Anda di halaman 1dari 16

Nama : Syahrul Samad

NIM : C011181027
Kelas :A

Skenario :
Seorang anak perempuan berumur 8 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan lesu.
Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak mempunyai keinginan belajar
dan bermain. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 8 bulan yang lalu sejak pulang dari
berlibur di kampungnya di Kabupaten Mamuju selama 1 bulan.

1. Mengidentifikasi kata kunci dan mendefinisikan kata-kata sulit pada skenario


diatas
a. Kata kunci :
 Lesu
 Penurunan nafsu makan
 Keinginan belajar dan bermain tidak ada
 Riwayat berlibur ke mamuju 8 bulan yang lalu
b. Kata sulit
 Lesu : Menurut KBBI lesu adalah kurangnya semangat, ada rasa lemah
dan lelah
2. Memahami patomekanisme umum terjadinya lesu
Secara umum, lesu dapat disebabkan oleh dua hal yaitu oleh karena adanya reaksi
peradangan dalam tubuh dan adanya parasit dalam darah. Proses peradangan yang
disebabkan oleh adanya zat toksik, iritasi mekanis, atau bahan-bahan parasit yang mati
dapat menimbulkan pelepasan sitokin pro inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF α.
Dimana mediator radang ini akan mengeksitasi daerah peka glukosa, atau terjadi
hiperaktifitas glukosa, sehingga glukosa yang dihasilkan akan memberikan asupan pada
otak sehingga rasa lapar tidak ada dan nafsu makan menjadi menurun, akibatnya intake
nutrisi juga semakin berkurang sehingga terjadi lesu. Kedua oleh karena adanya parasit
yang hidup dalam darah yang mengonsumsi nutrisi dan O2 yang seharusnya digunakan
tubuh sehingga mengalami malnutrisi dan hipoksia jaringan atau juga karena parasit
menginfeksi dan hidup dalam darah sehingga darah menjadi rusak dan terjadi anemia.
Anemia menyebabkan penurunan supply nutrisi dan makanan ke seluruh tubuh sehingga
terjadi lesu
3. Mengidentifikasi penyakit tropis yang dapat mengakibatkan lesu (diagnosis dan
differensial diagnosis) dan organisme penyebabnya masing-masing
a. Malaria
Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu: Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan
Plasmodium knowlesi, Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak
dilaporkan di Indonesia.
b. Demam Tifoid
Demam tifoid adalah infeksi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhii. Biasanya menyebar melalui makanan atau air yang
terkontaminasi. Setelah bakteri Salmonella typhii dimakan atau diminum, mereka
berkembang biak dan menyebar ke aliran darah.
c. Ascariasis
Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris
lumbricoides biasa disebut “round worm of man ” yaitu suatu penyakit parasit
usus pada manusia yang terbesar, disebut juga cacing gelang. Penyebarannya luas
dan merata di daerah tropik, sub-tropik dan lebih banyak ditemukan di daerah
pinggiran dibandingkan di kota. Cacing ini hidup di rongga usus halus. Di
Indonesia, penderita Askariasis didominasi oleh anak-anak.
d. Infeksi Cacing Tambang
Apabila disebabkan oleh Necator americanus, maka penyakitnya disebut
Necatoriasis. Bila penyebabnya Ancylostoma duodenale, penyakitnya disebut
Ancylostomiasis. Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di
tempat lain dengan keadaan yang sesuai. Perbedaan antara kedua cacing ini
adalah pada suhu optimum yang dibutuhkan untuk bertumbuh. Untuk N.
Americanus adalah 28⁰C - 32⁰C dan untuk A. Duodenale sedikit lebih rendah :
23⁰C - 25⁰C. Inilah sebab mengapa N. Americanus lebih banyak ditemukan di
Indonesia daripada A. duodenale.
4. Menjelaskan mekanisme bagaimana penyakit penyakit tropis diatas (no.2)
menyebabkan lesu dan gejala klinik yang timbul selain lesu.
a. Malaria

