifitas fisik atau olahraga mempunyai risiko

menderita hipertensi sebesar 13,47 kali dibandingkan orang yang

mempunyai kebiasaan melakukan aktifitas fisik atau olahraga.

2) Orang dengan obesitas (IMT > 25) berisiko menderita hipertensi sebesar

6,47 kali dibanding dengan orang yang tidak obesitas.


3) Orang yang memiliki riwayat stres mempunyai risiko menderita hipertensi

sebesar 0,19 kali dibanding dengan orang yang tidak memiliki riwayat

stress.

b. Faktor-faktor yang tidak terbukti sebagai faktor risiko hipertensi adalah :

Pola asupan garam dan kebiasaan merokok.

9. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terkontrolnya Tekanan Darah

Faktor yang mempengaruhi hipertensi golongan ini belum diketahui secara pasti.

Menurut Dalimartha (2008) dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015), ada

beberapa faktor yang menjadi penyebabnya yaitu seperti:

1) Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

a) Keturunan

Sekitar 70-80% penderita hipertensi esensial ditemukan memiliki

riwayat hipertensi. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua

orang tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.

b) Jenis kelamin

Hipertensi lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan.

Hal itu mungkin dikarenakan laki-laki memiliki faktor pendorong

terjadinya hipertensi misalnya seperti stres, kelelahan, dan makanan

yang tidak terkontrol. Sedangkan wanita dilindungi oleh hormon

estrogen berfungsi untuk melindungi wanita dari kejadian

arteriosklerosis, namun ketika wanita mengalami pra menopause

sampai menopause hormon ini akan berkurang seiring juga dengan

pertambahan usia sehingga pada usia diatas 45 tahun wanita mulai

mengalami penyakit kardiovaskular (Anggraini, 2009).Umur Insiden

hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur. Pasien yang


berumur diatas 60 tahun, 50-60% mempunyai tekanan darah lebih

besar atau sama dengan 140/90mmHg. Hal ini merupakan merupakan

pengaruh degenarasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya.

Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga akan

meningkat. Setelah umur 45 tahun dinding arteri akan mengalami

penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan

otot yang mengakibatkan pembuluh darah akan menyempit dan kaku

dimana akan berdampak pada tekanan sistolik dan diastolik meningkat

karena kelenturan otot pembuluh darah berkurang (Oktora, 2005)

dalam Siti Rohimah dan Eli Kurniasih (2015),.

2) Faktor resiko yang dapat dikontrol

a) Kegemukan

Kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi. Daya pompa

jantung dan sirkulasi volume darah pada penderita obesitas dengan

hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita hipertensi

dengan berat badan normal.

b) Konsumsi garam berlebihan

Konsumsi garam yang berlebihan dengan sendirinya akan menaikkan

tekanan darah.

c) Kurang olah raga

Olah raga seperti bersepeda, joging, aerobik yang teratur dapat

memperlancar predaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan

darah. Dengan berolahraga dapat mengurangi atau mencegah obesitas

dan mengurangi asupan garam dalam tubuh yang akan dikeluarkan

lewat keringat.
d) Konsumsi alkohol dan merokok

Hipertensi juga dirangsang oleh nikotin yang ada dalam sebatang

rokok. Nikotin dapat menyebabkan penggumpalan darah dalam

pembuluh darah dan pengapuran dinding pembuluh darah. Sedangkan

alkohol dapat meningkatkan sintesis katekolamin dalam jumlah besar

yang memicu kenaikan tekanan darah.

e) Stres atau ketegangan jiwa

Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam,

rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal

melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung bekerja lebih cepat

dan lebih kuat sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Gunawan,

2001) dalam Diah Pithaloka,dkk (2011).

10. Pencegahan Hipertensi

Menurut Gunawan (2001) dalam Diah Pithaloka, dkk (2011), untuk

menghindari terjadinya komplikasi hipertensi yang fatal, maka penderita Faktor-

faktor yang Berhubungan dengan Kontrol perlu mengambil tindakan pencegahan

yang baik (stop high blood pressure) sebagai berikut: Mengurangi konsumsi

garam, menghindari kegemukan (obesitas), membatasi konsumsi lemak, Olahraga

teratur, makan banyak buah dan sayuran segar, tidak merokok dan tidak

mengkonsumsi minuman beralkohol, melakukan relaksasi atau meditasi, dan

berusaha membina hidup yang positif. Ginting (2008) dalam Diah Pithaloka, dkk

(2011), menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa faktor internal dan eksternal

yang meliputi kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, peran

media massa, peran keluarga dan teman berhubungan dengan pengetahuan

masyarakat dalam pencegahan penyakit hipertensi. Posyandu lansia merupakan


pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia

yang penyelenggaraannya melalui program puskesmas dengan melibatkan peran

serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial. Tujuan

pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain, meningkatkan

jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk

pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia dan mendekatkan

pelayanan serta meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam

pelayanan kesehatan di samping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia

lanjut (Depkes RI, 2003) dalam Diah Pithaloka, dkk (2011).

