Anda di halaman 1dari 211

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER


ADHAPER
Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2017

Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2017

ISSN. 2442-9090
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MELALUI
LEMBAGA ADAT DI MINANGKABAU SUMATERA BARAT

Ali Amran*

ABSTRAK

Sengketa tanah ulayat di Minangkabau ditemukan dalam anggota paruik atau kaum akibat pembagian
“gangam bauntuak” terhadap anggota kaum yang tidak merata oleh mamak kepala waris . Disamping
itu juga terjadi sengketa antar kaum dikarenakan batas sepadan tanah yang kurang jelas sehinga
kaum yang satu menggarap milik kaum yang lain dengan cara memindahkan batas tanah yang telah
ditetapkan oleh mamak kepala kaum dan sengketa antar paruik dengan suku, sengketa tanah ulayat
antar suku dan antar suku dengan nagari. Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau adalah
“bajanjang naik batango turun”. Bajanjang naik maksudnya setiap persengketaan diselesaikan
melalui proses lembaga adat pada tingkat yang paling rendah yaitu oleh mamak kaum. Apabila tidak
memperoleh kesepakatan , maka penyelesaian sengketa diteruskan ke tingkat kampung yaitu oleh
mamak dalam kampung. Begitu seterusnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh kepala suku
dan penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Batanggo Turun artinya hasil musyawarah atau
atau hasil penyelesaian sengketa oleh ninik mamak atau orang yang dituakan dalam adat diharapkan
akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berperkara. Teknik penyelesaian sengketa oleh lembaga adat
yang ada di Minangkabau mulai dari lembaga yang lebi rendah yaitu oleh mamak separuik atau
mamak kepala waris sampai ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh Kerapatan Adat Nagari adalah
secara musyawarah dan mufakat serta mengutamakan rasa keadilan. Penyelesaian sengketa tanah
ulayat melalui lembaga adat jauh lebih efektif dibanding penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Hal ini dikarenakan anggota kaum lebih menghormati orang yang dituakan dalam kaumnya yaitu
mamak pemimpin kaum atau mamak kepala waris.

Kata kunci: adat, sengketa, tanah ulayat

LATAR BELAKANG

Manusia dan tanah mempunyai hubungan yang erat. Menurut pngematan J.B.A.F Polak
bahwa hubungan manusia dengan tanah pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar
usaha untuk menjadi sumber penghidupannya.1 Penguasaan dan pemilikan tanah secara
yuridis memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengandung implikasi harus terdapat

*  Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, dapat dihubungi melalui email: aliamranshmh@yahoo.com
1  Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, eksistensi dalam Dinamika Pembangunan Hukum di Indonesia,

C.V. Nuansa Aulia, Bandung , h. 97.

175
176 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil
terhadap kepemilikan tanah tersebut. Untuk kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah
diperlukan pendaftaran tanah. Undang-Undang Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakan
pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdapat di atasnya agar mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak.2

Di Minangkabau (Sumatera Barat) sebagian tanah yang ada merupakan tanah ulayat.
Pengurusan tanah ulayat harus berfungsi sosial dan asas kekeluargaan serta dipergunakan
untuk keperluan kaumnya. Tanah Ulayat diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang
atau dari pemberian karena sesuatu yang dilakukan.

Dengan penguasaan tanah tersebut, tanah ulayat di Minangkabau (Sumatera Barat)


sering menjadi masalah bagi pemilikannya oleh generasi berikutnya. Menurut hukum adat
tanah Ulayat tidak boleh diasingkan atau dibagi-bagi karena merupakan milik bersama dan
kepemilikannya tidak boleh dipecah-pecah atau dibagi dan dijadikan milik pribadi.

Keberadaan tanah Ulayat telah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3
menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi.
Hal ini dipertegas oleh Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.

Dalam masyarakat hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal tiga tipe dasar
penguasaan atas tanah yaitu; penguasaan secara kelompok atau nagari, secara komunal dan
secara perorangan atau pribadi. Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau
diatur dalam peraturan adat yang dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat
secara turn-temurun dengan baik, sehingga apabila timbul pertentangan atau sengketa yang
disebabkan oleh tanah, mereka akan menyelesaikannya dengan peraturan adat yang ada dalam
masayarakat yang disebut sebagai “Hukum Acara Perdata Adat”. Ketentuan ini terungkap

2  Boedi Harsono,2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan

pelaksanaannya, Djembatan,Jakarta, h.470


Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 177

dalam fatwa adat yang menyatakan ”Bulek aia karano pambuluah, bulek kato dek mufakat”
(bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Maksudnya lebih mengutamakan
pola musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

Hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah menciptakan suatu hak untuk
menggunakan, menguasai, dan sekaligus mempertahankan hak tersebut bagi kelompok
hukumnya atau kaumnya. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari sekian
banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia, hidup dalam lingkungan hukum
adat dengan ciri-ciri yang spesifik dan sekaligus sebagai pembeda dengan masyarakat hukum
adat lainnya di Inbdonesia. Jika dilihat dari garis keturunan, maka masyarakat Minangkabau
menganut sistem matrilineal. Dalam sistem matrilineal penguasaan atas tanah pusaka(pusako)
termasuk tanah adalah oleh wanita atau bundo kandung, sedasngkan pihak laki-laki berfungsi
sebagai pengawas atau melindungi hak atas tanah tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan
yang dapat menyebabkan hilang dan berkurangnya harta pusaka.

Tanah dalam masyarakat Minangkabau merupakan harta kekayaan yang selalu


dipertahankan, karena wibawa suatu kaum akan sangat ditentukan oleh luasnya tanah yang
dimiliki, begitu juga halnya dalam menentukan asli tidaknya seseorang atau suatu kaum
berasal dari suatu daerah. Hal ini sesuai dengan fatwa adat yang menyatakan; ”bahwa asli
atau tidaknya seseorang atau suatu kaum berasal dari suatu daerah harus ditandai dengan:
Ado tapian tampek mandi, Ado basasok bajarami, Ado bapandan bapakubur.

Tanah ulayat di Minangkabau baik berupa komplek perumahan, sawah, lading, hutan
sungai maupun hasil tambang secara sederhana disebut dengan kata “Pusako“. Secara
grammatical pengertian pusako adalah pusaka. Kata pusako mengandung pemahaman
bahwa kekayaan yang ada akan diwariskan secara turun temurun oleh ahli waris dalam garis
keturunan ibu. Prinsip dasar pemilikan harta pusako adalah secara komunal yaitu secara
bersama-sama. Tidak ada seorangpun anggota komunitas masyarakat Minangkabau yang
dapat menunjukkan pemilikannya secara individu atas sebidang tanah ulayat. Tetapi untuk
memudahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut, dibuatlah ketentuan-ketentuan yang terus
dilestarikan.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5


Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang
dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para wargaanya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan
178 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Menurut Van Vollenhoven; ciri-ciri hak ulayat ialah sebagai berikut:

1. Persekutuan hukum itu dan anggota–anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan


belukarnya dalam wilayahnya dengan batas-batas seperti membuka tanah, mendirikan
perkampungan, memungut hasil, berburu, mengembala ternak dan lain sebagainya.
2. Yang bukan anggota-anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan tanah
itu, tetapi hanya atas pemberian izin dari persekutuan hukum itu, tanpa izin ia membuat
kesalahan.
3. Dalam mempergunakan tanah itu, bagi anggota hanya kadang-kadang tapi bagi yang
bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognatie).
4. Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang
terjadi dalam lingkungan wilayahnya. Bilamana orang yang melakukan kejahatan itu
sendiri tidak dapat digugat atau dikenal.
5. Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada
siapapun juga
6. Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah yang telah digarap
oleh anggota kaumnya seperti dalam pembagian pekarangan, dalam jual beli tanah dan
lain sebagainya.3

Ajaran tentang tanah ulayat di Minangkabau: “ainya boleh diminum, buahnya boleh
dimakan, tanahnya tetap tinggal”. Tanah Ulayat tidak boleh dipindah tangankan kepada
pihak lain; dijua indak dimakan jua, digadai indak dimakan sando. Atau dsebut juga tanah
ulayat dijual mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat diminta.4

Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau diatur dalam Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfa’atannya sebagai berikut;

a. Tanah Ulayat nagari adalah tanah Ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di
dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN)
dan dimanfa’atkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan
pemerintah nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfa’atannya.
b. Tanah Ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
berada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu
yang penguasaan dan pemanfatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.

3 Djamat Samosir, Op.Cit, h.106


4 Dt. Parapatiah Nan Tuo; Adat Basandi Syara, Syarak basansi Kitabulla, Pedoman hidup Banagari, Sako Batuah,
Padang, h. 80-81
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 179

c. Tanah Ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari
jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfa’atannya diatur oleh mamak jurai/mamak
kepala waris.
d. Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfa’atannya di atur oleh laki-laki
tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Propinsi
Sumatera Barat.

Tanah Ulayat nagari dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam


kerapatan adat nagari. Tanah Ulayat nagari adalah milik bersama rakyat dalam nagari. Tanah
Ulayat nagari dapat berupa hutan-hutan, semak belukar maupun tanah-tanah yang berada dalam
lingkup dan pengelolaan nagari. Nagari merupakan gabungan dari koto, yang mempunyai
suku serta menempati suatu wilayah tertentu. Pada umumnya di dalam suatu nagari dijumpai
sedikitnya empat buah suku. Sebuah nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, Penggunaan
tanah ulayat nagari digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti
pembangunan mesjid, pembuatan balai adat dan untuk pasar atau kepentingan lainnya yang
dapat dimanfa’atkan untuk kepentingan bersama.

Tanah Ulayat suku, dipegang oleh para penghulu suku dan dikelola oleh anggota suku.
Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian darah yang mengikat suku adalah
pertalian darah menurut garis ibu.

Tanah Ulayat kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. Kaum
adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari sutu nenek. Tanah Ulayat kaum
merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan
terutama untuk mmenuhi kebutuhan ekonominya. Tanah Ulayat kaum yang dimiliki secara
komunal merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk memungut
hasilnya.

Apabila terjedi sengketa tanah ulayat, maka penyelesaian yang harus ditempuh ialah
melalui lembaga adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau, mulai dari tingkat yang lebih
rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yaitu: “Sengketa
tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh kerapatan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang
adat yang berlaku, berjanjang naik bertanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian
melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian”.
180 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

Penyelesaian sengketa tanah adat dalam keraptan adat dilaksanakan di Balai Adat oleh
suatu majelais hakim yang ditentukan oleh penghulu adat yang ada dalam Kerapatan Adat
Nagari. Dalam mengambil keputusan, pembuktian merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam persidangan sehingga kepada para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti
berupa surat atau keterangan saksi dan bukti-bukti lain yang dapat membuktikan kebenaran
kepemilikan tanah tersebut.

PEMBAHASAN

Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat

Sebagaimana kita ketahui penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses ligitasi
dan non ligitasi. Penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi adalah penyelesaian sengketa
melalui sidang pengadilan. Proses ligitasi menghasilakn keputusan yang bersifat advarsial
atau putusan yang belum merangkul kepentingan bersama, lama dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan sering menimbulkan permusuhan antara
pihak yang berperkara.

Penyelesaian sengketa melalui proses non ligitasi adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar sidang pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dinamakan dengan Alternative
Dispute Resolution(ARD). Alternative Dispute Resolution adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang diseapakati para pihak yaitu penyelesaian
sengketa di luar pengadila dengan cara konsultasi, negsiasi, konsolidari, atau penilaian ahli.
Pasal 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah para
pihak yang bersengketa.

Proses penyelesaian sengketa non ligitasi diantaranya:

1. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk
menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau ”urung
rembuk”.5 Proses ini tidak mmelibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya
berinisiatif sendiri menyelsaikan sengketa mereka. Para pihak l terlibat langsung dalam
dialog dan proses penyelesaiannya.

5  Syahsrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukumm Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2009, h. 9


Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 181

Agar negosiasi dapat berjalan dengan lancar, maka ketentraman komunikasi dan wawasan
para pihak sangat menentukan, terutama dalam menyampaikan kepentingan dan keinginan
dari para pihak serta mendengarkan tuntutan dan kepentingan pihak lain.6
2. Mediasi
Kata mediasi berasal dari bahasa Inggeris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa
yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa dengan cara
menengahi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia , pengertian mediasi adalah suatu proses
pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.
Mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa
itu.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antara para
pihak dengan mediator karena para pihak secara suka rela meminta kepada mediator
untuk membantu menyelesaikan konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu mediator
berkedudukan sebagai pembantu, walaupun ada unsur intervensi dari pihak-pihak yang
sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, mediator harus bersifat netral/tidak memihak
dan berpartisipasi aktif membantu para pihak untuk menemukan perbedaan persepsi/
pandangan. Pihak ketiga (mediator) atau penengah yang tugasnya membantu pihak-pihak
yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator
tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya
membantu pihak=pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator hanya bertindak sebagai
fasilitator. Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap
penting bagi mereka. Mediator mepermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi
mengenai perbedaan–perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan
persoalan-persoalan yang disengketakan, serta mengatur pengungkapan emosi para
pihak.
3. Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana
pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa
mereka. Pengertian arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,

6  Ibid, h.10
182 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.

Perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjaan tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa,
2. Perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Jenis arbitrase dalam penyelesaian sengketa ada 2 (dua) macam yaitu:

1. Arbitrase Ad hoc (arbitrase Volunteir)


Arbitrase Ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau
memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidentil dan jangka waktunya
tertentu sampai sengketa itu diputus. Para pihak yang bersengketa dapat memilih atau
menentukan arbitrasenya atau bisa pula meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat
arbitrasenya yang bertugas memeriksa atau memutus sengketa yang bersangkutan.
2. Arbitrase Institusional
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen
yang sering disebut “permanent arbitrase body”. Arbitrase ini disediakan oleh organisasi
tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Arbitrase institusional ini menyediakan jasa administrasi arbitrase yang meliputi
pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan procedural sebagai pedoman bagi
para pihak dan pengangkatan arbiter.

Masalah tanan dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhanan
penyelesaiannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah bermula dari pengaduan satu
pihak(orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya.

Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau diselesaikan secara musyawarah dan


mufakat. Cara ini diungkapkan dalam fatwa adat yang berbunyi:”bulek aia dek pambuluhan,
bulek kato dek mufakat.7

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sengketa tanah ulayat yang terjadi dalam
masyarakat MinangKabau diselesaikan secara bajanjang naik batangga turun artinya terlebih
dahulu diselesaikan melalui lembaga adat pada tingkat yang lebih rendah yaitu tingkat keluarga

7  Sejenis salurabn air yang berasal dari bamboo dan bulat kata karena musyawarah atau mufakat’
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 183

kemudian ke tingkat kampung dan terakhir tingkat nagari. Sedangkan batanggo turun berarti
hasil penyelesaian sengketa pada masing-masing tingkat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak
yang bersengketa sebab yang menyelesaikan itu adalah orang-orang yang telah dituakan
dalam kaum atau nagari sehingga pihak yang bersengketa tidak bisa menolaknya. Dalam hal
ini kalau terjadi sengketa dalam keluarga diselesaikan oleh mamak yang ada dalam keluarga.
Kalau tidak selesai pada tingkat keluarga, maka diselesaikan oleh penghulu paruik dalam
persekutuan. Apabila belum juga selesai, dilanjutkan ke Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Adapun bentu-bentuk sengketa tanah ulayat dan penyelesaiannya melalui lembaga adat
di Minangkabau adalah sebagai berikut:

1. Sengketa tanah ulayat anggota paruik (anggota kaum)


Sengketa tanah ulayat dalam anggota kaum atau saparuik terjadi kerena adanya
pembagian tanah ulayat oleh mamak kepala waris kepada anggota kaum dengan istilah
ganggam bauntuak maksudnya anggota kaum berhak memperoleh bagian harta pusaka
tinggi atau tanah ulayat untuk dimanfa’atkan dan diusahakan dapat menghasilkan untuk
pembiayaan hidup anak-anaknya, akan tetapi pembagiannya tidak merata antara anggota
keluarga dalam suatu kaum. Selain itu sengketa dalam anggota kaum. Hal ini bisa terjadi
karena masalah batas sepadan tanah yang dimiliki oleh anggota kaum dengan anggota
kaum lainnya atau karena anggota kaum lainnya itu belum menggarap bagiannya lalu
anggota kaum yang menggarap memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak
kepala waris. Kemudian pada saat anggota kaum yang belum menggarap itu melihat
tanah bagiannya sudah digarap atau diambil oleh anggota kaum yang telah menggarap
dengan memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak kepala waris sehingga
terjadi pertengkaran atau sengketa antara angota kaum yang telah memperoleh ganggam
bauntuak tersebut karena pihak yang telah mengarap dahuluan itu merasa memiliki tanah
yang telah digarapnya. Masalah seperti ini diselesaikan oleh mamak kepala waris dengan
cara musyawarah anggota paruik baik yang bersengketa maupun yang tidak terlibat
dalam sengketa guna masing-masing anggota paurik mengetahui batas bagian masing-
masing. Sebelum diadakan musyawarah dengan anggota paruik tersebut terlebih dahulu
mamak kepala waris melihat tanah yang disengketakan itu. Sebelum mamak kepala waris
menetapkan keputusan dilakukan upaya damai antara pihak yang bersengketa dengan
memanggil pihak yang bersengketa dan menawarkan apakah kedua belah pihak bersedia
berdamai dengan menyelesaikan berdua masalah yang disengketakan itu. Apabila tidak
mamak kepala waris memutuskan agar masing-masing yang menguasai atau menggarap
tanah yang telah diperoleh dengan batas yang telah ditentukan oleh mamak kepala waris,
tidak boleh menyerobot bagian anggota paruik yang lainnya dengan mengembalikan
184 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

biaya yang telah dikeluarkan oleh yang menggarap tanah anggota kaum yang lain.
Setelah putusan ditetapkan oleh mamak kepala waris masing-masing yang bersengketa
menanda tangani surat keputusan itu, sedangkan anggota lainnya ikut menandatangani
sebagai saksi.

2. Sengketa tanah ulayat antar anggota paruik (kaum)


Antar anggota paruik maksudnya ialah suku yang sama tetapi berlainan ibu pada nenek
yang sama. Sengketa antar anggota paruik itu terjadi karena anggota paruik tidak menjaga
tanah ulayat kaumnya tetapi anggota suku menggarapnya begitu lama sehingga anggota
suku itu merasa memilikinya, padahal tanah yang digarap itu seharusnya digarap oleh
anggota paruik yang lain. Oleh karena itu anggota paruik yang tidak menggarap tersebut
menuntut bagiannya untuk ikut menggarap tanah kaum itu. Penyelesaian sengketa antar
paruik ini dilaksanakan dengan cara musyawarah antar paruik yang dihadiri oleh mamak
kepala waris masing-masing paruik. Dalam hal ini mamak kepala waris masing-masing
paruik menjelaskan kedudukan tanah ulayat tersebut, kemudian menjelaskan peruntukan
masing-masing paruik secara musyawarah dan membaginya secara adil. Kalau anggota
paruik yang menggarap tanah ulayat anggota paruik lain harus mengembalikannya
kepada anggota paruik yang seharusnya menggarap tanah tersebut. Anggota paruik yang
menggarap tanah anggota paruik lain itu berhak menerima ganti rugi dari anggota paruik
yang akan menerima tanah tersebut sesuai dengan nilai tanaman yang ada di dalamanya.
Penentuan nilai tanaman yang ada pada tanah tersbut disepakati melalui musyawarah
anggota paruik dan dilaksanakan secara suka rela. Mamak kepala waris masing-masing
paruik menyetujui hasil musyawarah kedua belah pihak. Keputusan bersama antara dua
paruik atau lebih dituangkan dalam berita acara atau ditulis dalam sebuah surat dengan
ditanda tangani oleh angora paruik yang bersengketa dan diketahui oleh mamak kepala
waris masing-masing paruik.

3. Sengketa Tanah Ulayat antar Suku


Suku adalah warga dalam suatu nagarai yang terdiri dari kelonpok-kelompok dari anggota
kaum yang berbeda. Di Minangkabau saat ini dalam suatu nagari dihuni misal 4 (empat)
macam suku. Yaitu, Jambak, Caniago, Tanjung dan Melayu.
Tanah ulayat suku adalah tanah yang dimiliki secara bersama anggoata suku dan
dimanfa’atkan oleh anggota suku. Apabil terjadi sengketa tanah ulayat antar suku, maka
penyelesaiannya dilakukan oleh penghulu-penghulu suku mewakili semua anggota suku
sebagai pemilik tanah ulayat. Penyelesaiannya dilakukan secara mausyawarah antar
pengulu suku yang bersengketa dengan dihadiri oleh penghulu suku yang ada di nagari
tersebut. Apabila ada penghulu suku dalam nagari itu tidak hadir atau yang mewakilinya,
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 185

maka penyelesaiannya ditunda sampai penghulu-penghulu suku atau wakilnya yang


ada dalam nagari itu bisa menghadirinya. Musyawarah penghulu-penghulu suku itu
dilaksanakan di balai adat nagari. Dalam musyawarah penghulu-penghulu suku ini
msing-masing suku menjelaskan kronologis kepemilikan tanah ulayat yang dimiliki
oleh suku masing-masing dengan mengemukakan bukti-bukti kepemilikan yang mereka
miliki serta menjelaskan batas-batas tanah ulayat yang mereka miliki. Setelah kedua suku
yang bersengketa menyampaikan bukti-bukti kepemilikan masing masing, dimintakan
kepada penghulu suku yang lain yang mengetahui sejarah tanah ulayat tersebut terutama
penghulu suku yang berdekat dengan tanah ulayat yang disengketakan. Setelah mendengar
keterangan penghulu masing-masing pemilik tanah yang disengketakan dan penghulu
lain yang menjelaskan keberadaan tanah ulayat tersebut, dicarikan jalan keluar atau
solusi sengketa secara adil. Dalam hal ini peran wali nagari sangat menentukan. Sebelum
ditetapkan keputusan penyelesaian sengketa tanah ulayat ini wali nagari mencoba
menawarkan kepada pihak yang bersengketa untuk menerima pendapat penghulu yang
menjelaskan pemilik yang berhak memilikinya dengan batas-batas yang telah dijelaskan
dan diakui oleh penghulu-penghulu lain yang menghadiri pertemuan itu. Apabila kedua
suku yang bersengketa itu menerima tawaran yang disampaikan wali nagari, dibuatkan
surat keterangan wali nagari yang menjelaskan kepemilikan tanah yang disengketakan itu
dengan batas-batas sesuai dengan yang diusulkan dan disetujui oleh kedua belah pihak
dengan ditanda tangani oleh kedua suku yang bersengketa dan diketahui oleh penghulu-
penghulu suku yang hadir serta disahkan oleh wali nagari. Masing-masing penghulu suku
meperoleh keputusan wali nagari tersebut untuk dijelaskan kepada anggota suku masing-
masing. Apabila kedua suku yang bersengketa menolak, maka sengketa itu diusulkan
penyenlesaiannya oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN).

4. Sengketa Tanah Ulayat antara Suku dengan Nagari


Sengketa tanah ulayat antara suku dengan nagari biasanya terjadi karena menurut anggota
suku tanah ulayat tersebut merupakan hak dari anggota suku mereka yang telah digunakan
oleh nagari tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Penyelesaian sengketa antara suku dengan Nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat
Nagari (KAN). Dalam hal ini penghulu suku mengajukan permohonan kepada Kerapatan
Adat Nagari dengan menjelaskan persengketaan tersebut secara terperinci sekaligus bertuk
sengketanya. Kalau Nagari memanfa’atkan tanah suku untuk pembangunan Nagari,
pemohon menjelankan kronologis kejadiannya sampai tanah tersebut dikuasai oleh Naga.
Setelah permohonan itu diajukan oleh penghulu suku yang merasa dirugikan oleh Nagari,
Kerapatan Adat Nagari memanggil para pihak untuk dimintai keterangan masing-masing.
186 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

Setelah kedua belah pihak didengarkan keterangannya, KAN mempertemukan kedua


belah pihak untuk membicarakan penyelesaian yang baik antara suku dengan Nagari.
Biasanya KAN menawarkan kepada suku untuk menerima ganti rugi dari Wali Nagari
atau Wali Nagari mengembalikan tanah tersebut kepada suku. KAN menyelesaikannya
secara musyawarah dan menegakkan keadilan terhadap suku yang merasa dirugikan
oleh Nagari. Kesepakatan kedua belah pihak merupakan keputusan yang paling sering
diambil oleh KAN supaya dikemudian hari tidak terjadi sengketa lagi. Setelah kedua
belah pihak setuju dengan apa yang telah disepakati, maka Wali Nagari membuat Surat
keputusan yang isinya sesuai dengan yang telah disepekati dan penghulu-penghulu suku
membubuhi tanda tangan sebagai saksi dan Wali Nagari menanda tangani surat keputusan
tersebut serta dibubuhi cap/stempel Nagari dan masing-masing pihak yang bersengketa
(suku dan Nagari) diberi satu rangkap untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Semua sengketa yang telah diuraikan di atas bila tidak selesai atau tidak berhasil
didamaikan oleh mamak paruik, suku dan penghulu, maka perkaranya dilanjutkam
kepada lembaga adat tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) sehingga ninik
mamak yang ada dalam KAN akan menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa
dalam Nagari. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 bahwa
perkara yang ditimbulkan dari sako dan pusako adalah tanggung jawab Kerapatan Adat
Nagari untuk menyelesaikannya secara damai. Bahwa funsi-fungsi yang dilakukan
oleh KAN berdasarkan asas musyawarah dan mufakat, alur dan patut sepanjang tidak
bertentangan dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, kepentingan
ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat nagari
Di Minangkabai setiap nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu lembaga yang
beranggotakan tungku tigo sjarangan, Tungku Tigo sajaranga merupakan perwkilan anak
nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum Intelektual) dan ninik mamak
(penghulu suku). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara
wali nagari dengan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung nagari.

Proses penyelesaian perkara di tingka Kerapatan Adat Magari adalah sebagai berikut:
1. Mendaftarkan perkara dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh
ninik mamak yang bersangkutan. Para pihak yang merasa dirugikan mengajukan
permohonan kepada Kerapatan adat Nagari untuk diselesaikan dengan menjelaskan
sengketa tanah ulayat yang tidak menerima penyelesaian oleh mamak kaum.
2. Memberikan tanda perkara yaitu berupa keris pusaka atau kain adat sebagai tanda
kebesaran seorang datuk yang memberikan mandat kepaada Kerapatan Adat Nagari
untuk menyelesaikannya.
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 187

3. KAN memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi dan mendengarkan kesaksian dari masing-masing pihak.
4. KAN mendatangkan saksi netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang
sedang bersengketa
5. Mengeluarkan tetetapan mengenai hasil yang diperoleh dari penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari.
6. Membayar uang pendaftaran dua emas masing-masing pihak, sesuai dengan fatwa
adat limbago dituang adaik diisi, maksudnya harus ada pemasukan terhadap kas
adat setelah selesai perkara yang diselesaikan oledh KAN.

Di Minangkabau penyelesaian sengketa tanah baik tanah pusaka tinggi maupun pusaka
rendah diselesaikan oleh lembaga adat yang ada di nagari dengan sistem bajanjang naik
batango turun yaitu dari tingkat yang paling rendah oleh mamak kaum, mamak suku dan
lembaga tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari(KAN) sebelum diajukan ke Pengadilan
negeri.

Penyelesaian perkara tanah ulayat di Minangkabau nampaknya lebih efektif diselesaikan


melalui lembaga adat nagari karena hubungan kekerabatan dalam kaum dan suku sangat erat
dan apa yang ditetapkan oleh mamak kepala waris atau Penghulu suku jarang ditolak oleh anak
kemenakan sehingga putusan yang ditetapkan oleh mamak atau penghulu diterima oleh anak
kemenakan sampai sat ini. Hal ini terbukti jarangnya sengketa tanah ulayat diselesaikan oleh
penegadilan negeri di Sumatera Barat bahkan ada perkara taanah ulayat yang telah diputuskan
oleh Pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan tetap diselesaikan oleh Kerapatan
Adat Nagari (KAN), misalanya sengketa tanah ulayat antara kaum Dt. Simirajo suku Melayu
dengan Darmawan dan Angku Rajo Tuo yang juga sama-sama suku Melayu (Sengkera antara
Suku yang sama) berupa sebidang tanah ulayat yaitu tanah kering dan sawah di Nagari Magek
Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Semula perkara ini diselesaikan melalui rapat
anggota suku Melayu atau ninik mamak nan Bahindu. Ninik Mamak Yang Bahindu in setara
dengan penhulu yang paling tinggi dalam suku di nagari Magek Kecamatan Kamang Magek
Kabupaten Agam. Dalam perkaria ini belum menemukan kata sepakat, tetapi pihak yang
bersengketa langsung membawa sengketa ini ke Pengadilan Negeri Lubuk Basung untuk di
selesaikan sampai ke Mahkamah Agung.

Setelah keluar putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap dimana
hak atas tanah ulayat yang disengketakan adalah angku rajo Tuo dan sedang menunggu proses
dilaksanakan eksekusi. Sebelum dieksekusi perkara ini kembali diselesaikan oleh ninik mamak
dalam Kerapatan Adat Nagari(KAN) nagari Magek sebagai mediator. Hasil musyawarah ninik
188 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

mamak dalam Kerapatan Adat Nagari diperoleh kesepakatan damai antara penggugat dengan
tergugat dengan membatalkan putusan pengadilan dan membagi tanah tersebut berdasarkan
ketetapan Kerapatan Adat Nagari.8

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah
ulayat dilakukan bajanjang naik batango turun yaitu penyelesaian sengketa dimulai dari
tingkat lembaga yang paling rendah oleh mamak paruik, mamak suku dan penghulu suku,
apabila tidak memperoleh kata sepakat, dilanjutkan ke lembaga adat yang lebih tinggi yaitu
ke Kerapatan Adat Nagari(KAN). Proses penyelesaian tanah ulayat di Minangkabau dengan
urutannya sebagai berikut:

1. Sengketa anggota separuik (sekaum) diselesaikan oleh mamak separuik yang sering
disebut dengan mamak kepala waris
2. Sengketa tanah ulayat dalam suku diselesaikan oleh mamak suku atau penghulu suku
yang ada dalam suku atau penghulu antar suku
3. Sengketa tanah ulayat yang tidak dapat diselesaikan pada lembaga adat yang terendah,
diselesaikan oleh lembaga adat yang tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari di tiap-tiap
Nagari.
4. Penyelesai tanah ulayat melalui lembaga adat yang ada dalam nagari baik oleh lembaga
adat yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi cukup efektif keputusannya dibandingkan
dengan penyelesaian melalui pengadilan negeri karena putusan melalui lembaga adat
dilakukan secara musyawarah dan lebih mengutamakan prinsip keadilan terhadap pihak-
pihak yang berperkara,sedangkan putusan pengadilan lebih mengutamakan putusan
sepihak berdasrkan bukti-bukti formal yang ditemukan dalam sidang pengadilan
Saran

Mengingat putusan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat lebih
efektif dibandingkan dengan putusan perngadilan negeri, maka sebaiknya masyarakat
hukum adat memilih penyeleasaian perkara/sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat
yang ada dalam nagari dan sebelum diproses di Pengadilan Negeri sebaiknya lembaga
peradilan menganjurkan supaya diselersaikan terlebih dahulu oleh lembaga adat nagari.

8  Hasil wawancara dengan Hizallias, Jum’at 1 April 2011


Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 189

Apabila lembaga adat nagari tidak berhasil menyelesaikannya baru diterima permohonan
penyelesaiannya di pengadilan negeri. Hal ini bisa dibuat suatu aturan oleh pemerintah yaitu
Mahkamah Agung berupa surat edaran atau aturan dalam tatacara penerimaan perkara/
sengketa tanah ulayat di pengadilan negeri di serluruh Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Buku
Abbas, Syahrizal, 2000, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Abdurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati
Aneska, Jakarta.

Dt. Parpatiah Nan Tuo, et.al., 2002, Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,Pedoman
Hidup Bernagari, Sako Batuah, Padang.

Erwirr, 2006, Tanah Komunal Memudarkan Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, Andalas University Pres, Padang.

Harsono, Boedi, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed.rev.,Cet.10., Djambatan, Jakarta.

Hasan, Firman, 1988, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian
Universitas Andalas, Padang.

Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Cv, Nusa Aulia, Bandung.

Sumardjono, Maria S.W, Nurhasan, dan Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi
Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa(ADR) Bidang Pertahanan, Kompas,
Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 13 Tahun 1983 Tentang Nagari sebagai Kestuan
Masyarakat Hukum Adat.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan


Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
DISPENSASI PENGADILAN:
TELAAH PENETAPAN PENGADILAN ATAS PERMOHONAN
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari*

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( UU Perkawinan) menyatakan bahwa


perkawinan dapat dilakukan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun,
tetapi dalam hal apabila akan dilakukan perkawinan di bawah usia tersebut, maka hal itu bisa
dilakukan dengan memintakan dispensasi kepada pihak yang berwenang yaitu pengadilan atau
pejabat lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan tersebut menunjukan bahwa UU Perkawinan
memperkenankan perkawinan di bawah usia 18 tahun, dan fakta menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di dunia, yaitu ranking ke-37,
sedangkan di tingkat ASEAN tertinggi kedua setelah Kamboja. Artikel ini merupakan bagian dari
penelitian yang telah dilakukan secara yuridis normatif dan permasalahan yang akan diteliti adalah
pelaksanaan dispensasi dan penelaahaan beberapa penetapan dispensasi ditinjau dari hukum acara
perdata. Disimpulkan bahwa dispensasi untuk melakukan perkawinan di bawah umur merupakan
kompetensi absolut dari Pengadilan Agama untuk orang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
untuk orang non muslim. Mengingat pihak yang akan melangsungkan perkawinan masih di bawah
umur, maka permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua. Atas dasar pertimbangan hakim maka
hakim majelis akan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan.

Kata kunci: dispensasi, pengadilan, penetapan, perkawinan bawah umur

LATAR BELAKANG

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan
mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun
di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila
pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan

*  Penulis adalah dosen Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, dapat dihubungi melalui email: sonny@unpad.
ac.id; anita.afriana@unpad.ac.id.

191
192 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

lahir atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir batin merupakan
fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.1

Pengertian perkawinan di bawah umur adalah pernikahan atau akad yang bisa menjamin
seorang laki-laki dan perempuan saling memiliki dan bisa melakukan hubungan suami isteri
dan pernikahan itu dilaksanakan oleh seseorang (calon suami/calon isteri) yang usianya belum
mencapai umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang sedang berlaku di Indonesia
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.2

Dalam masyarakat banyak terjadi permasalahan hukum perkawinan ini, salah satunya
mengenai perkawinan di bawah umur. Hal tersebut dinilai menjadi masalah serius, karena
memunculkan kontroversi di masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun menjadi isu
internasional. Pada faktanya perkawinan semacam ini sering terjadi karena sejumlah alasan
dan pandangan, di antaranya karena telah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat yang
dinilai kurang baik.

Fenomena perkawinan di bawah umur banyak terjadi di Indonesia. Perkawinan tersebut


tidak hanya terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja, tapi juga karena
adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Salah satunya adalah pengaruh dari adat
istiadat atau kebiasaan masyarakat dan agama yang melegalisasi perkawinan anak-anak. Di
sejumlah daerah, hukum agama dan hukum adat sering dipadukan sebagai landasan teologis
dan sosiologis untuk mengesahkan terjadinya perkawinan anak-anak.

Dari sudut pandang Hukum Adat, latar belakang perkawinan di bawah umur antara lain
bersifat dorongan atau paksaan adalah dikarenakan adanya pesan dari orang tua yang telah
meninggal dunia, karena perjanjian yang telah dibuat oleh orang tua kedua belah pihak.3

Dalam Hukum Adat tidak mengenal batasan umur dewasa ataupun belum dewasa dan tidak
dikenal fiksi seperti dalam Hukum Perdata. Hukum Adat hanya mengenal secara insidental saja
apakah seseorang itu berhubungan dengan umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap
cakap atau tidak, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam
hubungan hukum tertentu pula. Belum cakap artinya belum mampu memperhitungkan dan
memelihara kepentingannya sendiri.4

Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di
dunia, yaitu ranking ke-37, sedangkan di tingkat ASEAN tertinggi kedua setelah Kamboja. Di

1  K. Wantjik Saleh, 1996, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.15.
2  http://www.google.com/pengertian_perkawinan_dibawah_umur.html. di akses pada tanggal 20 April 2016 pukul
19.05 WIB.
3  Tolib Setiady, 2013, Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Jakarta, h. 221.
4  Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, h. 12.
Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 193

Indonesia sendiri terdapat beberapa wilayah dengan presentase yang tunggi yang melakukan
perkawinan usia anak yaitu:

Lebih dari 22.000 orang anak perempuan usia 10-14 tahun atau setara dengan 0,2 %
perempuan muda telah menikah.5 Selanjutnya, jumlah perempuan muda berusia 15-19 tahun
yang menikah juga sangat tinggi, yaitu mencapai 11,7 %, sementara laki-laki di usia yang
sama yaitu 15-19 tahun yang telah menikahkannya 1,6 %. Sebanyak 50 % perempuan muda
di Indonesia menikah di bawah usia 19 tahun. Secara nasional, median usia pernikahan adalah
19,8 tahun. Padahal diharapkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan adalah 20 tahun
dan laki-laki 25 tahun.

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2012
jumlah kelahiran dari pasangan remaja di perkotaan meningkat. Semen tara di pedesaan memang
menurun, tetapi larena tingginya jumlah pernikahan usia dini, serta tingginya hubungan seks
pranikah yang semuanya bermuara pada Kehamilan Tidak Direncakan (KTD).

Badan Peradilan Agama mencatat sebanyak 11.774 anak Indonesia melakukan pernikahan
dini pada tahun 2014. Penyebab utamanya adalah hamil di luar nikah. Angka tersebut masih
dinilai tinggi oleh para aktivis perempuan dan anak. Tren pernikahan dini terus naik, begitu
juga dengan angka perceraian. Pada 2014, ada 254.951 gugat cerai dan 106.608 cerai talak.
Menurut riset yang dilakukan ditemukan fakta bahwa mereka yang menikah di usia dini
rentan mengalami perceraian. Salah satu faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah
ketidakpastian para calon pengantin yang masih di bawah umur dalam memasuki kehidupan
rumah tangga. Bukan hanya itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga kerap menjadi
alasan.6

Pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) yang mengatur batas usia pernikahan sebagai kesepakatan nasional yang merupakan
kebijakan (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, dalam hukum Islam
maupun hukum adat tidak menyebut batas usia minimum seseorang diperbolehkan menikah.
UUP menganut prinsip bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perkawinan di
bawah umur, sehingga tujuan perkawinan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat
tercapai.

5  LBH APIK Nusa Tenggara Timur, BKKBN dalam Riset kesehatan Dasar 2010 “Indonesia Tertinggi Kedua dalam

Pernikahan Usia Dini, Oke Web Inonesia©lbhapikntt.com, di akses pada tanggal 20 April 2016 pukul 18.45 WIB
6  Yohanie Linggasari, CNN Indonesia, “Belasan Ribu Anak Nikah Dini karena Terlanjur Hamil”, edisi Selasa

14/04/2015 08:36 WIB, © 2016 Trans Media, CNN name, logo and all associated elements (R). Di unduh pada tanggal 19
April 2016 pukul 20.35 WIB
194 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

Undang-undang Perkawinan telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-


Undang Perkawinan Bab II Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16
tahun. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya
melalui proses pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap
dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.

Di Indonesia saat ini marak terjadi perkawinan di bawah umur. Adapun penyebab
perkawinan di bawah umur tersebut sangat bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya
pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, hamil diluar nikah (married by
accident), dan lain-lain. Selain menimbulkan masalah sosial, perkawinan di bawah umur dapat
menimbulkan masalah hukum. Menurut Soepomo, meskipun demikian perkawinan di bawah
umur terpaksa dilakukan, terhadap hal ini UUP memberikan kemungkinan penyimpangannya
yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UUP yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi
yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.7

Secara harfiah, dispensasi nikah adalah sebuah pengecualian dalam hal perkawinan yang
kedua atau salah satu calon mempelai di bawah umur dan diperbolehkan melangsungkan
sebuah perkawinan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan prosedur
dispensasi nikah dibawah umur yang berlaku.

Kewenangan untuk memberikan dispesansi nikah di bawah umur menjadi kompetensi bagi
Pengadilan Agama bagi pemohon yang beragama Islam ( Pasal 49 dan Pasal 50 UU Peradilan
Agama) dan Pengadilan Negeri bagi pemohon Non Muslim. Dalam hal ini berkaitan dengan
kompetensi absolut untuk menerima, memeriksa, dan memberikan penetapan. Sementara itu
berdasarkan pada kompetensi relatif, maka permohonan diajukan oleh orang tua calon suami
atau istri yang belum mencapai umur perkawinan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya
melipui kediaman pemohon.

Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian unggulan perguruan tinggi tahun 2017
yang telah dilakukan. Dengan metode yuridis normatif dan spesifikasi penelitian bersifat
deskriptif analitis yang didasarkan pada data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier yang diperkuat dengan data primer. Melalui artikel ini akan dibahas
lebih lanjut tentang disensasi dan penelaahaan beberapa penetapan dispensasi ditinjau dari
hukum acara perdata

7  Soepomo, 1986, Hukum Adat di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 89.


Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 195

PEMBAHASAN

Dispensasi Pengadilan terhadap Permohonan Perkawinan di Bawah Umur

Di Indonesia, untuk dapat melaksungkan perkawinan terdapat batasan usia maksimal


sebagaimana yang diatur dalam UUP. UUP merupakan unifikasi hukum dibidang perkawinan,
sementara di Indonesia berlaku pula ketentuan hukum adat dan hukum agama dalam hal
melangsungkan perkawinan. Bila merujuk pada ketentuan berbagai ketentuan hukum
adat di Indonesia maupun agama, tidak ada aturan mengenai batasan umur minimal untuk
melangsungkan perkawinan.

Fenonema perkawinan usia muda masih marak terjadi di Indonesia, dengan berbagai
faktor pendorong seperti faktor kehamilan di luar nikah, ekonomi, budaya, dan pendidikan
yang menyebabkan hal ini terjadi. Dalam UUP terdapat pengaturan mengenai usia perkawinan,
namun dalam pasal lainnya yaitu Pasal 7 terdapat pengecualian yaitu perkawinan dapat
dilakukan apabila terdapat dispensasi dari pengadilan. Dispensasi ini berupa izin sebagai
dasar bagi Kantor Urusan Agama ( KUA) atau Catatan sipil untuk menikahkan calon pasangan
suami dan istri.

Dispensasi diajukan dalam bentuk permohonan. Sebagaimana yang diketahui suatu


permohonan melahirkan penetapan dan dasar pengajuannya karena tidak terjadi persengketaan
antara para pihak, oleh karenanya pihak dapat saja terdiri dari 1 ( satu) orang. Permohonan
dispensasi tidak berkaitan dengan tuntutan hak, tetapi dengan diproses melalui pengadilan
dengan perkataan lain kedudukan hukum acara perdata yang berlaku adalah berupa peraturan
hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil,
dalam hal ini adalah hukum perkawinan.

Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara
yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 UUKK menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Mengacu pada Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama, maka yang memiliki kompetensi
abssolut untuk menerima dan memutus serta menetapkan permohonan dispensasi adalah
Pengadilan Agama bagi para pihak yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk
pihak lain selain beragama Islam. Oleh karenanya Pengadilan Agama sebagai bagian atau
perpanjangan tangan Mahkamah Agung yang bertugas menerima, memeriksa, dan mengadili
perkara perkara tertentu, dalam menangani masalah dispensasi nikah tetap mengacu pada
proses dan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Melihat penomena yang terjadi
196 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

di masyarakat dari tahun ke tahun semakin banyak remaja yang ingin menikah muda dan
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri,
sehingga masalah dispensasi nikah perlu mendapat perhatian khusus untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan dan dalam rangka penegakan hukum.

Berbicara mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekamto memberikan pengertian


penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan, menerapkan,
serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subjek hukum baik melalui prosedur peradilan maupun prosedur lainnya.
Adapun dalam arti sempit penegakan hukum itu menyangkut tindakan penegakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.8 Terdapat
unsur-unsur yang esensi dalam penegakan hukum yaitu penataan hukum, pelaksanaan hukum,
penindakan hukum, dan penyelesain sengketa, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum terdiri dari faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana
dan fasilitas yang mendukung, faktor masyarakat, dan faktor budaya. Berbicara persoalan
penegakan hukum, salah satunya melalui proses di pengadilan dalam hal permasalahan
perkawinan.

Kewenangan Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri untuk mentapkan dispensasi


perkawinan di bawah umur merupakan kewenangan absolut badan peradilan. Secara teoretis,
sistem peradilan di Indonesia mengenal 2 macam kewenangan. Berdasarkan kedua jenis
kewenangan ini, kewenangan pengadilan di Indonesia dalam menerima perkara dibatasi pada
masalah-masalah tertentu yang tidak tumpang tindih satu sama lain. Adapun kedua kewenangan
tersebut adalah kewenangan absolut atau Attributif Van Rechts Macht dan kewenangan relatif
atau Relatif Van Rechts Macht

Untuk menerapkan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam hal dispensasi kawin
berpedoman pada hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama Dan dengan kehadiran Kompilasi
Hukum Islam yang memuat himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara
sistematik sebagai hukum terapan, dikenal dengan istilah fiqhi Indonesia. Kompilasi Hukum
Islam, salah satu sumber hukum Islam bagi masyarakat muslim Indonesia menjadi pedoman
hukum materil dan formil bagi Pengadilan Agama dalam mengadili dan menyelesaikan perkara
Dispensasi Kawin., sementara di Pengadilan Negeri berlaku ketentuan HIR/RBg.

