Anda di halaman 1dari 20

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER


ADHAPER
Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2017

Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2017

ISSN. 2442-9090
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

ADHAPER Vol. 3, No.


Vol. 1, 2,
No.Juli
1, – Desember 2015
Januari-Juni 2017

• Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali

ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER
DAFTAR ISI

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau


Sumatera Barat
Ali Amran...................................................................................................................... 175–189
2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan di Bawah Umur
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari........... 191–203
3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand................................................... 205–226
4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan
Hidup
Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti............................................................................ 227–243
5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu
Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan............................................................ 245–260
6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan
Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama
Moh. Ali........................................................................................................................ 261–275
7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan
Ninis Nugraheni............................................................................................................ 277–293
8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum
Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan
terhadap Kreditor
R. Kartikasari................................................................................................................ 295–316
9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada
Perusahaan Pailit
Ronald Saija.................................................................................................................. 317–329
10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sri Laksmi Anindita...................................................................................................... 331–350

Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah


ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,
Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di
sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.

v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

Redaksi,
MENAKAR ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN
BIAYA RINGAN DALAM PENGAJUAN GUGATAN KUMULASI
(SAMENVOEGING VAN VORDERING) DI PENGADILAN AGAMA

Moh. Ali*

ABSTRAK

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan acapkali menjadi batu uji dalam pelaksanaan
setiap pengajuan gugatan terutama in casu gugatan perceraian (baik cerai talak maupun cerai
gugat) dengan gugatan pembagian harta bersama. Landasan dapat diajukannya gugatan kumulatif
adalah Pasal 66 ayat (5) untuk Permohonan Talak dan untuk Gugat Cerai Pasal 86 ayat (1) UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Praktiknya peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan kontradiksi dengan kenyataan. Akumulasi gugatan juga timbul sejumlah persoalan antara
lain; kepentingan suami/isteri yang menginginkan untuk segera mengesahkan perkawinan barunya,
gugatan harta bersama merupakan assesoir terhadap gugatan perceraian sehingga jika acapkali
gugatan harta bersama tidak puas maka gugatan perceraiannya juga tidak bisa inkracht dan
masuknya pihak ketiga dalam perkara kebendaan dipandang memperumit pemeriksaannya. Dari
perspektif hakim terdapat perbedaan antara lain; hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah
atau kepentingan mendesak salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya, cara
pemeriksaan perkara perceraian berbeda dengan sengketa kebendaan in casu harta bersama sehingga
tidak dapat disatukan, hakim justru menilai aturannya sebagai dasar kebolehan memeriksa perkara
harta bersama setelah putusan perceraian sehingga gugatannya ditolak. Saran penulis bahwa hakim
tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia dalam undang-undang,
kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/pemohon karena gugatan kumulasi
bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan kumulasi diterima, hakim seyogyanya
tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan pembuktian secara seimbang berdasarkan
asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.

Kata kunci: asas sederhana, cepat dan biaya ringan, kumulasi gugatan,

LATAR BELAKANG

Salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia adalah perkawinan. Perkawinan
merupakan wujud dan sarana menyatukan dua manusia berbeda jenis untuk membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian

*  Penulis adalah Dosen Pengajar Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Peradilan Agama pada Fakultas Hukum
Universitas Jember, dapat dihubungi melalui email: alfa_elkarim@yahoo.com.

261
262 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

definisi perkawinan ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 (UUP) yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Makna
perkawinan menurut UUP ini menampakkan nilai yang amat sakral, berbeda dengan BW
yang memaknai perkawinan dalam perspektif hubungan keperdataan belaka. Kesakralan ini
semakin diperkuat dalam ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan
bahwa Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.2 Selanjutnya ketentuan Pasal 3 KHI menegaskan hubungan perkawinan yang bersifat
rokhani yaitu Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.3

Perkawinan yang selama ini dinilai sangat sakral ternyata dalam realitanya banyak
pasangan suami isteri yang dilanda kegoncangan dan prahara dalam kehidupan rumah
tangganya. Sehingga acapkali tidak mampu mempertahankan kaharmonisannya sampai di
ujung hayatnya. Banyak faktor dan musabab yang melingkupinya sehingga muncul gugatan
perceraian, baik inisiatif gugatan itu berasal dari isteri yang disebut sebagai Cerai Gugat
maupun yang berasal dari prakarsa suami yang disebut sebagai Cerai Talak.4

Perceraian merupakan emergency exit pasangan yang tidak dapat lagi disatukan. Meskipun
dalam hadist disebutkan bahwa “perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci oleh
Allah”, namun dalam tataran praksis tidak ada yang bisa menjamin suatu perkawinan bisa
abadi selamanya. Kadangkala setiap orang tidak dapat diikat hanya dengan satu perkawinan.
Jika memang sudah tidak dapat dipertahankan perkawinan boleh diputuskan tanpa menunggu
adanya hal yang darurat. Karena perkawinan adalah masalah hati dua manusia yang suatu
waktu dan kapan saja bisa muncul adanya ketidaksesuaian dan ketidakcocokan. Mungkin
sebelum menikah cocok tapi akibat perjalanan waktu bisa menjadi tidak cocok lagi dengan
berbagai sebab dan latar belakang yang melingkupinya.5

Pasangan yang akan melakukan perceraian tidak sembarang cara boleh dilakukan sebab
Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

1  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3019.
2  Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
3  Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
4  Talak merupakan hak suami. Kata talak berasal dari kata’ Ithlaq’ artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam

pengertian syara’ talak berarti melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Periksa Abd. Rahman Ghazaly,
2006, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 192.
5  Zulkarnain Lubis, Paradigma Makna Perceraian https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/

paradigma-makna-perceraian-oleh-drs-zulkarnain-lubis-m-h-11-7 diakses pada tanggal 20 Agustus 2017.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 263

depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.6 Ketentuan ini senafas dengan Pasal 115 KHI yang
menyatakan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.7
Sedangkan Pasal 113 KHI menyatakan bahwa Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian,
b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Selanjutnya Pasal 114 KHI menyatakan bahwa
“putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”.

Timbulnya gugatan perceraian acapkali tidak semata-mata pada persoalan pemutusan


status hubungan perkawinan yang dimohonkan di depan pengadilan (agama), namun juga
diikuti oleh permintaan atau permohonan pihak yang mengajukan baik itu Penggugat (isteri)
maupu Pemohon (suami) untuk secara bersama-sama dalam satu kesempatan mengajukan
tuntutan pembagian harta bersama termasuk tidak terbatas pada tuntutan yang menjadi ikutan
atas terjadinya peristiwa putusnya perkawinan anta ra lain misalnya tentang perwalian anak,
hadlanah atau nafkah pemeliharaan anak, nafkah terhutang, nafkah iddah, uang muth’ah dan
lain sebagainya.

Seringkali gugatan dengan tuntutan demikian disebut sebagai gugatan kumulasi (obyektif)
dimana Penggugat atau Pemohon dapat mengajukan tuntutan lebih dari satu tuntutan dengan
tujuan efisiensi untuk mengurangi biaya, menghemat waktu dan mewujudkan asas peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta bertujuan untuk menghindari putusan yang saling
bertentangan jika memang gugatan tersebut nantinya diajukan secara terpisah.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas yang secara tegas diatur
dalam Undang-undang dan mewajibkan hakim untuk memeriksa perkara dengan harapan
memenuhi rasa keadilan justiabel dalam mendapatkan putusan. Upaya mewujudkan asas ini
merupakan kewajiban pengadilan (termasuk hakim) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58
ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa pengadilan membantu
para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi segala kendala demi tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, namun persolan kumulasi gugatan
menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya, sebab di satu sisi kumulasi gugatan bertujuan
untuk menghemat waktu dan biaya, tetapi di sisi lain kumulasi gugatan yang menggabungkan
tuntutan perceraian dengan pembagian harta bersama acapkali justru dipandang sebagai batu
sandungan untuk mempercepat pemeriksaan perkara, karena membutuhkan pembuktian dan

6  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


7  Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
264 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

pemeriksaan yang kompleks dan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu kajian tulisan
ini adalah menakar sejauh mana asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ini dapat
diterapkan dalam kumulasi gugatan perceraian yang digabungkan dengan pembagian harta
bersama dan tuntutan lainnya.

PEMBAHASAN

Kumulasi Gugatan Perceraian Dengan Harta Bersama

Kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering merupakan penggabungan beberapa


tuntutan hukum ke dalam satu gugatan atau penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke
dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu.8

Adapun bentuk-bentuk kumulasi baku dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kumulasi Subyektif
Kumulasi subyektif merupakan penggabungan beberapa subyek hukum, bisa terjadi
seorang penggugat mengajukan gugatan kepada beberapa orang tergugat atau sebaliknya
beberapa orang penggugat mengajukan gugatan kepada seorang tergugat, dengan syarat
antara subjek hukum yang digabungkan itu ada koneksitas.9 Keikutsertaan atau campur
tangan pihak lain dalam suatu perkara dapat terjadi dalam bentuk lain yang disebut dengan
interventie dan vrijwaring. Ada dua bentuk interventie yakni menyertai (voeging) dan
menengahi (tussenkomst).
b. Kumulasi Obyektif.
Yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam suatu perkara sekaligus. Penggugat dalam
mengajukan gugatan ke pengadilan tidak hanya mengajukan satu tuntutan saja tetapi
disertai dengan tuntutan lain yang sebenarnya dapat diajukan secara tersendiri terpisah
dari gugatan yang diajukan.10

Penggabungan gugatan cerai dan harta bersama dibolehkan dengan syarat harus ada
koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui apakah ada koneksitas atau tidak dapat dilihat
dari sudut kenyataan atau fakta. Apabila ada koneksitas, penggabungan itu akan mempermudah
jalannya acara persidangan, hal ini dapat menghindarkan keputusan yang saling bertentangan
dan dapat menghemat biaya dan tenaga serta waktu.

8  M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 102.
9  Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta, h 27.
10  Sudikno Mertokusumo, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h 42.
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 265

Ada beberapa syarat koneksitas yang harus dipenuhi antara lain:

a. Gugatan yang digabungkan tunduk kepada hukum acara yang berbeda.


Apabila gugatan-gugatan itu tunduk kepada hukum acara yang berbeda, maka gugatan
tersebut tidak dapat digabungkan, misalnya dalam perkara pembatalan merk tidak bisa
digabung dengan perkara perbuatan melawan hukum, karena perkara pembatalan merk
tunduk kepada hukum acara yang diatur dalam undang-undang merk yang tidak mengenal
upaya banding, sementara perkara perbuatan melawan hukum tunduk kepada hukum
acara biasa yang mengenal upaya banding. Dengan adanya ketertundukan pada hukum
acara yang berbeda, maka antara keduanya tidak boleh dilakukan kumulasi.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk kepada kompetensi absolut yang berbeda.
Gugatan-gugatan yang dikumulasikan harus merupakan kewenangan absolut satu badan
peradilan sehingga tidak boleh digabungkan antara beberapa gugatan yang menjadi
kewenangan absolut badan peradilan yang berbeda.
c. Selain dua larangan di atas, terdapat satu larangan lagi yaitu tidak boleh mengajukan
kumulasi gugat dalam hal pemilik obyek sengketanya berbeda.
Apabila ada beberapa tanah dengan pemilik yang berbeda-beda, mereka tidak dapat
mengajukan gugatan bersama-sama terhadap seorang tergugat. Penggabungan gugatan
demikian tidak diperbolehkan baik secara subyektif maupun secara obyektif.
d. Selain syarat koneksitas, maka pihak yang berperkara adalah pihak yang sama.
Penggabungan gugat hanya diperkenankan dalam batas batas tertentu, yaitu apabila
penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para tergugat adalah pihak yang
sama.11

Tujuan diterapkannya komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan


menghindarkan putusan yang saling bertentangan.12 Penyederhanaan proses ini tidak lain
bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.13

Ketentuan yang mendasari gugatan kumulasi diatur dalam Pasal 66 ayat (5) UU Nomor
7 Tahun 1989 yang mengatur gugatan percerian oleh isteri. Pasal tersebut menyatakan bahwa
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan.14 Sedangkan ketentuan dalam sub bab cerai talak juga mengatur kumulasi gugatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat (1) yang menyatakan bahwa Gugatan soal

11  Retnowulan Sutantio, Et. Al., 1989, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal 4.
12  Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, h 29.
13  Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h 104.
14  UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
266 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.15

Penjelasan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan bahwa


hal tersebut demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Sederhana yaitu pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara efisien dan efektif. Biaya ringan maksudnya biaya perkara dapat terpikul oleh rakyat.
Cepat dalam artian dapat dilakukan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal,
dan dipertimbangan serta diputus dalam satu putusan, namun tidak mengorbankan ketelitian
dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Ada beberapa pertimbangan pengajuan gugatan kumulasi selain persoalan efisiensi


pemeriksaan perkara yaitu adanya kekhawatiran dari pihak isteri ketika terdapat pengajuan
permohonan talak dari suami di mana suami terlihat lebih dominan dalam penguasaan harta
bersama, sementara isteri pada saat terjadinya konflik rumah tangga kadangkala tidak berada
dalam satu rumah melainkan berada di rumah lain atau berada di rumah orang tuanya karena
sudah terjadi pisah ranjang antara keduanya. Pengajuan kumulasi gugatan yang walaupun tidak
diajukan oleh suami dalam permohonan talak juga dapat dilakukan isteri selaku termohon
dalam bentuk gugatan rekonpensi dimana posisi isteri adalah sebagai penggugat rekonpensi.
Segi madaratnya maka dapat terhindar dari penguasaan harta yang lebih dominan pada laki-
laki ketika terjadi perceraian.

Pembuat Undang-Undang memang bermaksud untuk memelihara dan menjaga


kepentingan wanita dengan adanya Pasal tersebut, karena bila wanita yang mengajukan gugat
cerai atau sang suami memohon cerai talak, maka biasanya penguasaan harta bersama yang
lebih dominan adalah laki-laki. Artinya dalam perceraian wanita yang banyak dirugikan, karena
itulah diantisipasi dangan dibukanya kumulasi (penggabungan) gugatan harta bersama dengan
gugatan perceraian atau gugat balik tersebut.16 Selain itu gugatan kumulasi juga diajukan
dengan mempertimbangkan untuk mencapai putusan yang utuh, padu dan bersesuaian dan
menghindari putusan yang saling bertentangan.

Persoalan penggabungan gugatan juga dianut dalam Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972,


tanggal 13 Desember 1972 yang pada pokoknya menyatakan bahwa menurut Jurisprudensi,
dimungkinkan penggabungan gugatan gugatan jika antara gugatan gugatan itu terdapat

15 
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Linda Azizah, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Al-A’dalah, Institut Agama Islam Raden
16 

Intan Lampung, h 419.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 267

hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak dalam bentuk perkara yang satu (No. 53/1972.G)
dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang lainnya (No. 521/1971.G); Dua perkara
yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi, masing masing tunduk pada Hukum Acara
yang berbeda, tidak boleh digabungkan seperti: Perkara atas dasar Undang-Undang No. 21
tahun 1961 dengan perkara atas dasar Pasal 1365 BW.

Yurispudensi yang lainnya yaitu Putusan MA-RI No. 880.K/Sip/1973, tanggal 6 Mei
1975 mengatur tentang pemeriksaan perkara penggabungan gugatan sebagai berikut: bahwa
oleh Hakim pertama ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan
diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No. 10/1968/Mkl. Ketiga gugatan
itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan
itu tidak diatur dalam RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan
proses dan menghindarkan kemungkinan putusan putusan yang saling bertentangan, maka
penggabungan itu memang ditinjau dari segi acara (processuel doelmatig).

Namun ada yurisprudensi yang justru melarang adanya penggabungan gugatan seperti
pada Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 20 Desember 1972, dengan bunyi sebagai
berikut: “Suatu perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak
dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum,
sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain. Misalnya gugatan perdata umum
digabungkan dengan gugatan perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH dan tuntutan ganti
rugi digabungkan dengan perkara mengenai hak atas Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-
ketentuan tentang HAKI.” Bahwa ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya,
sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan itu tidak diatur dalam RBg (juga
HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan
kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang
ditinjau dari segi acara (processuel doelmatig).

Asas Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan mampu menjawab
kebutuhan pencari keadilan yang lemah secara ekonomi. “Asas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, mengandung makna peradilan harus membuka ruang lebar bagi acces
to justice terutama bagi yang lemah secara ekonomi dan rentan secara sosial politik. Untuk
itu, pengadilan dituntut untuk membantu pencari keadilan mendapat perlakuan yang adil.17

17  Artidjo Alkostar, Independensi dan Akuntabilitas. Makalah disampaikan dalam pemerkuatan pemahaman Hak

Asasi Manusia untuk hakim seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial-PUSHAM UII dan Norwegian
Center For Human Rights. 20-31 Mei 2012, h. 1.
268 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

Contradictio Interminis Asas Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Dalam tataran praktis penggabungan gugatan perceraian dengan harta bersama acapakali
justru menjadi batu sandungan dalam penerapan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Perkara perkara perceraian yang penyelesaiannya bertahun-tahun bukan disebabkan
karena buruknya kinerja hakim dalam menangani kasus perceraian, tetapi lebih karena aturan
Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama. Pasal 86 ayat (1) tersebut membuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan harta bersama yang dikumulasikan dengan perkara
gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie). Biasanya para pihak
memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali adalah yang
menyangkut harta bersama, dengan demikian masalah perceraian terbawa rendong oleh Pasal
yang yang membolehkannya, sehingga penyelesaian perceraian menjadi lama mengikut upaya
hukum yang digunakan oleh pihak yang tidak puas atas pembagian harta bersama tersebut.,18
selain itu penggabungan gugatan justru dianggap tidak sesuai dengan asas sederhana, cepat
dan biaya ringan. Perceraian dan harta bersama dikumulasikan dalam satu gugatan proses
penyelesaianya memakan waktu lama, berlarut-larut, dan biayanya pun semakin banyak,
sehingga perkara utama dalam hal ini perkara perceraian akan membutuhkan penyelasaian
yang sangat lama.

Beberapa alasan kumulasi gugatan ini justru dianggap terlalu lama dan menimbulkan
banyak permasalahan dalam praktik acaranya (hukum acara) antara lain karena:

1. Gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 68 ayat (2)/80 ayat (2) UU
No, 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sedangkan perkara
kebendaan (harta bersama) dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum.
2. Pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan syiqaq memerlukan
kesaksian keluarga atau orang dekat dengan kedua pihak (Pasal 76 ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 tahun 2006), sementara kesaksian
yang demikian untuk pembuktian harta bersama bertentangan dengan Pasal 145 HIR/172
RBg.
3. Jika dalam proses perkara diputus dengan verstek (tergugat tidak pernah hadir, dan
telah dipanggil dengan cara sah dan patut), lalu diberitahukan bukan kepada pribadi/
in person tetapi melalui Lurah/Kepala desa, maka perhitungan kesempatan untuk
mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukun tetap (BHT) berbeda

18  Marjohan Syam , http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PASAL%2086%20AYAT%201. Diakses tanggal 27

Agustus 2017.
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 269

antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama. Sedangkan perceraian terhitung
sejak Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UU No. 7 tahun
1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 thn 2006), yaitu 14 (empat belas) hari untuk
mengajukan verzet (perlawanan) masih terbuka ketika akan melakukan eksekusi yaitu
sampai hari ke-8 (delapan) setelah anmaning/peneguran.
4. Kemungkinan terjadi penggunaan hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali
dalam perkara gugatan perceraian oleh pihak lainnya, hanya karena ketidakpuasan atas
putusan tentang harta bersama sehingga persoalan utama yaitu perceraian akan ikut
berlarut pula penyelesainnya.
5. Meskipun persoalan harta bersama tidak menjadi soal, namun kadangkala ditemukan
ketidakpuasan salah satu pihak untuk tidak mau menerima putusan perceraiannya karena
adanya itikad tidak baik untuk menunda-nunda perceraian demi menghalangi kepentingan
pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan menikah lagi dan lain sebagainya.
6. Berdasarkan praktik selama ini pandangan para hakim terbelah menjadi dua, satu sisi
mengabulkan dan satu menolak kumulasi gugatan. Pasal 86 ayat 1 Undang Undang Nomor
7 Tahun 1989 ditafsirkan secara ekstensif. Penafsiran eksensif adalah metode interpretasi
yang membuat penafsiran melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.19
Pertama dapat berarti “boleh” dan kedua, dapat berarti “tidak boleh”. Berdasarkan
pengertian yang pertama, hakim kadangkala untuk mencegah berlarut-larutnya perkara
dan berdasarkan pemeriksaan dipandang bahwa perkawinan kedua pihak tidak dapat
dipertahankan, hakim menempuh ijtihad berdasarkan kepentingan mudlarat salah satu
pihak yang akan segera melangsungkan perkawinan (memenuhi hajat. Dalam hal ini
hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah atau kepentingan mendesak salah satu pihak
untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya. Berdasarkan pengertian yang kedua,
alasan majelis hakim tidak menerima kumulasi gugatan, sebab justru penyelesaianya akan
memakan waktu lama dan berlarut-larut sehingga bertentangan dengan asas peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
7. Penyelesaian kumulasi yang berakibat berlarut-larutnya perkara, menimbulkan dampak
sosial antara lain terjadinya nikah di bawah tangan. Hal ini terjadi karena para pihak
tidak dapat segera melangsungkan perkawinan secara sah akibat harus menunggu putusan
gugatan harta bersama yang dibarengkan dengan gugatan perceraiannya. Perkawinan di
bawah tangan sebelum adanya putusan cerai ini mengakibatkan terjadinya poligami liar
yang memunculkan problem sosial baru, atau lebih buruk adalah apabila perkawinan

19  Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta,
h. 281.
270 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

di bawah tangan ini dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang berarti telah terjadi
poliandri sebab secara hukum masih terikat oleh perkawian dengan suaminya yang lama.
Banyaknya dampak sosial negatif yang terjadi akibat lamanya penyelesaian perkara cerai
yang diputus bersamaan dengan gugatan lain, maka penyelesaian kumulasi gugatan justru
tidak sejalan dengan filosofi diadakannya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan.

Jalan Tengah Mewujudkan Peradilan Yang Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Munculnya kontradiksi penggunaan kumulasi gugatan sebagai tujuan awal untuk


mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, maka untuk memberikan jalan
tengahnya ada beberapa peluang alternatif bagi hakim maupun para pihak yang mengajukan
agar memperhatikan beberapa segi antara lain:

1. Hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2)
RBG, atau didasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
tidak jelas, melainkan wajib untuk memeriksa setiap gugatan yang diajukan kepadanya,
apalagi masalah kumulasi gugatan ini jelas jelas ada hukum yang mengaturnya.
Namun sebagai jalan tengahnya hakim harus memutuskan searif mungkin dengan
mempertimbangkan tujuan Hukum Islam yaitu “Mendatangkan kemaslahatan dan
menolak kemudhorotan”. Hakim mempertimbangkan asas maslahah dan melihat fakta-
fakta persidangan serta situasi dan masalah yang dihadapi oleh para pihak berperkara
sebelum memutuskan atau menolak pengajuan gugatan yang di dalamnya terdapat
kumulasi gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama.
2. Hakim dapat mempedomani hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Makasar
Tahun 2007. Melalui komisi yang membidangi peradilan agama telah merumuskan
beberapa kesepakatan untuk mencari solusi atas berlarut larutnya pemeriksaan kumulasi
gugatan. Huruf A angka 2 menyatakan “Untuk menghindari berlarut larutnya proses
penyelesaian perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu dikomulasikan
dengan harta bersama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka pada harta bersama tersebut dapat diletakkan
sita”.20

20  Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia, Makassar, 2007, h 3-4
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 271

3. Apabila suami isteri setuju bercerai namun salah satu pihak tidak sepakat dengan porsi
pembagian harta bersama, maka hal ini dapat menghambat proses perceraian. Dalam
kondisi demikian gugatan harta bersama sebaiknya diajukan setelah putusan perceraiannya
selesai/inkracht.
4. Sebaiknya pembagian harta bersama disepakati bersama sama terlebih dahulu, sehingga
persoalan utama hanya persoalan perceraian. Hasil perdamaian pembagian harta bersama
dapat ditingkatkan ke dalam bentuk notariil sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat
sempurna. Atau Jika ada kesepakatan antara suami isteri mengenai pembagian harta
bersama, maka gugatan sebaiknya diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian tetapi
para pihak sepakat tidak melakukan upaya hukum apapun terhadap putusan pengadilan
agama.
5. Untuk melindungi kepentingan isteri, gugatan perceraian dapat diajukan penyitaan (Sita
Marital atau Sita Matrimonial) hanya sebagai perlindungan dan penyelamatan terhadap
harta bersama. Sebab umumnya kekuasaan suami atas harta bersama sangat luas,
sehingga hukum positif memberikan perlindungan hukum yang berupa peletakan sita
jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan pihak suami melakukan kecurangan,
misalnya mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud
ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang didapat pihak yang melakukan
kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Dengan adanya penyitaan
terhadap harta bersama, baik penggugat atau tergugat (suami/isteri) tidak diperbolehkan
memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.21
Sita marital ini diatur jelas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Pasal 78 huruf c menyatakan hakim dapat menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri
atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Peratutan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 24 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa
hakim dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Selain itu Pasal 95 KHI menyatakan:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

21  Yahya Harahap, Op. Cit, h 369.


272 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

(2) Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan
keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
KHI Pasal 136 ayat (2) huruf b hakim menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Sehingga dengan demikian Sita marital ini merupakan alternatif bagi masyarakat pencari
keadilan yang upaya hukumnya perlu ditempuh secara khusus dengan harapan proses
perceraian antara suami isteri dapat berjalan dengan baik tanpa merugikan kedua belah
pihak.
6. Para pihak dapat membuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian kawin. Perjanjian
perkawinan menjadi penting dilakukan untuk menghindari kepemilikan harta oleh
suami secara absolut, menghindari perselisihan harta di masa mendatang, dan mencegah
ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.

Pada awalnya dasar berlakunya perjanjian kawin diatur dalam ketentuan Pasal 29
UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangsung perjanjian
perkawinan tersebut tdak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Ketentuan tersebut telah diuji konstitusionalitasnya melalui putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor Nomor 69/PUU-XIII/2015. Putusan MK terkait dengan ekstensifikasi
waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Putusan ini memberikan politik hukum baru dan
implikasi positf terhadap pelaku perkawinan yang pada awal pernikahan belum memiliki
perjanjian perkawinan. Dengan tidak melihat kewarganegaraan pelaku perkawinan, perjanjian
perkawinan dapat dilangsungkan kapanpun. Dengan demikian pasangan suami istri yang
belum memiliki perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan dapat melakukan
perjanjian perkawinan pada saat perkawinan telah dilaksanakan.22

Adapun tujuan dari dibuatnya perjanjian kawin adalah sebagai berikut:23

a) Apabila harta kekayaan salah satu pihak (suami atau istri) lebih besar dibanding harta
kekayaan pihak lainnya.
b) Kedua pihak (suami dan istri) membawa masuk harta yang cukup besar ke dalam harta
perkawinan.

22  Oly Viana Agustne, “Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-

Xiii/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan”, Volume 6, Nomor 1, April 2017, Jurnal Hukum Rechtsvinding,
Badan Pembinaan Hukum Nasional,.
23  R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1988, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga

University Press, Surabaya, h. 58.


Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 273

c) Masing-masing memiliki usaha sendiri, sehingga apabila salah satu jatuhangkrut (pailit)
maka yang lain tdak ikut pailit.
d) Terhadap hutan yang dibuat sebelum perkawinan, masing-masing akan menanggung
hutangnya sendiri.

PENUTUP

Kesimpulan

Kumulasi gugatan (obyektif) yang menggabungkan gugatan perceraian dengan tuntutan


pembagian harta bersama dan atau tuntutan lainnya bagaikan pedang bermata dua. Satu sisi
penggabungan itu seakan membuat gugatan menjadi efektif dan efisien, menghemat waktu dan
biaya serta menghindari putusan yang saling bertentangan. Hal ini dianggap selaras dengan
berlakunya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Faktanya penggabungan gugatan justru menimbulkan bias atas berlakunya asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam banyak kasus, kumulasi gugatan nyata membutuhkan
waktu yang berlarut-larut dan dengan sendirinya akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Dalam kasus perceraian meskipun kedua pihak tidak keberatan atas putusnya perkawinan tetapi
di sisi yang lain justru muncul persoalan ketidaksefahaman soal pembagian harta bersama.
Sehingga putusan perceraian yang meskipun telah dijatuhkan tetapi tidak dapat dieksekusi
seketika karena masih ada upaya hukum terhadap pembagian harta bersama. Persoalan
prosedur pemeriksaan juga tidak simpel, perkara perceraian yang bersifat tertutup dengan
tuntutan pembagian harta bersama yang bersifat terbuka. Begitu juga soal saksi-saksi terutama
persoalan syiqaq mewajibkan dihadirkannya saksi saksi dari kerabat terdekat, namun tidak
dapat berlaku untuk pemeriksaan perkara pembagian harta bersama. Hal ini menunjukkan
kontradiksi kumulasi gugatan yang semula bertujuan mewujudkan peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan menjadi pemeriksaan perkara yang berlarut dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.

Saran

Bahwa hakim tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia
dalam undang-undang, kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/
pemohon karena gugatan kumulasi bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan
kumulasi diterima, hakim seyogyanya tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan
pembuktian secara seimbang berdasarkan asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat
dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap
pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.
274 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 261–275

DAFTAR BACAAN

Ghazaly, Abd. Rahman, 2006, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Harahap, M. Yahya , 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Manan, Abdul, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada
Media, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Prawirohamidjojo, Soetojo, 1988, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di


Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya

Sutantio, Retnowulan, et. al., 1989, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung. 1989.

Soepomo, 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan:
HIR

RBg

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam.

Jurnal
Viana Agustne, Oly “Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/Puu-Xiii/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan”, Volume 6,
Nomor 1, April 2017, Jurnal Hukum Rechtsvinding, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Ali: Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan 275

Sumber Lain
Alkostar, Artidjo Independensi dan Akuntabilitas, Makalah disampaikan dalam pemerkuatan
pemahaman Hak Asasi Manusia untuk hakim seluruh Indonesia yang diselenggarakan
oleh Komisi Yudisial-PUSHAM UII dan Norwegian Center For Human Rights. 20-31
Mei 2012.

Azizah, Linda, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Al-A’dalah, Institut Agama
Islam Raden Intan Lampung.

Mahkamah Agung Republik Indonesia Rapat Kerja Nasional, Makassar, 2007.

Marjohan Syam, http://www.badilag.net. Diakses tanggal 27 Agustus 2017.

Erlan Naofal, Perkembangan Alasan Perceraian Dan Akibat Perceraian Menurut Hukum Islam
dan Hukum Belanda, http://www.pta-medan.go.id/attachments/133_Document1.pdf diakses
tanggal 27 Juli 2017.

Anda mungkin juga menyukai