Cara mengendalikan dan mencegah hipertensi, harus melakuan gaya hidup

sehat. Hal ini sangat penting karena gaya hidup sehat akan membuat kita sehat

dengan melakukan olahraga teratur, berhenti merokok juga berperan untuk

mengurangi hipertensi, mengendalikan pola kesehatan secara keseluruhan,

termasuk mengendalikan kadar kolesterol, diabetes, menjaga berat badan dan

mengendalikan konsumsi makanan yang dapat memperberat kerja jantung. Jenis

makanan tidak sehat yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu makanan yang siap

saji yang mengandung pengawet, kadar garam yang terlalu tinggi dalam makanan,

kelebihan konsumsi lemak (Susilo dan Wulandari, 2011).

Menumbuhkan perilaku hidup sehat sangatlah tidak gampang, namun hidup

sehat dapat dibentuk melalui kebiasaan. Menciptakan perilaku sehat dan

memberikan contoh yang baik tidaklah sulit untuk dilakukan dan bisa dimulai dari

hal-hal kecil yang terkadang sering dilupakan oleh banyak orang, misalnya tidak

merokok, olahraga teratur,konsumsi buah dan sayur setiap hari. Dengan perilaku

hidup sehat seperti ini maka akan tercipta hidup sehat yang merupakan dambaan
bagi setiap manusia. Dalam mengupayakan perilaku ini dibutuhkan komitmen

bersama untuk mewujudkannya. (Sumartono, 2007) dalam Tina Yuli (2019).

Pencegahan utama hipertensi telah menjadi tantangan kesehatan masyarakat

global. Pedoman penatalaksanaan hipertensi saat ini merekomendasikan

peningkatan aktivitas fisik sebagai sarana untuk mencegah hipertensi (Wen,

2017). Aktivitas fisik dapat menjadi upaya promotif dalam menurunkan tekanan

darah pada pasien dengan hipertensi resisten (Araujo, et al., 2018; Bento, 2015).

Olah raga secara teratur telah direkomendasikan sebagai perilaku penting dalam

mengendalikan tekanan darah dimana satu sesi olah raga dapat menurunkan

tingkat tekanan darah dibandingkan periode sebelum berolah raga. Ini layak

dipergunakan sebagai terapi non-farmakologis yang efektif untuk pengobatan

hipertensi (Souto, 2016). Aktivitas fisik dapat menjadi terapi tambahan yang

penting untuk manajemen terapi medis penyakit kardiovaskular (Wen, 2017).

11. Pemeriksaan Penuinjang

a. Pemeriksaan Laboratorium; Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel

terhadap volume cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko

seperti: hipokoagulabilitas, anemia. BUN/ kreatinin: memberikan informasi

tentang perfusi/fungsi ginjal. Glukosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus

hipertensi) dapatdiakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin. Urinalisa:

darah, protein, glukosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan ada DM.

b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.

c. EKG: dapat menunjukan pola regangan, di mana luas, peninggian gelombang

P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

d. IU: mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: batu ginjal, perbaikan

ginjal.
e. Poto dada: menunjukkan destruksi kalsifikasi pada area katup, pembesaran

jantung (Sobel, et al, 1999) dalam Ibrahim (2011).

B. KONSEP LANJUT USIA

1. Definisi Lanjut Usia

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 dalam Daniel dan Dini

(2017) lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang mencapai usia di atas 60 tahun.

Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang

dikarunia usia panjang, terjadi tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun manusia

dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Menua (menjadi tua = aging)

merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (Bandiyah, 2009 : 13). Jika proses menua

sudah berlangsung, di dalam tubuh mulai terjadi perubahan-perubahan struktural

yang merupakan proses degeneratif. Perubahan-perubahan itu akan terjadi pada

tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya usia.

Undang-undang No.13/th. 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pasal 1

ayat 2 menyebutkan bahwa :”Lanjut Usia adalah seseorang yang mencapai usia 60

(enam puluh) tahun keatas” (Nugroho, 2008) dalam Daniel dan Dini (2017).

Penuaan telah dikaitkan dengan peningkatan terjadinya penyakit kronis dan

penurunan kebugaran fisik, termasuk penurunan kekuatan dan kebugaran aerobik.

Hipertensi sindrom multifaktorial dan multicausal menjadi masalah utama dalam

penuaan, karena merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit

kardiovaskular dengan kerusakan organ target berikutnya dan mempengaruhi


lebih dari 50% dari mereka yang berusia 65 tahun atau lebih tua (Araujo, et al.,

2018; Mota, et al., 2013).)

2. Teori Proses Menua Pada Lansia

Teori Proses Menua Teori proses penuaan dibagi 2 bagian yaitu secara

biologis dan psikososoial yaitu:

a. Teori Biologis

Yang merupakan teori biologis adalah sebagai berikut:

1) Teori jam genetik Menurut Hayflick (1965) dalam Daniel dan Dini (2017)

Secara genetik sudah terprogram bahwa material di dalam inti sel

dikatakan bagaikan memiliki jam genetik terkait dengan frekwensi mitosis.

Manusia yang memiliki rentang kehidupan maksimal sekitar 110 tahun,

sel-selnya diperkirakan hanya mampu membelah sekitar 50 kali sesudah

itu akan mengalami deteriorasi.

2) Teori interaksi sosial

Bahwa sel-sel satu sama lain saling berinteraksi dan mempengaruhi.

Keadaan tubule akan baik-baik saja selama sel-sel berfungsi dalam suatu

harmoni. Akan tetapi, bila tidak lagi demikian, maka akan terjadi

kegagalan mekanisme feed back dimana perlahan-lahan akan mengalami

degenerasi (Berger, 1994) dalam Daniel dan Dini (2017).

3) Teori eror katastrop

Bahwa eror akan terjadi pada struktur DNA, RNA, dan sintesis protein.

Masing-masing eror akan saling menambah pada eror yang lainnya dan

berkulminasi dalam eror yang bersifat katastrop (Kane, 1994) dalam

Daniel dan Dini (2017).

4) Teori pemakaian dan keausan Teori biologis yang paling tua


Teori pemakaian dan keausan (tear and wear), dimana tahun demi tahun

hal ini berlangsung dan lama kelamaan akan timbul deteriorasi.

b. Teori Psikologis

Adapun mengenai teori psikologis, berturut-turut dikemukakan beberapa

diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Disengagement Theory

Kelompok teori ini dimulai dari University of Chicago, yaitu :

Disengagement Theory, yang mengatakan bahwa individu dan masyarakat

mengalami disengagement dalam suatu menarik diri. Memasuki usia tua,

individu mulai menarik diri dari masyarakat, sehingga memungkinkan

individu untuk menyimpan lebih banyak aktivitasaktivitas yang berfokus

pada dirinya dalam memenuhi kestabilan pada stadium ini.

2) Teori Aktivitas

Menekankan pentingnya peran serta dalam kegiatan masyarakat bagi

kehidupan seorang lansia. Dasar teori ini adalah bahwa konsep diri

seseorang tergantung pada aktivitasnya dalam berbagai peran. Hasil studi

serupa ternyata menggambarkan pula bahwa aktivitas informal lebih

berpengaruh daripada aktifitas formal. Kerja yang menyibukkan tidaklah

meningkatkan self esteem seseorang, tetapi interaksi yang bermakna

dengan orang lainlah yang lebih meningkatkan self esteem.

3) Teori Kontinuitas

Berbeda dari kedua teori sebelumnya, disini ditekankan pentingnya

hubungan antara kepribadian dengan kesuksesan hidup lansia. Menurut

teori ini, ciri-ciri kepribadian individu berikut strategi kopingnya telah

terbentuk lama sebelum seseorang memasuki usia lanjut.


4) Teori Subkultur

Pada teori subkultur (Rose, 1962) dalam Daniel dan Dini (2017) dikatakan

bahwa lansia sebagai kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa

percaya, dan adat kebiasaan tersendiri, sehingga dapat digolongkan selaku

suatu subkultur.

5) Teori Stratifikasi Usia

Teori ini dikemukakan oleh Riley (1972) dalam Daniel dan Dini (2017).

yang menerangkan adanya saling ketergantungan antara usia dengan

struktur sosial yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Orang-orang tumbuh dewasa bersama masyarakat dalam bentuk kohor

dalam artian sosial, biologis, dan psikologis.

b) Suatu masyarakat dapat dibagi ke dalam beberapa strata sesuai dengan

lapisan usia dan peran.

c) Masyarakat sendiri senantiasa berubah, begitu pula individu dan

perannya dalam masing-masing strata. Terdapat saling keterkaitan

antara penuaan individu dengan perubahan sosial. Kesimpulanya

adalah lansia dan mayoritas masyarakat senantiasa saling

mempengaruhi dan selalu terjadi perubahan kohor maupun perubahan

dalam masyarakat.

3. Karakteristik Lanjut Usia

Menurut Maryam, dkk (2008) dalam Parida, Rahayu dan Rasmaliah (2018),

lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang

kesehatan)
b. Kebutuan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari

kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga

kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

Karakteristik penyakit yang dijumpai pada lansia diantaranya:

a. Penyakit yang sering multipel, saling berhubungan satu sama lain

b. Penyakit bersifat degeneratif, serta menimbulkan kecacatan

c. Gejala sering tidak jelas, berkembang secara perlahan

d. Masalah psikologis dan sosial sering terjadi bersamaan

e. Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut

f. Sering terjadi penyakit yang bersifat iatrogenik Menurut Green dan Kauter

(1991, dalam McMurray, 2003) dalam Parida, Rahayu dan Rasmaliah (2018),

menggambarkan bahwa kesehatan dan faktor risiko kesehatan dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Karakteristik lansia termasuk sebagai faktor pencetus

(predisposing factor) yang berhubungan dengan kejadian stroke pada lansia

yang meliputi : jenis kelamin, usia, suku, pendidikan. Menurut Lewis et al

(2007) dalam Parida, Rahayu dan Rasmaliah (2018), usia, jenis kelamin dan

ras juga termasuk kedalam faktor risiko terjadinya stroke.

4. Batasan-batasan Lansia

Batasan-batasan Lanjut Usia menurut WHO dalam Padila 2013) ada empat

tahapan yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) >90 tahun

Lanjut usia.
Menurut UU RI no 13 tahun 1998 dalam Indriana dkk, (2010) adalah mereka

yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Jenis hipertensi yang khas ditemukan

pada lansia adalah isolated systolic hypertension (ISH), dimana tekanan

sistoliknya saja yang tinggi (diatas 140 mmHg), namun tekanan diastolik tetap

normal (dibawah 90 mmHg) (Arif, 2013). Lansia sering terkena hipertensi

disebabkan oleh kekakuan pada arteri sehingga tekanan darah cenderung

meningkat. Biasanya stres bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai

kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stress tersebut maka penyakit fisik bisa

muncul akibat lemah dan rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut

(Mardiana, 2014).