Secara prosedur pelaksanaan dispensasi terhadap Pernikahan bawah umur di pengadilan


diperlukan bagi calon pengantin pria yang belum berumur 19 tahun dan calon pengantin

8  Soerjono Soekamto, 1986, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, h 3
Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 197

wanita belum berumur 16 tahun. Sebagaimana ditentukan dalam UUP bahwa Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita Permohonan dispensasi nikah diajukan oleh orang tua pria mupun wanita kepada
pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya; (permenag No.3/1975 pasal 13(2).
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan, dan berkeyakinan bahwa terdapat
hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama
memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Dalam hal permohonan dispensasi
perkawinan ini harus dari orang tua atau wali calon pengantin, jadi bukan calon pengantin
itu seperti pada permononan izin kawin bagi yang belum berumur.

Setelah musyawarah selesai, skors dicabut dan pemohon dipanggil kembali masuk ke
ruang persidangan, kemudian dibacakan penetapan hakim, terhadap permohonan dispensasi
yang amarnya sebagai berikut mengadili.

1) Mengabulkan permohonan pemohon.


2) Menetapkan memberi Dispensasi kepada pemohon untuk menikahkah anaknya bernama
xx dengan xxx.
3) Membebankan biaya perkara sebesar Rp. … (…) kepada pemohon.

Setelah membacakan penetapannya, Ketua Majelis menyatakan sidang ditutup. Jika


pemohon tidak puas dengan penetapan hakim, pemohon bisa langsung mengajukan upaya
hukum kasasi.

Pertimbangan Hakim dan Penetapan terhadap Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur

Dispensasi usia perkawinan terjadi apabila adanya permohonan dari wali salah satu pihak
laki-laki dan perempuan yang belum cukup usia untuk melakukan perkawinan dalam UUP,
bagi laki-laki minimal berusia 19 tahun dan bagi wanita minimal berusia 16 tahun, meminta
izin ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Dalam hal memeriksa dan memutuskan
permohonan, hakim terikat pada asas-asas dalam hukum acara perdata antara lain:

1. Hakim Bersifat Menunggu.


Asas hukum acara perdata yang diatur dalam HIR adalah bahwa inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Apakah akan ada
proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak
sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sehingga ada pameo kalau
tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (wo kein klanger ist, ist
kein richter; nemo judex sine actore). Dengan demikian tuntutan hak yang mengajukan
198 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

adalah pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersifat menunggu datangnya


tuntutan hak yang diajukan kepadanya (iudex ne procedat ex officio). Pengaturan ini
dapat dilihat pada Pasal 118 HIR dan Pasal 142 Rbg).

2. Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup
atau pokok sengketa yang diajukan pada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan
oleh para pihak yang bersengketa bukan oleh hakim. Para pihak dapat secara bebas
mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan ke muka pengadilan, sedangkan hakim
tidak dapat menghalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan
perkara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR adan 154 Rbg. Namun demikian
hakim sebagai pemimpin sidang harus aktif memimpin pemeriksaan perkara. Hakim
berhak memberi nasihat kepada kedua belah pihak serta menunjukan upaya hukum dan
memberi keterangan kepada para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 132 HIR dan
Pasal 156 Rbg. Berdasarkan hal tersebut, sistem HIR dan Rbg berbeda dengan Rv yang
pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.

3. Mendengar Kedua Belah Pihak


Asas mendengar kedua belah pihak dikenal dengan Asas audi el alteram portem atau Eines
Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide yang artinya hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai kebenaran, bila pihak
lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
Hal ini diatur dalam Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR dan Paasal 145 ayat (2), 157 Rbg.
Dalam hal ini, hakim mendengar alasan dari salah satu pihak yakni pemohon apa yang
menjadi dasar atau alasan dari permohonan dispensasi

4. Putusan Harus disertai alasan


Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai bentuk
pertanggungjawaban hakim atas putusan yang dibuatnya kepada masyarakat dan para
pihak (Pasal 184 ayat (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 Rbg).

5. Beracara dikenakan biaya


Untuk berperkara dipengadilan dikenakan biaya diatur dalam Paasal 121 ayat (4), 182,
183 HIR dan Pasal 145 ayat (4), 192-194 Rbg. Biaya ini meliputi baiaya kepaniteraan,
baiaya untuk penggilan dan pemberitahuan para pihak serta baiaya materai. Disamping itu
apabila meminta bantuan pengacara (Advokat) maka hartus pula mengeluarkan biaya.
Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 199

Pertimbangan hakim juga didasarkan pada bukti bukti yang ada Pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara
guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Lebih lanjut
Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata-
mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil
keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta
mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak
yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.9

Faktor-faktor yang mempengaruhi dasar pertimbangan hakim maupun putusan yang


mengabulkan atau menolak dipensasi usia perkawinan yaitu hakim tidak saja berdasarkan
pada hukum baik tertulis maupun tidak tertulis tetapi juga dapat melakukan penemuan hukum
dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu.

Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis
alat bukti tertentu saja. Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat)
tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-
undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai
alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup
dan terbatas. Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh
memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang.
Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah: alat bukti tertulis, pembuktian
dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (Pasal. 164 HIR, Pasal.
1866 KUH Perdata).

Larangan untuk menikah di bawah umur secara eksplisit tidak ditemukan di dalam UUP
meskipun telah diatur batasan usia persyaratan perkawinan, namun pada tingkat praktik
penerapannya bersifat fleksibel. Artinya, jika secara kasuistis memang sangat mendesak atau
keadaan darurat demi menghindari kerusakan/mafsadah harus didahulukan mempertahankan
kebaikan/maslahah maka hakim selain mendasarkan pada ketentuan hukum positif juga perlu
dipertimbangkan maslahat mursalah (metode ijtihad dalam hukum Islam yang berdasarkan
kemaslahatan umum).10

Hakim mengedepankan konsep maslahat murshalah yaitu pertimbangan kebaikan


dan menolak kerusakan dalam masyarakat serta upaya mencegah kemudharatan. Maslahat

9  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyarakarta, h. 132- 133
10  Zainuddin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, h. 135.
200 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dengan dikabulkannya
dispensasi usia perkawinan terhadap anak yang belum cukup usia untuk melakukan perkawinan
dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi kedua calon
mempelai serta keluarga masing-masing mempelai

Pertimbangan hakim sebagai salah satu dasar putusan yang diktumnya bersifat deklaratif
baik mengabulkan atau menolak permohonan didasarkan pula pada tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Keadilan yang didambakan oleh masyarakat
adalah keadilan yang sesuai dengan apa yang dirasa dan yang berlaku dalam negara dimana
masyarakat itu berada.

Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan
haknya. Menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku,
keturunan, dan agamanya.

Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-


kaedah yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat,
maka peraturan-peraturan tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Untuk
kepentingan itu, maka kaedah-kaedah hukum tersebut harus diketahui dulu dengan pasti.
Dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya kepastian hukum merupakan keadaan dimana
perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam
koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Tiga pilar dalam mewujudkan kepastian
hukum dapat dibagi menjadi kepastian hukum dari unsur peraturan perundang-undangan,
lembaga dan pranata hukum, yang diwujudkan dalam putusan lembaga. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan maupun penetapan hakim merupakan suat pernyataan
yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk
itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi
hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan
suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati.

Untuk terciptanya kepastian hukum syarat yang penting untuk dipenuhi adalah adanya
hukum atau peraturan perundang-undangan yang jelas dan tidak multitafsir.Penekanan pada
asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa
hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat
banyak. Dapat menjadi pertimbangan bahwa permohonan dapat dikabulkan atau ditolak
dengan melihat manfaat mana yang dapat ditimbulkan. Sebagai contoh dalam Penetapan
Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 201

No 25/Pdt.P/2013/PA.Btg.11 Dalam kasus ini, pemohon adalah orang tua dari anak laki-
laki yang berumur 16 tahun. Pemohon berencana untuk melangsungkan perkawinan tetapi
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sinoa, KUA menolak mengawinkan karena belum cukup
umur menurut UUP yaitu belum mencapai umur 19 tahun. Anak laki-laki dari pemohon ini
telah berpacaran dengan seorang perempuan yang sudah saling kenal dan telah lama saling
mencintai. Anak pemohon secara pisik dan secara hukum agama Islam telah dewasa dan dapat
membantu ayahnya bekerja di Ladang. Bagi anak laki-laki pemohon dengan calon istrinya
tidak ada halangan untuk menikah. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi
tersebut dihubungkan dengan dalil permohonan pemohon, maka majelis hakim menilai bahwa
anak pemohon dipandang layak untuk dinikahkan dengan calon istrinya untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan, karena keduanya sudah sama-sama suka dan saling mencintai.
Dalam hal seperti ini, hakim tidak kuasa menolak untuk memberikan dispensasi usia
perkawinan karena ditakutkan jika permohonannya ditolak akibatnya lebih besar. Jadi, demi
menghindari kerusakan/mafsadah harus didahulukan mempertahankan kebaikan/maslahah
maka kedua calon mempelai harus segera dinikahkan. Apabila permohonan dispensasi kawin
tidak dikabulkan, maka ditakutkan terjadi dampak yang luar biasa, misalnya si anak nekat
melakukanhubungan suami istri kemudian hamil terlebih dahulu sebelum adanya perkawinan.
Hal ini akan menjadi aib bagi keluarga. Keluarga akan mendapat hukuman dari lingkungan
sosial berupa gunjingan-gunjingan yang tercela.

Berdasarkan kasus Penetapan No. 25/Pdt.P/2013/PA.Btg, hakim tidak terikat dengan


hukum positif. Perkara dispensasi perkawinan merupakan perkara yang besifat volunteer.
Dengan kata lain, undang- undang menilai putusan yang sesuai dengan gugat permohonan
adalah penetapan, yang lazim juga disebut beschikking dalam arti luas. Perkara dispensasi
hanyalah untuk mendapatkan hak dari pemohon sehingga hanya membutuhkan keterangan
saksi dari pihak-pihak yang benar-benar mengetahui keadaan pemohon. Dengan demikian,
maka berdasarkan Penetapan No. 25/Pdt.P/2013/PA.Btg.,hakim tidak terikat pada hukum
positif.

Demikian pula di Pengadilan Agama Tanggerang, dalam rentang waktu satu tahun yaitu
2009-2010 terdapat 3 permohonan dispensasi pernikahan. Dalam perkara No. 66/Pdt P/2009/
PA Tgr dan No. 220/Pdt P/2010/PA Tgr, hakim mengabulkan permohonan, tetapi untuk perkara
No. 48/Pdt P/2009/PA Tgr permohonan kemudian dicabut oleh salah satu pihak.12

11  Sebagaimana dikutip dari Hasriani, Dispensasi Pernikahan di Bawah Umur Pada Masyarakat Islam di Kabupaten
Bantaeng, Skripsi pada UIN Alauddin, Makassar, 2016, h. 84
12  Nurmilah Sari, Dispensasi Nikah di Bawah Umur, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,

Jakarta, h. 92
202 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 191–203

Dalam mengabulkan penetapan ini, hakim tidak hanya mendasarkan pada batasan usia
kepada pihak laki-laki berusia 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun tetapi hakim bersifat
progresif di mana hakim lebih mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada
menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan. Penetapan/beschikking suatu penetapan
diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi
voluntair”

Penetapan dari pengadilan merupakan salah satu syarat untuk sahnya bagi seseorang
yang ingin menikah di bawah umur dan apabila KUA/KCS ingin mengesahkan dengan jalan
menikahkan kedua calon pasangan tanpa izin pengadilan maka pernikahan tersebut dianggap
tidak sah atau batal demi hukum atau dapat saja pihak tertentu melakukan pencegahan
perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 dan 20 UUP karena salah satu syarat
menikahkan anak di bawah umur adalah izin dari kedua orang tua dan penetapan kebolehan
nikah oleh pengadilan setempat serta adanya bukti-bukti yang diperlukan.

PENUTUP

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menetapkan batas usia maksimal untuk melangsungkan
perkawinan, namun memungkinkan pula ketentuan tersebut diabaikan melalui prosedur
dispensasi untuk melangsungkan perkawinan yang ditujukan melalui permohonan ke
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri sesuai dengan agama pemohon. Oleh karenanya
menjadi kompetensi absolut bagi PA atau PN untuk menerima, memeriksa, dan menetapkan
dispensasi sebagai salah satu bentuk izin dan syarat melangsungkan perkawinan untuk
pasangan yang salah satunya masih di bawah umur.

Penetapan dirumuskan oleh hakim berdasakan pada proses pembuktian dan pertimbangan
hukum. Selain mempertimbangkan asas kepastian hukum, keadilan, yang utama adalah
kemanfaatan yang dilandaskan pada hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Penetapan
hakim merupakan suatu bentuk keputusan yang bersifat deklaratif untuk mengabulkan atau
tidak mengabulkan permohonan dispensasi.

DAFTAR BACAAN

Buku:
Ali, Zainuddin, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia Sinar Grafika, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyarakarta


Judiasih, dkk.: Dispensasi Pengadilan 203

Saleh, K. Wantjik ,1996, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Setiady, Tolib, 2013, Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Jakarta.

Soekamto, Soerjono, Soerjono 1986, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Rajawali, Jakarta.

Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.

Soepomo, 1986, Hukum Adat di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Het Herzienne Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: Stb.
1848 no.16, Stb. 1941 no. 44) untuk wilayah Jawa dan Madura.

Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 2 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama

Sumber lain:
Linggasari, Yohanie, CNN Indonesia, “Belasan Ribu Anak Nikah Dini karena Terlanjur Hamil”,
edisi Selasa 14/04/2015 08:36 WIB, © 2016 Trans Media, CNN name, logo and all associated
elements (R). Di unduh pada tanggal 19 April 2016 pukul 20.35 WIB

LBH APIK Nusa Tenggara Timur, BKKBN dalam Riset kesehatan Dasar 2010 “Indonesia
Tertinggi Kedua dalam Pernikahan Usia Dini, Oke Web Inonesia©lbhapikntt.com, di akses
pada tanggal 20 April 2016 pukul 18.45 WIB

Sari, Nurmilah, Dispensasi Nikah di Bawah Umur, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta

Hasriani, Dispensasi Pernikahan di Bawah Umur Pada Masyarakat Islam di Kabupaten


Bantaeng, Skripsi pada UIN Alauddin, Makassar, 2016.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)


Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
KEDUDUKAN HAKIM TUNGGAL DALAM GUGATAN SEDERHANA
(SMALL CLAIM COURT)

Adisti Pratama Ferevaldy, Ghansham Anand

Abstract

The Civil Procedure has several principles in its application. One of them is the principle of simple,
efficient and low cost trial. The simple principle of organizing the trial is done by a simple and definite
mechanism. The efficient principle means that trials are held within an appropriate deadline. The
principle of low cost means the cost of the trial is payable. The cost shall be determined by considering
the amount of reasonable cost and can be reached by various circles of Indonesian society. In the
case of supporting the creation of a efficient, simple and low cost trial principle, the Supreme Court
issued the Supreme Court Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures of Small Claim Court.
The Regulation of the Supreme Court is one of the forms of the existing law in Law of the Republic of
Indonesia Number 12, Year 2011 concerning the Establishment of Laws and Regulations. However,
the regulation posseses a problem that is contrary to Law of the Republic of Indonesia Number
48, Year 2009 concerning Judicial Power. The problem is the use of a single judge which is not in
accordance with the provisions contained in the Law concerning Judicial Power which mentioned
that the judges of a trial should at least consist of 3 people. The position of a single judge in the
small claim court is intended to make the trial process faster and more efficient which in this case
presents that the judiciary in Indonesia embraces the principle of speedy, simple and low cost. The
Supreme Court Regulation shall not be contrary to existing laws.

Keywords: Small Claim Court; Single Judge; Judicial Power; Judiciary.

Abstrak

Hukum Acara Perdata memiliki beberapa asas dalam penerapannya. Salah satunya adalah
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas sederhana yakni penyelenggaraan dari
persidangan dilakukan dengan mekanisme yang pasti dan sederhana. Asas cepat bermakna bahwa
persidangan diselenggarakan dalam tenggat waktu yang patut. Asas biaya ringan bermakna dalam
persidangan tersebut timbul biaya berpekara dan biaya tersebut telah ditetapkan besaran biaya yang
layak dan dapat dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Dalam hal mendukung
terciptanya asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana (small
claim court). Peraturan Mahkamah Agung merupakan salah satu bentuk peraturan yang ada
di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Akan tetapi peraturan tersebut mempunyai permasalahan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan tersebut
adalah penggunaan dari hakim tunggal yang mana hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada

205
206 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

di Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang sekurang-kurangnya majelis hakim berjumlah 3


orang. Kedudukan hakim tunggal dalam gugatan sederhana ini bertujuan agar proses persidangan
menjadi lebih cepat dan efisien yang mana hal ini mempresentasikan bahwa peradilan di Indonesia
menganut asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Peraturan Mahkamah Agung tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang yang telah ada.

Kata Kunci: Gugatan Sederhana; Hakim Tunggal; Kekuasaan Kehakiman; Peradilan.

Pendahuluan

Hukum perdata adalah bersifat privat yang hanya mengatur hubungan antara orang yang
satu dengan orang yang lain. Disamping itu, hukum acara atau hukum formil adalah peraturan
hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan hukum
materiil. Hukum acara perdata digunakan pada saat menegakkan masalah perdata melalui jalur
pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Dalam menyelesaikan masalah, kehakiman memiliki
wewenang yang bebas yang artinya tidak ada lembaga lain yang dapat mempengaruhinya.1 Hal
ini telah dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.”.

Badan peradilan di Indonesia sendiri terdiri dari 4 macam badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Hal ini diatur di dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945. 4 badan peradilan ini
memiliki kompetensi masing-masing yang telah ditentukan di undang-undang. Keempat
lingkungan peradilan tersebut merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang Yudikatif
yang secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam kedudukannya sebagai pengadilan
negara (state court).2

Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa asas-asas dalam penerapannya. Salah
satu asas yang penting dalam penerapannya adalah asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Asas sederhana yakni penyelenggaraan dari persidangan dilakukan dengan mekanisme

1  R. Abdoel Djamali, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan ke-17, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 194.
2  M. Yahya Harahap, 2015, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 180-181.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 207

yang pasti dan sederhana. Asas cepat bermakna bahwa persidangan diselenggarakan dalam
tenggat waktu yang patut. Asas biaya ringan bermakna dalam persidangan tersebut timbul biaya
berpekara dan biaya tersebut telah ditetapkan besaran biaya yang layak dan dapat dijangkau
oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia.3 Salah satu upaya Mahkamah Agung untuk
memenuhi asas di atas (sederhana, cepat dan biaya ringan), Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana (small
claim court) Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1172 yang selanjutnya
disebut PERMA Gugatan Sederhana. Selain itu, latar belakang dari adanya PERMA Gugatan
Sederhana adalah untuk menyongsong era perdagangan bebas ASEAN yang diprediksi akan
banyaknya sengketa atau perkara-perkara niaga/bisnis berskala kecil yang akan berujung
masuk ke dalam pengadilan. Diharapkan PERMA Gugatan Sederhana.

Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah menurut Pasal 1 Angka 1 PERMA Gugatan


Sederhana adalah: “Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah Tata cara pemeriksaan
di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan
pembuktiannya sederhana.” Selain itu, gugatan sederhana ini tidak berlaku bagi perkara
yang penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan khusus dan sengketa hak atas tanah. Hal
ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) PERMA Gugatan Sederhana. Gugatan Sederhana
juga dipimpin dengan hakim tunggal sesuai dengan Pasal 1 Angka 3 PERMA Gugatan
Sederhana.

Penggunaan hakim tunggal di dalam gugatan sederhana dianggap masih bertentangan


dengan apa yang dinyatakan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal
11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Pengadilan
memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya
3 orang hakim yakni susunannya terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota”.

Peraturan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 A UUD NRI 1945 memiliki kewenangan


mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tertinggi dari semua lingkup
lingkungan peradilan harus dapat menciptakan kepastian hukum atau menjawab segala

3  M. Natsir Asnawi, 2016, Hukum Acara Perdata: Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan

Peradilan Agama, cetakan pertama, UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI), Yogyakarta, h. 28.
208 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi pada masyarakat, selain itu Mahkamah Agung
juga harus dapat mengisi manakala terdapat kekosongan hukum dalam suatu permasalahan.
Dalam menciptakan kepastian hukum tersebut Mahkamah Agung mempunyai wewenang
untuk membuat produk hukum yang terdiri atas Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Dalam produk hukum Mahkamah Agung diatas, memiliki beberapa perbedaan. Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) merupakan hanya mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang
bersifat hukum acara saja, sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) pada dasarnya
adalah bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan adalah berisi
bimbingan penyelenggaraan peradilan dan lebih bersifat administratif.4 Menurut Lampiran
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016 tentang
Perubahan Atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 271/KMA/
SK/X/2013 Tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Peraturan Mahkamah Agung adalah peraturan yang berisi tentang ketentuan-ketentuan bersifat
hukum acara. Sifat dari peraturan (regeling) adalah selalu bersifat general and abstract.5 Yang
dimaksud dalam general and abstract adalah keberlakuan peraturan ini ditujukan kepada
semua orang yang ada dalam perumusan kaedah umum tersebut.

Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Negara Indonesia tidak


hanya memiliki fungsi di bidang peradilan melainkan juga dibidang administrasi dan bidang
ketatanegaraan.6 Fungsi Mahkamah Agung terbagi menjadi beberapa bagian yakni:

1. Fungsi mengadili atau menyelenggarakan peradilan (Rechtsprekende functie) yang dibagi


lagi menjadi 4 bidang:
a. Fungsi peradilan kasasi
b. Fungsi peradilan untuk sengketa (Kewenangan Mengadili dan Perampasan kapal
asing beserta muatannya oleh kapal perang RI)
c. Fungsi peradilan untuk permohonan Peninjauan Kembali
d. Fungsi peradilan di bidang Hak Uji Materil (HUM)
2. Fungsi Khusus bersifat Administratif
a. Fungsi pengawasan (toeziende functie)

b. Fungsi mengatur (regelende functie)

4  Muhammad Yasin, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SK KMA), <http://www.

hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma)>, 3 Mei
2013, dikunjungi pada tanggal 25 Oktober 2017.
5  Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Konstitusi Press, Jakarta, h. 2.
6  Henry P. Panggabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari:Upaya penanggulangan tunggakan

perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, h. 78.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 209

c. Fungsi Administratif (administrative functie)


3. Fungsi tambahan bersifat ketatanegaraan
a. Fungsi penasehat (advieserende functie)
b. Fungsi pengawasan PARPOL (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999)
c. Fungsi pengawasan PEMILU (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999)
d. Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah (Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999).7
Dalam fungsi pengaturan (regelende functie) Mahkamah Agung memiliki dasar hukum
yang telah tertuang di dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 jo Pasal 35 Undang-Undang
Mahkamah Agung mengenai pemberian pertimbangan dalam permohonan grasi dan
rehabilitasi, Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung mengenai memberikan pertimbangan
dalam bidang hukum baik diminta atau tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain, dan
Pasal 38 Undang-Undang Mahkamah Agung mengenai wewenang Mahkamah Agung dalam
memberikan petunjuk bagi semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan
pasal 25 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Kekuasaan Kehakiman. Hal ini
senafas dengan adanya Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa
Mahkamah Agung berwenang untuk mengeluarkan suatu produk hukum sebagai pelengkap
yang apabila terdapat kekurangan atau kekosongan hukum terhadap suatu masalah dalam
jalannya peradilan.

PERMA sendiri memiliki lima peran yang mendukung penyelenggaraan negara,


yakni:

1. PERMA sebagai pengisi kekosongan hukum;


2. PERMA sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur tentang
sesuatu hal, berkaitan dengan hukum acara;
3. PERMA sebagai sarana penemuan hukum;
4. PERMA sebagai penegakan hukum;
5. PERMA sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum.8

Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Dalam Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Mahkamah Agung memang tidak tercantum di hierarki peraturan perundang-


undangan Indonesia yang terdapat di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang mana hierarki peraturan perundang-
undangannya tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) yakni sebagai berikut:

7 Ibid.
8 Ronald S. Lumbuun, 2011, PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia): Wujud Kerancuan Antara

Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h.14.


210 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Mahkamah Agung sendiri memang tidak terdapat di hierarki sebagaimana


disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1). Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa
peraturan Mahkamah Agung masuk ke dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Secara
tidak langsung, peraturan Mahkamah Agung memang diakui keberadaannya di dalam hierarki
peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya Pasal 24 A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang”, maka keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung
harus bersifat penetapan yang harus individual, konkret dan sekali selesai final. Meskipun
Mahkamah Agung secara tidak langsung tidak berwenang untuk membuat sebuah peraturan
yang bersifat umum, Mahkamah Agung tetap diperbolehkan atau berwenang untuk membuat
peraturan yang mengikat ke dalam (Interne Regeling).9 Akan tetapi ada pendapat yang
mengatakan bahwa Mahkamah Agung juga membuat peraturan yang bersifat mengatur ke
luar. Dalam hal Mahkamah Agung ini berwenang dalam membuat PERMA, hal ini hanya
semata-mata bersifat pelengkap (Complementary). Dalam artian PERMA tersebut hanya
sebuah peraturan pelengkap atau penyempurnaan saja terhadap perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya.10 Jadi secara tidak langsung, tidak dimungkinkan PERMA tersebut
dapat berdiri sendiri tanpa adanya dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak
dibenarkan bahwa Mahkamah Agung dapat membuat PERMA tanpa adanya dasar atau kaitan
dengan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh lembaga legislatif ataupun
lembaga eksekutif. Dengan kata lain, Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum
harus terikat dengan asas legalitas.

PERMA Gugatan Sederhana ini jika ditelaah lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia merupakan salah satu peraturan yang bertujuan untuk pelengkap

9 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta,
h. 104-105.
10 Ronald S. Lumbuun, Op.Cit., h. 30.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 211

kekurangan hukum. Hal ini dikarenakan gugatan sederhana sendiri baru saja diterapkan di
Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung sendiri juga telah diakui sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan di dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Dikatakan sebagai pelengkap PERMA Gugatan Sederhana ini karena masyarakat
dalam perkembangannya membutuhkan sebuah prosedur penyelesaian sengketa yang lebih
sederhana, cepat dan biaya ringan terutama di bidang hukum yang bersifat sederhana.
PERMA Gugatan Sederhana ini bersifat mengikat ke dalam (Interne Regeling). Yang
dimaksud mengikat ke dalam adalah peraturan ini mengikat bagi pihak yang berada dibawah
lembaga yang mengeluarkan peraturan tersebut dalam hal ini Mahkamah Agung. Akan tetapi
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam hal Peraturan Mahkamah Agung sebagai
pelengkap kekurangan hukum maka Peraturan Mahkamah Agung tersebut bersifat eksternal.11
Dikarenakan hal ini mengandung norma yang bersifat perintah (gebod). Selain itu ada juga
norma larangan (verbod).

Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

Dalam penyelesaian sengketa perdata melalui peradilan itu banyak ditemui permasalahan-
permasalahan yang bertolak belakang dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
tersebut. Seperti misalnya penyelesaian sengketa yang lambat atau melalui proses yang panjang
dan lama, biaya perkara yang relatif mahal, putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan
masalah dan masih banyak lagi. Padahal asas sederhana, cepat dan biaya ringan itu merupakan
salah satu asas yang penting dalam implementasi hukum acara itu sendiri.

Yang dimaksud sederhana dalam asas ini adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan
tidak berbelit-belit yang artinya jika semakin sedikit formalitas-formalitas yang digunakan
dalam beracara di muka pengadilan maka itu semakin baik.12 Penyelenggaraan hukum acara
perdata itu sendiri harus runtut dan sistematis agar tidak berbelit-belit dalam persidangan.13

Selain itu, yang dimaksud dengan cepat itu juga terkait dengan formalitas-formalitasnya
tersebut. Jika semakin banyak formalitas dalam beracara dalam muka pengadilan maka
semakin lambat pula jalannya peradilan tersebut. Jadi, proses peradilan perdata tersebut
harus diselenggarakan dengan tenggang waktu yang patut. Dalam hal ini sebenarnya tidak
hanya dalam pemeriksaan di muka sidang saja, akan tetapi dari berita acara pemeriksaan di
persidangan sampai pada penandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya.14

11  Ronald S. Lumbuun, Op.Cit., h. 34.


12  Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 47.
13  M. Natsir Asnawi, Op.Cit., h. 28.
14  Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h. 48.
212 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

Lalu mengenai biaya ringan yakni biaya tersebut dapat terjangkau oleh semua kalangan
masyarakat di Indonesia (dari yang kurang mampu sampai yang mampu). Asas ini berkaitan
erat dengan access to justice yang bermakna memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
masyarakat agar dapat mengakses pengadilan dan memperjuangkan hak-haknya.15

Proses beracara di Pengadilan pada umumnya akan memerlukan waktu yang lama. Jika
ditelaah lebih lanjut proses beracara dalam gugatan pada umumnya yakni dimulai dari sidang
pertama dengan acara upaya mediasi dan pemeriksaan identitas para pihak dari hakim atau
upaya perdamaian, setelah itu berlanjut ke sidang-sidang berikutnya yakni jawaban tergugat,
replik, duplik, putusan sela, pembuktian dari para pihak, kesimpulan lalu terakhir pembacaan
putusan. Terlebih lagi apabila jika salah satu pihak merasa tidak setuju akan putusan pengadilan
mereka dapat mengajukan upaya hukum (banding dan kasasi). Bahkan ada beberapa kasus
tersebut sampai diselesaikan oleh ahli warisnya dikarenakan pihak yang dulu mengajukan
gugatan tersebut telah meninggal dunia. Hal ini dapat memakan waktu tidak hanya berbulan-
bulan bahkan dapat bertahun-tahun.

Dalam menjawab atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam proses peradilan


di Indonesia, Mahkamah Agung telah mengeluarkan produk hukum yakni Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2015 mengenai Tata Cara Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
yang selanjutnya disebut PERMA Gugatan Sederhana.

Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian Small Claim Court adalah “A court that
informally and expeditiously adjudicates claims that seek damages below a specified monetary
amount, usu. claims to collect small accounts or debts. — Also termed small-debts court;
conciliation court.”16 Hal ini dapat diartikan bahwa Small Claim Court adalah pengadilan
secara informal (berbeda dengan mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan proses
peradilannya yang cepat dan bertujuan untuk memutuskan suatu sengketa yang bernilai
gugatan kecil. Selain itu, Baldwin dalam bukunya menyatakan bahwa Small Claim Court
merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat informal, sederhana dan biaya murah,
serta kekuatan hukumnya kurang mengikat.17 Small Claim Court ini juga dapat diartikan “The
Real Peoples Court” atau pengadilan rakyat yang nyata.18 People’s Court menurut Black’s Law

15  M. Natsir Asnawi, Loc.Cit.


16  Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary, Tenth Edition, West Publishing, St. Paul, h. 435.
17  Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan

S e d e rh a n a , C e p a t d a n B i a y a R i n g a n , M i m b a r H u k u m , Vo l u m e 2 5 , N o m o r 2 , J u n i 2 0 1 3 , h .
264, < https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjN6Yyf
r9TXAhVKs48KHaJ9BZQQFggoMAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.iain-tulungagung.ac.id%2Findex.
php%2Fahkam%2Farticle%2Fdownload%2F319%2F253&usg=AOvVaw18ykhNci1aVz2LMGcjTlpM>
18  Texas Young Lawyers Association, How To Sue In Small Claims Court, 6th edition, 2012, h. 1. <https://www.

google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwii4Mi25tHXAhUK6Y8KHTtQCGQ
QFggoMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.tyla.org%2Ftyla%2Fassets%2Ffile%2Fhowtosueinsmallclaimsweb2012.
pdf&usg=AOvVaw3QkWXq7rzmNgQ_nOaSjzvl>
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 213

Dictionary adalah “A court in which individuals can resolve small disputes.19 Hal ini dapat
diartikan bahwa pengadilan rakyat adalah pengadilan dimana individu dapat menyelesaikan
perselisihan kecil atau sengketa kecil.

Di dalam PERMA Gugatan Sederhana, yang dimaksud Penyelesaian Gugatan Sederhana


terdapat pada Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Penyelesaian Gugatan
Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan
nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang
diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.”

Pada tahun 2015, PERMA Gugatan Sederhana telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung
dalam hal menjawab permasalahan proses peradilan yang cukup kompleks dan memakan
waktu lama. Gugatan yang dimaksud dalam PERMA ini adalah berdasarkan Pasal 3 (1) yakni
“Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan
hukum dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)”. Jika nilai gugatan melebihi batas tersebut tidak dapat dilakukan mekanisme gugatan
sederhana ini. Jenis perkara yang dapat diselesaikan dengan cara gugatan sederhana adalah
perbuatan cidera janji (wanprestasi) dan/atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Selain itu dalam Pasal 3 ayat (2) terdapat pula pengecualian dari sengketa yang masuk ke
dalam gugatan sederhana yakni:

a. Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan oleh pengadilan khusus


b. Sengketa hak atas tanah.

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi agar perkara tersebut dapat dikategorikan
sebagai gugatan sederhana, hal ini diatur dalam pasal 4 yakni:

a. Pihak dalam gugatan hanya boleh terdiri dari penggugat dan tergugat tidak boleh lebih
dari satu kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
b. Domisili dari pihak-pihak yang berperkara harus berada di dalam satu wilayah hukum
pengadilan yang sama.
c. Para pihak wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan.
d. Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka tidak dapat diajukan olehnya gugatan
sederhana.

PERMA Gugatan Sederhana juga tidak mewajibkan para pihak untuk di dampingi oleh
kuasa hukum atau advokat. Hal ini telah diatur dalam Pasal 4 ayat (4) PERMA Gugatan
Sederhana. Hal ini tidak diwajibkan karena penggunaan dari kuasa hukum atau advokat ini

19  Bryan A. Garner, Op.Cit., h. 1316.


214 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

akan memakan biaya yang besar dibandingkan dengan nilai gugatan yang dihadapi. Selain
itu, perkara gugatan sederhana tidak dirancang sebagai sengketa akan tetapi mencari solusi
hukum dari persoalan hukum yang dihadapi oleh para pihak secara cepat dan sederhana.20

Dengan adanya PERMA Gugatan Sederhana ini, proses hukum beracara di muka
pengadilan berubah. Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam PERMA tersebut akan
mengesampingkan ketentuan-ketentuan umum dari hukum acara perdata. Akan tetapi tidak
semua harus dikesampingkan oleh adanya PERMA ini. Seperti halnya cara pemanggilan
pihak-pihak berperkara serta prosedur eksekusi atau pelaksanaan putusan, diluar kedua
ketentuan tersebut akan mengacu pada ketentuan-ketentuan khusus yang diberikan oleh
PERMA Gugatan Sederhana.21

Dalam hukum acara perdata pada sengketa biasa, persidangan dipimpin oleh majelis
hakim yang sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dengan susunan hakim terdiri atas 1
(satu) orang hakim ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota. Hal ini berdasarkan Pasal 11 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi, dalam PERMA Gugatan
Sederhana persidangan di dalam penyelesaian sengketa gugatan sederhana ini adalah dipimpin
oleh hakim tunggal yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Dalam hal waktu penyelesaian sengketa, PERMA Gugatan Sederhana memiliki batasan
waktu yakni 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak sidang pertama. Hal ini diatur dalam Pasal
5 ayat (3) PERMA Gugatan Sederhana. Dengan adanya aturan seperti ini diharapkan proses
beracara di muka pengadilan telah memenuhi asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan.

Upaya hukum yang tersedia jika ada salah satu pihak tidak puas akan putusan dari
pengadilan maka PERMA ini menyediakan upaya hukum keberatan. Hal ini diatur dalam Pasal
21 ayat (1) PERMA Gugatan Sederhana. Pihak yang mengajukan upaya hukum keberatan
harus mencantumkan alasan-alasan keberatannya. Permohonan keberatan diajukan paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Jika
melampaui batas 7 (tujuh) hari maka dinyatakan tidak diterima. Putusan dari permohonan
keberatan tersebut bersifat final dan mengikat sehingga tidak tersedia upaya hukum banding,
kasasi dan peninjauan kembali. Hal ini diatur dalam Pasal 30 PERMA Gugatan Sederhana.

20 Agus Sahbani, Gugatan Sederhana Boleh Tanpa Jasa Advokat, < http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt55e935c0ecded/gugatan-sederhana-boleh-tanpa-jasa-advokat>, 4 September 2015, dikunjungi pada tanggal 22 November
2017.
21 M. Natsir Asnawi, Op.Cit., h. 650.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 215

Tahapan Gugatan Sederhana Dan Upaya Keberatan

Tahapan dari gugatan sederhana sendiri telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yakni:

a. Pendaftaran;
b. Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana;
c. Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti;
d. Pemeriksaan pendahuluan;
e. Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak;
f. Pemeriksaan sidang dan perdamaian;
g. Pembuktian;
h. Putusan.

Tahapan lebih jelasnya dapat dilihat pada (Gambar 1) di bawah ini:

Di dalam (Gambar 1.) menjelaskan bahwa tahapan gugatan sederhana dimulai dari
penggugat mendaftarkan gugatannya dengan mengisi blanko gugatan di kepaniteraan perdata
pengadilan daerah tersebut. Blanko tersebut berisi tentang keterangan mengenai sebagai
berikut:

a. Identitas penggugat dan tergugat


b. Penjelasan ringkas duduk perkara
c. Tuntutan penggugat

(Gambar 1)
216 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

Selain itu penggugat juga wajib untuk melampirkan bukti surat yang telah dilegalisir.
Semua hal mengenai pendaftaran gugatan di kepaniteraan tersebut diatur dalam Pasal 7
PERMA Gugatan Sederhana.

Tahapan yang kedua adalah pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana yang dilakukan
oleh panitera. Maksud dari kelengkapan gugatan sederhana ini adalah panitera memeriksa
dari gugatan tersebut apakah telah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4
atau tidak. Jika dalam hal ini, gugatan tersebut tidak memenuhi syarat tersebut maka panitera
akan mengembalikan gugatan tersebut. Jika dalam hal ini, gugatan ternyata telah memenuhi
syarat-syarat tersebut maka gugatan tersebut akan dicatat di buku register khusus gugatan
sederhana. Setelah dicatat, Ketua Pengadilan akan menetapkan uang panjar biaya perkara
yang wajib dibayarkan oleh penggugat. Dalam hal penggugat tidak mampu untuk membayar,
penggugat dapat mengajukan permohonan beracara secara cuma-cuma atau prodeo. Tahapan
ini diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 8 PERMA Gugatan Sederhana.

Tahapan yang ketiga adalah penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti. Ketua
Pengadilan akan menetapkan hakim untuk memeriksa gugatan sederhana tersebut. Hakim di
dalam gugatan sederhana ini merupakan hakim tunggal. Selain itu, panitera akan menunjuk
panitera pengganti untuk membantu hakim dalam memeriksa gugatan sederhana tersebut.
Proses ini dilaksanakan paling lambat 2 (dua hari). Tahapan ketiga ini diatur dalam Pasal 9
jo Pasal 1 Angka 3 dan Pasal 10 PERMA Gugatan Sederhana.

Setelah ditetapkan hakim tunggal, hakim memeriksa materi gugatan sederhana di dalam
proses pemeriksaan pendahuluan (Dismissal Process). Di dalam proses ini, hakim menentukan
terpenuhi atau tidaknya syarat gugatan yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Selain itu, hakim
juga menilai sederhana atau tidaknya pembuktian dari gugatan tersebut. Pada akhirnya, hakim
akan mengambil keputusan tentang apakah gugatan yang telah didaftarkan tersebut memenuhi
syarat-syarat gugatan sederhana atau tidak. Dalam hal gugatan tersebut tidak memenuhi syarat
gugatan sederhana maka, hakim akan mengeluarkan penetapan yang menyatakan gugatan
tersebut bukan gugatan sederhana. Selain itu, hakim akan memerintahkan untuk mencoret
gugatan dari register perkara dan mengembalikan sisa biaya perkara terhadap penggugat.
Dalam hal dikeluarkannya penetapan oleh hakim, maka tidak ada upaya hukum lagi yang
dapat dilakukan untuk penetapan tersebut. Tahapan ini diatur dalam Pasal 11 PERMA Gugatan
Sederhana. Sedangkan dalam hal gugatan memenuhi syarat, akan dilanjutkan ke penetapan
hari sidang. Penetapan sidang sendiri diatur dalam Pasal 12 PERMA Gugatan Sederhana.

Setelah ditetapkan hari sidang, maka hakim memanggil para pihak pada sidang hari
pertama. Ada beberapa ketentuan mengenai kehadiran para pihak di dalam Pasal 13 PERMA
Gugatan Sederhana yakni:
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 217

a. Penggugat tidak hadir dalam hari sidang pertama tanpa alasan yang sah maka gugatan
dinyatakan gugur.
b. Tergugat tidak hadir dalam hari sidang pertama, maka akan dilakukan pemanggilan kedua
secara patut.
c. Tergugat tidak hadir pada hari sidang kedua maka hakim akan memutus perkara tersebut.
Akan tetapi, tergugat berhak untuk mengajukan keberatan.
d. Tergugat hadir pada hari sidang pertama akan tetapi pada hari sidang kedua tidak hadir
tanpa alasan yang sah, maka gugatan akan diperiksa dan diputus secara contradictoir.

Selain pemanggilan para pihak, hakim juga berperan aktif untuk melakukan upaya
perdamaian (mediasi) termasuk menyarankan untuk melakukan upaya perdamaian di
luar persidangan. Akan tetapi, dikarenakan upaya perdamaian yang diatur dalam PERMA
Gugatan Sederhana mengecualikan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung
mengenai prosedur mediasi. Maka, secara tidak langsung mediasi di dalam penyelesaian
gugatan sederhana tidak diwajibkan. Hal ini dikarenakan hakim juga harus memperhatikan
batas waktu yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PERMA Gugatan Sederhana yakni
batas penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima hari) jadi jika terdapat
mediasi akan memakan waktu cukup lama. Jika dalam hal tercapai perdamaian antara para
pihak maka, hakim akan membuat Putusan Akta Perdamaian yang mengikat para pihak.
Terhadap Putusan Akta Perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Jika dalam
hal tercapai perdamaian diluar persidangan, maka wajib dilaporkan kepada hakim agar
dapat menjadi pertimbangan dalam memutus perkara.22 Jika dalam hal tercapai perdamaian
diluar persidangan dan hasil perdamaian tersebut tidak dilaporkan maka, hakim tidak akan
terikat dengan perdamaian tersebut. Tahapan ini diatur dalam Pasal 15 PERMA Gugatan
Sederhana.

Jika dalam perdamaian tidak tercapai maka, akan dilanjutkan ke sidang selanjutnya
yang agendanya adalah pembacaan gugatan dan jawaban tergugat yang diatur dalam Pasal
16 PERMA Gugatan Sederhana. Dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana, tidak dapat
diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.
Hal ini diatur dalam Pasal 17 PERMA Gugatan Sederhana.

Jika gugatan diakui dan/atau tidak dibantah, maka tidak diperlukan pembuktian. Akan
tetapi jika gugatan tersebut dibantah maka, hakim akan melakukan pemeriksaan pembuktian
berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku (prinsip, cara, batas minimal alat bukti,
nilai atau daya bukti alat bukti). Hal ini diatur dalam Pasal 18 PERMA Gugatan Sederhana.

22 M. Natsir Asnawi, Op.Cit., h. 656.


218 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

Penggugat wajib membuktikan gugatannya sebaliknya, tergugat juga wajib untuk membuktikan
bantahannya sesuai dengan prinsip billijkheid atau kepatutan dalam membebankan pembuktian
kepada pihak berperkara.23

Ketika seluruh proses pemeriksaan telah dilaksanakan maka, hakim akan mengambil suatu
kesimpulan yang lalu dituangkan ke dalam putusan. Hakim membacakan putusan tersebut di
sidang terbuka untuk umum. Selain itu, hakim juga wajib memberitahukan hak para pihak
untuk mengajukan keberatan jika tidak puas menerima dengan putusan tersebut. Hal ini diatur
dalam Pasal 19 PERMA Gugatan Sederhana. Jika pada saat pembacaan putusan salah satu
pihak tidak hadir maka, jurusita akan menyampaikan pemberitahuan putusan paling lambat
2 (dua) hari setelah putusan diucapkan.

Di dalam gugatan sederhana, upaya hukum yang dimungkinkan untuk para pihak yang
merasa tidak puas akan putusan dari hakim adalah upaya hukum keberatan. Upaya hukum
keberatan ini diatur dalam Pasal 21 PERMA Gugatan Sederhana. Adapun tahapan-tahapan
upaya hukum dapat dilihat pada (Gambar 2) di bawah ini:

(Gambar 2)

Tahapan upaya hukum keberatan ini dimulai pada saat penggugat tidak puas akan putusan
hakim pada saat penyelesaian gugatan sederhana dan mengajukan permohonan keberatan.
Batas waktu dari pengajuan permohonan keberatan adalah paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Permohonan ini diajukan dengan cara
pemohon mengisi blanko permohonan yang ada di kepaniteraan perdata pengadilan negeri
tersebut. Permohonan yang melebihi batas waktu yang ditentukan maka, dinyatakan tidak

23  Ibid, h. 657.


Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 219

diterima dengan penetapan dari Ketua Pengadilan dan surat keterangan panitera. Hal ini diatur
dalam Pasal 22 PERMA Gugatan Sederhana. Di dalam Pasal 23 ayat (1) PERMA Gugatan
Sederhana juga menyatakan bahwa kepaniteraan juga akan memeriksa tentang kelengkapan
berkas permohonan keberatan dan memori keberatan.

Setelah keseluruhan berkas permohonan keberatan beserta memori, pemohon


menandatangani akta pernyataan keberatan. Yang setelah itu, akta pernyataan keberatan dan
memori keberatan diberitahukan kepada termohon dalam waktu 3 (tiga) hari sejak permohonan
diterima oleh pengadilan. Diatur dalam Pasal 24 ayat (1) PERMA Gugatan Sederhana. Pihak
termohon setelah menerima pemberitahuan akta pernyataan dan memori keberatan tersebut,
termohon dapat mengajukan kontra memori keberatan paling lambat 3 (tiga) hari setelah
pemberitahuan keberatan. Termohon mengajukan kontra memori keberatan dengan cara
mengisi blanko yang telah disediakan oleh kepaniteraan perdata pengadilan tersebut. Diatur
dalam Pasal 24 ayat (2) jo Pasal 23 ayat (2) PERMA Gugatan Sederhana. Kemudian, memori
keberatan dan kontra memori keberatan diberikan kepada panitera.

Tahapan selanjutnya adalah Ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim untuk


memeriksa dan memutus permohonan keberatan. Penetapan majelis hakim ini paling lambat
1 (satu) hari setelah permohonan dinyatakan telah lengkap. Majelis hakim akan dipimpin oleh
hakim senior yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan tersebut. Diatur dalam Pasal 25 PERMA
Gugatan Sederhana.

Setelah ditetapkan majelis hakim, majelis hakim melakukan pemeriksaan keberatan.


Di dalam pemeriksaan ini hanya memeriksa berkas-berkas perkara yang mencakup tiga hal
yakni:

1. Putusan dan berkas gugatan sederhana


2. Permohonan keberatan dan memori keberatan
3. Kontra memori keberatan.

Pada pemeriksaan ini tidak diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan tambahan,


artinya pemeriksaan tidak lagi dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak berperkara.24
Hal ini diatur dalam Pasal 26 PERMA Gugatan Sederhana.

Putusan keberatan akan dijatuhkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penetapan majelis
hakim oleh Ketua Pengadilan. Pemberitahuan putusan keberatan disampaikan kepada para
pihak paling lambat 3 (tiga) hari sejak diucapkan. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) jo
Pasal 27 PERMA Gugatan Sederhana. Putusan keberatan ini adalah putusan yang bersifat final

24 Ibid, h. 659.
220 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

yang artinya tidak ada lagi upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 30 PERMA Gugatan Sederhana.

Majelis Hakim

Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mengadili perkara
dalam pengadilan atau Mahkamah. Sering juga hakim juga diartikan sebagai orang pandai,
budiman, ahli dan orang yang bijak. Menurut Black’s Law Dictionary, “Judge is A public
official appointed or elected to hear and decide legal matters in court”.25 Yang artinya hakim
adalah pejabat publik yang ditunjuk untuk mendengarkan dan memutuskan masalah hukum
di dalam pengadilan. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili, hal ini merujuk ke Pasal 1 Angka 8 KUHAP. Dalam hal ini,
peradilan dilaksanakan secara profesional oleh hakim yang berkompeten, mandiri dan tidak
memihak. Hakim disini menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
adalah hakim Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara
dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim
dalam mengadili setiap perkara wajib menjaga independesi dan profesionalismenya. Jika di
dalam mengadili perkaranya hakim menemui conflict of interest atau benturan kepentingan
dengan para pihak, maka hakim tersebut wajib untuk menyatakan mundur dalam mengadili
perkara para pihak tersebut dan digantikan hakim yang terbebas dari conflict of interest dengan
para pihak tersebut. Hal ini dikarenakan jika hakim tetap mengadili sedangkan hakim tersebut
memiliki conflict of interest ditakutkan putusan hakim nantinya akan memihak salah satu
pihak dan merugikan pihak yang lainnya.

Dalam suatu persidangan, umumnya susunan persidangannya sekurang-kurangnya 3


(tiga) orang hakim. Susunan 3 (tiga) orang hakim ini terdiri atas 1 (satu) orang hakim ketua
dan 2 (dua) orang hakim anggota. Hal ini menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman. Asas majelis ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang
seobjektif-objektifnya, guna memberi perlindungan hak-hak asas manusia dalam bidang
peradilan.26

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dapat dikatakan


bahwa majelis hakim dalam mengadili suatu perkara harus berjumlah ganjil. Akan tetapi, tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur alasan mengenai mengapa majelis hakim
diharuskan berjumlah ganjil. Sebelum memutus, hakim ketua dan kedua hakim anggotanya

25  Bryan A. Garner, Op.Cit., h. 2460.


26  Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 45.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 221

akan memusyawarahkan tentang kesimpulan dari perkara tersebut. Di dalam musyawarah


tersebut kerap juga terjadinya dissenting opinion atau perbedaan pendapat oleh para hakim.
Dan apabila ini terjadi maka akan putusan akan diambil dengan suara terbanyak, hal ini sejalan
apabila dibandingkan dengan Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Mengacu dalam pengambilan
putusan dengan suara terbanyak maka dapat diketahui jumlah hakim yang diperlukan harus
ganjil. Adapun tujuan dari jumlah hakim yang ganjil tersebut adalah jika dalam hal terjadi
perbedaan pendapat maka akan dihasilkan suara terbanyak dan tidak akan memiliki hasil yang
sama atau seimbang. Menurut Drs. H. Insyafli M.HI (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
Padang), hal ini dikarenakan jika terjadi perbedaan pendapat antara para hakim mengenai
perkara tersebut maka harus diselesaikan dengan cara voting atau hitung suara terbanyak.27
Pendapat hakim minoritas meskipun ia adalah hakim ketua harus menyesuaikan pendapat
hakim mayoritas.28

Dissenting Opinion

Sebelum dijatuhkannya putusan akhir, majelis hakim akan bermusyawarah di dalam


sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 178
ayat (1) H.I.R yang menyatakan bahwa hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib
mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah fihak. Selain
itu juga diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Musyawarah
majelis ini merupakan perundingan yang dilakukan oleh hakim dalam mengambil sebuah
kesimpulan dari sengketa yang sedang diadili yang selanjutnya dituangkan dalam suatu
putusan.29 Di dalam suatu musyawarah majelis, majelis akan melakukan dua hal yakni:

1. Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil
membuktikan.
2. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum antara para pihak.30

Dalam hal musyawarah majelis, para hakim kerap dihadapkan oleh perbedaan pendapat
antar hakim satu sama lain. Hal ini biasanya disebut Dissenting Opinion. Dalam kamus
bahasa Inggris, kata dissenting berasal dari kata dissent yang artinya perbedaan pendapat,
ketidaksepakatan, berbeda pendapat atau berselisih. Selain itu dalam Black’s Law Dictionary,
pengertian dissent adalah “A disagreement with a majority opinion, especially among judges”.

27  Insyafli, Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim, < https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&so


urce=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjz1JmLscXXAhUBOY8KHaczCq0QFggqMAA&url=http%3A%
2F%2Fpa-bengkulukota.go.id%2Ffoto%2FIKHTISAR%2520PERMUSYAWARAH%2520MAJELIS%2520HAKIM.
pdf&usg=AOvVaw2hZ1_ewyty2IDKZ0rCLtJ5>, diunduh tanggal 16 November 2017.
28  Ibid.
29  M. Natsir Asnawi, Op.Cit., h. 478.
30  Ibid, h. 477.
222 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

31 Dissenting Opinion sendiri dalam Black’s Law Dictionary adalah “An opinion by one or
more judges who disagree with the decision reached by the majority”.32 Yang artinya adanya
pendapat satu atau lebih hakim yang tidak setuju akan pendapat mayoritas. Menurut Pontang
Moerad, “dissenting opinion adalah pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau
lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju dengan
putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim”.33

Dissenting opinion ini merupakan salah satu implementasi dari kebebasan hakim dalam
hal memutus suatu perkara. Perbedaan pendapat ini harus berdasarkan dasar hukum yang
relevan dan jelas. Kebebasan hakim ini juga diatur dengan adanya Pasal 14 ayat (3) Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman. Selain di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
dissenting opinion juga diatur dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Jika dalam suatu sidang permusyawaratan tidak tercapai kata mufakat bulat maka, hakim dapat
menyatakan pendapat yang berbeda dan wajib dimuat dalam putusan tersebut. Perbedaan
pendapat ini pertama kali dikenal di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2000
tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim
Ad Hoc. Menurut Pasal 1 Angka 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2000, “Perbedaan pendapat
adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang Anggota Majelis, baik mengenai fakta
atau hukumnya dalam musyawarah Majelis”.

Hakim Tunggal

Adapun hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara tidak hanya berbentuk
majelis akan tetapi dapat seorang diri atau biasa disebut hakim tunggal. Hakim tunggal
semacam ini dapat ditemukan pada beberapa perkara tertentu. Seperti halnya pada:

1. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


2. Pasal 78 ayat (2) KUHAP mengenai hakim tunggal Praperadilan
3. Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana.

Di dalam PERMA Gugatan Sederhana juga mengatur tentang hakim tunggal yang diatur
dalam Pasal 1 Angka 3 PERMA Gugatan Sederhana. Alasan dari penggunaan hakim tunggal
dalam gugatan sederhana tidak dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut.

31  Bryan A. Garner, Op.Cit., h. 1426.


32  Ibid, h. 3465.
33  Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana,

Bandung, Alumni, h. 111.


Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 223

Penggunaan hakim tunggal dalam gugatan sederhana ini juga mendukung asas peradilan yang
“Sederhana, Cepat dan Biaya ringan”. Penggunaan hakim tunggal dinilai dapat mempercepat
persidangan. Pada umumnya persidangan yang menggunakan acara biasa membutuhkan waktu
lama dalam hal antara hakim ketua dengan hakim anggota ataupun hakim anggota dengan
hakim anggota lainnya berbeda pendapat. Jika dalam hal ada perbedaan pendapat, maka
putusan ditunda untuk dibaca kembali oleh semua anggota majelis hakim. Dan apabila jika
telah berkali-kali musyawarah akan tetapi tetap terjadi perbedaan pendapat maka, putusan
disepakati oleh semua anggota dengan mencatat pendapat yang berbeda dan diserahkan
kepada ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan sebagai dokumen. Sebaliknya, jika
dalam hal ini menggunakan hakim tunggal maka perbedaan pendapat ini tidak akan terjadi
dikarenakan hanya satu orang yang memutus gugatan tersebut. Dalam hal ini, orang lain tidak
boleh mempunyai prasangka yang menyatakan bahwa putusan oleh hakim tunggal kurang
objektif daripada putusan majelis hakim.34 Pemilihan hakim tunggal juga merupakan salah
satu cara untuk menunjang kecepatan dari jalannya persidangan gugatan sederhana yang
mana menurut Pasal 5 ayat (3) PERMA Gugatan Sederhana itu adalah paling lama 25 hari
sejak sidang pertama.

Kedudukan hakim di dalam PERMA Gugatan Sederhana adalah hakim tunggal. Berbeda
dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya susunan hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus sebuah perkara adalah 3 orang. Pada akhirnya kedua ketentuan ini bertentangan satu
sama lain. Walaupun telah ditentukan bahwa setiap pengadilan sekurang-kurangnya 3 hakim,
hal ini dapat disimpangi. Di dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa “... Kecuali undang-undang menentukan lain.” Secara tidak langsung
sebenarnya, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut mengenai gugatan sederhana di
dalam Peraturan Mahkamah Agung. Sesuai dengan kedudukan Mahkamah Agung dalam
lembaga peradilan tertinggi yang harus menciptakan kepastian hukum dan menjawab segala
permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi, di dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut menyatakan bahwa undang-undang lain
dapat menyimpangi hal tersebut. Mahkamah Agung memang dapat membuat produk hukum
akan tetapi produk hukum tersebut Peraturan Mahkamah Agung yang seharusnya tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang telah ada. Memang hakim tunggal digunakan dalam
penyelesaian gugatan sederhana dikarenakan agar proses persidangan menjadi lebih cepat
dan efisien yang mana hal ini mempresentasikan bahwa peradilan di Indonesia menganut
asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Jadi, kedudukan hakim tunggal di dalam

34  Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 46.


224 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

PERMA Gugatan Sederhana masih bertentangan dengan ketentuan Majelis Hakim dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Kesimpulan

Peraturan Mahkamah Agung menurut hierarkhi peraturan perundang-undangan di


Indonesia termasuk salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menurut
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Mahkamah Agung merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan selain yang
disebutkan pada Pasal 7 ayat (1). Selain itu Peraturan Mahkamah Agung memiliki kekuatan
yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan, hal ini didasarkan dengan Pasal 8 ayat (2) Undang-
Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. PERMA Gugatan Sederhana ini
dibuat bertujuan untuk menjawab permasalahan proses peradilan yang kompleks dan lama.
Peraturan ini jika ditelaah lebih lanjut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan
yang bertujuan untuk pelengkap kekurangan hukum. Dikarenakan di Indonesia sendiri belum
ada aturan mengenai tata cara gugatan sederhana ini. Dikatakan sebagai pelengkap karena
masyarakat dalam perkembangannya membutuhkan sebuah prosedur penyelesaian sengketa
yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan terutama di bidang hukum yang bersifat
sederhana. PERMA Gugatan Sederhana ini bersifat mengikat ke dalam (Interne Regeling).
PERMA ini mengikat bagi pihak yang berada di bawah lembaga yang mengeluarkan peraturan
tersebut dalam hal ini Mahkamah Agung.

Kedudukan hakim tunggal dalam PERMA Gugatan Sederhana dinilai bertentangan


dengan susunan persidangan yang ditentukan oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang mana sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dengan susunan 1 (satu) orang hakim ketua
dan 2 (dua) orang hakim anggota. Secara tidak langsung Mahkamah Agung sebenarnya dapat
mengatur lebih lanjut mengenai gugatan sederhana. Akan tetapi, di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman tersebut menyatakan bahwa undang-undang lain dapat menyimpangi
hal tersebut. Mahkamah Agung memang dapat membuat produk hukum akan tetapi produk
hukum tersebut Peraturan Mahkamah Agung yang seharusnya tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang telah ada. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah payung dari
PERMA Gugatan Sederhana. Hakim tunggal digunakan karena agar proses persidangan
menjadi lebih cepat dan efisien. Persidangan menjadi lebih cepat dan efisien dikarenakan
hakim tunggal tidak akan mengalami perbedaan pendapat. Jadi, kedudukan hakim tunggal
dalam PERMA Gugatan Sederhana masih dianggap bertentangan dengan kedudukan Majelis
Hakim dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Ferevaldy dan Anand: Kedudukan Hakim Tunggal dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) 225

Daftar Bacaan

Buku

Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary, Tenth Edition, West Publishing, St. Paul.

Henry P. Panggabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari:Upaya


penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah
Agung, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Konstitusi Press,


Jakarta.

Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta.

M. Natsir Asnawi, 2016, Hukum Acara Perdata: Teori, Praktik dan Permasalahannya di
Peradilan Umum dan Peradilan Agama, cetakan pertama, UII Press Yogyakarta (Anggota
IKAPI), Yogyakarta.

M. Yahya Harahap, 2015, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni, Bandung.

R. Abdoel Djamali, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan ke-17, RajaGrafindo Persada,
Jakarta

Ronald S. Lumbuun, 2011, PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia):


Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta,
RajaGrafindo Persada.

Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta

Jurnal

Efa Laela Fakhriah, ‘Mekanisme Small Claim Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan
Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan’ (2013) 25 Mimbar Hukum.

Laman

Agus Sahbani, ‘Gugatan Sederhana Boleh Tanpa Jasa Advokat’ (hukumonline 2015) < http://
www.hukumonline.com/berita/baca/lt55e935c0ecded/gugatan-sederhana-boleh-tanpa-jasa-
advokat> diakses pada tanggal 22 November 2017.
226 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 205–226

Insyafli, ‘Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim’ < https://www.google.com/url?sa=t&rc


t=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjz1JmLscXX
AhUBOY8KHaczCq0QFggqMAA&url=http%3A%2F%2Fpa-bengkulukota.go.id%2
Ffoto%2FIKHTISAR%2520PERMUSYAWARAH%2520MAJELIS%2520HAKIM.
pdf&usg=AOvVaw2hZ1_ewyty2IDKZ0rCLtJ5> diakses tanggal 16 November 2017.

Muhammad Yasin, ‘Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SK


KMA)’, (hukumonline, 2013) <http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-
hukum-produk-produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma)>, diakses pada tanggal
25 Oktober 2017.

Texas Young Lawyers Association, ‘How To Sue In Small Claims Court 6th edition’
(2012) <https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
ved=0ahUKEwii4Mi25tHXAhUK6Y8KHTtQCGQQFggoMAA&url=http%3A%2
F%2Fwww.tyla.org%2Ftyla%2Fassets%2Ffile%2Fhowtosueinsmallclaimsweb2012.
pdf&usg=AOvVaw3QkWXq7rzmNgQ_nOaSjzvl> diakses tanggal 30 Oktober 2017.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan


Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
MEKANISME PENENTUAN GANTI KERUGIAN TERHADAP
KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti*

ABSTRAK

Perusakan lingkungan hidup merupakan tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan
hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai
estetika dan terganggunya sistem alami. Pertumbuhan dan berkembangnya industri berdampak
positif yaitu membuka lapangan kerja baru dan selanjutnya dapat meningkatkan perekonomian,
tetapi pertumbuhan industri juga dapat menumbulkan dampak negatif berupa pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup. Kewajiban membayar ganti kerugian bagi mereka yang terbukti
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pencemar membayar
yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan. Salah satu cara penegakan hukum terhadap
pelaku perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan gugatan perdata berdasarkan konsep
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, sebagaiana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 87 UUPPPLH. Bentuk sanksi
hukum yang dapat dimintakan dalam gugatan adalah ganti kerugian dan atau melakukan tindakan
tertentu. Kerugian dalam konsep PMH adalah kerugian yang nyata dan terukur nilainya yang dialami
oleh korbannya. Konsep PMH ini akan menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap pelaku
pencemaran atau perusakan lingkunga hidup, terutama dalam penentuan besaran kerugian atas
kerusakan lingkungan hidup, jika Pengugat dituntut untuk pembuktian bentuk dan besaran nilai
kerugian yang nyata seperti dalam konsep kerugian dalam PMH, karena kerugian tidak langsung
tehadap kerusakan lingkungan tidak selalu dapat diukur.

Kata kunci: ganti rugi, kerusakan lingkungan hidup, pencemaran

LATAR BELAKANG

Salah satu alasan pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan adalah menuntut
ganti rugi. Dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur pada Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) disebutkan
tentang ganti rugi, tetapi tidak ditemukan pengaturan tentang apa yang menjadi acuan yang

*  Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Peergroup P3KHAM LPPM UNS,
dapat dihubungi melalui email: heri_sh@yahoo.com .

227
228 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

dipakai untuk mengukur apa yang dinamakan ganti rugi, sehingga praktisi hukum seolah
menganalogikan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum seperti ganti rugi dalam Bab I
Buku III KUH Perdata. Pola pikir demikian tidaklah tepat, karena pada Bab I Buku III KUH
Perdata mengatur tentang hubungan perikatan yang lahir dari perjanjian, pengaturan ganti
rugi juga mengatur tentang ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian. Sehingga parameter
ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum tidak dapat disamakan dengan ganti rugi
dalam hubungan perjanjian.

Perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam artikel ini adalah perbuatan melawan
hukum dalam bidang keperdataan. Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda
disebut dengan istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
tort. Arti kata tort adalah kesalahan. Penafsiran terhadap kesalahan dalam bidang hukum
berkembang sedemikian rupa sehingga kesalahan dalam hukum perdata bukan hanya berasal
hubungan kontraktual (wanprestasi).1

Ganti rugi dapat diajukan karena dua sebab, yaitu ganti rugi karena wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi
yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara
kreditur dan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata dari
Pasal 1243 sampai Pasal 1252, sedangkan ganti Rugi karena perbuatan melawan hukum adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah melakukan kesalahan yang
menimbulkan kerugian pada pihak lain (Pasal 1365 KUH Perdata). Ganti rugi perbuatan
melawan hukum timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Untuk
Pasal 1365 KUH Perdata sebagian Sarjana Hukum menganggapnya sebagai pasal keranjang
sampah karena apabila tidak menemukan ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar
menuntut hak, maka Penggugat akan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.

Perbuatan melawan hukum tidak hanya dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan (hukum positif) saja. Sejak tahun 1919 di Belanda
terjadi perkembangan pernafsiran terhadap perbuatan melawan hukum yang hingga saat ini
diikuti pula oleh hakim di Indonesia. Perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar
hukum positif semata, tetapi juga meliputi setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau
kepantasan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sejak putusan Hoge raad 31 Januari 1919
perkara antara Lindenbaum melawan Cohen, onrechmatige daad tidak hanya dipandang
sebagai pelanggaran terhadap hukum positif, tetapi juga diartikan secara luas.

1  Munir Fuadi, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan ke-2, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 2.
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 229

Beberapa tuntutan ganti rugi dalam gugatan perbuatan melawan hukum, pihak penggugat
menuntut ganti rugi secara materiil dan immateriil. Prinsip hukum dalam menuntut ganti rugi
adalah adanya kerugian langsung yang diderita oleh Penggugat akibat dari kesalahan Tergugat,
sehingga nilai ganti rugi yang diminta oleh pengugat harus terperinci dan dapat dibuktikan
nilai kerugian tersebut. Tujuan dari permintaan ganti rugi adalah untuk mengembalikan kondisi
penggugat seperti semula sebelum tergugat melakukan perbuatan (kesalahan) yang merugikan
penggugat. Hal yang berbeda ketika mengkaji perkara perbuatan melawan hukum dibidang
hukum lingkungan. Penerapan asas “Pencemar Membayar” dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penilaian terhadap
kerugian dalam perkara lingkungan hidup, tergugat dalam perkara lingkungan hidup tidak
hanya dibebankan membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukannya,
tetapi juga dapat diberikan sanksi lain berupa perintah untuk melakukan sesuatu tindakan
untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan.

Gugatan Perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata pada umumnya dan gugatan
perbuatan melawan hukum pada perkara lingkungan hidup memiliki cara dan konsep yang
berbeda dalam menilai tanggung jawab tergugat. Sehingga penulis tertarik menguraikan
mekanisme dalam menilai kerugian yang timbul dari perkara lingkungan hidup.

PEMBAHASAN

Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi:

“Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan
kerugian tersebut” Maka perbuatan melawan hukum mengandung unsur:

a. Adanya suatu perbuatan;


b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum;
c. Adanya kesalahan dari pelaku;
d. Ada kerugian bagi korban;
e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.

Penjabaran dari tiap-tiap unsur tersebut sebagai berikut:


a. Ada suatu perbuatan:
Perbuatan yang dimaksud dalam unsur ini adalah ada perbuatan aktif dari pelaku yaitu
melakukan suatu perbuatan tertentu (dalam artian aktif) maupun tidak melakukan sesuatu
230 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

(dalam artian pasif) namun hal tersebut bertentangan dengan kewajiban hukumnya.
Perbuatan tertentu atau perbuatan tidak melakukan sesuatu yang dimaksud dalam hal
ini adalah perbuatan yang tidak diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihaknya.

b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum:


Sejak Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 telah terjadi perluasan makna tentang perbuatan
melawan hukum. yang mencakup salah satunya perbuatan sebagai berikut:
1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;
2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
hidup dalam pergaulan masyarakat yang baik.2
Perbuatan yang bertentang hak orang lain masih memiliki makna yang luas, sehingga hak
pribadi orang lain, hak atas kekayaan, hak atas kebebasan ataupun hak atas kehormatan
dan nama baik merupakan bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum. Perbuatan yang
berakibat kerugian terhadap pribadi orang lain dapat dikategorikan sebagai melawan
hukum.
Katergori melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban
hukum. Kewajiban hukum ini adalah kewajiban yang diberikan oleh hukum kepada
pelaku untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersumber dari hukum yang
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Menilai apakah seseorang telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum yang diatur hukum yang tertulis
relatif lebih mudah, dibandingkan dengan menilai apakah seseorang telah melanggar
kewajiban hukum yang diatur dalam hukum yang tidak tertulis. Peran anggota masyarakat
(adat/kebiasaan) sangat berperan dalam memberikan penilaian ini. Suatu sistim nilai
positif tidak diciptakan secara bebas oleh individu tersendiri, tetapi merupakan hasil
saling mempengaruhi antar individu dalam suatu kelompok. Setiap sistim moral dan
ide keadilan merupakan produk masyarakat dan berbeda-beda tergantung pada kondisi
masyarakatnya. Faktanya terdapat nilai-nilai yang secara umum diterima oleh masyarakat
tertentu tidak bertentangan dengan karakter subjektif dan relatif dari pembenaran nilai.
Demikian pula halnya banyak persetujuan individu terhadap pembenaran tersebut tidak
membuktikan bahwa pembenaran tersebut adalah benar.3 Sehingga norma-norma sosial
yang hidup di dalam masyarakat merupakan hukum yang memiliki sanksi hukum bagi

Ibid, h.6.
2 

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
3 

Mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 18.


Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 231

pihak yang melanggarnya dan dapat ditegakan melalui prosedur formal (pengadilan).
Tanggungjawab dalam konteks perbuatan melawan hukum bukan hanya atau tidak hanya
diartikan sebagai sebuah bentuk ganti rugi yang berkonotasi dengan kepentingan pribadi,
melainkan harus dimaknai sebagai sebuah konsekuensi hukum dalam penegakan hukum
yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

c. Adanya kesalahan dari pelaku:


Tanggung jawab perdata dalam terminologi perbuatan melawan hukum berasal dari
prinsip atas dasar kesalahan yang dilekatkan pada suatu perbuatan sebagai suatu kesalahan
apabila terdapat pelaku yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban secara hukum
atas perbuatannya tersebut. Indonesia menganut prinsip ini dan termaktub dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tentang perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad).4 Kesalahan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan baik
itu karena kesengajaan maupun karena kelalaian, sehingga tanggungjawab akan kesalahan
tersebut tidak hanya secara moral (moral liability) melainkan secara hukum pula (legal
liability).5 Perbuatan melawan hukum karena didasarkan pertanggungjawaban untuk
terpenuhinya salah satu unsurnya yang merupakan unsur kesalahan, dalam hukum modern,
pertanggungjawaban terhadap aktivitas yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya
ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari sistem pertanggungjawaban yang
berdasarkan adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu keharusan untuk menunjukkan
benar-benar terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas tersebut.6 Tanggung jawab
hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan
yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih
luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi
jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari
perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan.7
Ruang lingkup yang luas terhadap tanggungjawab perdata memberikan gambaran akan
fleksibelitas prinsip ini yang dapat diterapkan pada setiap peristiwa hukum, terutama
yang berkaitan dengan wilayah keperdataan. Cakupannya dapat dikenakan terhadap

4 Endang Saefullah Wiradipraja, 1996,Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara, Balai Pustaka, Jakarta, h. 9.
5 Endang Saefullah Wiradipradja, 2008, Hukum Transportasi Udara: dari Warsawa 1929 ke Monteral 1999, Kiblat
Utama, Bandung, h. 172.
6  Loura Hardjaloka, “Ketetapan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus

Gunung Mandalawangi, Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004”, Agustus 2012, Volume 5, No. 2, Jurnal Yudisial, h. 137.
7  Komariah, 20013, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, h. 12.
232 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

manusia sebagai naturelijk persoon maupun terhadap badan hukum atau rechtpersoon.
Konsekeunsi yang lahir dari perluasaan ini setiap subjek hukum dapat dimintai
pertanggungjawaban atas setiap kesalahan yang dilakukannya dengan catatan adanya
kerugian yang timbul akibat kesalahan tersebut. Prinsip ini dikenal dengan teori Corrective
Justice, yang mengajarkan bahwa setiap orang harus melindungi hak-haknya dan harus
dipulihkan keadaannya agar ada keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum yang
merupakan tujuan hukum.8 Perluasan itu muncul karena adanya tiga Arrest Hoge Raad
yang memiliki nilai historis yangmenggambarkan terhadap pemahaman istilah “melawan
hukum”. Arrest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer
Naaimachine.Arrest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus
Zutphenese Juffrouw. Arrest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara
Lindenbaum vs. Cohen.9

d. Ada kerugian bagi korban:


Adanya kerugian yang dialami korban (penggugat) menjadi salah satu unsur Pasal 1365
KUH Perdata. Berbeda dengan kerugian dalam waprestasi hanya mengenal kerugian
materiil, kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum dapat berupa
kerugian materiil dan immateriil. Pasal 1371 dan 1372 KUH Perdata tersirat memberikan
pengaturan tentang tuntutan ganti rugi immateriil dalam gugatan perbuatan melawan
hukum. Immateriil sering diartikan kerugian yang tidak berwujud sehingga sulit untuk
menguraikan bentuk dan mengukur jumlah kerugian immateriil. Bentuk kerugian
immateriil dapat berupa kerugian atau hilangnya manfaat yang terjadi dikemudian hari.
Penggugat dalam menuntut gantirugi immateriil tetap wajib menguraikan dalam bentuk
apa kerugian tersebut, mengapa muncul kerugian tersebut, perincian jumlah kerugian
dan yang paling penting adalah kerugian immateriil tersebut harus dapat dibuktikan.
Beberapa yurisprudensi telah memberikan contoh tentang bagaimana hakim dalam
mempertimbangkan tuntutan gantirugi immateriil, yaitu:
• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor
588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa tentang tuntutan Penggugat
asal sub 5 yaitu mengenai tuntutan ganti rugi karena tidak disertai bukti-bukti maka
harus ditolak”.
• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 31 September 1983
Nomor 19 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Menimbang, bahwa oleh karena

8  Ahmad Sudiro, Konsep Keadilan John Rawls, Juli 2012, Volume 19, Nomor 3, Jurnal Legislasi Indonesia, h. 446.
9  Nia Putriyana dan Shinta Dwi Puspita, “Tanggungjawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan Melawan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Desember 2014, Volume 7, Nomor 3, Jurnal Arena Hukum, h.438-439. Diakses melalui:
http://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/173/172 tanggal 27 Agustus 2017.
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 233

gugatan ganti rugi tersebut tidak diperinci dan lagi pula belum diperiksa oleh judex
factie , maka gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.”.
• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 8 Mei 1980
Nomor 550 K/Sip/1979, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa petitum ke 4 s/d 6
dari Penggugat asal tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh
karena kerugian - kerugian yang diminta tidak diadakan perincian. ”.
• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor
588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Setiap tuntutan ganti rugi harus
disertai perincian kerugian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutannya.
Tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak
dapat diterima karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna”.10

e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.


Hubungan kausaitas (sebab akibat) antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi juga
merupakan syarat suatu perbuatan melawan hukum. Dalam menilai hubungan sebab
akibat, ada 2 (dua) teori yaitu: teori hubungan faktual (causation in fact) dan teori
penyebab kira-kira (procxime cause).11 Hubungan sebab akibat secara faktual (causation
in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang telah terjadi. Setiap penyebab
yang menimbulkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual,
asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam
hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan
hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Sedangkan konsep hubungan sebab
akibat kira-kira (procxime cause) merupakan penyebab langsung berasal dari hukum
perdata, khususnya dalam hukum asuransi. Asuransi memberikan jaminan terhadap
kerugian yang disebabkan oleh risiko-risiko tertentu yang dipertanggungkan, namun
sering ditemui kesulitan dalam menentukan sebab-sebab yang menimbulkan kerugian,
karena penyebabnya bisa lebih dari satu yang mungkin merupakan sederetan peristiwa
atau beberapa peristiwa yang terjadi secara bersamaan. Sehingga proximate cause itu
dapat digunakan untuk menentukan penyebab kerugian.12

10  Hanis Tirtadjaja melawan Meilisa Nurmawan, Hj. Ratu Dhenok Herawaty, MARI-Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. h. 22-23. Diakses melalui: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/8e6015f5ccd7
063880abbfff58df6baa tanggal 25 Agustus 2017.
11  Munir Fuadi, Op. Cit. h. 13-14.
12  Ferryal Basbeth, Penulisan “Proximate Cause dan “but for test sebagai Sebab Kematian Dalam Sertifikat Kematian,

Ferbruari 2012, Volume 2 Nomor 1, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, h. 13. Diakses melalui: https://ojs.
unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3250 tanggal 26 Agustus 2017.
234 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perkara Lingkungan Hidup

Industri merupakan bagian penting dalam menopang ekonomi, namun seiring berjalannya
waktu, kegiatan industri mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Indonesia memahami
urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan
dan tanpa membahayakan segi lingkungan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah
diterbitkan untuk menghadapi berbagai mana ancaman kerusakan lingkungan. Pasal 87 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH)13 mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha
yang melakukan “perbuatan melawan hukum” berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup bertunggung jawab untuk membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan
tertentu.

UU PPLH mengatakan bahwa perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup


merupakan bentuk “perbuatan melawan hukum”, sehingga selalu ditemukan Pasal 1365 KUH
Perdata dalam putusan pengadilan yang mengadili perkara lingkungan hidup. Perbedaan
mencolok dengan perkara perbuatan melawan hukum salah satunya adalah dalam menilai
bentuk dan jenis kerugian yang menjadi tangung jawab pihak yang bersalah (tergugat). Dalam
UU PPLH pelaku pencemaran dan atau perusakan dapat dihukum untuk membayar ganti
rugi dan atau tindakan tertentu yang bertujuan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan
hidup.

Salah satu unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
memiliki penerapan berbeda dalam perkara lingkungan adalah terkait dengan unsur kesalahan.
Pertanggung jawaban terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan
dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep tanggung jawab mutlak menurut
Lummert diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya
kerusakan. Salah satu ciri utamanya yaitu tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya
kesalahan.14 Menurut James E. Krier hal ini merupakan bantuan yang sangat besar dalam
peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan yang menimbulkan
kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana
diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan.15 Asas “tanggung jawab mutlak” atau strict
liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang

13  Pasal 87 ayat (1) UU PPLH: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain
atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
14  Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah mada University Press, Yogyakarta, h. 387.
15  Ibid.
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 235

perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai
batas tertentu.

Pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya. Dengan asas kehati-hatian bahwa ketidakpastian mengenai
dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau
menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Penyelesaian perkara lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, diajukan melalui
gugatan perdata biasa oleh pihak yang merasa dirugikan, baik orang perorangan, kelompok
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat ataupun pemerintah/pemerintah daerah. Salah satu
hal penting yang seringkali menjadi permasalahan adalah teknik atau metode penghitungan
kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Untuk
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan diperlukan
bukti-bukti telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Data atau bukti
ini harus merupakan hasil penelitian, pengamatan lapangan, atau data lain berupa pendapat
para ahli yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa hal yang perlu dianalisis
antara lain menyangkut:

a. apakah benar telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;


b. siapa yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
c. siapa yang mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
d. bagaimana status kepemilikan lahan yang tercemar atau rusak;
e. apa jenis kerugian (langsung atau tidak langgsung);
f. berapa besaran kerugian;
g. berapa lama terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
h. apa saja jenis media lingkungan hidup yang terkena dampak (air, tanah, udara);
i. nilai ekosistem baik yang dapat maupun yang tidak dapat dinilai secara ekonomi, dan
lain-lain.16

16  Lapiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup R.I. Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup

Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup.


236 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

Penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan


lingkungan hidup merupakan pemberian nilai moneter terhadap dampak pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi lingkungan hidup
sekaligus merupakan nilai ekonomi kerugian lingkungan hidup yang harus dibayarkan kepada
pihak yang dirugikan oleh pihak yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tidak terjadi dengan tiba-tiba,


melainkan melalui suatu proses dan memerlukan waktu sejak zat-zat pencemar keluar dari
proses produksi, dibuang ke media lingkungan hidup, kemudian mengalami perubahan
(menjadi lebih berbahaya) di dalam media lingkungan hidup (udara,air dan tanah), dan terakhir
terpapar ke dalam lingkungan hidup dan menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.

UU PPLH menentukan environmental responsibility mencakup masalah ganti rugi


kepada orang perorangan (private compensation) maupu biaya pemulihan lingkungan. Dengan
demikian, environmental liability bisa bersifat privat dan sekaligus bersifat publik, maka
apabila pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup telah memenuhi tanggung jawab
kepada perseorangan yang menjadi korban pencemaran atau perusakan lingkungan hidup,
namun tenggung jawab belum dinyatakan selesai karena bisa saja pelaku dihadapkan pada
tanggung jawab yang berhubungan dengan urusan publik berupa kewajiban pemulihan atas
lingkungan hidup sebagai aset publik.17

Salah satu contoh gugatan perbuatan melawan hukum dibidang lingkungan hidup
adalah perkara perusakan hutan yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara
Nomor: 460 K/PDT/2016. Mahkamah Agung di tingkat Kasasi telah membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru, dengan mengabulkan
gugatan Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) untuk menghukum tergugat membayar ganti
rugi lingkungan hidup sejumlah Rp16.244.574.805.000,00 (enam belas triliun dua ratus
empat puluh empat miliar lima ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus lima ribu rupiah).18
Mahkamah Agung menimbang bahwa perkara perdata lingkungan hidup memiliki peraturan
yang bersifat lex specialis mengenai bentuk tanggung jawab pelaku pencemar atau perusak
lingkungan hidup tidak hanya bertanggung jawab secara privat tetapi juga tanggung jawab
secara publik. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan kerugian atas kerusakan

17 
N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, h. 308.
18 
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Dahulu Kementerian Lingkungan Hidup
Republik Indonesia melawan PT. Merbau Pelalawan Lestari, MARI Nomor: 460 K/PDT/2016. Diakses melalui https://
putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/c5780f23676523731679ecfebea5e3ca tanggal 25 Agustus 2017.
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 237

lingkungan hidup berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun


2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.19
Meskipun peraturan menteri tersebut dibuat oleh Penggugat (kementerian lingkungan hidup)
sendiri, tetapi karena Penggugat adalah lembaga kementerian yang berwenang membuat
kebijakan lingkungan hidup dan instrumen kebijakan lingkungan hidup dengan melibatkan
para ahli lingkungan hidup, maka menghitungan ganti kerugian peraturan menteri tersebut
menurut Mahkamah Agung dapat dibenarkan.

Nilai ganti rugi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung merupakan jumlah yang sangat
besar untuk sebuah perkara perdata. Namun mengingat kerugian yang ditumbulkan, maka
nlai tersebut merupakan nilai wajar untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak. Berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup,
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akan menimbulkan berbagai jenis kerugian
yang dapat digolongkan menjadi:20

a. Kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat tidak
dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau
pengelolaan limbah B3. Pencemaran atau rusaknya lingkungan dapat terjadi karena tidak
patuhnya usaha dan/atau kegiatan perorangan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan untuk mengolah limbah dan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Oleh
karena itu mereka dituntut untuk merealisasikan kewajibannya dengan membangun
IPAL, IPU dan instalasi lainnya dan mengoperasionalkan secara maksimal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan kewajiban tersebut akan menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup
dan masyarakat. Nilai kerugian dalam hal ini minimal sebesar biaya pembangunan dan
pengoperasian instalasi tersebut.
b. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan
pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup. Dalam banyak hal, sering terjadi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian
lingkungan hidup maupun kerugian masyarakat sebagai akibat kecelakaan, kelalaian,

19  Pada saat perkara tersebut diadili masih berlaku Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup ,saat ini telah dicabut oleh Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/
atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
20  Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian

Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, h 14-17


238 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

maupun kesengajaan. Kepastian terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan


hidup tersebut memerlukan peran aktif pemerintah untuk melakukan verifikasi pengaduan,
inventarisasi sengketa lingkungan hidup dan pengawasan pembayaran kerugian lingkungan
hidup dan/atau pelaksanaan tindakan tertentu. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan biaya
yang harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
c. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup.
1) Biaya Penanggulangan
Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, suatu tindakan
seketika perlu diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi agar pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini dapat
dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan, dan/atau oleh pemerintah. Hanya
pada pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tertentu yang diakibatkan
oleh kecelakaan dan memerlukan penanganan segera misalnya: pada kasus terjadi
tumpahan minyak dari kapal dan kebakaran hutan. Apabila pemerintah yang
melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dan telah mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, jumlah seluruh biaya
tersebut harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menyeb abkan
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
2) Biaya Pemulihan
Lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak harus dipulihkan dan sedapat
mungkin kembali seperti keadaan semula, sebelum terjadi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan lingkungan hidup ini berlaku
bagi lingkungan hidup publik yang menjadi hak dan wewenang pemerintah serta
lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan maupun
kelompok orang, namun tidak semua lingkungan hidup dapat dikembalikan pada
kondisi seperti sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
walaupun demikian pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau
perorangan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
wajib melakukan pemulihan kondisi lingkungan hidup. Dengan pemulihan kondisi
lingkungan hidup diharapkan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang ada sebelum
terjadi kerusakan dapat kembali seperti semula. Tetapi perlu disadari bahwa terdapat
berbagai macam ekosistem, dan setiap ekosistem memiliki manfaat dan fungsi yang
berbeda-beda, sehingga usaha pemulihanpun menuntut teknologi yang berbeda-beda
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 239

pula. Usaha pemulihan kondisi dan fungsi lingkungan hidup menuntut adanya biaya
pemulihan lingkungan hidup.
Apabila pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau perorangan
yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merasa tidak
mampu melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan hidup, sehingga wajib
untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada pemerintah dengan
ketentuan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas
pemulihan kondisi lingkungan hidup menjadi seperti keadaan semula sebelum terjadi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
3) Kerugian ekosistem.
Pada saat lingkungan hidup menjadi tercemar dan/atau rusak, akan muncul berbagai
dampak sebagai akibat dari tercemarnya dan/atau rusaknya ekosistem. Tercemarnya
dan/atau rusaknya lingkungan hidup ini meliputi lingkungan publik (pemerintah).
Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tersebut harus
dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian lingkungan hidup secara
lengkap. Sebagai contoh jika terjadi kebocoran minyak dari kapal tanker, ekosistem
laut menjadi tercemar. Dampak selanjutnya dapat terjadi kerusakan terumbu karang,
kerusakan hutan mangrove atau kerusakan padang lamun, sehingga produktivitas
semua jenis ekosistem tersebut dalam menghasilkan ikan berkurang.
Kemampuan hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak juga
berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan ikan menurun,
serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Demikian pula apabila hutan
alam rusak atau ditebang akan timbul berbagai dampak lingkungan hidup dalam
bentuk hilangnya kapasitas hutan dalam menampung air dan memberikan tata
air, hilangnya kemampuan menahan erosi dan banjir, hilangnya kapasitas hutan
dalam mencegah sedimentasi, hilangnya kapasitas hutan dalam menyerap karbon,
hilangnya habitat untuk keanekaragaman hayati, dan bahkan hutan yang ditebang
dengan teknik bakar dapat menambah emisi gas rumah kaca (CO2). Terkait dengan
kerugian lingkungan hidup masyarakat secara perorangan atau kelompok dapat
menuntut dipulihkanya kualitas lingkungan hidup. Contohnya adalah tercemarnya
lingkungan tambak di mana masyarakat perorangan beraktivitas membudidayakan
pertambakan bandeng harus dipulihkan keberadaanya. Dengan adanya pencemaran
lingkungan tidak hanya berdampak negatif pada usaha budi daya bandeng, tetapi
ekosistem atau lingkungan tambak termasuk kualitas tanah dan kualitas perairan
turut tercemar.
240 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

Kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di atas harus dihitung nilainya sesuai
dengan derajat kerusakannya serta lamanya semua kerusakan itu berlangsung.
Kemudian nilai kerusakan ini ditambahkan pada biaya kewajiban. Biaya verifikasi
pendugaan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, biaya penanggulangan
dan/atau pemulihan lingkungan dan ditambah lagi dengan nilai kerugian masyarakat
yang timbul akibat rusaknya sebuah ekosistem.
4) Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat sebagai individu atau
perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup seperti diuraikan di atas akan menimbulkan
dampak berupa kerugian masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap
ikan, rusaknya perkebunan dan pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya
penghasilan masyarakat, dan sebagainya. Akibat kerusakan peralatan tangkap
ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau seluruh sumber penghasilan
masyarakat di bidang perikanan terganggu sebagian atau seluruhnya. Demikian pula
bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak sehingga benar-benar
merugikan petani dan peternak, semua kerugian tersebut harus dihitung dan layak
untuk dimintakan ganti ruginya.

Dalam menghitung kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai
akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi
dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, metode penghitungan berdasar
akumulasi nilai unit pencemaran dengan memperhatikan keanekaragaman industri dengan
jenis dan jumlah parameter limbah yang berbeda-beda, pendekatan penghitungan kerugian
lingkungan hidup didasarkan pada akumulasi nilai unit pencemaran setiap parameter.

Nilai unit pencemaran setiap parameter limbah dan basis biaya per unit pencemaran
ditetapkan berdasarkan besaran dampak pencemaran pada lingkungan hidup dan kesehatan.
Metode penghitungan kerugian lingkungan hidup ini menggunakan biaya operasional per
m3 limbah yang diolah dengan baik dan memenuhi baku mutu pada suatu industri sebagai
pembanding bagi industri lain yang sejenis.

