Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. Cavum Thorax

Thorax adalah bagian atas batang tubuh yang terletak antara leher dan abdomen.Cavitas thoracis
dibatasi oleh dinding thorax,jantung (cor),paru (pulmo),bagian distal trakea dan bagian besar
esofagus.1

Rongga thorax adalah daerah tubuh yang terletak diantara leher dan abdomen. Thorax dibatasi
oleh iga-iga, yang bersatu di bagian belakang pada vertebra thoracalis dan di depan pada sternum.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum,
12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2
pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulatio dari sternum, kartilago
ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah
sternum.1

Dasar torak dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus dan merupakan
struktur yang menyerupai kubah (dome-like structure). Diafragma membatasi abdomen dari
rongga torak serta terfiksasi pada batas inferior dari sangkar dada. Diafragma termasuk salah satu
otot utama pernapasan dan mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior serta
esophagus. Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernafasan berlangsung
dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu
musculus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara
akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian
bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari
interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut
berperan dalam ventilasi paru - paru selama respirasi biasa /tenang sekitar 75%. 1,2

1.1 Costae
Costae adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian
terbesar sangkar dada. Tujuh atau delapan kosta pertama disebut costae sejati
(vertebrosternal) karena menghubungkan vertebra dengan sternum melalui kartilago
kostalisnya. Costae VIII sampai costae X adalah costae tak sejati (vertebrokondral)
karena kartilago kostalis tepat diatasnya.. Costae XI dan XII adalah costae bebas atau
costae melayang karena ujung kartilago kostalis masing-masing costae berakhir dalam
susunan otot abdomen dorsal. Cartilago costalis memperpanjang costae kearah ventral
dan turut menambah kelenturan dinding thorax.Hal ini berguna untuk mencegah
terjadinya fraktur pada sternum atau costae karena benturan. Costae berikut cartilago
costalis-nya terpisah dari satu yang lain oleh spatium intercostale yang berisi
muskulus interkostalis, arteria interkostalis, vena interkostalis, dan nervus
intercostalis.3 Bagian costae terlemah, terletak tepat ventral terhadap angulus
costae.Fraktur costaeumumnya terjadi secara langsung karena benturan, atau secara
tidak langsung karena cedera yang mememarkan. Rudapaksa langsung dapat
menyebabkan fraktur di sembarang tempat pada costae, dan ujung patahan dapat
mencederai organ dalam (misalnya paru-paru dan atau limpa).3

1.2 Sternum
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral
sangkar dada. Sternum terdiri dari tiga bagian : manubrim sterni, korpus sterni, dan
processus xyphoideus.Manubrium sterni berbentuk sperti segitiga, terletak setinggi
vertebra T-III dan vertebra T-IV. Corpus sterni berbentuk panjang, sempit, dan lebih
tipis dari manubrium sterni. Bagian ini terletak setinggi vertebra (T-V) - (T-IX).
Processus xyphoideus, bagian sternum terkecil dan paling variabel, berupa tulang
rawan pada orang muda, tetapi pada usia lebih daripada 40 tahun sedikit banyak
menulang.3 Fraktur sternum umum terjadi setelah kompresi traumatik pada dinding
thorax (misalnya pada kecelakaan lalu lintas, jika dada pengemudi terdorong pada
batang kemudi). Umumnya korpus sterni yang mengalami fraktur, dan biasanya
bersifat fraktur komunitiva artinya terpecah berkeping-keping. Pemasangan kantong
udara dalam kendaraan otomotif telah menurunkan frekuensi fraktur sternum dan
wajah. Untuk memasuki kavitas torasis pada bedah jantung dan pembuluh besar,
sternum dibelah dalam bidang median. Corpus sterni seringkali dimanfaatkan untuk
biopsi sumsum tulang dengan jarum karena lebarnya dan letaknya yang superfisial.3

1.3 Apertura Thoracis


Cavitas thorac berhubungan dengan leher melalui apertura thoracis superior yang
berbentuk seperti ginjal. Apertura thoracis superior ini yang terletak miring, dilalui
oleh struktur yang memasuki atau meninggalkan cavitas thoracis, yakni tenggorok
(trakea) , kerongkongan (esofagus), pembuluh dan saraf. Cavitas torasis berhubungan
dengan abdomen melalui apertura torasis inferior yangditutup oleh diafragma.
Struktrur-struktur yang berlalu ke dan dari kavitas torasis, dari dan ke kavitas
abdominis melewati diafragma (misalnya vena kava inferior) atau di belakangnya
(misalnya aorta).

1.4 Pleura
Rongga torak (Cavitas thoracis) terdapat Rongga Pleura adalah membran aktif
yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan
cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura merupakan
selaput tipis yang membungkus paru – paru.

Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;


1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru –paru.
2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.
Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk kantong
tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantong terisi sedikit
cairan pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut. Pleura visceralis menutupi paru
dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama-
sama dengan pleura parietalis,yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma.
Pleura sedikit melebihi tepi paru. pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan
ekspansi paru-paru normal, hanya ruang potensial yang ada. 1

1.5 Mediastinum
Rongga Mediastinum dan isinya
terletak di tengah dada.
Mediastinum meluas dari
aperture thoracis superior ke diafragma di sebelah kaudal, dan dari sternum dan
cartilage costalis di sebelah ventral ke corpus vertebrae thoracica di sebelah dorsal.
Struktur dalam mediastinum diliputi oleh jaringan ikat, pembuluh darah dan limfe,
kelenjar limfe dan lemak. Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-paru dan
pleura parietalis memungkinkan mediastinum menyesuaikan diri kepada perubahan
gerak dan volume dalam rongga torak.
Mediastinum dibagi menjadi bagian cranial (mediastinum superius) dan bagian
kaudal. Mediastinum bagian atas meluas ke arah kaudal dari aperture thoracis
superior sampai pada bidang melalui angulus sterni dan tepi bawah vertebra T4.
Mediastinum bagian bawah yang meluas antara bidang tersebut dan diafragma,
dibedakan atas sektor ventral (mediastinum anterius), sector tengah (mediastinum
medius), dan sektor dorsal (mediastinum posterior). Dalam mediastinum medius
terdapat jantung dan pembuluh besar. Beberapa bangunan melintasi mediastinum
secara vertikal (misalnya esophagus) dan dengan demikian melewati lebih dari satu
sektor. 2,3

1.6 Paru - Paru


Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi
oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru-paru terdiri dari dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri
atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru
dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput
yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura
luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik,
dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan,tetapi ronga bronkus
masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia.
Setiap bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,
kemudian menjadi duktus alveolaris.Pada dinding duktus alveolaris mangandung
gelembung-gelembung yang disebut alveolus.4

1.7 Jantung
Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan tangan.
Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah dengan kontraksi
ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat ruang, 2 ruang jantung atas
dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya dinamakan ventrikel, yang
berfungsi sebagai pompa. Dinding yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel
menjadi bagian kanan dan kiri dinamakan septum.

Batas-batas jantung:
 Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI)
 Kiri : ujung ventrikel kiri
 Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri
 Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
 Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang diafragma
sampai apeks jantung
 Superior : apendiks atrium kiri

BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang wanita 81 tahun, dengan riwayat hipertensi, mengunjungi unit gawat darurat dengan
keluhan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik,penurunan suara nafas pada paru kanan.
Radiografi dada menunjukkan efusi pleura masif kanan di toraks. Kemudian dilakukan CT scan
dada yang dengan kontras awal menunjukkan abses berukuran 12,4 9,0 11,3 cm yang menempati
sebagian besar lobus kanan hati dan meluas ke dalam rongga pleura kanan. Ada sejumlah besar
efusi pleura kanan.5 jurnal

Gambar 1 : X-Ray Thorak pada saat pasien tiba di IGD

Gambar 2 : CT-Scan Thorax

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Paru

Pulmo atau paru – paru adalah organ pernafasan yang penting karena udara yang
masuk dapat perhubungan secara erat dengan darah kapiler di dalam paru – paru. Tiap paru
– paru melekat pada jantung dan trakea melalui radix pulmonis dan ligamentum pulmonale.
Paru – paru sehat selalu berisi udara dan akan mengapung bila dimasukkan ke dalam air.
Paru – paru dari foetus atau bayi baru lahir berwarna agak kemerahan dan lunak. Bila bayi
belum pernah bernafas maka paru – paru tidak akan mengapung di dalam air tetapi akan
tenggelam. Paru – paru orang dewasa mempunyai permukaan yang berwarna lebih gelap
dan sering ada bercak – bercak yang disebabkan oleh penimbunan partikel debu yang
terisap. Dibandingkan dengan paru – paru kiri, maka paru – paru kanan lebih besar dan
lebih berat, tetapi lebih pendek karena kubah diaphragm kanan letaknya lebih tinggi. Juga
lebih lebar karena adanya jantung yang letaknya lebih ke kiri dalam rongga torak.4

Tiap paru – paru mempunyai sebuah apex, sebuah basis, tiga buah facies costalis,
facies mediastinalis dan facies diphragmatica, dan tiga buah margo yaitu margo anterior,
margo inferior dan margo posterior. Paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru kiri
mempunyai dua lobus. Lobus paru terbagi menjadi beberapa segmen-paru. Paru kanan
mempunyai sepuluh segmen-paru sedangkan paru kiri mempunyai delapan segmen-paru.
Paru – paru kiri dibagi menjadi lobus superior dan lobus inferior oleh sebuah fissura
obliqua. Paru – paru kanan dibagi menjadi lobus superior, lobus inferior dan lobus medius
oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis. Bronki dan vasa pulmonales muncul dari
trakea dan jantung menuju tiap paru – paru. Keseluruhannya membentuk radix pulmonis
yang akan memasuki hilum pulmonis. Apex pulmonis berbentuk bundar seperti cupula
pleurae. Apex pulmonis sebelah kanan lebih
kecil dan lebih dekat trakea, dan disilang oleh
vasa subclavia.4
Vaskularisasi

Paru mendapat darah dari dua sistem arteri, yaitu arteri pulmonalis dan arteri bronkialis.
Arteri pulmonalis bercabang dua mengikuti bronkus utama kanan dan kiri untuk kemudian
bercabang-cabang membentuk ramifikasi yang memasok darah ke interstisial paru. Perlu
diketahui bahwa pembuluh darah percabangan dari arteri pulmonalis mempunyai ujung akhir.
Tekanan darah pada arteri pulmonalis sangat rendah sehingga memungkinkan pertukaran gas
dengan baik sekali. Tekanan darah pada pembuluh yang berasal dari arteri bronkialis lebih tinggi
dibandingkan tekanan pada arteri pulmonalis. Berbeda dengan percabangan pembuluh darah
arteri pulmonalis, percabangan pembuluh arteri bronkialis tidak mempunyai ujung akhir. Darah
yang dipasok oleh arteri bronkialis sampai ke saluran pernafasan, septa interlobular, dan pleura.
Sepertiga darah yang meninggalkan paru melalui vena azigos menuju vena cava sedangkan yang
dua pertiga lagi melalui vena pulmonalis ke atrium kiri.6

Inervasi
Paru diinervasi oleh saraf parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis. Otot polos
saluran napas diinervasi oleh nervus vagus aferen, nervus vagus eferen (kolinergik
posganglionik). Pleura parietalis diinervasi oleh nervus interkostalis dan nervus frenikus,
sedangkan pada pleura viseralis tidak terdapat inervasi.4

3.2 Definisi

Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal di rongga pleura yang diakibatkan oleh
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura dan merupakan komplikasi
berbagai penyakit.7

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan dalam rongga pleura dan merupakan masalah
umum dalam medis. Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme termasuk
peningkatan permeabilitas membran pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan
tekanan negatif intrapleural, penurunan tekanan onkotik, dan terhambatnya aliran limfatik.8

Efusi pleura merupakan indikator dari suatu proses penyakit yang mendasari penyakit dari
paru, pleura, atau ekstraparu, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi
pleura luas, efusi pleura paling sering disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia,
keganasan, atau emboli paru.9

Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi
sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan
melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura
parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura
viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan.
Akumulasi cairan pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain
infeksi dan kasus keganasan di paru atau organ luar paru.10

Efusi pleura terdapat diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu berdasarkan karakteristik


cairan pleura yaitu transudat dan eksudat. Beberapa hasil penelitian menyebutkan 42-77% efusi
pleura eksudativa disebabkan proses keganasan.7
Gagal jantung kongestif merupakan penyebab dari hampir 50 persen dari semua pleura
efusi. Keganasan, pneumonia, dan emboli paru adalah tiga penyebab utama dari efusi pleura.
Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat
terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan mengenai insidens dan prevalensi efusi
pleura. Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi populasi. Penelitian yang
pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura pada bulan Juli 1994-
Juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis, empiema toraks dan
kelainan ekstra pulmoner. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab
tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan penyebab
tersering efusi eksudatif. Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk
dapat menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik.
Efusi pleura terbanyak bersifat eksudat dan disebabkan oleh malignansi dan tuberkulosis.
Karakteristik efusi eksudatif adalah unilateral, melibatkan hemitoraks kanan dan bersifat masif.
Karakteristik efusi transudatif adalah bilateral, melibatkan hemitoraks kanan dan bersifat tidak
masif.10

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1984 efusi pleura menduduki peringkat ke
tiga dari 10 penyakit terbanyak di bangsal. Di Indonesia, tubekulosis merupkan penyebab utama
efusi pleura, disusul oleh keganasan. Dengan distribusi terbanyak pada wanita daripada pria.
Umur terbanyak dengan kejadian efusi pleura pada tuberkulosis adalah 21-30 tahun.10

3.3 Etiologi

Ruang pleura yang normal mengandung sekitar 1 ml cairan, mewakili keseimbangan


antara tekanan hidrostatik dan onkotik di pembuluh pleura visceral dan parietal dan drainase
limfatik. Efusi pleura terjadi dari terganggunya keseimbangan ini.7

1. Perubahan permeabilitas dari membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli paru)

2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)

3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskuler (misalnya, trauma, keganasan,


peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia, pankreatitis).

4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /atau paru (misalnya,
gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior).
5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya,
atelektasis yang luas, mesothelioma)

6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan, termasuk obstruksi duktus toraks atau pecah
(misalnya, keganasan, trauma)

7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi melintasi diafragma melalui limfatik atau cacat
struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)

3.4 Jenis Cairan Pleura

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat, berdasarkan


mekanisme pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat hasil dari ketidakseimbangan
dalam tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan
pleura atau penurunan drainase limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin memiliki
kombinasi karakteristik transudat dan eksudatif.11

3.5 Patofisiologi dan Penyebab

Normalnya cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura dari dinding dada (pleura
parietalis) dan mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis untuk masuk ke
dalam aliran limfe. Tekanan hidrostatik di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 30 cm H2O.
Tekanan negatif di dalam rongga pleura adalah -5 cm H2O, (30 cm dikurangi -5 cm = 35 cm).
Tekanan osmotik koloid di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 34 cm H2O. Tekanan
osmotik koloid di rongga pleura adalah 8 cm H2O. Perbedaan tekanan osmotik koloid antara
kapiler sistemik dengan tekanan osmotik koloid di ronggan pleura = 26 cm H2O. Cairan cenderung
mengalir dari daerah bertekanan osmotik rendah ke arah daerah bertekanan osmotik tinggi. Berdasarkan
perbedaan tekanan osmotik, seharusnya cairan di dalam rongga pleura cenderung mengalir dari rongga
pleura ke dinding dada, akan tetapi karena tekanan hidrostatik dari dinding dada ke arah rongga pleura
lebih besar, yaitu 35 cm H2O cairan dari dinding dada akan masuk ke dalam rongga pleura. 11

1. Efusi Pleura karena Kelainan Intra Abdominal


Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang
terpat dibawah d iafragma seperti pankreas atau ekstraserbasi akut pankreatitis kronik,
abses ginjal, abses hati, abses limpa. Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat
juga bilateral. Mekanismenya adalah karena berpindahnya cairan yang mengandung
enzim pankreas ke rongga pleura melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat
eksudat serosa tapi kadang-kadang bisa hemoragik. Kadang amilase dalam efusi lebih
tinggi daripada dalam serum. Efusi juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi
abdomen seperti splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi
atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan jumlah efusi tidak banyak (lebih jelas
terlihat pada foto lateral dekubitus). Cairan biasanya bersifat eksudat dan mengumpul
pada sisi operasi, efusi pleura operasi biasanya bersifat maligna dan kebanyakan akan
sembuh secara spontan.
A. Sirosis hati.
Kebanyakan efusi pleura terjadi bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat
kesamaan antara cairan pleura dan asites, karena terdapat hubungan fungsional
antara rongga pleura dan rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah
jaringan otot diafragma. Biasanya efusi menempati pleura kanan dan efusi bisa
juga terjadi bilateral.
B. Dialis Peritoneal
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialisis peritoneal. Hal
ini dapat terjadi karena perpindahan cairan melalui celah diafragma, yang dibuktikan
dengan komposisi yang sama antara cairan pleura dan cairan dialisat.

2. Efusi Pleura karena Gangguan Sirkulasi Gangguan Kardiovaskular.


Payah jantung adalah sebab terbanyak timbulnya efusi pleura. Penyebab lain:
perikarditis kontritiva dan sinrom vena kava superior. Patogenesisnya adalah
terjadinya peningktan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening
juga akan menurun sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral.
A. Emboli Pulmonal.
Efusi dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan
ini dapat disertai dengan infark paru atau tanpa infark. 3. Tuberkulosis Di
banyak daerah di dunia, tuberkulosis menjadi penyebab paling umum dari
efusi pleura. Pecahnya subpleural fokus caseous ke dalam rongga pleura
memungkinkan protein TB untuk memasuki ruang pleura dan menghasilkan
reaksi hipersensitivitas yang bertanggung jawab untuk sebagian besar
manifestasi klinis. Efusi pleura yang menyebabkan pleuritis tuberkulosis
bermanifestasi sebagai penyakit akut sama dengan manifestasi dari pneumonia
bakteri akut. Hal ini biasanya unilateral dan dapat dari berbagai ukuran. Cairan
pleura dalam TB adalah selalu eksudat dengan lebih dari 50% limfosit dalam
hitungan diferensial sel darah putih dan jarang mengandung lebih dari 5% sel
mesotelial.12

3. Efusi Pleura Neoplasma


Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura
dan umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak
ditemukan adalah nyeri dada dan sesak. Gejala lainnya yaitu akumulasi
cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis
berkalikali. Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil bisa transudat. Warna
efusi bisa sero-santokrom ataupun hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel
eritrosit per cc). Di dalam cairan ditemukan sel-sel limfosit (yang dominan)
dan banyak sel mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sitologi terhadapp cairan efusi atau biopsi pleura parietalis.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
a. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein.
b. Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam
memindahkan cairan dan protein.
c. Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya
timbul hipoproteinemia.

Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya unilateral, tetapi bisa juga


bilateral karena obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat
mengakibatkan pengaliran cairan dari rongga pleura via diafragma. Keadaan
efusi dapat bersifat maligna.12
3.6. Manifestasi Klinis

Gejala tergantung pada jumlah cairan dan penyebab yang mendasari. Banyak pasien tidak
memiliki gejala pada saat efusi pleura ditemukan. Gejala termasuk nyeri dada pleuritik, dispnea,
dan batuk kering (nonproduktif).12

Adanya edema pada kaki atau trombosis vena dapat mengakibatkan efusi pleura yang
berhubungan dengan emboli paru. Riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik sangat penting dalam
mendiagnosis efusi pleura. Beberapa aspek pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan dada biasanya
redup pada perkusi, tidak adanya fremitus, dan vesikuler berkurang atau bahkan hilang. Distensi
JVP, adanya gallop bunyi jantung atau edema perifer menunjukkan gagal jantung kongestif, dan
ventrikel kanan atau tromboflebitis menunjukkan terjadinya emboli paru. Adanya limfadenopati
atau hepatosplenomegali menunjukkan penyakit neoplastik, dan ascites menunjukkan adanya
kelainan hati. Karena kondisi selain efusi pleura mungkin menghasilkan gambaran radiologis
yang sama, pencitraan alternatif penelitian sering diperlukan untukadanya efusi pleura.
Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonographic atau Foto thoraks lateral dekubitus paling sering
digunakan, namun computed tomografi (CT-scan) dada memungkinkan pencitraan yang
mendasari parenkim paru-paru atau mediastinum.4

3.7. Pemeriksaan Fisik

1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.

2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan besar karena proses keganasan.

3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura interlobaris tidak memberi gejala-gejala.
Begitu pula bila efusinya berada di atas diafragma.

4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai dengan luasnya efusi pada auskultasi suara
napas berkurang atau menghilang.

5. Resonansi vokal berkurang. 14 6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini belum
menimbulkan gejala pada pemeriksaan fisik.

7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL, baru dapat ditemukan gejala berupa gerak
dada yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada sisi yang mengandung akumulasi cairan.
Fremitus taktil juga berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi menjadi pekak dan suara
napas pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya masih vesikuler.

8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi atelektasis pada paru bagian bawah.
Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang mengandung timbunan cairan menjadi terbatas
sedangkan sela iga melebar dan menggembung. Pada auskultasi di atas batas cairan, sering
didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini ditransmisiskan oleh jaringan paru
yang mengalami atelektasis. Pada daerah ini juga dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni
yang bertambah jelas.

9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan seluruh paru menjadi
kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada inspirasi sangat terbatas,
suara napas, fremitus taktil maupun fremitus vokal sulit didengar karena sangat lemah. Selain itu
terjadi pergeseran mediastinum ke arah ipsilateral dan penurunan letak diafragma.4

3.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto toraks

Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoroskopi maupun foto toraks PA tidak tampak. Mungkin
kelainan yang tampak hanya berupa penumpulan sinus kostofrenikus. Pada efusi pleura
subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300 cc, sinus kostofrenikus tidak tampak tumpul
tetapi diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari
sisi yang sakit. Foto toraks PA dan posisi lateral dekubitus pada sisi yang sakit seringkali
memberi hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu tampak
garis batas cairan yang sejajar dengan kolumna vertebralis atau berupa garis horizontal.7

Gambar :
Foto
thoraks
dan
computed

tomography scan yang menunjukkan adanya efusi pleura pada sisi kanan.10
Gambar : Efusi Pleura Masif

2. Pemeriksaan Mikroskopis dan sitologi

Jika didapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL, hal ini mengarahkan diagnosis kepada
eksudat. Jika sel darah putih > 20.000/mL, keadaan ini menunjukan empiema. Neutrofil
menunjukan kemungkinan adanya pneumonia, infark paru, tuberkulosis paru fase awal atau
pancreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengarahkan kepada tuberculosis, limfoma atau
keganasan. Jika pada torakosintesis didapatkan banyak eosinofil, tuberculosis dapat
disingkirkan.7

3. Pemeriksaan Biokimia

a. Protein > 3 g/dl  eksudat

b. Protein < 3 g/dl  transudat

c. Glukosa < normal  “rheumatoid pleural effusion”, kemungkinan lain karena keganasan atau
purulen.

d. Kolesterol  menunjukan proses kronis atau mungkin karena rheumatoid

e. Amilase  pancreatitis atau karsinoma pankreas.

3.9. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan dari rongga pleura dengan cara
pungsi pleura atau thoracocentesis atau pleural tapping. Pungsi pleura dilakukan dengan cara
menusukkan jarum pungsi atau abbocath di antara dua iga. Cairan yang terdapat di dalam rongga
pleura secara umum disebut efusi pleura. Efusi pleura berupa nanah disebut empiema, jika berupa
darah disebut hematotoraks, jika berisi cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi pleura
tidak hanya berupa kelainan di daerah toraks tetapi juga dapat karena kelainan di daerah lain
(ekstratoraks) atau sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik.4

3.10. Penatalaksanaan

1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak atau “discomfort” dan
sesak napas. Dianjurkan melakukan aspirasi sedikit demi sedikit. Cairan yang dikeluarkan antara
500-1000 cc. bila pengambilan terlalu banyak dan cepat dapat menyebabkan edema paru.

2. Lebih sering dilakukan pleurodesis pada proses keganasan atau pada efusi pleura yang sering
kambuh. Dengan menggunakan 500 mg serbuk tetrasiklin yang dilarutkan didalam 50 cc garam
faali. Penderita digoyang-goyangkan supaya rata, kemudian cairan dikeluarkan setelah diklem
selama 24 jam atau diberi serbuk sodium atau talk. Nyeri yang terjadi karena pemeberian obat di
atas dapat diatasi dengan analgetika.

3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat menyerap efusi pleura yang disebabkan
oleh TB paru secara cepat dan mengurangi fibrosis.4

Water Seal Drainage (tube thoracostomy)

Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura berisi cairan abnormal
dengan botol sebagai perangkat WSD yang nantinya akan menarik keluar isi cairan B C A 16
abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan mengembalikan cavum pleura seperti semula,
menyebabkan berkurangnya kompresi terhadap paru yang tertekan dan paru akan kembali
mengembang.

Thoracocentesis

Setiap efusi pleura yang cukup besar menyebabkan gejala pernafasan berat harus dikeringkan
terlepas dari penyebabnya. Mengurangi gejala adalah tujuan utama terapi drainase pada pasien.
Satu-satunya kontraindikasi absolut terhadap thoracocentesis infeksi kutan aktif pada tempat
tusukan. Beberapa kontraindikasi relatif termasuk diatesis pendarahan yang parah, antikoagulasi
sistemik, dan volume cairan yang kecil. Kemungkinan komplikasi dari prosedur ini termasuk
perdarahan (karena tusukan pada pembuluh atau parenkim paru), pneumotoraks, infeksi (infeksi
jaringan lunak atau empiema), laserasi organ intra-abdomen, hipotensi, dan paru edema. 4 Indikasi
untuk thoracocentesis adalah adanya efusi pleura klinis yang signifikan (lebih dari 10 mm pada
ultrasonografi atau foto lateral decubitus). Jika pasien datang dengan gagal jantung kongestif dan
efusi bilateral dengan ukuran yang sama, afebris, dan tidak memiliki nyeri dada, percobaan
diuresis dapat dilakukan. Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi pleura disebabkan oleh
gagal jantung kongestif memiliki bilateral efusi pleura, thoracentesis diindikasikan jika efusi
adalah unilateral. Jika efusi tetap selama lebih dari tiga hari, thoracocentesis dapat diterapkan.6

Pleurodesis

Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral
ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi cairan maupun udara dalam
rongga pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah
berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi dengan cepat), menghindari torakosintesis
berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, serta menghindari
morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung,
atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothoraks). Efusi pleura maligna
merupakan indikasi paling utama pada pleurodesis. Beberapa keadaan yang dapat dianggap
sebagai kontraindikasi relatif pleurodesis meliputi:

1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan.

2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura.

3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan terapi sistemik (kanker mammae, dll).

4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada
karena slang torakostomi.

5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua cairan pleura
(trapped lung).6

3.11. Prognosis
Biasanya sembuh setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasar. Empiema
mungkin timbul akibat infeksi paru seperti pneumonia.14 Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai
dengan etiologi yang mendasari kondisi ini. Morbiditas dan mortalitas efusi pleura berhubungan
langsung dengan penyebabnya, stadium penyakit, dan temuan biokimia dalam cairan pleura. Pada
efusi pleura ganas dikaitkan dengan prognosis yang sangat buruk dengan kelangsungan hidup
rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Yang paling umum
keganasan terkait pada pria adalah kanker paru-paru, dan keganasan yang paling umum pada
wanita adalah kanker payudara. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi,
seperti limfoma atau kanker payudara, lebih dihubungkan dengan kelangsungan hidup
berkepanjangan, dibandingkan dengan kanker paru-paru atau mesothelioma.8 Temuan seluler
dan biokimia dalam cairan juga dapat menjadi indikator prognosis. Misalnya, pH cairan pleura
lebih rendah sering dikaitkan dengan beban tumor lebih tinggi dan prognosis yang buruk.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006. 49-66.

2. ParkiN I, Logan MB. The torax. Dalam Core Anatomy Ilustrated. Headline Group, an
Hachette Livre London . 2007. 66-90.

3. Putz. R. Pabst R. . Dinding Dada. Dalam Atllas Anatomi Manusia Sobatta. 22 th


edition. Jakarta: EGC: 2006. 46-49.

4. McGrath E.E., Anderson P.B., 2011. Diagnosis of Pleural Effusiom: a Systemic


Approach. American Journal of Critical Care. 20: 120-130.
5. Jurnal
6. Light W.L., 2002. Pleural Effusion. N Engl J Med. 346: 1971
7. Maskell N, Medford A., 2005. Review Pleural Effusion. Postgrad Med J. 81:702-
710.
8. Syahruddin E., Hudoyo A., Arief N., Efusi Pleura Ganas Pada Kanker Paru Jurnal
Respirasi Indonesia. 32:142
9. Sato T., 2006. Different Diagnosis of Pleural Effusion. Japan Medical
Association.49:315-316
10. Khairani R., Syahruddin S., Partakusuma L.C., 2012.Karakteristik Efusi Pleura di
Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal Respirasi Indonesia. 32:155-159.
11. Jeffrey Rubins J., 2012. Pleural Effusion. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 22 Mei 2016. Pp 1-3
12. Mukty A., Widjaja A., Margono B. P., et al., 1994. Pedoman Diagnosis Dan
Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo 1994. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga pp. 111- 114

Anda mungkin juga menyukai