5. Ciri-ciri lanjut usia

Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran. Kemunduran pada lansia sebagian

datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang

penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki

motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat

proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi

yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas. Kondisi ini sebagai akibat dari

sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh

pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang

mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi

negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang

lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.


c. Menua membutuhkan perubahan peran. Perubahan peran tersebut dilakukan

karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan

peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas

dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di

masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan

lansia sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia. Perlakuan yang buruk terhadap lansia

membuat mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk

sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari

perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk

pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan

untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi

inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat

tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

6. Faktor- faktor yang mempengaruhi Ketuaan

Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan

a. Hereditas atau ketuaan genetik

b. Nutrisi atau makanan

c. Status kesehatan

d. Pengalaman hidup

e. Lingkungan

f. Stres

7. Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif

yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya
perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah dan Lilik

M, 2011, 2011).

a. Perubahan Fisik

1) Sistem Indra Sistem pendengaran

Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya

kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap

bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit

dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.

2) Sistem Intergumen

Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan

berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan

berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan

glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal

dengan liver spot.

3) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia adalah Jaringan

penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..

Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak

teratur. Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami

granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago

untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah

progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan

terhadap gesekan. Berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah

bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis


dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.

Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah

dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan

lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan

ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan

elastisitas.

4) Sistem kardiovaskuler Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia

adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi

sehingga peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena

perubahan jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan

lipofusin, klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi

jaringan ikat.

5) Sistem respirasi Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,

kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk

mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru

berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan

gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks

berkurang.

6) Pencernaan dan Metabolisme Perubahan yang terjadi pada sistem

pencernaan, seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang

nyata karena kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun

(kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan

menurunnya tempat penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.


7) Sistem perkemihan Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang

signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju

filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

8) Sistem saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan

atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami

penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-

hari.

9) Sistem reproduksi Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan

menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis

masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan

secara berangsur-angsur.

b. Perubahan Kognitif

1) Memory (Daya ingat, Ingatan)

2) IQ (Intellegent Quotient)

3) Kemampuan Belajar (Learning)

4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)

6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)

7) Kebijaksanaan (Wisdom)

8) Kinerja (Performance)

9) Motivasi

c. Perubahan mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :

1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.

2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan

4) Keturunan (hereditas)

5) Lingkungan

6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.

7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.

8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan

famili.

9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran

diri, perubahan konsep diri.

d. Perubahan spiritual

Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia

semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam

berfikir dan bertindak sehari-hari.

e. Perubahan Psikososial

1) Kesepian

Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama

jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit

fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama

pendengaran.

2) Duka cita (Bereavement)

Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan

kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada

lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan

kesehatan.

3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti

dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode

depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan

menurunnya kemampuan adaptasi.

4) Gangguan cemas

Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,

gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,

gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan

berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek

samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

5) Parafrenia

Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),

lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat

membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau

menarik diri dari kegiatan sosial.

6) Sindroma Diogenes

Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat

mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-

main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak

teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang

kembali.

Menurut Nugroho (2000) dalam Siti Kholifah (2016) Perubahan Fisik

pada lansia adalah :

a) Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya

cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot,

ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya

mekanisme perbaikan sel.

b) Sistem Persyarafan

Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun,

berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra

sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan

pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih

sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah,

kurang sensitive terhadap sentuhan.

c) Sistem Penglihatan

Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih

suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul

sklerosis, daya membedakan warna menurun.

d) Sistem Pendengaran

Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi

suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-

kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani

menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

e) Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku karena kemampuan

jantung menurun 1% setiap tahun sesudah kita berumur 20 tahun,

sehingga pembuluh darah kehilangan sensitivitas dan elastisitas

pembuluh darah. Berkurangnya efektifitas pembuluh darah perifer


untuk oksigenasi, misalnya perubahan posisi dari tidur ke duduk

atau duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun

menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi, karena

meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.

f) Sistem pengaturan temperatur tubuh

Pengaturan suhu hipotalamus yang dianggap bekerja sebagai suatu

thermostat (menetapkan suatu suhu tertentu). Kemunduran terjadi

karena beberapa faktor yang mempengaruhi yang sering ditemukan

adalah temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil

dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi

aktifitas otot rendah.

g) Sistem Respirasi

Paru-paru kehilangan elastisitas, sehingga kapasitas residu

meningkat, mengakibatkan menarik nafas lebih berat, kapasitas

pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas menurun

pula. Selain itu, kemampuan batuk menurun (menurunnya aktifitas

silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, dan CO2 arteri tidak

berganti.

h) Sistem Gastrointestinal

Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun,

pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun,

waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul

konstipasi, fungsi absorbsi menurun.

i) Sistem urinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun

sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering

terjadi atrofi vulva, selaput lendir mengering, elastisitas jaringan

menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse

berefek pada seks sekunder.

j) Sistem Endokrin

Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH),

penurunan sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen,

progesterone, dan testoteron.

k) Sistem Kulit

Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses

keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya

elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari

menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan

fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.

l) Sistem Muskuloskeletal

Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan

pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon

mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga

gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.

C. KONSEP PERAN PERAWAT

1. Peran perawat

Peran perawat adalah untuk membantu individu sakit dan sehat dalam

kinerja aktivitas yang menunjang pada kesehatan dan penyembuhan atau

pemulihan. Dalam melaksanakan keperawatan, perawat mempunyai peran yang


diantaranya adalah pemberi asuhan keperawatan, sebagai advokat, sebagai

edukator, kolaborasi, konseling, peneliti dan pengambilan keputusan (Hidayat,

2012).

Perawat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas asuhan

keperawatan dan merupakan faktor yang paling menentukan dan untuk

tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal dengan asuhan keperawatan yang

bermutu. Manajemen keperawatan dilakukan dengan maksud untuk

mempermudah asuhan keperawatan sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja

dan kepuasan pasien selama di rumah sakit. Peranan perawat sangat penting

karena sebagai ujung tombak baik tidak mutu pelayanan kesehatan yang diberikan

kepada pasien. Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit dengan

dominan dan paling lama kontak atau berinteraksi dengan pasien. Sebagai perawat

profrsional , perawat tidak hanya mengelola orang tetapi sebuah proses secara

keseluruhan yang memungkinkan orang dapat menyelesaikan tugasnya dalam

memberikan asuhan keperawatan serta meningkatkan keadaan kesehatan pasien

menuju kearah kesembuhan (Nursalam, 2014).

Perawat profesional dalam memberikan pelayanan keperawatan adalah

harus dapat berkomunikasi dengan lengkap, adekuat dan cepat. Untuk menilai

kualitas pelayanan keperawatan diperlukan adanya standar praktek keperawatan

yang berpedoman bagi perawat dalam melkasanakan asuhan keperawatan yang

diwujudkan dalam bentuk proses keperawatan baik dari pengkajian sampai

evaluasi (Nursalam, 2011).

2. Klasifikasi Peran Perawat

Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan profesional memiliki peran sebagai

pemberi asuhan,pendidik, advokat klien, konselor, agen pengubah, pemimpin,


manajer, manajer kasus, serta peneliti dan pengembang praktik keperawatan

(Gangadharan, Narwal, & Gangadharan, 2017; Pasthikarini, Wahyuningsih, &

Richard, 2018). Adapun jenis-jenis peran perawat :

a. Perawat Perawat sebagai pendidik

Berperan dalam mengajarkan ilmu kepada individu, keluarga, masyarakat dan

tenaga kesehatan (Sudama, 2008) dalam Triyas,dkk (2018). Perawat

menjalankan perannya sebagai pendidik dalam upaya untuk meningkatkan

kesehatan melalui perilaku yang menunjang untuk kesehatnnya (Asmadi,

2008). Perawat sebagai pendidik harus mempunyai kemampuan untuk

mengkaji kekuatan dan akibat yang ditimbulkan dari pemberian informasi dan

perilaku yang diinginkan oleh individu (Nursalam, 2008) dalam triyas, dkk

(2018).

b. Care Giver atau Pemberi Asuhan Keperawatan

Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada pasien meliputi

pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi. Selain itu,

perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien,

melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan

kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi (Susanto, 2012);

c. Client Advocate atau Advokator

Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara antara pasien dengan

tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien dalam memahami informasi

yang didapatkan, membantu pasien dalam mengambil keputusan terkait

tindakan medis yang akan dilakukan serta memfasilitasi pasien dan keluarga

serta masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan yang optimal (Kusnanto,

2004) dalam Raditya,dkk (2013)


d. Change Agent atau Agen Pengubah

Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat suatu perubahan atau

inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung tercapainya kesehatan yang

optimal. Perawat mengubah cara pandang dan pola pikir pasien, keluarga,

maupun masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat

dapat tercapai (Susanto, 2012)

e. Peneliti

Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk menemukan

masalah, menerapkan konsep dan teori, mengembangkan penelitian yang telah

ada sehingga penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat untuk peningkatan

mutu asuhan dan pelayanan keperawatan (Susanto, 2012).

f. Consultant atau Konsultan

Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga dan masyarakat

dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan

oleh perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004) dalam Raditya,

dkk (2013)

g. Collaborator atau Kolaborasi

Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja sama dengan anggota

tim kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada klien (Susanto,

2012).

3. Pengertian Peran Perawat Edukator

Perawat sebagai edukator menolong meningkatkan kesehatan pasien dengan

membagikan pengetahuan terkait perawatan serta tindakan medis yang diterima

sehingga pasien ataupun keluarga sanggup membuat keputusan serta berupaya

untuk mengoptimalkan kemampuan hidup secara mandiri (Pertiwati, 2016).


Perawat sebagai petugas kesehatan memiliki peran sebagai edukator atau

pendidik. Sebagai seorang pendidik, perawat membantu klien mengenal kesehatan

dan prosedur asuhan keperawatan yang perlu mereka lakukan guna memulihkan

atau memelihara kesehatan tersebut (Kozier, 2010). Adanya informasi yang benar

dapat meningkatkan pengetahuan penderita hipertensi untuk melaksanakan pola

hidup sehat (Sustrani dalam Kurniapuri & Supadmi, 2015). Penelitian yang

dilakukan oleh Anggraeni (2013). Peran educator berperan membantu pasien

meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan tentang perawatan

dan tindakan medis yang diterima sehingga pasien atau keluarga dapat mengetahui

pengetahuan yang penting bagi pasien atau keluarga. Selain itu, perawat juga

dapat memberikan pendidikan kesehat-an kepada kelompok keluarga yang

berisiko, kader kesehatan, dan masyarakat (Kusnanto, 2004) dalam Iqonul, dkk

(2015).

Peran Edukator adalah peran yang dilakukan dengan membantu klien dalam

meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit, bahkan tindakan

yang akan diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah

dilakukan pendidikan kesehatan (Aziz, 2013). Perawat sebagai pendidik berperan

dalam mengajarkan ilmu kepada individu, keluarga, masyarakat dan tenaga

kesehatan (Sudama, 2008) dalam Triyas,dkk (2018) . Perawat menjalankan

perannya sebagai pendidik dalam upaya untuk meningkatkan kesehatan melalui

perilaku yang menunjang untuk kesehatnnya (Asmadi, 2008) dalam Triyas,dkk

(2018). Perawat sebagai pendidik harus mempunyai kemampuan untuk mengkaji

kekuatan dan akibat yang ditimbulkan dari pemberian informasi dan perilaku yang

diinginkan oleh individu (Nursalam, 2008) dalam Triyas, dkk (2018).


Edukasi merupakan sistem aktivitas yang bertujuan menghasilkan

pembelajaran. Proses ini dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan

pembelajaran yang spesifik (kozier, 2010). Perawat dalam menjalankan peran

edukator membantu pasien untuk meningkatkan kesehatannya melalui pemberian

pengetahuan terkait dengan keperawatan dan tindakan medis yang diterima

sehingga pasien atau keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal

yang diketahuinya (Doheny dalam Suryadi, 2013). Edukasi yang diberikan

perawat akan menambah pengetahuan klien tentang bagaimana perawatan dan

pengobatan terhadap penyakit yang diderita. Klien akan mengetahui cara terbaik

penatalaksanaan terhadap penyakit, sehingga kesadaran untuk patuh terhadap

perawatan dan pengobatan akan meningkat (Hadidi, 2015).

4. Tujuan Peran Perawat Edukator

Tujuan pendidikan atau pengajaran bagi pasien menurut Potter&Perry (2005)

dalam Raditya, dkk (2013) yaitu:

a. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sebagai upaya pencegahan penyakit

Upaya yang dilakukan perawat dalam mendidik atau mengajarkan pasien

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya dalam upaya pencegahan

penyakit diantaranya:

1) tindakan pertama dalam menghadapi kecelakaan

2) pencegahan faktor resiko

3) manajemen stres

4) pertumbuhan dan perkembangan

5) kebersihan

6) imunisasi

7) perawatan prenatal dan proses kelahiran normal


8) nutrisi

9) latihan

10) keamanan

11) pemeriksaan kesehatan

b. Perbaikan Kesehatan

Upaya yang dilakukan perawat dalam mendidik atau mengajarkan pasien

untuk memperbaiki kesehatannya diantaranya:

1) Penyakit atau Kondisi Pasien :

a) Anatomi dan fisiologi sistem tubuh yang terganggu

b) Penyebab penyakit

c) Sumber gejala

d) Dampak penyakit terhadap sistem tubuh yang lain

e) Prognosis

f) Keterbatasan fungsi

g) Rasionalisasi pengobatan

h) Medikasi

i) Terapi

j) Tindakan perawatan

k) Intervensi pembedahan.

2) Harapan selama perawatan

3) Lingkungan rumah sakit

4) Staf rumah sakit

5) Perawatan jangka panjang

6) Metode yang melibatkan pasien dalam perawatan

7) Keterbatasan yang dihasilkan dari penyakit.


c. Koping Terhadap Gangguan Fungsi Tubuh

Upaya yang dilakukan perawat dalam mendidik atau mengajarkan pasien

untuk meningkatkan koping terhadap gangguan fungsi tubuh diantaranya:

1) Perawatan Rumah

a) Medikasi

b) Terapi intravena

c) Diet

d) Aktivitas

e) Alat bantu.

2) Rehabilitasi Fungsi Tubuh

a) Terapi fisik

b) Terapi okupasi

c) Alat bicara.

3) Pencegahan Komplikasi

a) Pengetahuan tentang faktor resiko

b) Implikasi ketidakpatuhan terapi

c) Gangguan lingkungan.

d. Faktor Yang Menghambat Peran Perawat Pendidik

Faktor yang menghambat kemampuan perawat dalam menjalankan perannya

sebagai pendidik/educator antara lain (Bastable, 2002) dalam Raditya (2013) :

1) Kesiapan perawat dalam memberikan pengajaran

Banyak perawat dan tenaga kesehatan yang tidak siap untuk memberikan

pengajaran kepada pasien dan keluarganya. Adapun alasan perawat dan

tenaga kesehatan yang lain mengaku tidak siap dan tidak yakin dengan

keterampilan dan kemampuannya untuk mengajar. Menurut hasil


penelitian didapatkan hasil bahwa aktivitas pendidikan dan pengajaran

yang dilakukan oleh perawat kepada pasien dan keluarga yang merupakan

tanggungjawab perawat secara keseluruhan hasilnya tidak memuaskan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan perlunya memperkuat peran

perawat sebagai pendidik

2) Terjadi kesalahan fungsi akibat dari koordinasi dan delegasi yang tidak

tepat

Pemberi perawatan kesehatan biasanya memberi materi yang sama dalam

setiap pendidikan kesehatan akan tetapi terkadang para pemberi perawatan

tidak konsisten dalam memberikan pendidikan atau pengajaran. Kesalahan

koordinasi antar petugas kesehatan dan delegasi yang menyebabkan

pendidikan kesehatan tidak berjalan tepat waktu, dan tidak dibahas secara

mendalam

3) Karakter pribadi perawat pendidik

Karakter pribadi para petugas kesehatan termasuk perawat mempunyai

peran penting dalam menentukan hasil dalam proses pendidikan kesehatan.

