Anda di halaman 1dari 2

Maafkan Aku, Ayah

Publikasi 11/10/2002 08:13 WIB


eramuslim - Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya.
Bukan karena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebih karena
pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hari minggu, ia seharian penuh
berada di rumah dan mengajakku bermain. Namun meski sekali, aku merasa sangat
senang dengan keberadaanya.
Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidak lebih dari
sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untuk keperluan sekolahku dan adik-
adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yang mempunyai seorang pria dewasa yang
membela mereka saat berseteru dengan teman mainnya, atau setidaknya merangkul
menenangkan ketika kalah berkelahi, aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di
rumah itu sibuk dengan semua pekerjaannya.
Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali ia mengajariku
berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukan pria ini lagi sehari, dua
hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnya berada di rumahku. Rambutnya sudah
memutih, berdirinya tak lagi tegak, ia tak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya,
langkahnya pun mulai goyah dan lambat. Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan
kerasnya perjuangan hidup yang telah dilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau
menyelingi sakit yang sering dideritanya.
Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambil menyusuiku ia
memperkenalkan pria ini setiap hari, “nak, ini ayah …” meski aku pun belum begitu
mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justru yang pertama kali menyambutku
ketika pertama kalinya aku melihat dunia. Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar,
menemani ibu hingga saat persalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar
dengan lembut menerobos kedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku
tetap mengenali suara panggilan Allah itu hingga kini.
Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untuk mencurahkan
kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuh sejak dinginnya shubuh
masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidur hingga malam yang larut ketika
akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yang harus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya
tak akan mengenalnya, tak akan lebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka,
tak akan menghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskan
perintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukan semua demi
aku, anaknya.
Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapun ia tetap tersenyum dan tak pernah
menolak saat aku mengajaknya bermain dan terus bermain. Ia tak pernah menghiraukan
penat, peluh dan lelahnya sepulang kerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak
mengeluh harus bangun berkali-kali dimalam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar
menggantikan popok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terus
selama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasa kantuknya.
Kusadari kini, semua dilakukannya untukku. Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia
harapkan balasannya.
Seperti halnya ibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untuk
bekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah seperti diceritakan ibu,
uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu dan makanan terbaik agar aku
tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengan kecupan
hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika aku terlelap. Meski
tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namun sedetik keberadaanmu
telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yang tegar, tidak cengeng dan mandiri.
Kerut diwajahmu, memberi aku contoh bagaimana menghadapi kenyataan hidup yang
penuh tantangan.
Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta dan
pengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbanan itu
sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meski kasih sayang yang
kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.
Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu dan punggungmu
yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal. Ingin aku bisikkan
kepadamu, “Aku mencintaimu …” Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Anda mungkin juga menyukai