Anda di halaman 1dari 25

BAB I

KONSEP MEDIS

A. DEFINISI
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai

struma nodosa atau struma. Pembesaran pada tiroid yang

disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma nodosa

(Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap

membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.

Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal

(eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid

(hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon

(hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009).


Kebutuhan hormon tiroid meningkat pada masa

pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Pada

umumnya struma nodusa banyak terjadi pada remaja, wanita

hamil dan ibu menyusui. Struma nodusa terdapat dua jenis,

toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic merupakan

struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme

(Hermus& Huysmans, 2004).


Pada penyakit struma nodusa non toxic tiroid membesar

dengan lambat. Struma nodusa toxic ialah keadaan dimana

kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang

mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu

1
keadaan hipertiroid. Dampak struma nodusa terhadap tubuh

dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya.


Di bagian posterior

medial kelenjar tiroid

terdapat trakea dan

esophagus. Struma

nodusa dapat mengarah

ke dalam sehingga

mendorong trakea,

esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas

dan disfagia (Rehman, dkk 2006). Hal tersebut akan

berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi

serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan

memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak,

jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid merupakan organ kecil pada anterior leher

bagian bawah, di antara muskulus sternokleidomastoideus,

yang terdiri dari dua buah lobus lateral yang dihubungkan

oleh sebuah istmus (Price & Wilson, 2006). Kelenjar tiroid

terletak di leher, dibawah kartilago krikoid dan berbentuk

seperti huruf H (Sudoyo, 2009).

2
Menurut Newton, Hickey, &Marrs, (2009), kelenjar tiroid

terletak di pangkal leher di kedua sisi bagian bawah laring

dan bagian atas trakea. Panjang kelenjar tiroid kurang lebih 5

cm dengan lebar 3 cm dan berat sekitar 30 gram (Smeltzer,

Suzanne C. 2001).

Kelenjar tiroid yang dimiliki

wanita lebih besar dibanding

laki-laki (Seeley et al, 2007).

Kegiatan metabolik pada

kelenjar tiroid cukup tinggi,

ditandai dengan aliran darah

yang menuju kelenjar tiroid

sekitar 5 kali lebih besar dari

aliran darah ke dalam hati (Skandalakis, 2004).

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang

berbeda, yaitu tiroksin (T4), triiodotironin (T3) yang keduanya

disebut dengan satu nama, hormon tiroid dan kalsitonin.

Triiodotironin (T3) memiliki efek yang cepat dalam jaringan.

Dibutuhkan waktu 3 hari untuk T3 dan 11 hari bagi T4 dalam

mencapai titik puncak efek pada jaringan. Sehingga T3

merupakan bentuk aktif dari hormon tiroid (Black & Hawks,

2009). Pelepasan hormon tiroid T3 dan T4 distimulasi oleh

tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormon) yang

3
disekresi oleh kelenjar hipofisis (Braverman dkk, 2010).

Pengeluaran TSH diatur oleh TRH (Thyrotropin Releasing

Hormon) yang disekresikan oleh hipotalamus. Penurunan

suhu tubuh dapat meningkatkan sekresi TRH. Pengeluaran

TSH begantung pada kadar T3 dan T4 yang biasa disebut

sebagai pengendalian umpan balik atau feedback control.

Kalsitonin merupakan hormon penting lain yang disekresi

kelenjar tiroid yang tidak dikendalikan oleh TSH. Fungsi

kalsitonin adalah menjaga keseimbangan kadar kalsium

plasma dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium

pada tulang dan menurunkan reabsorpsi kalsium pada ginjal,

dengan demikian kadar kalsium plasma tidak menjadi tinggi

(Black & Hawks, 2009).

Yodium berperan penting dalam pembentukan hormon

tiroid (Brunner & Suddarth, 2002). Yodium yang telah

terserap dalam darah dari GI track akan diambil oleh kelenjar

tiroid dan akan dipekatkan dalam sel kelenjar tiroid. Molekul

yodium yang telah diambil akan bereaksi dengan tirosin

(asam amino) untuk membentuk hormon tiroid. Kelenjar tiroid

mengatur fungsi metabolisme tubuh, dimana tubuh

menghasilkan energi yang berasal dari nutrisi dan oksigen

yang mempengaruhi fungsi tubuh penting, seperti tingkat

kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013). Selain itu

4
kelenjar tiroid juga berfungsi meningkatkan kadar

karbohidrat, meningkatkan ukuran dan kepadatan

mitokondria, meningkatkan sintesis protein dan

meningkatkan pertumbuhan pada anak-anak. Sel-sel sasaran

untuk hormon tiroid adalah hampir semua sel di dalam tubuh.

Fungsi hormon tiroid antara lain (Black & Hawks, 2009) :

1. Merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan

meningkatkan metabolisme protein, lemak, dan

karbohidrat,
2. Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di sel

sasaran,
3. Meningkatkan responsivitas sel-sel sasaran terhadap

katekolamin sehingga meningkatkan frekuensi jantung.


4. Meningkatkan responsivitas emosi
5. Meningkatkan kecepatan depolarisasi otot rangka, yang

meningkatkan kecepatan kontraksi otot rangka.


6. Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan normal semua sel tubuh dan dibutuhkan

untuk fungsi hormon pertumbuhan

C. KLASIFIKASI
Struma nodusa dapat diklasifikasikan berdasarkan

beberapa hal, di antaranya yaitu (Roy, 2011) :


1) Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu

disebut struma nodusa soliter (uninodusa) dan bila lebih

dari satu disebut struma multinodosa.

5
2) Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif,

ada tiga bentuk nodul tiroid yaitu nodul dingin, hangat,

dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan yodium

tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian tiroid

sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas yang rendah.

Nodul hangat apabila penangkapan yodium sama dengan

sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian

tiroid lainnya. Dan nodul panas bila penangkapan yodium

lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan

aktivitas yang berlebih.


3) Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat

keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski,

2002):

a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan


b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan,terlihat jika kepala

ditegakkan
c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (Rehman, dkk, 2006) :

a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada

kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid

6
yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis

menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma

nodosa atau struma semacam ini biasanya tidak

menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang

jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan

kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional

kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi

berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk

mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.

Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang

mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid

akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat

destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam

sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat

badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit

berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,

rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran

terganggu dan penurunan kemampuan bicara.


c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat

didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh

terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang

berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya

7
sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar

tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang

berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.

Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun,

nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan,

lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga

terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada

tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare,

haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat

dibedakan menjadi (Tonacchera, dkk, 2009).

1. Struma nodosa toxic


Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu

struma nodosa diffusa toxic dan struma nodosa nodusa

toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada

perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa

diffusa toxic akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika

tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan

memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu

atau lebih benjolan (struma nodosa multinodular toxic).


Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis)

merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh

dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam

darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave

8
(gondok eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk

tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara

hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak

disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama

berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH

beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor

tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.


2. Struma nodusa non toxic
Struma nodusa non toxic sama halnya dengan

struma nodosa toxic yang dibagi menjadi struma nodusa

diffusa non toxic dan struma nodusa nodusa non toxic.

Struma nodusa non toxic disebabkan oleh kekurangan

yodium yang kronik. Struma nodosa ini disebut sebagai

simpel struma nodusa, struma nodusa endemik, atau

struma nodosa koloid yang sering ditemukan di daerah

yang air minumya kurang sekali mengandung yodium

dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat

kimia.

D. ETIOLOGI
Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan

yodium (Black and Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat

menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Hal

tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam

jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel

9
tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar ke

dalam folikel, dan kelenjar menjadi bertambah besar.

Penyebab lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak

metabolisme yodium, konsumsi goitrogen yang tinggi (yang

terdapat pada obat, agen lingkungan, makanan, sayuran),

kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan hormonal dan

riwayat radiasi pada kepala dan leher (Sudoyo, 2009).


Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma

nodosa non toxic adalah respon dari sel-sel folikular tiroid

yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada tiap individu.

Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel

dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor

perumbuhan lain (IGF dan EGF) sangat bervariasi. Terdapat

sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa stimulasi TSH

dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi.

Selsel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang

sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini

tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga

akan tumbuh nodul-nodul.

E. PATOFISIOLOGI
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh

untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung

yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi darah dan

ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar,

10
yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang

distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH)

kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi

pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul

diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul

triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan

umpan balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung

pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon

metabolik yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka

tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran

folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat

bertambah berat sekitar 300-500 gram.


Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis,

pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat

sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik

negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis.

Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan

berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena

pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi

besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar

penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan

strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa

11
tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian

depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan

trakea bila pembesarannya bilateral.

F. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak

memiliki gejala sama sekali. Jika struma cukup besar, akan

menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan

pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi

gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung menjadi

berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca

dingin, dan kelelahan. Beberapa diantaranya mengeluh

adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa tidak

nyaman di area leher, dan suara yang serak.


Pemeriksaan fisik struma nodosa non toxic berfokus pada

inspeksi dan palpasi leher untuk menentukan ukuran dan

bentuk nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang

berada di depan penderita yang berada pada posisi duduk

dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika

terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan

beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul,

bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien

diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan

pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana

pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi.

12
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid

dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk

penderita. Struma nodosa tidak termasuk kanker tiroid, tapi

tujuan utama dari evaluasi klinis adalah untuk meminimalkan

risiko terhadap kanker tiroid.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodusa antara lain

(Tonacchera, dkk. 2009) yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.
Nilai normal :
a) T4 serum : 4.9 – 12.0 µg/dL
b) Tiroksin bebas : 0.5 – 2.8 µg/dL
c) T3 serum : 115 - 190 µg/dL
d) TSH serum : 0.5 – 4 µg/dL
e) FT1 serum : 6.4 - 10 %
2. Pemeriksaan radiologi.
a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea,

atau pembesaran struma yang pada umumnya secara

klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada leher lateral

diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas.


b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :
1) Untuk menentukan jumlah nodul.
2) Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan

kistik.
3) Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.
4) Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid

residif yang tidak menangkap yodium, dan tidak

terlihat dengan sidik tiroid.


5) Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid

yang akan dilakukan biopsi terarah.

13
6) Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan

radioisotop adalah tentang ukuran, bentuk, lokasi

dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.


3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy).

Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang

mencurigakan suatu keganasan.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma,

selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker

tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk

menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon

tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi

hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi

pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid)

yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan

metimasol/karbimasol.
b. Terapi Yodium Radioaktif .
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis

yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan

ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka

pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok

sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul

14
dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran

terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak

meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan

genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk

kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,

obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah

operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.


2. Penatalaksanaan operatif
a. Tiroidektomi
Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk

mengangkat kelenjar tiroid adalah tiroidektomi, meliputi

subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan

menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar

tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu

pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus

(Sudoyo, A., dkk., 2009). Tiroidektomi merupakan

prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas

kurang dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis

tiroidektomi, yaitu :
1) Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian

atas atau bawah satu lobus


2) Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
3) Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu

pengangkatan satu lobus dan istmus


4) Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu

lobus, istmus dan sebagian besar lobus lainnya.

15
5) Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh

kelenjar.
6) Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan

seluruh kelenjar dan kelenjar limfatik servikal.

I. KOMPLIKASI
Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi,

termasuk tiroidektomi. Komplikasi pasca operasi utama yang

berhubungan dengan cedera berulang pada saraf laring

superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan

eksisi sengaja dari satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat

menyebabkan hipoparatiroidisme dan hipokalsemia, yang

dapat bersifat sementara atau permanen. Pemeriksaan yang

teliti tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid

yang adekuat sangat penting untuk menghindari komplikasi

ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat ditoleransi dengan

baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal.