Penggugat dalam menghitung kerusakan lingkungan hidup memerlukan bukti yang


diajukan di persidangan. Salah satu bukti yang digunakan adalah keterangan ahli yang
menganalisa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dokumen laporan hasil analisa
yang dibuat ahli dan keterangan ahli lah yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan, karena dokumen laporan analisa ahli dan keterangan ahli merupakan
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 241

alat bukti dalam Hukum Acara Perdata. Tugas yang dilakukan oleh ahli pasti memerukan
biaya, sehingga Kerugian untuk pengganti biaya verifikasi sengketa lingkungan, analisa
laboratorium, ahli dan biaya pengawasan pembayaran kerugian lingkungan hidup merupakan
biaya yang dapat dibebankan kepada pelaku perusak dan/pencemar lingkungan hidup. Hal ini
berbeda dengan perkara perdata biasa, biaya untuk memperjuangkan hak (jasa advokat, biaya
menghadirkan saksi, dan ahli) tidak dapat dibebankan kepada pihak lawannya.

Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan


lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup, meliputi Biaya penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Biaya penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghentikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang sedang berjalan. Setelah menghentikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dilakukan tindakan pemulihan lingkungan
hidup. Biaya pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran lingkungan hidup adalah biaya
yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup kembali seperti sebelum
terjadinya pencemaran.

Variabel terahir yang menjadi tanggung jawab pelaku pencemar dan/atau perusak
lingkungan hidup adalah biaya kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup. Kerugian masyarakat akibat terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan dapat berupa rusaknya properti aset milik masyarakat atau bahkan hilangnya
penghasilan masyarakat yang menggantungkan pekerjaannya pada lingkungkungan hidup
tersebut. sebagai contoh, pencemaran laut membuat para nelayan tidak dapat mencari ikan
atau harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan, sehingga hilang potensi pendapatan nelayan
atau para nelayan memerlukan dana operasional yang lebih besar dari kondisi sebelum terjadi
pencemaran.

PENUTUP

Penyelesaian Sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pengadilan dengan cara
mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 87 UU PPLH dan Pasal 1365 KUH Perdata tentang
perbuatan melawan hukum, namun dalam memperhitungkan kerugian atas pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup, diperhitungkan seluruh aspek privat maupun aspek publik
untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup sebagai aset milik masyarakat.
242 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

DAFTAR BACAAN

Buku
Asshiddiqie, Jimly, dan Safa’at, Ali, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Fuadi, Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan ke-2, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah mada University Press,
Yogyakarta.

Komariah, 2001, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang.

Saefullah Wiradipraja, Endang, 1996,Tanggungjawab Pengangkut dalam Hukum Udara, Balai


Pustaka, Jakarta.

______, 2008, Hukum Transportasi Udara: dari Warsawa 1929 ke Monteral 1999, Kiblat
Utama, Bandung.

Siahaan, NHT, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga,
Jakarta.

Jurnal
Basbeth, Ferry, “Proximate Cause” dan “but for test” sebagai Sebab Kematian Dalam Sertifikat
Kematian, Ferbruari 2012, Volume 2 Nomor 1, Indonesian Journal of Legal and Forensic
Sciences. Diakses melalui: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3250 tanggal
26 Agustus 2017.

Hardjaloka, Loura, “Ketetapan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius
Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi, Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004”
Agustus 2012, Volume 5, No. 2, Jurnal Yudisial.

Sudiro, Ahmad, “Konsep Keadilan John Rawls”, Juli 2012, Volume 19, No. 3 Jurnal Legislasi
Indonesia.

Putriyana, Nia, dan Dwi Puspita, Shinta, “Tanggungjawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan
Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Desember 2014, Volume 7, Nomor 3,
Jurnal Arena Hukum. Diakses melalui: http://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/
view/173/172 tanggal 27 Agustus 2017.
Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 243

Putusan Pengadilan:
Hanis Tirtadjaja melawan Meilisa Nurmawan, Hj. Ratu Dhenok Herawaty, MARI-Pengadilan
Negeri Jakarta Utara Nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. Diakses melalui: http://putusan.
mahkamahagung.go.id/putusan/8e6015f5ccd7063880abbfff58df6baa tanggal 25 Agustus
2017.

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Dahulu Kementerian


Lingkungan Hidup Republik Indonesia) melawan PT. Merbau Pelalawan Lestari, MARI
Nomor: 460 K/PDT/2016. Diakses melalui: https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/
c5780f23676523731679ecfebea5e3ca tanggal 25 Agustus 2017.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan


Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI
MEKANISME ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK
(CLASS ACTION)

I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra,


Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan*

ABSTRAK

Pengaturan class action ke dalam hukum materiil teinspirasi dari pengaturan class action di Amerika
pada Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure yang telah menentukan persyaratan antara lain
numerasity, commonality, typicality dan adequation of representation. Ketentuan hukum materiil di
Indonesia belum dilengkapi dengan hukum acara tentang class action. Perkembangan berikutnya
untuk lancarnya proses peradilan dan mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung mengeluarkan
PERMA No. 1 Tahun 2002 Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dengan digantinya UU No.
23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009, penerapan gugatan class action berpedoman pada
PERMA tersebut. Pengaturan class action dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dalam penerapannya
masih banyak kekosongan hukum. Proses awal/sertifikasi sangat menentukan sekali apakah gugatan
tersebut dapat diterima/masuk sebagai gugatan class action karenanya peran hakim aktif termasuk
advocat/kuasa sangat memegang peranan sehingga sambil menunggu UU, hakim berkewajiban
menambal sulam PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karena PERMA No. 1 Tahun 2002 Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (class action) pengaturannya sangat sumir, hakim dalam memeriksa gugatan
perwakilan kelompok, khusus dalam proses awal/atau sertifikasi perlu melakukan studi komparasi
ke negara-negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon yang sudah lama menerapkan class
action tersebut. Segala konsekwensi terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam gugatan
perwakilan kelompok (class action). Adanya beberapa lingkungan badan peradilan dalam kekuasaan
kehakiman sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman adanya kopetensi
yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan (pengadilan negeri) sudah tentu hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan harus bijak terhadap hal tersebut.

Kata kunci: class action, pengaturan, sengketa lingkungan hidup

LATAR BELAKANG

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di bidang keperdataan dapat ditempuh melalui


pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Dalam Undang-undang No. 32

*  Penulis adalah dosen Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Universitas Udayana, Denpasar,
dapat dihubungi melalui email: ketut.tjukup@fh.unud.ac.id

245
246 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut
UUPPLH) penyelesaian sengketa lingkungan hidup dibidang keperdataan melalui mekanisme
gugatan perwakilan kelompok (class action) diatur dalam Pasal 91 UUPPLH.

Ketentuan class action dalam UUPPLH tersebut belum dilengkapi prosedur beracara
secara class action, sehingga penerapan class action dalam praktek peradilan perdata
berpedoman pada PERMA No. 1 Tahun 2002 (Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Disamping itu berpedoman juga pada Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR/RBg
dan peraturan perundang-undangan yang lainnya termasuk putusan-putusan hakim tentang
class action.

Awalnya dalam praktek peradilan perdata di peradilan umum (Pengadilan Negeri)


semua gugatan perwakilan (class action) yang diajukan ke pengadilan selalu tidak diterima
(dinyatakan N.O atau Niet on van verklaard) oleh karena bentuk hukum class action tidak
diatur dalam HIR, RBg yang merupakan sumber hukum Acara Perdata di Indonesia atau class
action tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Continental (Civil Law System). Di Indonesia
pada saat penerapannya istilah class action belum dikenal, pengacara RO Tambunan melalui
kasus gugatan ”Bentoel Remaja” Muktar Pakpaham melalui kasus ”Demam Berdarah” telah
mengedepankan konsep prosedural ini.1 Gugatan ini selalu tidak diterima karena class action
lebih dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) dan tidak dikenal dalam
sistem hukum Eropa Continental (Civil Law System), termasuk sistem hukum Indonesia.

Persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, timbulnya kerugian


semakin banyak terjadi diantaranya pencemaran, kerusakan dibidang lingkungan hidup.
Masyarakat mengalami kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengajukan
tuntutan ganti-rugi ke pengadilan. Menurut Susanti Adi Nugroho, pelanggaran hukum tidak
menimpa seseorang tapi juga masyarakat luas.2

Lebih jauh Susanti Adi Nugroho mengatakan, pada dewasa ini dengan perkembangan
perekonomian yang mengarah pada perkembangan produksi barang dan jasa yang bersifat
massal, sangatlah berpotensi untuk menimbulkan kerugian yang bersifat massal.3 Pendapat
E. Sundari senada dengan Susanti Adi Nugroho, pelanggaran hukum tidak hanya menimpa
pada seseorang, akan tetapi dapat pula menimpa sekelompok orang dalam jumlah yang besar
atau masyarakat luas.4 Selanjutnya pelanggaran hak-hak buruh oleh majikan, pelanggaran

1 Mas Achmad Santosa, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, ICEl, Jakarta, h.76.
2 Susanti Adi Nugroho, 2010, Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.1.
3  Ibid.
4  E. Sundari, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di

Indonesia, Hak Publikasi dan Penerbitan Universitas Atma Jaya, Jogyakarta, h. 1.


Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 247

hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, pelanggaran hak-hak pemegang saham oleh pengurus
perusahaan, kecelakaan yang menimpa banyak orang karena kealfaan sehingga menimbulkan
kerugian pada para korban, pencemaran lingkungan oleh suatu perusahaan, menimbulkan
kerugian pada masyarakat luas adalah contoh-contoh pelanggaran hak yang menimpa orang
dalam jumlah yang besar atau masyarakat luas.5

Hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia sampai sekarang ialah HIR, STB 1848
No. 16, TB 1941 No. 44 untuk daerah Jawa dan Madura, RBg (reglement daerah seberang),
STB 1927 No. 227, dalam hukum acara ini setiap masyarakat yang dirugikan harus mengajukan
gugatan sendiri-sendiri ke Pengadilan dengan membuat surat kuasa khusus. Pasal 123 HIR,
147 RBg ayat (1) kedua belah pihak jika mereka menghendaki dapat meminta bantuan atau
perwakilan pada seorang kuasa yang untuk maksud itu harus dilakukan dengan membuat
surat kuasa khusus, kecuali badan yang memberi kuasa itu sendiri hadir.

Apabila disimak ketentuan HIR, RBg. tersebut kuasa/wakilnya yang akan meneruskan
gugatannya sampai proses persidangan, pembuktian dan terakhir putusan hakim. Gugatan-
gugatan tersebut tidak praktis, ekonomis tentu menimbulkan kesulitan-kesulitan terhadap
korban jumlah besar dapat merepotkan hakim terhadap substansi gugatan yang sama, prosedur
berbelit-belit, sangat bertentangan dengan asas Tri Logi Peradilan (yaitu: peradilan sederhana,
peradilan cepat dan biaya ringan/atau biaya murah).

Disamping itu sangat memberatkan masyarakat miskin, konsekwensi lainnya pemeriksaan


dari substansi gugatan yang sama putusannya akan saling bertentangan dan akan mengalami
kesulitan dalam eksekusinya. Fakta-fakta yang penulis uraikan tersebut sangat diperlukan
upaya hukum yang baru dalam sistem peradilan perdata di Indonesia dalam hal ini class
action yang sudah lama dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon
(Common Law System).

Dengan demikian permasalahan-permasalahan hukum yang terkait dengan perkembangan


dan tuntutan masyarakat tersebut perlu ada pembaharuan atau reformasi terhadap perangkat
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Supremasi penegakan hukum di Indonesia
menjadi sorotan masyarakat luas. Menurut pendapat Mas Achmad Santosa dalam kontek
gugatan peradilan yang melibatkan jumlah Penggugat yang sifatnya massal, maka class action
sangat relevan diterapkan di Indonesia.6

5  Ibid.
6  Mas Achmad Santosa, Op. Cit., h. 13.
248 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Lebih jauh pendapat Mas Achmad Santosa terdapat tiga (3) manfaat keberadaan class
action.7 Pertama, proses berperkara yang bersifat ekonomis (judicial economy) dengan
gugatan class action berarti mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa
secara individual. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan apabila harus melayani gugatan-gugatan
sejenis secara individual (satu persatu). Manfaat ekonomis juga ada pada diri Tergugat, sebab
dengan class action Tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan
masyarakat korban. Kedua, akses pada keadilan (acces to justice). Apabila gugatan diajukan
secara individual maka hal tersebut akan mengakibatkan beban bagi calon Penggugat seringkali
beban semacam itu merupakan hambatan bagi seseorang untuk memperjuangkan haknya di
pengadilan. Terlebih lagi apabila biaya gugatan yang kelak akan dikeluarkan tidak seimbang
dengan tuntutan yang akan diajukan. Melalui prosedur class action kendala yang bersifat
ekonomis ini dapat teratasi dengan cara korban menggabungkan diri bersama dengan class
members lainnya dalam satu (1) gugatan.

Ketiga, perubahan sikap perilaku pelanggaran (behaviour modification) dengan


diterapkannya prosedur class action berarti memberikan akses yang lebih luas pada pencari
keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost effeciency. Akses class action ini
berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan
masyarakat luas. Peluang yang semacam ini yang kita sebut peluang menumbuhkan detterent
effect (efek penjera).

Sebelum dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 (Acara Gugatan Perwakilan


Kelompok), Gugatan Perwakilan baru diatur dalam hukum materiil berturut-turut ialah:
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ketentuan
hukum materiil dalam ketiga Undang-Undang tersebut terdapat kekosongan hukum (recht
vacuum) karena belum dilengkapi hukum acaranya dan HIR, RBg yang merupakan sumber
hukum acara perdata tidak mengatur class action atau terdapat kekosongan hukum.

Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA


No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam ketentuan menimbang
huruf (c) bahwa telah ada dalam berbagai Undang-Undang yang telah mengatur dasar-dasar
gugatan perwakilan kelompok, dan gugatan yang menggunakan dasar gugatan perwakilan
kelompok seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur acara

7  Mas Achmad Santosa, Op. Cit., h. 13-14.


Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 249

memeriksa, mengadili, dan memutus gugatan yang diajukan. Seterusnya dalam huruf (f) sambil
menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah
Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-
undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa, mengadili dan
memutus gugatan perwakilan kelompok dipandang perlu menetapkan PERMA. Hal ini dapat
ditegaskan untuk mengatasi kekosongan hukum dalam beracara perdata secara class action
prosedur acaranya berlaku PERMA No. 1 Tahun 2002 Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Berdasarkan sejarah perkembangan pengaturan class action dalam sistem hukum Indonesia
dan penerapannya dalam praktek peradilan perdata dapat penulis rumuskan 2 masalah pokok
dalam makalah ini yaitu:

(1) Bagaimanakah pengaturan gugatan perwakilan kelompok (class action) dalam penegakan
hukum lingkungan keperdataan, dan
(2) Bagaimanakah proses sertifikasi dalam gugatan perwakilan kelompok (class action).

Jenis penelitian dalam penulisan dari makalah ini ialah penelitian hukum normatif
dengan meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini
mempergunakan jenis pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan
pendekatan kasus. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut dianalisis untuk
menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder tersebut dianalisis secara kualitatif dalam kerangka berpikir yang diarahkan untuk
mendapat jawaban atas permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dan hasilnya dituangkan
dalam bentuk makalah.

PEMBAHASAN

Pengaturan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) dalam Sistem Hukum


Indonesia

Konsep gugatan perwakilan (class action) dalam sistem hukum Anglo Saxon (Common
Law System) dalam hal ini di Amerika Serikat tahun 1966 setelah hukum Federal diubah dengan
penambahan Pasal 23 Tahun 1966 dengan menetapkan persyaratan C.A. sebagai berikut.

Numerosity: jumlah penggugat (class) harus sedemikian banyak sehingga melalui gugatan
biasa (joinder) menjadi tidak praktis.

Commonality: harus terdapat kesamaan ”Question of Law, question of fact diantara wakil
dan anggota kelas”.
250 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Typicality: tuntutan maupun pembelaan dari wakil kelas haruslah sejenis (typical) dengan
anggota kelas.

Class protection/adequacy of representation: wakil kelas harus secara jujur dan sungguh-
sungguh melindungi kepentingan dari anggota kelas.8

Pasal 23 Federal Rule secara umum mengatur/memberikan dasar hukum terhadap 3 hal:

(1) Class action dapat merupakan class action terhadap penggugat (plaintiff class actions)
maupun class action sebagai Tergugat (defendent class actions).
(2) Class action memberi otoritas mengajukan permohonan yang tidak terkait dengan ganti
kerugian uang (injuntive atau declaratory relief), dan
(3) Class action yang memberi dasar tuntutan ganti kerugian uang (”damage” class actions).9
Pasal 23 juga mengatur tentang mekanisme penentuan apakah sebuah gugatan dapat
dikatagorikan class action atau gugatan biasa melalui mekanisme ”judicial certification
atau preliminary certification test”.10

Class action yang diatur ini menjadi inspirasi perumusan class action di Indonesia, dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 UUPLH jo Pasal 91 UUPPLH No. 32 Tahun 2009. Isi
Pasal 37 UUPLH:

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan


ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan
perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan masyarakat,
maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) ditegaskan yang dimaksudkan hak mengajukan
gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak
mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan
fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.

8  Mas Achmad Santosa, Op. Cit., h. 82-83.


9  Mas Achmad Santosa, Op. Cit., h. 83.
10  Ibid.
Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 251

Apabila dirinci penjelasan Pasal 37 ayat (1) ini persyaratan gugatan perwakilan antara lain:

1. Class representative dalam jumlah kecil


2. Class members dalam jumlah besar
3. Kesamaan permasalahan
4. Fakta hukum
5. Tuntutan yang sejenis
6. Karena pencemaran, perusakan.

Pasal 37 UUPLH dikaitkan dengan Pasal 39 UUPLH ialah tata cara pengajuan gugatan
dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau OLH mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku. Hal ini dapat disimpulkan class action belum bisa diterapkan
karena HIR, RBg tidak mengenal class action.

Sedangkan dengan dicabutnya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan Undang-


Undang No. 32 Tahun 2009 UUPPLH prosedur hukum acara class action menunjuk PERMA
No. 1 Tahun 2002 (Acara Gugatan Perwakilan Kelompok). Dapat disimpulkan class action
secara yuridis formal hukum acaranya ialah PERMA No. 1 Tahun 2002. Dalam kaitannya
dengan PERMA tersebut timbul pertanyaan apakah class action sudah diatur secara
komprehensif.

Pendapat Siti Sundari Rangkuti gugatan kelompok merupakan bahan pemikiran bagi hukum
acara perdata mengenai lingkungan.11 Oleh karena gugatan perwakilan tidak dikenal dalam
sistim hukum acara perdata Indonesia pengakuan terhadap prosedur class action oleh UUPLH
membutuhkan penyesuaian yuridis pada hukum secara perdata yang berlaku dewasa ini.12

Sesuai dengan rumusan masalah satu (1) pembahasan lebih menekankan pada hukum
acara perdata yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 (acara gugatan perwakilan
kelompok). PERMA No. 1 Tahun 2002 terdiri VI bab dan 11 pasal. Ketentuan pasal 1 huruf b,
wakil kelompok adalah satu orang/lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan
dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak. Perumusan Pasal 1 huruf b
tersebut belum mencerminkan kepastian hukum khususnya wakil kelompok lebih, ini perlu
penegasan tergantung kelompok-kelompok yang diwakili.

Wakil kelompok (class representative) sebaiknya dirumuskan sedikit bukan lebih,


kawatir apabila lebih sulit mengontrol kejujuran dari wakil kelompok tersebut. Hal ini dapat

11  Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University
Press, Surabaya, h. 318.
12  Suparto Wijoyo, 1991, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Evironmentaf Disputes, Airlangga

University Press, Surabaya, h. 46.


252 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

dimengerti, wakil kelompok sama-sama sebagai korban dengan class members (kelas banyak).
Dalam kontek ini hakim harus aktif dan memegang peranan sangat penting dalam mengawasi
kejujuran, kesungguhan dari wakil kelompok tersebut. Demikian juga seorang pengacara/
advocad sebagai kuasa dari wakil kelompok (wakil kelas representative) sekaligus wakil class
members mempunyai kewajiban mengawasi supaya aturan-aturan class action betul-betul
ditaati. Dalam Pasal 2 huruf d ditegaskan, Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok
untuk melakukan penggantian pengacara jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok.

Menurut Susanti Adi Nugroho13 dalam perkembangannya terdapat kekosongan hukum


dari PERMA tersebut kekosongan hukum dari PERMA tersebut. Diantaranya, adanya beberapa
perwakilan kelompok yang ditujukan pada tergugat yang sama diajukan di beberapa Pengadilan
yang berbeda apakah dimungkinkan di gabung menjadi satu perkara saja agar pihak Tergugat
tidak melayani perkara yang sama yang diajukan oleh wakil kelas yang berbeda di Pengadilan
yang berbeda. Hal-hal yang lain seperti eksekusi yang dijelaskan oleh Susanti Adi Nugroho
pada hal 32 Pengadilan Negeri mana yang membagikan ganti-rugi yang dikabulkan oleh
karena anggota kelompok tersebar di wilayah Pengadilan berbeda.

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang demikian mengkritisi pendapat Siti Sundari Rangkuti
dan Suparto Wijoyo PERMA No. 1 Tahun 2002 tersebut harus melakukan penyesuaian
yuridis dengan hukum acara perdata dalam HIR dan RBg. Sehingga menurut penulis perlu
harmonisasi diantara kedua hukum acara tersebut untuk mencegah tumpang tindih di dalam
penerapannya.

Menurut Yahya Harahap, gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan untuk dan atas
nama: penghuni penjara, penghuni rumah sakit, penghuni panti asuhan dsb.nya. Ini perlu
kepastian ialah penghuni yang syah.14

Proses Sertifikasi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Menurut Indro Sugianto proses sertifikasi pada Pengadilan Federal (federal court) Amerika
Serikat, proses sertifikasi merupakan proses awal yang harus dilakukan untuk menentukan
apakah suatu gugatan dapat dilangsungkan melalui prosedur class action. Proses sertifikasi
ini dilakukan melalui mekanisme preliminary certification test yang dilakukan pada tahapan
awal persidangan.15 Lebih jauh menurut Indro Sugianto tujuan dari pemberlakuan sertifikasi

13 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 31.


14 M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 150.
15  Indro Sugianto, 2013, Class Action Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok untuk Membuka Akses Keadilan Bagi

Rakyat, Setara Press, Malang, h. 49.


Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 253

ini adalah (1) menjamin persyaratan class action (Numerasity, Commonality, Typicality dan
Adequacy of Representation telah terpenuhi dan, (2) menjamin agar kepentingan dari anggota
kelas potensial secara memadai terlindungi.16

Dalam hukum acara perdata HIR, RBg. dikenal 3 (tiga) tahap antara lain, proses
pendahuluan, penentuan dan eksekusi. Menurut PERMA No. 1 Tahun 2002 dirubah aspek
prosedural HIR, RBg tersebut dikenalkan proses sertifikasi, notifikasi dan pernyataan keluar
(apt. out). Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002.

(1) Pada wal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan
kriteria gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (syarat-syarat
formal dari surat gugatan).
(2) Hakim dapat memberi nasehat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan
perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Syahnya gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan
dalam suatu penetapan pengadilan.
(4) Apabila hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok
dinyatakan syah, maka segera setelah itu hakim memerintahkan penggugat mengajukan
usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
(5) Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok
dinyatakan tidak syah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan putusan hakim.

Pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2002, Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara yang dimaksud melalui perdamaian baik pada awal persidangan
maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Mengkritisi Pasal 5 dan 6 PERMA
tersebut, disamping asas pasif, asas aktif harus juga dikedepankan dalam proses sertifikasi
ini. Hal ini menurut penulis dapat dimaklumi oleh karena pihak korban (class members)
dalam jumlah yang sangat banyak umumnya status sosial dari masyarakat korban ialah lemah
dibidang pendidikan dan lemah harta (miskin).

Menurut penulis soerang Advocat sebagai kuasa dari wakil kelompok (class representative)
juga harus aktif dengan lebih sering berkoordinasi dengan hakim. Pemahaman hal yang paling
penting ialah syarat-syarat gugatan perwakilan kelompok (class action) harus terpenuhi.
Hakim, advocat sebagai kuasa dari wakil kelompok (class representative) untuk selalu saling
koordinasi untuk mencegah kesalahan-kesalahan. Dengan asas Hakim aktif ini bertujuan
untuk mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan murah.

16  Ibid, h. 50.


254 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Hal tersebut adalah sejalan dengan Pasal 119 HIR yaitu: Ketua Pengadilan Negeri
berwenang memberikan nasehat atau pertolongan pada penggugat atau tergugat atau kuasanya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan formal pengajuan gugatan. Hal-hal tersebut
ditegaskan oleh Koesnadi Hardjasoemantri class action atau gugatan perwakilan merupakan
suatu cara untuk memberikan suatu akses kepada masyarakat kepada keadilan karena sifatnya
sejalan dengan prinsip-prinsip peradilan cepat, praktis dan murah.17 Menurut penulis kerugian
yang dialami oleh masyarakat luas akibat pencemaran lingkungan hidup merugikan generasi
yang akan datang sebagai pewaris, sudah merupakan suatu kewajiban bagi hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan, disinilah nampak asas hakim aktif. Menurut N.H.T Siahaan
bagi pengadilan beban kerja dapat dikurangi karena bila diajukan secara individual akan
terjadi penumpukan perkara.18

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 memang tidak daitur bagaimana ukuran jumlah anggota
kelompok yang sedemikian banyak. Jika anggota kelompok yang sedemikian banyak tersebut
dapat diidentifikasi, maka demi kepastian hukum dan efesiensi dalam pengadministrasian
terkait gugatan perwakilan kelompok ini perlu diatur mengenai penentuan anggota kelompok
secara spesifik termasuk didalamnya identitas dan jumlahnya. Sehingga dengan adanya aturan
untuk melakukan pendataan anggota kelompok yang dapat diidentifikasi pada proses awal
pemeriksaan atau sertifikasi dapat dilakukan dengan lebih jelas dan teratur. Suatu contoh
penulis sampaikan misalnya kelompok nelayan yang dirugikan bisa dihitung akan lebih mudah
nanti apabila gugatan perwakilan kelompok dikabulkan dalam mendistribusikan ganti kerugian
dan sangat diperlukan aturan-aturan hukum untuk menjamin kepastian hukum.

Kembali ke proses sertifikasi, proses awal persidangan dalam Pasal 5 ayat (1) PERMA
No. 1 Tahun 2002 dikenal dengan istilah sertifikasi atau preliminary certificate test atau
preliminary hearing atau proses pemeriksaan awal. Menurut Syahrul Machmud hal tersebut
berisi tentang pemeriksaan dan pembuktian syah tidaknya persyaratan class action atau
gugatan perwakilan kelompok diajukan.19 Dalam hal ini yang diperiksa dan dipertimbangkan
sebagai berikut:

a. Wakil kelompok yang memenuhi syarat


b. Anggota kelompok yang memenuhi syarat
c. Terdapat persamaan fakta dan dasar hukum
d. Terdapat kesamaan jenis tuntutan.20

17 Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, h. 429.
18 N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta, h. 334.
19  Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum

Perdata dan Hukum Pidana, Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 200.
20  Ibid.
Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 255

Dalam pemeriksaan tersebut menurut Syahrul Machmud diberi kesempatan kepada


seluruh anggota kelompok melalui pemberitahuan dengan cara yang reasonable apabila ada
anggota kelompok yang akan melakukan opt. out atau keluar menjadi kelompok.21

Mencermati pendapat Syahrul Machmud pada proses awal sudah ada pemeriksaan dan
sudah ada proses pembuktian, pendapat beliau dengan maksud apakah persyaratan-persyaratan
gugatan perwakilan kelompok sudah terpenuhi. Demikian juga menurut pendapat beliau
diberi kesempatan pada anggota kelompok melalui pemberitahuan apabila ada yang keluar.
Menurut penulis proses awal/sertifikasi ini sangat menentukan sekali apabila terjadi kesalahan
penggunaan acara gugatan perwakilan kelompok akan tidak diterima.

Pendapat Hari Purwadi ketentuan Pasal 5 dan Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 tersebut
menunjukkan bahwa sertifikasi harus memenuhi 3 syarat: numerasity, commonality dan
adequacy of representation. Syarat numerasity dalam Pasal 2 huruf a, syarat commonality
dalam Pasal 2 huruf b, syarat adequacy of representation dalam Pasal 2 huruf c.22 Pendapat
Hari Purwadi dapat dikatakan ketiga persyaratan tersebut sangat menentukan sekali untuk
dapat masuk ke gugatan class action.

Sebagai suatu perbandingan proses sertifikasi atau pemberian izin. Menurut E. Sundari
berdasarkan permohonan izin untuk menjadi wakil kelompok dan permohonan untuk
mengajukan gugatan secara class action, pengadilan akan memeriksa apakah wakil tersebut
dapat diijinkan untuk menjadi wakil kelompok.23 Selanjutnya apakah syarat-syarat untuk
mengajukan gugatan secara class action dipenuhi dan apakah class action merupakan prosedur
yang tepat untuk menyelesaikan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut.24

Ketentuan Rule 23 Federal Rule Civil Procedur di Amerika Serikat gugatan akan diajukan
secara class action apakah dipenuhi hal-hal sebagai berikut.
1. Memenuhi syarat class action, yakni (1) perkiraan jumlah angota kelompok sedemikian
besar sebagai pengajuan gugatan secara joinder menjadi tidak praktis lagi, (2) ada
permasalahan hukum dan fakta yang sama pada seluruh anggota kelompok, (3)
tuntutannya sama untuk seluruh anggota kelompok, (4) wakil dianggap jujur dan benar-
benar mewakili kepentingan kelompok.
2. Gugatan secara individual akan menimbulkan (1) resiko putusan yang inkosistem dan
berbeda, (2) kalangan bagi masing-masing anggota kelompok menuntut kepentingan
masing-masing.

21  Ibid.
22  Hari Purwadi, 2007, Gugatan Kelompok (Class Action) di Indonesia Transplantasi dari Tradisi Common Law ke
Supra Sistem Budaya Masyarakat Indonesia, Kita Press, Surabaya, h. 212.
23  E. Sundari, Op. Cit., h. 73.
24  Ibid.
256 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

3. Tergugat telah menolak untuk melakukan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang
mestinya dilakukan bagi para anggota kelompok secara keseluruhan, dan
4. Dalam hal diajukan tuntutan ganti-kerugian, kesamaan permasalahan hukum dan fakta
para seluruh anggota kelas harus lebih menonjol dibanding permasalahan individual
masing-masing anggota.25

Mencermati uraian Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure tersebut, betul-betul sangat


terperinci, karena apakah harus diajukan secara class action/atau tidak. Uraian dari No. 1
s/d No. 6 di atas masing-masing membawa konsekwensi, apakah secara sistem sudah tepat
diajukan class action/atau tidak.

Hakim melakukan penelitian baik terhadap syarat-syarat class action ataupun konsekwensi-
konsekwensi yang kemungkinan dapat gugatan diajukan secara class action/tidak. Seperti
penulis uraikan sebelumnya dalam perkara perdata ialah asas pasif, tapi dalam gugatan class
action asas aktif/asas hakim aktif sangat memegang peranan dalam proses sertifikasi sebagai
proses awal, mungkin nanti setelah bisa masuk secara class action substansi gugatan dalam
posita/atau pundamentum petendi adalah urusan pihak-pihak.

British Columbia mempunyai ketentuan yang serupa dengan ketentuan ontario mengenai
syarat diijinkannya gugatan class action, dan class action dianggap sebagai prosedur yang
paling cocok. Menurut ketentuan C. 50. 2.4 (2) BCCPA, kriteria tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Apakah kesamaan permasalahan hukum dan fakta dari para anggota lebih menonjol jika
dibandingkan dengan permasalahan individual lainnya.
2. Apakah jumlah anggota kelompok yang mempunyai kepentingan untuk melaksanakan
gugatan secara individual sangat signifikan.
3. Apakah gugatan class action akan meliputi juga tuntutan-tuntutan yang mungkin sudah
diajukan dalam gugatan-gugatan dengan prosedur lainnya.
4. Apakah cara lain untuk menyelesaikan permasalahan kurang praktis dan kurang
efesien.
5. Apakah administrasi peradilan untuk gugatan class action menjadi lebih rumit
dibandingkan dengan pengalaman seandainya gugatan diajukan dengan cara lain.26

Apabila dibandingkan ketentuan sertifikasi dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang
acara gugatan perwakilan kelompok oleh karena sumirnya pengaturan sertifikasi, menurut
hemat penulis sertifikasi di Amerika Serikat, dan Britis Columbia perlu dipakai perbandingan/

25  Ibid.
26  E. Sundari, Op. Cit., h. 74.
Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 257

atau sumber masukan dalam penerapan sertifikasi dalam praktek class action dan sudah
tentu sumber pemikiran bagi terbentuknya hukum acara class action yang nasional. Penulis
mencermati dan mengakui bahwa pengaturan sertifikasi di Amerika, Columbia sangat
koprehensif dan segala-segala kemungkinan sudah daitur dalam Undang-Undangnya.

Dalam Hal ini awal pemeriksaan persidangan, hakim wajib mempertimbangkan kriteria
gugatan perwakilan kelompok. Menurut penulis kemajuan industri, pasar, teknologi tidak
menutup kemungkinan akan timbul pencemaran, perusakan lingkungan hidup yang dapat
merugikan masyarakat, tapi karena sertifikasi hilang hak menuntut ganti rugi.

Penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah sertifikasi dinyatakan syah,


hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan. Pasal 7 ayat (4)
pemberitahuan harus memuat:

a. Nomor gugatan, identitas penggugat dan para penggugat sebagai wakil kelompok, serta
pihak tergugat atau para tergugat.
b. Penjelasan singkat tentang kasus
c. Penjelasan tentang pendefinisian kelompok
d. Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok.
e. Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi
kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok
f. Penjelasan tentang waktu, yaitu bulan, tanggal, jam pemberitahuan pernyataan keluar
yang dapat diajukan ke pengadilan.
g. Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar
h. Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok yaitu tentang siapa dan tempat yang tersedia
bagi penyediaan informasi tambahan.
i. Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana diatur dalam
lampiran PERMA ini.
j. Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan

Sedangkan pernyataan keluar diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2). Ayat (1) Setelah
pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota
kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim diberi kesempatan menyatakan
keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur dalam
lampiran PERMA ini. Ayat (2) Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan
gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan gugatan perwakilan
kelompok dimaksud.
258 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Laporan pemberitahuan tentang pernyataan keluar dari anggota kelompok dalam


gugatan perwakilan harus efektif dapat dilaksanakan. Peran besar hakim untuk menegor
apakah wakil kelompok (class representation) dan kuasa/pengacaranya sudahlah efektif
tentang pemberitahuan pernyataan keluar tersebut. Menurut Indro Sugianto, pemberitahuan
(notice) kepada anggota kelas potensial (potentialy class members) adalah merupakan suatu
mekanisme yang diperlukan untuk memberi kesempatan bagi anggota kelompok kelas
potensial menentukan sikap dari mereka apakah menginginkan atas putusan kasus tersebut
(opt. in) atau sebaliknya justru tidak menginginkan terikat atas putusan kasus tersebut dengan
cara menyatakan keluar (opt. out).27

Dalam Rule 23 (c) (2) of the us Federal Rules of Civil Procedure, 1966. Ditentukan
bahwa setelah pengadilan memutuskan memberikan sertifikasi bahwa gugatan yang diajukan
penggugat dapat diterima sebagai class action sebagaimana dimaksud dalam rule 23 (b) (3)
maka pengadilan memerintahkan kepada perwakilan kelas untuk memberitahukan kepada
anggota kelas melalui suatu pemberitahuan terbaik sesuai dengan keadaan kasus tersebut
termasuk pemberitahuan individual kepada keseluruhan anggota-gugatan class action yang
memuat adanya tuntutan ganti kerugian (class, ”damage” actions) pengadilan ikut menentukan
bentuk dan isi pemberitahuan.28

Apabila penulis bandingkan dengan PERMA No. 1 Tahun 2002 bagaimana memberikan
pemberitahuan yang baik dan berjalan efektif bagi semua kelompok (class members) dengan
mengisi pernyataan keluar (opt. out) dapat menjamin kepastian hukum. Apabila putusan telah
inkract yang akan dieksekusi pemberian ganti rugi sesuai bukti-bukti yang dimiliki oleh
korban sehingga pemberian ganti rugi tersebut dapat terealisasi secara adil. Dalam gugatan
class action yang jumlahnya sedemikian banyak dalam gugatan class action tidak perlu
didata satu persatu cukup diumumkan saja. Menurut penulis apabila korban dalam sub-sub
kelompok kecil misal: kelompok nelayan, kelompok penambak ikan dapat dihitung kiranya
dalam gugatan perlu didata/dirinci sehingga memudahkan merealisasikan ganti rugi.

PENUTUP

Kesimpulan

Sejarah perkembangan pengaturan gugatan perwakilan kelompok (class action) dalam


sistem hukum lingkungan belum dilengkapi dengan prosedur beracara secara class action.

27  Indro Sugianto, Op. Cit., h. 51.


28  Indrosugianto, Op. Cit., h. 51.
Tjukup, dkk.: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 259

PERMA No. 1 Tahun 2002 yang merupakan hukum acara gugatan perwakilan kelompok
(class action) dalam penerapannya terdapat kekosongan hukum.

Dalam proses sertifikasi semua pihak yang terlibat harus aktif khususnya asas hakim aktif
sangat memegang peranan untuk mengontrol pihak-pihak sehingga acara class action bisa
masuk dalam proses persidangan. Proses pemberitahuan agar dapat berjalan baik dan efektif
dengan mengisi pemberitahuan tentang pernyataan keluar dari anggota kelompok gugatan
perwakilan dan dapat menjamin kepastian hukum.

Saran

Kedepan dalam praktek gugatan perwakilan agar segera dibentuk Undang-Undang untuk
melaksanakan prosedur class action. Sementara sebelum dibentuknya Undang-Undang hukum
acara perdata yang bersifat nasional dalam praktek berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002
adalah merupakan kewajiban hakim untuk menyempurnakannya.

DAFTAR BACAAN

Buku
Sundari, E, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia, Hak Publikasi dan Penerbitan Universitas Atma Jaya,
Jogyakarta.

Sugianto, Indro, 2013, Class Action Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok untuk Membuka
Akses Keadilan Bagi Rakyat, Setara Press, Malang.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,
Jogyakarta.

Harahap, Yahya, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Santosa, Mas Achmad, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, ICEl, Jakarta.

Siahaan, N.H.T., 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta.

Rangkuti, Siti Sundari, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya.

Machmud, Syahrul, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum


Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
260 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 245–260

Nugroho, Susanti Adi, 2010, Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.

Wijoyo, Suparto, 1991, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Evironmentaf


Disputes, Airlangga University Press, Surabaya.

Peraturan Perundang-Undangan
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglement yang diperbaharui STB 1848 No.
16, STB 1941 No. 44 untuk Daerah Jawa dan Madura.

Reglement Buitengewesten (RBg) Reglement Daerah Seberang untuk Luar Jawa dan Madura,
STB 1927 No. 227.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN 1997 No.
68, TLN 3699.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN 1999 No. 42 TLN
3821.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TLN 3888.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
LN 2009 No. 140 TLN 5059.

Peraturan Mahkamah Republik Indonesia (PERMA RI) No. 1 Tahun 2002.


J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
MENAKAR ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN
BIAYA RINGAN DALAM PENGAJUAN GUGATAN KUMULASI
(SAMENVOEGING VAN VORDERING) DI PENGADILAN AGAMA

Moh. Ali*

ABSTRAK

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan acapkali menjadi batu uji dalam pelaksanaan
setiap pengajuan gugatan terutama in casu gugatan perceraian (baik cerai talak maupun cerai
gugat) dengan gugatan pembagian harta bersama. Landasan dapat diajukannya gugatan kumulatif
adalah Pasal 66 ayat (5) untuk Permohonan Talak dan untuk Gugat Cerai Pasal 86 ayat (1) UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Praktiknya peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan kontradiksi dengan kenyataan. Akumulasi gugatan juga timbul sejumlah persoalan antara
lain; kepentingan suami/isteri yang menginginkan untuk segera mengesahkan perkawinan barunya,
gugatan harta bersama merupakan assesoir terhadap gugatan perceraian sehingga jika acapkali
gugatan harta bersama tidak puas maka gugatan perceraiannya juga tidak bisa inkracht dan
masuknya pihak ketiga dalam perkara kebendaan dipandang memperumit pemeriksaannya. Dari
perspektif hakim terdapat perbedaan antara lain; hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah
atau kepentingan mendesak salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya, cara
pemeriksaan perkara perceraian berbeda dengan sengketa kebendaan in casu harta bersama sehingga
tidak dapat disatukan, hakim justru menilai aturannya sebagai dasar kebolehan memeriksa perkara
harta bersama setelah putusan perceraian sehingga gugatannya ditolak. Saran penulis bahwa hakim
tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia dalam undang-undang,
kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/pemohon karena gugatan kumulasi
bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan kumulasi diterima, hakim seyogyanya
tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan pembuktian secara seimbang berdasarkan
asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.

Kata kunci: asas sederhana, cepat dan biaya ringan, kumulasi gugatan,

LATAR BELAKANG

Salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia adalah perkawinan. Perkawinan
merupakan wujud dan sarana menyatukan dua manusia berbeda jenis untuk membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian

*  Penulis adalah Dosen Pengajar Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Peradilan Agama pada Fakultas Hukum
Universitas Jember, dapat dihubungi melalui email: alfa_elkarim@yahoo.com.

261
262 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

definisi perkawinan ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 (UUP) yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Makna
perkawinan menurut UUP ini menampakkan nilai yang amat sakral, berbeda dengan BW
yang memaknai perkawinan dalam perspektif hubungan keperdataan belaka. Kesakralan ini
semakin diperkuat dalam ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan
bahwa Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.2 Selanjutnya ketentuan Pasal 3 KHI menegaskan hubungan perkawinan yang bersifat
rokhani yaitu Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.3

Perkawinan yang selama ini dinilai sangat sakral ternyata dalam realitanya banyak
pasangan suami isteri yang dilanda kegoncangan dan prahara dalam kehidupan rumah
tangganya. Sehingga acapkali tidak mampu mempertahankan kaharmonisannya sampai di
ujung hayatnya. Banyak faktor dan musabab yang melingkupinya sehingga muncul gugatan
perceraian, baik inisiatif gugatan itu berasal dari isteri yang disebut sebagai Cerai Gugat
maupun yang berasal dari prakarsa suami yang disebut sebagai Cerai Talak.4

Perceraian merupakan emergency exit pasangan yang tidak dapat lagi disatukan. Meskipun
dalam hadist disebutkan bahwa “perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci oleh
Allah”, namun dalam tataran praksis tidak ada yang bisa menjamin suatu perkawinan bisa
abadi selamanya. Kadangkala setiap orang tidak dapat diikat hanya dengan satu perkawinan.
Jika memang sudah tidak dapat dipertahankan perkawinan boleh diputuskan tanpa menunggu
adanya hal yang darurat. Karena perkawinan adalah masalah hati dua manusia yang suatu
waktu dan kapan saja bisa muncul adanya ketidaksesuaian dan ketidakcocokan. Mungkin
sebelum menikah cocok tapi akibat perjalanan waktu bisa menjadi tidak cocok lagi dengan
berbagai sebab dan latar belakang yang melingkupinya.5

Pasangan yang akan melakukan perceraian tidak sembarang cara boleh dilakukan sebab
Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

1  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3019.
2  Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
3  Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
4  Talak merupakan hak suami. Kata talak berasal dari kata’ Ithlaq’ artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam

pengertian syara’ talak berarti melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Periksa Abd. Rahman Ghazaly,
2006, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 192.
5  Zulkarnain Lubis, Paradigma Makna Perceraian https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/

paradigma-makna-perceraian-oleh-drs-zulkarnain-lubis-m-h-11-7 diakses pada tanggal 20 Agustus 2017.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 263

depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.6 Ketentuan ini senafas dengan Pasal 115 KHI yang
menyatakan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.7
Sedangkan Pasal 113 KHI menyatakan bahwa Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian,
b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Selanjutnya Pasal 114 KHI menyatakan bahwa
“putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”.

Timbulnya gugatan perceraian acapkali tidak semata-mata pada persoalan pemutusan


status hubungan perkawinan yang dimohonkan di depan pengadilan (agama), namun juga
diikuti oleh permintaan atau permohonan pihak yang mengajukan baik itu Penggugat (isteri)
maupu Pemohon (suami) untuk secara bersama-sama dalam satu kesempatan mengajukan
tuntutan pembagian harta bersama termasuk tidak terbatas pada tuntutan yang menjadi ikutan
atas terjadinya peristiwa putusnya perkawinan anta ra lain misalnya tentang perwalian anak,
hadlanah atau nafkah pemeliharaan anak, nafkah terhutang, nafkah iddah, uang muth’ah dan
lain sebagainya.

Seringkali gugatan dengan tuntutan demikian disebut sebagai gugatan kumulasi (obyektif)
dimana Penggugat atau Pemohon dapat mengajukan tuntutan lebih dari satu tuntutan dengan
tujuan efisiensi untuk mengurangi biaya, menghemat waktu dan mewujudkan asas peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta bertujuan untuk menghindari putusan yang saling
bertentangan jika memang gugatan tersebut nantinya diajukan secara terpisah.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas yang secara tegas diatur
dalam Undang-undang dan mewajibkan hakim untuk memeriksa perkara dengan harapan
memenuhi rasa keadilan justiabel dalam mendapatkan putusan. Upaya mewujudkan asas ini
merupakan kewajiban pengadilan (termasuk hakim) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58
ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa pengadilan membantu
para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi segala kendala demi tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, namun persolan kumulasi gugatan
menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya, sebab di satu sisi kumulasi gugatan bertujuan
untuk menghemat waktu dan biaya, tetapi di sisi lain kumulasi gugatan yang menggabungkan
tuntutan perceraian dengan pembagian harta bersama acapkali justru dipandang sebagai batu
sandungan untuk mempercepat pemeriksaan perkara, karena membutuhkan pembuktian dan

6  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


7  Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
264 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

pemeriksaan yang kompleks dan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu kajian tulisan
ini adalah menakar sejauh mana asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ini dapat
diterapkan dalam kumulasi gugatan perceraian yang digabungkan dengan pembagian harta
bersama dan tuntutan lainnya.

