3.1. DEFINISI
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (jaringan limfatik) yang dapat menyebabkan
gejala akut dan kronis.5
Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan diperkirakan menginfeksi sekitar
120 juta penduduk di 80 negara terutama negara tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan
penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas
kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.5
1. Hospes
Pada dasarnya, semua manusia dapat terjangkit penyakit filariasis apabila digigit
oleh nyamuk vektor yang infektif. Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang-orang
setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya di suatu daerah endemis, penyakit ini tidak menginfeksi semua orang dan dari
semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala. Biasanya, pendatang baru ke
daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada
penduduk asli. Pada umumnya, laki-laki banyak yang terkena infeksi karena lebih banyak
kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure).6
2. Hospes reservoar
Hospes reservoar berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria yang
menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B.malayi yang subperiodik nokturna dan
nonperiodik yang juga ditemukan pada hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca
fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat menjadi sumber infeksi pada manusia.
Adanya hospes reservoar akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan
karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoar sebagai
sumber penyakit.6
3. Vektor
Vektor penyakit filariasis adalah nyamuk. Di Indonesia telah diketahui 23 spesies
nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan
sebagai vektor dan vektor potensial filariasis. W.bancrofti yang terdapat di perkotaan
vektornya adalah Culex quinquefasciatus yang menggunakan air kotor dan tercemar sebagai
tempat perindukannya. W.bancrofti di pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai spesies
nyamuk.6
Di papua, W.bancrofti ditularkan terutama oleh Anopheles farauti yang dapat
menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu, terdapat
Anopheles koliensis, Anopheles punctulatus, Culex annulirostris, Aedes kochi dan Aedes
subpictus. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai
spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Mansonia dives dan lain-
lain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, kalimanytan, Maluku dan lain-lain.
B.malayi yang periodik ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah
sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori hanya ditemukan di
NTT dan Timor, ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah
sawah, baik di daerah pantai maupun di daerah pedalaman.6
Untuk pemberantasan vektor filariasis, blonomik (tata hidup) vektor harus
diketahui, mencakup perilaku berkembangbiak, perilaku menggigit dan perilaku istirahat.
Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar
tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Beberapa sifat dari
nyamuk vektor adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai darah hewan
(zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar rumah
(eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor
filariasis menentukan distribusi penyakit ini.6
4. Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan transmisi
penyakit filariasis. Biasanya, daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa,
sepanjang sungai atau badan air dan tanaman air. Sedangkan daerah endemis W.bancrofti
tipe perkotaan adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak
genangan air kotor sebagai habitat dari vektor penularnya. Daerah endemis W.bancrofti tipe
pedesaan secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B.malayi.5
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,
struktur geologi dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan
kehidupan vektor. Adanya lingkungan yang cocok untuk kehidupan vektor maka akan
sangat potensial untuk terjadi penularan filariasis. Lingkungan fisik penting pula artinya
untuk tempat perindukan dan tempat istirahat vektor. Suhu dan kelembaban
mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta mempengaruhi tempat perindukan
nyamuk. Lingkungan rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoar sangat
mempengaruhi penyebaran filariasis B.malayi subperiodik nokturna dan nonperiodik.5
b. Lingkungan biologis5
Lingkungan biologis yang erat kaitannya dengan penularan filariasis adalah
lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi.
c. Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya5
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai
akibat adanya interaksi antarmanusia. Di dalam lingkungan ini termasuk perilaku, adat
istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan bertani/berkebun,
kebiasaan bekerja pada malam hari, atau kebiasaan keluar pada malam hari sebelum tidur
dan sewaktu tidur. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan kontak dengan vektor.
Sehubungan dengan pekerjaannnya, laki-laki menunjukkan angka infeksi yang lebih
tinggi daripada perempuan.
3. 4. DIAGNOSIS
Tanda-tanda filariasis:5
1. Tahap akut
Demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari terutama bila
bekerja berat dan sembuh sendiri tanpa diobati.
Teraba ada urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit dari pangkal paha atau
ketiak dan berjalan ke ujung kaki atau tangan.
Abses (luka infeksi) filariasis terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah disertai darah.
Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (limfadema dini)
2. Tahap kronik
Terjadi pembesaran pada kaki, tangan, kantung buah zakar, payudara dan alat
kelamin wanita yang hilang timbul, lama kelamaan menjadi cacat menetap. Limfedema
terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada
tidaknya nodul (benjolan) serta mossy foot (gambaran seperti lumut).
Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria berikut:
Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh kiri dan kanan,
lengan dan tungkai.
Penentuan stadium limfedema lengan (atas,bawah) atau tungkai (atas,bawah)
dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum/ sesudah pengobatan dan
penatalaksanaan kasus.
Diagnosis parasitologi 6
1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan
kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi
dan tes provokatif DEC. pengambilan darah dilakukan malam hari mengingat periodititas
mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang
potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang
dicurugai sebagai tumor.
2. Diferensiasi spesies dan stadium filarial, yaitu dengan menggunakan pelacak DNA yang
spesies spesifik and antibody monoclonal untuk mengidentifikasi larva filarial dalam
cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vector sehingga dapat membedakan antara larva
filarial yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya
masih terbatas dalam survey.
Radiologis 6
1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening
inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance
sign). Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
2. Pemeriksaan limfoskintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai
dengan zat radioaktifmenunjukkan adanya abnormalitas system limfatik sekalipun pada
penderita asimptomatik mikrofilaremia.
Diagnosis Imunologi 6
Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test (ICT). Kedua teknik ini pada
dasarnya menggunakan antibody monoclonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen
W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun
microfilaria tidak ditemukan dalam darah.
Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah.
Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel
atau cairan kiluria.
3.5. TATALAKSANA
1. Pencegahan5
A. Pencegahan massal
Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun hal ini
terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun). Baru-baru ini,
khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat
(albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kg BB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan
alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.5
Pada pengobatan massal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis
standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan
dosis lebih rendah (6 mg/kg BB), dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk
mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2-0,4 % selama 9-12
bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1
bulan.5
Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis (MF rate >1%) dengan menggunakan
obat Diethyl carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali setahun
selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam maka diberikan
Paracetamol.8
B. Pencegahan individu5
Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan obat oles anti
nyamuk, kelambu, atau insektisida.
2. Pengobatan5
A. Perawatan umum
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangu derajat
serangan akut
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses
Pangikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema
B. Pengobatan spesifik
1. Pengobatan infeksi
Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal ini
dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis satu kali per tahun.
Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi,
atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapatkan
Dietilcarbamazine (DEC) sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah.
Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini
dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8
mg/kg BB/hari).5
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat efektif
menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing dewasa, sehingga
terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Albendazil
bersifat makrofilarisidal untuk W. Bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu.
Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk mengobati individu,
DEC msih digunakan.5
Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis,
tergantung dosisnya. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian
parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obat, tapi pada jumlah parasit dalam tubuh hospes.5
Ada 2 jenis reaksi:
1. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai
bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria transien, reaksi alergi,
muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena kematian filaria dengan sepat dapat
menginduksi banyak antigen sehingga merangsang sistem imun dan dengan demikian
menginduksi berbagai reaksi. Reaksi ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan
berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak
terlalu hebat pada dosis kedua dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya.5
2. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien
limfedema, hidrokel, funikulitis, dan epididimis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian
dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan
spontan.5
Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis;
berhubungan dengan keberadaan cacing dewasa atau larva s tadiuum IV dalam tubuh hospes.
Efek samping pada pemberian Ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC,
hanya lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan filariasis bankrofti.5
2. Pengobatan penyakit
Hidrokel besar yang tidak mengalami regesi sponyan sesudah terpai adekuat harus
dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika vaginalis yang terjebak untuk
melancarkan aliran limfe. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan
operasi. Aspirasi cairan hidrokel dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang
kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.5
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan hasil yang
memuaskan.5
3.6. PROGNOSIS5
Stadium mikrofilaria, limfangitis, dan limfedema dapat dapat disembuhkan dengan
pengobatan DEC, tetapi kasus lanjut seperti elephantiasis prognosisnya lebih buruk.
Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas
nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–
2009, Bab 28, D,5. Selain itu diterbitkan Surat Edaran Mendagri No. 443.43/875/SJ tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka Eliminasi Filariasis di
Indonesia, sehingga diharapkan komitmen dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan
semakin meningkat.
Pengendalian filariasis dengan pemberian obat Diethylcarbamazine Citrat (DEC) sudah
mengalami beberapa kali perubahan metode sejak dimulainya program pengendalian filariasis
pada tahun 1970. Kemudian terbukti bahwa pemberian obat DEC dikombinasikan dengan
Albendazole dalam dosis tunggal secara masal setahun sekali selama minimal 5 tahun berturut-
turut sangat ampuh untuk memutus rantai penularan filariasis. Namun, upaya pengendalian
filariasis terkendala dengan terbatasnya sumber daya walaupun Pemerintah dan pemda telah
berupaya mendukung dan memobilisasi sumber daya untuk eliminasi filariasis tahun 2020.
Pemerintah juga mendorong peran aktif masyarakat di daerah endemis filariasis,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta serta sektor terkait dalam menyikapi
program eliminasi filariasis tersebut.
.
Upaya penanggulangan masalah filariasis dikembangkan atas dasar hukum dan
perundangan yang berlaku serta visi, misi dan strategi Kementerian Kesehatan.
a. Visi, Misi dan Strategi
Strategi dan program kerja untuk eliminasi filariasis di Indonesia mengacu kepada Visi dan Misi
Kementerian Kesehatan RI serta strategi yang telah ditetapkan secara resmi. Visi dan Misi
Kementerian Kesehatan RI tersebut adalah:
1.VISI
Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan.
2. MISI
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat,
termasuk swasta dan masyarakat madani.
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang
paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.
4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
3. STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam
pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global.
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau bermutu dan berkeadilan,
serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.
3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan
jaminan sosial kesehatan nasional.
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan
bermutu.
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan
serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat
kesehatan dan makanan.
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan
berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
b. Kebijakan Nasional
Adapun kebijakan nasional eliminasi filariasis sampai dengan tahun 2020 adalah :
1) Landasan Hukum Pelaksanaan Program
Produk hukum berupa dokumen penting dikeluarkan pemerintah dan merupakan dasar
pelaksanan program eliminasi filariasis.
i. Undang-undang No. 23 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
3495).
ii. Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2005 – 2009 telah menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas
dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit yang bertujuan menurunkan
angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan tidak menular.
iii. Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 612/MENKES/VI/2004 tanggal 1 Juni 2004 Perihal
Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) Indonesia.
iv. Kepmenkes RI No. 1582/Menkes/SK/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis
(Penyakit Kaki Gajah)
v. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 443.43/875/SJ tanggal 24 April 2007 Perihal
Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis Dalam Rangka Eliminasi Filariasis
di Indonesia.
2) Tujuan Program Eliminasi Filariasis di Indonesia
Secara umum, tujuan program eliminasi filariasis mengacu kepada tujuan pembangunan
kesehatan nasional. Tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah meningkatkan kesadaran,
kesediaan dan kemampuan untuk hidup sehat tiap individu agar terwujud tingkat kesehatan
masyarakat yang tinggi.
Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah agar filariasis tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program
adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota, (b)
mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.
Program eliminasi filariasis di Indonesia ini menerapkan strategi Global Elimination
Lymphatic Filariasis dari WHO. Strategi ini mencakup pemutusan rantai penularan filariasis
melalui POMP filariasis di daerah endemis filariasis dengan menggunakan DEC yang
dikombinasikan dengan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun, dan upaya mencegah dan
membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus klinis filariasis, baik kasus akut maupun
kasus kronis.
b. Strategi Program Eliminasi Filariasis 2010-2014
i. Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun ke depan terdiri dari :
ii. Meningkatkan peran kepala daerah dan para pemangku kepentingan lainnya.
iii. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada
masyarakat.
iv. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional.
v. Memantapkan pelaksanaan POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) filariasis yang
didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian
ikutan pasca pengobatan.
vi. Meningkatkan monitoring dan evaluasi
3) Kebijakan Upaya Pencegahan dan Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis
Kebijakan dan respon Pemerintah Indonesia dalam eliminasi filariasis diterjemahkan
dalam pelaksanaan program di tingkat daerah. Secara umum ada beberapa daerah yang telah
melaksanakan program eliminasi filariasis, tetapi masih rendah cakupan pelaksanaannya. Situasi
program eliminasi filariasis dari sisi pencapaian dan hambatan adalah sebagai berikut:
i. Pemberian obat secara masal untuk pencegahan filariasis
Pencapaian: Upaya memutus rantai penularan dilakukan dengan POMP filariasis dengan
obat dosis tunggal DEC, albendazol dan paracetamol. Sampai tahun 2009 hanya 97
kabupaten/kota yang melaksanakan POMP filariasis dengan sekitar 19 juta orang minum obat.
Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis yaitu daerah dengan angka
microfilaria (Mf rate) ≥ 1% dengan unit pelaksanaan terkecil adalah kecamatan. Pengobatan
massal menggunakan kombinasi DEC dosis tunggal 6 mg/kgBB, albendazole 400mg (1 tablet)
dan paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. Upaya ini
dimaksudkan untuk membunuh semua microfilaria dalam darah dan cacing dewasa.
Untuk pengobatan massal di Indonesia diberikan paket obat yang terdiri dari DEC,
albendazole dan paracetamol yang diberikan setahun sekali selama 5 tahun pada penduduk yang
berusia 2 tahun ke atas. Penduduk sebaiknya minum obat anti filariasis sesudah makan dan
dalam keadaan istirahat/tidak sedang bekerja (sore).
Efek samping pengobatan dengan DEC yaitu mual,muntah, pusing, emam, sakit kepala,
sakit otot dan tulang, lymphangitis, lymphadenitis, lymphedema, abses, gatal-gatal, berak-berak,
keluar cacing,dll. Efek samping DEC biasanya ringan, efek samping yang berat bukan
disebabkan oleh obatnya tetapi disebabkan oleh hasil pengobatan, yaitu oleh reaksi alergi
terhadap microfilaria yang mati. Penjelasan dan pemahaman mengenai efek samping perlu
dijelaskan kepada masyarakat yang sedang dilakukan pengobatan massal agar penderitaan yang
dialami akibat penyakit kaki gajah tersebut tidaklah sebanding dengan efek karena proses
pengobatan ini. Reaksi efek samping biasanya terjadi 3 sampai 5 hari kemudian menghilang
dengan sendirinya.
Sebelum dilakukan pengobatan massal sebaiknya dilakukan penyiapan masyarakat
melalui penyuluhan yang intensif mengenai pelaksanaan pengobatan massal. Sikap dan perilaku
penduduk yang diharapkan setelah dilakukan penyuluhan adalah :
Penduduk bersedia diperiksa darah jarinya pada malam hari
Penduduk bersedia minum obat anti filariasis satu kali setahun
Penduduk segera datang memeriksakan diri di puskesmas bila setelah pengobatan
ada keluhan dengan tanda-tanda penyakit seperti demam berulang, peradangan
kelenjar/saluran getah bening di lipat paha/ketiak
Penduduk bersedia menyebarluaskan pengetahuan tentang filariasis
Penduduk berusaha secara aktif menghindarkan diri daari gigitan nyamuk
Penduduk bersedia ditunjuk sebagai Tenaga Pembantu Eliminasi (TPE) penyakit
kaki gajah. Syarat menjadi kader adalah dapat membaca dan menulis serta dapat
diterima oleh masyarakat (akan lebih baik bila TPE adalah mantan penderita).
TPE harus dilatih terlebih dahulu oleh petugas kesehatan stempat. Satu TE
bertugas untuk membina 10-20 KK (50-100 orang).
Tingkat puskesmas/kecamatan
Rekap laporan
Tingkat kabupaten/kota
Tingkat propinsi
Tingkat pusat
Gambar.3 Alur Pencatatan dan Pelaksanaan Pengobatan Massal