Anda di halaman 1dari 7

PROBLEMATIKA PENGABAIAN KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM

DI INDONESIA
FANISA LUTFI ANGGRAINI
MAHASISWA PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS JEMBER

Abstrak
Artikel ini dibuat dengan tujuan pemaparan problematika pengabaian keadilan dalam
penegakan hukum di Indokesia. Sejatinya, tujuan dari penegakan hukum adalah
memperoleh keadilan yang seadil-adilnya. Di mata hukum semua hal sama tidak ada
yang membedakan serta semua hal sama rata. Dengan tulisan ini akan dibahas
mengenai hukum secara pancasila, unsur penegakan hukum yang berkeadilan serta
problematika penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci : Hukum, Hakim, Penegakan Hukum, Keadilan

A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hukum di Negara Indonesia
berlandaskan nilai-nilai pancasila yang murni. Hukum tersebut berlaku mutlak dan
harus diterapkan. Namun, apakah hal itu menjamin Indonesia menjadi negara penegak
hukum?. Jawabnya tentu saja tidak, karena faktanya indonesia belum bisa dikatakan
sebagai negara penegak hukum. Indonesia baru-baru ini di akui sebagai negara krisis
hukum. Hal ini terjadi akibat penegakan hukum yang tidak mencapai keadilan malah
sebaliknya yaitu mencapai ketidakadilan.
Hukum merupakan salah satu pranata sosial yang hidup ditengah masyarakat
guna mengontrol kehidupan di tengah-tengah masyarakat atau yang sering disebut
dengan social control. Hukum memiliki peranan menciptakan kedamaian antar
masyarakat. Kedamaian merupakan konsep yang menjamin keselarasan anatara
ketertiban yang bersifat lahiriah (secara lahir) ketentraman yang bersifat bathiniah
(secara batin). Sehingga dalam hal ini hukum tidak dilihat sebagai refleksi kekuasaan
semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap hak-hak dasar
warga negara.
Penegakan hukum salah satu permasalahan yang selalu menarik dibahas. Hal
itu dikarenakan permasalahan ini selalu berkembang dan tidak ada habisnya dari
waktu kewaktu. Menciptakan keadilan bagi semua masyarakat merupakan orientasi
dari penegakan hukum itu sendiri. Apabila hal tersebut diperhatikan para penegak
hukum maka nantinya penegakan hukum akan mendatangkan dampak yang positif
bagi masyarakat serta penegak hukum sendiri. Penegakan hukum merupakan interaksi
antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan yang berbeda, dalam
bingkai aturan yang telah mempunyai kesepakatan bersama. Oleh karena itu,
penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada proses penegakan
hukum hal ini berkaitan dengan perilaku manusia. Sehingga dapat dipahami bahwa
penegakan hukum bukan hanya mengaktualisasi apa yang ada di Undang-Undang
atau mengedepankan sisi kepastian hukum akan tetapi juga mempertimbangkan
justice value atau nilai-nilai keadilan serta kemanfaatan dari penegakan hukum bagi
masyarakat.
Penegakan hukum pada dasarnya tidak hanya sebatas penegakan undang-
undang, namun lebih kepada ditegakannya sistem hukum. Dalam hal tersebut terdapat
subsistem terpenting yang bernama struktur hukum yang didalamnya terdapat aparat
penegak hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence M. Friedman
bahwa sistem hukum memiliki tiga unsur yaitu stuktur hukum, substansi
hukum, dan kultur hukum. Namun secara konseptual, sejatinya inti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menserasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejewantah, dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Apabila dilihat dalam
negara Indonesia kondisi penegakan hukum masih banyak kekurangan. Masyarakat
sering mempertanyakan kinerja, netralitas, serta objektivitasi para penegak hukum
dalam menjalankan fungsi hukum terutama masalah pelanggaran HAM.
Hal tersebut merupakan sebuah ilustrasi dari penegakan hukum di Indonesia
yang ideal. Selanjutnya implikasi dari semua adalah masyarkat tidak akan bersikap
pasif dalam melihat kasus-kasus hukum yang dalam penanganannya terdapat keadilan
dan disparitas sosial. Namun dalam konteks sosiologis masyarakat justru nantinya
akan menampakkan sikap reaktif terhadap kemampuan hukum mengatasi
permasalahan yang terjadi. Misalnya saja proses penegakan hukum yang menyeret
nama pejabat di kota besar sebut saja A dalam kasus penistaan agama.
Sejatinya penegakan hukum tidak ada istilah tebang-pilih hal ini tercantum
dalam UUD 1945. Namun hal itu tidak merubah apapun, termasuk kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan
hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial akan berakibat pada kewibawaan
hukum itu sendiri. Sehingga hal tersebut mengakibatkan masyarakat tidak
mempercayai aparat penegak hukum sehingga nantinya masyarakat melakukan
tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri. Apabila hal tersebut semakin
terus menerus terjadi dapat dipastikan bahwa hukum akan bersifat mandul atau tidak
berfungsi.
Berdasarkan uraian diatas maka yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
problematika pengabaian keadlian dalam penegakan hukum di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Penegakan hukum yang berkeadilan sesuai pancasila
Dalam hukum terdapat suatu istilah peribahasa yatin yang berbunyi : iat
justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan
harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh
karenanya). Peribahasa tersebut memiliki arti yang mendalam yaitu sebuah
komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan
bersama. Kehidupan yang dimaksud merupakan kehidupan yang mempunyai
kehendak yang kuat agar tersaji seperangkat keadilan berdasarkan cita-cita hukum
bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan Esmi Warasih yang selanjutnya dikutip
Mumuh M. Rozi bahwa penegakan hukum merupakan fokus utama reformasi
dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan
keadilan bagi masyarakat dalam NKRI.
Segala bentuk usaha terkait hukum mutlak haruslah diarahkan untuk
menemukan sebuah sistem hukum yang sesuai serta cocok dengan prinsip
keadilan karena hal tersebut merupakan tujuan akhir dari hukum yaitu keadilan.
Hukum dan keadilan haruslah terjalin dengan erat. Sebagaimana hukum
merupakan undang-undang yang adil yang harus konkrit dimana tidak
bertentangan dengan prinsip prinsip prinsip keadilan. Apabila hukum
bertentangan dengan hal tersebut maka dipastikan undang-undang tidak bersifat
normatif sehinga hukum tidak dapat dikatakan hukum lagi. Sehingga perlu adanya
sifat adil yang dianggap sebagai bagian dari konstitutif hukum. Sifat adil
dipandang sebagai bagian etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib
membentuk hidup bersama yang baik dengan cara mengaturnya secara adil.
Kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang keadilan secara secara
spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum.
Dalam pemdapat Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan hukum
adalah suatu usaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Penegakan hukum merupakan proses perwujudan keinginan hukum
menjadi kenyataan, keinginan hukum tersebut merupakan pikiran pikiran para
badan pembuat undang-undang yang nantinya akan dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum. Upaya penegakan hukum harus diperhatikan karena merupakan
bagian dari penerapan hukum yang sudah semestinya berjalan selaras dengan
kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum pada sangat sangat dipengaruhi
oleh rasa keadilan di masyarakat itu sendiri.
Upaya penegakan hukum haruslah memperhatikan aspek aspek penegakan
hukum yaitu, a. Materi hukum yang berupaya peraturan/perundang-undangan. b.
aparat penegak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, advokat dan lembaga
pemasyarakatan. c. Sarana dan prasarana hukum. d. Budaya hukum atau legal
culture. Dalam budaya hukum terdapat hal hal yang berupa cita hukum
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta etika profesi para aparat penegak
hukum. Ketertiban masyarakat dapat terwujud jika ada wibawa hukum, yang
tercipta apabila terdapat kesadaran hukum masyarakat. Tak hanya itu, wibawa
aparatur penegak hukum sangat dipengaruhi oleh terpenuhinya rasa keadilan
masyarakat.
Selanjutnya Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa terdapat empat masalah
mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan yaitu meliputi
reaktualisasi sistem hukum, penayaan kelembagaan aparatur hukum, budaya
hukum, dan pemberdayaan birokrasi. Dalam hal ini pemberdayaan birokrasi
penting diketahui ciri-ciri pemerintahan yang baik. Sebagaimana yang
dikemukakan UNDP bahwa ciri ciri pemerintahan yang baik adalah :
1. Partisipasi yang merupakan setiap warga negara baik yang lansung
maupun perwakilan mempunyai suara dalam pembuatan keputusan
pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi di Indonesia dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
2. Aturan hukum yang didalamnya terdapat kerangka hukum yang harus adil
dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terkhusus pada Hak Asasi Manusia.
3. Transparansi atau kebebasan arus informasi yang berarti informasi dapat
dipereloh bagi yang membutuhkan serta dapat dipahami dan dimonitor.
4. Ketanggapan atau responsiviness yang artinya berbagai lembaga dan
prosedur-prosedur harus berupaya melayani setiap stakeholder secara
aspiratif dan baik.
5. Orientasi pada konsesus dimana pemerintah yang baik menjadi perantara
kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik
bagi kepentingan yang lebih luas.
6. Kesataraan atau equity yang artinya semua warga negara mempunyai
kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan
kesejahterannya.
7. Efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber-sumber secara berhasil guna
dan berdayaguna
Oleh karenanya penegakan hukum yang paling utama adalah untuk
menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan
kepastia hukum masyarakat. Tokoh Gustav Radbruch menyebutkan bahwa
keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum sebagai tiang penyanggaj
penegakan hukum. Ketiganya perlu diperhatikan agar samapai pada pengertian
dan implementasi hukum yang memadai. Terkhusus tujuan keadilan atau
finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum
memang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Selanjutnya dalam penunjang keadilan yaitu sifat adil itu sendiri ada alasan
mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum yaitu :
1. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan
memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya.
2. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan
seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak
berlaku lagi.
3. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak
di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum
Lebih lanjut menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi
dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor,
yakni:
1. Hukum dan peraturan itu sendiri Kemungkinannya adalah bahwa
terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan
mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya
adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan
seterusnya.
2. Mentalitas petugas yang menegakkan hukum Penegak hukum antara
lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan,
dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik,
akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi
pada sistem penegakkan hukum.
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum Kalau
peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas
penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka
penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
2. Unsur unsur keadilan dalam penegakan hukum
Penegakan hukum di Indonesia masih terkungkung dalam birokratisasi dan
praktek korupsi yang terbangun secara struktural. Realitas tersebut telah
menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum tidak
terkecuali terhadap dugaan pelanggaran HAM. Adapun faktor yang menyebabkan
adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum adalah (1) adanya
perangkat hukum, baik produk legislatif maupun eksekutif yang dianggap belum
mencerminkan keadilan sosial (social justice); (2) lembaga peradilan yang belum
independen dan imparsial; (3) penegakan hukum yang masih inkonsisten dan
diskriminatif; (4) perlindungan hukum pada masyarakat yang belum mencapai
titik satisfactory.
Dalam penegakan hukum ada yang bernama aparat penegak hukum. Aparat
penegak hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam
menegakan hukum. Hal ini tercermin dari para aparat penegak hukum itu
merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum.
Bahkan menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto:
yang menjadi hukum itu ialah praktik sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau
pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat,
pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya
berubah ini berarti bahwa hukum sudah berubah, walaupun undang-undangnya
sama saja seperti dulu.
Hukum melalui penegakannya yang berkeadilan semestinya memegang
peranan penting menciptakan kesejahteraan masyarakat serta kebaikan umum.
Selanjutnya dalam perumusan Jeremy Bentham dan John Stuart dalam kalimatnya
“The Greatest happines of the greatest number”. Kalimat tersebut mempunyai arti
hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada
jumlah sebanyak-banyaknya. Hukum pada hakikatnya mengantarkan masyarakat
kepada kesejahteraan dalam hidupnya, yang oleh Jeremy Bentham disebut
kebahagiaan. Namun dalam praktiknya hal ini belum menjadi kenyataan,
demikian juga yang terjadi di Indonesia. Hukum yang berkeadilan belum mampu
mewujudkan kesejahteraan hukum.
Eksistensi hukum dalam banyak kasus di Indonesia jsutru menyebabkan
penderitaan masyarakat khususnya masyarakat kelompok menengah kebawah.
Hukum dalam pandangan Roscoue Pound adalah hukum berfungsi sebagai alat
perekayasa serta pemberdayaan sosial. Hukum menurutnya ditandai sebagai suatu
jenis teknik sosial atau kontrol sosial dalam suatu masyarakat politik yaitu negara.
Dengan tujuan ialah sebaik-bainya mengimbangi kebutuhn-kebutuhan sosial dan
individual yang satu dengan yang lain.
3. Problematika penegakan hukum di Indonesia
Problem pertama terletak pada pembuatan peraturan perundang-undangan, ini
terjadi karena peraturan perundang-undangan seringkali dibuat secara tidak
realistis. Pembuatan peraturan perundanng-undangan yang terkesan pesanan elit
politik, negara asing maupun Lembaga Keuangan Internasional. Hal ini memberi
kesan bahwan peraturan perundang-undangan seolah-olah dibuat sebagai
komoditas
Problem kedua merupakan persepi masyarakat Indonesia bahwa hukum
merupakan salah satu solusi untuk menemukan kemenangan dan bukan keadilan.
Tentu saja hal ini berpotensi penyebaran paham keadilan hanya bisa ditempuh
melalui jalur hukum. Persepsi masyarakat tersebut salah dalam hukum seperti ini
yaitu penghalalan segala cara untuk memperoleh kemenangan seperti melakukan
suap ke aparat penegak hukum.
Problem ketiga uang masih menjadi dominan dalam penegakan hukum.
penegakan hukum sangat rentan terjadi korupsi serta suap-menyuap. Penegakan
hukum dalam hal ini seolah hanya berpihak kepada orang kaya tidak kepada orang
miskin.
Problem keempat penegakan hukum berpihak kepada mereka yang
mempunyai jabatan yang tinggi serta koneksi pada pejabat hukum atau aparat
penegak hukum lainnya yang mempunyai akses pada keadilan. Tentu saja hal ini
mengakibatkan penegakan hukum cenderung diskriminatif dan menciderai keadila
masyarakat.
Kelima, lemahnya sumber daya manusia. Salah satu bentuk kelemahan
sumber daya manusia, khususnya aparat penegak hukum adalah lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum. Banyak faktor yang mempengaruhi
lemahnya mentalitas aparat penegak hukum di antaranya lemahnya
pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan
lain sebagainya.
Keenam, adanya advokat tahu hukum dan advokat tahu koneksi.
Pemahaman yang berkembang di tengah masyarakata bahwa seorang advokat
diposisikan sebagai pembela kliennya merupakan pemahaman yang sangat
keliru. Hal ini terjadi karena adanya persepsi negatif dari masyarakat bahwa
jasa seorang advokat dipakai untuk membela kepentingan yang memakainya
atau seorang advokat dibayar untuk meluruskan yang bengkok dan
mengaburkan yang telah terang.
Ketujuh, keterbatasan anggaran. Dengan keterbatasan anggaran yang
dialokasikan untuk penegakan hukum tentu akan mengganggu stabilitas
penegakan hukum.
Kedelapan, penegakan hukum yang dipicu oleh media massa. Intervensi
media dalam penegakan hukum memang tidak selamanya tidak baik, karena
adakalanya media mampu membantu aparat penegak hukum dalam
memecahkan dan mengungkap suatu kasus, namun untuk menjaga
independensi penegakan hukum sudah seyogyanya dalam penegakan hukum
tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk media massa.
Problematika yang telah dipaparkan sudah sehararusnya menjadi perhatian
semua pihak baik masyarakat maupun aparat penagak hukum. Penegakan hukum
yang berkeadilan dalam penerapannya harus diakui itu sangat sulit karena persepsi
setiap orang berbeda. Diharapkan kedelapan program yang teah dipaparkan dapat
dievaluasi agar tecapai tujuan penegakan hukum.
4. Simpulan
Sesuai dengan pendahuluan serta pembahasan yang telah dibahasan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Problematika dalam penegakan hukum adalah kurang terciptanya paradigma
penegakan hukum khususnya pada aspek kepastian hukum. kepastian hukum
dengan paradigma lama semata-mata mengedepankan pengabaian aspek
keadilan dan kemanfaatan.
2. Aparatur penegak hukum kebanyakan masih terpaku dengan paradigma
peraturan yang hanya menerapkan undang-undang. Serta kurang berani dalam
menerapkan peraturan penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai
keadilan serta kemanusiaan.
3. Penegakan hukum yang berkeadilan secara umum adalah penegakan hukum
yang tidak semata-mata hanya menerapkan peraturan perundangundangan
tetapi penegakan hukum yang senantiasa melibatkan dimensi perilaku manusia
dan menjadikan rasa keadilan masyarakat sebagai tolak ukurnya.
4. Dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum idealnya tidak
hanya menjadi corong peraturan perundang-perundangan tetapi hendaknya
harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Sebagai masyarakat yang
menjadikan hukum sebagai panglima, maka sudah seyogyanya kesadaran
hukum dijadikan sebagai budaya positif yang akan menuntun setiap perilaku
dan tindakan dalam keseharian sehingga mendatangkan kemaslahatan baik
bagi diri pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara.
5. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, hendaknya baik
lembaga legislatif maupun eksekutif harus senantiasa mempertimbangkan dan
relevansi sebuah peraturan perundang-undangan dengan kondisi sosial
masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN
Buku :
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
Anshori, Abdul Ghofur dan Sobirin Malian. Membangun Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Kreasi Total Media. 2008.

Jamali, Abdoel. Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.

Musakkir. Problematika Penegakan Hukum Oleh Aparat Penegak Hukum di


Indonesia. dalam Buku Bunga Rampai (Problematika Hukum dan
Peradilan di Indonesia). Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.
2014
Jurnal
Fakrulloh, Zudan Arif. Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan. Artikel
dalam “Jurnal Jurisprudence”. Vol. 2 No. 1. Maret 2005.
Rosyadi, Imron. Penegakan Hukum dalam Masyarakat Indonesia. Artikel dalam
“Jurnal Sains dan Inovasi”. Vol. III No. 2 Tahun 2007.
Suhardin, Yohanes. Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum.
Artikel dalam “Jurnal Mimbar Hukum”. Vol. 21 No. 2 Juni 2009.

Anda mungkin juga menyukai