Perawat yang mempunyai kesadaran pengajaran yang rendah dan kurang

keyakinan dalam pengajaran kepada pasien akan sangat berpengaruh

terhadap kemampuan pasien dalam mengatasi penyakitnya

4) Pendidikan pasien masih menjadi prioritas rendah

Penggunaan dana yang sedikit untuk pendidikan pada pasien dapat

menghambat pendidikan dan pengajaran pasien yang inovatif sehingga

pendidikan pada pasien hanya berjalan apa adanya

5) Kurangnya waktu pengajaran


Kurangnya waktu tenaga kesehatan termasuk perawat untuk mengajar

merupakan halangan utama yang sering muncul. Pasien yang hanya

dirawat dalam waktu yang singkat misalnya di ruang gawat darurat, rawat

jalan, atau rawat inap hanya beberapa hari, maka perawat harus tahu cara

menggunakan pendekatan yang singkat, efisien, dan tepat guna

memberikan pengajaran kepada pasien

6) Jenis sistem dokumentasi yang digunakan

Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus memiliki

dokumentasi yang jelas. Hal ini dikarenakan jenis sistem dokumentasi

yang digunakan oleh lembaga perawatan kesehatan akan mempengaruhi

kualitas dan kuantitas pendidikan dan pengajaran kesehatan pada pasien.

Pengajaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik formal maupun

informal seringkali dilakukan tanpa dicatat atau didokumentasikan karena

tidak adanya format pencatatan dan kurangnya perhatian pada

dokumentasi khusus untuk pendidikan pada pasien. Pencatatan yang tidak

dilakukan secara berkesinambungan akan menghalangi komunikasi yang

terjadi antara pemberi perawatan kesehatan mengenai apa yang telah

diajarkan.

e. Faktor Yang Mempengaruhi Pengajaran

Banyak faktor yang mempengaruhi pengajaran pada pasien. Perawat harus

menyadarinya karena waktu pengajaran kepada pasien hanya sedikit. Menurut

Kozier(2008) dalam Raditya, dkk (2013) , faktor yang dapat mempengaruhi

pengajaran yaitu:

1) Motivasi
Motivasi belajar adalah keinginan untuk belajar. Motivasi sangat

berpengaruh pada seberapa cepat dan seberapa banyak orang untuk belajar.

Motivasi terbesar adalah ketika seseorang menyadari adanya suatu

kebutuhan dan seseorang itu percaya bahwa kebutuhan tersebut dapat

dipenuhi melaluo pembelajaran

2) Kesiapan Kesiapan belajar

Demonstrasi perilaku atau isyarat yang mencerminkan motivasi peserta

didik dalam menerima pembelajaran. Kesiapan mencerminkan tidak hanya

keinginan untuk belajar tetapi juga kemampuan untuk belajar di waktu

tertentu

3) Keterlibatan secara aktif

Ketika peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran,

pembelajaran akan lebih memiliki arti. Peserta didik diharapkan aktif

berpartisipasi dalam perencanaan dan diskusi. Keterlibatan peserta didik

yang aktif akan membuat pembelajaran berjalan lebih cepat dan

memungkinkan peserta didik akan lebih efektif dalam mengatasi

masalahnya

4) Sesuai dengan kebutuhan

Pengetahuan dan kemampuan yang diajarkan harus sesuai dengan peserta

didik secara pribadi. Pasien akan belajar dengan mudah jika pasien

menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya.

Perawat harus memvalidasi kesesuaian belajar pasien di dalam

pembelajaran.

5) Umpan balik
Umpan balik adalah informasi mengenai kinerja orang untuk tujuan yang

diinginkan. Umpan balik harus bermakna bagi peserta didik. Umpan balik

yang menyertai praktek dalam kemampuan psikomotor akan membantu

peserta didik mempelajari kemampuan yang dimiliki

6) Pengulangan

Pengulangan adalah konsep kunci dan merupakan fakta bahwa

pengetahuan akan teretensi dengan baik dengan adanya pengulangan.

Mempraktekkan kemampuan psikomotor dengan adanya umpan balik dari

perawat akan meningkatkan kemampuan pasien

7) Waktu

Seseorang menyimpan informasi dan keterampilan psikomotor terbaik saat

waktu antara belajar dan penggunaan aktif pembelajaran yang pendek.

Ketika interval waktunya panjang akan mengakibatkan seseorang mudah

melupakan pembelajaran yang diberikan

8) Lingkungan

Lingkungan yang optimal dalam pembelajaran akan menciptakan

kenyamanan fisik dan psikologis. Lingkungan yang kondusif untuk

pembelajaran meliputi cahaya yang cukup, kenyamanan suhu dalam

ruangan, tidak ada suara yang mengganggu, dan ventilasi yang memadai

9) Emosi

Emosi seperti takut, marah, dan depresi dapat menghambat pembelajaran.

Pasien yang sedang mengalami kecemasan yang tinggi tidak akan mampu

untuk berkonsentrasi dalam pembelajaran

10) Keadaan fisik


Keadaan fisik seperti sakit kritis, nyeri, dan defisit sensorik akan

menghambat pembelajaran pada pasien. Hal ini dikarenakan pasien tidak

dapat berkonsentrasi, dan energi yang dimiliki pasien terfokus untuk

mengatasi rasa sakit yang sedang dialami

11) Aspek budaya

Aspek budaya yang dapat mempengaruhi pembelajaran adalah bahasa dan

nilai. Pasien terkadang tidak dapat memahami bahasa yang disampaikan

oleh perawat sehingga menghambat pembelajaran

5. Hubungan Peran Perawat Edukator Terhadap Tekanan Darah padaLansia

Hipertensi

Edukasi kesehatan merupakan hal penting dalam meningkatkan status

kesehatan. Salah satu factor penghambat dalam meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk mengontrol tekanan darah dan menurunkan kepatuhan penderita

meminum obat hipertensi antara lain rendahnya tingkat pengetahuan, pengaruh

budaya dan sedikitnya informasi kesehatan yang dimiliki. Pendidikan kesehatan

tidak hanya sebatas penyebaran informasi kesehatan tetapi juga membangkitkan

motivasi, skill dan rasa percaya diri seseorang dalam mengambil tindakan untuk

peningkatan kesehatan (WHO, 2012).

Menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi dalam kehidupan manusia

(menurut WHO 1999 dalam Azizah 2011). Menurut hasil penelitian Marfo (2014)

tentang pemahaman pada pengobatan dan modifikasi gaya hidup untuk

manajemen hipertensi, alasan-alasan yang dikemukakan oleh pasien untuk tidak

patuh pada modifikasi gaya hidup terkait dengan tidak mampu membeli buah-

buahan, kesulitan untuk latihan dan tidak dapat menghindari intake alkohol dan

sigaret. Perilaku gaya hidup tersebut perlu dicapai untuk meningkatkan kesehatan
individu, memelihara kualitas perawatan kesehatan yang baik, serta meningkatkan

kesehatan individu dan kualitas hidup.

Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang

hipertensi yaitu dengan dilakukan pendidikan kesehatan. Pendidikan merupakan

suatu upaya yang direncanakan untuk menyebarkan pesan, menanamkan

keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga

mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang diharapkan untuk meningkatkan

status kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan derajat

kesehatan, memaksimalkan fungsi dan peran penderita selama sakit, dan

membantu penderita dan keluarga mengatasi masalah kesehatan (Pratiwi, 2010).

Lansia sering terkena hipertensi disebabkan oleh kekakuan pada arteri

sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Selain itu penyebab hipertensi juga

disebabkan gaya hidup yang lebih penting lagi kemungkinan terjadinya

peningkatan tekanan darah tinggi karena bertambahnya usia lebih besar pada

orang yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung garam

(Jain, 2011). Hipertensi sering mengakibatkan keadaan yang berbahaya karena

sering tidak disadari dan sering tidak menimbulkan keluhan berarti sampai suatu

saat terjadi komplikasi, seperti risiko terserang stroke, gagal ginjal, penyakit

jantung dan serangan jantung (Bare & Smeltzer, 2002) dalam Methania dan

Suratini (2019). Hipertensi yang tidak ditangani dapat merusak organ seperti

jantung, otak, ginjal dan mata, dapat menimbulkan kematian premature,

menyebabkan ketidakmampuan seumur hidup dalam melakukan aktifitas (WHO,

2005) dalam Methania dan Suratini (2019). Penataksanaan hipertensi diperlukan

untuk mencegah keberlangsungan kerusakan organ target dalam waktu lama

sehingga menurunkan kesakitan dan kematian. Edukasi kesehatan merupakan hal


penting dalam meningkatkan status kesehatan. Salah satu factor penghambat,

dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah dan

menurunkan kepatuhan penderita meminum obat hipertensi antara lain rendahnya

tingkat pengetahuan, pengaruh budaya dan sedikitnya informasi kesehatan yang

dimiliki.

6. Kerangka Teori

1. Faktor-faktor yang Hipertensi


mempengaruhi Klasifikasi hipertensi :
terkontrolnya 1. Hipertensi
hipertensi : primer
a. Faktor resiko tidak 2. Hipertensi
dapat dikontrol sekunder
1) Keturunan Komplikasi pada
2) Jenis Kelamin Hipertensi
b. Faktor resiko yang
dapat dikontrol
1) Kegemukan
2) Konsumsi garam Pencegahan Hipertensi Penatalaksanaan
3) Kurang olahraga Hipertensi :
4) Konsumsi
alcohol 1. Terapi
5) Stress farmakologis
2. Terapi non
2. farmakologis
Peran Perawat
Edukator
Keterangan:

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 2.3

Sumber : Menurut Notoatmodjo, (2010), Pudiastuti, (2013), Gunawan (2001) dalam Diah
Pithaloka,dkk (2011), Anonim, (2009) dalam Ibrahim (2011), Dalimartha (2008) dalam Siti
Rohimah dan Eli Kurniasih (2015), Pertiwati (2016).

Anda mungkin juga menyukai