Komplikasi lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi

adalah perdarahan, thyrotoxic strom, edema pada laring,

pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan

syaraf laringeus reccurens, dan hipotiroidisme (sudoyo,

2009). Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan

hipotiroidisme, yaitu suatu keadaan terjadinya kegagalan

kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon dalam jumlah

adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu, cepat

16
lelah, kulit kering dan kasar, produksi keringat berkurang,

serta kulit terlihat pucat. Tanda-tanda yang harus diobservasi

pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang ditandai dengan

adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan

kaki, dan kedutan otot pada area wajah.


Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya

penggantian kalsium dalam tubuh. Komplikasi lain yang

mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus

reccurens yang menyebabkan suara serak. Jika dilakukan

tiroidektomi total, pasien perlu diberikan informasi mengenai

obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium levotiroksin

(Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini

harus diminum selamanya.


Selain itu, Komplikasi secara umum yang dapat terjadi

pada penderita struma nodusa diantaranya yaitu :


1. Suara menjadi serak/parau
Struma dapat mengarah kedalam sehingga mendorong

pita suara, sehingga terdapat penekanan pada pita

suara yang menyebabkan suara menjadi serak atau

parau.
2. Perubahan bentuk leher
Jika terjadi pembesaran keluar maka akan memberi

bentuk leher yang besar dapat simetris atau tidak.


3. Disfagia
Dibagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat

trachea dan eshopagus, jika struma mendorong

eshopagus sehingga terjadi disfagia yang akan

17
berdampak pada gangguan pemenuhan nutrisi, cairan,

dan elektrolit.
4. Sulit bernapas
Dibagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat

trachea dan eshopagus, jika struma mendorong

trachea sehingga terjadi kesulitan bernapas yang akan

berdampak pada gangguan pemenuhan oksigen.


5. Penyakit jantung hipertiroid
Gangguan pada jantung terjadi akibat dari

perangsangan berlebihan pada jantung oleh hormon

tiroid dan menyebabkan kontratilitas jantung meningkat

dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika

menghebat. Pada pasien yang berumur di atas 50

tahun, akan lebih cenderung mendapat komplikasi

payah jantung.
6. Oftalmopati Graves
Oftalmopati Graves seperti eksoftalmus, penonjolan

mata dengan diplopia, aliran air mata yang berlebihan,

dan peningkatan fotofobia dapat mengganggu kualitas

hidup pasien sehinggakan aktivitas rutin pasien

terganggu.
7. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama

kulit di bagian atas tibia bagian bawah (miksedema

pretibia), yang disebabkan penumpukan

glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak

dapat dicubit.

18
19
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam

proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data

atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah

kesehatan yang dihadapi pasien. Adapun pengkajian pada

pasien struma yakni :


1. Identitas klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku bangsa
e. Pekerjaan
f. Pendidikan
g. Alamat
h. Tanggal masuk RS.
i. Diagnosis
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan klien sebelum MRS dan saat MRS.

Biasanya klien mengeluh sesak nafas, sulit menelan, dan

tidak nafsu makan


3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Bagaimana serangan itu timbul, lokasi, kualitas, dan

faktor yang mempengaruhi dan memperberat keluhan

sehingga dibawa ke Rumah Sakit.


b. Riwayat kesehatan dahulu
Megkaji apakah klien pernah sakit seperti yang

dirasakan sekarang dan apakah pernah menderita

20
hipertensi atau penyakit keturunan lainnya yang dapat

mempengaruhi proses penyembuhan klien.


c. Riwayat kesehatan keluarga
Gambaran mengenai kesehatan keluarga dan adakah

penyakit keturunan atau menular.


4. Pola- pola fungsi kesehatan
a. Pola pesepsi dan tata laksana hidup sehat
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan

kesehatan sehingga dapat menimbulkan perawatan diri.


b. Pola nutrisi dan metabolism
Terjadi gangguan nutrisi karena klien merasakan adanya

sumbatan pada daerah lehe, sehingga tidak toleran

terhadap makanan dan klien selalu ingin muntah.


c. Pola eliminasi
Terjadi gangguan karena klien tidak toleran terhadap

makanan sehingga terjadi konstipasi.


d. Pola aktivitas dan latihan
Akan terjadi kelemahan dan kelelahan.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Tidak terjadi gangguan / perubahan dalam diri klien.
f. Pola sensori dan kognitif
g. Pola reproduksi dan seksual
Tidak terjadi gangguan dalam pola reproduksi dan

seksual.
h. Pola hubungan peran
Kemungkinan akan terjadi perubahan peran selama

klien sakit sehubungan dengan proses penyakitnya.


i. Pola penanggulangan stress
Bagaimana cara klien mengatasi masalahnya baik

sebelum operasi maupun stelah operasi


j. Pola tata nilai dan kepercayaan
Tidak terjadi gangguan pada pola tata nilai dan

kepercayaan.
5. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum

21
Akan terjadi nyeri perut yang hebat, akibat proses

penyakitnya.
b. Sistem respirasi
Sesuai dengan derajat nyerinya, jika nyerinya ringan

kemungkinan tidak terjadi sesak tapi jika derajat

nyerinya hebat/ meninggi akan terjadi sesak.


c. Sistem kardiovaskuler
Bisa terjadi takikardi, bradikardi dan disritmia atau

penyakit jantung lainnya.


d. Sistem persyarafan
Nyeri abdomen, pusing/sakit kepala karena sinar.
e. Sistem gastrointestinal.
Pada sistem gastrointestinal didapatkan intoleran

terhadap makanan / nafsu makan berkurang, muntah.


f. Sistem genitourinaria/eliminasi
Terjadi konstipasi akibat intoleransi terhadap makanan

atau ditemukan adanya berak darah.


Pengkajian dapat dilakukan melalui wawancara, observasi,

dan pemeriksaan fisik persistem meliputi :


1. Aktivitas/istirahat : insomnia, otot lemah, gangguan

koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.


2. Eliminasi : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam

faeces, diare.
3. Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik

emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.


4. Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak,

nafsu makan berkurang, kehausan, mual dan muntah,

pembesaran tyroid, goiter.


5. Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.
6. Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea,

dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).

22
7. Keamanan : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang

berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan

pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,4 C,

diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut

tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi

pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering

terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.


8. Seksualitas : libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak

sama sekali, impotensi.


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan Jalan Napas berhubungan

dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan

spasme laringeal
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi
partial mekanik
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan adanya

obstruksi trakkeofaringeal
4. Nyeri Akut berhubungan dengan proses penyakit

(pembesaran kelenjar tiroid) dan terputusnya kontuinitas

jaringan, tindakan invasif pembedahan


5. Gangguan menelan berhubungan dengan obstruksi partial

mekanik (Pembengkakan/ edema kelenjar tiroid)


6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan disfagia


7. Ansietas/Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasif

pembedahan
8. Resiko Infeksi berhubungan dengan luka insisi

pembedahan dan proses tindakan invasif

23
24
DAFTAR PUSTAKA

Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit

Dalam. Volume Edisi 13. Jakarta: EGC

Daniel, Widjaya. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Graha

Ilmu

Nurarif, A. H. dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC jilid 2.

Yogyakarta : MediAction Publishing

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi konsep

klinis proses proses penyakit edisi 6. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo,

dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC

Sudoyo, dkk. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V.

Jakarta : Interna Publishing.

Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of

nodular goiter. Journal of best practice & research

clinical endocrinology and metabolism. Pisa : Elsevier.

Wilkinson, Judith M. 2016. Diagnosis keperawatan diagnosis

NANDA-I, Intervensi NIC, Hasil NOC Ed. 10. Jakarta: EGC

25

Anda mungkin juga menyukai