Skema berikut menjelaskan bagaimana bisa terjadi beberapa gejala yang


disebabkan oleh malaria khusus untuk terjadinya lesu itu bisa karena adanya
kondisi anemia pada seseorang sehingga darah tidak bisa berfungsi optimal untuk
mengedarkan oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh. Kondisi anemia pada kasus
malaria dimulai ketika parasit tersebut menginfeksi darah dan bereplikasi di
dalam eritrosit, selama beberapa hari sporozoit akan berubah menjada merozoit
dan dikeluarkan melalui sel eritrosit untuk menginfeksi sel lain tetapi diikuti oleh
hemolisis eritrosit
b. Demam Tifoid
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau air yang
terkontaminasi, kemudian akan menuju usus. Semua spesies Salmonella yang
bersifat pathogen, akan difagositosis saat ada di usus, yang kemudian membawa
patogen menembus mukosa menuju ke makrofag di lamina propria. Kompleks
TLR-5 dan TLR-4/MD2/CD-14 membantu makrofag mengenali pola molekuler
dari patogen (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida. Makrofag dan sel
epithelial usus kemudian menarik sel T dan neutrofil dengan IL-8 menyebabkan
peradangan dan menghambat infeksi. Salmonella thypoid menggunakan makrofag
sebagai alat reproduksi mereka dan makrofag juga membawa Salmonella thypoid
melewati nodus limfatikus mesenterik ke jaringan reticuloendotelial hati, lien,
sum-sum tulang, dan nodus limfatikus. Kemudian Salmonella thypoid
berkembang biak dan menginduksi terjadinya apoptosis dari makrofag dan
akhirnya keluar ke aliran darah dan tersebar ke seluruh tubuh.
c. Ascariasis
Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi
cacing ini. Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala dari infeksi ini
(asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor didalam tubuh manusia
sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya
cacing dewasa bersama dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa
dimulai dari gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti
sesak nafas dan perdarahan. Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis
berdasarkan migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:
1. Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides
Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru penderita akan membuat
perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan batuk dan demam.
Pada foto thorak penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi
pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang disebut sebagai sindrom
Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu 3 minggu.
2. Gejala akibat cacing dewasa Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala
utamanya berasal dari dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain
atau perforasi ke dalam peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal dilipatan
mukosa usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan
sakit perut.
Perforasi cacing dewasa A. lumbricoides ke dalam peritoneum biasanya menuju
ke umbilikus pada anak sedangkan pada dewasa mengarah ke inguinal. Cacing
dewasa A. lumbricoides juga dapat menyebabkan obstruksi diberbagai tempat
termasuk didaerah apendiks (terjadi apendisitis), di ampula vateri (terjadi
pancreatitis haemoragis), dan di duktus choleduchus terjadi cholesistitis. Anak
yang menderita Ascariasis akan mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi
yang disebabkan oleh cacing dewasa. A. lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8
gram karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga pada anak-anak dapat
memperlihatkan gejala berupa perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang.
Penderita Ascariasis juga dapat mengalami alergi yang berhubungan dengan
pelepasan antigen oleh A. lumbricoides dalam darah dan kemudian merangsang
sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa asma
bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler.
d. Infeksi Cacing Tambang
Stadium larva (Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit,
maka terjadi perubahan kulit yang disebut grown itch. Perubahan pada paru
biasanya ringan).
Stadium dewasa (Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom
mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang
menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi
daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun).
Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus),
mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi
lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit.
Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun
diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut
tentunya tergantung pada keadaan gizi pasien.
5. Menjelaskan anamnesis tambahan yang diperlukan selain yang terdapat pada
skenario untuk memastikan kemungkinan penyakit penyakit tersebut diatas
● Apakah gejala terasa terus menerus selama 8 bulan?
● Faktor yang memperberat dan memperingan gejala?
● Gejala lain yang dirasakan? Apakah ada demam, diare, sesak dan lain-lain?
● Apakah pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya?
● Bagaimana riwayat penyakit terdahulu?
● Bagaimana riwayat penyakit keluarga?
● Bagaimana riwayat pengobatan selama 8 bulan terakhir?
● Bagaimana kebiasaan sehari-hari seperti pola makan dan kebiasaan lain?
● Apa pekerjaan sehari-harinya?
● Apakah pernah merasakan gatal pada telapak kaki misalnya?
● Bagaimana dengan kebiasaan anak memakai sendal di luar rumah?

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan beserta interpretasinya


Untuk memastikan diagnosis penyakit-penyakit tersebut
a. Malaria
1) Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/ rumah
sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.
2) Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu
dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan
RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi pengobatan
b. Demam Tifoid
1) Kultur
Sampai saat ini gold standard diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada
demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih
terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan
pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja
(sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum
tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan
sulit dilakukan dalam praktek.
2) Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu
5–7 hari.In-flagelin PCR terhadap S.typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%.Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen
spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik
cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC)
dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari
spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%). Sampai saat ini,
pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian.

3) Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari
ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi
pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi
beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas
dan spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan,
bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif
demam tifoid. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas
83%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi
silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae
lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi
reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena teknik
pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat. Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja
tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam
tifoid baru dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2
minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal
memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji
diagnostik tunggal.
c. Ascariasis
Untuk melihat telur cacing atau cacing yang terdapat di feses Pada Ascariasis
selama fase pulmonal akan ditemukan eosinophilia. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan cacing atau telur cacing pada tinja atau karena cacing dewasa keluar
tubuh dan ditemukan dalam tinja. Menurut WHO infeksi berat bila ditemukan
>50.000 telur/gram feses, eosinophil meningkat adalah tanda adanya suatu
penyakit yang disebabkan oleh parasit, juga disebabkan oleh adanya reaksi
sensitifitas.
➢ Pemeriksaan makroskopis : Tinja dan muntahan untuk menemukan bentuk
cacing dewasa.
➢ Pemeriksaan mikroskopis : Tinja dan cairan empedu untuk menemukan betuk
telur dari cacing ascariasis lumbricoides.
➢ Pemeriksaan laboratorium : Apusan darah tepi akan mendapatkan eosinophil
yangmelebihi batas normal dan scrath tes (+).
➢ Pemeriksaan radiologi : Barium (ektopik)
d. Infeksi Cacing Tambang
Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a)
eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto
toraks dan d) peningkatan kadar IgE. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi
formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan
ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang
dapat membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper
strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara
infeksi larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing strongyloides
stercoralis. Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing
tambang di dalam tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa ditemukan dalam
sputum. Kadang-kadang terdapat darah dalam tinja.

7. Menjelaskan penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik untuk setiap


penyakit diatas
a. Malaria
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI
1) Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT ditambah
primakuin.
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin
untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis
0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg
/kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan.
2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan regimen ACT
yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambah
dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk
malaria vivaks.
4) Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari, dengan
dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin
5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta
primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.
b. Demam Tifoid
1) Terapi Farmakologis
Saat ini, ciprofloxacin atau ofloxacin telah menjadi pengobatan andalan.
Terlepas dari risiko yang terkait dengan terapi kuinolon pada anak-anak, obat
ini dapat digunakan untuk infeksi yang parah atau jika terapi alternatif tidak
tersedia. Ketika resistensi terhadap kuinolon teridentifikasi, cefalosporin
spektrum luas seperti ceftriaxon dapat digunakan. Pilihan lain untuk mereka
yang terinfeksi dengan strain Salmonella enterica serovar typhii yang resisten
kuinolon adalah azitromisin. Terapi kombinasi fluoroquinolones, cefalosporin
dan makrolida telah digunakan pada mereka yang gagal merespon terapi
standar.
2) Terapi Non Farmakologis
 Tirah baring (Bed Rest)
Tirah baring (bed rest) dilakukan pada pasien yang membutuhkan
perawatan akibat sebuah penyakit atau kondisi tertentu dan merupakan
upaya mengurangi aktivitas yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
buruk. Petunjuk dari dokter akan diberikan berupa apa saja yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama bed rest. Semua itu
tergantung pada penyakit yang diderita pasien. Ada yang hanya diminta
untuk mengurangi aktivitas, ada yang memang benar – benar harus
beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas apapun.
Tirah baring (bed rest) direkomendasikan bagi pasien demam tifoid untuk
mencegah komplikasi perforasi usus atau perdarahan usus. Mobilisasi
harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 Diet rendah serat
 Menjaga kebersihan
 Rajin cuci tangan, tidak jajan sembarangan
c. Ascariasis
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang
baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa
melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus
terjadi migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi
multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam
dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang
dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel
pamoat dan mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius
vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan
dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg
piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
d. Infeksi Cacing Tambang

Obat pilihan I Obat pilihan II

1) Mebendazol Albendazol
Dosis : 2 kali 100 mg selama 3 Dosis : dosis tunggal 400
hari mg
2) Pirantel pamoat
Dosis :
- A.duodenale: dosis tunggal 10
mg/kgBB
- N.americanus : sda, selama 3 hari

8. Menjelaskan pencegahan dan cara pemutusan rantai penularan


a. Malaria
Upaya pencegahan malaria adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap
risiko malaria, mencegah gigitan nyamuk, pengendalian vektor dan
kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan
menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kawat kasa nyamuk dan lainlain.
Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah doksisiklin dengan dosis
100mg/hari. Obat ini diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di
daerah tersebut sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu
hamil dan anak dibawah umur 8 tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6
bulan.
b. Demam Tifoid
Pencegahan demam Typhoid diupayakan melalui berbagai cara umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene
dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan
insidensi demam Typhoid (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan
sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan.
c. Ascariasis
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti
• Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
• Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
• Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Karena telur cacing
Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun, pencegahan dan
pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah
endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus
hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk
d. Infeksi Cacing Tambang
Infeksi cacing tambang bisa dicegah dengan tidak menyentuh tanah secara
langsung, dan menggunakan alas kaki jika berkunjung kedaerah endemic cacing
tambang. Selain itu, membersihan makanan dan sayuran yang akan dikonsumsi
juga bias membantu menghindari infeksi parasit ini. Mencuci tangan sebelum
makan dan mengonsumsi air siap minum yang bersih atau matang juga diperlukan
untuk mencegah penyebaran cacing tambang.

9. Membuat table asosiasi untuk kata kunci (row) dan penyakit (kolom): tanda positif
bila yakin berasosiasi, tanda negative bila yakin tidak berasosiasi dan tanda positive
negative jika asosiasi mungkin ada mungkin tidak

Kata Kunci Malaria Demam Ascariasis Infeksi Cacing


Tifoid Tambang

Anak perempuan, 8 tahun + + + +

Keluhan lesu + + + +

Penurunan nafsu makan + + + +

Tidak mempunyai keinginan + + - +


belajar dan bermain

Dialami sejak 8 bulan yang + - - -


lalu

Pernah berlibur di Kab. + +/- +/- +/-


Mamuju selama 1 bulan
DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online

United States Library of Medicine.Malaise.12 Juli 2012

WHO.Typhoid. January 2018. Retrieved on : https://www.who.int/news-room/fact-


sheets/detail/typhoid.

Raffatellu M, Chessa D, Wilson RP, Tükel C, Akçelik M, Bäumler AJ. Capsule-mediated


immune evasion: a new hypothesis explaining aspects of typhoid fever pathogenesis. Infect
Immun. 2006 Jan. 74(1):19-27. [Medline].

Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al. Typhoid fever. N Engl J Med. 2002 Nov 28. 347(22):1770-
82. [Medline].

Ramsden AE, Mota LJ, Münter S, Shorte SL, Holden DW. The SPI-2 type III secretion system
restricts motility of Salmonella-containing vacuoles. Cell Microbiol. 2007 Oct. 9(10):2517-29.
[Medline].

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid.2016

Rahmasari, Vani dan Lestari, Keri. REVIEW: Manajemen Terapi Demam Tifoid: Kajian Terapi
Farmakologis dan Non Farmakologis.2018

Darmowandowo W. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit
Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI. 2006

Kaur, P. et al. (2017) ‘Malaria: A Cause of Anemia and Its Effect on Pregnancy’, World Journal
of Anemia, 1(2), pp. 51–62. doi: 10.5005/jp-journals-10065-0012.
Kemetenterian Kesehatan Republik Indonesia (2017) ‘Buku Saku Pelanatalaksanaan Kasus
Malaria’, Jurnal Ekologi Kesehatan, 13(3 Sep), pp. 201-209–209. Available at:
https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/bukusaku_malaria.pdf.
Staf pengajar Departemen parasitologi, FKUI, jakarta. Buku ajar Parasitologi kedokteran, FK-
UI . 2008. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Departemen Farmakologi dan terapeutik, FKUI.Farmakologi dan Terapi, ed. 5 (cetak ulang dan
perbaikan). 2009. Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Widoyono. Penyakit Tropis. 2006. Penerbit Erlangga: Jakarta

Rasmaliah. Askariasis sebagai penyakit cacing yang perlu diingat kembali. Epidemiologi FKM-
USU. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 23 Agustus 2021

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K),MARS ( Direktur jendral pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan (P2PL) kementrian kesehatan). Penyakit kecacingan Masih dianggap
sepele. www. depkes.go.id . Diakses tanggal 23 Agustus 2021

USU repository open Acces: Hubungan Antara Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Askariasis Pada Anak SD Negeri 068426 Belawan.

Charles D garuh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Pengaruh Infeksi Cacing Usus
yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari
Pediatric. vol 8, (11) 2006 112-117.

Yuni Rahmawati, Syifa Mustika, Harijono Ahmad Case Report: Loeffler's Syndrome and
Duodenal Necatoriasis. Jurnal Brawijaya. vol.28 no 1, februari 2014

Anda mungkin juga menyukai