PEMBAHASAN

Kumulasi Gugatan Perceraian Dengan Harta Bersama

Kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering merupakan penggabungan beberapa


tuntutan hukum ke dalam satu gugatan atau penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke
dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu.8

Adapun bentuk-bentuk kumulasi baku dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kumulasi Subyektif
Kumulasi subyektif merupakan penggabungan beberapa subyek hukum, bisa terjadi
seorang penggugat mengajukan gugatan kepada beberapa orang tergugat atau sebaliknya
beberapa orang penggugat mengajukan gugatan kepada seorang tergugat, dengan syarat
antara subjek hukum yang digabungkan itu ada koneksitas.9 Keikutsertaan atau campur
tangan pihak lain dalam suatu perkara dapat terjadi dalam bentuk lain yang disebut dengan
interventie dan vrijwaring. Ada dua bentuk interventie yakni menyertai (voeging) dan
menengahi (tussenkomst).
b. Kumulasi Obyektif.
Yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam suatu perkara sekaligus. Penggugat dalam
mengajukan gugatan ke pengadilan tidak hanya mengajukan satu tuntutan saja tetapi
disertai dengan tuntutan lain yang sebenarnya dapat diajukan secara tersendiri terpisah
dari gugatan yang diajukan.10

Penggabungan gugatan cerai dan harta bersama dibolehkan dengan syarat harus ada
koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui apakah ada koneksitas atau tidak dapat dilihat
dari sudut kenyataan atau fakta. Apabila ada koneksitas, penggabungan itu akan mempermudah
jalannya acara persidangan, hal ini dapat menghindarkan keputusan yang saling bertentangan
dan dapat menghemat biaya dan tenaga serta waktu.

8  M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 102.
9  Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta, h 27.
10  Sudikno Mertokusumo, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h 42.
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 265

Ada beberapa syarat koneksitas yang harus dipenuhi antara lain:

a. Gugatan yang digabungkan tunduk kepada hukum acara yang berbeda.


Apabila gugatan-gugatan itu tunduk kepada hukum acara yang berbeda, maka gugatan
tersebut tidak dapat digabungkan, misalnya dalam perkara pembatalan merk tidak bisa
digabung dengan perkara perbuatan melawan hukum, karena perkara pembatalan merk
tunduk kepada hukum acara yang diatur dalam undang-undang merk yang tidak mengenal
upaya banding, sementara perkara perbuatan melawan hukum tunduk kepada hukum
acara biasa yang mengenal upaya banding. Dengan adanya ketertundukan pada hukum
acara yang berbeda, maka antara keduanya tidak boleh dilakukan kumulasi.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk kepada kompetensi absolut yang berbeda.
Gugatan-gugatan yang dikumulasikan harus merupakan kewenangan absolut satu badan
peradilan sehingga tidak boleh digabungkan antara beberapa gugatan yang menjadi
kewenangan absolut badan peradilan yang berbeda.
c. Selain dua larangan di atas, terdapat satu larangan lagi yaitu tidak boleh mengajukan
kumulasi gugat dalam hal pemilik obyek sengketanya berbeda.
Apabila ada beberapa tanah dengan pemilik yang berbeda-beda, mereka tidak dapat
mengajukan gugatan bersama-sama terhadap seorang tergugat. Penggabungan gugatan
demikian tidak diperbolehkan baik secara subyektif maupun secara obyektif.
d. Selain syarat koneksitas, maka pihak yang berperkara adalah pihak yang sama.
Penggabungan gugat hanya diperkenankan dalam batas batas tertentu, yaitu apabila
penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para tergugat adalah pihak yang
sama.11

Tujuan diterapkannya komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan


menghindarkan putusan yang saling bertentangan.12 Penyederhanaan proses ini tidak lain
bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.13

Ketentuan yang mendasari gugatan kumulasi diatur dalam Pasal 66 ayat (5) UU Nomor
7 Tahun 1989 yang mengatur gugatan percerian oleh isteri. Pasal tersebut menyatakan bahwa
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan.14 Sedangkan ketentuan dalam sub bab cerai talak juga mengatur kumulasi gugatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat (1) yang menyatakan bahwa Gugatan soal

11  Retnowulan Sutantio, Et. Al., 1989, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal 4.
12  Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, h 29.
13  Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h 104.
14  UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
266 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.15

Penjelasan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan bahwa


hal tersebut demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Sederhana yaitu pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara efisien dan efektif. Biaya ringan maksudnya biaya perkara dapat terpikul oleh rakyat.
Cepat dalam artian dapat dilakukan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal,
dan dipertimbangan serta diputus dalam satu putusan, namun tidak mengorbankan ketelitian
dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Ada beberapa pertimbangan pengajuan gugatan kumulasi selain persoalan efisiensi


pemeriksaan perkara yaitu adanya kekhawatiran dari pihak isteri ketika terdapat pengajuan
permohonan talak dari suami di mana suami terlihat lebih dominan dalam penguasaan harta
bersama, sementara isteri pada saat terjadinya konflik rumah tangga kadangkala tidak berada
dalam satu rumah melainkan berada di rumah lain atau berada di rumah orang tuanya karena
sudah terjadi pisah ranjang antara keduanya. Pengajuan kumulasi gugatan yang walaupun tidak
diajukan oleh suami dalam permohonan talak juga dapat dilakukan isteri selaku termohon
dalam bentuk gugatan rekonpensi dimana posisi isteri adalah sebagai penggugat rekonpensi.
Segi madaratnya maka dapat terhindar dari penguasaan harta yang lebih dominan pada laki-
laki ketika terjadi perceraian.

Pembuat Undang-Undang memang bermaksud untuk memelihara dan menjaga


kepentingan wanita dengan adanya Pasal tersebut, karena bila wanita yang mengajukan gugat
cerai atau sang suami memohon cerai talak, maka biasanya penguasaan harta bersama yang
lebih dominan adalah laki-laki. Artinya dalam perceraian wanita yang banyak dirugikan, karena
itulah diantisipasi dangan dibukanya kumulasi (penggabungan) gugatan harta bersama dengan
gugatan perceraian atau gugat balik tersebut.16 Selain itu gugatan kumulasi juga diajukan
dengan mempertimbangkan untuk mencapai putusan yang utuh, padu dan bersesuaian dan
menghindari putusan yang saling bertentangan.

Persoalan penggabungan gugatan juga dianut dalam Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972,


tanggal 13 Desember 1972 yang pada pokoknya menyatakan bahwa menurut Jurisprudensi,
dimungkinkan penggabungan gugatan gugatan jika antara gugatan gugatan itu terdapat

15 
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Linda Azizah, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Al-A’dalah, Institut Agama Islam Raden
16 

Intan Lampung, h 419.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 267

hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak dalam bentuk perkara yang satu (No. 53/1972.G)
dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang lainnya (No. 521/1971.G); Dua perkara
yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi, masing masing tunduk pada Hukum Acara
yang berbeda, tidak boleh digabungkan seperti: Perkara atas dasar Undang-Undang No. 21
tahun 1961 dengan perkara atas dasar Pasal 1365 BW.

Yurispudensi yang lainnya yaitu Putusan MA-RI No. 880.K/Sip/1973, tanggal 6 Mei
1975 mengatur tentang pemeriksaan perkara penggabungan gugatan sebagai berikut: bahwa
oleh Hakim pertama ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan
diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No. 10/1968/Mkl. Ketiga gugatan
itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan
itu tidak diatur dalam RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan
proses dan menghindarkan kemungkinan putusan putusan yang saling bertentangan, maka
penggabungan itu memang ditinjau dari segi acara (processuel doelmatig).

Namun ada yurisprudensi yang justru melarang adanya penggabungan gugatan seperti
pada Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 20 Desember 1972, dengan bunyi sebagai
berikut: “Suatu perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak
dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum,
sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain. Misalnya gugatan perdata umum
digabungkan dengan gugatan perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH dan tuntutan ganti
rugi digabungkan dengan perkara mengenai hak atas Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-
ketentuan tentang HAKI.” Bahwa ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya,
sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan itu tidak diatur dalam RBg (juga
HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan
kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang
ditinjau dari segi acara (processuel doelmatig).

Asas Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan mampu menjawab
kebutuhan pencari keadilan yang lemah secara ekonomi. “Asas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, mengandung makna peradilan harus membuka ruang lebar bagi acces
to justice terutama bagi yang lemah secara ekonomi dan rentan secara sosial politik. Untuk
itu, pengadilan dituntut untuk membantu pencari keadilan mendapat perlakuan yang adil.17

17  Artidjo Alkostar, Independensi dan Akuntabilitas. Makalah disampaikan dalam pemerkuatan pemahaman Hak

Asasi Manusia untuk hakim seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial-PUSHAM UII dan Norwegian
Center For Human Rights. 20-31 Mei 2012, h. 1.
268 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

Contradictio Interminis Asas Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Dalam tataran praktis penggabungan gugatan perceraian dengan harta bersama acapakali
justru menjadi batu sandungan dalam penerapan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Perkara perkara perceraian yang penyelesaiannya bertahun-tahun bukan disebabkan
karena buruknya kinerja hakim dalam menangani kasus perceraian, tetapi lebih karena aturan
Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama. Pasal 86 ayat (1) tersebut membuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan harta bersama yang dikumulasikan dengan perkara
gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie). Biasanya para pihak
memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali adalah yang
menyangkut harta bersama, dengan demikian masalah perceraian terbawa rendong oleh Pasal
yang yang membolehkannya, sehingga penyelesaian perceraian menjadi lama mengikut upaya
hukum yang digunakan oleh pihak yang tidak puas atas pembagian harta bersama tersebut.,18
selain itu penggabungan gugatan justru dianggap tidak sesuai dengan asas sederhana, cepat
dan biaya ringan. Perceraian dan harta bersama dikumulasikan dalam satu gugatan proses
penyelesaianya memakan waktu lama, berlarut-larut, dan biayanya pun semakin banyak,
sehingga perkara utama dalam hal ini perkara perceraian akan membutuhkan penyelasaian
yang sangat lama.

Beberapa alasan kumulasi gugatan ini justru dianggap terlalu lama dan menimbulkan
banyak permasalahan dalam praktik acaranya (hukum acara) antara lain karena:

1. Gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 68 ayat (2)/80 ayat (2) UU
No, 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sedangkan perkara
kebendaan (harta bersama) dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum.
2. Pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan syiqaq memerlukan
kesaksian keluarga atau orang dekat dengan kedua pihak (Pasal 76 ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 tahun 2006), sementara kesaksian
yang demikian untuk pembuktian harta bersama bertentangan dengan Pasal 145 HIR/172
RBg.
3. Jika dalam proses perkara diputus dengan verstek (tergugat tidak pernah hadir, dan
telah dipanggil dengan cara sah dan patut), lalu diberitahukan bukan kepada pribadi/
in person tetapi melalui Lurah/Kepala desa, maka perhitungan kesempatan untuk
mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukun tetap (BHT) berbeda

18  Marjohan Syam , http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PASAL%2086%20AYAT%201. Diakses tanggal 27

Agustus 2017.
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 269

antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama. Sedangkan perceraian terhitung
sejak Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UU No. 7 tahun
1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 thn 2006), yaitu 14 (empat belas) hari untuk
mengajukan verzet (perlawanan) masih terbuka ketika akan melakukan eksekusi yaitu
sampai hari ke-8 (delapan) setelah anmaning/peneguran.
4. Kemungkinan terjadi penggunaan hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali
dalam perkara gugatan perceraian oleh pihak lainnya, hanya karena ketidakpuasan atas
putusan tentang harta bersama sehingga persoalan utama yaitu perceraian akan ikut
berlarut pula penyelesainnya.
5. Meskipun persoalan harta bersama tidak menjadi soal, namun kadangkala ditemukan
ketidakpuasan salah satu pihak untuk tidak mau menerima putusan perceraiannya karena
adanya itikad tidak baik untuk menunda-nunda perceraian demi menghalangi kepentingan
pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan menikah lagi dan lain sebagainya.
6. Berdasarkan praktik selama ini pandangan para hakim terbelah menjadi dua, satu sisi
mengabulkan dan satu menolak kumulasi gugatan. Pasal 86 ayat 1 Undang Undang Nomor
7 Tahun 1989 ditafsirkan secara ekstensif. Penafsiran eksensif adalah metode interpretasi
yang membuat penafsiran melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.19
Pertama dapat berarti “boleh” dan kedua, dapat berarti “tidak boleh”. Berdasarkan
pengertian yang pertama, hakim kadangkala untuk mencegah berlarut-larutnya perkara
dan berdasarkan pemeriksaan dipandang bahwa perkawinan kedua pihak tidak dapat
dipertahankan, hakim menempuh ijtihad berdasarkan kepentingan mudlarat salah satu
pihak yang akan segera melangsungkan perkawinan (memenuhi hajat. Dalam hal ini
hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah atau kepentingan mendesak salah satu pihak
untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya. Berdasarkan pengertian yang kedua,
alasan majelis hakim tidak menerima kumulasi gugatan, sebab justru penyelesaianya akan
memakan waktu lama dan berlarut-larut sehingga bertentangan dengan asas peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
7. Penyelesaian kumulasi yang berakibat berlarut-larutnya perkara, menimbulkan dampak
sosial antara lain terjadinya nikah di bawah tangan. Hal ini terjadi karena para pihak
tidak dapat segera melangsungkan perkawinan secara sah akibat harus menunggu putusan
gugatan harta bersama yang dibarengkan dengan gugatan perceraiannya. Perkawinan di
bawah tangan sebelum adanya putusan cerai ini mengakibatkan terjadinya poligami liar
yang memunculkan problem sosial baru, atau lebih buruk adalah apabila perkawinan

19  Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta,
h. 281.
270 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

di bawah tangan ini dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang berarti telah terjadi
poliandri sebab secara hukum masih terikat oleh perkawian dengan suaminya yang lama.
Banyaknya dampak sosial negatif yang terjadi akibat lamanya penyelesaian perkara cerai
yang diputus bersamaan dengan gugatan lain, maka penyelesaian kumulasi gugatan justru
tidak sejalan dengan filosofi diadakannya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan.

Jalan Tengah Mewujudkan Peradilan Yang Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Munculnya kontradiksi penggunaan kumulasi gugatan sebagai tujuan awal untuk


mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, maka untuk memberikan jalan
tengahnya ada beberapa peluang alternatif bagi hakim maupun para pihak yang mengajukan
agar memperhatikan beberapa segi antara lain:

1. Hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2)
RBG, atau didasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
tidak jelas, melainkan wajib untuk memeriksa setiap gugatan yang diajukan kepadanya,
apalagi masalah kumulasi gugatan ini jelas jelas ada hukum yang mengaturnya.
Namun sebagai jalan tengahnya hakim harus memutuskan searif mungkin dengan
mempertimbangkan tujuan Hukum Islam yaitu “Mendatangkan kemaslahatan dan
menolak kemudhorotan”. Hakim mempertimbangkan asas maslahah dan melihat fakta-
fakta persidangan serta situasi dan masalah yang dihadapi oleh para pihak berperkara
sebelum memutuskan atau menolak pengajuan gugatan yang di dalamnya terdapat
kumulasi gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama.
2. Hakim dapat mempedomani hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Makasar
Tahun 2007. Melalui komisi yang membidangi peradilan agama telah merumuskan
beberapa kesepakatan untuk mencari solusi atas berlarut larutnya pemeriksaan kumulasi
gugatan. Huruf A angka 2 menyatakan “Untuk menghindari berlarut larutnya proses
penyelesaian perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu dikomulasikan
dengan harta bersama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka pada harta bersama tersebut dapat diletakkan
sita”.20

20  Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia, Makassar, 2007, h 3-4
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 271

3. Apabila suami isteri setuju bercerai namun salah satu pihak tidak sepakat dengan porsi
pembagian harta bersama, maka hal ini dapat menghambat proses perceraian. Dalam
kondisi demikian gugatan harta bersama sebaiknya diajukan setelah putusan perceraiannya
selesai/inkracht.
4. Sebaiknya pembagian harta bersama disepakati bersama sama terlebih dahulu, sehingga
persoalan utama hanya persoalan perceraian. Hasil perdamaian pembagian harta bersama
dapat ditingkatkan ke dalam bentuk notariil sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat
sempurna. Atau Jika ada kesepakatan antara suami isteri mengenai pembagian harta
bersama, maka gugatan sebaiknya diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian tetapi
para pihak sepakat tidak melakukan upaya hukum apapun terhadap putusan pengadilan
agama.
5. Untuk melindungi kepentingan isteri, gugatan perceraian dapat diajukan penyitaan (Sita
Marital atau Sita Matrimonial) hanya sebagai perlindungan dan penyelamatan terhadap
harta bersama. Sebab umumnya kekuasaan suami atas harta bersama sangat luas,
sehingga hukum positif memberikan perlindungan hukum yang berupa peletakan sita
jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan pihak suami melakukan kecurangan,
misalnya mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud
ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang didapat pihak yang melakukan
kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Dengan adanya penyitaan
terhadap harta bersama, baik penggugat atau tergugat (suami/isteri) tidak diperbolehkan
memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.21
Sita marital ini diatur jelas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Pasal 78 huruf c menyatakan hakim dapat menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri
atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Peratutan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 24 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa
hakim dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Selain itu Pasal 95 KHI menyatakan:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

21  Yahya Harahap, Op. Cit, h 369.


272 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

(2) Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan
keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
KHI Pasal 136 ayat (2) huruf b hakim menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Sehingga dengan demikian Sita marital ini merupakan alternatif bagi masyarakat pencari
keadilan yang upaya hukumnya perlu ditempuh secara khusus dengan harapan proses
perceraian antara suami isteri dapat berjalan dengan baik tanpa merugikan kedua belah
pihak.
6. Para pihak dapat membuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian kawin. Perjanjian
perkawinan menjadi penting dilakukan untuk menghindari kepemilikan harta oleh
suami secara absolut, menghindari perselisihan harta di masa mendatang, dan mencegah
ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.

Pada awalnya dasar berlakunya perjanjian kawin diatur dalam ketentuan Pasal 29
UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangsung perjanjian
perkawinan tersebut tdak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Ketentuan tersebut telah diuji konstitusionalitasnya melalui putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor Nomor 69/PUU-XIII/2015. Putusan MK terkait dengan ekstensifikasi
waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Putusan ini memberikan politik hukum baru dan
implikasi positf terhadap pelaku perkawinan yang pada awal pernikahan belum memiliki
perjanjian perkawinan. Dengan tidak melihat kewarganegaraan pelaku perkawinan, perjanjian
perkawinan dapat dilangsungkan kapanpun. Dengan demikian pasangan suami istri yang
belum memiliki perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan dapat melakukan
perjanjian perkawinan pada saat perkawinan telah dilaksanakan.22

Adapun tujuan dari dibuatnya perjanjian kawin adalah sebagai berikut:23

a) Apabila harta kekayaan salah satu pihak (suami atau istri) lebih besar dibanding harta
kekayaan pihak lainnya.
b) Kedua pihak (suami dan istri) membawa masuk harta yang cukup besar ke dalam harta
perkawinan.

22  Oly Viana Agustne, “Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-

Xiii/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan”, Volume 6, Nomor 1, April 2017, Jurnal Hukum Rechtsvinding,
Badan Pembinaan Hukum Nasional,.
23  R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1988, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga

University Press, Surabaya, h. 58.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 273

c) Masing-masing memiliki usaha sendiri, sehingga apabila salah satu jatuhangkrut (pailit)
maka yang lain tdak ikut pailit.
d) Terhadap hutan yang dibuat sebelum perkawinan, masing-masing akan menanggung
hutangnya sendiri.

PENUTUP

Kesimpulan

Kumulasi gugatan (obyektif) yang menggabungkan gugatan perceraian dengan tuntutan


pembagian harta bersama dan atau tuntutan lainnya bagaikan pedang bermata dua. Satu sisi
penggabungan itu seakan membuat gugatan menjadi efektif dan efisien, menghemat waktu dan
biaya serta menghindari putusan yang saling bertentangan. Hal ini dianggap selaras dengan
berlakunya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Faktanya penggabungan gugatan justru menimbulkan bias atas berlakunya asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam banyak kasus, kumulasi gugatan nyata membutuhkan
waktu yang berlarut-larut dan dengan sendirinya akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Dalam kasus perceraian meskipun kedua pihak tidak keberatan atas putusnya perkawinan tetapi
di sisi yang lain justru muncul persoalan ketidaksefahaman soal pembagian harta bersama.
Sehingga putusan perceraian yang meskipun telah dijatuhkan tetapi tidak dapat dieksekusi
seketika karena masih ada upaya hukum terhadap pembagian harta bersama. Persoalan
prosedur pemeriksaan juga tidak simpel, perkara perceraian yang bersifat tertutup dengan
tuntutan pembagian harta bersama yang bersifat terbuka. Begitu juga soal saksi-saksi terutama
persoalan syiqaq mewajibkan dihadirkannya saksi saksi dari kerabat terdekat, namun tidak
dapat berlaku untuk pemeriksaan perkara pembagian harta bersama. Hal ini menunjukkan
kontradiksi kumulasi gugatan yang semula bertujuan mewujudkan peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan menjadi pemeriksaan perkara yang berlarut dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.

Saran

Bahwa hakim tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia
dalam undang-undang, kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/
pemohon karena gugatan kumulasi bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan
kumulasi diterima, hakim seyogyanya tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan
pembuktian secara seimbang berdasarkan asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat
dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap
pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.
274 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

DAFTAR BACAAN

Ghazaly, Abd. Rahman, 2006, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Harahap, M. Yahya , 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Manan, Abdul, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada
Media, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Prawirohamidjojo, Soetojo, 1988, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di


Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya

Sutantio, Retnowulan, et. al., 1989, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung. 1989.

Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan:
HIR

RBg

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam.

Jurnal
Viana Agustne, Oly “Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/Puu-Xiii/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan”, Volume 6,
Nomor 1, April 2017, Jurnal Hukum Rechtsvinding, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 275

Sumber Lain
Alkostar, Artidjo Independensi dan Akuntabilitas, Makalah disampaikan dalam pemerkuatan
pemahaman Hak Asasi Manusia untuk hakim seluruh Indonesia yang diselenggarakan
oleh Komisi Yudisial-PUSHAM UII dan Norwegian Center For Human Rights. 20-31
Mei 2012.

Azizah, Linda, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Al-A’dalah, Institut Agama
Islam Raden Intan Lampung.

Mahkamah Agung Republik Indonesia Rapat Kerja Nasional, Makassar, 2007.

Marjohan Syam, http://www.badilag.net. Diakses tanggal 27 Agustus 2017.

Erlan Naofal, Perkembangan Alasan Perceraian Dan Akibat Perceraian Menurut Hukum Islam
dan Hukum Belanda, http://www.pta-medan.go.id/attachments/133_Document1.pdf diakses
tanggal 27 Juli 2017.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan


Ninis Nugraheni

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
PROBLEMATIKA EKSEKUSI RESI GUDANG SEBAGAI
OBYEK JAMINAN

Ninis Nugraheni*

ABSTRAK

Resi Gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang
diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Resi gudang sebagai agunan dapat dibebani Hak Jaminan
Atas Resi Gudang (Hak Jaminan) sebagai jaminan kebendaan. Jika dikaitkan dengan sifat hak
kebendaan, maka Penerima Hak Jaminan (kreditor) memiliki hak mendahului dari kreditor-kreditor
yang lain. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata eksekusi Hak Jaminan memunculkan
beberapa permasalahan, yang mengakibatkan kurang memberikan jaminan perlindungan hukum
bagi kreditor. Kreditor mempunyai hak parate eksekusi atas objek jaminan, yaitu melalui penjualan
objek jaminan resi gudang yang hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan pihak pemberi Hak
Jaminan. Pelaksanaan eksekusi diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih sederhana, cepat dan
biaya murah, namun dalam kenyataannya, penjualan obyek jaminan berdasarkan hak untuk menjual
obyek jaminan atas kekuasaan sendiri hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan pihak pemberi hak
jaminan, dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis. Hal demikian dapat disalahgunakan oleh
Kreditor yang beritikad buruk, dengan melakukan penjualan secara semena-mena dengan alasan
bahwa hal tersebut telah diberitahukan kepada pemberi hak jaminan, dan tidak ada keberatan dari
pemberi hak jaminan. Di sisi lain, ketentuan tersebut juga dapat membuat kedudukan Kreditor
menjadi lemah, karena pemberi hak jaminan dapat beralih belum menerima pemberitahuan tertulis,
sehingga eksekusi dapat digagalkan.

Kata kunci: resi gudang, jaminan, eksekusi

LATAR BELAKANG

Kehadiran Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang1 (yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, selanjutnya disebut UU SRG),
merupakan respon dari permasalahan yang dihadapi pemilik komoditi dan pelaku usaha.
Permasalahan tersebut muncul saat panen raya, yaitu fenomena jatuhnya harga komoditas
berpotensi merugikan pemilik komoditi. Selain itu para pemilik komoditi berhadapan dengan

*  Penulis adalah Dosen Pengajar Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, Surabaya, dapat
dihubungi melalui ninis.nugraheni@hangtuah.ac.id.
1  Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian

transaksi Resi Gudang. Sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU SRG.

277
278 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

masalah keterbatasan tempat penyimpanan (gudang),2 biaya penyimpanan yang terlalu tinggi
serta penurunan harga yang berdampak pada kerugian. Kenyataan demikian menjadi pilihan
logis bagi pemilik komoditi untuk meminimalisir potensi kerugian dengan segera menjual
komoditi mereka. Selain itu, mereka pada umumnya menghadapi masalah pembiayaan karena
keterbatasan akses ke perbankan dan tidak adanya jaminan dalam memperoleh fasilitas kredit.
Pemilik komoditi menghadapi berbagai hambatan seperti tidak dimilikinya jaminan dalam
bentuk Fixed assets seperti tanah dan bangunan, serta adanya birokrasi dan administrasi yang
berbelit belit.

Dengan demikian, melalui SRG membantu pemilik komoditi untuk menahan komoditinya
pada saat panen raya, sehingga harga komoditas pasca panen menjadi stabil. Pola SRG, pemilik
komoditi dapat menggunakan Resi Gudang3 untuk mendapatkan akses fasilitas pembiayaan
pada lembaga keuangan, dengan menjadikannya sebagai jaminan kredit. Hal ini sebagaimana
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU SRG, resi gudang dapat dijaminkan melalui lembaga jaminan
“hak jaminan atas resi gudang”. Diuraikan bahwa “Hak Jaminan atas Resi Gudang merupakan
hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan
kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain”.

Selanjutnya meski adanya jaminan diharapkan akan memberikan rasa aman bagi kreditor,
namun dalam praktik sering kita jumpai adanya permasalahan dalam pelaksanaan pemberian
jaminan tersebut. Kemunculan jenis lembaga jaminan kebendaan baru, sebenarnya merupakan
respon atas kebutuhan hukum masyarakat terhadap lembaga jaminan yang sesuai dengan
kebutuhan mereka. Namun, kemunculan lembaga jaminan tersebut pada satu sisi memberikan
keuntungan sedangkan pada sisi lain masih menyisakan problem yuridis.

Berkaitan dengan Resi Gudang, pengaturan mengenai eksekusi masih menimbulkan


persoalan hukum, yaitu terkait alasan yang menjadi dasar kewenangan melakukan eksekusi.
Mengingat dalam UU SRG tidak mengatur kewajiban pendaftaran Hak Jaminan. Ketentuan
Pasal 13 UU SRG hanya mewajibkan penerima Hak Jaminan untuk “memberitahukan”
adanya perjanjian pengikatan Resi Gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi dan
Pengelola Gudang. Hal ini berbeda dengan pendaftaran yang ada dalam Hak Tanggungan
maupun Fidusia yang menerbitkan sertifikat yang memuat title eksekutorial. Sehingga dengan
adanya title eksekutorial tersebut dapat eksekusi dilakukan.

2  Gudang adalah semua ruangan yang tidak bergerak dan tidak dapat dipindah-pindahkan dengan tujuan tidak
dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan barang yang dapat diperdagangkan secara
umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Hal ini berdasarkan amanah Pasal 1 angka 4 UU
SRG.
3  Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU SRG menyatakan bahwa Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas

barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang.


Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 279

Berdasarkan uraian latar belakang dan isu hukum di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam artikel ini yaitu: Kendala eksekusi objek jaminan Resi Gudang.

PEMBAHASAN

Eksekusi Obyek Jaminan Kebendaan

Perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir


yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian
pokok berupa perjanjian pemberian kredit, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa
jaminan benda yang dimiliki oleh debitor. Kemudian diikuti oleh perjanjian penjaminan secara
tersendiri yang merupakan tambahan (accessoir) yang dikaitkan dengan perjanjian pokok.

Demi kepentingan yang mengadakan perjanjian kredit undang-undang memberikan


jaminan yang tertuju terhadap semua kreditor dan mengenai semua harta benda debitor. Baik
mengenai benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun
yang masih akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh hutang debitor. Hasil penjualan
dari benda-benda tersebut dibagi-bagi secara seimbang dengan besar kecilnya piutang masing-
masing. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditor dan menyangkut semua
harta kekayaan debitor dan sebagainya disebut jaminan umum, artinya benda jaminan itu tidak
ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan untuk kreditor, sedang hasil penjualan benda
jaminan itu dibagi-bagi di antara para kreditor seimbang dengan piutangnya masing-masing.
Para kreditor itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam
pemenuhan piutangnya. Kreditur demikian disebut kreditor konkuren, lawannya ialah kreditur
preferen. Para kreditor konkuren dalam pemenuhan piutangnya dikalahkan dari para kreditur
preferen (pemegang hak jaminan seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fiducia).4

Jaminan yang bersifat umum ini tidak memuaskan bagi kreditor, karena kurang
menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Kreditor memerlukan
benda-benda tertentu yang ditujukan secara khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya
berlaku bagi kreditor tersebut. Adapun jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian
yang khusus diadakan antara kreditor dan debitor yang dapat berupa jaminan yang bersifat
kebendaan. Jaminan bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai
jaminan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu

4  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan

Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h. 45. Kreditor konkuren lahir karena undang-undang yang diatur dalam Pasal 1131 dan
1132 BW. Dari sudut haknya para kreditor konkuren mempunyai hak yang bersifat perorangan, yaitu hak yang hanya dapat
dipertahankan terhadap orang tertentu.
280 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

benda, dengan ciri-ciri: mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitor,
dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat
diperalihkan.5

Moch. Isnaeni berpendapat bahwa hak kebendaan mempunyai droit de preference (hak
terlebih dahulu) bahwa pihak yang memiliki hak kebendaan ini didahulukan dalam hal
pembayaran daripada kreditor lainnya.6 Sifat droit de preference selalu melekat pada lembaga
jaminan kebendaan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu bahwa dalam BW,
sifat droit de preference dapat kita temui secara tersurat maupun tersirat dalam Pasal 1132,
Pasal 1133 dan Pasal 1134 BW.

Ketentuan dalam Pasal 1134 BW, dapat diketahui kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan lebih tinggi dibandingkan kreditor pemegang hak privelege. Piutang-piutang yang
diletakkan di bawah hak jaminan kebendaan mempunyai hak lebih dahulu dalam mengambil
hasil pendapatan kebendaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan kebendaan. Kreditor-
kreditor yang piutangnya dibebani dengan hak jaminan kebendaan lebih dahulu mengambil
pelunasan, kemudian sisanya diberikan kepada kreditor pemegang hak privelege, untuk
selanjutnya sisanya diberikan kepada kreditor konkuren. Hal ini berarti, kedudukan kreditor
preferen yang terjadi karena diperjanjikan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan
kreditor preferen yang terjadi karena diberikan oleh undang-undang.

Klausula terakhir dari ketentuan dalam Pasal 1134 ayat (2) BW, yang menyatakan
“kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya”, memberikan
perkecualian, di mana piutang-piutang tertentu berkedudukan jauh lebih tinggi sekalipun
piutang-piutang tersebut diletakkan dibawah hak jaminan kebendaan dan apalagi dibawah
hak privelege. Artinya dengan merujuk ketentuan dalam Pasal 1134 ayat (2) BW tersebut,
maka terdapat kedudukan piutang yang lebih diistimewakan lagi dibandingkan dengan piutang
yang dibebani dengan hak jaminan kebendaan. Piutang-piutang yang dikecualikan tersebut
haruslah piutang-piutang yang ditentukan oleh undang-undang.

Kedudukan preferen kreditor ini membawa konsekuensi, bahwa kreditor tersebut


memperoleh pelunasan utang terlebih dahulu dibanding dengan kreditor yang lain. Pelunasan
utang ini dilaksanakan dengan mengeksekusi obyek jaminan.7 Eksekusi benda jaminan
merupakan pelaksanaan hak kreditor preferen.

5  Ibid, h. 47.
6  Moch. Isnaeni, 1996, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya, h.47.
7  Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak jaminan kebendaan perlu lebih dahulu mendalami mengenai ketentuan

eksekusi. Adapun yang dimaksud dengan eksekusi adalah ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditor
dalam perutangan yang tertuju terhadap harta kekayaan debitor, manakala kewajiban debitor untuk membayar tidak
dipenuhi.
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 281

Hal dilakukan dalam hal debitor ingkar janji. Adapun pelaksanaan eksekusi oleh kreditor
dilakukan dengan cara menjual obyek jaminan. Hal ini dipertegas oleh Herowati Poesoko,
eksekusi obyek jaminan yang adalah pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan
terhadap obyek jaminan, apabila debitor wanprestasi dengan cara penjualan obyek jaminan
untuk pelunasan piutangnya.8

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hubungan kredit ada kewajiban berprestasi dari debitor
dan hak atas prestasi dari kreditor, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika masing-
masing pihak memenuhi kewajiban. Namun dalam hubungan kredit yang sudah dapat ditagih
(opeisbaar) jika debitor tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditor mempunyai hak
untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal atau hak eksekusi) terhadap harta
kekayaan debitor yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditor itu dilakukan
dengan cara penjualan benda-benda jaminan dari debitor untuk pemenuhan hutang pada
kreditor.9

Menurut Djuhaendah Hasan, eksekusi dilakukan jika ada piutang yang telah dapat ditagih
(opeisbaar) dan debitor tidak dapat memenuhi prestasinya secara sukarela.10 Momentum ini
melahirkan hak kreditor untuk menuntut pemenuhan piutangnya atau hak eksekusi terhadap
benda objek jaminan kebendaan yang telah disepakatinya. Masih menurut Djuhaendah Hasan,
Hak untuk melaksanakan pemenuhan hak kreditur ini dilakukan dengan cara menjual benda
objek jaminan, dan hasilnya digunakan sebagai pelunasan piutang kreditor.11

Moch. Isnaeni menambahkan bahwa eksekusi selain dilakukan sendiri oleh kreditor, dalam
beberapa hal dapat dilakukan melalui bantuan hukum, yaitu dengan eksekusi riil. Eksekusi riil
merupakan wujud prestasi yang diperoleh kreditor melalui daya paksa hukum.12 Menurut Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, eksekusi terhadap benda-benda tersebut dapat terjadi melalui
penjualan di muka umum karena adanya janji/beding lebih dahulu (parate executie) terhadap
benda-benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan.13 Dalam hukum jaminan dikenal adanya
dua macam eksekusi, yaitu:

(1) Dengan Titel Eksekutorial


Untuk dapat melaksanakan akan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tertentu
dari debitor dengan melalui eksekusi demikian, maka kreditor harus mempunyai alas

8  Herowati Poesoko, 2007, Parate Excecutie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan
Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, Cet.I, h.128
9  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., h. 31.
10  Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah

Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Disertasi), Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 247.
11  Ibid.
12  Moch. Isnaeni, Op.Cit., h. 51.
13  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., h. 31.
282 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

hak untuk melakukan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial (executorial beslag).


Syarat untuk adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi debitor
terhadap perbuatan yang melampaui batas dari kreditor. Pelaksanaan beslag eksekutorial
dilaksanakan oleh juru sita atas permintaan kreditor. Titel eksekutorial dapat timbul
karena berdasarkan keputusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial (Pasal
430 Reglement of de Rechtsvordering selanjutnya disebut RV) yang memutuskan
bahwa debitor harus membayar sejumlah pembayaran tertentu/prestasi tertentu. Atau
kemungkinan lainnya ialah berdasarkan akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk
eksekutorial (Pasal 436 RV), karena menurut ketentuan Undang-undang grosse dari akte
Notaris demikian mempunyai kekuatan eksekutorial. Dimana di dalam akta itu dimuat
pernyataan pengakuan utang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditor.14
Untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan
seperti keputusan pengadilan, maka pada kepala dari akta Notaris itu harus dicantumkan
perkataan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.15

(2) Tanpa Titel Eksekutorial (Parate Eksekusi)


Selain itu eksekusi jaminan kebendaan dapat dilakukan berdasarkan “parate executie”,
yaitu hak kreditor untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaan sendiri apabila debitor
wanprestasi.16 Pelaksanaan parate eksekusi menurut Herowati Poesoko, dilakukan oleh
kreditor pertama dengan menjual obyek jaminan secara lelang tanpa terlebih dahulu
mendapatkan fiat pengadilan. Penjualan lelang dapat dilakukan karena adanya janji/
beding lebih dahulu terhadap benda-benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan. Parate
eksekusi merupakan sarana untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor.
Terhadap pelaksanaan Parate eksekusi, Djuhaendah Hasan menambahkan, parate eksekusi
merupakan eksekusi langsung tanpa titel eksekutorial, grosse akta notaris ataupun
keputusan hakim.17 Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, parate eksekusi
memiliki dua ciri yaitu: tidak membutuhkan titel eksekutorial dalam melaksanakan haknya
dan dapat melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) karena sebagai
kreditor separatis.18 Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan
sendiri dapat kita temukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara lain: Pasal
1155 Ayat (1) BW, Pasal 1178 Ayat (2) BW, Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
dan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia.

14  Ibid, h. 32
15  Ibid.
16  Herowati Poesoko, Op.Cit, h. 128.
17  Djuhaendah Hasan, Loc.Cit.
18  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., h. 33.
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 283

Kendala Eksekusi Objek Jaminan Resi Gudang

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa lahirnya Hak Jaminan atas Resi gudang
masih menimbulkan problematika yuridis. Adanya beberapa asas hak kebendaan yang tidak
tercermin dalam hak Jaminan ini, membawa dampak eksistensi Hak Jaminan atas Resi Gudang
yang perlu diklarifikasi. Selanjutnya, berkaitan dengan resi gudang yang merupakan benda
bergerak, hukum positif di Indonesia telah menyediakan lembaga jaminan gadai dan fidusia
sebagai jaminan kebendaan benda bergerak.

Berdasarkan UUSRG ketentuan Pasal 1 angka 9 UUSRG dinyatakan bahwa ”..... yang
memberikan kedudukan yang diutamakan bagi penerimaan hak jaminan terhadap kreditor
yang lain”. Hal ini menunjukkan bahwa Hak Jaminan atas Resi Gudang mengandung sifat hak
mendahulu atau didahulukan kreditor dalam pelunasan piutangnya. Sifat hak mendahulu dari
Hak Jaminan atas Resi Gudang ini dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 16 (1) UUSRG
yang menyatakan, bahwa: ”Apabila pemberi Hak Jaminan cidera janji, penerima Hak Jaminan
mempunyai hak untuk menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui lelang umum atau
penjualan langsung”. Kemudian Pasal 16 (2) UUSRG menegaskan “Penerima Hak Jaminan
memiliki hak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil penjualan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi biaya penjualan dan biaya pengelolaan”. Lebih lanjut
Pasal 16 (3) UUSRG, menjelaskan bahwa, “Penjualan objek jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan pihak pemberi Hak Jaminan”. Hal
demikian juga dinyatakan dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2007, yang menegaskan bahwa, Hak Jaminan Resi Gudang memberikan kedudukan
untuk diutamakan bagi penerima Hak Jaminan terhadap kreditor yang lain.

Dari ketentuan di atas, Pembentuk Undang-Undang mengharapkan resi gudang dapat


dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Jaminan sebagai jaminan kebendaan.
Jika dikatkan dengan sifat hak kebendaan, maka penerima Hak Jaminan (kreditor pemegang
resi gudang) juga memiliki hak mendahului dari Hak Jaminan atas Resi Gudang terhadap
kreditor-kreditor yang lain, yaitu: hak penerima Hak Jaminan untuk mengambil pelunasan
piutangnya terlebih dahulu. Artinya dari hasil penjualan objek jaminan resi gudang, penerima
Hak Jaminan mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya setelah dikurangi biaya
penjualan dan biaya pengelolaan, yang antara lain, meliputi biaya penyimpanan dan biaya
asuransi.

Penerima Hak Jaminan termasuk dalam golongan kreditor preferen, sehingga penerima
Hak Jaminan mempunyai kedudukan yang mendahului dalam pemenuhan piutangnya. Hak
ini sama halnya dengan hak pemegang gadai, pemegang hipotek, pemegang jaminan fidusia,
dan pemegang hak tanggungan. Pembebanan resi gudang sebagai jaminan utang hanya
284 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

dapat dibebani pada satu jaminan utang, sehingga dalam Sistem Resi Gudang tidak dikenal
pertingkatan penerima Hak Jaminan atas Resi Gudang. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan
dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU SRG, yang kemudian diulang lagi dalam ketentuan Pasal
16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007, bahwa “setiap Resi Gudang yang
diterbitkan hanya dapat dibebani satu jaminan utang.” Sehubungan dengan itu, resi gudang
yang dijadikan jaminan wajib diserahkan atau berada dalam penguasaan kreditor selaku
penerima Hak Jaminan. Oleh karena itu, apabila telah berada ditangan kreditor penerima Hak
Jaminan, resi gudang tersebut tidak mungkin lagi dijaminkan ulang.

Berkenaan dengan pembebanan Hak Jaminan atas Resi Gudang dalam Sistem Resi
Gudang, ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU SRG menyatakan, bahwa: “Pembebanan Hak
Jaminan terhadap Resi Gudang dibuat dengan Akta Perjanjian Hak Jaminan.” Sebelumnya
dalam Pasal 13 UU SRG dinyatakan, bahwa: “Penerima Hak Jaminan harus memberitahukan
perjanjian pengikatan resi gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi dan Pengelola
Gudang.”

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU SRG, maka setiap perbuatan
hukum yang bermaksud membebani resi gudang dengan Hak Jaminan harus dibuktikan dengan
adanya Akta Perjanjian Hak Jaminan sebagai dasar pengikatan resi gudang sebagai Hak
Jaminan. Akta Perjanjian Hak Jaminan ini bertujuan untuk lebih melindungi dan memberikan
kekuatan hukum bagi para pihak dan dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti yang
sempurna dalam penyelesaian setiap perselisihan yang muncul di kemudian hari.

Mengenai hal-hal yang seharus dimuat dalam Akta Perjanjian Hak Jaminan ditentukan
dalam Pasal 14 ayat (2) UU SRG yang menyatakan bahwa perjanjian Hak Jaminan atas Resi
Gudang tersebut minimal memuat: identitas pihak pemberi dan penerima Hak Jaminan, data
perjanjian pokok yang dijamin dengan Hak Jaminan, yaitu mengenai jenis perjanjian dan
utang yang dijamin dengan Hak Jaminan, jumlah, serta tanggal jatuh tempo utang, spesifikasi
Resi Gudang yang diagunkan sebagaimana tercantum dalam Resi Gudang yang bersangkutan,
nilai jaminan utang; dan nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan
ke dalam Gudang.

Ketentuan Pasal 13 UU SRG mewajibkan penerima Hak Jaminan untuk “memberitahukan”


adanya perjanjian pengikatan Resi Gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi
dan Pengelola Gudang (cetak miring oleh penulis). Pemberitahuan mana memuat pula data
perjanjian pokok utang piutang yang mendasari timbulnya jaminan. Tujuan pembentuk
Undang-Undang yaitu pemberitahuan adanya perjanjian pengikatan Resi Gudang akan
mempermudah Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang mencegah adanya penjaminan ganda.
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 285

Selain itu dipergunakan untuk memantau peredaran resi gudang dan memberikan kepastian
hukum tentang pihak yang berhak atas barang dalam hal terjadi wanprestasi.

Dengan merujuk kepada Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 09/BAPPEBTI/PER-


SRG/7/2008, pembebanan Hak Jaminan atas Resi Gudang dilakukan dengan tata cara sebagai
berikut: (1) Calon penerima Hak Jaminan menyampaikan permohonan verifikasi Resi Gudang
yang akan dibebani Hak Jaminan melalui SRG-Online kepada Pusat Registrasi; (2) Pusat
Registrasi melakukan verifikasi terhadap permohonan dimaksud yang sekurang-kurangnya
mencakup: (i) keabsahan Resi Gudang; (ii) keabsahan pihak pemberi Hak Jaminan; (iii) jangka
waktu Resi Gudang; (iv) nilai Resi Gudang pada saat diterbitkan; dan (v) telah atau belum
dibebaninya Hak Jaminan; (3) Kepastian dapat/tidak dapatnya pembebanan Hak Jaminan
disampaikan oleh Pusat Registrasi dengan menyampaikan Bukti Konfirmasi melalui SRG-
Online; (4) Pemberi Hak Jaminan dan Penerima Hak Jaminan menandatangani Perjanjian
Pembebanan Hak Jaminan Atas Resi Gudang, yang merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam. Penandatanganan Perjanjian Pembebanan Hak
Jaminan Atas Resi Gudang dapat dilakukan di bawah tangan atau dihadapan pejabat notaris.
Adapun bentuk dan isi Perjanjian Pembebanan Hak Jaminan Atas Resi Gudang sebagaimana
telah ditentukan modelnya sebagaimana dalam Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 09/
BAPPEBTI/PER-SRG/7/2008; (5) Terhadap model Perjanjian Pembebanan Hak Jaminan Atas
Resi Gudang sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan penambahan dan penyesuaian
berdasarkan kebutuhan sepanjang tidak bertentangan dengan UU SRG dan peraturan
pelaksanaannya; (6) Penerima Hak Jaminan memberitahukan Pembebanan Hak Jaminan
melalui SRG-Online kepada Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang, dan menyampaikan
pemberitahuan dimaksud dengan melampirkan: (i) Bukti Konfirmasi Resi Gudang Dapat
Dibebani Hak Jaminan dari Pusat Registrasi; (ii) fotokopi Perjanjian Pembebanan Hak Jaminan
Atas Resi Gudang; dan (iii) fotokopi Resi Gudang, paling lambat pada hari berikutnya setelah
penandatanganan Perjanjian Pembebanan Hak Jaminan Atas Resi Gudang. Risiko yang
timbul akibat kelalaian atau kesengajaan Penerima Hak Jaminan dalam hal keterlambatan
atau tidak memberitahukan Pembebanan Hak Jaminan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Penerima Hak Jaminan; (7) Pusat Registrasi melakukan pemutakhiran status Resi Gudang
dan mencatat Pembebanan Hak Jaminan ke dalam buku Daftar Pembebanan Hak Jaminan;
(8) Pusat Registrasi mengirimkan bukti konfirmasi telah diterima dan telah dilakukannya
pencatatan pemberitahuan pembebanan Hak Jaminan melalui SRG-Online kepada penerima
Hak Jaminan, pemberi Hak Jaminan dan Pengelola Gudang, paling lambat pada hari berikutnya
setelah berkas pemberitahuan pembebanan Hak Jaminan telah diterima dengan lengkap.
286 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

Menurut ketentuan Pasal 13 UU SRG yang mewajibkan kreditor untuk memberitahukan


adanya pembebanan ke Pusat Registrasi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka, perlu adanya
klarifikasi: (1) apakah makna memberitahukan mempunyai arti yang sama dengan kata
pendaftaran pada lembaga jaminan Hipotek, hak tanggungan maupun jaminan Fidusia. (2)
kemudian apakah kedudukan Pusat Registrasi sama dengan lembaga pendaftaran lembaga
jaminan Hipotek, hak tanggungan dan Fidusia yang berwenang untuk melakukan pendaftaran
jaminan dan menerbitkan sertifikat jaminan.19

Hal ini menjadi penting, mengingat dalam Hipotek, hak tanggungan maupun jaminan
Fidusia, pendaftaran merupakan implementasi asas publisitas dan merupakan momentum
lahirnya hak kebendaan. Adapun lembaga pendaftaran dalam Hipotek, hak tanggungan dan
Fidusia dilakukan oleh instansi khusus berdasarkan undang-undang. Sedangkan UU SRG,
Pusat Registrasi merupakan badan usaha berbadan hukum yang melakukan penatausahaan Resi
Gudang dan Derivatif Resi Gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan
kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan
informasi. Pusat registrasi dalam kaitan pembebanan jaminan hanya bertugas melakukan
penatausahaan resi gudang. Dalam situasi inilah, eksistensi asas publisitas dalam Hak Jaminan
atas Resi Gudang menjadi sumir.

Munir Fuady, menguraikan pejabat yang berwenang melakukan registrasi jaminan


utang, yaitu Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) BPN diberi tugas antara lain untuk
melakukan pendaftaran hak tanggungan. Sekaligus juga atas permintaan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, melakuka roya (pencoretan jaminan) jika jaminan yang bersangkutan sudah
berakhir. Selain itu Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal, berdasarkan Pasal 314,
315, dan seterusnya di dalam KUH Dagang, maka kapal-kapal yang berukuran minimal 20
m3 dapat didaftarkan ke dalam suatu register kapal dan dapat diikat dengan hipotek (hipotek
ini juga harus didaftarkan). Akta kapal mencakup juga akta hipotek atas kapal laut dibuat dan
didaftarkan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal.20

Lebih lanjut Munir Fuady menegaskan bahwa Pejabat Pendaftaran untuk Pesawat Terbang/
Helikopter menurut Undang-undang tentang Penerbangan, pesawat udara sipil ataupun militer
yang beroperasi di Indonesia “wajib” didaftarkan. Ketentuan tentang pendaftaran ini akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009
Tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Penerbangan (selanjutnya
disebut UU Penerbangan), yang tidak lagi menyebut-nyebut tentang hipotek atas pesawat

19 Trisadini Prasastinah Usanti, “Hak Jaminan Atas Resi Gudang Dalam Perspektif Hukum Jaminan’, Edisi September
Tahun 2014, Volume XIX, No. 3, Jurnal Perspektif, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, h.171.
20  Munir Fuady, 2013, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, h. 38-39.
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 287

udara dan helikopter, sehingga hipotek kembali hanya dapat diikatkan pada kapal laut saja.
Kemudian Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia ditugaskan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia
di Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia adalah kantor yang
menerima permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dan menerbitkan Sertifikat Jaminan
Fidusia secara elektronik. Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia ditunjuk menerima pendaftaran
Jaminan Fidusia dan menandatangani secara elektronik setifikat Jaminan Fidusia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.21

Lebih lanjut ketentuan mengenai kewajiban pemberitahuan sebagai Hak Jaminan atas
Resi Gudang diatur lebih lanjut dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2007. Dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007
ditegaskan, bahwa penerima Hak Jaminan harus memberitahukan perjanjian pengikatan Resi
Gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang. Pemberitahuan
mana disampaikan secara tertulis dengan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh
Badan Pengawas serta dilengkapi dengan fotokopi Perjanjian Hak Jaminan dan fotokopi Resi
Gudang untuk Resi Gudang Dalam Bentuk Warkat atau konfirmasi Resi Gudang untuk Resi
Gudang Dalam Bentuk Tanpa Warkat.

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007


menegaskan, bahwa dalam hal berkas pemberitahuan pembebanan Hak Jaminan telah diterima
dengan lengkap, maka Pusat Registrasi wajib mencatat dalam Buku Daftar Pembebanan Hak
Jaminan dan menerbitkan konfirmasi pemberitahuan pembebanan Hak Jaminan. Konfirmasi
pemberitahuan pembebanan Hak Jaminan mana disampaikan oleh Pusat registrasi secara
tertulis atau elektronis kepada penerima Hak Jaminan, pemberi Hak Jaminan dan Pengelola
Gudang paling lambat pada hari berikutnya.

Pengaturan mengenai pembebanan Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang meliputi
tata cara pemberitahuan perjanjian pengikatan Resi Gudang sebagai Hak Jaminan dan tata
cara pencatatan pembebanan Hak Jaminan dalam Buku Daftar Pembebanan Hak Jaminan,
selanjutnya diatur pula dalam Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 09/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2008 tentang Pedoman Teknis Penjaminan Resi Gudang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui maksud dari Pembentuk Undang-
Undang bahwa perjanjian Hak Jaminan atas Resi Gudang merupakan perjanjian ikutan seperti
halnya dengan sifat perjanjian jaminan pada umumnya. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam

21  Ibid.
288 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU SRG, bahwa “perjanjian Hak Jaminan merupakan perjanjian
ikutan dari suatu perjanjian utang‑piutang yang menjadi perjanjian pokok.” Secara khusus,
ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) UU SRG menegaskan kembali ketentuan mengenai
dibuatnya terlebih dahulu perjanjian kredit antara Pemegang Resi Gudang dengan kreditor
yang menjadi perjanjian pokok untuk dapat diberikannya jaminan dengan Resi Gudang
sebagaimana sifat hak jaminan pada umumnya. Hak Jaminan dalam UU SRG ini meliputi
pula klaim asuransi dalam hal barang sebagaimana tersebut dalam Resi Gudang yang menjadi
objek hak jaminan diasuransikan.

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UUSRG secara tersurat memberikan
hak bagi penerima Hak Jaminan untuk melakukan parate eksekusi. Selengkapnya ketentuan
Pasal 16 ayat (1) UU SRG, menyatakan bahwa: ”Apabila pemberi Hak Jaminan cidera janji,
penerima Hak Jaminan mempunyai hak menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui
lelang umum atau penjualan langsung.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan beberapa unsur yang terkandung


dalam Pasal 16 ayat (1) UUSRG, yaitu: (1) debitor cidera janji, (2) kreditor penerima Hak
Jaminan mempunyai hak, (3) Hak untuk menjual obyek Hak Jaminan atas kekuasaan sendiri,
dan (4) Penjualan dilakukan melalui pelelangan umum atau penjualan langsung. Artinya
penerima Hak Jaminan mempunyai hak eksekusi melalui lelang umum atau penjualan langsung
tanpa memerlukan penetapan dari pengadilan. Hak menjual objek jaminan resi gudang atas
kekuasaan sendiri ini merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang
dimiliki penerima Hak Jaminan. Dengan kemungkinan eksekusi objek jaminan resi gudang
dapat dilakukan tanpa memerlukan adanya penetapan pengadilan, diharapkan eksekusi objek
jaminan resi gudang dapat dilaksanakan dengan lebih sederhana, cepat dan biaya yang lebih
murah.22

Lebih lanjut dijelaskan, walaupun penerima Hak Jaminan mempunyai hak parate
eksekusi atas objek jaminan resi gudang, ternyata ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3)
UUSRG mengingatkan bahwa penjualan objek jaminan resi gudang dimaksud hanya dapat
dilakukan atas sepengetahuan pihak pemberi Hak Jaminan. Hal tersebut juga dikuatkan dalam
Penjelasan Pasal Pasal 16 UU SRG, yaitu: “Ketentuan ini dimaksudkan bahwa Penerima
Hak Jaminan mempunyai hak eksekusi melalui lelang umum atau penjualan langsung tanpa
memerlukan penetapan pengadilan. Yang dimaksud dengan biaya pengelolaan, antara lain,
meliputi biaya penyimpanan dan biaya asuransi. Sebelum melakukan eksekusi terhadap objek

22  Arief R. Permana dan Yulita Kuntari, “Selayang Pandang Undang-Undang Resi Gudang”, Agustus 2006, Vol 4

No. 2, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, h.54.


Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 289

jaminan, penerima Hak Jaminan harus memberitahukan secara tertulis kepada pemberi Hak
Jaminan.”

Artinya sebelum melakukan eksekusi terhadap objek jaminan, penerima Hak Jaminan
tidak perlu atau diharuskan meminta persetujuan pemberi Hak Jaminan, cukup dengan
memberitahukan secara tertulis kepada pemberi Hak Jaminan bahwa penerima Hak Jaminan
akan menjual objek jaminan resi gudang berhubung pemberi Hak Jaminan cidera janji
(wanprestasi). Selanjutnya ketentuan tentang eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 21,
22, 23, dan 24 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007. Eksekusi obyek jaminan Resi
Gudang, dilakukan atas kekuasaan sendiri tanpa memerlukan penetapan pengadilan setelah
memberitahukan secara tertulis mengenai hal itu kepada pemberi Hak Jaminan, baik melalui
lelang umum maupun penjualan langsung. Lelang umum dilakukan berdasarkan ketentuan
perundang –undangan yang berlaku. Kemudian penjualan langsung dilakukan untuk
mendapatkan harga terbaik yang menguntungkan para pihak. Hal ini sebagaimana ketentuan
Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007, berikut ini: (1) Dalam hal pemberi Hak
Jaminan cedera janji terhadap kewajibannya kepada penerima Hak Jaminan, maka penerima
Hak Jaminan mempunyai hak untuk melakukan penjualan objek Hak Jaminan atas kekuasaan
sendiri tanpa memerlukan penetapan pengadilan setelah memberitahukan secara tertulis
mengenai hal itu kepada pemberi Hak Jaminan. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui: a. lelang umum; atau b. penjualan langsung. (3) Lelang umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan. (4) Penjualan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan dengan mengupayakan harga terbaik yang menguntungkan para pihak.

Dalam hal melakukan penjualan langsung melalui pelelangan umum, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007, sebelum
melakukan penjualan melalui lelang umum ataupun penjualan secara langsung, kreditor
(penerima hak jaminan atas resi gudang) harus memberitahukan kepada debitor (pemberi
jaminan), Pengelola Gudang dan Pusat Registrasi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan penjualan baik melalui lelang umum ataupun penjualan umum. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 22, yang menyatakan bahwa, “Sebelum melakukan penjualan melalui lelang
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, penerima Hak Jaminan harus
memberitahukan kepada pemberi Hak Jaminan, Pusat Registrasi, dan Pengelola Gudang paling
lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan penjualan melalui lelang umum”. Kemudian dalam
Pasal 23, diuraikan “Sebelum melakukan penjualan langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) huruf b penerima Hak Jaminan harus memberitahukan kepada pemberi
290 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

Hak Jaminan, Pengelola Gudang dan Pusat Registrasi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan penjualan langsung”.

Tata cara penjualan barang melalui lelang umum, diatur dalam Pasal 30 ayat (3), (4),
dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007. Selanjutnya pelaksanakan pelelangan
atas obyek jaminan Resi gudang berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU SRG dan Pasal 21
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007, dinyatakan bahwa mekanisme lelang yang
diberlakukan adalah sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Jika
ketentuan ini diberlakukan dalam eksekusi resi gudang, apakah tidak menghambat dalam
penjualan obyek jaminan yang seharusnya dilakukan secara singkat dan cepat. Dalam ketentuan
Pasal 54 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dikatakan bahwa: Pengumuman Lelang untuk Lelang
Eksekusi terhadap barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling
singkat 6 (enam) hari kalender sebelum pelaksanaan lelang, kecuali Lelang Eksekusi Benda
Sitaan Pasal 45 KUHAP.

Berdasarkan ketentuan tersebut memang dimungkinkan untuk dilaksanakan lelang


eksekusi secara singkat dan cepat, yang menjadi permasalahan adalah pelaksanaan eksekusi
tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
(KP2LN) tidak ada di setiap wilayah kabupaten atau kota di Indonesia ini, sehingga hal ini
memungkinkan adanya hambatan dari eksekusi melalui pelelangan umum.

UU SRG mengharapkan eksekusi dapat dilaksanakan dengan lebih sederhana, cepat


dan biaya yang lebih murah. Namun demikian, berkaitan dengan penjualan obyek jaminan
berdasarkan hak untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaan sendiri hanya dapat dilakukan
atas sepengetahuan pihak pemberi hak jaminan, dengan melakukan pemberitahuan secara
tertulis, dan apakah dengan pemberitahuan tertulis tersebut dapat disalahgunakan oleh
penerima hak jaminan yang beritikad buruk dengan melakukan penjualan secara semena-mena
dengan alasan bahwa hal tersebut telah diberitahukan kepada pemberi hak jaminan, dan tidak
ada keberatan dari pemberi hak jaminan.

Di sisi lain, ketentuan tersebut juga dapat membuat kedudukan penerima hak jaminan
menjadi lemah, karena pemberi hak jaminan dapat beralih belum menerima pemberitahuan
tertulis, sehingga eksekusi dapat digagalkan. Sebagai bahan perbandingan, dalam fidusia
diatur juga bahwa apabila debitor wanprestasi, penerima fidusia mempunyai hak untuk
menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri, yaitu melalui
pelelangan umum maupun penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima fidusia, jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 291

menguntungkan para pihak. Namun demikian, dalam fidusia juga diatur adanya kewajiban
pendaftaran jaminan fidusia. Terhadap jaminan fidusia yang telah didaftarkan tersebut akan
diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia, yang didalamnya tercantum irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu,
eksekusi dapat dilakukan berdasarkan hak untuk menjual atas kekuasaannya sendiri yaitu
melalui pelaksanaan titel eksekutorial tersebut.

UU SRG tidak mengatur mengenai kewajiban pendaftaran hak jaminan yang diikuti
dengan penerbitan sertifikat yang mempunyai titel eksekutorial. Dalam Undang-Undang
ini hanya diatur kewajiban Penerima Hak Jaminan untuk memberitahukan perjanjian
pengikatan Resi Gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi dan Pengelola
Gudang. Berdasarkan ketentuan pengaturan mengenai resi gudang tersebut di atas, terdapat
persoalan hukum/problema yuridis terkait alasan yang menjadi dasar kewenangan melakukan
eksekusi. Mengingat dalam UU Sistem Resi Gudang tidak mengatur kewajiban pendaftaran
Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang diikuti dengan penerbitan sertifikat sebagai tanda bukti
pendaftaran Hak Jaminan atas Resi Gudang yang memuat titel eksekutorial dengan irah-
irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sama dengan putusan
pengadilan yang memuat kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, akan muncul problema
terkait dasar eksekusi jaminan resi gudang dengan mendasarkan pada parate eksekusi melalui
pelaksanaan titel eksekutorial.

PENUTUP

Kesimpulan

Pelaksanaan eksekusi Resi Gudang menimbulkan permasalahan. Hal ini nampak dalam
penjualan obyek jaminan berdasarkan hak untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaan
sendiri hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan pihak pemberi hak jaminan. Sedangkan
pemberitahuan tertulis tersebut dapat disalahgunakan oleh penerima hak jaminan yang beritikad
buruk dengan melakukan penjualan secara semena-mena dengan alasan bahwa hal tersebut
telah diberitahukan kepada pemberi hak jaminan, dan tidak ada keberatan dari pemberi hak
jaminan. Di sisi lain, ketentuan tersebut juga dapat membuat kedudukan penerima hak jaminan
menjadi lemah, karena pemberi hak jaminan dapat beralih belum menerima pemberitahuan
tertulis, sehingga eksekusi dapat digagalkan.
292 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 277–293

Saran

Resi Gudang merupakan bukti kepemilikan komoditi yang hanya memiliki jangka waktu
pendek dan berdasarkan semangat pembentukan UUSRG yang diharapkan dapat menstabilkan
harga pasar serta dapat dicapai pengendalian harga. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan
dan kepastian bagi para pihak dalam hal pelaksanaan eksekusi. Pelaksanaan eksekusi Resi
Gudang untuk dapat diberikan payung hukum yang lebih kuat lagi, sehingga mampu berikan
dasar kewenangan bagi kreditor dalam melakukan eksekusi. Seyogyanya pelaksanaan eksekusi
Resi Gudang harus lebih diperjelas terkait tata cara dan proses eksekusinya.

DAFTAR BACAAN

Buku
Fuady, Munir, 2013, Hukum Jaminan Utang, Erlangga.

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang
Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Disertasi),
Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Isnaeni, Moch., 1996, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya.

Poesoko, Herowati, 2007, Parate Excecutie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik
Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta,

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 59 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4735.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9


Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk


Pelaksanaan Lelang.
Karsona dan Fakhriah: Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial 293

Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 09/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2008 tentang Pedoman Teknis


Penjaminan Resi Gudang.

Jurnal:
Permana, Arief R., dan Yulita Kuntari, “Selayang Pandang Undang-Undang Resi Gudang”,
Agustus 2006, Vol 4, No. 2, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan.

Usanti, Trisadini Prasastinah, “Hak Jaminan Atas Resi Gudang Dalam Perspektif Hukum
Jaminan”, Volume XIX No.3, Edisi September Tahun 2014, Jurnal Perspektif, Universitas
Wijaya Kusuma, Surabaya.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum


Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN BERDASARKAN
KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN
UTANG PIUTANG DIHUBUNGKAN DENGAN
PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITOR

R. Kartikasari*

ABSTRAK

Dalam melaksanakan atau mengembangkan kegiatan usahanya, para pelaku usaha memerlukan
modal dari pihak ketiga di luar perusahaan. Selama hubungan hukum tersebut berjalan dengan
baik, tidak akan timbul masalah hukum diantara para pihak, tetapi adakalanya pihak debitor
melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sehingga kreditor menjadi tidak terpenuhi
hak haknya. Lembaga kepailitan merupakan salah satu cara penyelesaian utang piutang dalam
sistem hukum Indonesia. Tujuan penulisan untuk menganalisis bagaimana kewenangan kejaksaan
dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan kepentingan umum dan apakah kepailitan
atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang dapat memberikan
perlindungan terhadap kreditor. Artikel ini merupakan hasil penelitian menggunakan pendekatan
yuridis normatif, obyek penelitian diutamakan pada data sekunder. Teknik Pengumpulan data
dilakukan studi dokumen, data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode yuridis
kualitatif. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan UU Kepailitan
dan PKPU Kejaksaan memiliki kewenangan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan
kepentingan umum dan tidak perlu menggunakan jasa Advokat, tetapi tidak ada pengaturan lebih
lanjut tentang kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan; (2) Kepailitan atas
permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang belum memberikan perlindungan
terhadap kreditor. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan
kepailitan, sebaiknya dibuat Peraturan tentang kewenangan pihak pihak secara khusus mengajukan
kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia. Kejaksaan agar lebih
cermat apabila dalam masyarakat terdapat indikasi terjadinya kegiatan usaha yang tidak sehat dan
berpotensi merugikan masyarakat luas, sehingga apabila perlu segera dimohonkan kepailitan.

Kata kunci: Kepailitan, kepentingan umum, perlindungan, kreditor

LATAR BELAKANG

Untuk mencapai tujuan Nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang


Undang Dasar 1945, Bangsa Indosia melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan,

*  Penulis adalah Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, dapat dihubungi melalui
email kartikasari@unpad.ac.id

295
296 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

termasuk pembangunan ekonomi. Kegiatan bisnis merupakan salah satu penunjang


pembangunan ekonomi, fungsi kegiatan bisnis adalah mengambil beraneka input dan
memprosesnya menjadi output yang akan dibeli oleh konsumen. Input dapat berupa alat-alat,
sumber daya manusia dan modal, sedangkan output yang dihasilkan dapat berupa baik barang
maupun jasa.1 Sementara itu kegiatan bisnis pada umunya tidak dapat memproduksi barang
dan jasa tanpa sumber dana.2 Kebutuhan akan dana yang didapat dari pihak lain dapat berasal
dari pihak perbankan ataupun non-perbankan. Dana (modal) pinjaman yang diberikan kepada
peminjam dapat berupa kredit dari bank, surat-surat utang jangka pendek, surat-surat utang
jangka menengah, dan surat utang jangka panjang.3

Dalam kegiatan usaha banyak terjadi perikatan, pada umumnya didasari suatu perjanjian,
meskipun adakalanya perikatan terjadi berdasarkan Undang-undang baik yang sesuai dengan
hukum maupun karena perbuatan melawan hukum. Perikatan menimbulkan utang piutang
antara kreditor dan debitor, adakalanya tidak dapat diselesaikan secara musyawarah sehingga
menimbulkan sengketa. Salah satu kewajiban Debitor adalah membayar utang, apabila
kewajiban pengembalian utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak
menimbulkan masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitor mengalami kesulitan untuk
mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain Debitor berhenti membayar utangnya,
baik karena tidak mampu membayar atau karena tidak mau membayar.4

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan sengketa yang terjadi


dalam dunia bisnis. Komar Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika salah
satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat tetapi pihak lainnya
menolak berlaku demikian.5 Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan
harus diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak
yang bersengketa.6

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara litigasi dan non litigasi, sengketa
bisnis khususnya memiliki kecenderungan untuk memilih lembaga penyelesaian sengketa non
litigasi. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini
telah menimbulkan implikasi terhadap lembaga pengadilan.Pengadilan yang secara konkret

1  Richrad J. Briston, 1981, Introduction to Accountancy and Finance, Institut of Cost and Management Accountants
Incorporated by Royal Charter (Southeast Asian Reprint), London, h. 319.
2  Ramesh K.S. Rao, 1992, Financial Management Concept and Aplication, Macmillan Publishing Commpany, New

York, h.3.
3  Sutan Remi Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 6.
4  Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 2010, PT Alumni,

Bandung, h.1.
5  Otje Salman S., 2001, “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa”. Dalam Hendarmin Djarab

dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3.
6  Idem.
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 297

mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa,
serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan
sengketa yang tidak efektif dan efisien.7

Salah satu cara menyelesaikan utang piutang antara kreditor dan debitor adalah melalui
lembaga kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selajutnya ditulis UU Kepailitan
dan PKPU). Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan dan PKPU memberikan pengertian Kepailitan
sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini”.

Dalam penjelasan umum UUKepailitan dan PKPU dikemukakan beberapa alasan tentang
perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,
yaitu:

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan
debitor atau para kreditor lainnya;
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditor atau debitor sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU seorang debitor hanya
dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan apabila memiliki dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU diatas, penyelesaian sengketa melalui
kepailitan merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan, tetapi
memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui peradilan umum,
antara lain terdapat batas waktu untuk beracara, putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
(uitvoerbaar bij voorraad), pengurusan oleh Kurator dan terdapat hakim pengawas.

Dalam Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU disebutkan bahwa pengadilan yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga.

7  Eman Suparman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta, h. 2.
298 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah mutlak, artinya tidak ada badan atau lembaga
lain yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan Niaga.
Dengan demikian, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit kepada selain
Pengadilan Niaga.8 Proses penyelesaian sengketa melalui lembaga kepailitan di pengadilan
niaga akan dilaksanakan apabila terdapat permohonan dari pihak yang berkepentingan atau
berwenang. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU kepailitan dapat dimohonkan oleh
Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.

Permohonan kepailitan oleh kejaksaan belum banyak dilakukan, antara lain disebabkan
UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara jelas bagaimana kedudukan kejaksaan
dalam proses kepailitan sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor
. Berkenaan dengan hal tersebut dapat dirumuskan pokok bahasan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan


kepentingan umum?
2. Bagaimana kepailitan atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang
piutang dihubungkan dengan perlindungan terhadap kreditor?

Penulisan artikel ini didahului dengan dengan penelitian, menggunakan pendekatan


yuridis normatif sehingga obyek utama penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen
kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis.

PEMBAHASAN

Kewenangan kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan


kepentingan umum

Jabatan jaksa sering diidentikkan dengan perkara pidana. Hal ini bisa jadi disebabkan
“melekatnya” fungsi Penuntutan9 oleh jaksa, yang mana fungsi tersebut berada dalam ranah
hukum pidana. Dalam perkara pidana, jaksa bertindak sebagai Penuntut Umum di persidangan,
yang bertugas melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Padahal, dengan
adanya pembagian bidang dalam Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia2,
yaitu melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN), jaksa dapat bertindak baik

8  Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang

Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 144.


9  Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 299

di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara, pemerintahan (instansi
pemerintah pusat/daerah, badan usahan milik Negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah
(BUMD)), bahkan perorangan dalam lingkungan selain hukum pidana. Seorang jaksa yang
mewakili negara dan pemerintahan dalam perkara DATUN biasa disebut Jaksa Pengacara
Negara (JPN).

UU Kejaksaan mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga kejaksaan yang bersifat
represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertibandan ketenteraman umum,
antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,mengamankan kebijakan penegakan
hukum, mengawasi peredaran barang cetakandan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara.

Fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana sudah lama dikenal, tetapi
fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hokum kepailitan nampaknya
masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan di luar hukum pidana sudah
dikenal sejak tahun 1922 dimana lembaga kejaksaan merupakan wakil negara dalam hukum,
yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagisebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya
fungsi jaksa sebagai pengacara Negara bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum
berdasarkan Koninklijk Besluittertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam
UU No. 5 Tahun1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat
pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya
harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka
hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam
rangka inilah kejaksaan dapat memiliki peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk
membela dan memberikan nasihatnyakepada para pejabat pemerintah.

Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Negaradalam


bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor: KEP-039/J.A/4/1993
tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan surat edaran JAM DATUN
nomor: B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal 27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa
Pengacara Negara bagi Jaksa yangmelaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang
digunakan para Jaksa dalam melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara
Negara (JPN) dandiatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga
KejaksaanRepublik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004
Tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia

Secara lebih rinci tugas dan wewenang Kejaksaan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
Kejaksaan 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Tata Kerja Kejaksaan. Tugas JPN diatur dalam
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 040/A/J.A/12/2010 tanggal 13 Desember 2010 tentang
300 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Wewenang Perdata dan Tata
Usaha Negara. Menurut peraturan tersebut, tugas JPN meliputi bantuan hukum, pertimbangan
hukum, pelayan hukum, penegakan hukum, dan tindakan hukum lain:

1. Bantuan Hukum adalah tugas JPN dalam perkara perdata maupun tata peusaha negara
untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat yang
dilakukan secara litigasi maupun non litigasi.
2. Pertimbangan Hukum adalah tugas JPN untuk memberikan pendapat hukum (Legal
Opinion) dan/atau pendampingan (Legal Assistance) di bidang Perdata dan Tata Usaha
Negara atas dasar permintaan dari lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah,
BUMN/BUMD, yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Perintah JAM DATUN, Kepala
Kejaksaan Tinggi (KAJATI), Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI).
3. Pelayanan Hukum adalah tugas JPN untuk memberikan penjelasan tentang masalah
hukum perdata dan tata usaha negara kepada anggota masyarakat yang meminta.
4. Penegakan Hukum adalah tugas JPN untuk mengajukan gugatan atau permohonan
kepada pengadilan di bidang perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan melindungi
kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat, antara lain:
pembatalan perkawinan, pembubaran Perseroan Terbatas (PT) dan pernyataan pailit.
5. Tindakan Hukum Lain adalah tugas JPN untuk bertindak sebagai mediator atau fasilitator
dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan antarlembaga negara, instansi pemerintah di
pusat/daerah, BUMN/BUMD di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam
penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata khususnya
dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan perundang-undangan.

Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya satu dengan
yang lainnya.Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berdasarkan
ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kepentingan umum harus memenuhi syarat-
syarat, yaitu:10

1. Produksi yang penting bagi negara.


2. Menguasai hajat hidup orang banyak.

10 Suhadibroto, 1994, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa Agung Muda
Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, Jakarta, h. 154.
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 301

Kepentingan umum misalnya diatur dalam Pasal 35 (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI dirumuskan, ”Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengenyampingkan
perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam Penjelasannya disebutkan ”Kepentingan
Umum” sebagai kepentingan bangsa/negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Penjelasan
tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari ”kepentingan
negara”, ”kepentingan bangsa”, atau ”kepentingan masyarakat secara luas” dimaksud, dengan
demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi
hukum, maupun masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya ditulis UU Kepailitan dan PKPU) kejaksaan dapat
mengajukan permohonan pailit berdasarkan kepentingan umum. Kemudian dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, yang dimaksud dengan “kepentingan umum”
hanya dikatakan hanyalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat,
misalnya:

1. Debitor melarikan diri.


2. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
3. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya
yang menghimpun dana dari masyarakat.
4. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas.
5. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-
piutang yang telah jatuh tempo.
6. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU mengakomodasi apa yang telah
dicantumkan dalam penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 Tentang
Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum.

Berkenaan dengan contoh contoh kepentingan umum berdasarkan UU Kepailitan dan


PKPU penulis memberi catatan terhadap “debitor mempunya utang terhadap BUMN” dan
“debitor tidak kooperatif”, hal tersebut harus dilaksanakan secara selektif dan jangan dipahami
bahwa semua debitor yang memiliki utang kepada BUMN kepailitannya harus dimohonkan
oleh kejaksaan. Harus dilaksanakan secara selektif dan diperhatikan ketentuan ketentuan lain
yang mendasari timbulnya utang piutang antara kreditor dan debitor, agar tidak membebani
pihak kejaksaan.

Sebelum adanya UU Kepailitan dan PKPU, dalam Undang-Undang Kepailitan tidak


dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut.
302 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan


bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-
alasan yang bersifat umum .

Selain mengacu pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU kepailitan dan PKPU, Tolok ukur
untuk menentukan ada atau tidak adanya unsur kepentingan umum dalam hal Kejaksaan
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor diserahkan saja secara
kasuistis kepada hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa permohonan pernyataan pailit
itu. Hal ini sejalan semangat ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk menentukan
bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum.

Berdasarkan penjabaran beberapa peraturan perundang-undangan diatas, jelas dilihat


bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai apa yang dimaksudkan dengan “kepentingan
umum”. Apabila ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan
mengenai apa yang dimaksudkan dengan “kepentingan umum”, batasan kepentingan umum
yang dimaksud oleh pengertian itu hanya untuk pengertian peraturan perundang-undangan
yang dimaksud itu saja. Pengertian itu tidak dapat dipakai untuk diterapkan bagi pengertian
kepentingan umum dalam undang-undang yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
kepentingan umum memiliki pengertian yang luas.

UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secaralengkap tentang tentang permohonan dan
proses kepailitan oleh kejaksaan, salah satu kekhususan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (2)
UU Kepailitan dan PKPU permohonan kepailitan oleh kejaksaan tidak perlu menggunakan
jasa advokat. Keuntungan dari penyerahan permohonan kepailitan oleh kejaksaan adalah tidak
memberatkan dari sisi biaya, karena kejaksaan tidak mengenakan biaya kepengacaraan (lawyer
fee), tetapi hanya memerlukan biaya biaya operasional dalam pengurusan harta. Biasanya
advokat akan mengenakan biaya yang tinggi, karena walaupun prosedur kepailitan singkat,
akan tetapi kepailitan adalah suatu perkara hukum mendetail serta memerlukan pemahaman
teori dan praktik memadai, sehingga tidak semua advokat kuasai.11

Sampai saat ini tidak banyak permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, antara
lain kepailitan PT. Qurnia Subur Alam Raya yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Sukabumi
berdasarkan amar putusan pidana dan Kepailitan PT Aneka Surya Agungyang diajukan oleh
Kejaksaan Lubuk Pakam. Dalam perkembangannya cukup banyak sengketa utang piutang

11 
B.G.M. Widipradnyana Arjaya, “Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk Kepentingan Negara
Terhadap Utang Pajak Subyek Hukum Dari Negara Anggota ASEAN Non Indonesia Pasca Berlakunya AEC”, 2004, Volume
3 Nomor 2, Rechtsvinding, h. 207.
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 303

antara perusahaan baik yang berbentuk Koperasi maupun Perseroan Terbatas yang melibatkan
masyarakat banyak, terutama terkait usaha simpan pinjam, investasi seperti kasus Koperasi
Cipaganti, Koperasi Pandawa, Biro Jasa haji dan Umroh PT First Travel. Menurut penulis
seharusnya kejaksaan lebih cepat mengantisipasi kasus kasus tersebut dan memohonkan
kepailitan terhadapnya, karena sudah terpenuhi syarat yang tercantum dalam penjelasan Pasal
2 UU Kepailitan PKPU, tidak perlu menunggu pelaporan atau putusan perkara pidana.

Kepailitan atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang


dihubungkan dengan perlindungan terhadap kreditor.

UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur sejauh mana peran kejaksaan dapat mewakili
kepentingan umum dalam proses kepailitan, misalnya dalam rapat verifikasi, perdamaian,
renvooi procedure (apabila ada), actio pauliana dan lain lain, beberapa hal tersebut yang
menurut penulis cukup penting untuk tercapainya perlindungan hukum yang optimal bagi
kepentingan umum dan atau kreditor.

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum untuk mewujudkan prinsip jaminan


dalam suatu perikatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang undang
Hukum Perdata (selanjutnya ditulis KUHPerdata).

Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatannya perseorangan”.

Selanjutnya dalam yaitu Pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang


mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila diantara para bepiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan”.

Kedua pasal tersebut merupakan dasar hukum bagi kreditor baik kreditor konkuren
maupun kreditor separatis untuk melakukan tuntutan kepada debitor, sehingga apabila
debitor tidak dapat membayar utang nya, maka harta bendanya baik benda tetap maupun
benda bergerak maupun yang sudah ada maupun yang barur aka nada menjadi jaminan bagi
pemenuhan hak hak kreditor. Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, yaitu Pasal 1131 dan
1132 KUHPerdata, maka UU Kepailitan dan PKPU sebagai undang-undang yang mengatur
salah satu cara penyelesaian pembayaran utang piutang menjadikannya sebagai landasan
304 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

pengaturannya. Dapat dikatakan bahwa Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan
1132 KUHPerdata.12

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan
yang bersifat umum, artinya yang menjadi jaminan adalah semua harta benda milik debitor
baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik benda sudah ada maupun yang baru
akan ada, jaminan tersebut berlaku untuk semuat utang debitor dan berlaku untuk seluruh
kreditor.13 Jadi jaminan umum timbul dari undang-undang, tanpa ada perjanjian yang
diadakan oleh para pihak lebih dahulu, para kreditor konkuren semuanya secara bersama-
sama memperoleh jaminan umum tersebut, ditinjau dari sifat haknya, para kreditor konkuren
itu mempunyai hak yang bersifat perorangan, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap
orang tertentu. Dalam bukunya yang lain Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan
bahwa undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang
sama, atau di sini berlaku asa paritas creditorum, yang pembayaran atau pelunasan hutang
kreditor dilakukan secara berimbang (ponds-ponds gewijjs). Dengan demikian para kreditor
hanya berkedudukan sebagai kreditor yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya kecuali
ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de orefernce).14

Seseorang (debitor) dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat sebagai berikut:15

“Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih kreditornya”.

Berdarkan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU yang dimaksud dengan utang,
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

12  Siti Sumarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, 1993, Seksi Hukum

Dagang FH UGM, Yogyakarta, h. 3.


13  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1984, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan

Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h. 45.


14  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, h. 32.
15  Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 305

Berdasarkan Pasal 6 UU Kepailitan dan PKPU, permohonan pailit dilakukan sebagai


berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.


2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal
pendaftaran.
3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling
lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
7. Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling
lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Permohonan kepailitan harus diajukan oleh seorang advokat, kecuali permohonan yang
diajukan sendiri oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal yang kini
digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan Menteri Keuangan.

Setelah Hakim menjatuhkan putusan pailit, maka akan diangkat Kurator dan Hakim
Pengawas. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk Pengadilan Niaga, dan tugas
utamanya adalah mengawasi pekerjaan Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta
kekayaan Debitor Pailit. Kepailitan menyebabkan seorang Debitor tidak dapat lagi mengurusi
harta kekayaannya, dan pengurusan harta kekayaannya tersebut dilakukan oleh Kurator.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa:

1. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit


sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali;
2. Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau
pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitor;
306 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Dalam menjalankan wewnang dan tugasnya kurator harus memperhatikan kedudukan


masing masing Kreditor, dalam kepailitan kreditor terbagi dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Kreditor Separatis, yaitu kreditor yang memiliki kedudukan istimewa karena memiliki
jaminan hak kebendaan, seperti gadai, hak tanggungan, hipotik atau fidusia.
b. Kreditor Preferent, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan
pembayaran utangnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
c. Kreditor Konkuren, yaitu kreditor adalah kreditor bersaing yang akan memperoleh
pembayarannya secara proporsional sesuai dengan besarannya piutang.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa putusan pailit bersifat dapat dilaksanakan


terlebih dahulu sekalipun terdapat upaya hukum (uitvoerbaar bij voorraad), oleh karena itu
dengan dijatuhkannya vonnis Failit proses kepailitan serta merta memasuki fase Penitipan
(sequestrasi). Dalam fase Penitipan terdapat kegiatan yang sangat penting untuk proses
kepailitan selanjutnya yaitu rapat pencocokan utang piutang (rapat verifikasi). Berdasarkan
hasil rapat verifikasi tersebut terdapat 3 jenis Kreditor, yaitu:

1. Kreditor yang diakui


2. Kreditor yang diakui sementara
3. Kreditor yang dibantah.

Pada proses kepailitan dikenal pula Panitia Kreditor, yaitu 3 orang yang dipilih dari
Kreditor yang dikenal memiliki keahlian tertentu yang dapat memberikan pendapat dan nasihat
kepada Kurator. Panitia Kreditor terdiri dari Panitia Kreditor Sementara yang dibentuk setelah
putusan pailit, dan Panitia Kreditor Tetap yang dibentuk setelah Rapat Pencocokan Piutang
selesai, dan wajib ditawarkan oleh Hakim Pengawas.

Dalam rapat verifikasi ada kemungkinan ditawarkan perdamaian (Accoord), yaitu


merupakan penawaran Debitor Pailit untuk membayar sebagian utangnya dengan syarat
bahwa setelah melakukan pembayaran itu Debitor Pailit dibebaskan dari sisa uatangnya, dan
setelah Debitor Pailit membayar utang yang telah disepakati dalam perjanjian perdamaian,
maka Debitor Pailit tidak mempunyai utang lagi. Perdamaian yang diajukan dalam Kepailitan
diatur dalam Pasal 144 sampai dengan Pasal 177 UU Kepailitan dan PKPU. Dalam Pasal 144
UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu
perdamaian kepada semua Kreditor.

Isi rencana perdamaian kemungkinan utang akan dibayar sebagian, utang akan dibayar
dicicil, atau utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil. Rencana perdamain ini wajib
dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya Rapat Pencocokan Piutang (Rapat
Verifikasi). Selanjutnya dalam Pasal 145 UU Kepailitan dan PKPU disebutkan:
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 307

1. Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana Perdamaian (Accoord), paling lambat 8


hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan
agar dapat dilihat dengan Cuma-Cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana
perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya
pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 147 UU Kepailitan dan PKPU;
2. Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirim kepada masing-masing
anggota panitia kreditor sementara.

Terkait rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor pailit, Pasal 146 UU Kepailitan
dan PKPU menyebutkan bahwa Kurator dan Panitia Kreditor Sementara wajib memberikan
pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. Biasanya isi
Perdamaian berupa penawaran debitor pailit untuk membayar sebagian dari utangnya, dengan
syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut debitor dibebaskan dari sisa utangnya,
sehingga setelah ia membayar utang yang telah diperjanjikan itu, ia tidak mempunyai utang
lagi.

Rencana Pedaian yang diajukan oleh Debitor pailit harus mendapat persetujuan dari para
Kreditor, oleh karena itu harus dilaksanakan Rapat para Kreditor.Pemungutan suara diatur
dalam Pasal 151 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa:

“Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih
dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang
haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3
(dua pertiga) dari seluruh jumlah piutang konkuren yang diakui atau yang untuk
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapatb
tersebut”.

Selanjutnya Pasal 152 UU Kepailitan dan PKPU mengatur:

1. Apabila lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada Rapat
Kreditor dan mewakili paling sedikit ½ (satu perdua) dari jumlah piutang
Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana
perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah
pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara
kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.

2. Pada pemungutan suara kedua ini, Kreditor tidak terikat pada suara yang
dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
308 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Perubahan yang terjadi kemudian, baik mengenai jumlah Kreditor maupun jumlah
piutang, tidak mempengaruhi sahnya penerimaan atau penolakan perdamaian (Pasal 153 UU
Kepailitan dan PKPU). Pemungutan suara ini ini diadakan untuk mencapai pengesahan. Berita
Acara Rapat memuat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154 UU Kepailitan dan PKPU:

1. Isi perdamaian,
2. Nama Kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap,
3. Suara yang dikeluarkan,
4. Hasil pemungutan suara, dan
5. Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat.

Setelah Perdamaian diterima, maka sebelum rapat ditutup Hakim Pengawas menetapkan
hari sidang dimana Pengadilan Pengadilan Niaga akan memutuskan tentang pengesahan
(homologatie) perdamaian tersebut. Sidang tersebut harus diadakan paling cepat 8 (delapan)
hari, dan paling lambat 14 (empat belas) sesudah pemungutan suara tentang perdamaian.
Pengesahan perdamaian ini dilakukan sebagai berikut:

1. Pada hari sidang yang telah ditetapkan , hakim pengawas dalam sidang terbuka
memberikan laporan tertulis;
2. Tiap-tiap Kreditor, baik ia sendiri ataupun dengan perantaraan wakilnya, dapat
menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkannya menghendaki pengesahan perdamaian
atau menolaknya;
3. Debitor berhak pula untuk mengajukan alasan-alasan untuk membela kepentingannya;

Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak
untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam
kepailitan maupun tidak.

Dalam hal perdamaian atau pengesahan ditolak, Debitor Pailit tidak dapat menawarkan
kembali perdamaian dalam kepailitan tersebut. Perdamaian akan ditolak apabila:

1. Keuntungan budel jauh lebih tinggi dari jumlah yang diperjanjikan dalam Perdamaian.
2. Apabila pemenuhan Perdamaian tidak terjamin
3. Bilamana terjadi penipuan

Akibat hukum dari Perdamaian adalah: apabila Perdamaian diterima dan disahkan,
maka Pengesahan Perdamaian akan mengakhiri Kepailitan, sedangkan apabila pengesahan
perdamaian ditolak Kepailitan dibuka kembali dan proses kepailitan akan memasuki fase
Insolvensi atau fase pelelangan. Pada fase insovensi semua harta debitor failit dijual/dilelang
dan dibagikan kepada seluruh Kreditor dengan memperhatikan kedudukan masing masing
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 309

Kreditor. Kreditor Preferent akan didahulukan pelunasannya, Kreditor Konkuren akan


mendapatkan pembayaran secara proporsional/pari pasu/ponds ponds gewijs.

Tujuan kepailitan pada hakikatnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum
atas harta kekayaan si berutang, disita untuk kepentingan semua kreditornya.16 Lebih lanjut
kepailitan adalahmembagi-bagikan hasil penjualan harta pailit secara proporsionalkepada
para kreditor, prinsip yang demikian disebut concursus creditorium.17

Kedudukan istimewa atau privilege kreditor hanya dimilki oleh kreditor yang menerima
jaminan kebendaan terhadap benda tertentu milik debitor, karena pemberian jaminan kebendaan
selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang pemberi jaminan dan
menyediakan untuk pemenuhan (pembayaran) kewajiban (utang) debitor.18

Jaminan sangat bermanfaat untuk mempermudah pengembalian kredit, terutama apabila


proyek yang dibiayai kredit memiliki risiko tinggi. Penulis menyetujui pendapat Djuhaendah
Hasan, bahwa jaminan merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditor, yaitu kepastian
akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau penjamin
debitor.19

Jaminan yang dapat diberikan oleh pihak debitor terhadap perikatan yang dilakukannya
dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan adalah
jaminan berupa harta kekayaan baik benda bergerak maupun hak kebendaan lainnya yang
diberikan dengan cara pemisahan bagian harta kekayaan debitor atau pihak ketiga, guna
menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada pihak kreditor apabila debitor
cedera janji.20

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan
yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan
langsung atas benda-benda tertentu dari debitor, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu
mengikuti benda (droit de suit), dan dapat diperalihkan.21

16  Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, PT Rineka Cipta,

Jakarta, h. 48.
17  Y. Yogar Simamora, “Catatan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”, 2001, , Volume

16 No. 1, Majalah Yuridika, h. 16.


18  Subekti, 1989, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, h. 17.
19  Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam

Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 233.
20  Hasanuddin Rahman, 1995, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indoensia (Panduan Dasar:

Legal Officer), PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 180.


21  Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan, Op.Cit. h. 47.
310 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Selanjutnya Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa perjanjian jaminan kebendaan


merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu
ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitor melakukan
cidera janji atau ingkar janji. Selain itu kreditor pemegang jaminan mempunyai hak untuk
didahulukan terhadap pembagian hasil eksekusi dari benda-benda tertentu dari debitor. Hak
preferen yang dikandung dalam jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa kepada
para kreditor lain dalam pengambilan pelunasan piutang dari obyek benda jaminan. Bahkan
apabila debitor pailit, para kreditor ini dapat bertindak terhadap obyek jaminan seolah-olah
tidak ada kepailitan, benda jaminan tidak dimasukkan kedalam harta kepailitan (boedel pailit).
Kreditor preferen disini merupakan kreditor separatis.22

Bagi para Krediror pemegang jaminan pemenuhan piutang dan hak separatisnyaharus
memperhatikan ketentuan ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

(2) Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136
dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan
penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dan jumlah yang diakui
dari penagihan tersebut.

Pasal 56

(1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan
hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90
(Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk
memperjumpakan utang.

(3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun

22  Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Bagi Tanah ----- Op.Cit. h. 236-237
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 311

benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang
berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor,
dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor
atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 57

(1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi
hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).

(2) Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan
permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah
syarat penangguhan tersebut.

(3) Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada
Hakim Pengawas.

(4) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterima, wajib memerintahkan Kurator
untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan
pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk didengar pada siding
pemeriksaan atas permohonan tersebut.

(5) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diajukan kepada Hakim Pengawas.

(6) Dalam memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hakim
Pengawas mempertimbangkan:

a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung;

b. perlindungan kepentingan Kreditor dan pihak ketiga dimaksud;

c. kemungkinan terjadinya perdamaian;

d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen


usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.

Pasal 58

(1) Penetapan Hakim Pengawas atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 57 ayat (2) dapat berupa diangkatnya penangguhan untuk satu atau
312 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

lebih Kreditor, dan/atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu


penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapat
dieksekusi oleh Kreditor.

(2) Apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah


persyaratan penangguhan tersebut, Hakim Pengawas wajib memerintahkan
agar Kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi
kepentingan pemohon.

(3) Terhadap penetapan Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketiga yang
mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)
atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam jangka
waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan Pengadilan
wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima.

(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diajukan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali.

Pasal 59

(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58,
Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus
melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan
setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
178 ayat(1).

(2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Kurator harus
menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual
sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi
hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut.

(3) Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan dengan
membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan jumlah
utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada Kreditor yang
bersangkutan.

Pasal 60

(1) Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang
melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator
tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 313

hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada
Kurator.

(2) Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya
lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian
dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan
yang diistimewakan.

(3) Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup
untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut
dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta
pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan
piutang.

Kepailitan debitor tidak terjadi secara tiba tiba, pada umumnya diawali dengan proses
kesulitan keuangan atau bukan mungkin terjadi kebangkrutan perusahaan yang disengaja
untuk tujuan tujuan tertentu, sehingga UU Kepailitan menyediakan lembaga “Actio Pauliana”
yang bertujuan untuk melindungi boedel pailit dan kepentingan para kreditor. Pasal 41 UU
Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan harta pailit kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala
perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan
kreditor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan;
2. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan apabila dapat
dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor;
3. Dikecualikan dari ketentuan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum Debitor yang sifatnya wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau
karena Undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pelaksaan kepailitan pasca
dijatuhkannya vonis pailit cukup rumit, memerlukan ketelitian, kehatia hatian serta pengawasan
baik dari pihak kurator, debitor dan kreditor, serta hakim pengawas. Dalam hal kejaksaan
mewakili kepentingan umum, seharusnya diberikan kewenangan untuk mengikuti tahap tahap
atau peristiwa hukum dalam pelaksanaan kepailitan, seperti rapat verivikasi, perdamaian,
eksekusi benda jaminan atau actio pauliana. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan
Kejaksaan tersebut, sebagai jalan keluarnya dapat dikeluarkan Peraturan tentang kewenangan
314 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

pihak pihak secara khusus mengajukan kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian
Keuangan, Bank Indonesia.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, Kejaksaan memiliki kewenangan dalam


mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan kepentingan umum dan tidak perlu
menggunakan jasa Advokat, tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut tentang kewenangan
Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan. Kepailitan atas permohonan kejaksaan
sebagai sarana penyelesaian utang piutang belum memberikan perlindungan terhadap
kreditor, antara lain disebabkan tidak ada pengaturan kewenangan kejaksaan dalam proses
dan tahapan kepailitan, sehingga Kejaksaan sulit untuk mempertahankan kepentingan umum
yang diwakilinya.

Saran

1. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan,
sebaiknya dibuat Peraturan tentang kewenangan pihak pihak secara khusus mengajukan
kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia.
2. Kejaksaan agar lebih cermat apabila dalam masyarakat terdapat indikasi terjadinya
kegiatan usaha yang tidak sehat dan berpotensi merugikan masyarakat luas, sehingga
apabila perlu segera dimohonkan kepailitan.

DAFTAR BACAAN

Buku:
Briston, Richrad J., 1981, Introduction to Accountancy and Finance, Institut of Cost and
Management Accountants Incorporated by Royal Charter (Southeast Asian Reprint),
London.

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung.

M, Situmorang, Victo dan Soekarso, Hendri, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia,
PT Rineka Cipta, Jakarta.
Kartikasari: Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan 315

Marmosudjono, Sukarton, 1989, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Penerbit Pustaka


Kartini, Jakarta.

Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, LibertyYogyakarta,
Liberty.

---------, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Yogyakarta.

Rahman, Hasanuddin, 1995, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indoensia


(Panduan Dasar: Legal Officer), PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Rao, Ramesh K.S, 1992, Financial Management Concept and Aplication, Macmillan Publishing
Commpany, New York.

Remy Sjahdeni, Sutan, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Remy Sjahdeini, Sutan, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun
2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Sastrawidjaja, Man S, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
PT Alumni, Bandung.

Salman S, Otje, 2001, “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa”.
Dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase
di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumarti Hartono, Siti, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi
Hukum Dagang FH UGM, Yogyakarta

Suparman, Eman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT Fikahati
Aneska, Jakarta.

Subekti, 1989, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,
Bandung.

Suhadibroto, 1994, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara,Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI,
Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
316 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 295–316

Jurnal:
Widipradnyana Arjaya, B.G.M “Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk
Kepentingan Negara Terhadap Utang Pajak Subyek Hukum Dari Negara Anggota ASEAN
Non Indonesia Pasca Berlakunya AEC”, 2004, Volume 3 Nomor 2, Rechtsvinding.

Simamora, Yogar, “Catatan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”,
2001, , Volume 16 No. 1, Majalah Yuridika.
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan


Industrial dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor
Preferen pada Perusahaan Pailit
Ronald Saija

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
REKONSTRUKSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DAN
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM
MELINDUNGI UPAH HAK TENAGA KERJA SEBAGAI KREDITOR
PREFEREN PADA PERUSAHAAN PAILIT

Ronald Saija*

ABSTRAK

Manufer beberapa karyawan (buruh/tenaga/pekerja) Perusahaan Great River ke Pengadilan Niaga


merupakan salah satu usaha kesekian para karyawan setelah produksi pabrik perusahaan berhenti.
Selain menunggak upah karyawan, juga terdapat utang perusahaan kepada kreditor perusahaan
meliputi Bank Mandiri, dan Bank Mega. Dalam hal ini, Perusahaan Great River bukan merupakan
perusahaan pertama yang dimohonkan pailit oleh karyawannya, tetapi sebelumnya ada permohonan
pailit yang diajukan oleh karyawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry dengan Putusan Nomor
49/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST). Pada sejumlah kasus dimana mayoritas karyawannya
sering maju ke Pengadilan Niaga sebagai kesatuan menuntut hak mereka setelah perusahaan
dinyatakan pailit, namun berbeda dengan kasus Great River Dalam hal ini, tidak semua karyawan
menyetujui langkah yang diambil oleh beberapa karyawan saja sedangkan sebagian karyawan yang
mengatasnamakan diri Solidaritas Karyawan perusahaan Great River justru mengecam langkah
pailit yang diajukan oleh beberapa karyawan. Ketidaktahuan semua karyawan Perusahaan Great
River bahwa salah satu aset Perusahaan Great River telah dilelangkan oleh salah satu Kreditor
Perusahaan yakni Bank Mega Aset Perusahaan Great River sudah lelang dan pemenangnya adalah
PT. Samudera Biru tertanggal 31 Mei 2017 yang lalu. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan angin segar bagi upah karyawan yang akan
didahulukan pembayarannya apabila perusahaan mengalami pailit. Kompetensi Pengadilan Niaga
dan kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial berpotensi akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan melanggar hak rasa adil bagi para karyawan yang membingungkan.

Kata kunci: hak tenaga kerja, kreditor preferen, perusahaan pailit, rekonstruksi

LATAR BELAKANG

Tujuan pembangunan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya


dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya serta mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur yang merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan

*  Pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Pattimura, penulis dapat dihubungi melalui email ronaldreagensaija@
gmail.com

317
318 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI 1945) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan yang penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja


dan peran sertanya dalam pembangunan dan peningkatan perlindungan tenaga kerja beserta
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam hal perlindungan terhadap
tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin kesemaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dalam Pasal 28D UUD
NRI 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Kenyataan bahwa dalam menjalankan operasionalnya, perusahaan tidak selalu


menunjukkan perkembangan serta peningkatan laba (profit), sebab resiko yang dapat timbul
dari bisnis baik itu resiko investasi, resiko pembiayaan dan resiko operasi. Semua resiko dapat
mengancam kesinambungan dari keuangan perusahaan dan fatal mengalami bangkrut (pailit)
karena tidak dapat membayar semua kewajiban utang perusahaannya.

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Adanya kesulitan ini
perusahaan dalam rangka operasionalnya pengeluaran pembayaran kewajiban gaji kepada para
pekerja pasti akan mengalami masalah serta cenderung tidak dapat membayarkan kewajiban
tersebut.1

Tercantum jelas pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan), tidak menentukan mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut PHK) sebagai akibat tunggal atas putusan
pailit. Dalam hal ini putusan pailit memberikan dua kemungkinan alternatif bagi perusahaan,
meskipun telah dinyatakan pailit. Kurator perusahaan pailit dapat tetap menjalankan kegiatan
usahanya dengan konsekuensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon,
biaya gaji, pajak dan biaya lainnya. Kurator perusahaan pailit berhak melakukan pemutusan
hubugan kerja dengan dasar pasal 165 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam praktiknya
manakala terjadi permasalahan pailit dan terjadi PHK dalam suatu perusahaan, dimana sering
pekerja kesulitan memperoleh informasi dan hak-hak mereka. Hal mana didiskripsikan pada

1  Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga

dan Lembaga Arbitrase, Kencana, Jakarta, h 19.


Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 319

kepentingan dan hak-hak tenaga kerja (buruh/karyawan) selalu dikesampingkan oleh kurator
yang mengurusi harta pailit perusahaan tersebut.2

Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan pengertian


pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan dalam bentuk apapun.
Pengertian agak umum namun maknanya lebih luas sebab mencakup semua orang yang
bekerja pada siapa saja, baik perorangan, persekutuan, badan hukum dan badan lainnya dengan
menerima upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal adapula pekerja dan/atau buruh
yang menerima imbalan dalam bentuk barang. Sebagaimana dengan istilah pemberi kerja dan/
atau pengusaha dari perusahaan berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perserorangan, milik persekutuan
atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/
buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain atau usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dengan bentuk lain. Kemudian hubungan antara pengusaha/perusahaan
dengan pekerja/buruh yang berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah dan perintah dinamakan hubungan kerja.

Kedudukan pengusaha selaku debitor pailit digantikan oleh kurator selama proses
kepailitan berlangsung, dan kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dalam menjalankan ketentuan mengenai PHK dan penentuan besarnya
pesangon. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatakan bahwa dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayaannya. Dengan perkataan lain bahwa kedudukan buruh/pekerja dalam kepailitan
merupakan kreditor yang diistimewakan yang didahulukan pembayarannya daripada utang
lainnya (kreditor preferen), dalam ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut Undang-Undang Kepailitan). sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah
yang terhutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan
utang harta pailit.3

Walaupun sudah jelas dinyatakan demikian tetapi seringkali kurator bekerja hanya
memakai acuan hukum berdasarkan Undang-Undang, tanpa melakukan pertimbangan-
pertimbangan keputusan berdasarkan Pasal 165 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal ini

2  Pujiyo Ugo, 2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,Sinar Grafika, Jakarta,h 45.
3  H. R. Abdussalam, 2008, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Restu Agung, Jakarta, h 23.
320 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

terlihat dari banyaknya kasus-kasus perburuhan pada perusahaan yang sedang mengalami
pailit. Sebagai contoh Manufer beberapa karyawan (buruh/tenaga/pekerja) Perusahaan
Great River ke Pengadilan Niaga merupakan salah satu usaha kesekian para karyawan
setelah produksi pabrik perusahaan berhenti. Selain menunggak upah karyawan juga utang
perusahaan kepada kreditor perusahaan meliputi Bank Mandiri, dan Bank Mega. Dalam hal
ini, Perusahaan Great River bukan merupakan perusahaan pertama yang dimohonkan pailit
oleh karyawannya, tetapi sebelumnya ada permohonan pailit yang diajukan oleh karyawan
PT. Roxindo Mangun Apparel Industry dengan Putusan Nomor 49/PAILIT/2004/PN.NIAGA.
JKT.PST). Pada sejumlah kasus dimana mayoritas karyawannya sering maju ke Pengadilan
Niaga sebagai kesatuan menuntut hak mereka setelah perusahaan dinyatakan pailit. Nah, hal
ini berbeda dengan kasus Perusahaan Great River tampaknya agak lain. Dalam hal ini, tidak
semua karyawan menyetujui langkah yang diambil oleh beberapa karyawan saja. Sedangkan
sebagian karyawan yang mengatasnamakan diri Solidaritas Karyawan perusahaan Great
River justru mengscam langkah pailit yang diajukan oleh beberapa karyawan. Ketidaktahuan
semua karyawan Perusahaan Great River bahwa salah satu aset Perusahaan Great River telah
dilelangkan oleh salah satu Kreditor Perusahaan yakni Bank Mega berupa Pabrik di Cibinong
dengan harga sekitar Rp. 47.000.000.000,- (empat puluh tujuh miliar rupiah). Aset Perusahaan
Great River sudah lelang dan pemenangnya adalah PT. Samudera Biru tertanggal 31 Mei
2017 yang lalu. Bagitu juga pada kasus yang dialami oleh pekerja pada perusahaan Batavia
Air yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, namun hak pekerja berupa
upah dan pesangon bukanlah merupakan prioritas utama. Hal ini terbukti dari intensitas unjuk
rasa yang dilakukan oleh bekas pekerja terhadap pihak kurator atas tuntutan pembayaran sisa
upah dan pesangon pekerja. Seringkali ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit mengalami
masalah pembayaran upah dan pesangn dari pekerja yang tidak jelas dan bahkan pekerja/
buruh sangat sulit mendapatkan hak-hak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
akan memberikan angin segar bagi upah karyawan yang akan didahulukan pembayarannya
apabila perusahaan mengalami pailit. Kompetensi Pengadilan Niaga dan kompetensi
Pengadilan Hubungan Industrial berpotensi akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan
melanggar hak rasa adil bagi para karyawan yang membingungkan. Jika terjadi kepailitan
suatu perusahaan akibat permohonan karyawan yang belum dibayar upahnya, maka dapat
memunculkan pertanyaan.

Permasalahan pokoknya adalah perbedaan kedudukan hukum dan ekonomi yang terkait
pembayaran dalam kepailitan antara kreditor separatis dan kreditor preferen (buruh/pekerja).
hal ini sering bertentangan dengan perlindungan hak-hak atas buruh yang telah dijamin dalam
Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 321

UUD NRI 1945 yakni kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama karena buruh
sebagai pekerja berhak untuk mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dari
pekerjaan yang telah dilakukannnya untuk hidup.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan yaitu apakah tenaga
kerja dapat dilindungi apabila perusahaannya pailit menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
dan bagaimana penerapan rekonstruksi kompetensi pengadilan niaga dan pengadilan hubungan
industrial guna melindungi upah hak tenaga kerja pada perusahaan pailit?

PEMBAHASAN

Perlindungan hak-hak tenaga kerja pada perusahaan pailit menurut Undang-Undang


Tenaga Kerja

Pekerja merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal
ini dikarenakan peran dan fungsi pekerja dalam menghasilkan barang dan atau jasa untuk
perkembangan suatu perusahaan. Sudah sewajarnya apabila hak-hak pekerja diberikan secara
memadai demi terciptanya hubungan kerja yang seimbang antara pekerja dan pengusaha dalam
perusahaan. Terutama ketika para pekerja melaksanakan pekerjaannya secara bersungguh-
sungguh dan maksimal. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, tujuan pembangunan ketenagakerjaan sebagai berikut:

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;


b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. Memberikan perlindungan pada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Kenyataan bahwa dalam
menjalankan operasionalnya, perusahaan tidak selalu menunjukkan perkembangan dan
peningkatan laba (profit), sebab risiko yang dapat timbul dari bisnis, baik itu risiko investasi,
risiko pembiayaan dan risiko operasi. Semua risiko dapat mengancam kesinambungan
dari keuangan perusahaan dan yang paling fatal perusahaan bisa mengalami bangkrut
(pailit) karena tidak bisa membayar semua kewajiban utang perusahaannya. Ketika
pekerjasudah melaksanakan kewajibanya kepada perusahaan maka sudah seharusnyalah
perusahaan memenuhi hak-hak pekerjanya sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun hak-hak pekerja tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Tenaga kerja idealnya memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 6).
322 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

2) Terkait dengan pembekalan, pelatihan, dan bentuk kegiatan lain dalam rangka
meningkatkan keterampilan (kompetensi) untuk menunjang bidang kerjanya, pekerja/
buruh berhak untuk memperoleh pelatihan (Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal
11, 18 Ayat (1), 23).
3) Tenaga kerja juga memiliki kebebasan untuk pindah pekerjaan sesuai dengan
kualifikasi dan kompetensinya (Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 31).
4) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat karena melahirkan atau
keguguran (miscarried) (Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 82).
5) Pekerja/buruh mempunyai hak terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (Undang-
Undang Ketenagakerjaan Pasal 86).
6) Pekerja/buruh berhak terhadap penghasilan yang layak (Undang-Undang
Ketenagakerjaan Pasal 88).
7) Pekerja/buruh dan keluarganya di jamin dengan jaminan sosial tenaga kerja (Undang-
Undang Ketenagakerjaan Pasal 99) .

Hak-hak inilah yang harus dipenuhi oleh perusahaan bagi pekerjanya yang ada dalam
perusahaan. Pemenuhan hak-hak pekerja tersebut bukan hanya pada saat perusahan itu
masih berjalan sebagimana mestinya, tetapi ada hak-hak pekerja yang harus tetap dipenuhi
oleh perusahaan pada saat perusahaan tersebut pailit. Pailitnya suatu perusahaan biasanya
mengakibatkan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
secara sepihak kerap terjadi perusahaan mengalami masalah terutama dalam hal keuangan.
Para pekerja di rumahkan satu persatu. Hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi perusahaan.
Akan tetapi, pemutusan hubungan kerja yang paling sulit dihindari adalah ketika perusahaan
tersebut jatuh pailit berdasarkan putusan pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
diberikan definisi “Kepailitan” sebagai berikut. “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.4

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, saat itu juga segala yang
berhubungan dengan harta perusahaan akan menjadi tanggung jawab Kurator untuk mengurus
harta pailit milik perusahaan tersebut. Sehingga yang bertugas untuk membagi harta debitor
pailit kepada para Kreditor menjadi tanggung jawab Kurator. Pekerja yang di PHK karena
perusahaan mengalami kepailitan. Mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh pihak
perusahaan. Dalam hal pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh kurator, pemutusan tersebut

4  Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.h.2


Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 323

harus sesuai dengan Pasal 165 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
(UUTK):

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena


perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Harta kekayaan perusahaan (dalam hal ini Perseroan Terbatas/PT) dalah terpisah dari harta
kekayaan pemegang saham. Sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT) beserta penjelasannya, pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar
setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Oleh karena itu, dalam hal perusahaan dipailitkan, pemegang saham tidak bertanggung jawab
secara pribadi namun hanya sebatas saham atau modal yang dimasukkan ke dalam PT yang
kemudian menjadi harta PT. Pada saat perusahaan tidak membayar gaji karyawannya, maka
perusahaan tersebut menjadi debitur dari karyawan dan dapat digugat pailit apabila memenuhi
syarat-syarat kepailitan. Seluruh harta perusahaan kemudian akan menjadi harta pailit
untuk kemudian diserahkan kepada pengurusan kurator untuk memenuhi semua kewajiban
perusahaan terhadap para kreditor. Pada dasarnya, hak karyawan atas pembayaran upah saat
perusahaan dipailitkan telah dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UUKT). Pasal 95 ayat (4) UUK menentukan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit
atau ilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-
hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Namun,
Pasal 1134 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) mengatakan gadai dan
hipotik tempatnya lebih tinggi dari pada kreditor lainnya kecuali dinyatakan sebaliknya oleh
undang-undang. Apabila mengacu pada UUK, maka sesungguhnya UUK telah memberikan
posisi pembayaran upah karyawan untuk didahulukan pembayarannya dari pada kreditor
lainnya. Akan tetapi, dalam praktiknya apa yang terjadi ternyata berbeda ketentuan Pasal
95 ayat (4) UUK tersebut di atas. Jika ada kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hak agunan maupun hipotik, maka merekalah yang mendapat prioritas. Prioritas
kepada kreditor jenis ini didasarkan pada ketentuan Pasal 138 UU Kepailitan yang berbunyi:8
“Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu
benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut
kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat
meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa
mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.”
324 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

Tujuan kepailitan pada dasarnya memberikan solusi terhadap para pihak apabila Debitor
dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar utang-utangnya. Kepailitan
mencegah/menghindari tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugi semua pihak,
yaitu: menghindari eksekusi oleh Kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh Debitor
sendiri. Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, yaitu sebagai
realisasi dari dua pasal penting di dalam KUHPerdata mengenai tanggung jawab Debitor
terhadap perikatan-perikatan yang dilakukan, yaitu Pasal 1131 dan 1132 sebagai berikut: Pasal
1131: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan.” Pasal 1132: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-
sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah didahulukan.”

Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1131 KUHPerdata, menunjukan bahwa setiap
tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa
akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya
(kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaannya (debit). Adapun
Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas
pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak
yang berkewajiban (debitur).5

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 22, harta debitur pailit yang
sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maupun yang akan
diperoleh selama kepailitan berlangsung digunakan untuk membayar semua krediturnya secara
adil dan merata yang dilakukan seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial


Bagi Perlindungan Hak Pekerja

Menurut M.Hadi Subhan, selaku seorang penulis buku hukum kepailitan yang dimintai
penjelasannya oleh penulis melalui surat elektronik (email) dalam kapasitasnya apabila
menjadi seorang kurator menjelaskan beberapa hal mengenai proses serta kemungkinan yang
dapat terjadi pada alur pemenuhan hak pekerja pada perusahaan pailit, hal ini berdasarkan
pertanyaan yang diberikan kepada Hadi Subhan oleh penulis, dan penulis lalu menjabarkan

5  M. Hadi Shubhan, 2009, Hukum kepailitan, Prinsip, Norma, Dan Praktik di Peradilan., Kencana, Jakarta, h. 425.
Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 325

serta menguraikan akan pemenuhan hak pekerja serta kemungkinan yang dapat dihadapi oleh
pekerja dalam proses pemenuhan haknya.

Menurut Hadi Subhan pekerja sebagai salah seorang kreditor berhak untuk menerima
haknya atas kepailitan yang dialami oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Hak tersebut
berupa pembayaran upah dan hak selain upah. Yang dimaksud dengan hak selain upah yaitu
seperti pesangon dan hak lainnya). Adapun buruh/pekerja yang dimaksud dapat menerima
upah yaitu dapat dilihat di peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang perlindungan upah dalam Pasal 1 huruf c beserta penjelasannya. “Buruh adalah tenaga
kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah”.

Menurut penulis Hak-hak pekerja/buruh yang akan diberikan pastinya harus berdasarkan
aturan atau mekanisme tertentu serta melalui tahapan-tahapan yang telah diatur oleh
undang-undang sebelum hak tersebut disalurkan/diberikan kepada pekerja/buruh hingga
pelaksanaannya selesai dilakukan oleh Kurator. Apabila dalam kepailitan tidak menemui
perdamaian, maka Pengurusan kepailitan beimplikasi kepada pemberesan harta pailit hingga
seluruh kreditor memperoleh haknya, termasuk kepada pekerja/buruh yang merupakan kreditor
preferen/diistimewakan.6

Jika dipandang perlu, kurator juga berwenang atas persetujuan panitia kreditor untuk
melanjutkan usaha (going concern) debitur, jika hal itu dipandang akan menguntungkan pada
harta pailit. Langkah ini merupakan langkah yang sangat strategis, khususnya jika debitur
pailit adalah sebuah perseroaan terbatas. Langkah tersebut juga merupakan langkah yang
hanya bisa dilakukan oleh kurator jika debitur tersebut adalah badan hukum dan tidak dapat
dilakukan terhadap debitur perorangan karena debitur perorangan dan usaha yang dijalankan
entitas yang berbeda. Sebelum kurator memutuskan untuk melanjutkan usaha si pailit, maka
harus mempertimbangkan bahwa dengan dilanjutkannya usaha debitur akan mendatangkan
pendapatan yang lebih dari pada ongkos operasionalnya, serta mempertimbangkan dari
manakah modal kerja itu akan di dapat apakah harus melakukan utang baru atau tidak. Jika
pertimbangan ini tidak memadai maka Kurator tidak boleh malanjutkan usaha debitur, malah
sebaliknya harus segera melepaskan atau menjual usaha itu dengan nilai yang tertinggi.
Persoalan going concern perusahaan ini sangat penting, mengingat banyaknya prospek
usaha debitur yang cukup prospektif akan tetapi sedang menghadapi kendala likuiditas
sementara sehingga jika dilakukan melanjutkan usaha debitur akan sangat menguntungkan
harta pailit.7

6  Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT. Grafindo, Jakarta, h 33
7  Zainal Asikin, 1991, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h. 12.
326 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

Menurut penulis mengenai going concern atau melanjutkan usaha merupakan sebuah
peluang bagi pekerja untuk dapat tetap bekerja dan dari kelanjutan ikatan kerja dengan
perusahaan maka pekerja akan tetap mendapatkan upah/gaji yang di dapat dari hasil kerja
pekerja/buruh dan gaji tersebut berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja sehari-
hari seperti biasanya, sebab berbicara tentang hak pekerja secara harfiah menurut penulis
berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap salah seorang pengurus pusat GSBN
(Gerakan Serikat Buruh Nusantara) yaitu Muhammad hatta yang juga sering meng advokasi
permasalahan perburuhan dan pekerja yang sedang bermasalah. Menurut hatta hak dasar dari
seorang manusia adalah mendapatkan kehidupan, pendidikan dan pekerjaan yang layak bagi
kehidupannya, dan hal tersebut secara garis besar telah di atur dalam undang-undang dasar
Negara Indonesia 1945.

Dalam harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang debitor pailit kepada
para kreditornya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status debitor
pailit menjadi subyek hukum penuh atas harta kekayaanya. Syarat utama adanya rehabilitasi
adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya para kreditor dengan dbuktikan surat
tanda bukti pelunasan dari para kreditornya bahwa utang para debitor pailt telah dibayar
semuanya. Disamping itu, permohonan rehabilitasi tersebut harus diumumkan dalam dua
harian surat kabar yang ditunjuk oleh pengadilan. Setelah dua bulan diiklankan, maka
pengadilan harus memutus permoohonan rehabilitasi tersebut. Putusan pengadilan mengenai
diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi adalah putusan final dan tidak ada upaya
hukum terhadap putusan tersebut. Apabila dalam pemberesan tersebut, ternyata harta pailit
tidak dapat mencukupi untuk melunasi pembayaran utang debitor kepada para kreditornya,
maka: Jika debitor pailit itu suatu badan hukum, maka demi hukum badan hukum tersebut
menjadi bubar. Dengan bubarnya badan hukum tersebutmaka utang-utang badan hukum yang
belum terbayarkan menjadi utang di atas kertas saja tanpa bisa dilakukan penagihan karena
badan hukumnya sudah bubar. Badan hukum pailit harta kekayaannya tidak mencukupi untuk
membayar semua utangnya kepada para kreditornya, tidak dapat mengajukan pencabutan
kepailitan. Hal ini karena demi hukum badan hukum pailit ini menjadi bubar. Sedangkan sisa
utang yang belum terbayarkan masih mengikuti debitor ini, dan bahkan secara teoritis debitor
ini masih bisa dimohonkan pailit lagi. Rekonstruksi hukum semacam ini dikarenakan dalam
sistem hukum kepailitan di Indonesia tidak dikenal prinsip debt forgiveness, sehingga tidak
dikenal adanya pengampunan utang terhadap debitor pailit.

Menurut penulis Buruh/pekerja pada proses pemenuhan haknya tidak dapat dipungkiri
bisa terjadi benturan akan kepentingan kreditur lainnya jika tidak memahami implementasi
dari undang-undang yang ada. Walau undang-undang telah tegas untuk mengatur kedudukan
Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 327

masing-masing kreditur akan tetapi potensi akan adanya multi tafsir untuk memenuhi hak
tersebut dapat pula terjadi mengingat adanya kemungkinan akan jumlah kreditur yang
jumlahnya banyak. potensi akan benturan tersebut dapat terjadi mengingat kemungkinan
dari jumlah harta boedel pailit tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran utang debitur
kepada kreditur. Undang-undang kepailitan yang dibuat berdasarkan asas yang menjadi tujuan
serta landasan dari keseluruhan pasal yang ada pada undang-undang tersebut menjelaskan
arah dari fungsi dan manfaat dari undang-undang tersebut.

Menurut Muhammad Hatta ketakutan pekerja/buruh untuk mendapatkan hak-haknya


bukanlah permasalahan kedudukan mereka sebagai kreditur, akan tetapi. Ketakutan yang
paling terbesar yaitu apabila kemungkinan jika harta boedel pailit ternyata tidak mencukupi
untuk dibagikan kepada para kreditur serta rentang waktu yang harus pekerja/buruh tunggu
hingga keseluruhan dari hak-hak mereka terpenuhi. Ketakutan tersebut berimbas kepada
desakan para pekerja/buruh untuk memperoleh hak mereka secepatnya. Walupun hak-hak
pekerja pada perusahaan pailit seharusnya tidak perlu menjadi sebuah masalah yang besar
jika penerapaan undang-undang ketenagakerjaan undang-undang No. 13 tahun 2003 pasal
95 ayat 4 di implementasikan kedalam perkara kepailitan dalam menetapkan pekerja/buruh
sebagai salah satu kreditur.

Menurut Pudjo Hunggul apabila terjadi hal harta boedel pailit dijual setelah ada keputusan
pailit terhadap debitur oleh putusan pengadilan yang seharusnya harta tersebut sudah menjadi
sita umum terhadap harta debitur di bawah kuasa kurator dan pengawasan hakim pengawas
maka secara aturan hukum yang berlaku kurator dapat mengajukan upaya hukum berupa
Actio pauliana, upaya hukum yang dilakukan oleh kurator merupakan upaya hukum yang
melindungi kepentingan para kreditur secara umum, sebab apabila terjadi eksekusi atau
penjualan terhadap harta boedel pailit yang seharusnya pemberesannya dilakukan oleh kurator
maka kemungkinan akan terjadinya penyusutan atas nilai harta atau resiko terbesar adalah harta
boedel pailit dapat habis terjual oleh debitur sehingga hak kreditur atas pemenuhan hak yang
diharapkan pelunasannya diperoleh dari penjualan/pelelangan atas harta debitur tidak dapat
tersalurkan, disebabkan harta yang seharusnya di jual/dilelang sudah tidak ada lagi sehingga
para kreditur tidak mendapatkan haknya sesuai dengan nilai piutang masing-masing kreditur.
Dalam keterkaitan terhadap hak pekerja/buruh ketika terjadi paiilit terhadap tempatnya bekerja,
walaupun substansi dari putusan pailit bukanlah kepailitan atas perusahaan tempat mereka
bekerja melainkan pemilik atau pailit yang bukan terhadap badan hukum atau pun perseroan
tetapi pailit atas seseorang, maka pekerja tetap dapat meminta haknya dalam kapasitasnya
sebagai salah satu kreditur yang didasari adanya perjanjian kerja baik secara tertulis maupun
secara lisan. Jadi hubungan debitur dan kreditur dalam hal tersebut terjadi berdasarkan adanya
hubungan kerja antara si pailit dengan pekerja/perusahaan milik si pailit.
328 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 317–329

PENUTUP

Kesimpulan

Pekeja sebagai salah satu kreditur yang dijamin oleh undang-undang ketenagakerjaan
dan kepailitan keberadannya apabila terjadi kepailitan terhadap tempatnya bekerja, menerima
hak-haknya berdasarkan statusnya sebagai kreditur istimewa, mengenai hak atas upah yang
belum terbayarkan hingga tempatnya bekerja dinyatakan pailit merupakan utang yang harus
di bayarkan sebelum hak-hak kepada kreditur lainnya terpenuhi/terbayarkan, serta mengenai
hak-hak apabila terjadi pemutusan hubungan kerja akibat kepailitan merupakan hak yang
diterima berdasarkan kedudukan sebagai kreditur preference.

Pekerja pada sebuah perusahaan yang mengalami kepailitan mempunyai hak-hak yang
harus diberikan kepadanya sebagai kreditur, sebagaimana di atur dalam undang-undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, tertera pada pasal 39
ayat (1) dan (2), dan diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4,) serta
mengenai hak-hak yang akan diterima dari akibat kepailitan adalah pada Pasal 162 ayat (1)
jo. 156 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan pasal 165 UU No. 13
tahun 2003. Kepailitan merupakan perkara yang seyogyanya pelaksanaan dan penyelesaian
perkaranya berlangsung cepat, dengan adanya perbedaan yang mengharuskan perkara
kepailitan sebagai kasus keperdataan dan keperdataan secara umumnya berbeda dengan
syarat permohonan pailit oleh debitur maupun kreditur di kuasakan kepada advokat dalam
pengajuan dan permohonannya. Dari posisi kedudukan pekerja pada perusahaan pailit, pekerja
diberikan hak istimewa sebagai kreditor istimewa yang mana pemenuhan haknya merupakan
prioritas pertama apabila didasarkan pada prinsip paripassu pro rata parte yang berarti “bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menurut undang-undang harus di dahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.

Saran

1. Diharapkan adanya peran aktif pemerintah melalui instansi terkait yaitu dinas ketenaga
kerjaan untuk mengadvokasi keseluruhan dari proses pemenuhan hak pekerja sehingga
para bekas pekerja tidak tersita lagi waktunya untuk melakukan tuntutan atas haknya,
dan hanya fokus terhadap pencarian kerja dan melakukan rutinitas atas pekerjaannya
yang baru jika saja telah ada.
2. Diharapkan ada rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan
Industrial dalam melindungi upah hak tenaga kerja sebagai kreditor prefren/didahulukan,
agar tidak tumpang tindih aturannya.
Saija: Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga 329

DAFTAR BACAAN

Buku
Asikin, Zainal, 1991, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta.

H.R. Abdussalam, 2008, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Restu Agung,


Jakarta.

Hartini, Rahayu, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan


Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Kencana, Jakarta.

Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.

Shubhan, M. Hadi, 2009, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana,
Jakarta.

Ugo, Pujiyo, 2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar
Grafika, Jakarta.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan, 2003, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Grafindo,
Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup


Sri Laksmi Anindita

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
PERKEMBANGAN GANTI KERUGIAN DALAM SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP

Sri Laksmi Anindita*

ABSTRAK

Pelestarian atau pengelolaan lingkungan hidup harus didukung dengan penegakan hukum lingkungan
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian
ekosistem secara serasi, selaras dan seimbang guna terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan
generasi masa depan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijaga oleh segenap komponen
negara termasuk hakim dalam bidang yudikatif, karena lingkungan hidup tidak dapat membela haknya
sendiri. Memulihkan keadaan lingkungan rusak yang dipandang sebagai kerugian ke keadaan semula
berdasarkan putusan pengadilan setelah tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak adalah
tujuan ditempuhnya suatu sengketa keperdataan ke Pengadilan. Perkembangan pengajuan nilai ganti
kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai peraturan
pelaksana Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
hal yang menarik perhatian penulis dan menjadi materi yang akan dibahas dalam artikel ini. Hasil
penelitian nomatif menggunakan teori keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan adalah adanya
besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan. Pemahaman para pihak (penggugat,
tergugat dan hakim) terkait konsep perbuatan melawan hukum dan strict liability serta besaran
ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan akan sangat berguna untuk kelestarian lingkungan
hidup Indonesia. Penulis juga memandang sudah saatnya dibentuk suatu peradilan khusus untuk
perkara-perkara lingkungan hidup, mengingat spesifik dan semakin kompleks persoalan lingkungan
hidup yang timbul akibat aktivitas rezim industri dan pembangunan infrastruktur.

Kata kunci: ganti kerugian, perbuatan melawan hukum, strict liability, lingkungan hidup.

LATAR BELAKANG

Pidato Menteri Perindustrian Republik Indonesia pada tanggal 10 Januari 2012


menyatakan target besar bagi Indonesia menjadi negara industri maju pada tahun 2020 dengan
mengoptimalkan seluruh potensi dan kemampuan yang ada guna mendukung dunia industri
nasional yang kuat. Beberapa kelompok industri yang mendapat prioritas pemerintah karena
memiliki daya saing industri pada kurun waktu 2010-2014, yaitu Industri Pertumbuhan

*  Penulis adalah Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungan melalui Email:
sri_laksmi_anindita@yahoo.com

331
332 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Tinggi (otomotif, elektronika dan telematika), Industri Barang Modal (galangan kapal dan
permesinan), Industri Berbasis Sumber Daya Alam (kelapa sawit, kakao, karet, rumput laut,
baja dan alumunium hulu), Industri Padat Karya (tekstil dan produk kerajinan, keramik,
perhiasan dan essential oil), dan Industri Prioritas Khusus (gula, pupuk dan petrokimia).1

Pertumbuhan industri mengakibatkan peningkatan angka eksploitasi sumber daya alam


selaras dengan meningkatnya ancaman penurunan kualitas lingkungan hidup. Ancaman
penurunan kualitas lingkungan hidup tersebut disebabkan antara lain oleh kebutuhan ruang
yang semakin meningkat, kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan
dan limbah industri yang tidak dikelola secara layak.2

Usaha memulihkan keadaan lingkungan yang rusak ke keadaan semula seperti sebelum
terjadi kerusakan dapat dilakukan melalui berbagai sistem hukum, termasuk sistem hukum
perdata. Lingkungan dan sumber daya alam adalah aset yang berharga sehingga setiap
perusak dan/atau pencemar harus membayar ganti kerugian dalam jumlah yang sangat besar
guna mengembalikan keadaan lingkungan yang rusak menjadi seperti semula, disamping
menimbulkan efek jera bagi pelaku perusakan.

Perkembangan pengajuan nilai ganti kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian
Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (PerMen LH No. 13 Tahun 2011)
sebagai peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah hal yang menjadi pokok pembahasan oleh Penulis dalam artikel
ini. Besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan merupakan tujuan ideal yang
selayaknya dapat dicapai dan ditemukan, walaupun makna dari keadilan3 sangatlah bergantung
pada ruang dan waktu ketika penilaian dilakukan. Perkembangan atas pengajuan nilai ganti
kerugian guna kelestarian lingkungan hidup Indonesia saat ini sepenuhnya bersandar pada
pemahaman para pihak (penggugat, tergugat dan hakim) atas konsep perbuatan melawan
hukum dan strict liability.

1  Pidato Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Mohammad S Hidayat pada pertemuan dengan Delegasi India-

Indonesia Chamber of Commerce (INDCHAM), di Jakarta, 10 Januari 2012.


2  Mas Achmad Santosa, 2014, Ringkasan Disertasi Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Dalam Perlindungan

dan Pengelolaan lingkungan Hidup di Indonesia: studi Kasus di Provinsi Jawa Tengah, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Program Pascasarjana, Jakarta, h. 2.
3  Keadilan merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan

seluruh kelompok dalam masyarakat. John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvad University Press,
Cambridge, Massachusetts, h. 103. Keadilan korektif menurut Aristoteles adalah berusaha memberikan ganti kerugian yang
wajar dan memadai kepada korban akibat adanya kesalahan tersebut. Ketidakadilan dapat mengakibatkan terganggunya
kesetaraan yang sudah terbentuk dengan mapan, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Carl
Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, h. 239.
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 333

PEMBAHASAN

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagai Upaya Penegakan Hukum Lingkungan

Wanprestasi dan perbuatan melawan hukum adalah dasar pengajuan gugatan perdata di
pengadilan negeri. Tidak dilaksanakannya suatu perjanjian adalah dasar pengajuan gugatan
wanprestasi sedangkan dasar pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah undang-
undang (hukum tertulis)4 dan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum tidak
tertulis, seperti asas kehati-hatian, ketelitian dan kepatutan.

Manusia sudah mengetahui perbuatan melawan hukum sejak manusia mengenal hukum,
hal ini dapat kita ketahui dari sejarah, yaitu Hukum Kode Hammurabi (Code of Hammurabi)
yang berlaku di masyarakat Babylonia pada tahun 1780 SM.5 Sebagai salah satu hukum tertulis
pertama dunia, kitab hukum Hammurabi menganut Lex Talionis (hukum pembalasan). Kitab
tersebut mengatur mengenai akibat hukum seseorang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum. Budaya kuno Babylonia telah mengenal adanya pertanggungjawaban berdasarkan
adanya unsur kesalahan atau tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum.6
Teori pertanggung jawaban juga dikenal pada hukum Romawi abad kedua sebelum masehi,
termasuk didalamnya doktrin mengenai culpa dalam Lex Aquilia. Ketentuan dalam Lex
Aquilia mencabut dan mengenyampingkan semua peraturan perundang-undangan terdahulu
yang berkaitan dengan perusakan secara melawan hukum atas properti atau hak milik. Lex
Aquilia menentukan bahwa kerugian sebagai akibat kesalahan atau kelalaian seseorang baik
di sengaja maupun tidak disengaja, maka secara hukum harus diberi ganti kerugian.7 Teori
tanggungjawab ini kemudian diadopsi dalam Pasal 1382 Code Civil Perancis tahun 1804
dan menjadi Pasal 1401 Burgelijk Wetboek Belanda kemudian menjadi Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia.8

Menurut Rosa Agustina prinsip barang siapa melakukan perbuatan yang membawa
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
untuk mengganti kerugian tersebut merupakan turunan dari teori corrective justice. Corrective
justice mengajarkan bahwa setiap orang harus melindungi hak-haknya dan harus dipulihkan

4 Undang-undang dalam arti materiil adalah keputusan atau ketetapan penguasa. Sedangkan dalam arti formil, undang-
undang adalah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya. Undang-undang itu bersifat umum karena
mengikat setiap orang yang berada dalam teritorial suatu negara. Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata
Indonesia. Liberty, Yogyakarta, h. 87.
5  Ahmadi Miru, 2013, Hukum Perdata Materiil dan Formil, United States Agency for International Development

(USAID), Jakarta, h. 338.


6  J.G. Fleming, 1977, The Law of Torts, 5th Edition, The Law Book Company, Sydney, h. 7.
7  ibid., h. 8.
8  Amad Sudiro, 2011, Ganti Kerugian dalam Kecelakaan Pesawat Udara; Studi Perbandingan AS-Indonesia, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 36-37.


334 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

keadaannya agar ada keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum yang merupakan
tujuan hukum.9

Konsep perbuatan melawan hukum pada awalnya ditafsirkan secara sempit, yakni hanya
pelanggaran dari pasal-pasal hukum tertulis semata-mata (wettelijkrecht). Perluasan konsep
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) didasarkan pada putusan “Lindenbaum
vs Cohen Arrest”, tanggal 31 Januari 1919. Konsep perbuatan melawan hukum dalam arti
luas berdasarkan putusan tersebut adalah, pertama, melanggar hak subyektif orang lain,
berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Kedua,
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku10; ketiga, bertentangan dengan kaedah
kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan
masyarakat diakui sebagai norma hukum. Keempat, bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian dan kehati-hatian (patiha) yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap
diri dan orang lain.11

Pengertian perbuatan melawan hukum tidak kita temukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
pasal tersebut hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi bila seseorang hendak
menuntut ganti kerugian yang dialaminya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah adanya
perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan,12 ada kerugian dan adanya
hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.13

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan dua pihak atau lebih dari subjek hukum,
baik perorangan atau kelompok orang. Penyebab sengketa ini karena adanya (secara realita
memang ada) atau diduga (baru sebatas dugaan) adanya pencemaran dan atau pengrusakan
lingkungan hidup.14 Perselisihan tersebut timbul karena ada kerugian yang dialami oleh pihak
tertentu, bisa masyarakat, pemerintah maupun sektor swasta.15 Tuntutan dapat berupa tuntutan
ganti rugi, tuntutan pemulihan lingkungan hidup menjadi seperti sediakala, maupun tuntutan
atas hak tertentu atas lingkungan hidup yang dijamin oleh UU No. 32 Tahun 2009 mengenai
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

9  Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 325-329.
10  Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, Alumni, Bandung, h. 253.
11  Rosa Agustina, 2012, et al., Hukum Perikatan ( Law Of Obligations), Pustaka Larasan, Bali, h. 8.
12  Ibid., h. 68. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk

akibat yang merugikan yang terjadi karena perbuatannya yang salah.


13  Mariam Darus Badrulzaman, 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan penjelasan, Alumni, Bandung,

h. 147.
14  Abdurrahman et.al, 2001, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Cet. 1, Program Pascasarjana Fakultas Hukum

UI, Jakarta, h. 553-554.


15  Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2013, Hukum Lingkungan : Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, United

States Agency for International Development (USAID), Jakarta, h. 543.


Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 335

Pertanggungjawaban Perdata

Pengajuan gugatan perdata perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365


KUHPer mengandung prinsip liability based on fault, dimana Penggugat dibebankan untuk
membuktikan kesalahan yang telah dibuat oleh Tergugat. Persyaratan penting yang harus
dipenuhi guna menerapkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah pemenuhan atau pembuktian unsur
kesalahan. Perusak atau Pencemar yang berhasil membuktikan tindakannya tidak melanggar
hukum baik tertulis maupun tidak walaupun telah mengakibatkan kerugian dapat terbebas
dari tanggung jawab mengembalikan kerugian yang ditimbulkannya. Perkembangan industri
seiring dengan semakin meningkatnya resiko pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
menciptakan kesulitan yang tinggi bagi penggugat untuk menerapkan Pasal 163 HIR. Bunyi
Pasal 163 HIR adalah barang siapa yang mendalilkan sesuatu, maka orang tersebut harus
membuktikan dalil tersebut dan barang siapa yang membantah dalil tersebut, yang membantah
itu juga harus membuktikan bantahannya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam penegakan
hukum lingkungan sehubungan dengan tanggung jawab berdasarkan kesalahan mendorong
dikembangkannya teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang muncul dalam
kasus Rylands v Fletcher pada tahun 1868 di Inggris.

Strict Liability

Sebagai negara yang dikelilingi laut, Indonesia harus melindungi lautnya dari tumpahan
minyak kapal, oleh karena itu Indonesia meratifikasi Civil Liability Convention for Oil
Pollution Damage (CLC 1969) melalui Keppres No. 18 Tahun 1978. Menetapkan suatu sistem
kompensasi bagi korban akibat tumpahan minyak di laut dari pemilik kapal (chanelling of
liability) adalah tujuan CLC 1969. Konvensi inilah yang menjadi dasar masuknya strict
liability di Indonesia, penggunaan strict liability kemudian diadopsi dalam undang-undang
Lingkungan Hidup Indonesia tahun 1982.16

Pertanggung jawaban perdata dalam rangka penegakan hukum lingkungan guna


mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat dari pencemaran dan
atau pengrusakan lingkungan ada dua jenis, yaitu: pertama, pertanggungjawaban yang
mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault based liability) sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata. Kedua, pertanggung jawaban mutlak/ketat (strict liability), yaitu suatu
pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan.17

16  Koesnadi Harjasoemantri, 1998, Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the Lokakarya Legal

Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta.h. 1.


17  Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, op.cit., h. 544.
336 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Dalam strict liability, kesalahan tidaklah penting sebagai dasar pertanggungjawaban


karena pada saat peristiwa (kerugian) itu timbul pencemar telah memikul suatu tanggung
jawab. Seseorang yang telah bertindak sangat hati-hati untuk mencegah bahaya atau kerugian
dalam melakukan kegiatannya yang tergolong ultrahazardous (teramat sangat berbahaya)
tetap diwajibkan memikul segala kerugian yang timbul, walaupun dilakukannya tanpa
kesengajaan.18 Disini berlaku doktrin res ipso loquitur (fakta sudah berbicara sendiri - the thing
speaks for it self).19 Pentingnya strict liability menurut LB Curzon adalah, pertama, jaminan
untuk mematuhi peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat; kedua, bukti kesalahan sangat sulit didapatkan atas pelanggaran-pelanggaran
peraturan yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; ketiga, tingkat bahaya sosial
yang tinggi yang timbul dari perbuatan-perbuatan itu.20

Konsep Ganti Kerugian Lingkungan Hidup dan Pemberlakuan Peraturan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia

Keadilan kompensasi (compensatory justice) menyatakan bahwa pelaku usaha yang


melakukan kesalahan/kelalaian dalam kegiatan usahanya sehingga menimbulkan kerugian
pihak lain, mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian
kepada pihak yang menderita kerugian tersebut berlandaskan asas keadilan.21 Tujuan
pembayaran ganti kerugian kepada korban sebagai pihak yang menderita adalah semaksimal
mungkin guna mengembalikan kondisi korban seperti sebelum terjadi kerugian tersebut.22
Keadilan pada hakikatnya adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya.23

Besar kerugian yang harus diganti pastinya tergantung pada besaran nilai kerugian
yang dialami berdasarkan nilai ekonomisnya. Kerugian tersebut bisa dihitung dari hilang
atau berkurangnya sesuatu nilai yang dianggap berharga akibat suatu tindakan tertentu
(dalam tulisan ini lingkungan hidup). Ganti kerugian biasanya diberikan dalam bentuk uang,
maka harus dilihat dan dihitung nilai ekonomi (Total Economic Value/TEV) dari lingkungan
tersebut. D. Pearce dalam Values and The Natural World menyatakan empat pendekatan untuk
menentukan dan melihat TEV dari lingkungan hidup.24 Pertama, Direct Use Value (DUV),

18  Mas Achmad Santosa, dkk, 1998, “Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak di Bidang Lingkungan Hidup”,

dalam UU No. 23 Tahun 1997 dan Permasalahannya, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Jakarta,
h. 123-124.
19  NHT. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, h. 316-317.
20  Ibid., h. 317-318.
21  Joan R. Boatright, 2007, Ethics and The Conduct of Business, 5th Edition, Pearson Education, Upper Saddle River,

h. 18.
22  Manuel G Velazquez, 2002, Business Ethics; Concepts and Cases, 5th Edition, Prentice Hall, Upper Saddle River h. 21.
23  John Rawls, op.cit., h.23.
24  D. Pearce, 1993, Economic and The Natural World, Earthscan, London, h. 16-22.
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 337

nilai suatu sumber daya alam dilihat dari nilai langsung yang dapat diberikan sumber daya
alam tersebut bagi manusia (nilai sebatang pohon dilihat berdasarkan nilainya dari batangnya
yang dapat diproses sebagai perabotan dan peralatan lain). Kedua, Indirect Use Value (IUV),
fungsi dan nilai ekologis dari suatu lingkungan hidup (sebuah pohon memiliki nilai yang
berharga dilihat dari fungsi penyerapan karbon dan pengendali emisi). Ketiga, Option Value
(OV), penilaian berdasarkan pilihan untuk memanfaatkan sumber daya alam sekarang atau
mencadangkannya untuk dimanfaatkan di kemudian hari. Keempat, Existence Value (EV),
penilaian sumber daya alam murni berdasarkan keberadaannya.

Dalam konteks lingkungan hidup dan sumber daya alam secara umum ganti kerugian
meliputi dua aspek penting yaitu biaya yang timbul dari kerusakan keanekaragaman hayati
dan biaya untuk memulihkan kerusakan tersebut.25 Metode penghitungan ganti kerugian
berdasarkan dua aspek diatas terbagi menjadi tiga, yaitu: pertama, Hedonic Price Approach
(HP), metode penghitungan untuk menghitung nilai ekonomi dari lingkungan yang secara
langsung mempengaruhi harga pasar; kedua Contingent Valuation Metodh (CVM), pendekatan
Wiling To Pay, yaitu perhitungan didasarkan pada seberapa besar seseorang mau membayar
untuk mendapatkan sesuatu dan seberapa besar seseorang mau dibayar untuk kehilangan
sesuatu. Kedua pendekatan ini penting untuk menentukan batas minimum dan maksimum
ganti kerugian yang dapat dimintakan pada seseorang;26 ketiga Travel Cost Metodh (TCM),
nilai suatu lingkungan dan sumber daya alam ditampakkan dari beberapa biaya yang akan
dikeluarkan seseorang untuk menikmati aset lingkungan tersebut. Misalnya untuk menikmati
laut, seseorang rela menghabiskan uang untuk transportasi, tiket masuk dan lain-lain. TCM
tidak dapat digunakan untuk menghitung nilai lain yang didapatkan dari seseorang yang
memang tidak menikmati sumber daya lingkungan tersebut.27

Indonesia adalah negara yang menganut prinsip pencemar membayar (poluter pay
priciple), sebagai asas yang dianut dan diterapkan secara konsekwen sebagai salah satu
kebijaksanaan lingkungan dan jalan keluar bagi kasus-kasus pencemaran di negara-negara
maju yang menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development
(OECD). Prinsip tersebut diterapkan dalam Undang-undang lingkungan hidup, mulai dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

25  European Comission Directorate General Environment, Study on Valuation and Restoration of Biodiversity Damage
fot the Purpose of Environmental Liability, Laporan Akhir Annexes, Lymington : ME dan EFTEC, 2011, h. 36.
26  W. Michael Hanemann, “Willingness to Pay and Willingness to Accept: How Much Can They Differ?” dalam The

American Eonomic Review, Vol 81. (Juni, 1991), h. 635.


27  M.R. Andri Gunawan Wibisana, 2008, “Law and Economic Analysis of Precautionary Principle”, Disertasi Doktoral

Maastricht University, Maastricht, h. 71.


338 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Pengaturan tentang ganti kerugian dan biaya pemulihan atas perusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup di Indonesia pertama kali tertuang dalam Pasal 20 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.28 Pasal 20 tersebut mengatur tanggung jawab dari perusak dan atau pencemar
lingkungan untuk membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat selain membayar biaya pemulihan lingkungan
hidup kepada negara.

Dalam rangka melaksanakan UU No. 4 Tahun 1982 Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup melayangkan Surat Edaran Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup (KLH) No. 03/SE/MENKLH/6/1987 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri,
Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian. Surat tersebut berisi kesepakatan
yang diperoleh diantara para pejabat meliputi sistem pelaporan oleh penderita dan anggota
masyarakat. Kesepakatan atas besarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada penderita
setelah diteliti berdasarkan bentuk jenis dan besarnya kerugian. Pembayaran ganti kerugian
kepada penderita tidak membebaskan pencemar dari kewajibannya untuk membayar biaya
pemulihan lingkungan yang telah rusak atau tercemar kepada negara. Biaya pemulihan
dibayarkan kepada negara karena negaralah yang mempunyai kemampuan dengan fasilitas
yang ada padanya untuk melakukan upaya pemulihan yang telah rusak atau tercemar.29

Keberadaan pasal dan undang-undang No. 4 Tahun 1982 digantikan dengan Pasal 34
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup.30 Dalam Pasal
34 UU No. 23 Tahun 1997 dinyatakan bahwa setiap pencemar atau perusak lingkungan hidup
wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu termasuk dwangsom.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009)31 menggantikan
dua undang-undang lingkungan hidup terdahulu. Ganti kerugian diatur dalam Pasal 87 UU
No. 32 Tahun 2009 dan tetap mewajibkan pencemar atau perusak membayar ganti kerugian,
dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Pedoman guna mencapai kesepakatan dalam menentukan pembayaran besaran nilai


ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan tertentu bagi para pihak yang terlibat

28  Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun

1982. LN No. 12 tahun 1982, TLN No. 3215


29  Gatot P. Soemartono, op.cit. h.70.
30  Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997. LN No. 68 tahun

1997, TLN No. 3699.


31  Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009.

LN No. 140 tahun 2009, TLN No. 5059.


Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 339

dalam sengketa lingkungan hidup sangatlah diperlukan, untuk itu Menteri Negara Lingkungan
Hidup membuat Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup (PerMen LH No. 13 Tahun 2011).32 PerMen LH No. 13 Tahun 2011 berisi beberapa
ketentuan yaitu, pertama, konsep valuasi ekonomi lingkungan dan sumber daya alam, kedua,
metode yang tersedia dan pendekatan untuk menghitung nilai ekonomi total lingkungan,
menggunakan metode harga pasar, non-use value, travel cost, hedonic price, benefit transfer,
dan metode contingent valuation. Ketiga, prosedur untuk mengukur nilai ekonomi dari
lingkungan, termasuk persyaratan untuk penilai. Keempat, PerMen ini memberikan gambaran
dan contoh penggunaan valuasi ekonomi sumber daya alam tertentu dalam situs tertentu.33
PerMen mengatur kewajiban bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan untuk
melakukan tindakan tertentu dan/atau membayar ganti kerugian.34

Konsep penghitungan ganti kerugian dalam PerMen LH No. 13 Tahun 2011 yang
mengelompokkan kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjadi
kerugian yang bersifat tetap dan kerugian yang bersifat tidak tetap,35 adalah pemberian nilai
moneter kerugian ekonomi akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Sumber
daya alam menghasilkan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan selain komponen cadangan
yang harus dipertahankan. Penghitungan nilai moneter merupakan nilai ganti kerugian
yang selanjutnya akan menjadi umpan balik bagi pemanfaatan lingkungan hidup. Konsep
penghitungan ganti kerugian yang ditawarkan oleh PerMen LH No. 13 Tahun 2011 sudah
menjadikan lingkungan hidup sebagai subjek bukan hanya sebagai objek belaka sebagaimana
dijelaskan dalam hukum lingkungan modern. Kerugian atas pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup merupakan kerugian yang bersifat tetap, sedangkan kerugian masyarakat
akibat pencemaran da/atau kerusakan adalah kerugian yang bersifat tidak tetap.

Keberadaan PerMen LH No. 13 Tahun 2011 sangatlah membantu penegakan hukum


lingkungan di Indonesia, khususnya dalam hal menguraikan penghitungan ganti kerugian atas
kerugian yang bersifat tetap. Mereka yang merasa haknya dilanggar (penggugat) harus dapat
menguraikan kronologis kejadian sebagai alasan diajukannya gugatan termasuk kerugian yang
dialaminya disertai dasar hukumnya. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

32  Indonesia, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Berita Negara No. 837 Tahun 2011.
33  Andri G. Wibisana, and Thomas A. Dewaranu, Environmental Damage and Liability in Indonesia:Fancy Words

under Conventional Wisdoms, Paper presented at the st Asia-Pasific Research in Sosial Sciences and Humanities, Universitas
Indonesia Conference, The Margo Hotel Depok, November 7-9 2016, h.3.
34  Ibid., Pasal 3
35  Ibid., Pasal 5
340 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Indonesia (MARI) terkait ditolaknya permohonan ganti kerugian karena Penggugat tidak dapat
membuktikan ada dan besarnya kerugian yang dialami adalah, putusan Kasasi dalam perkara
No. 78K/sip/1973 tanggal 22 Agustus 1974 menyatakan, tuntutan pembayaran ganti rugi di
dalam suatu gugatan, pihak penggugat dibebani pembuktian untuk membuktikan adanya dan
besarnya kerugian yang dideritanya secara terperinci dengan alat-alat bukti yang sah, bila
tidak dibuktikan gugatan atau tuntutan demikian harus ditolak.36 Yurisprudensi lain yang
menyatakan bahwa penuntutan ganti kerugian baru dapat dikabulkan apabila si penuntut dapat
membuktikan secara terperinci adanya kerugian dan besarnya ganti rugi adalah Yurisprudensi
MARI No. 459 K/sip/1975 tanggal 18 September 1975,37 Yurisprudensi MARI No. 492K/
sip/1970, tanggal 16 Desember 1970 dan 1720K/Pdt/1986 tanggal 18 Agustus 1977.38

Kesulitan yang dialami instansi lingkungan hidup pusat dan/atau instansi lingkungan
hidup daerah dalam menentukan kerugian lingkungan hidup termasuk penghitungan
besarnya kerugian lingkungan hidup akhirnya dapat diatasi dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian
Lingkungan Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan (PerMen LH No 7 Tahun
2014).39 Keberadaan PerMen LH No. 7 Tahun 2014 mencabut keberlakuan PerMen LH No.
13 Tahun 2011, sejak tanggal 17 Oktober 2014. Pengaturan tentang kerugian yang diatur
dalam PerMenLH No. 7 Tahun 2014 pada dasarnya melengkapi dan menyempurnakan apa
yang telah diatur dalam PerMen sebelumnya, sehingga akan lebih mudah dijadikan rujukan
oleh pencari dan penegak hukum lingkungan.

Perkembangan Penerapan Konsep Ganti Kerugian dalam Gugatan Sengketa


Lingkungan Hidup

Pada awalnya, Penggugat dalam gugatan terkait lingkungan hidup biasanya hanya
meminta ganti kerugian untuk kepentingan manusia sebagai pihak yang dirugikan, lingkungan
hidup digunakan hanya untuk keuntungan manusia tanpa memperhatikan pengembalian
kerugian yang dialami lingkungan hidup itu sendiri akibat kerusakan atau pencemaran yang
terjadi. Dalam gugatan terdahulu, tidak ada satupun ganti kerugian yang ditujukan untuk
pengembalian kelestarian atau pemulihan lingkungan hidup.

Konsep hukum lingkungan klasik dengan metode perhitungan ganti kerugian direct used
value nampak jelas digunakan dalam kasus yang diajukan oleh Aswardi dan Zaini selaku

36 Dalam bagian pertimbangan Putusan Perkara No. 31/Pdt.G/2010/PN. PL.R, tanggal 22 November 2010, h. 90-93.
37 Dalam bagian pertimbangan Putusan Perkara No. 81/Pdt.G/2013/PN. Dpk, tanggal 21 Oktober 2013, h. 12.
38  Dalam bagian pertimbangan Putusan Perkara No. 111/Pdt.G/2013/PN. YK, tanggal 21 Mei 2014, h. 29.
39  Indonesia, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan

Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Berita Negara No. 1726 Tahun 2014.
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 341

Penggugat melawan PT. Cahya Bintan Abadi, PT. S&B Investama, PT Perjuangan, Walikota
Tanjung Pinang Cq. Dinas Sumber Daya Alam Kota Tanjung Pinang, Walikota Tanjung Pinang
Cq. Badan Lingkungan Hidup Kota Tanjung Pinang, Walikota Tanjung Pinang Cq. Dinas
Perhubungan Kota Tanjung Pinang selaku Para Tergugat di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang
dalam perkara No. 26/PDT.G/2009/PN. TPI. Kasus ini diajukan atas dasar perbuatan melawan
hukum yaitu, kegiatan penambangan dan pembangunan pelabuhan bebas yang mengakibatkan
pencemaran air laut dan kematian ikan dan udang (mata pencaharian Penggugat). Ganti
kerugian materil yang dimintakan oleh para nelayan adalah hilangnya penghasilan dari hasil
tangkapan ikan perhari selama satu tahun ditambah kerugian immateril hilangnya kesempatan
berusaha (menangkap ikan) karena rusaknya lingkungan dan pemulihan lingkungan selama
lima tahun.40 Penggugat (perwakilan masyarakat Senggarang nelayan pesisir) dalam gugatan
ini tidak meminta ganti kerugian ataupun tindakan tertentu untuk kepentingan lingkungan
hidup (lingkungan laut), Penggugat hanya meminta ganti kerugian berdasarkan Pasal 87 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2009. Kerusakan lingkungan air laut tidak dimintakan ganti kerugian
ataupun tindakan pemulihan, hal ini menunjukkan bahwa hukum lingkungan klasik masih
dianut oleh Penggugat, lingkungan hidup adalah hak milik dan dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk kepentingan manusia. Majelis Hakim sebelum membuat putusan melakukan
pemeriksaan setempat dan menemukan pemenuhan unsur kesalahan Tergugat sebagaimana
didalilkan Penggugat dalam gugatannya.41 Pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum
yang mengandung fault based liability, dibuktikan dengan pemeriksaan setempat sehingga
majelis hakim dapat memeriksa dan memutus jumlah kerugian yang dialami Penggugat dan
yang harus diganti oleh Tergugat. Putusan atas perkara No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI, tertanggal
28 April 2010 adalah mengabulkan gugatan pengugat dengan menyatakan Tergugat telah
melakukan Perbuatan melawan hukum sehingga harus membayar ganti kerugian baik materil
maupun immateril yang diderita Penggugat.

Gugatan lingkungan hidup yang mulai menganut teori hukum lingkungan modern dapat
kita lihat dalam perkara Mandalawangi. Perkara ini diajukan oleh Dedi, Hayati, Entin, Oded
Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, Mahmud selaku Penggugat melawan Para
Tergugat yaitu, Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat,
Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur Propinsi Jawa Barat, Pemerintah
Republik Indonesia Cq. Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah Tk II Kabupaten Garut

40  Aswardi dan Zaini melawan PT. Cahya Bintan Abadi, PT. S&B Investama, PT Perjuangan, Walikota Tanjung
Pinang, PN Tanjung Pinang perkara No. 26 /PDT.G/2009/PN. TPI, 28 April 2010, h. 14 dan 15.
41  ibid., h. 119-120
342 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Propinsi Jawa Barat Cq. Bupati Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat di Pengadilan Negeri
Bandung yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi dan putusan Kasasi MARI No
1794K/Pdt/2004 tertanggal 22 Januari 2007. Gugatan perbuatan melawan hukum ini diajukan
akibat longsor di Hutan Mandalawangi dan menghancurkan area pemukiman penduduk yang
berjarak sekitar 2-3 km dari titik longsor. Penggugat dalam gugatannya mengajukan ganti
kerugian atas kerugian materil dan immateril serta pemulihan keadaan lingkungan diareal
hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor. Besaran nilai kerugian dihitung
berdasarkan perhitungan yang ditentukan langsung nilai dan harganya yang didasarkan
pada harga pasar terkait kepentingan manusia. Dalam gugatan perkara Mandalawangi ini
sudah timbul rasa kepedulian terhadap lingkungan, yaitu dengan dimintakannya pemulihan
lingkungan di areal Hutan Gunung Mandalawangi kepada Para Tergugat. Majelis hakim
dalam putusannya menyatakan Para Tergugat bertanggung jawab mutlak (strict liability) dan
menghukum Para Tergugat untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan
Gunung Mandalawangi, serta menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian baik
materil maupun immateril kepada Pengugat. Hakim masih menggunakan metode direct used
value dalam penghitungan ganti kerugian materil dan immateril Penggugat. Walaupun dalam
putusan tersebut hakim tidak memberikan besaran yang jelas terhadap kewajiban Para Tergugat
untuk pemulihan lingkungan hidup, namun dari putusan ini pandangan terhadap lingkungan
hidup sebagai objek sudah mulai berubah menjadi subjek. Prinsip pencemar membayar (poluter
pay priciple), sebagai asas yang dianut dan diterapkan secara konsekwen sebagai salah satu
kebijaksanaan lingkungan sudah mulai diterapkan untuk kepentingan lingkungan hidup.

Perkembangan pengajuan besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan


dimana lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang bernilai tinggi sehingga harus dijaga
dan dilestarikan dapat kita lihat temukan dalam gugatan yang diajukan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup Negara Republik Indonesia dalam Perkara Nomor: 109/PK/Pdt/2014 dan
Perkara Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN. MBO.

Dalam gugatannya terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa, PT. Simpang Pesak Indokwarsa,
Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia selaku Penggugat mendalilkan
Tergugat telah merusak lingkungan hidup dengan membuka jalan di hutan dan pembuatan
dermaga. Penggugat dalam menghitung kerugian yang harus diganti oleh pihak Tergugat
menggunakan perhitungan sebagaimana dicantumkan dalam PerMen LH No. 13 Tahun 2011.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam amar Putusan Nomor: 109 PK/Pdt/2014 tertanggal
23 Mei 2004 menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum
Tergugat membayar biaya pemulihan lingkungan hidup sebagaimana telah diuraikan Penggugat
dalam gugatannya. Biaya pemulihan yang harus dibayarkan oleh Tergugat dalam perkara ini
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 343

sangatlah besar, hakim tampaknya mengambil alih atau mengabulkan seluruh perhitungan yang
diajukan oleh Penggugat. Dari perkara ini, dapat dilihat tentang tingginya tingkat kesadaran
dari Penggugat dan Majelis Hakim akan nilai lingkungan hidup.

Semakin tingginya tingkat kesadaran Penggugat dan hakim akan nilai lingkungan hidup
juga dapat dicermati dari Kasus Kallista Alam yang terdaftar dalam register Perkara Nomor: 12/
Pdt.G/2012/PN. MBO. di Pengadilan Negeri Meulaboh, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia selaku Penggugat mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum terhadap PT. Kallista Alam sebagai Tergugat akibat pembukaan
lahan perkebunan milik Tergugat dengan cara pembakaran yang berada dihutan di Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL). Gugatan ini kemudian diperiksa serta diputus oleh Majelis Hakim
pada tanggal 8 Januari 2014 berdasarkan tanggung jawab kesalahan. Keyakinan atas pemenuhan
unsur kesalahan (fault based liability) diperoleh oleh Majelis Hakim melalui sidang setempat.
Meski Majelis Hakim dalam putusan perkara ini tidak menerapkan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability), namun terdapat hal yang menarik untuk dicermati karena hakim juga
mengabulkan semua penghitungan kerugian lingkungan hidup yang diajukan oleh Penggugat
dengan merujuk pada PerMen LH No. 13 Tahun 2011. Penerapan PerMen LH No. 13 Tahun
2011 oleh Penggugat dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang dialami dan besarnya
biaya pemulihan lingkungan hidup yang dibutuhkan agar lahan yang terbakar dapat difungsikan
kembali sebagaimana mestinya ditambah dwangsom adalah titik cerah yang membuktikan
lingkungan hidup adalah sesuatu hal yang sangat berharga di negara ini. Putusan Pengadilan
dalam perkara ini pada intinya memenangkan Penggugat dengan menyatakan Tergugat
telah melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum Tergugat untuk membayar ganti
kerugian materil, melarang Tergugat untuk menanam di lahan gambut yang telah terbakar,
dan memerintah Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan serta dwangsom.

Kebutuhan adanya Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup

Diberbagai media kerap kali diberitakan gambaran tentang kerusakan lingkungan hidup.
Laporan Potret Keadaan Hutan Indonesia yang dirilis pada bulan Juli 2011 lalu, Forest World
Indonesia (FWI) telah melaporkan bahwa Kalimantan Tengah adalah provinsi dengan tingkat
deforestasi terbesar di Indonesia. Setidaknya hutan-hutan di provinsi ini telah hilang sebesar
2 juta hektar pada periode tahun 2000 hingga 2009. Kehilangan hutan ini terjadi di hampir
seluruh tipe ekosistem hutan, termasuk diantaranya 490 ribu hektar hutan yang berada di atas
ekosistem gambut.42 Kerusakan juga terjadi pada hutan mangrove Indonesia akibat alih fungsi,

42  Peraturan Tata Ruang Pulau Kalimantan Berpotensi Memusnahkan 3 Juta Hektar Hutan Kalteng, Bogor, 8 Maret

2012 ,– http://fwi.or.id/publikasi/peraturan-tata-ruang-pulau-kalimantan-berpotensi-memusnahkan-3-juta-hektar-hutan-
kalteng/, diunduh tanggal 4 November 2016
344 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

pembalakan liar dan pembuangan limbah industri adalah yang tercepat dan terbesar di dunia.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Sub Direktorat Reboisasi Kementrian Negara Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Joko Pranomo, yaitu dari 3,7 juta hektar hutan mangrove yang tersisa,
hanya 2,5 juta hektar yang berada dalam kondisi baik padahal luas total hutan mangrove
Indonesia adalah 25% keseluruhan mangrove dunia.43 Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menyatakan total luas hutan atau lahan yang terbakar di Indonesia selama tahun
2015 mencapai 2,1 juta hektare, terbanyak di Pulau Kalimantan dan Sumatra. 40% dari total
lahan dan hutan terbakar atau sekitar 838.000 hektar terletak di Provinsi Sumatra Selatan.44
Luas Propinsi Sumatra Selatan sekitar 8,7 juta hektar, menurut data Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumsel, sekitar 3,7 juta hektar adalah luas hutannya namun kini luas hutan
yang tersisa hanya sekitar 800 ribu hektar. Sementara lahan di Sumsel yang digunakan bagi
pertambangan, perkebunan, dan industri, sekitar 4,9 juta hektar. Yang paling banyak memakan
lahan yakni pertambangan batubara seluas 2,7 juta hektar, perkebunan sawit satu juta hektar,
serta sisanya Hutan Tanaman Industri (HTI), migas, dan lainnya.45

Demi menjaga kelestarian lingkungan yang sehat dan baik maka penerapan poluter pay
principle di Indonesia adalah hal yang tidak dapat ditunda lagi. Harifin A Tumpa menyatakan
perlunya komitmen kuat bagi penegak hukum khususnya lembaga peradilan untuk memberikan
perhatian bagaimana pelanggaran hukum lingkungan baik perdata maupun pidana bisa benar-
benar ditegakkan dengan baik.46 Mahkamah Agung telah memberikan pelatihan khusus hakim
lingkungan guna meningkatkan kemampuan hakim dalam menangani perkara lingkungan,
namun peningkatan kemampuan hakim dalam konteks lingkungan masih dirasakan kurang
dampaknya bagi terciptanya lingkungan hidup yang sehat, baik dan lestari.

Pemulihan kelestarian lingkungan yang telah dirusak akibat alih fungsi, pembalakan liar
ataupun pemcemaran limbah industri melalui mekanisme keperdataan adalah hal terbaik bagi
bangsa Indonesia. Pengajuan gugatan sengketa lingkungan hidup melalui gugatan perbuatan
melawan hukum di pengadilan negeri telah banyak dilakukan, namun tidaklah banyak
menghasilkan putusan yang berkeadilan lingkungan. Kendala yang dihadapi diantaranya
adalah, kesadaran akan kepentingan lingkungan hidup yang sehat, baik dan lestari belum
dimiliki oleh para pihak yang bersengketa bahkan hakim yang memeriksa dan mengadili.

43  Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia, Nasional Tempo.co., Kamis 13 Oktober

2016   https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/13/058811899/laju-kerusakan-hutan-mangrove-di-indonesia-tercepat-
di-dunia, diunduh tanggal 4 November 2016
44  TRENDING TOPIC 2015, Kerusakan Lingkungan Masih Mengkhawatirkan 15 Jan 2016, Femina, http://www.

femina.co.id/article/2015--kerusakan-lingkungan-masih-mengkhawatirkan-, Diunduh tanggal 4 November 2016


45  Ulama Sumsel Serukan Jaga Lingkungan, Pertimbangkan Akhirat , 22 Maret 2014,http://www.mongabay.

co.id/2014/03/22/ulama-sumsel-serukan-jaga-lingkungan-pertimbangkan-akhirat/ diunduh tanggal 4 November 2016


46  MA Siapkan Seratus Hakim Khusus Lingkungan, 10 Agustus 2010, http://pt-bandung.go.id/berita/ma-siapkan-

seratus-hakim-khusus-lingkungan, diunduh tanggal 4 November 2016


Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 345

Jumlah hakim yang memiliki sertifikat lingkungan tidaklah sebanding dengan jumlah
pengadilan negeri yang ada di Indonesia, sehingga adanya hakim yang memiliki kemampuan
dalam konteks lingkungan tidaklah merata. Kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan adalah
hal yang sangat berbahaya tidak hanya untuk kehidupan sekarang akan tetapi juga untuk
kehidupan anak cucu kita. Perkara lingkungan harus ditangani oleh mereka yang memiliki
kemampuan khusus agar putusan yang dihasilkan tidak akan menimbulkan penyesalan
dikemudian hari.

Karakteristik dan spesialisasi sengketa hukum lingkungan harus dapat dipahami dengan
baik oleh semua pihak yang berkepentingan terutama hakim yang memiliki tugas memutus
sengketa diantara para pihak dengan tidak mengesampingkan kepentingan seluruh rakyat
Indonesia. Kemampuan penggugat dalam menguraikan dalil-dalil gugatan dan kerugian yang
timbul guna mendapatkan ganti kerugian untuk kepentingan lingkungan hidup yang sehat,
baik dan lestari harus diimbangi dengan kemampuan Hakim dalam menganalisa dan memutus
suatu sengketa lingkungan.

Pemenuhan unsur kesalahan dalam gugatan perbuatan melawan hukum sebagai syarat utama
agar suatu perkara lingkungan hidup dapat diterima dan dimintakan pertanggungjawabannya
adalah konsekwensi dari diterapkannya fault based liability. Pemenuhan unsur ini sangatlah
sulit bagi penggugat seiring dengan semakin maju dan berkembangnya teknologi.

Terdapat kerumitan khusus dalam pembuktian unsur kesalahan terkait kerusakan atau
pencemaran lingkungan hidup yang sebelumnya terjadi dapat menjadi kendala utama bagi
terwujudnya kepastian hukum dan keadilan.47 Pemeriksaan setempat seringkali menjadi
jawaban terbaik guna pemenuhan unsur kesalahan. keadaan di lapangan yang telah berubah
dapat mengakibatkan tidak ditemukan unsur kesalahan atau unsur kesalahannya karena telah
tertutupi oleh alam. Keadaan ini menyebabkan hakim tidak akan mendapatkan kondisi yang
sama dengan kondisi awal yang menjadi dasar gugatan diajukan. Tingginya kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup mengisyaratkan kebutuhan untuk penerapan tanggung jawab
mutlak (strict liability) seperti dalam kasus Mandalawangi seharusnya diteruskan dalam
rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

47  Contoh Putusan Banding yang diajukan Kementrian Lingkungan Hidup kepada PT. Merbau Pelalawan Lestari

Perkara Nomor : 79/Pdt/2014/PTR, tanggal 17 November 2014 yang menolak Gugatan Penggugat dengan alasan Penggugat
tidak dapat membuktikan adanya kerusakan lingkungan yang dilakukan Tergugat (permohonan pemeriksaan setempat tidak
dikabulkan majelis hakim karena pemeriksaan setempat tidak wajib, hanya bersifat mendukung). h. 27
Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN Plg, tanggal 30 Desember 2015 yang diajukan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia melawan PT. Bumi Mekar Hijau, yang amarnya menolak
Gugatan Penggugat dengan alasan majelis hakim menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya
ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia.
346 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Mengingat potensi kerusakan lingkungan seiring dengan meningkatnya dunia industri


dan pertambahan jumlah penduduk serta masih terbatasnya jumlah hakim bersertifikat
lingkungan yang memahami spesifikasi dan karakteristik lingkungan maka menjadi penting
dibentuknya Pengadilan Khusus Lingkungan. Adanya suatu pengadilan khusus lingkungan
akan memudahkan pencari keadilan khusus lingkungan guna mendapatkan keadilannya.
Pencari keadilan akan mendapat kepastian bahwa kepentingannya ditangani dan diputus oleh
hakim yang memiliki pengetahuan dan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup
yang sehat, baik dan lestari.

PENUTUP

Prinsip pencemar membayar (poluter pay principle), adalah dasar pembentukan hukum
lingkungan di banyak negara termasuk Indonesia. Penerapan poluter pay principle dapat
dilakukan dalam semua bidang hukum (pidana, perdata, internasional ataupun administrasi).
Penegakan prinsip tersebut dalam setiap sengketa lingkungan hidup tentunya berhubungan
dengan teori pertanggungjawaban yang diterapkan. Secara umum ada dua macam teori
pertanggungjawaban keperdataan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (vide
Pasal 1365 KUHPerdata) dan pertanggungjawaban mutlak (strict liability).

Teori pertanggungjawaban ini berkaitan erat dengan upaya memulihkan keadaan


lingkungan yang rusak ke keadaan semula seperti sebelum terjadi kerusakan dengan membayar
ganti kerugian. Besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan dengan menempatkan
lingkungan dan sumber daya alam sebagai suatu aset yang berharga sehingga setiap perusak
dan atau pencemar harus membayar ganti kerugian dalam jumlah yang sangat besar, adalah
sarana guna mengembalikan keadaan lingkungan yang rusak menjadi seperti semula disamping
menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Tuntutan ganti kerugian baru dapat dikabulkan apabila Penggugat dapat merincikan dan
membuktikan kerugian yang dialaminya. Ganti kerugian yang biasa diajukan pada awalnya
hanya sebatas ganti kerugian atas apa yang diderita manusia, namun dalam perkembangannya
selain ganti kerugian atas kerugian yang dialami manusia dimintakan juga pemulihan
lingkungan hidup.

Diperkenalkannya konsep dan analisis penghitungan ganti kerugian akibat pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan yang berkeadilan lingkungan melalui PerMen No. 13 Tahun
2011 adalah tanda keseriusan pemerintah Indonesia untuk melindungi lingkungan hidup
Indonesia. Guna memudahkan penetapan dan penghitungan kerugian yang ditimbulkan
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 347

atau yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pemerintah
mengeluarkan PerMen LH No. 7 Tahun 2014 dan mencabut keberlakuan PerMen LH No.
13 Tahun 2011.

Pengadilan khusus lingkungan harus segera dibentuk agar kelestarian lingkungan hidup
yang baik dan sehat tetap terjaga. Masih sedikitnya hakim yang memiliki pengetahuan dan
keahlian dalam memahami Spesifikasi dan karakteristik hukum lingkungan seiring dengan
kerumitan penyelesaian perkara merupakan harga mutlak untuk segera dibentuk pengadilan
khusus lingkungan. Komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai warisan bagi anak-cucu bangsa menjadi taruhannya. Lingkungan hidup
adalah tanggungjawab semua elemen bangsa oleh karena itu sosialisasi dan promosi terkait
materi hukum lingkungan dan peraturan perundang-undangan terkait, termasuk penyusunan
surat-surat resmi pengadilan yang baik harus semakin digiatkan baik dalam kalangan akademisi
maupun kalangan praktisi.

DAFTAR BACAAN

Buku
Abdurrahman et.al, 2001, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Cet. 1, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum UI, Jakarta.

Agustina, Rosa 2012, et al., Hukum Perikatan ( Law Of Obligations), Pustaka Larasan, Bali.

Agustina, Rosa 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan penjelasan,
Alumni, Bandung.

Boatright,Joan R. 2007, Ethics and The Conduct of Business, 5th Edition, Pearson Education,
Upper Saddle River.

Doelle, Meinhard & Chis Tollefson, 2009, Environmental Law Cases And Materials, Carswell
Thomson Reuters, Ontario.

Fleming, J.G. 1977, The Law of Torts, 5th Edition, The Law Book Company, Sydney.

Friedrich, Carl Joachim. 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung.

Hamzah, Andi 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.


348 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Mas Achmad Santosa, dkk, 1998, “Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak di Bidang
Lingkungan Hidup”, dalam UU No. 23 Tahun 1997 dan Permasalahannya, Proyek
Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta.

Miru, Ahmadi 2013, Hukum Perdata Materiil dan Formil, United States Agency for International
Development (USAID), Jakarta.

Moore, Gary A. et. all, 1987, The Legal Environment of Business, South Western Publishing
Co., Cincinnat.

Pearce, D. 1993, Economic and The Natural World, Earthscan, London.

Rawls, John. 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvad University Press,
Cambridge, Massachusetts.

Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, Alumni.
Bandung.

Siahaan, NHT. 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga.
Jakarta.

Soekanto, Soerjono 1982, Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat, Cet. I, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soemartono, Gatot P. 2004, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Sudiro, Amad 2011, Ganti Kerugian dalam Kecelakaan Pesawat Udara; Studi Perbandingan
AS-Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Syarif, Laode M. dan Andri G. Wibisana, 2013, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus, United States Agency for International Development (USAID), Jakarta.

Velazquez, Manuel G 2002, Business Ethics; Concepts and Cases, 5th Edition, Prentice Hall,
Upper Saddle River.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 4 Tahun 1982. LN No. 12 tahun 1982, TLN No. 3215.

Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997. LN No. 68


tahun 1997, TLN No. 3699.
Anindita: Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup 349

Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun


2009. LN No. 140 tahun 2009, TLN No. 5059.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian
Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Berita Negara No. 837 Tahun
2011.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian
Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Berita
Negara No. 1726 Tahun 2014.

Jurnal
Hanemann,W. Michael “Willingness to Pay and Willingness to Accept: How Much Can They
Differ?”, Vol 81. (Juni, 1991).The American Eonomic Review.

Data Elektronik
Peraturan Tata Ruang Pulau Kalimantan Berpotensi Memusnahkan 3 Juta Hektar Hutan Kalteng,
Bogor, 8 Maret 2012 ,– http://fwi.or.id/publikasi/peraturan-tata-ruang-pulau-kalimantan-
berpotensi-memusnahkan-3-juta-hektar-hutan-kalteng/, diunduh tanggal 4 November
2016.

Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia, Nasional Tempo.co., Kamis 13
Oktober 2016  https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/13/058811899/laju-kerusakan-
hutan-mangrove-di-indonesia-tercepat-di-dunia, diunduh tanggal 4 November 2016.

TRENDING TOPIC 2015, Kerusakan Lingkungan Masih Mengkhawatirkan

15 Jan 2016, Femina, http://www.femina.co.id/article/2015--kerusakan-lingkungan-masih-


mengkhawatirkan-, Diunduh tanggal 4 November 2016.

Ulama Sumsel Serukan Jaga Lingkungan, Pertimbangkan Akhirat , 22 Maret 2014, http://
www.mongabay.co.id/2014/03/22/ulama-sumsel-serukan-jaga-lingkungan-pertimbangkan-
akhirat/diunduh tanggal 4 November 2016.

MA Siapkan Seratus Hakim Khusus Lingkungan, 10 Agustus 2010, http://pt-bandung.go.id/


berita/ma-siapkan-seratus-hakim-khusus-lingkungan, diunduh tanggal 4 November 2016.

Sumber Lain
Wibisana, Andri G. and Thomas A. Dewaranu Environmental Damage and Liability in
Indonesia:Fancy Words under Conventional Wisdoms, Paper presented at the st Asia-Pasific
Research in Sosial Sciences and Humanities, Universitas Indonesia Conference, The Margo
Hotel Depok, November 7-9 2016.
350 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 331–350

Duncan,Linda Compliance and Enforcement of Environmental Law, Sanction and Strategies,


Paper, February 1989.

European Comission Directorate General Environment, Study on Valuation and Restoration of


Biodiversity Damage fot the Purpose of Environmental Liability, Laporan Akhir Annexes,
Lymington: ME dan EFTEC, 2011.

Harjasoemantri, Koesnadi. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the
Lokakarya Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. 1998.

Pidato Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Mohammad S Hidayat pada pertemuan


dengan Delegasi India-Indonesia Chamber of Commerce (INDCHAM), di Jakarta, 10
Januari 2012.

Santosa, Mas Achmad. 2014. Ringkasan Disertasi Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi
Dalam Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup di Indonesia: studi Kasus di
Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pascasarjana.
Jakarta.

Wibisana,M.R. Andri Gunawan 2008, “Law and Economic Analysis of Precautionary Principle”,
Disertasi Doktoral Maastricht University, Maastricht.

Putusan Pengadilan
Dedi, Hayati, Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, Mahmud selaku
Penggugat melawan Para Tergugat yaitu, Direksi Perum Perhutani, Pemerintah Daerah Tk. I
Propinsi Jawa Barat, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Tk II Kabupaten
Garut Propinsi Jawa Barat, MARI No 1794K/Pdt/2004 tertanggal 22 Januari 2007.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia melawan PT. Selatnasik Indokwarsa
dan PT. Simpang Pesar Indokwarsa, MARI No. 109 PK/Pdt/2014, 23 Mei 2004.

Kementrian Lingkungan Hidup melawan PT. Merbau Pelalawan Lestari, PT. Riau No. 79/
Pdt/2014/PTR, 17 November 2014.

Aswardi dan Zaini melawan PT. Cahya Bintan Abadi, PT. S&B Investama, PT Perjuangan,
Walikota Tanjung Pinang, PN Tanjung Pinang No. 26/PDT.G/2009/PN. TPI, 28 April
2010.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia melawan PT. Kallista Alam Perkara di
PN Meulaboh No. 12/Pdt.G/2012/PN. MBO, 8 Januari 2014.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia melawan PT. Bumi Mekar
Hijau, di PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN Plg, 30 Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai