Anda di halaman 1dari 4

 Seandainya ada hal penting yang lebih menarik bagi manusia selain harta, tahta dan

wanita. Akankah manusia berani beralih kepadanya? Hal tersebut tentu saja sama ketika kita
mencoba mengimani sesuatu hal selain kepada Tuhan. Dalam kesempatan ini, kita mencoba
menganalisa suatu sikap serta sifat yang mutakhir dalam kerangka pemikiran yang terbuka dan
apa adanya. Bukan berarti kita mencoba mengguncang keutuhan dari sebuah bangunan yang
telah mapan dan beralih kepada sesuatu yang menurut logika bertentangan. Justru, kehadiran
suatu dialektika berguna untuk memantapkan sebuah diskursus untuk menambahkan atau
mengurangi kemapanan sebuah kepercayaan yang telah lama tertanam. 
Ketika kondisi dunia yang kita lihat dan rasakan saat ini begitu timpang. Maka adalah tugas suci
bagi kita untuk mencarikan solusinya. Pencarian solusi terhadap berbagai permasalahan yang
kita rasakan adalah ikhtiar yang menjadi tugas dari kita sebagai manusia. Manusia dalam hakikat
yang sesungguhnya adalah mahluk Tuhan yang berkuasa yang dibekali dengan akal dan pikiran.
Akal tersebut digunakan untuk membedakan mana yang ’baik’ dan mana yang ’salah’. Mana
yang sesuai dengan kebutuhan dan mana yang menjadi prioritas terbelakang. Fungsi akal inilah
yang membedakan manusia dengan binatang. Jika binatang bergerak karena instiusi insting yang
bersandarkan kepada nafsu, maka manusia dalam setiap gerak dan langkahnya selalu dilandasi
pada akal dan pikiran. Yaitu pikiran untuk berbuat banyak dan berharap sedikit dari apa yang
diperbuatnya. 
Kita lalu bertanya. Darimanakah sumber akal tersebut? Apakah akal terdapat dalam ruh manusia
yang memang sudah ada sebelumnya? Atau dia telah hadir (atau dihadirkan) seiring dengan
eksistensi kehidupan manusia yang terlahir dengan apa adanya? Pada perdebatan filosof awal,
sering kita dengar akal adalah kodrat manusia yang sengaja diciptakan sebagai kendaraan
manusia untuk melaksanakan wisata kehidupan yang sering kali terbelenggu dalam pemikiran
dan tindakan. Keterbelengguan ini dilandasi dalam sebuah gerak dan upaya perumusan eksistensi
agar manusia dapat memelihara kehidupannya di dunia. Lepas dari kungkungan ’mitos’ yang
melembaga pada setiap alur kehidupan umat manusia. Para filosof ini berpendapat bahwa akal
adalah modal manusia yang bersumber dari insting yang didapat melalui interaksi kehidupan
dengan umat manusia lainnya. Dia tidak diciptakan dan diberikan. Dia juga tidak diwariskan
dalam bentuk abstaraksi pemikiran yang ditradisikan dari umat-umat sebelumnya. Para filosof
yang kemudian hari melahirkan gagasan humanisme sebagai wujud antroposentrisme dalam
kehidupan dunia. Benarkah hal tersebut?
Gagasan awal kehidupan manusia sesungguhnya berada dalam debat-debat filosofis yang belum
berujung pada satu kesimpulan yang ’adil’. Perdebatan tersebut belum menemukan rujukan yang
pasti terkait hakikat akal dan pikiran bagi manusia. Belum jelasnya letak akal dan pikiran
manusia adalah suatu konsekwensi yang tidak saja melemahkan fungsi dari eksistensi manusia
itu sendiri. Bahkan lebih jauh daripada itu. Akibat dari belum selesainya perbincangan para
filosof akan arti akal menandakan belum terangnya fungsi manusia dalam kehidupan ini.
Kelemahan demi kelemahan manusia nampaknya terus mengalir menuju suatu tempat di mana
akal dan pikiran bertarung dengan ’ganasnya’ tanpa memberikan ruang santun untuk
membicarakannya berdasarkan perspektif kemanusiaan yang berkeadilan. Kemudian daripada
itu, pertentangan antara akal dan pikiran menemui jalan buntunya akibat ’segregasi’ politik yang
tiada berkesudahan akibat kepentingan kekuasaan yang mencoba masuk untuk mendikte
perdebatan demi perdebatan yang dilakukan demi menjaga keutuhan kekuasaan. Lalu timbullah
paham-paham kemanusiaan yang melogikakan kekuasaan yang lantas melemparkan substansi
pemikiran awal dari perdebatan tersebut. Dalam perjalannya kemudian, perdebatan ini bergeser
menjadi perdebatan tentang kekuasaan dan perdebatan dangkal dan bersifat jangka pendek.

Munculnya Agama
Sejarah juga mencatat bahwa kelahiran Agama terutama agama-agama Samawi tidak begitu saja
menyelesaikan perdebatan ini. Agama lantas dengan ’genitnya’ meruntuhkan perdebatan dan
mencoba merasukinya tanpa sikap kompromi dalam perdebatan tersebut. Agama lahir dengan
’doktrin’ kemanunggalan yang menihilkan perdebatan pencarian eksistensi manusia yang
bersumber selain kepadaNya. Agama juga melahirkan perdebatan baru yang bergeser dari ranah
antroposentrisme menuju teosentrisme yang tidak mentolerir keyakinan selain kepada Tuhan.
Lalu Tuhan berusaha dihadirkan dengan ’pedang’ dalam peperangan melalui doktrin keagamaan
yang menurut keyakinan pendukungnya sebagai suatu misi suci dan tugas ’profetik’ manusia.
Dari kenyataan ini agama terlahir. Dari perang dan darah yang tercurah dalam setiap pertarungan
’keyakinan’ antara pendukung yang menolak pereduksiaan agama dan campur tangannya dalam
perdebatan tersebut dengan para pendukung agama yang menganggap perdebatan tersebut usai
seiring dengan hadirnya agama dalam ruang kehidupan pencarian jati diri kemanusiaan. 
Agama kemudian diletakkan dalam tempat yang ’sakral’ di mana kemudian kehadirannya
dimanfaatkan dalam segala kondisi untuk menambah pundi-pundi feodalistik yang sebelumnya
telah ada dan mentradisi dalam wilayah sosiologis masyarakat Arab ketika itu. Musa, Yesus dan
Muhammad adalah keturunan masyarakat yang mentradisikan sikap feodal dalam interaksi sosial
kemasyarakatan yang sebelumnya ’ditentang’ oleh agama itu sendiri. Pandangan ini didasarkan
pada fakta bahwa hampir dari ketiga ’wakil Tuhan’ ini mendakwahkan wahyunya kepada
keluarga dan kolega terlebih dahulu sebelum ke masyarakat untuk mengamankan posisi
feodalistik yang telah ada di dalam lingkungan keluarga mereka. Kita mengingat bagaimana
Muhammad berjuang untuk meyakinkan keluarganya bahwa Islam adalah agama penutup yang
diwahyukan kepadanya. Sikap ini bukan merupakan upaya penyelamatan dakwah yang sedang
dilakukan oleh Muhammad kepada umatnya. Strategi ini merupakan upaya Muhammad untuk
mendapatkan jaminan keamanan dan politik dari keluarganya sehingga Muhammad
mendapatkan perlindungan dari keluarga dan koleganya dan dapat leluasa mendakwahkan Islam
sambil mencari para ’pelayan-pelayan’ agama baru tersebut. Faktanya, strategi tersebut justru
semakin menegaskan bahwa Muhammad dan wakil Tuhan merupakan pendukung feodalisme
untuk mendapatkan keuntungan strategis selain mempercepat persebaran agama-agama mereka.
Kemudian agama mencoba merasuki dunia filosofis untuk mengakarkan pandangan serta
keyakinan bahwa agama lahir (dihadirkan) untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan
pencarian hidup yang justru melogikakan untuk tidak berlogika. Kemudian agama masuk dalam
perdebatan akal dan pikiran manusia. Akal lalu ditempatkan pada posisi kedua setelah keimanan.
Pikiran kemudian dipaksakan kepada agama sehingga menafikan sumber kebenaran dari tempat
lainnya. Maka, menurut pandangan ini, agama adalah satu-satunya sumber kebenaran yang
hakiki dan tidak dapat berkompromi dengan kebenaran dari sumber lain walaupun pandangan
tersebut benar dan aktual guna menjawab tantangan kemanusiaan.
Lalu selesaikah perdebatan ini? Akhir dari sebuah perdebatan yang sesungguhnya bukanlah
terletak pada seberapa tuntas diskusi yang dilakukan disepakati bersama. Dalam konteks
perdebatan ini, selesai atau tidaknya suatu diskursus menuntut logika argumentasi tersebut
diyakini sebagai jawaban atas perdebatan itu sendiri. Perdebatan ini kemudian bergeser pada
ranah komplesiktas yang semakin mewarnai jagad ilmiah yang tiada berkesudahan. Perdebatan
yang bermula dari adanya kesadaran untuk mempertanyakan arti dari sebuah akal pikiran
manusia, bergeser menjadi seberapa jauh akal pikiran mampu menjawab permasalahan
kontemporer dalam segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Artinya,
dewasa ini perdebatan tersebut kemudian terarah pada wacana bahwa bukanlah sumber akal
pikiran tersebut yang ’penting’ untuk diketemukan sumbernya. Melainkan seberapa jauh akal
pikiran digunakan manusia untuk perkembangan kehidupan yang lebih baik. Akal pikiran
kemudian terlembagakan melalui ideologi oleh para pendukungnya. Ideologi ini kemudian
menjadi agama baru yang lebih mutakhir untuk menjawab tantangan masa depan kemanusiaan.
Dalam pandangan Durkheim, seorang pemikir Francis abad 20, kelak sumber pikiran itu akan
semakin memantapkan pengetahun sebagai sumber dari segala kebenaran yanga ada di
dalamnya, sebuah kejernihan dan kebenaran yang sesungguhnya. Akhirnya Agama digantikan
ilmu pengetahuan, karena dengan ilmu pengetahuanlah, agama dapat dijelaskan, dikembangkan
dan diketemukan selama sejarah umat manusia.to be continued

lebih dari setahun yang lalu · Laporkan

Indra Ghazali
Secara sejarah, memang Agama-agama (khususnya samawi), mengalami gejolak/konflik yang
luar biasa dengan sains/ilmu pengetahuan yang di anggap sbg ancaman eksistensi dan esensi
daripada ajaran2 agama itu. Tapi dari historikal itu juga dan melalui perbandingan konflik,
permusuhan terjadi dikalangan agama kristen yang dijadikan alat oleh kerajaan romawi untuk
meng-hegemoni dunia, dibakarnya perpustkaan raja Iskandaria yg ekspansi itu berasal dari
Uskup Agung Cyriil, sampai pada zaman Galileo, copernicus, sampai sekarang ini zaman
vatikan ortodok. Umat Islam relatif stabil, menurut Robert N Bellah, hubungan antara Islam dan
pengetahuan seperti "pacaran" dimana ada saat2 hubngan itu mesra dan ada saat tegangnya,
kejadian konflik dengan kaum "Aqli" yang puncaknya ditutup oleh Abu Hamid Al Ghazali dgn
kitabul Tahafatul Falasifah, dan ada masa2 Islam mendukung Ilmu pengetahuan ketika jaya
dalam bidang2 kedokteran, kosmologi dll.
Tetapi Ibn Taiymiah sempat menyesalkan hubngan Islam yg menentang Ilmu pengetahuan, dan
itu pun sebenarnya dalam ranah politik dinasti dan bukn bertentangan dgn doktrin Islam, Cak
Nur sll berkata "Islam datang untuk membongkar Feodalisme" contohnya konsepsi ketuhanan
dalam Islam yg dikenal dengan Tauhid adlah konsekuensi dan implikasinya melepaskan dogma
feodalisme, yang jelas2 menegeaskan kemerdekaan sbg Manusia wakil Tuhan. Berdasarkan apa2
saja yg termaktub dalam kitab suci Islam yg seharusnya bisa sangat objektif melihat sesuatu,
sama sekali tdk ada pertentangan masalah Ilmu, akal ataupun apasaja yang berkaitan dgn Ikhtiar
manusia, banyak skali referensi dan dalil untuk memperteguh bahwa tdk ada yg bertolak
belakang antara Islam dan Ilmu, semua berjalan harmonis, krn Hakikat manusia adlah mahluk
Percaya maka penting skali suatu jlan yg sering disebut Iman, Ilmu dan Amal. Suatu konsep
Islam yang universal meliputi manusia dan sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai