Anda di halaman 1dari 147

BAB I

PERSPEKTIF GENDER DAN HAM DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

KOMUNITAS

Pelayanan kebidanan komunitas merupakan pelayanan yang diberikan oleh bidan secara

komprehensif dalam memberikan asuhan komunitas kepada keluarga dan masyarakat di wilayah binaan

yang telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat. Dalam praktiknya, seorang bidan

komunitas selalu dihadapkan dengan permasalahan yang tidak terlepas dari gender maupun hak asasi

manusia.

Permasalahan gender dalam masyarakat acapkali dibicarakan terkait dengan kesenjangan gender

maupun kesetaraan gender dan masih menjadi salah satu topik yang menarik untuk didiskusikan.

Sebagai seorang bidan yang memiliki kewenangan dalam peningkatan kesejahteraan dalam bidang

kesehatan di masyarakat, diharapkan memiliki pemahaman yang baik sehingga dapat menyikapi

berbagai isu tersebut dengan bijaksana.

A. Perspektif Gender Dalam Pelayanan Kebidanan Komunitas

1. Pengertian Konsep Gender

Konsep gender adalah hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya

tidak tetap, berubah-ubah serta dapat dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat dan

budaya setempat dari satu jenis kelamin kepada jenis kelamin lainnya. Konsep gender juga

termasuk karakteristik atau ciri-ciri laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh keluarga

dan atau masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dan interpretasi agama. Misalnya, secara

umum, pekerjaan memasak, mengurus anak, mencuci selalu disebutkan hanya sebagai

pekerjaan perempuan. Pandangan seperti ini merupakan ciptaan masyarakat dari budaya

tertentu, padahal pekerjaan tersebut dapat juga dipertukarkan dengan laki-laki atau dapat

dikerjakan oleh laki-laki. Namun pandangan ini bisa saja berbeda dari satu budaya dengan

budaya yang lain.  Karakteristik atau ciri-ciri ini menciptakan pembedaan antara laki-laki dan

perempuan yang disebut pembedaan gender. Ini sering mengakibatkan peran sosial yang

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Peran ini dipelajari dan berubah-ubah dari waktu ke

waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain. Peran sosial atau yang sering disebut peran gender

ini berpengaruh terhadap pola relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang sering disebut

sebagai relasi gender.


Konsep gender ini sering disamakan dengan konseps seks atau jenis kelamin. Gender dan

seks dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Artinya jika

berbicara mengenai gender tidak terlepas dari jenis kelamin. Namun kedua konsep ini sangat

berbeda makna dan pengertiannya. Konsep jenis kelamin adalah kenyataan secara biologis

yang membedakan antara manusia dimana lebih diidentikkan dengan perbedaan tubuh laki-

laki dan perempuan.

Untuk lebih jelas perbedaan gender dan jenis kelamin adalah sebagai berikut:

No Gender Jenis Kelamin


1. Menyangkut pembedaan peran, fungsi, Menyangkut perbedaan organ biologis

dan tanggungjawab laki-laki dan laki-laki dan perempuan, khususnya

perempuan sebagai hasil kesepakatan pada bagian-bagian alat reproduksi.

atau hasil bentukan masyarakat


2. Peran sosial dapat berubah:Peran istri Peran reproduksi tidak dapat berubah:

sebagai ibu rumah tangga dapat berubah Sekali menjadi perempuan dan

menjadi pencari nafkah, disamping mempunyai rahim, maka selamanya

menjadi istri juga akan menjadi perempuan dan

sebaliknya.
3. Peran sosial dapat dipertukarkan: Untuk Peran reproduksi tidak dapat

saat-saat tertentu, bisa saja suami tidak dipertukarkan: tidak mungkin laki-laki

memiliki pekerjaan sehingga tinggal di melahirkan dan perempuan membuahi.

rumah mengurus rumah tangga,

sementara istri bertukar peran untuk

bekerja mencari nafkah bahkan sampai ke

luar negeri.
4. Peran sosial bergantung pada masa dan Peran reproduksi kesehatan berlaku

keadaan sepanjang masa


5. Peran sosial bergantung pada budaya Peran reproduksi kesehatan berlaku di

masyarakat tertentu. mana saja.


6. Peran sosial berbeda antara satu Peran reproduksi kesehatan berlaku bagi

kelas/strata sosial dengan strata lainnya. semua kelas/strata sosial.


7. Peran sosial bukan kodrat Tuhan tetapi Peran reproduksi berasal dari Tuhan

buatan manusia atau kodrat.


Mengacu pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada

laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya

bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki

dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat terjadi

dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan tersebut bisa terjadi

dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat

perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu maupun kelas.

Masih dalam buku yang sama, Mansour Faqih mengungkapkan bahwa sejarah perbedaan

gender terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan Gender terbentuk oleh banyak

hal yang disosialisasikan, diajarkan, yang kemudian diperkuat dengan mengkonstruksinya

baik secara sosial maupun kultural. Melalui proses panjang tersebut pada akhirnya diyakini

sebagai sesuatu yang kodrati baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, hal ini kemudian

direfleksikan sebagai sesuatu yang dianggap alami dan menjadi identitas gender yang baku.

Identitas gender adalah definisi seseorang tentang dirinya, sebagai laki-laki atau perempuan,

yang merupakan interaksi kompleks antara kondisi biologis dan berbagai karakteristik perilaku

yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasi.

Pengertian gender yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasarudin

Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi

perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa social.

Lebih lanjut Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai

sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin.

Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan.

Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan

emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat.

Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat

ia lebih agresif dan lebih obyektif.

Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan

biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa

gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur

biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender dalam ilmu

sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial

masing-masing.

Menurut para ahli lainnya seperti Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-

harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).
H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan

sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai

akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap

bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan

perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine

or feminim is a component of gender). Elaine Showalter menegaskan bahwa gender lebih dari

sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya.

Dari pengertian gender menurut para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gender

adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada

diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat

manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang

dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas

dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi

yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan.

2. Konsep Kesetaraan dan keadilan gender

Beberapa bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat antara lain sebagai

berikut:

A. Sterotype

Bentuk ketidakadilan gender sebenarnya berpangkal dari satu sumber kekeliruan yang

sama, yaitu sterotype gender laki-laki dan perempuan. Sterotype itu sendiri berarti

pemberian citra baku atau label cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan

pada suatu anggapan yang salah.

B. Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang di

lakukan oleh satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyrakat atau negara

terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan

laki-laki. Perempuan di anggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian

diwujudkan dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan

sebagainya sedangkan perempuan dianggap sebaliknya.

C. Beban ganda (double burden)


Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelanin lebih

banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali

dianggap peran yang statis dan permanen. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan

jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik yang tidak diiringi dengan

berkurangnya beban mereka di wilayah domestik.

D. Marjinalisasi

Artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang

mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan

seorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.

Misalnya dengan anggapan bahwa perempuanberfungsi sebagai pencari nafkah tambahan,

maka ketika mereka bekerja di luar rumah seringkali dinilai dengan anggapan tersebut

E. Subordinasi

Subordinasi artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang di lakukan

oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang

berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-

laki dan perempuan. Perempuan di anggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam

urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau domestik.

Dari kasus yang saya ambil yaitu kasus seorang nenek yang bernama Asyani dari

Sutobondo yang tidak mendapatkan keadilan dalam hukum di Indonesia karena

mengambil tujuh batang kayu milik perum perhutani. Dalam kasus tersebut sudah

menjelaskan bahwa membiarkan seorang perempuan tua dalam penjara selama itu dari sisi

kemanusiaan tentu sulit untuk di terima.di mata hukum islam, semua orang memiliki

kedudukan yang setara, muslim atau non muslim pria atau wanita, kaya atau miskin,

berkedudukan tinggi atau rakyat biasa. Jadi, dalam kasus tersebut menganggap bahwa

semua tidak setara karena menganggap wanita terlalu lemah menanggapi kasus tersebut.

Kesetaraan gender tidak harus di pandang sebagai hak dan kewajiban yang sama

persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Malu rasanya apabila perempuan berteriak

mengenai isu kesetaraan gender apabila kita artikan segala sesuatunya harus mutlak

sama dengan laki-laki. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika

harus menanggung berat yang biasa di tanggung oleh laki-laki.

3. Teori Gender
Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-

teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan

permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-

teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori

antropologi, sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli,

terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan

ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.

a. Teori Bonnie G. Smith

Teori gender merupakan maskulinitas dan femininitas sebagai serangkaian

karakteristik yang diciptakan bersama yang membentuk kehidupan pria dan wanita.

Pengertian ini bertentangan dengan ide-ide maskulinitas dan femininitas yang berarti laki-

laki dan perempuan secara biologis.

Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak

perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan

perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah

terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley

selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai

perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226). Karena keradikalannya, teori ini

mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari

kalangan feminis sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Maskulin adalah sifat-sifat

yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria.

Bagi sebagian orang, gagasan "sejarah gender" merupakan istilah lain untuk sejarah

perempuan, tetapi bagi yang lain teori gender mengubah cara mereka memaknai

pengertian dan konsep tentang laki-laki dan perempuan. Sampai batas tertentu dapat

dihipotesiskan bahwa perubahan besar yang dibawa oleh teori g ender adalah bahwa hal

itu mempersulit studi tentang laki-laki, yang menjadikan perempuan sebagai subyek

sejarah gender.

b. Teori Gender Berdasarkan Sumber-Sumber Filosofis Dan Antropologi

Antropologi menghasilkan beberapa teori berpengaruh dalam istilah "gender" ketika

mulai membahas "peran gender." Latar belakang konsep ini terletak pada penelitian

pasca-Perang Dunia I. Margaret Mead, yang paling menonjol, menggambarkan


masyarakat non-Barat di mana laki-laki melakukan tugas-tugas yang oleh orang Barat

disebut "feminim" dan sebaliknya. Mead menggambarkan banyak variasi dalam tugas-

tugas pria dan wanita dalam peran seksualnya (seperti Coming of Age di Samoa; 1928).

Bagi para ilmuwan menilai kembali perilaku yang tampaknya tetap antara pria dan wanita

dan untuk melihat stereotip sebagai pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki .

Sumber lain teori gender adalah filosofis dan sastra. "Sesuatu bukan dilahirkan,

sesuatu yang menjadikan seorang wanita," menurut para filsuf dan novelis Prancis Simone

de Beauvoir dalam bukunya tahun 1949, The Second Sex. Deskripsi yang padat dan

panjang tentang "pembentukan" kewanitaan ini membahas teori-teori Marxis, Freudian,

sastra, dan antropologis, menurut Beauvoir, merupakan penentuan perilaku perempuan.

Dalam pandangannya wanita, berbeda dengan pria, bertindak sesuai dengan pandangan

pria tentang mereka dan tidak sesuai dengan mereka sendiri. Analisis ini didasarkan pada

filsafat fenomenologis dan eksistensial yang menggambarkan perkembangan subjek

individu atau dalam diri, hubungannya dengan suatu objek atau lainnya. Dengan

demikian, sebagaimana Beauvoir mengekstrapolasi dari teori ini, bagaimana seorang pria

membentuk subjektivitasnya dalam hubungannya dengan "wanita" sebagai objek lain,

pergantian identitas diri sendiri dengan menciptakan gambar seseorang atau sesuatu yang

bukan dirinya. Alih-alih membangun diri secara paralel bahwa wanita menerima pria

sebagai identitas mereka. Dengan pandangan ini, feminitas seperti yang dijalani

kebanyakan wanita itu adalah identitas yang tidak autentik yang ditentukan bukan sebagai

kondisi alamiah, tetapi sebagai hasil dari pilihan yang salah arah. Wawasan ini memiliki

implikasi luas untuk peluang masa depan, terutama dalam menyarankan aspek peran atau

sifat kewanitaan seseorang.

Ekstrapolasi kedua dari eksistensialisme dalam buku berjudul The Second Sex,

memang menyentuh peran biologis perempuan sebagai reproduksi. Bagi para

eksistensialis, menjalani kehidupan yang sebenarnya mengharuskan keluar dari dunia

biologi dan bertindak dalam dunia kontingensi. Dari kepercayaan ini, Beauvoir

mengemukakan bahwa perempuan juga menjalani kehidupan yang tidak sebenarnya

sejauh mereka melakukan pengajaran dengan anak dan membesarkan mereka. Mereka

harus mencari kebebasan dan keaslian melalui tindakan bermakna yang tidak

berhubungan dengan biologis. Penegasan bahwa perempuan dapat melarikan diri dari
takdir biologis untuk memalsukan keberadaan selain dari keluarga juga membuka jalan

menuju teori gender.

Lévi-Strauss mengembangkan teori-teori ini dalam The Elementary Structures of

Kinship (1949), di mana ia mengambil kekerabatan, sebagai kategori pengorganisasian

mendasar dari semua masyarakat, didasarkan pada pertukaran perempuan. Antropologi

Amerika Gayle Rubin menguraikan Lévi-Strauss dalam "The Traffic in Women" (1975),

sebuah artikel yang mengembangkan teori gender lebih lanjut. Mengutip kekurangan

Marxis dan Freudian dalam memikirkan perempuan dan laki-laki. Rubin pada dasarnya

menggarisbawahi karakter hierarkis dari hubungan antara laki-laki dan perempuan

sebagai unsur dari apa yang diperoleh para antropolog dan sosiolog yang disebut gender:

"Subordinasi perempuan dapat dilihat sebagai produk dari hubungan di mana seks dan

gender diatur dan diproduksi. "Poin kedua Rubin diekstrapolasi dari Levi-Strauss

mengatakan bahwa hal yang tabu dan paling penting dalam semua masyarakat adalah

kesamaan laki-laki dan perempuan. "Keharusan" perbedaan seksual inilah yang

menjadikan "semua bentuk nyata jenis kelamin dan gender," yang dengan demikian

"merupakan pembagian jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial." Ini memaksakan

perbedaan seksual. "Pada tahun 1980, frasa" konstruksi sosial gender "sudah biasa di

kalangan antropolog, sosiolog, dan beberapa psikolog. Mengutip buku teks 1978:

"Menurut teoretis kami adalah bahwa gender adalah konstruksi sosial, dimana dua 'jenis

kelamin' adalah cara yang digunakan secara sosial dan diterima bersama yang digunakan

untuk membangun peran dan tanggung jawab sesuai realitas".

c. Pengaruh Dari Psikchoanalisis, Perancangan Feminisme, Dan Teori Menurut

Foucault

Artikel Rubin mengarahkan para cendekiawan ke psikoanalisis, dan bagi sebagian

orang, konsep-konsep yang diambil dari psikoanalisis juga berkontribusi pada teori gender,

menghasilkan sejarah yang terbatas pada tahun 1990-an. Rubin melihat momen Oedipal,

sebagaimana ditunjukkan pertama kali oleh Sigmund Freud, sebagai momen ketika norma

sosial tentang perbedaan seksual pada setiap jiwa. Artikelnya mempublikasikan psikoanalis

Perancis Jacques Lacan, yang tulisannya menyatukan wawasan Lévi-Strauss dengan

Freudianism yang diperbarui. Rubin mengakui bahwa Freud, Levi-Strauss, dan Lacan dapat

dilihat sebagai advokat psikologi gender dalam masyarakat, namun dia juga menghargai

mereka dan mendesak para ilmuwan untuk menghargai mereka untuk deskripsi yang
mereka berikan tentang perbedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan

sebagai psikososial.

Publikasi Freud antara tahun 1899 dan 1939 menyentuh pertanyaan tentang seksualitas

perempuan dan pembentukan identitas. Formulasinya pada jenis kelamin wanita dengan

melihat perkembangan psikoseksual sesuai dengan wanita namun perilaku seperti pria.

Keistimewaan seperti halnya anak lelaki dan perempuan memahami "kekurangannya" dan

sebagai suatu devaluasi feminitas. Ini mendorong untuk menghargai kelebihan laki-laki

dengan memberikan dukungan semangat kepada seorang pria (pertama ayahnya dan

kemudian suaminya) sebagai bagian dari pengembangan feminitas normatif, heteroseksual

dalam perkawinan dan peran sebagai ibu bukan karier sebagai tujuan. Sebaliknya anak laki-

laki menjadi takut pada ayah mereka dengan menekan rasa cintayang normal dari anak-

anak mereka dan membangun ego dan rasa moral berdasarkan pada identifikasi pencapaian

maskulinitas. Namun, pada anak laki-laki dan perempuan, ada banyak jalan menuju

identitas orang dewasa berdasarkan sejumlah cara menafsirkan biologi dan imago orangtua.

Dengan demikian, dalam dua hal, Freudianisme menjadi unsur penting teori gender:

1) Ia mengemukakan sebuah identitas yang, meskipun terkait dengan biologi, tetap

bergantung pada imajinasi biologi dalam hubungannya dengan identitas orang tua

2) Membebaskan laki-laki dan perempuan dari determinisme biologis.

3) Freud selanjutnya melihat identitas psikoseksual berkembang secara relasional.

Artinya, kekuatan budaya dalam hubungannya dengan kurangnya mutilasi kelamin

wanita.

4) Relativitas dari maskulin dan feminin ini menginformasikan teori gender.

Lacanianisme menambahkan pada teori gender rasa lebih lanjut tentang sifat terjalin

dari maskulinitas dan feminitas, dimulai dengan identitas yang didasarkan pada imago ibu

dan terfragmentasi karenanya. Kedua, menyoroti kekuatan maskulinitas yang sepenuhnya

sewenang-wenang. Ketiga, sifat fantasi diri gender dan memang semua identitas dan

dorongan manusia menerima penekanan yang menjadi penting bagi beberapa praktisi

sejarah gender.

Kemudian dikenal sebagai "feminisme Prancis," ahli teori Prancis berasal dari teori

Lacanian, strukturalis, dan wawasan lainnya untuk merumuskan posisi yang berkontribusi

pada teori gender. Bagi para teoretikus ini, seperti Luce Irigaray, universalisme maskulin

benar-benar menghalangi subjektivitas feminin. Berdasarkan teori Simone de Beauvoir


disebutkan bahwatidak ada hubungan dengan wanita, tetapi lebih merupakan satu versi

maskulinitas lagi pada proyeksi diri pria. Wanita itu adalah diri yang terpecah-pecah, tidak

menyatu, dan terfragmentasi. Hasil dari penulisan sejarah sosial adalah kompendia yang

memungkinkan Michelle Perrot's Une histoire des femmes est-elle mungkin.

Filsuf Perancis Michel Foucault menentang interpretasi standar kekuatan sosial dan

politik sebagai kekuatan yang berasal dari satu sumber. Dalam History of Sexuality (1977)

yang terkenal itu, Foucault menyatakan bahwa berbicara tentang seks atau berperilaku

dengan cara yang sangat seksual bukan dengan sendirinya merupakan tindakan pembebasan

melainkan artikulasi aturan sosial tentang seks dan dengan demikian partisipasi dalam

kekuasaan dan hukum. Foucault melihat di negara modern sebagai implikasi yang semakin

tidak terlihat dari orang-orang dalam pelaksanaan kekuasaan biopower dalam kegiatan

dokter, pendeta, pejabat pemerintah, dan reformis biasa. Mengecilkan atau bahkan

menghilangkan pengertian tradisional tentang hak pilihan manusia, karya Foucault

sebenarnya sesuai dengan beberapa teori yang ada dalam sejarah sosial pada tahun 1970-an,

khususnya cabang yang menyelidiki perilaku orang-orang yang bertentangan dengan

subjektivitas mereka.

Hubungan antara pria dan wanita dengan demikian dalam menghasilkan bentuk-bentuk

baru gender dan politik gender. Bagi Kent masalah yang muncul dari perang adalah

bagaimana merekonstruksi hubungan gender. Setelah laki-laki meninggal selama empat

tahun, sementara wanita pada dasarnya menjalani kehidupan yang sangat berbeda,

membayangkan perang. Bergantung pada apakah mereka berada di garis depan atau tinggal

di rumah, perempuan memiliki pandangan yang berbeda tentang tentara dan dengan

demikian hubungan gender pada masa damai. Mereka yang tetap tinggal di rumah secara

implisit atau eksplisit melihat tentara sebagai pembunuh, dan kaum feminis di antara

mereka mendukung wilayah yang terpisah setelah perang. Beberapa wanita yang benar-

benar melihat prajurit yang cacat, histeris, dan infantil memiliki pandangan yang lebih

simpatik terhadap laki-laki dan hubungan di antara mereka. Dengan demikian, perang

memperumit gender, dengan para seksolog dan pakar sosial lainnya memainkan peran besar

dalam "menciptakan perdamaian”.

Merekonstruksi Gender di Perancis Pascaperang pada tahun 1917–1927 (1994)

menunjukkan cara di mana memperjuangkan perilaku dan karakteristik perempuan yang

memungkinkan masyarakat secara keseluruhan untuk mengatasi rasa sakit luar biasa yang
diderita oleh orang Prancis dalam Perang Dunia I, sedangkan tanggung jawab untuk perang

dan kehilangan yang tak tertahankan tidak. Jadi alih-alih peradaban diancam oleh perang,

peradaban justru diancam oleh hilangnya tradisi feminitas. Orang-orang yang mengikuti

paradigma ini dalam teori gender menunjukkan catatan mereka tentang masyarakat secara

jelas terhadap sejarah budaya, meskipun sejarah sosial sering membentuk latar belakang

yang tak terucapkan.

Aspek sejarah sosial yang berfokus pada gerakan sosial dan protes dipengaruhi dalam

berbagai cara oleh perubahan-perubahan ini. Protes dan kerusuhan modern berawal datang

untuk mengahapus perbedaan gender, menghasilkan perempuan dan laki-laki sebagai aktor

sosial. Revolusi Perancis (terutama dalam karya Joan Landes dan Lynn Hunt) dipandang

sebagai pemetaan hubungan keluarga dan fantasi ke lanskap politik. Pernyataan baru yang

mengatakan bahwa “Perempuan dan Perlawanan Yunani, 1941–1964 (1996) oleh Jane Hart

melihat gender identitas nasional dalam gerakan sosial juga”. Karya Atina Grossman dan

Donna Karsch melihat pembangunan agen sosial dalam protes gender yang berpusat pada

aborsi, pengendalian kelahiran, dan hak-hak sosial lainnya. Frekuensi Feminin Kate Lacey:

Jenis Kelamin, Radio Jerman, dan Ruang Publik, 1923–1945 (1996) mengeksplorasi

hubungan antara teknologi, ruang publik, dan perilaku sosial perempuan.

Satu aliran teori gender telah mencoba untuk membedakan antara gender dan jenis

kelamin, dan ini bertepatan dengan minat pada seksualitas dan tubuh sebagai komponen

gender dan sejarah sosial. Beberapa sejarah seksualitas dan tubuh telah menggunakan

bidang-bidang ini untuk menunjukkan pertumbuhan birokrasi seputar seks dan gender.

Otoritas dan Seksualitas, James Farr dalam Early Modern Burgundy (1995)

menggambarkan kriminalisasi berbagai jenis perilaku seksual sebagai tindakan negara

patriarki yang menciptakan dan mempertahankan tatanan gender dan kekuatannya sendiri.

Sebuah pendampingan penting untuk teori gender adalah studi tentang maskulinitas

sebagai kuantitas yang dibangun secara sosial, dan tidak dialami. Pembukaan teori gender,

dan khususnya yang berkaitan dengan maskulinitas, memungkinkan terobosan dalam studi

fasisme dan Nazisme. Totalitarianisme kemudian dipahami sebagai seperangkat praktik dan

kebijakan gender yang beroperasi pada tingkat tertinggi dan memengaruhi kehidupan

sehari-hari di masyarakat. Pada tahun 2000 berbagai maskulinitas telah dipetakan.

Teori gender telah digunakan untuk mempertanyakan praktik-praktik dasar sejarah itu

sendiri. Dikombinasikan dengan sejarah sosial, teori gender yang diterapkan pada
historiografi dan filosofi sejarah mempertimbangkan kembali obyektifitas dan standar

profesi yang telah berkembang sejak abad ke-19. Dengan menggunakan garis argumen

psikoanalitik dan antropologis, teori gender melihat praktik sejarah dengan cara yang

paralel dengan studi sains dari sudut pandang sosial dan dengan demikian menemukan

celah dalam sejarah sosial. Dengan kata lain, ia mengeksplorasi nilai-nilai profesi dengan

menyelidiki praktik sebenarnya. Praktik-praktik ini menilai orang yang bukan berkulit putih

lebih rendah dalam hal berpikir secara objektif dan rasional dan menempatkan perempuan

dalam kategori yang sama. Profesi modernisasi sejarah, sebagai lembaga sosial, juga

menurunkan perempuan untuk melakukan banyak pekerjaan yang tidak diakui, bahkan

sampai pada tingkat penulisan sejarah bagi laki-laki yang kemudian mendapat pujian.

Dengan praktik-praktik ini, profesi ini digender, menjadikan laki-laki sebagai kategori

profesional dan perempuan yang unggul sebagai yang lebih rendah dari penyalin, pencatat,

dan kadang-kadang pembaca karya pria. Teori gender juga memungkinkan untuk

memahami secara subjek materi tentang laki-laki yang ditampilkan secara hierarki dari

laki-laki ke perempuan yang telah ditetapkan. Karena laki-laki itu penting, sejarah laki-laki

itu sendiri lebih "signifikan" daripada sejarah perempuan, yang sudah ditetapkan sebagai

tidak penting dalam hierarki gender. Seiring dengan obyektifitas dan kesetaraan

kesempatan dalam profesi muncul bias gender konstitutif. Teori gender juga

memungkinkan pembacaan mengapa sejarah sosial dipandang kurang penting daripada

sejarah politik, dan analisis hierarki di antara para sarjana.

Teori gender hanya menarik bagi sebagian kecil sejarawan. Banyak sejarawan sosial

juga menemukan nilai yang kecil, sehingga sejarah gerakan sosial, pekerjaan, perilaku

keagamaan, kejahatan, pendidikan, kematian, profesi, kelompok etnis, olahraga, dan aspek

kehidupan sosial lainnya tidak menyebutkan gender. Sebagian besar dari karya-karya ini

dengan demikian menyiratkan bahwa pengalaman laki-laki adalah satu-satunya yang

penting atau yang dapat berarti dari pengalaman setiap orang. Yang lain tidak membahas

gender karena mereka ingin fokus pada kelas, ras, atau masalah lain, dan tidak melihat

kategori yang berkembang seiring dengan perkembangan gender, seperti yang diyakini oleh

banyak teori gender. Namun, semua pencemaran nama baik bahwa dimana kelas dan ras

dipandang sebagai kategori maskulin superior, sedangkan gender dipandang lebih rendah.

Tidak semua sejarah yang secara eksplisit berhubungan dengan wanita, akhirnya,

menggunakan teori gender dengan cara sadar diri apa pun. Mereka dapat melanjutkan
secara empiris, dengan sedikit referensi sejarah yang lebih luas. Multiplisitas dan

kompleksitas teori gender dapat mendorong kesenjangan ini. Tetapi sejak pertengahan

1980-an penggunaan teori dalam berurusan dengan wanita (dan kadang-kadang pria) dalam

sejarah telah meningkat, memberikan kerangka kerja konseptual yang lebih kaya dan cara

baru untuk menghubungkan topik-topik sejarah spesifik dengan masalah dan perbandingan

yang lebih besar.

4. Peran Gender

Peran gender dalam masyarakat berarti bagaimana kita diharapkan untuk bertindak,

berbicara, berpakaian, merawat, dan melakukan diri kita sendiri berdasarkan jenis kelamin

yang ditugaskan kepada kita. Misalnya, anak perempuan dan perempuan pada umumnya

diharapkan untuk berpakaian dengan cara yang feminin dan sopan, akomodatif, dan

mengasuh. Pria pada umumnya diharapkan kuat, agresif, dan berani.

Setiap masyarakat, kelompok etnis, dan budaya memiliki harapan peran gender, tetapi

mereka bisa sangat berbeda dari kelompok ke kelompok lainnya. Mereka juga dapat berubah

dalam masyarakat yang sama seiringnya waktu. Misalnya, merah muda dulu dianggap

sebagai warna maskulin di AS sedangkan biru dianggap feminin.

Stereotip adalah penilaian atau bias yang diterima secara luas tentang seseorang atau

kelompok meskipun terlalu disederhanakan dan tidak selalu akurat. Stereotip tentang gender

dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil dan tidak adil karena jenis kelamin seseorang.

Ini disebut seksisme. Ada empat jenis dasar stereotip gender:

a. Berdasarkan ciri-ciri kepribadian - Misalnya, wanita sering diharapkan akomodatif dan

emosional, sementara pria biasanya diharapkan untuk percaya diri dan agresif.

b. Berdasarkan perilaku rumah tangga - Misalnya, beberapa orang berharap bahwa wanita

akan mengurus anak-anak, memasak, dan membersihkan rumah, sementara pria

mengurus keuangan, bekerja di mobil, dan melakukan perbaikan di rumah.

c. Berdasarkan pekerjaan - Beberapa orang cepat berasumsi bahwa guru dan perawat

adalah wanita, dan pilot, dokter, dan insinyur adalah pria.

d. Berdasarkan penampilan fisik - Misalnya, wanita diharapkan menjadi kurus dan anggun,

sementara pria diharapkan tinggi dan berotot. Pria dan wanita juga diharapkan untuk

berpakaian dan berpakaian dengan cara yang stereotip dengan jenis kelamin mereka
(pria mengenakan celana dan gaya rambut pendek, wanita mengenakan gaun dan make-

up.

Hyperfemininity adalah berlebihan perilaku stereotip yang diyakini feminin. Orang-

orang hyperfeminine melebih-lebihkan kualitas yang mereka yakini feminin. Ini mungkin

termasuk menjadi pasif, naif, tidak berpengalaman secara seksual, lembut, genit, anggun,

memelihara, dan menerima. Hypermasculinity adalah berlebihan perilaku stereotip yang

diyakini maskulin. Orang-orang hypermasculine melebih-lebihkan kualitas yang mereka

yakini sebagai maskulin. Mereka percaya bahwa mereka seharusnya bersaing dengan pria

lain dan mendominasi orang-orang feminin dengan menjadi agresif, duniawi, berpengalaman

secara seksual, tidak peka, secara fisik mengesankan, ambisius, dan banyak menuntut.

Stereotip gender yang berlebihan ini dapat membuat hubungan antar orang sulit. Orang-

orang hyperfeminine lebih cenderung menanggung pelecehan fisik dan emosional dari

pasangan mereka. Orang-orang hypermasculine lebih cenderung melakukan kekerasan fisik

dan emosional kepada pasangan mereka. Stereotip gender yang ekstrim berbahaya karena

tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri dan emosi mereka sepenuhnya. Misalnya,

berbahaya bagi orang-orang maskulin untuk merasa bahwa mereka tidak diizinkan menangis

atau mengekspresikan emosi sensitif. Dan berbahaya bagi orang-orang feminin untuk merasa

bahwa mereka tidak diizinkan untuk mandiri, cerdas, atau tegas. Meruntuhkan stereotip

gender memungkinkan setiap orang untuk menjadi diri terbaik mereka. Ada beberapa cara

untuk menantang stereotip ini untuk membantu semua orang - tidak peduli gender atau

identitas gender mereka - merasa setara dan dihargai sebagai manusia.

5. Isu Gender

a. Politik

Politik adalah unsur yang penting dalam pemerintahan suatu Negara. Politik

merupakan sebuah aspek utama yang memegang pengaruh terhadap bidang – bidang

lainnya. Baik itu pendidikan, ekonomi, keamanaan, kini semua ditentukan oleh politik.

Negara yang maju adalah Negara yang berhasil dalam politiknya. Melalui politik inilah

nantinya jalan menuju kesejahteraan dan keberhasilan suatu Negara ditentukan, tinggal

bagaimana suatu negara itu menentukan cara politik dalam negaranya.

Di Indonesia berkaitan gender sudah sejak lama dibicarakan. Berbagai cara telah

dilakukan untuk mengangkat adanya kesetaraan gender. Seperti pada Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 yang mengatakan bahwa setiap warga Negara
memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Setiap warga

Negara berarti baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menggambarkan bahwa tidak

adanya perbedaan kedudukan atau peran antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya

terkait isu politik, dalam UU RI No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Pendirian dan

pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga

puluh per seratus) keterwakilan perempuan”. Diharapkan denganUndang-Undang ini

perempuan dapat berpartisipasi dalam dunia politik yang banyak didominasi oleh kaum

laki-laki

Dengan partisipasi perempuan dalam dunia politik diharapkan dapat memajukan

perpolitikan Indonesia. Tidak hanya itu saja dapat menghindari adanya ketimpangan

social antara peran perempuan dan peran laki-laki. Dimana selama ini di Masyarakat

berkembang stereotip-stereotip yang menganggap perempuan hanya bekerja di dapur

saja. Padahal banyak potensi perempuan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan

Negara.

Sejatinya sudah sejak dulu peran perempuan terlihat dalam dunia politik seperti RA

Kartini, sebelum Kartini ada 4 perempuan yang menjabat sebagai Sultan di Kerajaan

Aceh Darussalam yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086

H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah

(1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H), dan masih banyak lagi yang

ikut berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan pada masa dulu.

Bagaimana dengan Perempuan indonesia saat ini ? Inilah yang menjadi isu gender

dalam politik di Indonesia. Dapat kita lihat bahwasanya kesetaraan gender belum

seutuhnya terwujud dalam hal keberadaan perempuan baik itu dalam legislative (DPR &

DPRD), maupun eksekutif (kementrian/cabinet presiden). Walaupun jatah untuk

perempuan sudah dialokasikan untuk menempati kursi legislative, nyatanya hal ini

belum bisa dimaksimalkan oleh perempuan – perempuan Indonesia. Bagi kebanyakan

perempuan, hal ini dirasa sudah cukup. Padahal mereka lupa dan terlena bahwa

kesetaraan gender tidak cukup hanya dengan 30%.

Memang untuk berbaur dalam Dunia Politik bagi perempuan tidaklah seperti

mudahnya membalikan telapak tangan. Perempuan mempunyai kewajiban tersendiri dan

tidak hanya melulu mengurus urusan politik, mengurus keluarga misalnya adalah
merupakan tugas terpenting perempuan. Oleh karena itu caleg perempuan tidak akan

dapat berkonsentrasi penuh seperti caleg laki – laki untuk memenangkan pemilu melalui

kampanye – kampanye, sosialisasi, dan sebagainya.

Dalam perjalanannya, perempuan kembali dihadapkan kepada polemik baru.

Dimana dalam pemilu 2009 tidak lagi menggunakan sistem nomor urut yang digunakan

untuk menentukan keterpilihan seorang caleg. Berdasarkan Keputusan Mahkamah

Konstitusi, Sistem suara terbanyak yang dikenal dengan nama tarung bebas digunakan

dalam menentukan calon anggota legislative. Mengahadapi hal ini, perempuan kembali

menghadapi masalah gender. Mereka merasa hal ini jutru akan semakin mematikan

langkah perempuan untuk berperan dalam politik Indonesia.

Bukan tanpa alasan mereka berpikiran seperi itu. Cara berpikir orang – orang

Indonesia kebanyakan lebih mendahulukan laki – laki daripada perempuan. Sehingga

secara otomatis orang – orang akan lebih banyak memilih Caleg Pria ketimbang Caleg

Wanita. Inilah sebenarnya paradigma yang harus diubah oleh orang – orang Indonesia,

bahwa tak selamanya anggapan bahwa Laki – laki itu selalu lebih baik dari perempuan

adalah benar. Sebagai Contoh adalah ditunjuknya beberapa menteri dalam kabinet kerja

seperti Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan

Perlindungan Anak, Yohana Yembise dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang

memiliki kecerdasan luar biasa yang diakui oleh Internasional.

Kita tak bisa pungkiri memang ada pendeskriminasian perempuan dalam politik di

Indonesia. Sekarang hal yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah menunjukkan

kemampuan maksimal mereka agar para pemilih memberikan suara mereka untuk Caleg

Perempuan. Perempuan tidak hanya bisa menunggu dan mengharapkan keajaiban agar

Pemilih memberikan suaranya. Caleg perempuan harus bersikap lebih aktif dan aktraktif

untuk menggalang dukungan dan keterpilihan mereka dalam pemilu.

Perempuan tidak boleh lagi terjebak dalam Paradigma kuno, yang menganggap laki

– laki lebih baik dari perempuan dalam segala hal, apalagi hal politik. Sehingga

Perempuan terkesan “malas” untuk berubah, dan cenderung mengikuti arus yang sudah

terbentuk. Padahal yang dapat merubah nasib perempuan adalah perempuan itu sendiri

bukan laki – laki. Dan Politik sebenarnya adalah langkah yang paling riil yang harus

diikuti oleh perempuan bila ingin mengubah nasibnya, dikarenakan politik mencakup

segala aspek kehidupan modern.


b. Hukum

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak

setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran

kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan

sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan..

Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan,

bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan

antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan

dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan

berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur

masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.

Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang

peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi

demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi

diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan,

diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender yaitu marginalisasi perempuan,

subordinasi, pandangan stereotipe, kekerasan dan adanya beban banda sebagai pengurus

rumah tangga dan pencari nafkah.

c. Pendidikan

Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya

pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksisosial, maka dengan

demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.

Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman.

Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut

sesuai dengan taraf kemampuan danminatnya. Keenterian Pendidikan Nasional berupaya

menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum sejak kurikulum 2004 tinggal

bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar.

Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, seperti aspek pendidikan, kesehatan,

ekonomi, politik, agama dan lainnya, dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender

antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu
aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada

perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Dalam UUD 1945Pasal

31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”.

Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun

perempuan mempunyaihak yang ama dalam mengecap pendidikan formal, namun dalam

kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikut serta dalam

pendidikan formal.

Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang

digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama

ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada

sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain,

kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender, baik

dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi. Dalam

buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak

mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena

pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh

laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalam gambar guru yang sedang mengajar di

kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau

mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis

kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.

Beberapa alasan bahwa kualitaspendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh

adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Setidaknya ada tiga aspek

permasalahan gender dalam pendidikan yaitu akses, partrisipasi dan manfaat dan

penguasaan.

Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di

tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA

tidak banyak, terutama di daerah kabupaten diluar Pulau Jawa, tidak setiap wilayah

memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus

menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih

tradisional, umumnya orang tua enggan mengirimkan anak perempuannya kesekolah

yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu banyak anak

perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang
banyak dibebankan pada anak perempuanmembuat mereka sulit meninggalkan rumah.

Akumulasi dari faktor-faktor inimembuat anak perempuan banyak yang cepat

meninggalkan bangku sekolah.

Aspek partisipasi di dalamnyabmencangkupbfaktor bidang studi dan statistik

pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya

tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak

perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani

pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan

keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal

ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-

tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.

Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum

perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan

salah satu ”narasumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer

nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan

juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.

Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru,

guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas padasaat pelajaran

berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang

terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan,

pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan

dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas,

diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan

pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran

di sekolah.

Berdasarkan penjelasan diatas semakin nyatalah bahwa kesetaraan dan keadilan

gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak. Perempuan dan laki-laki harus

mendapatkan kesempatan yang samadalam akses pendidikan. Semua orang, baik

perempuan maupun laki-laki mempunyai hak ataukesempatan untuk sekolah lebih

tinggi. Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki,

pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan.


Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender

untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama.

Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pengambil kebijakan di bidang

pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan

standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain

itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya

kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.

d. Agama

Konstruksi gender yang melahirkan bipolaritas sifat, peran dan posisi laki-laki dan

perempuan yang berbeda dan bermuara pada munculnya ketidakadilan sosial. Salah

satunya karena mendapatkan legitimasi teologis dari paham agama yang bias gender.

Salah satu kritik feminis terhadap agama terkait dengan peran agama dalam memperkuat

dan melanggengkan budaya yang patriarkhal. Kritik dan tantangan dari feminis terhadap

fenomena agama pada dasarnya berakar pada tiga hal, yaitu persoalan patriakhi,

androsentrisme, dan sexisme. Androsentrisme memiliki pengertian bahwa tradisi-tradisi

agama dikonstruksi, dikembangkan oleh laki-laki dari perspektif laki-laki, dan oleh

karenanya yang menjadi fokus utamanya adalah pengalaman lakilaki. Sementara itu,

patriarkhi menunjukkan adanya dominasi dan superioritas laki-laki dalam wacana dan

sejarah agama. Agama atau pemahaman agama, pada akhhimya menjadi sexis, artinya

pemahaman agama yang dominan memberikan keistimewaan kepada laki-laki dan

pengalaman laki-laki serta menempatkan laki-laki sebagai superior, dan pada saat yang

sama menempatkan perempuan lebih rendah dan menganggapnya sebagai pihak yang

inferior.

Dalam hegemoni paham dan kultur agama yang androsentris, sexis dan patrarkhi

ini, pengalaman dan konstribusi perempuan terhadap agama tidak mendapatkan tempat

dalam sejarah dan wacana agama. Perempuan seakan tidak bersuara dan terpingirkan

dari proses formulasi doktrindoktrin dan kepercayaan agama, dan dengan demikian

lenyap dari sejarah agama. Paham agama yang patriarkhal, androsentris dan sexis pada

gilirannya melahirkan perbedaan gender, dimana perempuan pada umumnya

didiskriminasikan dan mendapatkan ketidakadilan. Androsentris, sexis dan patrarkhi


menjadi fenomena mendasar dari tata realitas dan semangat agama yang tidak

seharusnya.

Dengan kesadaran baru feminis, kesalahan tatanan realitas yang penuh dengan

ketidakadilan ini secara radikal dipertanyakan dan sebuah tata baru yang lebih adil dan

egaliter diupayakan. Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang feminis

Yahudi dan Kristen, misalnya, berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki

atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka

mengembangkan apa yang disebut dengan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di

Inggris sejak abad 17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari

perspektifperempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat

perempuan.

1) Gender dalam Agama Kristen

Permasalahan gender dalam kekristenan tidak terlepas dari konteks tradisi dan

budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki

mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi

ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh

laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Ada saja pandangan dan sikap

yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin itu. Ini memang dipengaruhi oleh

budaya atau adat istiadat di mana umat itu berada. Ini yang perlu dipahami oleh kita.

Di dalam alkitab pada Kejadian 1:27 "Maka Allah menciptakan manusia itu

menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan

perempuan diciptakan-Nya mereka" disini berarti bahwa Allah menciptakan

manusia baik perempuan dan laki-laki dengan derajat yang sama dan menurut

gambar Allah, disamping itu juga menekankan bahwa manusia itu sama hakekat

dengan Sang Pencipta.

Alkitab juga menyatakan ada hak dan kewajiban yang berbeda namun saling

terkait antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam pernikahan. Perempuan

wajib menurutisuaminya, dan suami pun wajib mengasihi istrinya (Efesus 5: 22-25).

Dalam budaya diIndonesia, istri harus tunduk kepada suaminya, sama seperti yang

dinyatakan dalam Alkitab,tetapi bukan berarti suami memegang kendali penuh

terhadap istri. !idak ada larangan bagiistri atau wanita untuk bekerja di luar rumah

untuk mencari nafkah. Terlebih lagi, tidak ada pernyataan di dalam Alkitab yang
membedakan hak antara perempuan dan laki-laki. Semua orang, laki-laki atau pun

perempuan, sama di hadapan Allah

Hal tersebut berarti bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk yang

mulia, kudus dan berakal budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah,

dan layak untuk menerima mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin dari segala

ciptaan Allah. Dari ungkapan "segambar" dengan Allah ini yang berarti dimiliki

tidak hanya laki-laki saja akan tetapi juga perempuan, dan keduanya mempunyai

status yang sama. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya diskriminasi atau

dominasi dalam bentuk apapun hanya dikarenakan perbedaan jenis kelamin.

2) Gender dalam Agama Islam

Pada masa jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima

sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Al

Qur’an, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada

sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.

Informasi ini dapat dibaca dalam Qur’an Surat An-Nahl (16) : 58 yang artinya,

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak

perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah”. Nabi

Muhammad SAW telah memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat

perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya

tidak menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam

diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai

makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggung jawabnya yang adil

dan seimbang. Tetapi kenyataannya bahwa perempuan muslimah pada masa-masa

berikutnyapun masih mengalami perlakuan yang diskriminatif juga telah menjadi

catatan historis dan kajian para ahli.

Keberhasilan Nabi Muhammad SAW membangun pilar-pilar dasar peradaban

Islam didasarkan atas kekokohan pribadi muslim dan solidnya lembaga keluarga

yang dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan resiprositas luhur

(mu’asyarah bi al - ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah

dan rahmah.

Nabi Muhammad SAW mengangkat derajat perempuan dengan memperkuat

landasan teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang berkembang serta


menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam kebijakan

pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan praktek

Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.

3) Gender dalam Agama Hindu

Berdasarkan pada teks-teks Sansekerta yang memperlihatkan pengaruh dan bias

Brahman, kemaskulinan dan tradisi India utara, perempuan dalam tradisi Hinduisme

memiliki posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Hal ini misalnya tergambar

dalam kehidupan anak-anak ahli Weda. Ia hanya diajari beberapa himne dan detail

ritual untuk mempersiapkan peranannya sebagai isteri. Seorang Ibu juga hanya akan

melatih anak perempuannya untuk melakukan aktivitas domestik. Demikian juga

dalam hal pendidikan, sehingga akses laki-laki dan perempuan sangat senjang.

Dalam kitab-kitab Brahman, perempuan diposisikan sebagai silent partner, kecuali

dalam ritual kelahiran anak atau pemberkatan cucu. Kendati Hinduisme menghargai

perempuan sebagai ibu, namun perempuan secara umum terutama di abad pertama

sebelum masehi, seperti diposisikan sebagai kasta sudra, yang identik dengan

kebodohan dan kerendahan

4) Gender dalam Agama Buddha

Kondisi masyarakat India pada masa pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang

diskriminatif atas kasta dan gender. Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat

seksis mengatakan bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan

ritual penyucian pada saat upacara kematian orang tua mereka (baca = ayah), dan

akan mengangkat ayah mereka masuk ke alam surga. Perempuan tidak berhak dan

diyakini tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka.1

Dalam situasi demikian, Buddha hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan,

perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam

menjalani kehidupan religius maupun sosial. Totalitas sikap Buddha yang adil

gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang

menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk

menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau

meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni.

Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang

pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal. Pembaharuan yang
dibawa oleh Buddha tersebut bertolak dari Hukum Karma yang diajarkannya:

Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau

dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang

dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan

batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu

keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat

menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar. Buddha

menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan

perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas),

Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau

seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.’ Setelah Buddha

mangkat (Parinibbana), status perempuan mengalami kemerosotan lagi.

Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah

melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang bertentangan

dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter. Pendapat lain mengklaim bahwa

sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul karena pengaruh Hindu

danKonfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang patriarkis dimana

Agama Buddha berkembang.

e. Kesehatan

Perempuan memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai

dalam hal kesehatan fisik dan mental. Kenikmatan atas hak ini penting untuk kehidupan

dan kebaikan mereka serta kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam seluruh

kegiatan masyarakat dan kehidupan pribadi. Karena perempuan menonjol dalam sistem

perawatan kesehatan, baik sebagai pemberi perawatan dan sebagai klien, maka terdapat

kesalahan persepsi yang meluas bahwa proyek-proyek kesehatan secara otomatis telah

memasukkan upaya pemberdayaan perempuan.

Kesenjangan gender dalam status kesehatan, dalam akses dan penggunaan

pelayanan kesehatan, dan dalam mempertahankan hasil-hasil usaha kesehatan,

menunjukan adanya kebutuhan untuk mengangkat permasalahan ketidaksetaraan gender

dalam reformasi sektor kesehatan. Di banyak negara-negara yang sedang berkembang,

ketersediaan dan kualitas perawatan kesehatan telah semakin bekurang karena

menurunnya kualitas sistem kesehatan publik dan swastanisasi sistem perawatan


kesehatan tanpa disertai jaminan yang memadai atas akses universal terhadap perawatan

kesehatan yang terjangkau. Keadaan ini tidak hanya secara langsung mempengaruhi

kesehatan anak-anak perempuanmaupun perempuan dewasa, namun juga menempatkan

tanggung jawab secara tidak proporsional di atas punda kaum perempuan. Peran

berganda mereka, termasuk peran mereka dalam keluarga dan masyarakat seringkali

tidak diakui; sehingga mereka sering tidak mendapatkan dukungan sosial, psikologis dan

ekonomis yang sangat diperlukan.

Gender mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan.

Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak dan gender steriotipi

masing-masing. Misalnya saja sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan sebagai

laki-laki, maka laki-laki dianggap tidak pantas memperlihatkan rasa sakit atau

mempertunjukkan kelemahan-kelemahan serta keluhannya. Perempuan yang diharapkan

memiliki toleransi yang tinggi, berdampak terhadap cara mereka menunda-nunda

pencarian pengobatan, terutama dalam situasi social ekonomi yang kurang dan harus

memilih prioritas, maka biasanya perempuan dianggap wajar untuk berkorban.

Isu-isu gender dalam di berbagai siklus kehidupan terdapat 4 (empat) isu gender

dalam berbagai kehidupan terkait kesehatan, yaitu:

1) Isu Gender Di Masa Kanak-Kanak.

Isu gender pada anak-anak laki-laki, misalnya: pada beberapa suku tertentu,

kelahiran bayi laki-laki sangat diharapkan dengan alas an, misalnya laki-laki adalah

penerus atau pewaris nama keluarga; laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga yang

handal; laki-laki sebagai penyanggah orang tuanya di hari tua., Dan perbedaan

perlakuan juga berlanjut pada masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, sifat

agresif anak laki-laki serta perilaku yang mengandung resiko diterima sebagai suatu

kewajaran, bahkan didorong kearah itu, karena dianggap sebagai sifat anak laki-laki.

Sehingga data menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih sering terluka dan

mengalami kecelakaan.

2) Isu Gender Pada Anak Perempuan.

Secara biologis bayi perempuan lebih tahan daripada bayi laki-laki terhadap

penyakit infeksi di tahun-tahun pertama kehidupannya. Sebab itu jika data

memperlihatkan kematian bayi perempuan lebih tinggi dan bayi laki-laki, patut
dicurigai sebagai dampak dari isu gender. Di masa balita, kematian karena

kecelakaan lebih tinggi dialami oleh balita laki-laki, karena sifatnya yang agresif

dan lebih banyak gerak. Data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 1991-

2002/2003) menunjukkan : tren kematian bayi lebih tinggi pada bayi laki-laki

daripada bayi perempuan, trend kematian anak balita lebih tinggi pada balita laki-

laki dari pada balita perempuan

3) Isu Gender Di Masa Remaja.

Isu gender yang berkaitan dengan remaja perempuan, antara lain : kawin muda,

kehamilan remaja, umumnya renmaja puteri kekurangan nutrisi, seperti zat besi,

anemia. Menginjak remaja, gangguan anemia merupakan gejala umum dikalangan

remaja putri. Gerakan serta interaksi social remaja puteri seringkali terbatasi dengan

datangnya menarche. Perkawinan dini pada remaja puteri dapat member tanggung

jawab dan beban melampaui usianya. Belum lagi jika remaja puteri mengalami

kehamilan, menempatkan mereka pada resiko tinggi terhadap kematian. Remaja

putreri juga berisiko terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, yang bisa terjadi di

dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. Remaja putri juga bisa terkena isu

berkaitan dengan kerentanan mereka yang lebih tinggi terhadap perilaku-perilaku

steriotipi maskulin, seperti merokok, tawuran, kecelakaan dalam olah raga,

kecelakaan lalu lintas, ekplorasi seksual sebelum nikah yang berisiko terhadap

penyakit-penyakit yang berkaitan dengan IMS, HIV/AIDS.

4) Isu Gender Di Masa Dewasa.

Pada tahap dewasa, baik laki-laki maupun perempuan mengalami masalah-

masalah kesehatan yang berbeda, yang disebabkan karena factor biologis maupun

karena perbedaan gender. Perempuan menghadapi masalah kesehatan yang

berkaitan dengan fungsi alat reproduksinya serta ketidaksetaraan gender. Masalah-

masalah tersebut, misalnya konsekwensi dengan kehamilan dan ketika melahirkan

seperti anemia, aborsi, puerperal sepsis (infeksi postpartum), perdarahan, ketidak

berdayaan dalam memutuskan bahkan ketika itu menyangkut tubuhnya sendiri

(“tiga terlambat”). Sebagai perempuan, dia juga rentan terpapar penyakit yang

berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS, meskipun mereka sering hanya sebagai

korban. Misalnya : metode KB yang hanya difokuskan pada akseptor perempuan,


perempuan juga rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan ditempat

kerja, dan diperjalanan.

5) Isu Gender Di Masa Tua.

Di usia tua baik laki-laki maupun perempuan keadaan biologis semakin

menurun. Mereka merasa terabaikan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan

mereka secara psikologis dianggap semakin meningkat. Secara umum, umur

harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun umur panjang

perempuan berisiko ringkih, terutama dalam situasi soaial-ekonomi kurang. Secara

kehidupan social biasanya mereka lebih terlantar lagi, terutama yang berkaitan

dengan kebutuhan yang semakin banyak dan semakin tergantung terhadap sumber

daya. Osteoporosis banyak diderita oleh perempuan di masa tua, yaitu delapan kali

lebih banyak dari pada laki-laki. Depresi mental juga lebih banyak diderita orang

tua, terutama karena merasa ditinggalkan

f. Pelayanan Kesehatan

Diskriminasi gender adalah adanya perbedaan, pengecualian/pembatasan yang dibuat

berdasarkan peran dan norma gender yang dikonstruksi secara social yang mencegah

seseorang untuk menikmati HAM secara penuh. Deskriminasi gender dalam hal kesehatan

reproduksi perempuan memang sangat diperhatikan oleh masyarakat karena konstruk

yang sudah terbangun memang sudah menempatkan perempuan sebagai the second class

di mana ia seringkali menjadi yang dipersalahkan atas kesehatan reproduksinya. Dari

contoh yang sudah sedikit disinggung di atas tentang program KB, perempuan selalu

menjadi bulan-bulanan kebijakan yang kadangkala sangat merugikan kaum perempuan.

Atas permintaan laki-laki yang hanya menginginkan 1-2 anak saja, perempuan harus

berjuang dan „menyiksa‟ diri mereka dengan berbagai macam alat kontrasepsi. Anggap

saja pil KB yang harus senantiasa mereka minum untuk mencegah kehamilan. Selain itu

ada juga suntik dan sebuah alat yang ditanamkan ke dalam alat kelamin perempuan

sehingga mencegah dia untuk hamil. Hal ini tidak hanya menyebabkan pada terganggunya

kesehatan reproduksi perempuan tetapi juga beresiko pada kematian.

Bentuk diskriminasi yang lainnya adalah dari IMS (Infeksi Menular Seksual).

Penyakit seperti HIV/AIDs, Hepatitis, sipilis, dan lain sebagainya seringkali dianggap

penyebabnya dalah dari kaum hawa. Padahal faktanya tidak demikian, adanya penularan

penyakit seperti itu lebih rawan kepada laki-laki yang sering “jajan” dan gonta-ganti
pasangan seks. Hal yang paling memprihatikan adalah ketika seorang perempuan

melahirkan dan anaknya terkena HIV/AIDs, maka seseorang yang pertama kali menjadi

sorotan utama adalah perempuan sebagai orang yang melahirkan padahal penyakit

menular seperti itu tidak mesti dari pihak perempuan tetapi juga lebih banyak pada pihak

laki-laki.

Adanya ketidakadilan, kekerasan, beban kerja ganda, dan lainnya juga menyebabkan

kesehatan reproduksi perempuan menurun. Dalam sebuah penelitian tentang angka

kematian ibu (AKI) menunjukkan bahwa AKI mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Hal ini bisa saja disebabkan karena adanya beban kerja ganda, kekerasan baik itu

dalam bentuk fisik maupun non fisik, ketidakadilan dan lain sebagainya. Dampak lainnya

dari ketidaksetaraan gender adalah kurangnya tingkat pendidikan perempuan. Di

indonesia, konstruk tentang laki-laki dan perempuan sangat berbeda, laki-laki dipahami

sebagai pemenuh kebutuhan dalam suatu rumah tangga sehingga pendidikannya harus

juga lebih diutamakan sedangkan perempuan lebih pada ranah domestik saja sehingga

tidak perlu belajar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena ujung-ujungnya

mereka hanya akan mengurus rumah, memasak, merawat anak dan suami, mencuci dan

sebagainya. Dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan pun sangat terlihat

dengan banyak perempuan yang tidak mengenali gizi yang baik untuk dirinya sendiri,

pemilihan pembalut yang sembarangan yang bisa menyebabkan terjadinya kanker serviks,

tidak tahunya perempuan tentang apa itu penyakit menular sehingga mereka gampang

menerima seorang suami tanpa pilih-pilih dan sebagainya

Isu gender dalam kesehatan khususnya reproduksi meliputi hal-hal berikut:

1) Kesehatan ibu dan bayi baru lahir (safe motherbood).

Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender adalah sebagai berikut:

a) Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan dalam kaitannya

dengan kesehatan wanita;

b) Sikap perilaku dan keluarga yang mencenderung mengutamakan laki-laki;

c) Tuntutan peran ganda;

2) Keluarga berencana.

Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender adalah sebagai berikut:

a) Akseptor KB 98% adalah perempuan, sedangkan laki-laki hanya 1,3%

(SDKI,1997).
b) Perempuan tidak mempunya kekuatan memutuskan metode kontrasepsi yang

diinginkan.

c) Dalam pengambilan keputusan laki-laki lebih dominan termasuk kontrol yang

dominan dalam memutuskan pilihan kontrasepsi terhadap istri.

3) Kesehatan reproduksi remaja, isu gendernya yaitu ketidakadilan dalam membagi

tanggung jawab dan ketidakandilan dalam aspek hukum.

4) Penyakit menular seksual, isu gender meliputi hal tersebut

a) Perempuan selalu dijadikan objek intervensi dalam program pemberantasan

penyakit menular seksual (PMS).

b) Perempuan pelaku prostitusi selalu menjadi objek dan tudingan sumber

permasalahan.

c) Perempuan (istri) tidak kuasa menawarkan kondom jika suami terserang infeksi

menular seksual.

Upaya penanganan terhadap isu Gender dalam kesehatan reproduksi harus menjadi

perhatian karena berkaitan dengan hal-hal berikut ini.

1) Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia.

2) Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan reproduksi.

3) Masalah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan dari hubungan laki-laki dan

perempuan.

4) Perlunya kepedulian dan tanggung jawab laki-laki.

5) Perempuan rentan terhadap kekerasan domestik.

6) Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan urusan gender tertentu dalam

hal ini adalah perempuan.

6. Teknik Analisis Gender

Analisis gender merupakan proses menganalisis data dan informasi secara sistematis

tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan,

fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta factor- factor yang

mempengaruhi.

Analisis gender sebagai langkah awal dalam rangka penyusunan kebijakan program dan

kegiatan yang responsif gender. Untuk analisis gender diperlukan data gender, yaitu data

kuantitatif maupun kualitatif yang sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan. Data gender

ini kemudian disusun menjadi indikator gender.


Untuk memudahkan pemahaman dan bagaimana mengaplikasikan analisis gender, ada

beberapa hal yang perlu dilakukakan :

a. Menghimpun masalah-masalah kesenjangan gender, factor factor penyebab dan upaya

pemecahannya

b. Mengetahui latarbelakang terjadinya kesenjangan gender yang biasanya terjadi karena

adanya diskriminasi gender antara kondisi normative dengan obyektif.

c. Mengidentifikasi kesenjangan gender dari aspek peran, akses, control dan manfaat, guna

menentukan isu gender secara menyeluruh.

d. Mengidentifikasi langkah-langkah intervensi atau tindakan yang diperlukan, berupa

kebijakan, program serta rencana kegiatan yang dimungkinkan untuk dapat direalisasikan

dengan memperhatikan kepentingan perempuan dan laki- laki.

Dengan analisis gender diharapkan kesenjangan gender dapat diidentifikasi dan dianalisis

sehingga dapat ditemukan langkah-langkah pemecahan masalahnya secara tepat. Analisis

gender sangat penting khususnya bagi para pegambil keputusan dan perencana disetiap sector,

kaena dengan analisis gender diharapkan masalah gender dapat diatasi atau dipersempit

program yang berwawasan gender dapat diwujudkan (UNFPA, Kantor Meneg PP.RI,

BKKBN, 2001 : 160)

Ada beberapa model teknis analisis gender yang pernah dikembangkan para ahli, antara

lain :

a. Model Harvard

Analisis model Harvard yang dikembangkan oleh Harvard Institute for International

Development didasarkan pada pendekatan efisiensi women in development (WID ) yang

merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender yang paling awal.

Tujuan kerangka Harvard ini antara lain :

1) Untuk menunjukan bahwa ada suatu invetasi secara ekonomi yang dilakukan kaum

perempuan maupun laki-laki, scara irasional.

2) Untuk membantu para perencana merancang proyek yang lebih efisien dan

memperbaiki produktifitas kerja secara menyeluruh

3) Mencari informasi yang lebih rinci sebagai dasar untuk mencapai tujuan efisiensi

dengan tingkat keadilan gender yang optimal

4) Untuk memetakan pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan melihat

factor penyebab perbedaan.


b. Mode Moser

Model Moser didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat “teknis

polities”, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam perencanaan dan proses

transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu “debat”.

Alat yang digunakan kerangka ini dalam perencanaan untuk semua tingkatan dari

proyek sampai ke perencanaan daerah ada 6 (enam) yaitu :

1) Alat Identifikasi Peranan Gender (Tri Peranan)

2) Alat Penilaian Kebutuhan Gender

3) Alat Pemisahan Kontrol atas Sumber Daya dan Pengambilan Keputusan dalam Rumah

Tangga

4) Alat Menyeimbangkan Peran

5) Alat Matriks Kebijakan WID (Women In Development) dan GAD (Gender and

Development)

6) Alat melibatkan Perempuan, Organisasi Perepuan dalam Penyadaran Gender dalam

Perencanaan Pembangunan.

c. Model SWOT (Strengthen, Weakness, Oppurtunity and Threat)

Teknik ini merupakan suatu analisis manajemen dengan cara mengidentifikasi secara

internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan

ancaman. Aspek nternal dan Eksternal tersebut dipertimbangkan dalam kaitan dengan

konsep strategis dalam rangka menyusun program aksi, langkah-langkah/tindakan untuk

mencapai sasaran maupun tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan

peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman sehingga dapat mengurangi resiko

dan dapat meningkakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan.

d. Model Gender Analysis Pathway (GAP)

Metode GAP adalah alat analisis gender yang dikembangkan oleh BAPPENAS yang

dapat digunakan untuk membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan

gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek dan atau kegiatan pembangunan.

Dari beberapa model teknik analisis yang telah dikembangkan tersebut di atas

disarankan untuk menggunakan teknik analisis gender dengan metode Gender Analysis

Pathway (GAP).

Dengan menggunakan GAP para perencana kebijakan program, proyek kegiatan dapat

mengidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender sekaligus menyusun


rencana kebijakan/program/proyek/kegiatan yang ditujukan untuk memperkecil atau

menghapus kesenjangan gender tersebut.

GAP dibuat dengan menggunakan metodologi sederhana dengan 8 (delapan) langkah

yang harus dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu Tahap I Analisis Kebijakan Responsif

Gender; Tahap II Formulasi Kebijakan yang responsif Gender; Tahap III Rencana Aksi

yang Responsif Gender.

Analisis kebijakan responsif gender bertujuan untuk menganalisis kebijakan

pembangunan kehutanan yang ada dengan menggunakan data pembuka wawasan yang

dipilah menurut jenis kelamin (lelaki dan perempuan) dan data gender digunakan untuk

mengidentifikasi adanya kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender

(gender issues).

Analisis kebijakan responsif gender dilakukan melalui tiga tahap yaitu, tahap yang

pertama diperlukan karena secara umum kebijakan, program, proyek dan kegiatan

pembangunan selama ini masih netral gender (didasarkan pada asumsi bahwa

pembangunan memberikan manfaat dan berdampak sama kepada perempuan dan laki-laki),

tahap kedua yang merupakan formulasi kebijakan responsif gender, dan tahap ketiga

penyusunan rencana aksi responsif gender.

1) Langkah-langkah pada tahap pertama :

a) Mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan/program/proyek/kegiatan

pembangunan kehutanan yang ada dari masing-masing Eselon I sesuai tugas

pokok dan fungsi. Apakah kebijakan/program/proyek/ kegiatan pembangunan

telah dirumuskan dan ditetapkan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

b) Menyajikan data kuantitatif dan atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin

sebagai data pembuka wawasan. Apakah data yang ada mengungkapkan

kesenjangan atau perbedaan yang cukup berarti antara perempuan dan laki-laki.

c) Menganalisis sumber dan atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan

gender (gender gap); (a). akses yang sama terhadap sumber-sumber daya

pembangunan sektor kehutanan; (b). kontrol terhadap sumber-sumber daya

pembangunan kehutanan; (c). partisipasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai

tahapan pembangunan kehutanan termasuk dalam proses pengambilan keputusan;

(d). manfaat yang sama dari hasil pembangunan kehutanan atau sumber daya

pembangunan kehutanan yang ada.


d) Mengidentifikasi masalah-masalah gender (gender issues) berdasarkan keempat

faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender dengan menjawab 5 W dan 1 H.

Apa masalah-masalah gender yang diungkapkan oleh faktor-faktor kesenjangan

gender; dimana terjadinya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam

masyarakat publik; mengapa terjadi kesenjangan tersebut; apakah

kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan sektor kehutanan yang ada

justru memperlebar kesenjangan, mempersempit kesenjangan atau tetap, dan

apakah akar permasalahan.

2) Langkah-langkah pada tahap kedua :

a) Merumuskan kembali kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan

kehutanan yang reponsif gender.  Dengan mempertimbangkan hasil  proses

analisis gender yang dilakukan pada langkah 1 sampai 4 tahap pertama, sehingga

menghasilkan kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang responsif

gender.

b) Mengidentifikasi indikator gender (gender indicator) dari setiap

kebijakan/program/proyek/ kegiatan pembangunan sektor kehutanan dari langkah

3) Langkah-langkah pada tahap ketiga :

a) Menyusun Rencana Aksi; yang didasarkan pada  kebijakan/program/

proyek/kegiatan pembangunan kehutanan yang responsif gender dengan tujuan

untuk mengurangi/menghilangkan  kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. 

Seluruh rencana aksi yang disusun sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah

responsif gender yang telah diidentifikasi dalam langkah 5.

b) Mengidentifikasi sasaran secara (kuantitatif dan atau kualitatif) bagi setiap rencana

aksi butir ketujuh.  Hasil identifikasi memastikan bahwa dengan rencana aksi

tersebut mengurangi  dan atau menghapus kesenjangan gender.

e. Model Proba (Problem Based Analysis)

Teknik ini dikembangkan kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN

dan UNFPA ditingkat pusat, propinsi dan kabupaten/koya. Teknik ini sedikit berbeda

dengan GAP.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam Model PROBA adalah sebagai berikut :
1) Analisis Masalah Gender

Analisis Masalah Gender merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk

menetapkan/merumuskan masalah gender yang terjadi ditiap instansi atau wilayah.

Beberapa tahap dalam Analisis Masalah Gender adalah :

a) Identifikasi data terpilah, untuk menunjukkan kesenjangan gender yang terjadi di

instansi atau wilayah masing-masing, dan jelaskan sumber data tersebut diambil.

b) Penetapan masalah kesenjangan gender, dari data terpilah yang menunjukkan

kesenjangan gender tersebut tetapkan masalah gender dalam bentuk kalimat yang

jelas.

c) Identifikasi faktor penyebab, setelah masalah kesenjangan gender dirumuskan, cari

faktor penyebab kesenjangan tersebut. Faktor penyebab kesenjangan dapat dilihat

dari beberapa faktor yag menimbulkan bias atau berbagai bentuk diskriminasi antara

laki-laki dan perempuan :

(1) Faktor sosial / lingkungan                               

(2) Faktor agama

(3) Faktor adat istiadat / budaya                          

(4) Faktor ekonomi

(5) Faktor peraturan perundang-undangan            

(6) Faktor kebijakan, Lain-lain

2) Telaah Kebijakan /program/kegiatan pembangunan

Telaah Kebijakan /program/kegiatan merupakan kegiatan menelaah kembali

Kebijakan /program/kegiatan yang ada di Propenas, Renstra, Repeta di pusat dan

Propeda, Renstrada, Repeta di daerah. Tahapan yang dilakukan adalah :

a) Analisis kebijakan, tulis kembali kebijakan, program, kegiatan yang ditulis dalam

Propenas, Renstra, Repeta di pusat dan Propeda, Renstrada, Repetada di daerah.

Kebijakan, program, kegiatan yang diambil dan ditulis hendaknya berkaitan dengan

data kesenjangan gender pada langkah pertama.

b) Klasifikasikan kebijakan, program, kegiatan tersebut dalam klasifikasi netral, bias

atau responsif gender.

c) Tetapkan kebijakan, program, kegiatan yang strategis, lanjutkan dengan menulis

tujuan dari kebijakan, program, kegiatan yang ada di Propenas, Renstra, Repeta,

Propeda, Renstrada, Repetada.


3) Penetapan Kebijakan, Tujuan dan Program Pokok Baru yang Responsif GendeR

Kebijakan baru yang responsif Gender. Kebijakan, program, kegiatan strategis yang

ternyata bias dan netral gender direformulasikan menjadi kebijakan, program, kegiatan

yang responsif gender. Tujuan kebijakan, program, kegiatan baru yang responsif gender

harus dituliskan dan bandingkan dengan tujuan yang lama. Program, kegiatan pokok

yang responsif gender, tuliskan dan pilih program dan kegiatan pokok yang responsif

gender berdasarkan tujuan baru yang akan dicapai.

4) Penyusunan Kegiatan Intervensi

Setelah program ditetapkan selanjutnya ditentukan kegiatan intervensi yang perlu

dilakukan. Didalam uraian kegiatan intervensi, tetapkan pula target, sasaran, pelaksana

dan waktu pelaksanaan.

5) Pembentukan Gender Focal Point dan Pengembangan Kelompok Kerja (Pokja) PUG.

PUG dapat dilaksanakan dengan lancar kalau ada sekelompok orang yang

senantiasa bekerja dengan penuh perhatian untuk melihat perkembangan pelaksanaan

PUG dan membantu mengatasi masalah yang terjadi. Anggota GFP adalah mereka yang

pernah mendapatkan informasi gender baik melalui jalur formal maupun informal,

sedangkan anggota pokja diambil dari anggota GFP. Kemampuan yang dibutuhkan

untuk GFP :

a) Komunikasi yang baik             

b) Pengambilan keputusan

c) Meyakinkan                            

d) Mengatasi resistensi

e) Bekerja sama                         

f) Membangun jaringan

6) Rencana Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan langkah-langkah

analisis dan mengadakan perbaikan apabila diperlukan. Selanjutnya laporan monitoring

evaluasi menjadi bahan masukan untuk analisis berikutnya. Sebelum melakukan


monitoring dan evaluasi perlu ditentukan indikator atau alat monitoring dan evaluasi

yang akan digunakan.

7. Pengarustamaan Gender

Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming,

merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan

program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan

dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh

kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki:

a. memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan,

b. berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan. Termasuk proses pengambilan

keputusan,

c. mempunyai kontrol  yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan

d. memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis

gender maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah

kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan perbaikan kondisi  perempuan

dan/atau laki-laki guna menjalankan peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf

kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan air bersih,

dan pemberantasan buta aksara.

Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau laki-laki yang berkaitan

dengan perubahan pola relasi gender dan perbaikan posisi perempuan dan/atau laki-laki, seperti

perubahan di dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan dan kontrol terhadap

sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini bersifat jangka panjang, seperti perubahan hak

hukum, penghapusan kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang kehidupan, persamaan

upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya.

Dalam buku Panduan Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan

Gender dalam Pembangunan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan, dikemukakan sejumlah kondisi awal dan komponen kunci yang diperlukan rangka

menyelenggarakan pengarusutamaan gender. Kondisi awal dan komponen kunci yang

dimaksud, dikemukakan pada tabel berikut:


No Kondisi Awal yang Diperlukan Komponen Kunci
1. Political will dan kepemimpinan dari Peraturan perundang-undangan, misalnya:

lembaga dan pemimpin eksekutif,  UUD 1945

yudikatif, dan legislatif.  Tap MPR

Adanya kesadaran, kepekaan, dan  Undang-undang


respons, serta motivasi yang kuat dalam
 Peraturan Pemerintah
mendukung terwujudnya kesetaraan
 Kepres
dan keadilan gender.
 Perda
2 Adanya kerangka kebijakan yang Kebijakan-kebijkan yang secara sistemik

secara jelas menyatakan komitmen mendukung penyelenggaran PUG, termasuk

pemerintah, propinsi, kabupaten/kota kebijakan, strategi, program, kegiatan, beserta

terhadap perwujudan kesetaraan dan penyediaan anggarannya, seperti:

keadilan gender  penyerasian berbagai kebijakan dan

peraturan yang responsive gender

 penyusunan kerangka kerja akuntabilitas

 penyusunan kerangka pemantauan dan

evaluasi yang responsive gender

 pelembagaan institusi pelaksana dan

penunjang PUG.
3 Struktur dan mekanisme pemerintah, Struktur organisasi pemerintah dalam rangka

propinsi, kebupaten/kota yang pelaksanaan PUJ di lingkup nasional, propinsi,

mengtegrasikan perspektif gender dan kabupaten/kota, yang ditandai oleh

terbentuknya:

 Unit PUG

 Focal point

 Kelompok Kerja

 Forum

Mekanisme pelaksanaan PUG diintegrasikan

pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan,

penganggaran, pemantauan, dan evaluasi.


4 Sumber-sumber daya yang memadai  SDM yang memiliki kesadaran,

kepekaan, keterampilan, dan motivasi


yang kuat dalam melaksanakan PUG di

unitnya.

 Sumber dana dan sarana yang memadai

untuk melaksanakan PUG


5 Sistem Informasi dan data yang terpilah Data dan statistik yang terpilah menurut jenis

menurut jenis kelamin kelamin


6 Alat analisis Analisis gender untuk:

 Perencanaan

 Penganggaran

 Pemantauan dan evaluasi


7 Dorongan dari masyarakat madani Partisipasi masyarakat madani yang dilakukan

kepada pemerintah dalam mekanisme dialog dan diskusi dalam

proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan

dan evaluasi.
 

Pengarusutamaan gender dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pemantuan, hingga evaluasi. Operasionalisasi kegiatannya melibatkan

tahapan dan alur kerja analisis gender. Dalam perencanaan yang responsif gender, terdapat tiga

tahap utama, yaitu (1) melakukan analisis kebijakan gender, (2) memformulasi kebijakan yang

responsif gender, dan (3) menyusun rencana aksi kebijakan/program/proyek/kegiatan yang

responsif gender.

Tahap pertama dalam perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan Gender, perlu dilakukan karena

pada umumnya kebijakan pemerintah hingga saat ini masih netral gender (gender neutral) dan

kadang-kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak kurang menguntungkan bagi salah satu

jenis kelamin. Dengan menggunakan data pembuka wawasan kita dapat melihat bagaimana

kebijakan dan program yang ada ssat ini memberikan dampak berbeda kepada laki-laki dan

perempuan.

Tahap kedua, formulasi kebijakan gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran Kebijakan

Kesetaraan dan Keadilan Gender  yang menggiring kepada upaya mengurangi atau menghapus

kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi Kebijakan

Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu rencana aksi berupa

kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang perlu dilakukan untuk mengatasi

kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Seluruh kegiatan dalam rencana aksi harus sesuai

dengan tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap Formulasi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan
Gender di atas. Rencana aksi kebijakan ini perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk

mengukur kinerja pemerintah dalam mengimplemtasikan rencana aksi.

Pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang berperspektif gender

diselenggarakan setelah tahap-tahap perencanaan yang responsif gender seperti dikemukakan di

atas dilakukan. Dalam upaya mendukung dan mengefektifkan pelaksanaan pengarusutamaan

gender, perlu dilakukan beberapa hal, antara lain:

a. Pemampuan dan peningkatan kapabilitas pelaksana pengarusutamaan gender

b. Penyusunan perangkat pengarusutamaan gender, seperti perangkat analisis, perangkat

pelatihan, serta perangkat pemantauan dan evaluasi.

c. Pembentukan mekanisme pelaksanaan pengarusutamaan gender, seperti forum komunikasi,

kelompok kerja, stering commite antar lembaga, dan pembentukan focal point pada masing-

masing sektor.

d. Pembuatan kebijakan formal yang mampu mengembangkan komitmen segenap jajaran

pemerinah dalam upaya pengarusutamaan gender.

e. Pembentukan kelembagaan dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk pengarusutamaan

gender

f. Pengembangan mekanisme yang mendorong terlaksananya proses konsultasi dan berjejaring

B. Perspektif Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kebidanan Komunitas

1. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)

Konsep atau pengertian dasar hak asasi manusia (HAM) beraneka ragam antara lain dapat

ditemukan dari penglihatan dimensi visi, perkembangan, Deklarasi Hak Asasi Universal/PBB

(Universal Declaration of Human Right/UDHR), dan menurut UU No. 39 Tahun 1999.

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang semata-mata karena dia adalah

manusia. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dilahirkan setara dalam harkat dan

hak- haknya.

HAM merupakan hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia seagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia (UU no 39 tahun 1999 )

Pengertian HAM menurut Jan Materson dalam ungkapan yaitu Human rights could be

generally defines as those rights which are inherent in our nature and without which we can not
live as human being (HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia

dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia).

HAM merupakan kodrat yang melekat dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan

kedunia. Secara kodrati antara lain manusia mepunyai hak kebebasan. Rosevelt mengemukakan,

bahwa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara manusia memiliki empat kebebasan ( The

four Freedoms ), yaitu :

a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech )

b) Kebebasan beragama ( Freedom of religie )

c) Kebebasan dari rasa takut ( Freedom from fear )

d) Kebebasan dari kemelaratan ( Freedom from want )

Konsep hak asasi manusia dilihat dari dimensi visi, mencakup visi filsafati, visi yuridis

konstitusional dan visi politik ( Saafroedin Bahar,1994:82). Visi filsafati sebagian besar berasal

dari teologi agama agama, yang menempatkan jati diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai

makhluk Tuhan. Visi yuridis¬ konstitusional, mengaitkan pemahaman hak asasi manusia itu

dengan tugas, hak,wewenang dan tanggungjawab negara sebagai suatu nation state. Sedangkan

visi politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari hari, yang umumnya

berwujud pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh sesama warga masyarakat yang lebih kuat

maupun oleh oknum oknum pejabat pemerintah.

Dilihat dari perkembangan hak asasi manusia, maka konsep hak asasi manusia mencakup

generasi I, generasi II, generasi III, dan pendekatan struktural. Generasi I konsep HAM , sarat

dengan hak hak yuridis, seperti tidak disiksa dan ditahan, hak akan equality before the law

(persamaan dihadapan hukum), hak akan fair trial (peradilan yang jujur), praduga tak bersalah

dan sebagainya. Generasi I ini merupakan reaksi terhadap kehidupan kenegaraan yang otoliter

dan fasistis yang mewarnai tahun tahun sebelum Perang Dunia II. Generasi II konsep HAM,

merupakan perluasan secara horizontal generasi I, sehingga konsep HAM mencakup juga

bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi II, merupakan reaksi bagi negara dunia

ketiga yang telah memperoleh kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaananya setelah

Perang Dunia II. Generasi III konsep HAM, merupakan ramuan dari hak hukum, sosial,

ekonomi, politik dan budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the right to

development). Hak asasi manusia di nilai sebagai totalitas yang tidak boleh dipisah pisahkan.

Dengan demikian, hak asasi manusia sekaligus menjadi satu masalah antar disiplin yang harus

didekati secara interdisipliner.


Pendapat lain tentang macam macam hak asasi manusia dikemukakan Franz Magnis

Suseno (1987: 125 130) yang mengelompokannva menjadi empat Kelompok yaitu hak asasi

negatif atau liberal, hak asasi aktif atau demokratis, hak asasi positif dan hak asasi sosial. 

a. Hak asasi negative atau liberal

Kelompok hak asasi pertama ini diperjuangkan oleh liberalisme dan pada hakekatnva mau

melindungi kehidupan pribadi manusia terhadap campur tangan negara dan kekuatan

kekuatan sosial lain. Hak asasi ini didasarkan pada kebebasan dan hak ¬in dividu untuk

mengurus diri sendiri dan oleh karena itu juga disebut hak – hak ¬kebebasan (liberal).

Sedangkan dikatakan negatif, karena prinsip yang dianutnya bahwa kehidupan saya

(pribadi) tidak boleh dicampuri pihak luar. Kehidupan pribadi merupakan otonomi setiap

orang, yang harus dihormati. Otonomi ini merupakan kedaulatan asasinya sendiri

merupakan dasar segala usaha lain, maka hak asasi negatif ini tetap merupakan inti hak

asasi manusia. Macam macam hak asasi manusia negatif antara lain :

1) Hak untuk hidup

2) Hak keutuhan jasmani

3) Kebebasan bergerak

4) Kebebasan untuk memilih jodoh

5) Perlindungan terhadap hak milik

6) Hak untuk mengurus rumah tangga sendiri

7) Hak untuk memilih pekerjaan dan tempat tinggal

8) Kebebasan beragama

9) Kebebasan untuk mengikuti suara hati sejauh tidak mengurangi kebebasan orang lain

10) Kebebasan berfikir

11) Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat

12) Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang.

b. Hak asasi aktif atau Demokratis dasar

Hak ini adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintah

dirinya sendiri dan setiap pemerintah di bawah kekuasaan rakyat. Hak ini disebut aktif

karena merupakan hak atas suatu aktivitas manusia untuk ikut menentukan arah

perkembangan masyarakat /negaranya. Yang termasuk hak asasi aktif yaitu :

1) Hak untuk memilih wakil dalam badan pembuat undang undang

2) Hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah


3) Hak untuk menyatakan pendapat 

4) Hak atas kebebasan pers

5) Hak untuk membentuk perkumpulan politik

c. Hak Asasi positif

Kalau hak hak negatif menghalau campur tangan negara dalam urusan pribadi manusia,

maka sebaliknya hak hak positif justru menuntut prestasi prestasi tertentu dari negara.

Paham hak asasi positif berdasarkan anggapan bahwa negara bukan tujuan pada dirinya

sendiri,melainkan merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat

untuk memberikan pelayanan pelayanan tertentu (pelayanan publik), Oleh karena itu tidak

boleh ada anggota masyarakat yang tidak mendapat pelayanan itu hanya karena ia terlalu

miskin untuk membayar biayanya. Hak asasi positif antara lain:

1) Hak atas perlindungan hokum

2) Hak warga masyarakat atas kewarganegaraan. 

d. Hak Asasi Sosial

Hak asasi sosial ini merupakan paham tentang kewajiban negara untuk menjamin hasil

kerja kaum buruh yang wajar dan merupakan hasil kesadaran kaum buruh melawan kaum

burjuasi. Hak asasi sosial mencerminkan kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat

berhak atas bagian yang adil dari harta benda material dan cultural bangsanya dan atas

bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis. Hak ini harus dijamin dengan tindakan negara.

Hak Asas sosial antara lain :

1) Hak atas jaminan sosial

2) Hak atas pekerjaan

3) Hak membentuk serikat kerja

4) Hak atas pendidikan

5) Hak ikut serta dalam kehidupan kultural masyarakatnya.

2. Tujuan HAM

HAM penting karena melindungi kita untuk hidup dengan harga diri yang meliputi hak

untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan. HAM adalah alat untuk melindungi orang dari

kekerasan dan kesewenang-wenangan. HAM mengembangkan saling menghargai antar

manusia. HAM mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk hidup

bebas dari segala bentuk diskriminasi, tapi disaat yang sama kita memiliki tanggung jawab

untuk menjamin bahwa hak-hak orang ain tidak dilanggar, misalnya, kita memiliki hak untuk
hidup bebas dari segala bentuk diskriminasi, tapi disaat yang sama, kita memiliki tanggung

jawab untuk tidak mendiskriminasi orang lain.

Ciri – ciri HAM yang menjadi dasar pelaksanaan HAM, yaitu :

a. Hakiki, artinya HAM sudah dibawa sejak lahir oleh seluruh makhluk hidup didunia ini.

b. Universal, HAM berlaku umum tanpa memanang status, suku bangsa, gender dan HAM

tidak dapat dicabut oleh siapapun.

c. HAM tidak dapat diserahkan pada pihak lain.

d. Tidak dapat dibagi, semua orang mendapatkan semua hak, baik politik, ekonomi, sosial dan

budaya.

Berbagai hak asasi diberbagai aspek kehidupan dapat dijelaskan, sebagai berikut :

a. Hak asasi politik ( political right ), yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak

memilihdan dipilih dalam pemilu, hak menditikan partai, dsb.

b. Hak asasi ekonomi ( Property right ), hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjual

serta memanfaatkannya.

c. Hak asasi hukum ( right of legal equality ), yaitu hak untuk meendapatkan perlakuan yang

sama dalam hukum dan pemerintahan. Serta hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama

dalam tata caraperadilan dan perlindungan (procedural right ).

d. Hak asasi social dan kebudayaan ( Social and culture right ), misalnya hak untuk memilih

pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

e. Hak atas pribadi ( personal right ), yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,

kebebasan memeluk agama, dan sebagainya.

Tindakan diskriminatif yang langsung ataupun tidak langsng membedakan manusia atas

dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status social, status ekonomi, enis kelamin,

bahasa, keyakinan politik, yang berakibat mengurangi/ menghapus pengakuan HAM dan

kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kelompok dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, social, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Tindakan diskriminatif tersebut diatas merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat

vertical ( dilakukan aparat Negara terhadap warga Negara atau sebaliknya ) maupun horizontal (

antar warga negara sendiri ) dan tidak sedikit yang masuk kategori pelanggaran HAM berat

(gross violation of human right )

Yang dimaksud pelanggaran HAM berat meliputi :

a. Pembunuhan massal ( genocide )


b. Pembunuhan sewenang- wenang atau pembunuhan diluar keputusan pengadilan (arbitrary/

extra yudicial killing )

c. Penyiksaan

d. Penghilangan orang secara paksa

e. Perbudakan

f. Diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)

Secara konseptual dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud “Pelanggaran HAM adalah

setiap perbuatan orang/ kelompok baik disengaja/ tidak disengaja/ kelalaian melawan hukum,

mengurangi/ menghalangi/ membatasi HAM seseorang atau kelompok yang dijamin oleh

Undang- undang dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan

benar berdasarkan mekanisme hukum yang yang berlaku.

3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal

1 angka 6, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja

atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak

asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak

mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan

benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat

negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,

dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh

Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh

penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan

demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan

oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain

tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya.

Pelanggaran HAM dapat dibedakan dalam dua karegori yaitu :

a. Pelanggaran HAM berdasarkan bentuk :

Bentuk pelanggaran yang sering dijumpai dalam masyarakat antara lain :


1) Deskriminasi adalah pembatasan, pelecehan, dan pengucilan yang dilakukan langsung

atau tidak lengsung yang didasarkan perbedaan manusia atas Suku, ras, etnis, dan

Agama.

2) Penyiksaan adalah perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan baik

jasmani maupun rohani

b. Pelanggaran HAM berdasarkan sifatnya meliputi :

1) Pembunuhan masal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis,

dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000 Tentang

Pengadilan HAM)

2) Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang

ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara

paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.

Asas-asas pelanggaran HAM

a. Asas kemanusiaan

HAM itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Asas kemanusiaan

menjadi substansi dari HAM agar tidak merendahkan derajat dan martabat sebagai

manusia. Penghinaan, penyiksaan, penghilangan, dan pembunuhan merupakan perbuatan

yang melanggar HAM karena bertentangan dengan kemanusiaan. Pelanggaran terhadap

kemanusiaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia itu dapat dikategorikan

pelanggaran HAM berat.

b. Asas Legalitas Asas

Asas legalitas menempatkan HAM menjadi salah satu dasar pembentukan supremasi

hukum. Implikasinya setiap warga negara dan penyelenggara negara wajib menghormati

dan melindungi HAM. Adanya asas legalitas itu memberikan legitimasi pada siapapun,

baik warga negara maupun penyelenggara negara untuk menghormati dan melindungi

HAM.

c. Asas Equalitas
Keadilan menjadi sesuatu yang esensial dalam pelaksanaan HAM. Keadilan telah

diperjuangkan manusia sejak lama. Segala bentuk penindasan akan bertentangan dengan

keadilan. Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan itu dapat dikelompokkan menjadi

tiga. Pertama, keadilan komutatif, keduakeadilan distributif, dan ketiga, keadilan legalitas.

Ketiga bentuk keadilan itu dari masa kemasa menjadi inspirasi bangsa-bangsa diduni

auntuk mewujudkan kesejahteraan bagimasyarakat.

d. Asas Sosio-Kultural

Kehidupan sosio kultural masyarakat per ludi perhatikan dalam pengembangan HAM..

Asas sosio-kultural ini makin penting agar HAM yang disebarluaskan dari bangsa lain tidak

bertentangan dengan kehidupan budaya bangsa Indonesia. Penegakan HAM jangan sampai

membuat masyarakat menjadi tercabut dari akar budaya setempat.

4. Hak Asasi Manusia dalam kesehatan

Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Pasal 1 poin 1 UU No 23/1992 tentang

Kesehatan), karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa

kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang

tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya. Sehingga kesehatan menjadi salah satu ukuran

selain tingkat pendidikan dan ekonomi, yang menentukan mutu dari sumber daya manusia

(Human Development Index).

Hak kesehatan adalah hak asasi manusia yang melekat pada seseorang sejak lahir dan

bukan karena pemberian seseorang atau negara, maka oleh sebab itu tidak dapat dicabut oleh

siapa pun. Hak atas kesehatan merupakan sekumpulan standar hak asasi manusia yang

disepakati secara internasional, dan 'tidak dapat dipisahkan' dari hak-hak lain ini. Ini berarti

mencapai hak atas kesehatan adalah realisasi hak asasi manusia lainnya, untuk makanan,

perumahan, pekerjaan, pendidikan, informasi, dan partisipasi. Jaminan pengakuan hak atas

kesehatan tersebut secara eksplisit dapat dilihat dari beberapa instrumen sebagai berikut :

a. Instrumen Internasional

1) Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

2) Pasal 6 dan 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

3) Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR)


4) Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination (ICERD).

5) Pasal 11, 12 dan 14 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women (Women’s Convention).

6) Pasal 1 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment (Torture Convention, or CAT).

7) Pasal 24 Convention on the Rights of the Child (Children’s Convention, or CRC)

b. Instrumen Nasional

1) Amandemen- II Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.

2) Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3) Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

4) UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya.

Dengan melihat dan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka sesungguhnya tiap

gangguan, intervensi atau ketidak-adilan, ketidak-acuhan, apapun bentuknya yang

mengakibatkan ketidak-sehatan tubuh manusia, kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan

sosialnya, pengaturan dan hukumnya, serta ketidak-adilan dalam manajemen sosial yang

mereka terima merupakan pelanggaran hak merekasebagai manusia.

Makna dari hak atas kesehatan tersebut yaitu pemerintah harus menciptakan kondisi yang

memungkinkan bagi setiap individu untuk hidup sehat. Berarti pemerintah harus menyediakan

sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau untuk semua. Adapun dua asas yang

melandasi Hukum kesehatan :

a. The right to health care

Hak atas pemeliharaan kesehatan berarti setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan

standar tertinggi dari kesehatan fisik dan mental meliputi akses terhadap jasa pelayanan

kesehatan dan perawatan kesehatan, seperti: akses terhadap nutrisi, air bersih, perumahan

yang sehat, imunisasi, pendidikan, sanitasi, dan akses terhadap informasi terkait kesehatan.

Faktor yang mempengaruhi hak atas pemeliharaan kesehatan yaitu:

1) Faktor Sarana Kesehatan

2) Faktor Geografis

3) Faktor Finansial/Keuangan

4) Faktor Kualitas
b. The right of self determination

Sebagai hak dasar atau hak primer individual yang merupakan sumber dari hak-hak

individual terdiri dari Hak atas privacy dan hak atas tubuhnya sendiri.

1) Hak atas privacy

Right to privacy atau Right to be Let Alone secara sederhana diterjemahkan sebagai

hak untuk tidak diusik dalam kehidupan pribadinya (Cooley, 1888). Hak atas privasi

juga dapat diterjemahkan sebagai hak dari setiap orang melindungi aspek-aspek pribadi

kehidupannya untuk dipergunakan dan dimasuki oleh orang lain (Gillmor, 1990:281).

2) Hak atas tubuhnya sendiri

Merupakan hak pasien memilih dokter, hak atas informed consent, hak menolak

pengobatan atau perawatan tindakan medis tertentu, hak menghentikan pengobatan

atau perawatan, dan hak atas second opinion serta hak memeriksa rekam medis.

Adspun peraturan yang Mengatur Hak Asasi Manusia dalam Kesehatan

a. Hak yang dimuat dalam UU no 36 thn 2009 pasal 4-8 yang berbunyi setiap orang berhak

atas:

1) Kesehatan.

2) Akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

3) Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

4) Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

5) Lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.

6) Informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

7) Informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah

maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

b. Kewajiban yang dimuat dalam UU no 36 thn 2009 pasal 9-13 yang berbunyi setiap

orang memiliki kewajiban yaitu

1) Mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

yang setinggi-tingginya.

2) Menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat,

baik fisik, biologi, maupun sosial.


3) berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan

kesehatan yang setinggi-tingginya.

4) menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi

tanggung jawabnya.

5) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.

c. Konvenan Ekonomi, Sosial Budaya yang menjadi pedoman dalam HAM dalam

kesehatan pada pasal 12

1) Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati

standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

2) Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna

mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan

untuk mengupayakan:

3) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak

serta perkembangan anak yang sehat;

4) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;

5) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik,

penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;

6) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian

medis dalam hal sakitnya seseorang.

d. Deklarasi Alma-Ata tahun 1978 tentang peran negara untuk memenuhi hak atas kesehatan

WN :

1) Penyediaan pelayanan kesehatan dasar

2) Promosi penyediaan makanan dan gizi yg baik

3) Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi

4) Perawatan ibu dan anak termasuk KB

5) Imunisasi untuk penyakit menular berbahaya

6) Pencegahan dan kontrol terhadap penyakit-penyakit endemik local

7) Pengobatan yg baik, penyakit umum dan luka-luka

8) Penyediaan obat-obat esensial

9) Menyiapkan program pendidikan kesehatan

e. Piagam Majelis Kesehatan Rakyat Tahun 2000 di Bangladesh tentang kesehatan sebagai

HAM
Kesehatan mencerminkan komitmen masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan.

Kesehatan dan HAM seharusnya diprioritaskan diatas kepentingan ekonomi dan politik.

Mengajak:

1) Mendukung penerapan hak untuk sehat

2) Menuntut pemerintah dan org internasional---dipastikan pelaksanaan kebijakan dan

menghormati hak untuk sehat

3) Membangun gerakan masyarakat agar kesehatan dan Ham masuk dalam undang

undang

4) Melawan eksploitasi kebutuhan kesehatan rakyat

f. Muatan HAM bidang kesehatan dalam perubahan kedua UUD 1945 BAB XA/Pasal 28 H:

1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.

2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya

secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

g. Hak dan Kewajiban dalam Profesi

Keahlian medis harus dimiliki tenaga kesehatan agar dapat memberikan pelayanan

kesehatan yang maksimal kepada pasien. Dalam praktiknya, tenaga kesehatan memiliki

beberapa hak dan kewajiban, yaitu:

1) Hak Tenaga Kesehatan

Hak tenaga kesehatan yang dimuat dalam pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2014 antara

lain:

a) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan

standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional

b) Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan kesehatan

dan keluarganya

c) Menerima imbalan jasa

d) Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang

sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai

agama
e) Mendapat kesempatan untuk mengembangkan profesi

f) Menolak keinginan penerima pelayanan kesehatan atau pihak lain yang

bertentangan dengan standar profesi, kode etik, standar pelayanan, standar

prosedur operasional atau ketentuan peraturan perundang-undangan

g) Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Antara Hak Asasi Manusia dan Kesehatan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi.

Seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan terhadap kesehatan demikian

pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan pelanggaran

terhadap HAM. Hubungan antara kesehatan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dilihat

pada gambar berikut:

Torture Slavery

Harmful Violence
Traditional against woman
practice & children
HUMAN RIGHTS
VIOLATIONS
RESULTING IN ILL-
HEALTH
Rights to Rights to
helath HEALTH participation
&
REDUCING HUMAN PROMOTION
VULNERABILITY TORIGHT VIOLATION OF
Freedom from
Rights to ILL-HELATH HUMAN RIGHTS
discrimination
education
THROUGH HUMAN THROUGH HEALTH
RIGHTS DEVELOPMENT

Rights to food & Rights to information


nutrition
Freedom from Rights to
discrimination privacy

Sumber: Jurnal Ilmu Kedokteran, Jilid 2 Nomor I. ISSN 1978-662X

Lingkaran kanan bawah dari lingkaran hubungan antara HAM dan Kesehatan

merupakan akibat tidak terpenuhi atau gagalnya pemerintah dalam memenuhi

kewajibannya. Sementara itu, lingkaran atas erat kaitannya dengan hak atas kesehatan yang

terlanggar oleh praktik-praktik kekerasan, yang menjadi bagian dari pelanggaran hak sipil

dan politik. Untuk lingkaran kiri bawah menggambarkan hubungan antara HAM dan

Kesehatan yang terjadi akibat kondisi masyarakat yang rentan. Sementara itu juga terdapat

beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri dalam hubungan antara Negara

dan Individu. Secara khusus, kesehatan yang baik tidaklah dapat dijamin oleh Negara, dan

tidak juga Negara menyediakan perlindungan terhadap setiap kemungkinan penyebab

penyakit manusia. Oleh karena itu, faktor genetik, kerentanan individu terhadap penyakit
dan adopsi gaya hidup yang tidak sehat atau beresiko, mempunyai peranan yang sangat

penting terhadap kesehatan seseorang. Sehingga, Hak Atas Kesehatan harus dipahami

sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang penting

bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.

h. Isu Pokok Hak Atas Kesehatan

Untuk itu para ahli, aktivis dan badan-badan PBB mencoba membuat rincian mengenai

core content hak atas kesehatan. Core content terdiri dari seperangkat unsur-unsur yang

harus dijamin oleh negara dalam keadaan apapun, tanpa mempertimbangkan ketersediaan

sumber daya, yang terdiri dari:

1) Perawatan kesehatan :

a) Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana;

b) Imunisasi;

c) Tindakan yang layak untuk penyakit-penyakit biasa (common disease) dan

kecelakaan;

d) Penyediaan obat-obatan yang pokok (essential drugs).

2) Prakondisi dasar untuk kesehatan :

a) Pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode-metode

untuk mencegah dan mengedalikannya;

b) Promosi penyediaan makanan dan nutrisi yang tepat;

c) Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar.

Jika melihat hubungan antara kesehatan dan HAM, kategorisasi unsur-unsur di

atas belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan. Untuk itu faktor-faktor yang

berhubungan dengan kesehatan yang termasuk dalam hak-hak asasi manusia yang lain,

tidak perlu ditambahkan ke dalam hak atas kesehatan.

Hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau sesuai bunyi pasal 12

ayat (2) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR)

memberikan contoh umum dan spesifik berbagai langkah-langkah yang muncul dari

adanya definisi yang luas dari hak atas kesehatan dalam pasal 12 ayat (1) sehingga

dapat dapat menggambarkan isi dari hak atas tersebut, yaitu :

1) Hak ibu, Hak anak dan kesehatan reproduksi.

a) Mengurangi angka kematian bayi dan anak di bawah usia 5 tahun;

b) Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi;


c) Akses terhadap Keluarga Berencana (KB);

d) Perawatan sebelum dan sesudah melahirkan;

e) Pelayanan gawat darurat dalam bidang obstetri (kebidanan);

f) Akses dan sumber daya yang dibutuhkan sehubungan dengan kesehatan

reproduksi.

2) Hak atas lingkungan alam dan tempat kerja yang sehat dan aman.

a) Tindakan preventif terhadap kecelakaan kerja dan penyakit;

b) Air minum yang sehat dan aman serta sanitasi dasar;

c) Pencegahan dan menurunkan kerentanan masyarakat dari substansi yang

membahayakan seperti radiasi, zat kimia berbahaya, kondisi lingkungan yang

membahayakan;

d) Industri yang higienis;

e) Lingkungan kerja yang sehat dan higienis;

f) Perumahan yang sehat dan memadai;

g) Persediaan makanan dan nutrisi yang cukup;

h) Tidak mendorong penyalahgunaan alkohol, tembakau, obat-obatan dan substansi

yang berbahaya lainnya.

3) Hak pencegahan, penanggulangan dan pemeriksaan penyakit.

a) Pencegahan dan penanggulangan serta pengawasan penyakit epidemik dan

endemik, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan;

b) Pembentukan program pencegahan dan pendidikan bagi tingkah laku yang

berkaitan dengan kesehatan seperti penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS,

penyakit yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi;

c) Promosi menenai faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan, misalnya

lingkungan yang aman, pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan keseteraan gender;

d) Hak atas perawatan;

e) Bantuan bencana alam dan bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat;

f) Pengendalian penyakit dengan menyediakan teknologi, menggunakan dan

meningkatkan ketahanan epidemi serta imunisasi.

4) Hak atas fasilitas kesehatan, barang dan jasa.

a) Menjamin adanya pelayanan medis yang mencakup upaya promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif baik fisik maupun mental;


b) Penyediaan obat-obatan yang esensial;

c) Pengobatan atau perawatan mental yang tepat;

d) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan seperti organisasi

bidang kesehatan, sistem asuransi, secara khusus partisipasi dalam keputusan

politik di level komunitas tertentu dan negara.

5) Topik khusus dan penerapan yang lebih luas.

a) Non diskriminasi dan perlakuan yang sama;

b) Perspektif gender

c) Kesehatan anak dan remaja, orang tua, penyandang cacat dan masyarakat adat.

Untuk itu badan kesehatan dunia (WHO) telah membuat indikator-indikator kesehatan

untuk menilai pelaksanaan pembangunan dan pemenuhan hak atas kesehatan tersebut.

Indonesia juga terikat dengan komitmen tersebut dan hal tersebut telah diadopsi dengan

menetapkan 50 indikator kesehatan yang akan dicapai pada tahun.

i. Implementasi Hak Atas Kesehatan Dalam Konteks HAM

Dalam upaya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi

(to fulfil) sebagai kewajiban negara mengimplementasikan norma-norma HAM pada hak atas

kesehatan harus memenuhi prinsip-prinsip :

1) Ketersediaan pelayanan kesehatan, dimana negara diharuskan memiiki sejumlah

pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk;

2) Aksesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa, harus dapat diakses oleh tiap orang

tanpa diskriminasi dalam jurisdiksi negara. Aksesibilitas memiliki empat dimensi yang

saling terkait yaitu :tidak diskriminatif, terjangkau secara fisik, terjangkau secara

ekonomi dan akses informasi untuk mencari, menerima dan atau menyebarkan informasi

dan ide mengenai masalah-masalah kesehatan.

3) Penerimaan. Segala fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus diterima oleh etika

medis dan sesuai secara budaya, misalnya menghormati kebudayaan individu-individu,

kearifan lokal, kaum minoritas, kelompok dan masyarakat, sensitif terhadap gender dan

persyaratan siklus hidup. Juga dirancang untuk penghormatan kerahasiaan status

kesehatan dan peningkatan status kesehatan bagi mereka yang memerlukan.

4) Kualitas. Selain secara budaya diterima, fasilitas kesehatan, barang, dan jasa harus

secara ilmu dan secara medis sesuai serta dalam kualitas yang baik. Hal ini

mensyaratkan antara lain, personil yang secara medis berkemampuan, obat-obatan dan
perlengkapan rumah sakit yang secara ilmu diakui dan tidak kadaluarsa, air minum aman

dan dapat diminum, serta sanitasi memadai.

Sementara itu dalam kerangka 3 bentuk kewajiban negara untuk memenuhi hak atas

kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Menghormati hak atas kesehatan

Dalam konteks ini hal yang menjadi perhatian utama bagi negara adalah tindakan atau

kebijakan “apa yang tidak akan dilakukan” atau “apa yang akan dihindari”. Negara

wajib untuk menahan diri serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan

berdampak negatif pada kesehatan, antara lain : menghindari kebijakan limitasi akses

pelayanan kesehatan, menghindari diskriminasi, tidak menyembunyikan informasi

kesehatan yang penting, tidak menerima komitmen internasional tanpa

mempertimbangkan dampaknya terhadap hak atas kesehatan, tidak menghalangi praktek

pengobatan tradisional yang aman, tidak mendistribusikan obat yang tidak aman.

2) Melindungi hak atas kesehatan

Kewajiban utama negara adalah melakukan langkah-langkah di bidang legislasi ataupun

tindakan lainnya yang menjamin persamaan akses terhadap jasa kesehatan yang

disediakan pihak ketiga. Membuat legislasi, standar, peraturan serta panduan untuk

melindungi : tenaga kerja, masyarakat serta lingkungan. Mengontrol dan mengatur

pemasaran, pendistribusian substansi yang berbahaya bagi kesehatan seperti tembakau,

alkohol dan lain-lain, mengontrol praktek pengobatan tradisional yang diketahu

berbahaya bagi kesehatan.

3) Memenuhi hak atas kesehatan

Dalam hal ini adalah yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti menyediakan

fasilitas dan pelayanan kesehatan, makanan yang cukup, informasi dan pendidikan yang

berhubungan dengan kesehatan, pelayanan pra kondisi kesehatan serta faktor sosial yang

berpengaruh pada kesehatan seperti : kesetaraan gender, kesetaraan akses untuk bekerja,

hak anak untuk mendapatkan. identitas, pendidikan, bebas dari kekerasan, eksploitasi,

kejatahan seksual yang berdampak pada kesehatan.

Dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan negara harus mengambil langkah langkah baik

secara individual, bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan

teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh
dari hak atas kesehatan sebagaimana mandat dari pasal 2 ayat (1) International Covenant on

Economic, Social and Cultural Right (ICESCR).

5. Hak Pasien

Hak Dan Kewajiban Pasien Dan Keluarga Pasien :

Dalam peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 4 tahun 2018 pasal 17 :

a. Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak Pasien sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf m dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan

dan standar Rumah Sakit, melakukan pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan

Pasien, serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapannya.

b. Hak Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

1) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

2) Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban Pasien;

3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; memperoleh

layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional;

4) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga Pasien terhindar dari kerugian

fisik dan materi;

5) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

6) memilih dokter, dokter gigi, dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

7) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang

mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

8) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya;

9) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan

tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

10) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh Tenaga

Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

11) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

12) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak

mengganggu Pasien lainnya;


13) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah

Sakit;

14) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

15) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan

yang dianutnya;

16) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan

pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

17) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan

melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

c. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya

sebagaimana diamksud pada ayat (2) huruf i termasuk mendapatkan akses terhadap isi

rekam medis.

d. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh Tenaga

Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k,

termasuk hak untuk memberikan persetujuan atau menolak menjadi bagian dalam suatu

penelitian kesehatan.

e. Dalam rangka memenuhi hak Pasien untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dan huruf r, setiap Rumah Sakit wajib

menyediakan unit pelayanan pengaduan.

f. Unit pelayanan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan pengumpulan

informasi, klarifikasi dan penyelesaian keluhan Pasien atas ketidakpuasan terhadap

pelayanan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit dan/atau prosedur

pelayanan di Rumah Sakit.

g. Keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut harus ditindaklanjuti

secara cepat, adil dan objektif.

6. Aspek Perlindungan Hukum Bagi Bidan di Komunitas

Komunitas adalah kelompok orang yang berada di suatu lokasi tertentu. Sasaran kebidanan

komunitas adalah ibu dan anak balita yang barada dalam keluarga dan masyarakat. Pelayanan

kebidanan komunitas dilakukan di luar rumah sakit. Kebidanan komunitas dapat juga

merupakan bagian atau kelanjutan pelayanan kebidanan yang diberikan di rumah sakit.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak di lingkungan keluarga merupakan kegiatan kebidanan

komunitas.

Dalam menjalankan praktiknya, seorang bidan telah diatur dalam Pancasila sebagai

landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Permenkes No. 28 tahun 2017

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

a. Kewenangan Bidan

Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendekatkan

pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pelayanan kebidanan

adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab dalam praktik kebidanan dalam sistem

pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka

mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat. Kualitas pelayanan kebidanan

diupayakan agar dapat memnuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Dengan adanya

standar pelayanan masyarakat akan memiliki rasa kepercayaan yang lebih baik terhadap

pelaksana pelayanan. Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki

kewenangan untuk memberikan:

a) Pelayanan Kesehatan Ibu

1) Penyuluhan dan konseling pada masa sebelum hamil, bimbingan pada kelompok ibu

hamil.

2) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal dan pemberian tablet darah pada ibu

hamil.

3) Persalinan normal, terdiri dari episiotomi, pertolongan persalinan normal, penjahitan

luka jalan lahir tingkat I dan II, pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala

tiga, dan postpartum, penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan.

4) Pelayanan pada masa nifas dan pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas.

5) Pelayanan pada masa menyusui dengan memfasilitasi/membimbing ibu untuk

melakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) dan promosi air susu ibu eksklusif

6) Pelayanan pada masa antara dua kehamilan

7) Pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.

b) Pelayanan Kesehatan Anak

1) Pelayanan neonatal esensial meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan

perawatan tali pusat, pemberian suntikan vit K1, pemberian imunisasi HB0,
pemeriksaan fisik bayi baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda

identitas diri, dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil, dan

tepat waktu ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

2) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan, meliputi:

 Penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan nafas,

ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung.

 Penanganan awal hipotermi pada bayi baru lahir dengan BBLR melalui

penggunaan selimut atau fasilitas dengan cara menghangatkan tubuh bayi dengan

metode kangguru

 Penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau povidone

iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering,

 Membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan infeksi

gonore (GO)

 Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan nak prasekolah, meliputi

kegiatan penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi

badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang

balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)

 Konseling dan penyuluhan, meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi

(KIE) kepada ibu dan keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif,

tanda bahaya pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi seimbang,

PHBS, dan tumbuh kembang.

3) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Perempuan, dan Keluarga Berencana

 Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi peremuan dan keluarga

berencana, dan

 Pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan

Selain kewenangan diatas, bidan memiliki kewenangan memberikan pelayanan

berdasarkan:

1) Penugasan dari pemerintahan sesuai kebutuhan, diperoleh Bidan setelah mendapatkan

pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bersama

organisasi profesi terkait berdasarkan modul dan kurikulum yang terstandarisasi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penugasan ini terdiri atas:

a) Kewenangan berdasarkan program pemerintah, meluputi:


(1) Pemberian pelayanan alat kontrasepsi dalam rahim dan alat kontrasepsi bawah

kulit

(2) Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit tertentu

(3) Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai dengan pedoman yang

ditetapkan

(4) Pemberian imunisasi rutin dan tambahan sesuai program pemerintah

(5) Melakukan pebinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan

anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan

(6) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak

sekolah

(7) Melaksanakan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap

Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit

lainnya

(8) Pencegahan penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya

(NAPZA) melalui informasi dan edukasi

(9) Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas

(10) Kebutuhan dan penyediaan obat, vaksin, dan/atau kebutuhan logistik lainnya

dalam pelaksanaan kewenangan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

b) Kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat

Bidan bertugas yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota

setempat

2) Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari

dokter, diberikan secara tertulis dan menjadi tanggung jawab oleh dokter pada Fasilitas

Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tempat Bidan bekerja. Pelimpahan tindakan

pelayanan kesehatan dilakukan dengan ketentuan:

a) Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kompetensi yang telah dimiliki oleh

Bidan penerima pelimpahan

b) Pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan dokter pemberi

pelimpahan

c) Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil keputusan klinis sebagai

dasar pelaksanaan tindakan


d) Tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus

b. Kode Etik Bidan

Kode etik merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan

eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang

memberikan tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi. Dalam

melaksanakan praktik kebidanannya, bidan memiliki kewajiban dan hak sesuai dengan

perlindungan hukum sebagai perlindungan hukum sebagai hak asasi manusia. Adalah kewajiban

dan hak bidan adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban Bidan

1) Menghormati hak pasien

2) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang

dibutuhkan

3) Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat

waktu

4) Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan

5) Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

6) Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang diberikan secara

sistematis

7) Mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional

8) Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan Praktik Kebidanan termasuk

pelaporan kelahiran dn kematian

9) Pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran

10) Meningkatkan utu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang

tugasnya.

b. Hak Bidan

1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pelayanannya sesuai dengan

standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur opersional.

2) Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya

3) Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan

4) Menerima imbalan jasa profesi


c. Registrasi Praktik Bidan

Praktik pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyedia layanan kesehatan, yang

memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya dalam meningkatkan

kesejahteraan ibu dan anak. Agar masyarakat pengguna jasa layanan bidan memperoleh akses

pelayanan yang bermutu dari pelayanan bidan, perlu adanya regulasi pelayanan praktik bidan

secara jelas, persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktik, seperti perizinan,

tempat, ruangan, peralatan praktik, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai

dengan standar, diatur dalam: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang:

Registrasi dan Praktik Bidan. Setiap Bidan harus memiliki STRB untuk dapat melakukan

praktik keprofesiannya dan berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi

persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Fungsi Bidan Dalam HAM

Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM), sebagaimana

disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal

10  November 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang

memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarga.

Di sisi lain, Konvensi International tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang

ditetapkan PBB pada tahun 1966 juga mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar 

tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mentalnya. 

Sebagai hak asasi manusia, maka hak kesehatan adalah hak yang melekat pada seseorang

karena kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian seseorang atau negara, dan oleh

sebab itu tentu saja tidak dapat dicabut dan dilanggar oleh siapa pun.

Sehat itu sendiri tidak hanya sekadar bebas dari penyakit, tetapi adalah kondisi sejahtera

dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara ekonomis.

Maka, sesuai dengan norma HAM, negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan

memenuhi hak-hak asasi kesehatan tersebut.    Kewajiban menghormati hak-hak asasi itu,

antara lain dilakukan dengan cara  menciptakan persamaan akses pelayanan kesehatan,

mencegah tindakan-tindakan yang dapat menurunkan status kesehatan masyarakat, melakukan

langka-langkah legislasi yang dapat menjamin perlindungan kesehatan masyarakat, dan

membuat kebijakan kesehatan, serta  menyediakan anggaran dan jasa-jasa pelayanan kesehatan

yang layak dan memadai untuk seluruh masyarakat.


Hak atas kesehatan ini bermakna bahwa pemerintah harus menciptakan kondisi yang

memungkinkan setiap individu untuk hidup sehat, dan ini berarti pemerintah harus

menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan pelayanan kesehatan yang

terjangkau untuk semua. Seperti akses terhadap air bersih, nutrisi, imunisasi, perumahan yang

sehat, sanitasi, lingkungan dan tempat kerja yang sehat, pendidikan, dan akses terhadap

informasi terkait kesehatan.

Dalam upaya pemenuhan kesehatan sebagai hak asasi manusia, maka pemerintah yang

mempunyai tugas dan kewenangan untuk menyejahterakan warga negara mempunyai

kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut. 

Aspek kesehatan ini harus dijadikan pertimbangan penting dalam setiap kebijakan

pembangunan. Salah satu bentuk implementasinya adalah kewajiban pemerintah untuk

menyediakan anggaran memadai untuk pembangunan kesehatan yang melibatkan masyarakat

luas.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan untuk menyejahterakan warga

terutama untuk menjamin terjaganya hak asasi manusia dibidang kesehatan tentu tidak terlepas

dari peran tenaga kesehatan dalam hal ini bidan. Bidan sebagai salah tenaga kesehatan yang

terdekat dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan

status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : HK.02.02/MENKES/149/2010  tentang

izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidang disebutkan bahwa Bidan dalam menjalankan praktik

harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Sementara itu Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:

a. Menghormati hak pasien;

b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu;.

c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;

e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;

f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;

g. Mematuhi standar; dan

h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana

dan kematian

Fungsi Bidan dalam kaitanya dengan penegakan HAM antara lain :


a. Pemberikan hak kepada semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan

bertanggung jawab terhadap jumlah, jeda danwaktu untuk mempunyai anak serta hak atas

informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Contohnya bidan memberikan informasi

selengkap - lengkapnya kepada klien saat klien tersebut ingin menggunakan jasa KB dan

bidan memberi hak kepada klien untuk mengambil keputusan sesuai keinginan kliennya.

b. Pemberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan

reproduksi yang terbaik serta memberikan hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi

agar hal tersebut dapat terwujud. Misalnya, bidan membrikan penyuluhan tentang

kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi kepada masyarakat dan memberikan

pelayanan serta informasi selengkap-lengkapnya kepada masyarakat agar masyaraka

mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik.

c. Pemberikan hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas

dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan.

C. Perspektif Gender dan HAM Dalam Pelayanan Kebidanan

Penerapan asuhan kebidanan di komunitas dengan perspektif gender tentunya di lakukan dengan

penerapan konsep profesi dalam praktek kebidanan. Aplikasi konsep tersebut meliputi standar praktek

kebidanan yang dikembangkan dari filosofi dan kode etik kebidanan.

Untuk menerapkan gender dalam asuhan kebidanan komunitas, bidan harus memperhatikan

prinsip,pendekatan,dan kerangka konsep bidan sensitive gender.

1. Prinsip Asuhan Kebidanan Komunitas Berspektif Gender dan HAM

a. Berfokus kepada perempuan ( women center care )

Prinsip women center care adalah penerapan asuhan kbidanan yang melibatkan perempuan

dalam setiap pemberian asuhan dengan cara sebagai berikut :

1) Mendorong perempuan untuk berkontribusi secara aktif dalam proses

kehamilan,persalinan, dan nifas.

2) Mendorong perempuan sebagai pengambil keputusan dalam menentukan kesehatan

reproduksinya termasuk pengambilan keputusan untuk proses kehamilan , persalinan,

nifas, dan menjadi akseptor keluarga berencana.

3) Fokus utama dalam pemberian asuhan adalah dengan cara rosponsif terhadap kebutuhan

perempuan dan bayi.


4) Memahami setiap orang yang diberi asuhan adalah indiviidu yang unik, sehingga setiap

memberikan asuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu.

b. Asuhan berkelanjutan (continue of care)

Asuhan berkelanjutan mempunyai pengertian sebagai berikut :

1) Continue of care atau continuum of care life – cycle across adalah dalam pemberian

asuhan kebidanan harus berkesinambungan, yaitu asuha kebidanan dilakukan pada daur

siklus kesehatan reproduksi perempuan , sesuai dengan ruang lingkup kebidanan yang di

atur dalam keputusan mentri kesehatan pada 1464/2010, termasuk kesehatan remaja, pra

konsepsi, konseling,ANC,INC,PNC, Bayi Baru Lahir,Bayi, dan Anak Balita, serta

kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana.

2) Continue of care pathwayas adalah asuhan kebidanan dilakukan disetiap tatanan

pelayanan kesehatan sesuai system pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang

berkelanjutan mulai dari pelayanan plimer,sekunder dan tersier.

c. Asuhan yang berbasis bukti dan memperhatikan keamanan pasien( evidence base and

patien safety)

1) Asuhan kebidanan berbasis bukti adalah pemberian asuhan berdasarkan bukti-bukti

tentang konsep fisiologi dan psikologis kehamilan , persalinan,nifas, dan menyusui,

yang merupakan proses yang alamia atau normal dari kehidupan reproduksi perempuan.

2) Asuhan ini menggunakan hasil penelitian tentang keaman sebagai acuan dalam proses

pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah dan memperoleh hasil maksimal.

3) Memberikan prioritas kepada keefektifitas dan efisien asuhan yang normal atau

fisiologis denganseminimal mungkin melakukan tindakan invansif, serta tidak

merugikan atau menyakiti pasien.

2. Pendekatan Asuhan Kebidanan Komunitas Berspektif Gender dan HAM

Penerapan asuhan kebidanan di komunitas dengan perspektif gender tentunya di lakukan

dengan penerapan konsep profesi dalam praktek kebidanan. Aplikasi konsep tersebut meliputi

standar praktek kebidanan yang dikembangkan dari filosofi dan kode etik kebidanan.

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menerapkan asuhan kebidanan

komunitas berperspektif gender diantaranya yaitu :

a. Pendekatan kemanusiaan ( humanistic )

Pendekatan kemanusiaan adlah pendekatan dengan memanusiakan manusia artinya :


1) Asuhan kebidanan dilakukan secara manusiawi , aman, dan nyaman bagi perempuan.

2) Menghargai harkat dan martabat perempuan

3) Menghargai hak-hak perempuan

4) Menjaga prifasi dan kerahasiaan

5) Mengutamakan pendekatan alamia atau fisiologi dan penggunaan teknologgi yang di

sesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, mengatur ruang persalinan seperti kamar atau

ruang dirumah ibu sendiri ( naturally setting )

b. Pendekatan menyeluru ( holistic)

Pendekatan secara menyeluru yaitu dalam memberikan asuhan kebidanan tidak hanya

memperhatikan masalah fisik saja, tetapi pemberian asuhan harus dilakukan secara

menyeluruh dengan memperhatikan aspek bio-psiko-sosial-spiritual-kulturan.

c. Pendekatan komprehensif

Pendekatan komprenhensif yaitu pemberian asuhan kebidanan dengan menempatkan

perempuan janin, dan bayi sebagai satu kesatuan, serta ada peran aktif dari individu yang

diberi asuhan dalam proses persalinan . selain itu, pelayanan kebidanan harus dapat di akses

oleh semua perempuan dengan memperhatikan kebutuhan individu , keluarga, kelompok,

dan masyarakat.

Penerapan sebuah etika dan pendekatan hak asasi manusia pada pelayanan kesehatan harus

menghormati budaya, etnis.ras, gender dan pilihan individu yang tidak membahayakan kesehatan

dan kesejahteraan.

Masyarakat dipedesaan di Indonesia kebanyakan masih tergantung pada sektor pertanian.

Pengeluaran rata-rata per kapita mereka mudah menurun secara cepat dibawah garis kemiskinan

(didefinisikan sebagai pendapatan per kapita perbulan-rata-rata sebesar Rp 41.588;Djajadilaga,

2003). Dalam kondisi seperti ini, masyarakat biasanya lebih memprioritaskan pengeluaran untuk

kebbutuhan dasar pangan, bukan kebutuhan sandang apalagi kesehatan. Akibatnya masyarakat

mengalami berbagai permasalahan kesehatan yang dampaknya terutama terlihat lebih jelas pada

perempuan dan anak.

Bidan desa memainkan peran penting untuk kelangsungan hidup ibu dan anak,terutama di

daerah pedesaan. Masih tinggi kebutuhan perempuan terhadap pelayana persalinan oleh tenaga

bidan. Tren pemanfaatan tenaga bidan desa disejumlah kabupapaten untuk pelayanan masa

kehamilan (antenatal care)/ANC dan masa nifas (postpartum care)menunjukan peningkatan

(parker dan roestam,2002,p.19). bahkan dibeberapa kabupaten, pemanfaatan bidan untuk ANC
hingga mencapai 100 persen. Hal ini menunjukan bahwa bidan sangat berperan dalam

meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan pengobatan dasar, khususnya pelayanan ibu

dan anak di daerah pedesaaan (UNUCEF, 1997; Center for Health Research,2001). Namun

permasalahan terkait kesehatan reproduksi perempuan tidak hanya mencakup masalah klinis saja,

tetapi non klinis. Sering kali perempuan dihadapkan dengan ketakutan yang bisa berdampak

kepada kondisi kesehatan reproduksinya, misalnya : takut KB, karena takut disuntik, takut punya

anak, karena sudah banyak anak atau baru saja melahirkan, dan lain-lain. Sebagai tokoh penting

di desa, seorang bidan seharusnya tidak hanya berperan dalam hal pemperian pelayanan

kesehatan reproduksi, tetapi juga dalam membantu pemecahan masalah, baik yg terkait maupun

tidak, dengan kesehatan reproduksi yang berkembang di masyarakat. Keterampilan yang mereka

miliki, secara klinis maupun non

BAB II
INFORMASI DAN TEKNOLOGI DALAM
PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS

1. Konsep Dasar Informasi dan Teknologi Kesehatan

a. Definisi Informasi Dan Teknologi Kesehatan

Berdasarkan PERMENKES NO.92 Tahun 2014, Informasi Kesehatan adalah Data

Kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk yang mengandung nilai dan

makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam mendukung pembangunan

kesehatan.

Menurut WHO, Teknologi kesehatan adalah penerapan pengetahuan dan keterampilan

yang terorganisir dalam bentuk perangkat, obat-obatan, vaksin, prosedur dan sistem yang

dikembangkan untuk memecahkan masalah kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup.

Sedangkan menurut UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Teknologi


Kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu

menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia.

b. Ruang Lingkup Informasi dan Teknologi Kesehatan

Teknologi dalam dunia kesehatan memiliki peranan yang sangat penting dalam

meningkatkan kualitas pelayanan yang diselenggarakan pada instansi kesehatan di

Indonesia. Hal ini membuat setiap istansi kesehatan berlomba-lomba memperbaiki sistem

informasi rekam medis sebagai upaya mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan yang

berbasis teknologi informasi.

Ruang lingkup Aplikasi Sistem Informasi Kesehatan yang berdasarkan pengelolaan

informasi dalam lingkup manajemen pasien (front office management) diantaranya adalah

sebagai berikut:

1) Registrasi Pasien, yang mencatat data/status pasien untuk memudahkan

pengidentifikasian maupun pembuatan statistik dari pasien masuk sampai keluar.

Modul ini meliputi pendaftaran pasien baru/lama, pendaftaran rawat inap/jalan, dan

info kamar rawat inap.

2) Rawat Jalan/Poliklinik yang tersedia di rumah sakit, seperti: penyakit dalam,

bedah,obstetri dan ginekologi, KB, syaraf, jiwa, THT, mata, gigi dan mulut, kardiologi,

radiologi, bedah orthopedi, paru-paru, umum, UGD, dan lain-lain sesuai kebutuhan.

Modul ini juga mencatat diagnose dan tindakan terhadap pasien agar tersimpan di

dalaM laporan rekam medis pasien.

3) Rawat Inap. Modul ini mencatat diganosa dan tindakan terhadap pasien, konsultasi

dokter hubungan dengan poliklinik/penunjang medis.

4) Penunjang Medis/Laboratorium, yang mencatat informasi pemeriksaan seperti: ECG,

EEG, USG, ECHO, TREADMIL, CT Scan, Endoscopy, dan lain-lain.

5) Penagihan dan Pembayaran, meliputi penagihan dan pembayaran untuk rawat jalan,

rawat inap dan penunjang medis (laboratorium, radiologi, rehab medik), baik secara

langsung     maupun melalui jaminan dari pihak ketiga/asuransi/JPKM. Modul ini juga

mencatat     transaksi harian pasien (laboratorium, obat, honor dokter), daftar piutang,

manajemen deposit dan lain-lain.

6) Apotik/Farmasi, yang meliputi pengelolaan informasi inventori dan transaksi obat-

obatan.
c. Manfaat Informasi dan Teknologi Kesehatan

World Health Organisation (WHO) menilai bahwa Sistem Informasi Kesehatan mempunyai

beberapa manfaat antara lain:

1) Membantu pengambil keputusan untuk mendeteksi dan mengendalikan masalah

kesehatan, memantau perkembangan dan meningkatkannya

2) Pemberdayaan individu dan komunitas dengan cepat dan mudah dipahami, serta

melakukan berbagai perbaikan kualitas pelayanan kesehatan

Adapun manfaat adanya Sistem Informasi Kesehatan dalam suatu fasilitas kesehatan

diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Memudahkan setiap pasien untuk melakukan pengobatan dan mendapatkan pelayanan

kesehatan,

2) Memudahkan fasilitas kesehatan untuk mendaftar setiap pasien yang berobat, dan

3) Semua kegiatan di fasilitas kesehatan terkontrol dengan baik (bekerja secara terstruktur).

Dampak Teknologi Tepat Guna Dalam Masyarakat

Dampak positif sebagai berikut:

1) Dengan adanya teknologi tepat guna dalam kebidanan, maka masyarakat akan mendapat

kemudahan dalam menjaga kesehatan yang lebih efisien dan efektif.

2) Teknologi yang ada, dapat membuat kegiatan khususnya di dalam kebidanan akan lebih

sederhana dan mudah

Teknologi tepat guna merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang

dihadapi masyarakat.

Teknologi tersebut harus berpotensi memenuhi beberapa kriteria antara lain :

1) Mengkonversi sumberdaya alam,

2) Menyerap tenaga kerja,

3) Memacu industri rumah tangga, dan

4) Meningkatkan pendapatan masyarakat secara nasional, bahwa untuk mempercepat

pemulihan ekonomi nasional, mempercepat kemajuan desa dan menghadapi persaingan

global dipandang perlu melakukan percepatan pembangunan perdesaan melalui

pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang yang didukung oleh penerapan dan

pengembangan teknologi tepat guna (ali, 2009).


Teknologi tepat guna adalah teknologi yang cocok dengan kebutuhan masyarakat

sehingga bisa dimanfaatkan pada saat rentang waktu tertentu . Biasanya dipakai sebagai

istilah untuk teknologi yang terkait dengan budaya lokal. Teknologi tepat guna sebagai

salah satu jalur penting untuk mencapai tujuan yang mendasar, yakni meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia dengan keanekaragaman

ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dapat diposisikan, tidak hanya sebagai

pendukung, tapi juga sebagai pionir perambah jalan menuju terwujudnya masyarakat

sejahtera berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat di Indonesia yang berada di berbagai

penjuru tanah air dengan tingkat kemampuan penguasaan teknologi dan ekonomi yang

terbatas.

d. Pengembangan Teknologi Kesehatan

Teknologi merupakan suatu metode bersifat ilmiah untuk mencapai tujuan praktis yang

merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk menyediakan barang-

barang yang berguna bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Barang-barang

sebagai alat bantu sudah ada sejak zaman pra sejarah, hanya saja masih bersifat sangat

sederhana seperti alat bantu untuk berburu dan mengolah makanan yang terbuat dari

bambu, batu, kayu mauapaun bahan sederhana lain yang mudah dijumpai di alam bebas.

Menurut (Adib, 2011) pada awalanya teknologi berkembang secara lambat, Namun seiring

dengan kemajuan tingkat kebudayaan dan peradaban manusia perkembangan teknologi

berkembang dengan cepat. Semakin maju kebudayaannya, semakin berkembang

teknologinya karena teknologi merupakan perkembangan dari kebudayaan yang maju.

Selain dimakanai sebagai sebuah penerapan ilmu pengetahuan dalam bentuk barang,

(Martono, 2012) mengemukakan bahwa teknologi dapat pula diartikan sebagai pengetahuan

mengenai bagaiamana membuat sesutu (know-how of making things), dalam arti

kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan nlai yang tinggi, baik dalam segi manfaat

maupun nilai jualnya. Dalam beberapa konsep yang pragmatis , misalnya secara akademis

(Dwiningrum,2012) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan


teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubungan

dengan proses produksi untuk merealisasikan tujuan produksi.

Apabila dipelajari lebih mendalam, teknologi memiliki beberpa makna yang lebih

mendalam daripada hanya sebagai suatu peralatan, tergantung dari sudut pandang maupun

disiplin ilmu pengertian teknologi itu dilihat. Menurut Marx, teknologi merupakan alat,

dalam pandangan materialisme historis hanya menunjuk pada sejumlah alat yang dapat

dipakai manusia untuk mencapai kesejahteraan. Berbeda dengan Weber yang

mendefinisikan teknologi sebagai ide atau pikiran manusia itu sendiri. Sementara itu

menurut Durkheim, teknologi merupakan kesadaran kolektif yang bahkan diprediksi dapat

menggantikan kedudukan agama dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan (Martono,

2012) teknologi menetapkan suatu kerangka bagi kebudayaan non material suatu

kelompok. Jika teknologi suatu kelompok mengalami perubahan, maka cara berpikir

manusia juga akan mengalami perubahan. Hal ini juga berdampak pada cara mereka

berhubungan dengan yang lain.

Sebagiamana halnya sebuah ilmu pengetahuan yang semakin hari semakin berkembang,

teknologi pun demikian adanya. Perkembangan teknologi mengalami beberapa siklus.

Menurut Jacob siklus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi lima tahapan

siklus kondratif, yaitu: pertama, dimulai dengan revolusi teknologi (tahun 1760); kedua,

ditandai dengan terbentangnya jaringan kereta api (tahun 1848); ketiga, dimulai dengan

ditemukannya ban berjalan (tahun 1895); keempat, ditandai dengan ditemukannya tenaga

atom dan motorisasi massal (tahun 1945); dan kelima, ditandai dengan perkembangan

mikro elektronik serta bioteknologi.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa bentuk dan makna dari teknologi bukan hanya

alat dan ilmu pengetahuan, salah satunya informasi. Pada era globalilasasi sekarang ini

kemajuan teknologi informasi berkembang sangat pesat dan merambah di berbagai segi

kehidupan manusia. Teknologi informasi itu sendiri dapat diartikan sebagai penggunaan

peralatan elektronika, untuk menyimpan, menganalisa dan mendistribusikan informasi

apapun termasuk kata-kata, bilangan dan gambar melalui berbagai media.

Salah satu perkembangan teknologi informasi adalah dalam bidang kesehatan. Begitu

banyak temuan-temuan baik dalam bentuk peralatan, obat-obatan, sistem pengorganisasian

maupun ilmu kesehatan itu sendiri. Dengan adanya janji bahwa teknologi mampu

meningkatkan kualitas kehidupan manusia, pelayanan kesehatan berbasis teknologi


informasi mendapat perhatian dunia. Sebagai contoh dlama bidang kedokteran, teknologi

informasi sangat menunkang ilmu kedokteran baik klinis, dasar, maupun komunitas. Dalam

dunia medis, dokter akan jauh tertinggal apabila tidak memanfaatkan berbagai tool untuk

meng-update dan meng-upgrade perkembangan terbaru, terlebih sekarang paradigma

dalam pengobatan harus sesuai dengan EBM (Evidence Based Medicine).

2. Teknologi Tepat Guna dalam Pelayanan Kebidanan

a. Pengaruh Kemajuan Teknologi Dalam Pelayanan Kebidanan

Teknologi informasi mencakup keseluruhan bentuk teknologi yang digunakan untuk

memproses informasi , dimana bentuknya bermacam-macam layaknya komputer sebagai

alat multimedia. Sedangkan, Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi

tanggung jawab praktek  profesi kebidanan dalam sistem pelayanan kesehatan yang

bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Dalam

melaksanakan pelayanan kebidanan, diperlukan teknologi yang tepat guna. Adapun

teknologi tepat guna itu memiliki pengertian bahwa suatu alat yang sesuai dengan

kebutuhan dan dapat berguna serta sesuai dengan fungsinya. Teknlogi tepat guna memiliki

manfaat sebagai berikut :

1) Mampu meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat

2) Mempermudah dan mempersingkat waktu pekerjaan tenaga kesehatan dan klien

3) Masyarakat mampu mempelajari, menerapkan, memelihara teknologi tepat guna tersebut

Walaupun memberikan manfaat, teknologi tepat guna juga memberikan dampak yang

positif maupun yang negatif. Adapun dampak yang positifnya adalah:

1) Masyarakat akan mendapat kemudahan dalam menjaga kesehatan yang lebih efisien dan

efektif

2) Dapat membuat kegiatan khususnya didalam kebidanan akan lebih sederhana dan mudah

Sedangkan dampak negatif dari teknologi tepat guna adalah :

1) Jika penggunaan teknologi tepat gunanya tidak sesuai dengan lingkup yang memerlukan,

maka itu akan sia-sia


2) Dengan ketidaktepatan penggunaan alat tersebut maka akan berdampak buruk terhadap

pasien

3) Penggunaan teknologi pada daerah pedalaman dengan tenaga yang tidak ahli, akan

menimbulkan resiko terhadap pasien

b. Manfaat Teknologi dalam Kebidanan

Penerapan Teknologi Tepat Guna adalah sebuah usaha pembaharuan, meskipun

pembaharuan itu tidak mencolok dan masih dalam jangkauan masyarakat, tetapi harus

diserasikan dengan keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta alam.

Kalau tidak, maka usaha pembaharuan itu akan mendapat hambatan yang dapat

menggagalkan usaha pembaharuan tersebut.

Usaha pembaharuan itu dirancang sedemikan rupa sehingga seluruh masyarakat merasa

bahwa pembaharuan adalah prakarsa mereka sendiri. Berarti di dalam pembaharuan

teknologi itu, terdapat minat dan semangat dalam masyarakat tersebut.

Banyak orang keliru dalam berpendapat kalau orang membawa pompa bambu, biogas,

pengering dengan energi radiasi matahari sederhana kedesa, maka orang itu telah

menerapkan teknologi tepat guna. Membawa paket-paket teknologi sederhana tersebut

kesebuah desa belum dapat dikatakan sebagai penerapan teknologi tepat guna, bahkan

dapat menjerumuskan, apabila tidak disertai pendidikan kepada masyarakat desa tersebut,

bagaimana cara membuat dan memperbaiki alat tersebut. Paling ideal penerapan teknologi

tepat guna adalah teknologi yang telah ada pada suatu masyarakat dan perbaikan itu

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat.

Penerapan Teknologi Tepat Guna juga harus mempertimbangkan keadaan alam sekitar.

Dapat diartikan bahwa dampak lingkungan yang disebabkan penerapan Teknologi Tepat

Guna (TTG) harus lebih kecil dibandingkan pemakaian teknologi tradisional maupun

teknologi maju. Dengan demikian manfaat dari teknologi tepat guna itu dapat dirasakan

oleh masyarakat tersebut. Sebagai mana manfaat dari teknologi tepat guna adalah:

1) Dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang makin hari makin meningkat, tentu hal itu

di barengi dengan kemampuan masyarakatnya yang mampu mengoperasionalkan dan

memanfaatkan TTG tersebut.

2) Teknologi tepat guna mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

pemenuhan kebutuhannya, pemecahan masalahnya dan penambahan hasil produksi yang


makin meningkat dari biasanya. Teknologi tersebut relatif mudah dipahami

mekanismenya, mudah dipelihara dan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Masuknya teknologi baru tidak akan membebani masyarakat baik mental

(ketidakmampuan skill) maupun materiil (dapat menimbulkan beban biaya yang tidak

mampu dipenuhi masyarakat).

3) Teknologi tepat guna dapat mempermudah dan mempersingkat waktu pekerjaan tenaga

kesehatan dan klien.

4) Masyarakat mampu mempelajari, menerapkan, memelihara teknologi tepat guna

tersebut.

5) Masyarakat / klien bisa lebih cepat ditangani oleh tenaga kesehatan.

6) Hasil diagnosa akan lebih akurat, cepat, dan tepat

c. Aspek-aspek Teknlogi Tepat Guna

Teknologi tepat guna adalah teknologi yang didesain dengan mempertimbangkan aspek

lingkungan, etik budaya, sosial, dan ekonomi bagi komunitas ( sosio kultural ekonomi).

Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang

diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Teknologi tepat guna

adalah suatu alat yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat berguna serta sesuai dengan

fungsinya. Selain itu, teknologi tepat guna atau yang disingkat dengan TTG adalah

teknologi yang digunakan dengan sesuai (tepat guna). Ada yang menyebutnya teknologi

tepat guna sebagai teknologi yang telah dikembangkan secara tradisional, sederhana dan

proses pengenalannya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan dan mata pencaharian

pokok masyarakat tertentu.

Hampir semua orang kalau mendengar istilah teknologi, yang terbayangkan adalah

teknologi canggih. Terkesan bahwa peralatan/mesin yang rumit, harga yang mahal,

membutuhkan keahlian/keterampilan khusus (tinggi) untuk mengoperasionalkannya, serta

dihasilkan oleh pabrik yang memiliki modal yang besar. Padahal, kata teknologi tidak

selalu mengacu pada hal-hal yang canggih, rumit, dan mahal. Hal-hal yang sederhana juga

dapat disebut teknologi. Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi :

1) Salah satunya, teknologi adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material

dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya.


2) Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip

dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Akan tetapi, penemuan yang sangat

lama juga dapat disebut teknologi.

3) Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status

pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk

memproduksi produk yang diinginkan (dan pengetahuan kita tentang apa yang bisa

diproduksi). (Ali, 2009).

d. Ciri-ciri Teknologi Tepat Guna

Teknologi tepat guna merupakan sarana penghubung yang dapat menjembatani

teknologi tradisional maupun konvensional dengan teknologi yang lebih maju dan modern.

Oleh sebab itu aspek sosial, budaya, ekonomi merupakan dimensi yang wajib

diperhitungkan dalam menjalankan dan mengelola teknologi tepat guna sehingga dalam

pelaksanaannya tidak terjadi konflik yang dapat menghambat tercapainya tujuan TTG itu

sendiri. Dari utjuan yang inin dicapai, teknologi tepat guna harus menerapkan metode yang

hemat sumber daya, mudah dirawat dan minim polusi dibandingkan teknologi arus utama.

Dengan demikian beberapa kriteria suatu hal dapat dikatakan sebagai teknologi tepat

guna adalah:

1) Apabila teknologi tersebut sebanyak mungkin menggunakan sumber yang banyak

tersedia di suatu tempat

2) Apabila teknologi tersebut sesuai dengan keadaan ekonomi dan sosial masyarakat

setempat

3) Apabila teknologi tersebut membantu memecahkan persoalan/masalah yang

sebenarnya dalam masyarakat, bukan teknologi yang hanya berada di kepala

perencananya

Teknologi tepat guna merupakan teknologi yang dirancang dengan mempertimbangkan

aspek lingkungan, sosial, etik budaya maupun ekonomi bagi komunitas. Sesuatu dapat

dikatakan sebagai teknologi tepat guna apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Mudah diterapkan

1) Mudah dimodifikasi
2) Untuk kegiatan skala kecil

3) Padat karya

4) Sesuai dengan perkembnagan budaya dalam masyarakat

5) Bersumber dari nilai tradisional

6) Adaptif terhadap perubahan lingkungan

Dengan adanya teknologi tepat guna dalam kesehatan diharapkan dapat menjembatani dan

meningkatkan taraf kesehatan masayarakat.

3. Penerapan Informasi dan Teknologi dalam Pelayanan Kebidanan

a. Perkembangan Informasi Dan Teknologi Dalam Kebidanan

Peranan informasi dan teknologi saat ini sangatlah besar pengaruhnya, karena dalam

kehidupan sehari-hari informasi dan teknologi ini memiliki peranan yang sangat penting.

Setiap pekerjaan yang kita lakukan sedikit banyak bergantung pada teknologi-teknologi

yang ada. Karena memang pada kenyataannya, dengan adanya informasi dan teknlogi yang

sudah berkembang ini, mempermudah kita dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Seperti

contohnya jika kita akan segera mengirimkan data-data kantor yang sangat penting, kita

tidak perlu lagi membutuhkan waktu yang lama dalam proses pengirimannya cukup dengan

menggunakan internet saja maka dalam beberapa detik data-data tersebut sudah dapat

terkirim.

Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat telah menyebar ke berbagai sektor

termasuk kesehatan. Banyak rumah sakit menggunakan sistem informasi untuk menangani

transaksi yang berhubungan dengan karyawan, tenaga medis dan pasien. Pemanfaatan

komputer dalam kesehatan ini berawal dari otomatisasi di bidang administratif, dilanjutkan

dalam produktifitas secara departemen misalnya dalam pelayanan kebidanan yaitu

penggunaan USG untuk menegakan diagnosa dalam kehamilan.

Selama masa kehamilan tentunya ibu selalu berharap yang terbaik untuk janin

didalam kandungannya. Tak heran jika setiap ibu memeriksan kehamilannya baik itu ke

Dokter maupun Bidan, maka ia akan menanyakan bagaimana keadaan janinnya.

Pemantauan kesehatan janin didalam kandungan dan kesehatan ibu selama kehamilan

tentu tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Oleh sebab itu, diperlukanlah alat-alat
teknologi kebidanan yang berguna untuk memantau keadaaan janin maupun ibu selama

proses kehamilan dan kelahiran.

b. Peran Bidan dalam Penggunaan Informasi dan Teknologi

Perkembangan teknologi informasi yang signifikan dalam bidang kesehatan menuntut

setiap tenaga kesehatan untuk selalu update dan megikuti setiap perkembangannya tidak

terkecuali Bidan. Data informasi yang dicatat oleh bidan yang masih manual dapat

berakibat pada laporan yang dibuat mengalami keterlambatan dan tidak akurat, belum

adanya basis data yang sistematis juga mengakibatkan kesulitan untuk mencari data yang

dibutuhkan terutama untuk kebutuhan pelaksanaan sistem informasi kegiatan program pada

instansi kesehatan, meliputi ketersediaan data dan informasi yang relevan sesuai kebutuhan

organisasi dan harapannya hasil laporan kesehatan ibu dan anak terekap dengan lengkap

dan tepat waktu.

Profesi Bidan sebagai ujung tombak tenaga kesehatan memiliki peran penting untuk

mengedukasi masyarakat di lingkup kerjanya akan pentingnya kesehatan terutama pada ibu

dan anak. Dengan edukasi kesehatan pada masyarakat diharapkan terciptanya masyarakat

yang sadar dan peduli akan kesehatan baik itu kesehatan pribadi maupun kesehatan di

lingkungannya.

Peranan bidan dalam pemanfaatan penggunaan teknologi dan informasi dalam

pelayanan kebidanan dapat mengatasi permasalahan di atas diantaranya adalah penggunaan

website, aplikasi/software kebidanan, SMS Gateway, penggunaan alat USG dan lain

sebagainya. Sebagai gambaran, bahwa perkembangan internet di pedesaan sudah semakin

maju dan ini memudahkan seorang Bidan dalam mengedukasi masyarakat. Dalam

mengedukasi masyarakat dapat menggunakan Website sebagai media Informasi sehingga di

harapkan Bidan mampu menggunakan komputer untuk meningkatkan kinerjanya agar lebih

fokus pada tugas pokok dalam meningkatkan kesehatan Ibu dan Anak.

c. Pemanfaatan Informasi dan Teknologi dalam Pelayanan Kebidanan

Fasilitas dan potensi yang ada di masyarakat, yaitu sumber daya alam atau potensi desa,

dan sumber daya masyarakat/kader kesehatan. Bidan dalam memberi pelayanan kepada ibu

dan anak di komunitas perlu memperhatikan faktor lingkungan berikut.

1) Lingkungan sosial
Masyarkat yang berada di dalam komunitas memiliki ikatan sosial dan budaya.

Dukun penolong persalinan sangat dekat dengan masyarakat, terutama di kalangan

keluarga di desa karena mereka menggunakan pendekatan sosial budaya sewaktu

memberi pelayanan. Bidan memberi pelayanan kepada ibu hamil dan bersalin

diupayakan tidak bertentangan dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan

agama di masyarakat. oleh karena itu, peran masyarakat penting dalam upaya

peningkatan kesehatan ibu, anak balita, keluarga serta keluarga berencana. Peran serta

masyarakat ini selalu digerakkan dan ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan

kesehatan.

Kondisi tingkat pendidikan dan ekonomi menentukan tingkat partisipasi dalam

meningkatkan kesehatan masyarakat. semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin

meningkat perhatian tersebut, menimbulkan peningkatan tuntutan masyarakat.

kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah menentukan arah upaya kesehatan

masyarakat. Pelayanan kebidanan kemunitas perlu mendapat dukungan politik dari

organisasi swasta atau pemerintah terutama mendukung adanya undang-undang dan

pelaksanaannya.

2) Lingkungan flora dan fauna

Kebutuhan gizi manusia bergantung pada keberadaan flora dan fauna.

Masyarakat dianjurkan melakukan penghijauan. Pemanfaatan pekarangan dengan

tanaman yang bergizi dan berkhasiat untuk mendukung terwujudnya kesehatan

keluarga. Peternakan juga mendukung kondisi gizi keluarga. Bidan yang bekerja

dikomunitas memperhatikan flora dan fauna ini. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dan

hewan ternak disampaikan melalui penyuluhan kesehatan (syafrudin & Hamidah.

2007).

Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna di Komunitas Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan

Masyarakat
Yang perlu kita perkenalkan dan kembangkan pada masyarakat adalah teknologi yang

murah, mudah, ramah lingkungan serta memiliki nilai guna (manfaat/kemaslahatan) yang

tinggi bagi masyarakat. Teknologi Tepat Guna adalah teknologi yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak

lingkungan, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan

nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup (Ali, 2009).

Macam – Macam Alat Teknologi Kebidanan Tepat Guna

1) Ultrasonography (USG)

Dalam sejarah kedokteran pada tahun 1970-an Ultrasonography atau yang lebih terkenal

dengan sebutan USG digunakan untuk pengobatan. Namun dengan berkembangnya

kemajuan teknologi USG lebih cepat diterima dalam bidang kebidanan, yaitu untuk

mengkonfirmasi atau menyangkal diagnosis setelah pemeriksaan klinis. Beberapa

diagnosis diantaranya adalah kematian langsung pada ibu misalnya kehamilan ektopik

terganggu dan plasenta previa. Selain itu, penggunaan ultrasonografi medis pada

kehamilan diketahui sangat aman dikarenakan USG menggunakan gelombang suara

untuk membuat gambar visual real-time dari embrio atau janin yang sedang berkembang

dalam rahim ibunya. Penggunaan USG dalam pelayanan kebidanan merupakan bagian

standar dari perawatan prenatal dibanyak negara, karena dapat memberikan berbagai

informasi tentang kesehatan ibu, waktu dan perkembangan kehamilan, dan kesehatan

serta perkembangan embrio atau janin. Penelitian menunjukan bahwa USG Obstetrik

rutin sebelum usia kehamilan 24 minggu secara signifikan dapat mengurangi resiko
gagal mengenali kehamilan multiple dan dapat meningkatkan taksiran persalinan untuk

mengurangi resiko induksi persalinan pada kehamilan lewat bulan/ Post Term.

2) Inkubator

Inkubator neonatal adalah alat yang digunakan untuk merawat bayi prematur di unit

perawatan intensif neonatal.

Fungsi inkubator bayi :

a) Melindungi bayi

Bayi diawal kelahiran memiliki kondisi tubuh yang sangat rentan. Tetapi, ada

beberapa diantara mereka yang memiliki kondisi tubuh yang lebih rentan dari bayi

pada umumnya. Untuk itulah inkubator dibuat untuk melindungi si bayi terutama

agar mampu melindungi bayi dari bakteri, kemungkinan terjadinya infeksi, iritasi

dan alergen.

b) Memberikan oksigenasi

Bayi terlahir dengan sangat rentan terhadap apa-apa yang ditawarkan dunia luar

padanya, termasuk soal pernapasan. Oleh sebab itu, inkubator akan sangat

membantu keberlangsungan hidup seorang bayi.

c) Memberikan kontrol terhadap bayi (sebagai monitor)

Inkubator memiliki bentuk layaknya boks. Dimana bagian atasnya terdapat 2 boks

yang berisi alat-alat medis, monitoring untuk memudahkan memonitor kerja

jantung, otak, darah, organ vital dan suhu bayi. Sedangkan dibagian bawahnya

terdapat boks untuk tidur bayi.

3) Fetal Doppler

Fetal Doppler atau Monitor Doppler Janin adalah suatu alat Ultrasound Transducer yang

digunakan untuk mendeteksi detak jantung janin selama kehamilan. Fetal Doppler

ditemukan oleh Dr.Edward H.Hon pada tahun 1958. Alat ini menggunakan efek doppler

untuk memberikan stimulasi yang terdengar dari detak jantung janin. Monitor Janin

Doppler memberikan informasi tentang janin yang serupa dengan stetoskop janin. Fetal

Doppler atau monitor doppler janin efektif digunakan pada usia kehamilan diatas 12

minggu.
4) Cardiotocography (CTG)

Cardiotocography atau yang biasa disebut dengan Monitor Janin Elektronik yang

ditemukan oleh Dokter Alan Bradfield, Orvan Hess dan Edward Hon yang kemudian

disempurnakan oleh Konrad Hammacher adalah suatu alat elektronik yang digunakan

untuk merekam detak jantung janin dan kontraksi uterus selama kehamilan. Berdasarkan

metodenya, Cardiotocography terbagi menjadi dua yaitu :

a) Cardiotocography Eksternal ; dapat digunakan untuk pemantauan terus menerus

atau intermiten. Denyut jantung janin dan aktifitas otot uterus terdeteksi oleh dua

transduser yang diletakan di perut ibu (satu diatas janin, untuk memantau denyut

jantung janin dan yang lainnya difundus uteri untuk mengukur frekuensi kontraksi).

Tocometry eksternal berguna dalam menunjukan awal dan akhir kontraksi serta

frekuensi, tetapi bukan kekuatan kontraksi. Nilai absolut dari pembacaan tekanan

pada tocometer eksternal tergantung pada posisi dan alat ini tidak sensitif pada

orang yang mengalami obesitas.

b) Cardiotocography Internal ; menggunakan transduser elektronik yang terhubung

langsung ke kulit kepala janin. Sebuah kawat elektroda melekat pada kulit kepala

janin melalui lubang serviks dan terhubung ke monitor. Jenis elektroda ini kadang-

kadang disebut elektroda spiral atau kulit kepala. Pemantauan internal memberikan

transmisi denyut jantung janin yang lebih akurat dan konsisten daripada pemantauan

eksternal karena faktor-faktor seperti gerakan tidak mempengaruhinya. Pemantauan

internal dapat digunakan ketika pemantauan eksternal dari denyut jantung janin

tidak memadai, atau diperlukan pengawasan yang lebih ketat. Tocometry internal

hanya dapat digunakan jika selaput ketuban telah pecah baik secara spontan atau

artifisial, dan serviks terbuka. Untuk mengukur kekuatan kontraksi, kateter kecil

(Intrauterine pressure catheter atau IUPC) dimasukan kedalam rahim, melewati

janin. Dikombinasikan dengan monitor janin internal, IUPC dapat memberikan

pembacaan yang lebih tepat dari denyut jantung bayi dan kekuatan kontraksi.

5) Thermometer
Thermometer adalah sebuah alat yang mengukur suhu atau gradien suhu. Termometer

medis atau termometer klinis digunakan untuk mengukur suhu tubuh manusia atau

hewan. Termometer memiliki dua elemen penting ;

a) Sensor suhu (misalnya bohlam termometer air raksa atau sensor digital dalam

termometer infra merah) dimana beberapa perubahan terjadi dengan perubahan

suhu.

b) Beberapa cara perubahan ini untuk menjadi nilai numerik (misalnya skala yang

terlihat ditandai pada termometer air raksa atau pembacaan digital pada termometer

infra merah).

Termometer medis awalnya ditemukan oleh Galileo Galilei sekitar tahun 1592 –

1593 dengan nama Termoskop air. Termometer yang lama tidak dapat membaca suhu

setelah dipindahkan ketempat yang lain dengan suhu yang berbeda. Dengan

bertambahnya waktu De Haen (1704-1776) membuat langkah khusus dalam

kedokteran dengan termometer. Dengan mengamati korelasi perubahan suhu pasien

dan gejala fisik penyakit, ia menyimpulkan bahwa catatan suhu seseorang dapat

memberi tahu dokter tentang kesehatan pasien. Suhu dapat diukur di berbagai lokasi

pada tubuh yang mempertahankan suhu yang cukup stabil (terutama sub-bahasa, aksila,

dubur, vagina, dahi, atau arteri temporal). Suhu normal sangat berbeda dengan lokasi;

pembacaan suhu tubuh secara rektal tidak sama dengan pembacaan suhu dirktal, dahi

dan lain-lain. Sebagai contoh, satu penelititan menemukan bahwa bias klinis suhu

rektal lebih besar dibandingkan suhu telinga yang diukur dengan pemilihan termometer

yang diuji, tetapi variabilitasnya lebih sedikit.

6) Staturmeter

Adalah alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan, alat ini adalah sangat

sederhana pada desainnya karena hanya ditempelkan pada tembok bagian atas dan ketika

akan digunakan hanya perlu untuk menariknya sampai ke bagian kepala teratas,

sehingga dapat diketahui tinggi badan orang tersebut.

7) Eye Protector Photo Therapy

Adalah alat bantu yang diigunakan untuk melindungi bagian mata bayi pada saat

dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan sinar X-ray atau jenis pemeriksaan lain

yang menggunakan media sinar agar tidak menggangu penglihatan bayi yang akan

diperiksa.
8) Alat Pengukur Panjang Bayi

Adalah merupakan peralatan sederhana yang biasa digunakan oleh bidan dan petugas

posyandu, untuk mengetahui perkembangan tinggi bayi dari waktu ke waktu, terbuat

dari kayu dan mistar yang mudah dibaca.

9) Breast Pump

Biasanya digunakan oleh para ibu yang berkarier diluar rumah, agar ASI tidak terbuang

dengan percuma, sehingga tetap bisa mendapatkan ASI dari bundanya.

10) Lingkar Lengan Ibu Hamil

Adalah tanda yang digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi bayi dan

bundanya, pada umumnya dipakaikan pada bayi dan bundanya di rumah sakit bersalin.

11) Pengukur Panjang Bayi (calipher)

Adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang bayi dengan ketepatan pengukuran

yang tinggi, karena skala yang digunakan pada alat ini lebih detail, sehingga setiap inchi

pertumbuhan bayi dapat diketahui.

12) Reflek Hammer / Reflek Patela

Sejenis hammer yang dilapisi dengan karet yang digunakan untuk mengetahui respon

syaraf dari anggota tubuh biasanya kaki.

13) Umbilical Cord Clem Nylon

Adalah merupakan alat yang digunakan untuk menjepit tali pusar bayi sesaat setelah

bayi dilahirkan.

14) Tourniquet

Adalah alat bantu yang digunakan untuk sarana pendukung pada pengambilan darah,

pada umumnya dilingkarkan pada lengan saat akan dilakukan pengabilan darah segar,

agar darah bisa lebih mudah untuk di ambil.

15) KMS Balita dan Lansia

Pelayanan Kesehatan di Posyandu baik balita maupun lanjut usia meliputi pemeriksaan

Kesehatan fisik dan mental emosional (bagi lansia) yang dicatat dan dipantau dengan

Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi

dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadap

16) Kartu Skor Poedji Rohjati

Merupakan instrumen untuk deteksi dini risiko pada ibu hamil


17) MTBS

Suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus

kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh

18) MTBM

Merupakan suatu pendekatan yang terpadu dalam tatalaksana bayi umur 1 hari – 2

bulan, baik yang sehat maupun yang sakit, baik yang datang ke fasilitas rawat jalan

maupun yang dikunjungi oleh tenaga kesehatan pada saat kunjungan neonatal.

19) Partograf

Partograf adalah alat untuk memantau kemajuan persalinan dan membantu petugas

kesehatan dalam menentukan keputusan dalam penatalaksanaan

20) SDIDTK

Pembinaan tumbuh kembang anak secara komprehensif dan berkualitas melalui kegiatan

stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang pada masa 5tahun

pertama kehidupan

21) Buku KIA

Buku yang berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru

lahir sampai anak usia 6 tahun) serta berbagai informasi cara memelihara dan merawat

kesehatan ibu dan anak

22) Stiker P4K

Kegiatan yang di fasilitasi oleh bidan dalam rangka meningkatkan peran aktif suami,

keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan

dalam menghadapi kemungkinan terjadinya komplikasi pada saat hamil, bersalin dan

nifas, termasuk perencanaan menggunakan metode Keluarga Berencana (KB) pasca

persalinan dengan menggunakan stiker P4K sebagai media pencatatan sasaran dalam

rangka meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru

lahir

Teknologi Tepat Guna (TTG) Kesehatan di Komunitas


Pembangunan dibidang kesehatan bertujuan untuk menciptakan manusia yang sehat,

mandiri, cerdas dan produktif serta terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin. Upaya yang

telah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui pemerataan fasilitas dan peningkatan

pelayanan kesehatan secara merata, mudah dan murah serta dapat menjangkau masyarakat

luas, diarahkan untuk memantapkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang pada

gilirannya dapat menciptakan sumber daya manusia yang produktif dan pada akhirnya

kesejahteraan lahir dan batin dapat tercapai.

Upaya kesehatan masyarakat tersebut, melalui sistem kesehatan nasional terpadu

pelaksanaannya diusahakan melalui partisipasi aktif masyarakat yang diarahkan tidak

hanya kepada masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah, tetapi juga kepada

seluruh masyarakat yang ada. Beberapa indikator kesehatan antara lain adalah sarana,

prasarana, angka kesakitan, tenaga kesehatan dan keadaan balita.

Penyediaan sarana kesehatan yang memadai merupakan salah satu kebutuhan pokok

dalam upaya meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, dan program ini harus terus

ditingkatkan kualitas pelayanan serta keberadaannya. Sarana kesehatan yang dimaksud

berupa Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poliklinik berikut pembinaan dan

penambahan tenaga kesehatan yang memadai. Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan

inipun hendaknya dibarengi dengan penyediaan tenaga kerja kesehatan yang professional.

Senada dengan program penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, dalam pelaksanaan

penyediaan tenaga kerja professional juga perlu diperhatikannya kualitas, pelayanan dan

keberadaan tenaga kerja kesehatan itu sendiri.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka pemerintah memiliki beberapa

kebijakan antara lain:

1) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, pemahaman, dan penerapan perilaku hidup

bersih dan sehat.

2) Meningkatkan kualitas sumber daya, manusia lingkungan, prasarana dan sarana

kesehatan.

3) Meningkatkan kualitas lembaga dan pelayanan kesehatan.

d. Manajemen sistim informasi dalam pelayanan kebidanan

Manajemen Sistim informasi menurut (Jogiyanto,1997) merupakan sebuah sistim

baik berupa manusia maupun mesin yang terpadu (integrated), untuk menyajikan informasi
guna mendukung fungsi operasi, manajemen dan pengmabilan keputusan dalam sebuah

organisasi. Sistim tersebut merupakan sekumpulan subsitem yang saling berhubungan,

berkumpul bersama-sama dan membentuk satu kesatuan yang saling bekerja sama dengan

cara tertentu untuk melakukan fungsi pengolahan data, menerima data (input) kemudian

mengolahnya (processing), dan mengeluarkan hasil (output) berupa informasi sebagai dasar

bagi pengambilan keputusan yang berguna dan mempunyai nilai nyata yang dapat dirasakan

akibatnya baik pada saat itu juga maupun di masa mendatang, mendukung kegiatan

operasional, manajerial, dan strategis organisasi, dengan memanfaatkan berbagai sumber

daya yang ada dan tersedia bagi fungsi tersebut guna mencapai tujuan.

Dalam perkembangannya, (Jagiyanto,2011) juga menyebutkan bahwasanya Sistem

informasi dapat menyediakan tiga macam tipe informasi, masing-masing mempunyai arti

yang berbeda untuk tingkatan yang berbeda yaitu :

1) Informasi pengumpulan data, merupakan informasi yang berupa pengumpulan

akumulasi atau pengumpulan data.

2) Informasi pengarahan perhatian, merupakan informasi untuk membantu manajemen

memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang menyimpang

3) Informasi pemecahan masalah, merupakan informasi untuk membantu manajer untuk

mengambil keputusan pemecahan masalah yang dihadapi

Program Kesehatan Ibu dan Anak betujuan untuk memantapkan dan meningkatkan

jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Adapun beberapa kegiatan

pokoknya adalah:

1) Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan sengan mutu sesuai

standar serta menjangkau seluruh sasaran

2) Peningkatan pertolongan persalinan ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh

nakes secara berangsur

3) Peningkatan deteksi dini risiko tinggi atau komplikasi kebidanan baik oleh nakes

maupun masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan pengamatannya

secara terus menerus

4) Peningkatan penanganannkomplikasi kebidanan secara adekuat dan pengamatan

secara terus menerus oleh nakes

5) Peningkatan pelayanan neonatal dan ibu nifas dengan mutu sesuai standar dan

menjangkau seluruh sasaran


Untuk mengukur tingkat keberhasilan program KIA itu sendiri diperlukan suatu

kegiatan evaluasi. Dimana salah satu tujuannya adalah untuk memantau perkembangan

pelayanan KIA di tempat pelayanan.

Evaluasi hasil program KIA di Puskesmas dilakukan berdasarkan laporan bulanan

KIA, kelahiran dan kematian per desa, penemuan kasus BBLR per desa, penemuan kasus

tetanus neonatorum per desa, kematian ibu, register kematian perinatal (0-7) hari,

rekapitulasi pelacakan kematian neonatal, Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) KIA

indikator ibu, PWS KIA indikator anak serta laporan bulanan Standar Pelayanan Minimal

(SPM) KIA. Laporan bulanan KIA untuk memantau kegiatan kesehatan ibu dan bayi

disuatu wilayah Puskesmas, Laporan kelahiran dan kematian per desa untuk memantau

perkembangan kelahiran dan kematian neonatal dimasing-masing desa dalam suatu wilayah.

Laporan penemuan kasus BBLR dan laporan penemuan kasus tetanus neonatorum per desa

digunakan memantau kasus BBLR dan tetanus neonatorum di wilayah desa.

Dalam pelaksanaan evaluasi program KIA terdapat kesulitan yang berkaitan dengan

dengan fungsi manajemen dalam hal monitoring dan evaluasi. Manajemen pelayanan

kesehatan di seluruh tingkat fasilitas pelayanan memerlukan informasi yang adekuat

sehingga bisa melakukan fungsi manajemennya, dimana salah satu fungsi tersebut adalah

monitoring dan evaluasi. Kegiatan tersebut bergantung pada sistem informasi yang berjalan

dimana salah satu aktifitas sistem tersebut adalah pencatatan dan pelaporan. Sistem

monitoring dan evaluasi adalah faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi

manajemen untuk memantau jalannya pelayanan kesehatan.

Dalam beberapa literatur diebutkan bahwa data dan informasi yang dikumpulkan

dan dicatat oleh bidan masih banyak yang terlambat dan tidak akurat karena masih

dilakukan secara manual.

Pada Manajemen di tingkat Puskesmas dalam rangka terselenggaranya berbagai

upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat perlu ditunjang dengan

manajemen Puskesmas yang baik. Manajemen Puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang

bekerja secara sistematis untuk menghasilkan luaran Puskesmas yang efektif dan efisien .

Rangkaian kegiatan yang sistematis dilaksanakan oleh Puskesmas dengan memperhatikan

fungsi-fungsi manajemen. Ada tiga fungsi manajemen Puskesmas yaitu ;

1) Fungsi Perencanaan yaitu proses penyusunan rencana tahunan Puskesmas untuk

mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.


2) Fungsi Pelaksanaan dan Pengendalian yaitu proses penyelenggaraan,,pemantauan

serta penilaian terhadap rencana tahunan Puskesmas dalam mengatasi masalah

kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.

3) Fungsi Pengawasan dan pertanggungjawaban. Yaitu Proses memperoleh kepastian

atas kesesuaian penyelenggaraan dan pencapaian tujuan Puskesmas terhadap rencana

tahunan Puskesmas.

Pada tahapan fungsi pelaksanaan dan pengendalian dilakukan kegiatan pemantauan

yang merupakan suatu penyelenggaraan kegiatan yang harus diikuti secara berkala. Salah

satu kegiatan adalah telaahan internal yaitu telaahan bulanan terhadap penyelenggaraan

kegiatan dan hasil yang dicapai oleh Puskesmas. dibandingkan dengan rencana dan standar

pelayanan. Data yang dipergunakan diambil dari Sistem Informasi Manajemen Puskesmas

atau SIMPUS yang berlaku.

Sistem Informasi Manajemen Puskesmas adalah suatu tatanan yang menyediakan

informasi untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam melaksanakan manajemen

Puskesmas dalam mencapai sasaran kegiatannya. Sumber informasi dari SIMPUS adalah :

1) Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas atau SP2TP yang terdiri dari:

a) catatan dari kartu individu

b) rekam kesehatan keluarga

c) buku register

d) laporan bulanan

e) laporan tahunan dan KLB.

2) Survei lapangan

3) Laporan lintas sektor

4) Laporan sarana kesehatan swasta.

Pada fungsi Pengawasan dilakukan penilaian atau evalusi yaitu proses kegiatan

untuk membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan rencana yang telah

ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan

sejak tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program.

Rancangan sistem informasi pelayanan kesehatan ibu dan bayi untuk mendukung

evaluasi program KIA Puskesmas :


1) Basis data yang dikembangkan adalah berupa master data yang bersifat statis yaitu

Kecamatan, Puskesmas, desa, Proyeksi penduduk, petugas, vitamin, imunisasi,

tempat pelayanan, dan data ibu/calon ibu. Dan dikembangkan juga basis data dinamis

berupa file-file pada kegiatan transaksi.

2) Input pengelola data KIA berupa master data Kecamatan, Puskesmas, desa, Proyeksi

penduduk, petugas, vitamin, imunisasi, tempat pelayanan, dan data ibu/calon ibu.

3) Output yang dihasilkan berupa laporan meliputi : Laporan bulanan KIA,. Laporan

bulanan PWS KIA anak , PWS KIA ibu, Laporan bulanan SPM, Laporan bulanan

kelahiran dan kematian, Laporan bulanan penemuan kasus BBLR, Laporan penemuan

kasus Tetanus Neonatorum, Laporan bulanan kematian ibu, Laporan bulanan register

kematian perinatal (0 7)hari, Laporan bulanan Rekapitulasi pelacakan kematian

neonatal.

4) Antar muka memberikan bentuk tampilan awal bagi user untuk memulai bekerja

dengan komputer.
BAB III
PELAYANANA KEBIDANAN TERINTEGRASI
LINGKUP KEBIDANAN KOMUNITAS

1. Konsep Kebidanan Komunitas Terintegrasi

Secara etimologis, kata “Konsep” berasal dari bahasa latin “Conceptum” yang artinya

sesuatu yang bisa dipahami. Konsep dianggap sebagai suatu arti yang mewakili sejumlah

objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Konsep juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari

ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia

untuk berpikir.

Komunitas adalah satu kelompok yang berada pada uatu tempat atau area tertentu, dalam

hal ini adalah kumpulan dari kelompok kelompokkeluarga yang membentuk masyarakat.

Kebidanan komunitas adalah konsep dasar bidan dalam melaksanakan pelayanan keluarga

dalam masyarakat. Pelayanan kebidanan komunitas adalah upaya yang dilakukan bidan untuk

pemecahan masalah dalam lingkup kesehatan, khususnya kesehatan ibu dan anak serta balita

dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Dalam kebidanan komunitas terdapat unsur-unsur yang berada dalam lingkupnya, di

antaranya yaitu :

a. Bidan

Bidan yang bekerja dalam lingkup komunitas bertugas sebagai tenaga kesehatan yang

membantu keluarga dan masyarakat agar selalu berada dalam kondisi kesehatan yang

optimal. Bidan dalam lingkup komunitas memiliki konsep “continuum of care” dengan

berdasar pada seluruh siklus perempuan mulai dari melakukan konseling pada kelompok

remaja, pemeliharaan kesehatan pada pranikah, konsepsi, masa kehamilan, persalinan,

masa nifas, masa perencanaan keluarga, tindakan pertolongan pertama pada kasus

kebidanan dengan risiko tinggi, pengobatan keluarga sesuai kewenangan, pemeliharaan

wanita dengan gangguan kesehatan reproduksi, pemeliharaan kesehatan anak balita serta

pemeliharaan pada masa menopause.

b. Pelayanan Kebidanan

Pelayanan kebidanan pada tingkat komunitas bertujuan untuk meningkatkan

kesehatan ibu dan anak dalam keluarga sehingga tujuan akhir dari terwujudnya keluarga
sehat dan sejahtera dalam lingkup komunitas masyarakat dapat tercapai. Pelayanan

kebidanan dilakukan oleh bidan untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun sasaran yang

dituju dalam lingkup

pelayanan kebidanan komunitas ini adalah meliputi individu, keluarga dan kelompok

masyarakat.

Cakupan dalam pelayanan kebidanan dalam komunitas di antaranya adalah berbagai

upaya pemeliharaan kesehatan dalam usaha promotif dan preventif dalam berbagai masalah

kesehatan dalam lingkup kesehatan ibu dan anak.

c. Lingkup Pelayanan Kebidanan

Lingkup dalam pelayana kebidanan berada dalam lingkungan fisik, sosial,flora dan fauna.

Jika keadaan lingkungan ini terganggu akan menimbulkan penyakit di masyarakat. Selain itu

lingkungan sosial juga dapat berpengaruh dalam lingkup pelayanan kebidanan sendiri,

lingkungan sosial yang berkaitan dengan adat atau budaya dapat mempengaruhi masyarakat.

Lingkungan sosial yang sehat dan baik dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat.

d. Ilmu Pengetahuan Serta Teknologi

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempengaruhi suatu kesehatan.

Pengembangan keilmuan ini dapat dijadikan sebagai kemajuan dalam pelayanan kebidanan

sesuai dengan kebaruan atau evidence base terbaru.Ilmu kesehatan selalu memiliki kebaruan

kebaruan dalam berbagai hal misalnya saja dalam hal pengobatan atau pencegahan penyakit.

2. Definisi Pelayanan Kebidanan Komunitas Terintegrasi

Pelayanan Kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang berbasis

pada kebutuhan kesehatan di masyarakat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak.

Kebidanan komunitas merupakan bentuk pelayanan/asuhan langsung yang berfokus pada

kebutuhan dasar komunitas, yang berkaitan dengan kebiasaan atau pola perilaku masyarakat

yang tidak sehat. Ketidakmampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan internal

dan eksternal. Intervensi kebidanan yang dilakukan mencakup pendidikan kesehatan,

mendemonstrasikan keterampilan dasar yang dapat dilakukan oleh komunitas, melakukan

intervensi kebidanan yang dapat dilakukan oleh komunitas, melakukan intervensi kebidanan

yang memerlukan keahlian bidan (misalnya konseling pasangan yang akan menikah,

melakukan kerja sama lintas-program dan lintas-sektoral) untuk mengatasi masalah komunitas

serta melakukan rujukan kebidanan dan non kebidanan jika perlu.


Integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembauran hingga

menjadi kesatuan yang utuh atau bulat atau penggabungan aktivitas, program, atau komponen

perangkat keras yang berbeda ke dalam satu unit fungsional.

Berdasarkan hal tersebut maka dengan demikian definisi pelayanan kebidanan komunitas

terintegrasi adalah merupakan bentuk pelayanan/asuhan langsung yang berfokus pada

kebutuhan dasar komunitas, yang berkaitan dengan kebiasaan atau pola perilaku masyarakat

yang tidak sehat yang memiliki satu fungsional kesatuan yang utuh atau bulat dalam

pelayanan kebidanan.

3. Peran Bidan dalam Pelayanan Kebidanan Terintegrasi

Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak dalam lingkup

komunitasmemiliki berbagai peran. Berbagai peran yang dilakukan oleh bidan ini dilakukan

dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan dalam masyarakat,khususnya dalam tingkat

kesehatan ibu dan anak. Berbagai peran yang dilakukan bidan tersebut adalah sebagai pemberi

asuhan langsung, melakukan promotif kesehatan, pendeteksi dini masalah kesehatan,

pelaksana rujukan, sebagai komunikator, konselor dalam memecahkan masalah kesehatan ibu

dan anak, anggota tim dalam keterpaduan program, sebagai supervisi (pembimbing) yang

ditujukan untuk kader atau dukun bayi yang ada di wilayah/daerah, sebagai role model dalam

perilaku hidup bersih dan sehat dalam masyarakat.

4. Dasar Hukum Pelayanan Kebidanan Komunitas Yang Terintegrasi

a. Pancasila

Dalam sila kelima “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi dasar bagi

bidan dalam memberikan asuhan kebidanan komunitas yang adil dan merata.

Pembangunan kesehatan harus dapat dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat.

b. Sustainable Development Goals

Pada akhir tahun 2015 yang merupakan tahun berakhirnya Millenium Development Goals

(Tujuan Pembangunan Milenium), masih terdapat beberapa aspek yang belum

terselesaikan, diantaranya

1) Kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan nasional

2) Angka kemtian ibu

3) Prevalensi HIV dan AIDS

4) Tutupan lahan
5) Air minum layak pedesaan

6) Sanitasi layak pedesaan

Maka WHO menyusun kembali menjadi Sustainable Development Goals (Tujuan

Pembangunan Berkelanjutan). Prinsip utama SDGs adalah kemajuan semua bangsa di dunia.

Dalam SDGs terdapat 17 pilar tujuan pembangunan berkelanjutan, empat diantaranya adalah

sector kesehatan, diantaranya :

1) Tujuan kedua : Tidak ada kelaparan (8 target)

2) Tujuan ketiga : Kesehatan dan kesejahteraan yang baik (13 target)

3) Tujuan kelima : Kesetaraan gender (9 target)

4) Tujuan keenam : Air bersih dan sanitasi (8 target)

Bidan memiliki peran penting dalam mendukung pemerintah mewujudkan tujuan

pembangunan berkelanjutan ketiga mengenai kesehatan dan kesejahteraan yang baik, dan

kelima mengenai kesetaraan gender. Seluruh isu kesehatan diintegrasikan dalam satu tujuan

yaitu tujuan ketiga, sehingga upaya pencapaian harus terintegrasi. Sedangkan pada tujuan

kelima untuk menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan

perempuan.

Diferensiasi tujuan ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong

kesejahteraan bagi semua orang di segala usia, yaitu pada 2030 :

1) Mengurangi AKI hingga dibawah 70 per 100.000 KH (kelahiran hidup)

2) Mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan menurunkan Angka

Kematian Neonatal hingga 12 per 1000 KH dan Angka Kematian Balita 25 per 1000 KH.

3) Mengakhiri epidemic AIDS, tuberculosis, malaria dan penyakit tropis yang terabaikan,

serta memerangi Hepatitis, penyakit bersumber air dan penyakit menular lainnya

4) Mengurangi 1/3 kematian premature akibat penyakit tidak menular melalui pencegahan

dan perawatan, serta mendorong kesehatan dan kesejahteraan mental

5) Memperkuat pencegahan dan perawatan penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan

narkotika dan alcohol yang membahayakan

6) Mengurangi setengah jumlah global kematian dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas

7) Menjamin akses semesta kepada pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi

8) Mencapai universal health coverage, termasuk perlindungan resiko keuangan, akses

kepada pelayanan kesehatan dasar berkualitas dan akses kepada obat – obatan dan vaksin

dasar yang aman, efektif, dan berkualitas bagi semua orang


9) Mengurangi secara substansial kematian dan kesakitan akibat senyawa berbahaya serta

kontaminasi dan polusi udara, air dan tanah.

10) Mengacu pada tujuan SDGs ketiga dan kelima, maka pelayanan kebidanan komunitas

terintegrasi harus diaplikasikan kepada masyarakat, khususnya terhadap perempuan, bayi,

balita dan anak sehingga dapat memenuhi target tujuan SDGs ketiga dan kelima.

c. Permenkes RI No.28 Tahun 2017 tentang Izin Dan Penyelenggaran Praktik Bidan.

Dalam melakukan pelayanan kebidanan komunitas yang terintegrasi, maka diperlukan

pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Bidan di Indonesia

yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin

Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Peraturan tersebut merupakan penyempurnaan dari

peraturan pemerintah yang ada sebelumnya sehingga pelayanan kebidanan komunitas dapat

dilaksanakan secara menyeluruh dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan

diterbitkannya Permenkes RI No.28 tahun 2017 maka Permenkes Nomor

1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Praktik Bidan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam Permenkes RI No.28 tahun 2017 mencakup mengenai Ketentuan Umum, Perizinan

Praktik Bidan, Penyelenggaraan Keprofesian, Praktik Mandiri Bidan, Pencatatan dan

Pelaporan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.

d. Kode Etik Bidan

Pertama kali penyusunan kode etik bidan di Indonesia yaitu pada tahun 1986 yang

disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia ke-X, dengan pengesahan petunjuk

pelaksanaan kode etik dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991.

Penyempurnaan dan pengesahan Kode Etik Bidan dilakukan dalam Kongres Nasional IBI XII

pada tahun 1998. Adapun isi dari Kode Etik Bidan yakni :

1) Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat (5 butir)

a) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.


b) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan

martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.

c) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran,

tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan

masyarakat

d) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien,

menghormati hak klien dan nilai – nilai yang dianut oleh kien

e) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan

pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk

meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.

2) Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)

a) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga

dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan

kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

b) Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan

dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.

c) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau

dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan

sehubungan dengan kepentingan klien.

3) Kewajiban bidan terhadap rekan sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)

a) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk

menciptakan suasana kerja yang serasi.

b) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik

terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

4) Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)

a) Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi

dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan

yang bermutu kepada masyarakat.

b) Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan

kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.
c) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan

sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.

5) Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (3 butir)

a) Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas

profesinya dengan baik.

b) Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan

perkembangan ilmu npengetahuan dan teknologi.

c) Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.

6) Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir)

a) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa melaksanakan ketentuan –

etentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan

kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan kesehatan keluarga.

b) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran

kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan

terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.

7) Penutup (1 butir)

Sesuai dengan wewenang dan peraturan kebijaksanaan yang berlaku bagi bidan, kode

etik merupakan pedoman dalam tata cara keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan

kebidanan professional.

5. Ruang Lingkup Pelayanan Kebidanan Terintegrasi

a. Pelayanan Antenatal Terintegrasi Dalam Komunitas

1) Konsep Pelayanan Antenatal Terintegrasi

Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan

persalinan, pelayanan nifas, dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas

pelayanan antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan
janinnya, ibu bersalin dan bayi baru lahir, serta ibu nifas untuk mewujudkan generasi

berkualitas.

Dalam pelayanan antenatal terintegrasi, tenaga kesehatan harus dapat memastikan

bahwa kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini masalah dan penyakit

yang dialami ibu hamil, melakukan intervensi secara adekuat sehingga ibu hamil siap

untuk menjalani persalinan normal.

Setiap kehamilan, dalam perkembangannya mempunyai resiko mengalami

penyulit atau komplikasi. Oleh karena itu, pelayanan antenatal harus dilakukan

minimal 4 kali sesuai standar dan terintegrasi untuk pelayanan antenatal berkualitas.

Pelayanan antenatal terintegrasi merupakan pelayanan kesehatan komprehensif

dan berkualitas yang dilakukan melalui:

a) Pemberian pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasi dan gizi agar

kehamilan berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan cerdas.

b) Deteksi dini masalah penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan

c) Persiapan persalinan yang bersih dan aman

d) Perencanaan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi

penyulit atau komplikasi

e) Penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan

f) Melibatkan ibu hamil, suami dan keluarganya dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu

hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit dan komplikasi

Dalam melakukan pemeriksaan antenatal, tenaga kesehatanharus memberikan

pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai standar (10T) terdiri dari :

a) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan

Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk

mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang

kurang dari 9 kg selama kehamilan atau kurang dari 1 kg setiap bulannya

menunjukan adanya gangguan pertumbuhan janin. Pengukuran tinggi badan pada

pertama kali kunjungan dilakukan untuk menapis adanya faktor resiko pada ibu

hamil. Tinggi badan ibu hamil <145 cm meningkatkan resiko terjadinya CPD

(Cephalo Pelvic Disporpotion)

b) Ukur tekanan darah


Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk

mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg). Pada kehamilan dan

preeklamsia (hipertensi disertai oedema wajah dan atau tungkai bawah; dan atau

proteinuria)

c) Nilai status gizi (Ukur lingkar lengan atas/LILA)

Pengukuran LILA hanya dilakukan pada kontak pertama oleh tenaga kesehatan di

trimester I untuk skrining ibu hamil berresiko KEK. Kurang Energi Kronis adalah

ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa

bulan/tahun) dimana LILA <23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat

melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).

d) Ukur Tinggi Fundus Uteri

Pengukuran tinggi fundus pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk

mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan. Jika tinggi

fundus tidak sesuai umur kehamilan, kemungkinan ada gangguan pertumbuhan

janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah kehamilan 24

minggu.

e) Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

Menentukan presentase janin dilakukan pada trimester II akhir dan setiap kunjungan

antenatal untuk mengetahui letak janin. Jika pada trimester III bagian bawah bukan

kepala atau kepala janin belum masuk ke panggul berarti ada kelainan letak ,

panggul sempit atau ada masalah lain. Jika pada DJJ terdapat kelambatan (<120

kali/menit) atau DJJ cepat (>160 kali/menit) menunjukan adanya gawat janin.

f) Skrining Status Imunisasi TT dan pemberian imunisasi TT bila diperlukan

Untuk mencegah terjadinya tetanus neonaturum, ibu hamil harus mendapat

imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, melakukan skrining status imunisasi TT.

Ibu hamil minimal harus memiliki status imunisasi T2 agar mendapatkan

perlindungan terhadap infeksi tetanus. Ibu hamil dengan status T5 (TT Long life)

tidak perlu diperikan imunisasi TT lagi.

g) Beri tablet tambah darah (tablet besi)


Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hanil harus mendapat tablet tambah

darah (tablet zat besi) dan Asam Folat minimal 90 tablet selama kehamilan yang

diberikan sejak kontak pertama.

h) Periksa laboratorium (rutin dan khusus)

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada ibu hamil adalah pemeriksaan

laboratorium rutin dan khusus. Pemeriksaan laboratorium rutin adalah pemeriksaan

yang harus dilakukan oleh semua ibu hamil yaitu golongan darah, hemoglobin darah

, protein urine, dan pemeriksaan spesifik daerah endemis/epidemi (malaria, IMS,

HIV, dll). Sementara pemeriksaan laboratorium khusus adalah pemeriksaan

laboratorium lain atas indikasi pada ibu hamil yang melakukan kunjungan.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat antenatal tersebut meliputi :

(1) Pemeriksaan golongan darah

Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui

jenis golongan darah ibu melainkan juga untuk mempersiapkan calon

pendonor darah yang sewaktu waktu diperlukan apabila terjadi situasi

kegawatdaruratan

(2) Pemeriksaan kadar Hemoglobin darah

Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu dilakukan minimal sekali pada

trimester pertama dan sekali pada trimester ketiga. Pemeriksaan ini dilakukan

untuk mengetahui ibu hamil tersebut menderita anemia atau tidak selama

kehamilannya karena kondisi anemia dapat memengaruhi proses tumbuh

kembang janin dalam kandungan. Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu

hamil pada trimester kedua dilakukan atas indikasi.

(3) Pemeriksaan protein dalam urin

Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan pada trimester

kedua dan ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui

adanya proteinuria pada ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu indikator

terjadinya pere eklamsia pada ibu hamil

(4) Pemeriksaan kadar gula darah

Ibu hamil yang dicurigai menderita diabetes militus harus dilakukan

pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal sekali pada trimester

pertama, sekali pada trimester kedua, dan sekali pada trimester ketiga.
(5) Pemeriksaan darah malaria

Semua ibu hamil didaerah indemis malaria dilakukan pemeriksaan darah

malaria dalam rangka skrining pada kontak pertama. Ibu hamil di daerah non

endemis malaria dilakukan pemeriksaan darah malaria apabila ada indikasi.

(6) Pemeriksaan test sifilis

Pemeriksaan test sifilis dilakukan didaerah dengan resiko tinggi dan ibu hamil

yang diduga menderita sifilis. Pemeriksaan sifilis sebaiknya dilakukan sedini

mungkin pada kehamilan.

(7) Pemeriksaan HIV

Didaerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas

pelayanan kesehatan wajib menawarkan test HIV kepada semua ibu hamil

secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan

antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran

test HIV oleh tenaga kesehatan di prioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan

TB secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat

pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan. Teknik penawaran ini disebut

provider initiated testing and councelling (PITC) atau Test HIV atas Inisiatif

Pemberi Pelayanan Kesehatan Dan Konseling (TIPK).

(a) Pemeriksaan BTA

Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai menderita

Tuberklosis sebagai pencegahan agar infeksi Tuberklosis tidak

mempengaruhi kesehatan janin.

Selain pemeriksaan tersebut di atas, apabila diperlukan dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang lainnya di fasilitas rujukan. Mengingat kasus perdarahan

dan preeklamsi/eklamsi merupakan penyebab utama kematian ibu, maka diperlukan

pemeriksaan dengan menggunakan alat deteksi resiko ibu hamil oleh bidan

termasuk bidan desa meliputi alat pemeriksaan laboratorium rutin (golongan darah,

HB), alat pemeriksaan laboratorium khusus (Glukoprotein urine), test hamil.

i) Tatalaksana atau penangan khusus


Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal diatas dan hasil pemeriksaan laboratorium,

setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani sesuai dengan

standar dan kewenangan bidan. Kasus-kasus yang tidak dapat di tangani dirujuk

sesuai dengan sistem rujukan.

j) Temuwicara (konseling)

Temuwicara(konseling) dilakukan pada setiap kunjungan antenatal yang meliputi :

(1) Kesehatan ibu

Setiap ibu hamil dianjurkan untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin ke

tenaga kesehatan dan menganjurkan ibu hamil agar beristirahat yang cukup

selama kehamilannya ( sekitar 9-10 jam/hari dan tidak bekerja berat )

(2) Perilaku hidup bersih dan sehat

Setiap ibu hamil dianjurkan untuk menjaga kebersihan badan selama kehamilan

misalnya mencuci tangan sebelum makan, mandi 2 kali sehari dengan

menggunakan sabun, menggosok gigi setelah sarapan dan sebelum tidur serta

melakukan olah raga ringan.

(3) Peran suami atau keluarga dalam kehamilan dan perencanaan persalinan

Setiap ibu hamilperlu mendapatkan dukungan dari keluarga terutam suami

dalam kehamilannya. Suami, keluar atau masyarakat perlu menyiapkan biaya

persalianan, kebutuhan bayi, transportasi rujukan dan calon donor darah. Hali

ini penting apabila terjadi koplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas agar segera

dibawa ke fasilitas kesehatan.

(4) Tanda bahaya pada kehamilan, persalinan dan nifas serta kesiapan menghadapi

komplikasi. Setiap ibu hamil diperkenalkan mengenal tanda-tanda bahaya baik

selama kehamilan, persalinan dan nifas misalnya perdarahan pada hamil muda

maupun hamil tua, keluar cairan berbau pada jalan lahir saat nifas, dsb.

Mengenal tanda-tanda bahaya ini penting agar ibu hamil segera mencari

pertolongan ke tenaga kesehatan.

(5) Asupan gizi seimbang

Selama hamil, ibu dianjurkan untuk mendapatkan asupan makanan yang cukup

dengan pola gizi yang seimbang karena hal ini penting untuk proses tumbuh

kembang janin dan derajat kesehatan ibu. Misalnya ibu hamil disarankan
minum tablet tambah darah secara rutin untuk mencegah anemia pada

kahamilannya.

(6) Gejala penyakit menular dan tidak menular

Setiap ibu hamil harus tau mengenai gejala-gejala penyakit menular dan

penyakit tidak menular karena dapat memengaruhi kesehatan ibu dan janinnya.

(7) Penawaran untuk melakukan Test HIV dan Konseling di daerah epidemi meluas

dan terkonsentrasi atau ibu hamil dengan IMS dan TB di daerah epidemik

rendah. Setiap ibu hamil di tawarkan untuk dilakukan test HIV dan segera

diberikan informasi mengenai resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya.

Apabila ibu hamil tersebut HIV positif maka dilakukan konseling Pencegahan

Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Bagi ibu hamil yang negatif diberikan

penjelasan untuk menjaga tetap HIV negatif selama hamil, menyusui dan

seterusnya.

(8) Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan Pemberian Asi Ekslusif

Setiap ibu hamil dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayinya seger

setelah bayi lahir karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh yang penting

untuk kesehatan bayi. Pemberian ASI dilanjutkan sampai bayi berusia 6 bulan.

(9) KB pasca Persalinan

Ibu hamil diberikan pengarahan tentang pentingnya ikut KB setelah persalinan

untuk menjarangkan kehamilan dan agar ibu punya waktu merawat kesehatan

diri sendiri, anak, dan keluarga.

(10) Imunisasi

Setiap ibu hamil harus mempunyai status imunisasi (T) yang masih

memberikan perlindungan untuk mencegah ibu dan bayi mengalami tetanus

neonatorum. Setiap ibu hamil minimal mempunyai status imunisasi T2 agar

terlindungi terhadap infeksi tetanus.

(11) Peningkatan kesehatan intelegensia pada kehamilan ( brain booster)

Untuk dapat meningkatkan integensia bayi yang akan dilahirkan, ibu hamil

dianjurkan untuk memberikan stimulasi auditori dan pemenuhan nutrisi

pengungki otak (Barin Booster) secara bersamaan pada periode kehamilan.

2) Pelayanan Antenatal Terintegrasi


Pelayanan antenatal terintegrasi merupakan pelayanan kesehatan komprehensif dan

berkualitas yang dilakukan melalui :

a) Deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan

Menanyakan tanda-tanda penting yang terkait dengan masalah kehamilan dan

penyakit yang memungkinkan diderita ibu hamil:

(1) Muntah berlebihan

Rasa mual dan muntah bisa muncul pada kehamilan muda terutama pada pagi

hari namun kondisi ini biasanya hilang setelah kehamilan kondisi 3 bulan.

Keadaan ini tidak perlu dikhawatirkan kecuali kalau memang cukup berat,

hingga tidak dapat makan dan berat badan menurun terus.

(2) Pusing

Pusing biasa muncul pada kehamilan muda. Apabila pusing sampai

mengganggu aktivitas sehari-hari maka perlu diwaspadai.

(3) Sakit Kepala

Sakit kepala yang hebat atau yang menetap timbul pada ibu hamil mungkin

dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin.

(4) Perdarahan

Perdarahan waktu hamil, walaupun hanya sedikit sudah merupakan tanda

bahaya sehingga ibu hamil harus waspada

(5) Sakit perut hebat

Nyeri perut yang hebat dapat membahayakan kesehatan ibu dan janinnya.

(6) Demam

Demam tinggi lebih dari 2 hari atau keluarnya cairan berlebihan dari rahim

dan kadang berbau merupakan salah satu tanda bahaya kehamilan.

(7) Batuk lama

Batuk lama lebih dari 2 minggu, perlu ada pemeriksaan lanjut dan dapat

dicurigai ibu menderita TB.

(8) Berdebar-debar

Jantung berdebar-debar pada ibu hamil merupakan salah satu masalah pada

kehamilan yang harus diwaspadai


(9) Cepat lelah

Dalam dua atau tiga bulan pertama kehamilan, biasanya timbul rasa lelah ,

mengantuk yang berlebihan dan pusing, yang biasanya terjadi pada sore hari.

Kemungkinan ibu menderita kurang darah.

(10) Sesak nafas atau sukar bernafas

Pada bulan kedelapan ibu hamil sering merasa sedikit sesak bila bernafas

karena bayi menekan paru-paru ibu.

(11) Keputihan yang berbau

Keputihan yang berbau merupakan salah satu tanda bahaya pada ibu hamil.

(12) Gerakan janin

Gerakan bayi mulai dirasakan ibu pada kehamilan akhir bulan keempat.

Apabila gerakan janin belum muncul pada usia kehamilan ini, gerakan yang

semakin berkurang atau tidak ada gerakan maka ibu hamil harus waspada.

(13) Perilaku berubah selama hamil , seperti gaduh gelisah , menarik diri, bicara

sendiritidak mandi, dsb.

Selama kehamilan, ibu bisa mengalami perubahan perilaku. Hal ini

disebabkan karena perubahan hormonal. Pada kondisi yang mengganggu

kesehatan ibu dan janinnya maka akan dikonsulkan ke psikiater

(14) Riwayat kekerasan pada perempuan (KtP) selama kehamilan.

Informasi mengenai kekerasan terhadap perempuan terutama ibu hamil

seringkali sulit untuk digali. Korban kekerasan selalu mau berterus terang

pada kunjungan pertama, yang mungkin disebabkan oleh rasa takut atau

belum mampu mengemukakan masalahnya kepada orang lain, termasuk

petugas kesehatan. Dalam keadaan ini petugas kesehatan diharapkan dapat

mengenali korban dan memberikan dukungan agar mau membuka diri.

b) Pemberian pelayanan dan konseling kesehatan termasuk :

(1) Pola makan ibu selama hamil yang meliputi jumlah, frekuensi, kualitas asupan

makanan terkait dengan kandungan gizinya.

(2) Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Ekslusif selama 6 bulan

(3) Perawatan tali pusat

(4) Penggunaan alat kontrasepsi

(5) Status imunisasi tetanus ibu hamil


(6) Jumlah tablet tambah darah (tablet fe) yang dikonsumsi ibu hamil

(7) Obat obatan. Seperti: antihipertensi, diuretika, antivomitus, antipiretika,

antibiotika, obat TB dan sebagainya.

(8) Di daerah endemis malaria, tanyakan gejala malaria dan riwayat pemakaian

obat malaria

(9) Di daerah risiko tinggi IMS, tanyakan gejala IMS dan riwayat penyakit pada

pasangannya. Informasi ini penting untuk langkah langkah penanggulangan

penyakit menular seksual.

c) Persiapan Persalinan yang Bersih dan Aman

Menanyakan kesiapan menghadapi persalinan dan menyikapi kemungkinan

terjadinya komplikasi dalam kehamilan, antara lain:

(1) Siapa yang akan menolong persalinan?

(2) Dimana akan bersalin? (Ibu hamil dapat bersalin di Poskesdes, Puskesmas

atau di rumah sakit)

(3) Siapa yang akan mendampingi ibu saat bersalin? (sebaiknya ibu ditunggu oleh

keluarga terdekat: suami, ibu, kakak perempuan, kader, dll)

(4) Jelaskan tanda-tanda persalinan dan tanda-tanda bahaya persalinan

(5) Apakah sudah disiapkan biaya persalinan?

Suami diharapkan dapat menyiapkan dana untuk persalinan ibu. Biaya

persalinan ini dapat pula berupa tabulin (tabungan ibu bersalin) atau dasolin

(dana sosial ibu bersalin) yang dapat dipergunakan untuk membantu

pembiayaan mulai antenatal, persalinan dan kegawatdaruratan.

(6) Kegawat-daruratan dan Rujukan

(a) Deteksi dini masalah: ibu hamil, suami dan keluarga mengenal tanda-tanda

bahaya.

(b) Pengambilan keputusan dalam keluarga siapa yang sangat berperan untuk

mengantisipasi dan persiapan dini dalam melakukan rujukan jika terjadi

penyulit/komplikasi.

(c) Siapa yang akan menjadi pendonor darah apabila terjadi pendarahan?

Suami, keluarga dan masyarakat menyiapkan calon donor darah minimal

3 orang yang sewaktu-waktu dapat menyumbangkan darahnya untuk

keselamatan ibu melahirkan.


(d) Transportasi apa yang akan digunakan jika suatu saat harus dirujuk?

Alat transportasi bisa berasal dari masyarakat sesuai dengan kesepakatan

bersama yang dapat dipergunakan untuk mengantar calon ibu bersalin ke

tempat persalinan termasuk tempat rujukan. Alat transportasi tersebut

dapat berupa mobil, ojek, becak, sepeda, tandu, perahu, dsb.

3) Integrasi pelayanan ANC dengan beberapa program, antara lain:

a) Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)

Pada kunjungan pertama ANC, dilakukan skrining status imunisasi TT ibu hamil,

apabila diperlukan, diberikan imunisasi pada saat pelayanan antenatal.

Tujuan :

(1) Untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi baru lahir

(2) Melengkapi status imunisasi TT

Skrining imunisasi TT

Riwayat imunisasi ibu Imunisasi yang Status Imunisasi

hamil didapat

Imunisasi dasar DPT-Hb1 T1 &T2

lengkap
DPT-Hb2

DPT-Hb3

Anak sekolah

Kelas 1 SD DT T3

Kelas 2 SD Td T4

Kelas 3 SD Td T5

Calon pengantin, Masa TT -Jika ada status T di atas

hamil yang tidak terpenuhi

-Lanjutkan urutan T yang

belum terpenuhi

-Perhatikan interval

pemberian

Interval dan Masa Perlindungan TT


Pemberian Selang waktu Perlindungan

imunisasi pemberian

minimal

TT WUS T1 - -

T2 4 minggu setelah 3 tahun

T1

T3 6 bulan setelah 5 tahun

T2

T4 1 tahun setelah 10 tahun

T3

T5 1 tahun setelah 25 tahun

T4

b) Antisipasi Defisiensi Gizi Dalam Kehamilan (Anemia dan KEK)

(1) Pencegahan dan penatalaksanaan Anemia pada Kehamilan

(a) Skrining anemi melalui pemeriksaan Hb darah pada ANC K1

(b) Pemberian tablet Fe minimal 90 tablet selama kehamilan dimulai dari trimester pertama

kehamilan

(c) Pemeriksaan Hb darah ulang pada trimester ketiga kehamilan

(2) Kurang Energi Kronis (KEK) pada Kehamilan

(a) Pengukuran LILA pada ANC K1 untuk menemukan Bumil KEK

(b) Pemberian makanan tambahan (PMT) ibu hamil KEK

c) Pencegahan Malaria Dalam Kehamilan (PMDK)

Untuk daerah endemis malaria, pada kunjungan 1 ANC semua ibu hamil dilakukan:

(1) Pemberian kelambu berinsektisida

(2) Skrining darah malaria (RDT/ mikroskopis)

(3) Pemberian terapi pada ibu hamil positif malaria

d) Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi (PPIA)

Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan No.GK/MENKES/001/I/2013, tentang layanan

pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA), maka disepakati 4 program dalam PPIA:

(1) Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

(2) Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV
(3) Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV pada bayi yang

dikandungnya

(4) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan

HIV beserta bayi dan keluarganya

Terapi Antireroviral /ART/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam PPIA adalah

penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif ,

mencegah penularan HIV dari ibu ke anak/MTCT dan diberikan seumur hidup.

Saat ini pengobatan antiretroviral lini 1 sudah tersedia secara luas dan gratis. Perempuan yang

memerlukan layanan PPIA dapat memperoleh di rumah sakit yang menjadi pusat layanan HIV.

Pemberian obat antiretroviral dilakukan dengan kombinasi beberapa rejimen obat (biasanya

diberikan 3 macam obat dalam 1 kombinasi) sesuai dengan pedoman yang berlaku.

Manfaat terapi ARV dalam program PPIA serupa dengan terapi ARV untuk pasien HIV pada

umumnya yaitu:

a) Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup

b) Menurunkan rawat inap akibat HIV

c) Menurunkan kematian akibat AIDS


d) Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak

Tujuan terapi ARV pada ibu hamil:

a) Memperbaiki kualitas hidup

b) Mencegah infeksi oportunistik

c) Mencegah progresifitas penyakit

d) Mengurangi transmisi dari ibu ke bayi dan kepada orang lain

Table 9. Criteria for ART initiation in specific populations


Target Population Clinical condition Recommendation

Asymptmatic individuals WHO clinical stage 1 Start ART it CD4≤350

(including pregnant

women)

Symptmatic individuals WHO clinical stage 2 Start ART it CD4≤350

(including pregnant
WHO clinical stage 3 Start ART inespektive of
women)
or 4 CD4 cell count

TB and Hepatitis B Active TB Disease Start ART inespektive of

coinfections CD4 cell count

HBV infection Start ART inespektive of

requiring hearment CD4 cell count

Perempuan mengalami kadar hitung CD 4 yang lebih rendah saat kehamilan dibandingkan

setelah melahirkan/nifas, sebagian dikarenakan hemodilusi terkait kehamilan. Hal ini mempengaruhi

penggunaan ambang batas 350 pada perempuan hamil, khususnya pada stadium klinis 1 dan 2 belum

diketahui

Jenis-Jenis Antiretroviral Yang Tersedia Di Indonesia

Golongan Nama Singkatan Nama Sediaan

Generik Dagang

Nucleoside Zidovudin AZT, Retrovir, Kapsul/tablet 300 mg,

Reverse ZDV Zidovex, kapsul 100 mg

Transkriptase Reviral

Inhibitor

(NRTI)

Lamivudin 3 TC Epivir, Tablet 150 mg,


Lamivox, Larutan 10 mg/mL

Hiviral Tablet 150 mg

Stavudin d4T Zerit, Kapsul 30 mg, 40 mg

Stavex

Didanosin ddI Videx Tablet kunyah : 100mg

Non Nevirapin NVP Viramune, Tablet 200mg

Nucleoside Nevirex

Golongan Nama Generik Singkatan Nama Dagang Sediaan

Reverse Evafirens EFV Stocrin., Tablet 600 mg

Transkripta Evafir

se Inhibitor

(NRTI)

Protease Nelfinavir NVF Virecept, Tablet 250 mg

inhibitor Nelvet

Lopinavir/riton LPV/r Alluvia, Tablet 200 mg,

avir Kaletra Lopinavir/50 mg

ritonavir

Saquenavir SQV Tablet 250 mg g,

500 mg

Koformulasi AZT dan 3TC NVP Conbivir, AZT 300mg +

Zidovex-L, 3TC 150 mg

Duviral

AZT, 3TC dan Zidovex-LN AZT 300mg +

NVP 3TC 150


Trivial
mg+NVP 200mg.

AZT 300mg +

3TC 150 mg

+NPV 200 mg

Keamanan obat ARV untuk ibu hamil dan bayinya :


a) Obat antiretroviral memiliki efek samping yang dapat mengganggu dan menimbulkan gejala

pada pasien. Efek samping ini dapat membuat kepatuhan berobat ( adherens) Menurun dan

menyebabkan tujuan pengobatan tidak tercapai.

b) Obat ARV juga memiliki potensi toksisitas dan teratogenik terhadap janin dan ibunya, namun

dari rejimen yang dipilih telah diteliti memiliki efek samping minimal atau tidak ada sama

sekali.

c) Obat ARV dapat digunakan selama kehamilan:sebagai terapi kombinasi yang paten untuk ibu

hamil dan mencegah infeksi HIV pada bayi.

Toksisitas dan kontra-indikasi Rejimen Antiretroviral (ARV)

a) Efek samping tersering dari AZT, AZT dan 3TC: muali, sakit kepala, myalgia, insomnia dan

biasanya berkurang jika tetap diberikan.

b) Kontra indikasi AZT, AZT dan 3TC : alergi obat, kadar hemoglobin dibawah 7g/dl,

neutropenia (<750 sel/mm3), disfungsi hepar atau ginjal yang berat

c) Efek toksik pada ibu hamil jarang namun berbahaya : asidosis laktat, hepatic steatosis,

pankreasitis, toksisitas mitokondria lain.

d) Toksisitas jagka pendek pada bayi (AZT) yang penting : anemia (makin lama pajanan makin

berat anemia dan reversible)

e) Efek samping terbesar dari NVP : Hepatotoksis dan ruam kulit (jarang). Jumah CD4 > 250

resiko untuk hepatotoksis adalah 10 kali dari pada CD4 yang rendah.

f) Kontra indikasi NPV : alergi terhadap NPV atau derivate benzodiazepine (dilihat kembali)

g) Pada janin : jika pajanan lama dapat menyebabkan toksissitas, hematologi termasuk netropeni,

hepatotoksik, ruam kulit

h) Efavirens dikontraindikasikan pada usia kehamilan trimester 1, namun dapat diberikan pada

trimester 2 dan 3 bila tidak mungkin memberikan nevirapin

Pemberian obat antiretroviral perlu mengikuti prinsip sebagai berikut untuk menjamin

keberhasilan terapi :

a) Dibawah pegawasan dokter

b) Jelaskan efek samping yang dapat terjadi

c) Pada masa nifas, ARV dilanjutkan untuk meningkatkan kualitas i=hidp ibu

d) Sebaiknya ada pendamping minum ARV, kaerna tingkat kepatuhan sangat menentukan

efektivitas hasilpengguna ARV.


Memulai terapi ARV perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :

No Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan

(Rejimen untuk Ibu)


1 ODHA dengan indikasi ART dan kemungkinan  AZT + 3TC + NVP

hamil atau sedang hamil


 TDF + 3TC (or FTC) + NVP

(hindari EFV pada trimester

I)

 AZT + 3TC +EVF*

 TDF +3TC (or FTC)+EVE*


2 ODHA sedang menggunakan ART dan kemudian (1) Lanjutkan rejimen (ganti

hamil dengan NVP atau golongan

PI jika sedang menggunakan

EFV pada trimester I)


3 ODHA hamil dan belum ada indikasi ART Lanjutkan dengan ARV yang sama

selama ARV mulai pada minggu

ke 14 kehamilan (rejimen sesuai

dengan rekomendasi)
4 ODHA hamil dengan indikasi ART, tetapi belum ARV muali 14 minggu (rejimen

menggunakan ARV sesuai dengan rekomendasi WHO


5 ODHA hamil dengan tuberculosis active OAT yang sesuai tetap diberikan

rejimen untuk ibu bila

pengobatan mulai trimester 2 dan 3

(2) AZT (d4T) + 3TC +EFV


6 Bumil dalam masa persalinan dan tidak diketahui Tawarkan testing dalam masa

status HIV peralinan atau testing setelah

persalinan. Jika hasil test positif

maka dapat
7 ODHA dating pada masa persalinan Rejimen pada point 1

a) Memenuhi indikasi pemberian (lihat table di atas)

b) Bila terdapat infeksi oportunistik maka obati terlebih dahulu infeksi oportunistiknya

c) Persiapkan klien/pasien secara fisik dan mental untuk menjalani terapi (dilakukan dengan

konseling pra ART).


Bayi yang lahir dari ibu HIV positif diberikan AZT selama 6 minggu dengan dosis 4mg/kg

BB per 12 jam.

AZT/ZDV ; Zidovudin

3TC : Lamivudin

NVP : Nevirapin

EFV : efavirens

TDF : Tenovofi

Pencegahan dan pengobatan IMS/ISK dalam kehamilan

a) Skrining IMS-Sifilis/ISK bagi ibu hamil pada tiap kunjungan ANC melalui anamnesis terarah

yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dna penunjang (bila sarana tersedia) bila

diperlukan

b) Terapi pada ibu hamil dan bayi yang positif IMS-Sifilis/ISK

(1) Eliminasi sifilis kongenital (ESK/CSE)

(2) Penatalaksanaan TB dalam kehamilan (TB-ANC)

(3) Pelayanan kesehatn jiwa pada ibu hamil

4) Penggunaan Buku KIA dalam Pelayanan Antenatal terintegrasi

Menteri Kesehatan RI menerbitkan keputusan nomor 284/MENKES/SK/II/2004 tentang Buku

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menimbang :

a) Bahwa ibu dan anak perlu memiliki catatan yang lengkap sejak ibu hamil sampai dengan

selsesai masa nifas, dan anakny sejk lahir hingga berusia 5 tahun.

b) Bahwa untuk mencata dan memantau kesehatan ibu dan anak diperukan Buku Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA)

c) Bahwa buku KIA merupakan alat untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan atau

masalah kesehatan ibu dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan dengan informasi yang

penting bagi ibu keluarga dan masyarakat mengenai pelayanan ibu dan anak termasuk

rujukannya dan paket (standar) pelayanan KIA, gizi, imunisasi dan tumbuh kembang balita
d) Bahwa sehubungan denngan huruf a, b, dan c diatas perlu ditetapkan Buku Kesehatan Ibu dan

Anak dengan keputusan Menteri Kesehatan.

Buku KIA merupakan gabungan kartu-kartu kesehatan ibu dan anak. Dimulai dari KMS ibu

hamil, KMS balita, Kartu Keluarga Berencana, Kartu perkembangan anak, dll. Buku KIA

digunakan juga sebagai alat untuk melakukan penyuluhan dan komunikasi yang efektif kepada

masyarakat, serta mudah digunakan.

Pada umumnya buku KIA berisi :

a) Kesehatan Ibu, meliputi informasi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan dilengkapi catatan

pelayanan kesehatan ibu, riwayat ibu bersalin, rujukan serta keterangan lahir.

b) Kesehatan anak, meiputi, informasi kesehatan anak, imunisasi perawatan balita dan KMS anak,

cara merangsang perkembangan ana, dll serta dilampiri catatan pelayanan kesehatan anak.

Dengan buku KIA pemeriksaan dapat dilakukan dimana saja, mulai dari posyandu, poskesdes,

pustu, puskesmas, rumah sakit dan klinik-klinik swasta sesuai dengan registrasi kohort ibu hamil.

Tugas kita sebagai tenaga kesehatan memberikan buku KIA kepada setiap ibu hamil atau setiap anak.

Dan ingatkan untuk membacanya serta meminta pada ibu hamil untuk selalu membawa buku KIA

kemana saja setiap pergi ke pelayanan kesehatan.

Manfaat buku KIA yaitu :

a) Sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan KIA yang terdiri dari :

(1) Standar pelayanan oleh petugas

(2) Hak ibu dan anak menerima pelayanan sesuai standar

(3) Kerjasama petugas dan masyarakat untuk mewujudkan pelayanan KIA yang berkualitas.

b) Sebagai alat untuk meningkatkan surveilen, monitoring dan system informasi

Catatan kesehatan berguna dalam pelayanan KIA walaupun diberikan oleh petugas kesehatan

yang berbeda.

c) Buku KIA bermanfaat untuk :

(1) Mengurangi keterlambatan pengendalian resiko tinggi

(2) Mengurangi dampak infeksi

(3) Kepatuhan terhadap standar pelayanan kebidanan

(4) Mengurangi 3 keterlambatan dalam rujukan ke rumah sakit


Buku KIA berisi tentang :

a) Ibu hamil

(1) Periksa kehamilan

Segera ke dokter atau bidan jika terlambat datang bulan. Periksa kehamilan paling sedikit 4

kali selama kehamilan.

(a) 1kali pada usia kandungan sebelum 3 bulan

(b) 1 kali usia kandungan 4-6 bulan

(c) 2 kali pada usia kandungan 7-9 bulan

Pastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan (10T)

(2) Ikuti kelas ibu hamil

Dikelas ibu hamil, ibu mendapatkan informasi dan saling bertukar informasi mengenai

kehamilan, persalinan, nifas serta perawatan bayi baru lahir. Ikuti kelas ibu hamil paling

sedikit 4 kali pertemuan, sebaliknya 1 kali pertemuan dihadiri bersama suami/keluarga.

(3) Perawatan sehari-hari

(a) Makan beragam makanan secara proporsional dengan pola gizi seimbang dan lebih banyak

dari pada sebelum hamil

(b) Istirahat yang cukup

(c) Menjaga kebersihan diri

(d) Boleh melakukan hubungan suami istri selama hamil

(e) Aktivitas fisik

(4) Aktivitas yang harus diindari ibu selama hamil

(a) Kerja berat

(b) Merokok atau terpapar dengan asap rokok

(c) Minum minuman bersoda, berakohol dan jamu

(d) Tidur terlentang >10 menit pada masa hamil tua

(e) Ibu hamil minum obat tanpa resep dokter

(f) Stress yang berlebihan

(5) Persiapan melahirkan

(6) Tanda bahaya pada kehamilan

(7) Masalah lahin pada masa kehamilan

(a) Demam, menggigil dan berkeringat

(b) Terasa sakit pada saat kencing atau keluar keputihan atau gatal-gatal di daerah kemaluan
(c) Batuk lama (lebih dari 2 minggu)

(d) Jantung berdebar-debar atau nyeri di dada

(e) Diare berulang

(f) Sulit tidur dan cemas berlebihan

b) Ibu bersalin

(1) Tanda awal persalinan

(2) Proses melahirkan

(3) Tanda bahaya pada persalinan

(4) Perdarahan lewat jalan lahir

(5) Tali pusat atau tangan bayi keluar dari jalan lahir

(6) Ibu mengalami kejang

(7) Ibu tidak kuat mengejan

(8) Air ketuban keruh dan berbau

(9) Ibu gelisah atau mengalami kesakitan yang hebat

(10) Jika muncul salah satu tanda gejala di atas, segera rujuk ibu ke rumah sakit.

c) Ibu Nifas

o Pelayanan kesehatan ibu nifas oleh bidan dan dokter dilaksanakan minimal 3 kali yaitu :

 Pertama : 6 jam -3 hari setelah melahirkan

 Kedua : hari ke 4- 28 hari setelah melahirkan

 Ketiga : hari ke 29-42 hari setelah melahirkan

o Hal-hal yang harus dihindari oleh ibu bersalin dan selama nifas

o Cara menyusui bayi

o Cara memerah dan menyimpan ASI

o Tanda bahaya pada ibu nifas :

(1) Perdarahan lewat jalan lahir

(2) Keluar cairan berbau dari jalan lahir

(3) Bengkak di wajah, tangan dan kaki, atau sakit kepala dan kejang-kejang

(4) Demam lebih dari 2 hari


(5) Payudara bengkak, merah disertai rasa sakit

(6) Ibu terlihat sedih, murung dan menangis tanpa sebab (depresi)

d) Keluarga Berencana

(1) Mengapa perlu ikut ber KB

(2) Metode kontrasepsi jangka panjang

(3) Metode kontrasepsi jangka pendek

e) Catatan Kesehatan Ibu Hamil

f) Catatan Kesehatan Ibu bersalin, Ibu nifas, dan bayi baru lahir

g) Catatan kesehatan Ibu Nifas

h) Format Keterangan Lahir

i) Cuci tangan pakai sabun

j) Bayi baru Lahir/ neonates (0-28 hari)

(1) Tanda bayi baru lahir sehat

(2) Pelayanan esensial pada BBL sehat oleh dokter/bidan/parawat

(3) Perawatan Bayi Baru Lahir

(4) Pelayanan kesehatan pada bayi baru lahir ( Kunjungan neonatal)

(5) Tanda bahaya pada bayi baru lahir

(a) Catatan Kesehatan Bayi baru lahir

(b) Catatan imunisasi anak

(c) Anak usia 29 hari- 6 tahun

Untuk meningkatkan pengetahuan orangtua mengenai kesehatan dan pola asuh anak, ikuti

kelas ibu balita dan bina keluarga balita ajak anak ke POS PAUD supaya anak menjadi

mandiri, bersosialisasi dan berkembang kemapuannya.

(d) Pemenuhan kebutuhan gizi dan perkembangan anak

(e) KMS balita laki-laki dan perempuan

(f) Catatan pemberian vitamin A

(g) Format hasil pemeriksaan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang

(SDIDTK)

(h) Grafik lingkaran kepala perempuan dan laki-laki


(i) Catatan kesehatan anak.

5) Perencanaan Persalinan Dan Pencegahan Komplikasi (P4k)

Rendahnya akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang berkuaitas adalah salah satu factor

yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu maupun bayi. Namun dengan buku KIA dan

stiker P4(Perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi) diharapkan akan tercipta banyak

tenaga kesehatan yang terampil dalam bidang klinis dan komunikasi. Tenaga kesehatan yang

terampil tentu akan dapat membantu ibu dan suami termasuk keuarganya agar mampu membuat

perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi sehingga ibu dan bayi selamat.

a) Pengertian

P4kK dengan stiker adalah kepanjangan dari program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi, yang merupakan suatu kegiatan yang difasilitasi oleh bidan di desa

dalam rangka peningkatan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan

persalinan yang aman dan persiapan mengahadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk

perencanan penggunaan KB pasca persalnan dengan menggunakan stiker sebagai media

notifikasi sasaran dalam rangka meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi

ibu dan bayi baru lahir.

b) Tujuan Umum

Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir

melalui peningkatan peran aktif keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan

yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi dan tanda bahaya kebidanan bagi ibu

sehingga melahirkan bayi yang sehat.

c) Tujuan khusus

(1) Terdatanya status ibu hamil dan terpasangnya stiker P4K di setiap rumah ibu hamil yang

memuat informasi tentang :

 Lokasi tempat tinggal ibu hamil

 Identitas ibu hamil

 Taksiran persalinan

 Penolong persalinan, pendamping persalianan dan fasilitas tempat persalinan

 Calon donor darah, transportasi yang akan digunakan serta pembiayaan.


(2) Adanya perencanan persalinan, termasukpemakaian metode KB pada persalinan yang

sesuai dan disepakati ibu hamil, suami, keluarga dan bidan

(3) Terlaksananya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat bila terjadi komplikasi

elama kehamilan, persalinan dan nifas.

(4) Meningkatkan keterlibatan tokoh masyarakat baik formal maupun non formal,

dukun/pendamping persalinan dan kelompok masyarakat dalam perencanaan persalinan

dan pencegahan komplikasi, dengan stiker, dan KB pasca salin sesuai dengan perannya

masing-masing.

c) Manfaat

(1) Mempercepat berungsinya desa siaga

(2) Meningkatkan cakupan pelayanan ANC sesuai standar

(3) Meningkatkan cakupan persalianan oleh tenaga kesehatan terampil

(4) Meningkatkan kemitraan bidan dan dukun

(5) Tertanganinya kejadian komplikasi secara dini

(6) Meningkatnya peserta KB pasca persalinan

(7) Terpantaunya kesakitan dan kematian ibu dan bayi.

(8) Menurunnya kejadian dan kematian ibu serta bayi

d) Indicator program

(1) Perentase desa menggunakan P4K dengans stiker

(2) Persentase ibu hamil mendapatkn stiker

(3) Persentase ibu hamil berstiker mendapat pelayanan antenatal sesuai standar

(4) Persentase ibu hamil berstiker bersalin di tenaga kesehatan

(5) Persentase ibu hamil, bersalin dan nifas berstiker yang mengalami komplikasi tertangani

(6) Persentase penggunaan metode KB pasca persalianan

(7) Persentase ibu bersalin di nakes mendapatkan pelayanan nifas

e) Output/Luaran P4K

Output yang diharapkan adalah sebagai berikut :

(1) Semua ibu hamil terdata dirumahnya tertempel stiker P4K

(2) Bidan memberikan pelayanan antenatal sesuai dengan standar

(3) Ibu hamil dan keluarganya mempunyai rencana persalinan termasuk KB yang dibuat

bersama dengan penolong persalinan

(4) Bidan menolong persalinan sesuai dengan standar


(5) Keluarga menyiapkan biaya persalinan, kebersihan dan kesehatan lingkungan (social-

budaya)

(6) Adaya keterlibatan masyarakat bak formal maupun non formal dalam rencana persalinan

termasuk KB pasca persalinan sesuai dengan peranya masing-masing

(7) Ibu mendapat pelayanan kontasepsi pasca persalinan

(8) Adanya kerjasama yang baik.

f) Komponen P4K

Fasilitas aktif oleh ibu bidan :

(1) Pencatatan ibu hamil

(2) Dasolin/tubulin

(3) Donor darah

(4) Transport/ambulan Desa

(5) Suami/keluarga menemani ibu pada saat bersalin

(6) IMD

(7) Kunjungan nifas

(8) Kunjungan rumah.

g) Tahap kegiatan

(1) Orientasi P4K

(2) Sosialisasi

(3) Operasionalisasi P4K di tingkat desa

(4) Rekapitulasi pelaporan

(5) Forum komunikasi.

h) Peran bidan dalam P4K

(1) Masa kehamilan

(2) Melakukan pemeriksaan ibu hamil (ANC) sesuai standar minimal 4 kali selama hamil

(3) Melakukan penyuluhan dan konseling pada ibu hamil dan keluarga

(4) Melakukan kunjungan rumah

(5) Melakuka rujukan apabil diperlukan

(6) Melakukan pencatatan pada :

 Kartu ibu

 Kohort ibu

 Buku KIA
(7) Membuat laporan PWS-KIA

(8) Memberdayakan unsur-unsur masyarakat termasuk suami, keluarga dan kader untuk

terlibat aktif dalam P4K

i) Masa persalinan.

Memberikan pertolongan persalinan sesuai dengan standar :

(1) Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman termasuk pencegahan infeksi

(2) Memantau kemajuan persalinan sesuai denngan patograf

(3) Melakukan asuhan persalinan normal sesuai dengan standar

(4) Melakukan manajemen aktif kala III (MAKIII)

(5) Melaksanakan inisiasi menyusui Dini (IMD)

(6) Melakukan perawatan Bayi Baru Lahir

(7) Melakukan tindakan PPGDON apabila mengalami komplikasi

(8) Melakukan rujukan bila diperlukan

(9) Melakukan pencatatan persalinan pada :

 Kartu ibu

 Kartu bayi

 Kohort ibu dan bayi

 Register persalinan

 Buku KIA

(10) Membuat pelaporan PWS-KIA dan AMP

j) Masa Nifas

Memberikan pelayanan nifas sesuai dengan standar

(1) Melakukan kunjungan nifas (KF1,KF2, KF lengkap), (KN1, KN2)

(2) Melakukan penyuluhan dan konseling pada ibu, keluarga da masyarakat

b. Melakukan rujukan apabila diperlukan

(3) Melakukan pencatatan pada kohort bayi dan buku KIA

(4) Membua laporan PWS-KIA dan AMP.

c. Asuhan Intranatal Terintegrasi dalam komunitas

Memberikan asuhan persalinan merupakan salah satu hal yang terpenting bagi bidan dalam

menjalankan tugas dan fungsinya. Masih banyaknya kematian ibu pada proses persalinan menjadi
suatu tantangan bagi bidan dalam mengurangi angka kematian dengan melaksanakan pelayanan

intranatal yang terintegrasi. Pelayanan intranatal terintegrasi tidak hanya menekankan pada

penyelesaian masalah saat ini, tapi menekankan pada tindakan pencegahan sehingga penyulit lebih

lanjut. Setidaknya, dalam melaksanakan asuhan kebidanan intranatal terintegrasi di komunitas,

terdapat beberapa hal yang mempengaruhi anatara lain :

1) Power adalah kekuatan ibu untuk meneran melahirkan hasil konsepsi

2) Passage merupakan jalan lahir dan pelvis ibu

3) Pasanger seperti janin, dan plasenta atau hasil konsepsi yang akan di keluarkan

4) Posisi saat persalinan yang dapat menentukan kecepatan kemajuan persalinan, haruslah

nyaman dan aman bagi ibu.

5) Penolong Persalinan yang kompeten seperti bidan yang memberikan asuhan sesuai dengan

standar asuhan kebidanan

6) Kehadiran pendamping persalinan yang dapat memberikan dukungan emosional bagi ibu

sehingga memiliki kekuatan dan keyakinan untuk melahirkan lancar.

7) Psikologi ibu diperlukan edukasi untuk mempersiapkan kehadiran anggota keluarga baru

dengan peran yang baru pula.

Pelayanan intranatal terintegrasi dalam komunitas disini dimaksudkan, bidan tidak hanya

memberikan pelayanan kebidanan sesuai dengan standar asuhan, namun juga harus memperhatikan

kondisi lingkungan setempat. Salah satu contoh yang harus diperhatikan dalam memberikan

pelayanan intranatal terintegrasi dalam komunitas adalah memperhatikan nilai-nilai atau adat

budaya masyarakat setempat. Beragamnya suku dan adat budaya di Indonesia, menjadi salah satu

hal terpenting yang harus diperhatikan. Contoh kasus yang dapat diambil adalah adat kebiasaan

orang timur yang memiliki kebiasaan, mengungsikan ibu yang akan melahirkan seorang diri ke

hutan, dan ibu baru diperbolehkan kembali, dengan membawa anak yang dilahirkan. Sebagai

seorang bidan yang bertugas memberikan pelayanan intranatal terintegrasi di komunitas, tidak

dibenarkan bila langsung menolak dan menjudge bahwa hal itu salah dan berbaya, namun dengan

melakukan berbagai upaya pendekatan yang kreatif dengan perlahan-lahan memberikan pengertian

dan mencegah hal yang tidak diinginkan, seperti, menemani dan memantau kondisi ibu yang akan

melahirkan tersebut hingga memberikan pertolongan persalinan dengan sebisa mungkin

mengusahakan penerapan konsep aseptik.

Tindakan menentang secara vulgar kebiasaan yang sudah mendarah daging pada suatu

wilayah akan membuat kehadiran bidan tidak diterima di masyarakat tersebut, sehingga diperlukan
pendekatan yang komprehensif untuk memperbaiki kebiasaan yang dirasa kurang baik untuk

kesehatan.

d. Pelayanan Neonatal Yang terintergrasi dalam komunitas

Bayi baru lahir adalah bayi yang berusia 0 – 28 hari. Pelayanan neonatal yang diberikan oleh

seorang bidan adalah memberikan asuhan neonatus dengan kunjungan baik di rumah maupun di

fasilitas kesehatan, asuhan yang diberikan antara lain:

1) Kunjungan 1 pada 6 – 48 jam setelah bayi lahir, asuhan yang diberikan :

a) Jaga kesehatan bayi

b) Beri ASI Eksklusif

c) Rawat tali pusat

2) Kunjungan 2 pada hari ke-3 sampai hari setelah bayi lahir, asuhan yang diberikan:

a) Jaga kesehatan bayi

b) Beri ASI Eksklusif

c) Cegah inveksi

d) Rawat tali pusat

3) Kunjungan 3 pada 8 sampai 28 hari setelah bayi lahir, asuhan yang diberikan:

a) Pastikan ada tidaknya tanda bahaya

b) Jaga kesehatan bayi

c) Beri ASI Eksklusif

d) Rawat tali pusat

Tingginya resiko kematian neonatal pada hari pertama, minggu pertama dan bulan pertama

kelahiran menjadikan kunjungan neonatal sangat penting dilakukan. Pelayanan asuhan neonatus yang

komprehensif juga dilaksanakan berdasarkan MTBM (Managemen Terpadu Bayi Muda).

Pelayanan neonatal terintegrasi dalam komunitas merupakan asuhan kebidanan pada bayi baru

lahir dalam komunitas dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada di komunitas. Variasi budaya

dalam menyambut bayi baru lahir di Indonesia sangatlah beragam, dari yang mulai mengadakan

syukuran maupun dengan hal-hal ekstream yang mengganggu kesehatan bayi tersebut. Maka bagi

seorang bidan, haruslah dapat menempatkan diri dengan tetap memprioritaskan peningkatan derajat

kesehatan masyarakat.
e. Pelayanan Postnatal terintegrasi dalam komuitas.

Asuhan ibu postpartum adalah suatu bentuk manajemen kesehatan yang dilakukan pada ibu nifas

dimasyarakat. Asuhan kebidanan di komunitas adalah pemberian asuhan secara menyeluruh, tidak

hanya kepada ibu nifas akan tetapi juga melibatkan seluruh keluarga dan anggota masyarakat di

sekitar ibu nifas. Asuhan ini merupakan kelanjutan asuhan dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan

lainnya.

Standar Pelayanan Minimal

Asuhan Postnatal

1) Alat

Alat yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan harus steril dan bersih

2) Tempat

Di Rumah Bidan :

a) Ruang periksa mempunyai luas minimal 2x3 meter

b) Setiap bangunan pelayanan minimal mempunyai ruang periksa, ruang administrasi / kegiatan

lain sesuai kebutuhan, ruang tunggu dan kamar mandi / WC masing-masing : 1 buah.

c) Semua ruangan mempunyai ventilasi dan penerangan

Di Rumah Pasien :

Sesuai dengan keadaan rumah pasien, diusahakan ruangan yang digunakan pasien bersih dan

nyaman.

Standar Pelayanan

1) Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir

2) Standar 14 : Penanganan pada 2 Jam

Pertama Setelah Persalinan

3) Standar 15 : Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas

Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir

Tujuan

Menilai kondisi bayi baru lahir dan membantu dimulainya pernafasan serta mencegah hipotermi,

hipoglikimia, dan infeksi.


Pernyataan Standar

Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan pernafasan spontan mencegah hipoksia

sekunder, menemukan kelainan, dan melakukan tindakan atau merujuk sesuai dengan kebutuhan. Bidan

juga harus mencegah atau menangani hipotermia.

Prasyarat

1) Bidan sudah dilatih dengan tepat dan terampil untuk mendampingi persalinan dan memberikan

perawatan bayi baru lahir dengan segera.

2) Bidan sudah terlatih dan terampil untuk :

a) Memeriksa dan menilai bayi baru lahir dengan menggunakan skor Apgar.

b) Menolong bayi untuk memulai terjadinya pernafasan dan melakukan resusitasi bayi baru

lahir.

c) Mengenal tanda – tanda hipotermi dan dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mencegah

dan menangani hipotermi.

d) Pencegahan infeksi pada bayi baru lahir.

e) Mengenali tanda – tanda hipoglikemia dan melakukan penatalaksanaan yang tepat jika

hipoglikeia terjadi.

3) Tersedianya perlengkapan dan peralatan untuk perawatan yang bersih dan aman bagi bayi baru

lahir, seperti air bersih, sabun , 2 handuk atau kain hangat yang bersih ( satu untuk mengeringkan

bayi, yang lain untuk menyelimuti bayi), gunting steril untuk memotong tali pusat, 2 klem steril ,

benang steril (klem) untuk mengikat tali pusat, sarung tangan bersih/DTT, termometer

bersih/DTT, bola karet penghisap atau penghisap DeLee yang di DTT, timbangan bayi dan pita

pengukur yang bersih.

4) Obat salep mata: tetrasiklin 1% atau eritromisin 0,5%

5) Kartu Ibu, Kartu Bayi dan buku KIA

6) Sistem rujukan untuk perawatan kegawatdaruratan bayi baru lahir yang efektif

Hasil yang diharapkan

1) Bayi baru lahir dengan kelainan atau kecacatan dapat segera menerima perawatan yang tepat

2) Bayi baru lahir mendapatkan perawatan yang tepat dan dapat bernapas dengan baik

3) Penurunan angka kejadian hipotermi


Proses

Bidan harus :

1) Menggunakan sarung tangan bersih/DTT sebelum menangani bayi baru lahir.

2) Memastikan bahwa suhu ruangan hangat (ruangan harus hangat untuk mencegah hiportermia

pada bayi baru lahir).

3) Segera setelah lahir, nilai keadaan bayi, letakkan diperut ibu, dan segera keringkan bayi.

Dengan handuk bersih yang hangat setelah bayi kering, selimuti bayi termasuk bagian

kepalanya dengan handuk baru yang bersih dan hangat. (Riset menunjukkkan bahwa 90% bayi

baru lahir mengalami perubahan dari kehidupan intrauteriin menjadi ekstrauterine dengan

pengeringan dan stimulasi. Penghisapan lendir rutin tidak perlu dan mungkin membahayakan).

4) Segera menilai bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas/ menangis sebelum menit pertama

nilai APGAR, jika bayi tidak menangis atau tidak bernafas spontan, hisap mulut dan hidung

bayi secara hati – hati menggunakan bola karet penghisap atau penghisap DeLee yang di DTT.

5) Jika bayi mengalami kesulitan memulai pernafasan walaupun sudah dilakukan pengeringan,

stimulasi atau penghisapan lendir dengan hati – hati, mulai lakukan resusitasi bayi baru lahir

untuk menangani asfiksia (lihat standart 24).

6) Jika bayi menangis atau bernafas, lakukan pemeriksaan nilai APGAR pada menit pertama

setelah lahir.

7) Minta ibu memegang bayinya. Tali pusatnya di klem didua tempat menggunakan klem

steril/DTT, lalu potong diantara kedua klem dengan gunting tajam steril/DTT. (Ikuti langkah

penataksanaan aktif persalinan kala tiga, standar 11).

8) Pasang benang /klem tali pusat

9) Bayi harus tetap diselimuti dengan baik, anjurkan ibu untuk memeluk bayinya dan segera

mulai menyusui. (Riset menunjukkan pemberian ASI dini penting untuk keberhasilan awal

pemberian ASI. Kontak kulit ibu dan bayi juga merupakan teknik yang baik untuk menjaga

pengaturan suhu tubuh bayi pada saat lahir. Pastikan, jika bayi tidak didekap oleh ibunya,

selimuti bayi dengan handuk yang bersih dan hangat. Tutupi kepala bayi dengan baik untuk

mencegah kehilangan panas).

10) Sesudah 5 menit lakukan penilaian terhadap keadaan bayi secara umum dengan menggunakan

skor APGAR.

11) Jika kondisi bayi stabil, lakukan pemeriksaan bayi setelah plasenta lahir dan kondisi ibu stabil.
12) Periksa tanda vital bayi. Ukur suhunya dengan menggunakan termometer yang diletakkan

diketiak (Jangan masukkan termometer ke anus bayi, hal ini merupakan prosedur yang tidak

perlu dan dapat membahayakan bayi). Bila suhu bayi kurang dari 36°C atau jika tubuh atau

kaki bayi teraba dingin, maka segera lakukan penghangatan tubuh bayi. Amati suhu tubuh bayi

setiap jam sampai suhunya normal dan stabil.

13) Periksa bayi dari kepala sampai ujung kaki untuk mencari kemungkinan adanya kelainan.

Periksa anus dan daerah kemaluan. Lakukan pemeriksaan ini dengan cepat agar bayi tidak

kedinginan, ibu hendaknya menyaksikan pemeriksaan tersebut.

14) Timbang bayi dan ukur panjangnya. Lakukan dengan cepat agar bayi tidak mengalami

hipotermi.

15) Tetap selimuti bayi pada saat ditimbang, meletakkan bayi pada timbangan yang dingin dapat

menyebabkan kehilangan panas. Berat yang tercatat kemudian dapat disesuaikan dengan

mengurangi jumlah berat handuk/kain tersebut

16) Setelah memeriksa dan mengukur bayi, selimuti dengan baik, pastikan bahwa kepala bayi

tertutup dan berikan bayi kembali untuk dipeluk ibu. Hal ini merupakan teknik yang sangat

baik untuk mencegah hipotermi.

17) Cuci tangan lagi dengan sabun, air dan handuk yang bersih. Dalam waktu satu jam setelah

kelahiran, berikan salep/obat tetes mata pada mata bayi baru lahir, untuk mencegah oftalia

neonatorum: salep mata tetrasiklin 1%, larutan Perak Nitrat 1% dan Eritromisin 0.5%. Biarkan

obatnya tetap dimata bayi, jangan dibersihkan salep/obat tetes mata yang berada disekitar mata.

18) Jika bayi belum diberi ASI, membantu ibu untuk mulai menyusui. Riset menunjukan bahwa

memulai pemberian ASI dalam waktu 1 jam pertama setelah kelahiran adalah penting untuk

keberhasilan awal pemberian ASI. Kolustrum, ASI pertama, penting karena mengandung zat

kekebalan untuk pencegahan infeksi dan penyakit pada bayi baru lahir. Pemberian ASI dini

dapat mencegah/ menangani hipoglikemia pada bayi baru lahir.

19) Hindari pemberian susu formula pada bayi baru lahir, hal ini tidak perlu dan mungkin

membahayakan.

20) Tunggu 6 jam, atau lebih, setelah kelahiran bayi sebelum memandikannya, tunggu lebih lama

jika bayi mengalami kesulitan mempertahankan suhu tubuh bayi sebelum memandikannya,

suhu tubuh bayi baru lahir harus antara 36-37°C. Gunakan air hangat untuk memandikan bayi

dan pastikan ruangan hangat. Mandikan bayi dengan cepat dan segera keringkan bayi dengan

handuk besih, hangat dan kering untuk mencegah kehilangan panas tubuh yang berlebihan.
21) Kenakan baju yang bersih dan selimuti bayi dengan handuh/kain yang hangat dan bersih

22) Periksa apakah bayi baru lahir mengeluarkan urine dan mekonium dalam 24 jam pertama

kehidupannya, catat waktu pengeluaran urine dan mekonium. Mintalah ibu memperhatikannya

bila persalinan berlangsung dirumah. Bila dalam 24 jam bayi tidak mengeluarkan urine dan

mekonium, segera rujuk ke Puskesmas atau rumah sakit.

23) Lakukan pencatatan semua temuan dan perawatan yang diberikan dengan cermat dan lengkap

dalam partograf, kartu ibu dan kartu bayi.

24) Rujuk segera ke puskesmas atau rumah sakit yang tepat jika ditemukan kelainan dari normal.

PENTING ..!!
 Jaga agar bayi tetap hangat
 Jika bayi tidak bernafas atau menangis spontan setelah pengeringan dan
stimulasi, bersihkan jalan nafas bayi dengan hati – hati mengunakan penghisap
DeLee atau bola karet penghisap yang sudah di DTT, jika bayi tetap tidak dapat
bernafas dengan teratur atau menangis, mulai langkah resusitasi bayi baru lahir
( standart 24 ).
 Berikan ASI secepatnya, dalam waktu satu jam pertama setelah lahir.
 Berikan salep/obat tetes mata pada kedua mata bayi untuk mencegah oftalmia
neonatorum dalam waktu satu jam setelah kelahiran.
 Rujuk segera bila dalam 24 jam pertama bayi tidak mengeluarkan urine dan
mekonium.
 Tindakan yang tidak dianjurkan dan akibat yang ditimbulkannya:
a) Menepuk bokong menyebabkan Trauma dan melukai
b) Menekan rongga dada menyebabkan fraktur, pneumotoraks, gawat nafas,
dan kematian.
c) Menekan paha ke perut menyebabkan bayi Ruptura hati / limpa, perdarahan
Mendilatasi sfingterani (Robek atau luka pada sfingter)
d) Kompres diingin / panas menyebabkan hipotermi, luka bakar
e) Meniupkan oksigen atau udara dingin ke muka atau tubuh bayi
menyebabkan hipotermi.
Standart 14

Penanganan Pada Dua Jam Pertama Setelah Persalinan

Tujuan: Mempromosikan perawatan ibu dan bayi yang bersih dan aman selama persalinan kala empat

untuk memulihkan kesehatan ibu dan bayi. Meningkatan asuhan sayang ibu dan saying bayi. Memulai

pemberian ASI dalam waktu 1 jam pertama setelah persalinan dan mendukung terjadinya ikatan batin

antara ibu dan bayinya.

Pernyataan Standar: Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi

dalam dua jam setelah persalinan, serta melakukan tindakan yang diperlukan. Di samping itu, bidan

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu

untuk memulai pemberian ASI.

Prasyarat

1) Ibu dan bayi dijaga oleh bidan terlatih selama dua jam sesudah persalinan dari jika mungkin bayi

tetap bersama ibu.

2) Bidan terlatih dan terampil dalam memberikan perawatan untuk ibu dan bayi segera setelah

persalinan, termasuk keterampilan pertolongan pertama pada keadaan gawat darurat.

3) Ibu didukung/dianjurkan untuk menyusui dengan ASI dan memberikan kolustrum.

4) Tersedia alat perlengkapan, misalnya untuk membersihkan tangan yaitu air bersih, sabun dan

handuk bersih, handuk / kain bersih untuk menyelimuti bayi, pembalut wanita yang bersih, pakaian

kering dan bersih untuk ibu, sarung atau kain kering dan bersih untuk alas ibu, kain / selimut yang

kering untuk menyelimuti ibu, sarung tangan DTT, tensimeter air raksa, stetoskop dan termometer.

5) Tersedianya obat – obatan oksitosika, obat lain yang diperlukan dan tempat penyimpangan yang

memadai.

6) Adanya sarana pencatatan: partograf, Kartu Ibu, Kartu Bayi, Buku KIA

7) Sistem rujukan untuk perawatan kegawatdaruratan obstetri dan keggawatdaruratan bayi baru lahir

yang efektif.

Hasil Yang Diharapkan

1) Komplikasi segera dideteksi dan dirujuk

2) Penurunan kejadian infeksi nifas dan neonatal

3) Penurunan kematian akibat perdarahan postpartum primer


4) Pemberian ASI dimulai dalam 2 jam pertama sesudah persalinan

5) Proses

6) Bidan harus:

7) Selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan perawatan pada ibu dan bayi baru lahiir.

Menggunakan sarung tangan bersih pada saat melakukan kontak dengan darah atau cairan tubuh.

8) Mendiskusikan semua pelayanan yang diberikan untuk ibu dan bayi dengan ibu, suami dan

keluarganya.

9) Segera setelah lahir, nilai keadaan bayi letakkan diperut ibu dan segera keringkan bayi dengan

handuk bersih yang hangat. Setelah bayi kering, selimuti bayi dengan handuk baru yang bersih dan

hangat. Bila bayi bernafas / menangis tanpa adanya kesulitan, dukung ibu untuk memeluk bayinya

(lihat standart 13).

10) Sangat penting untuk menilai keadaan ibu beberapa kali selama 2 jam pertama setelah persalinan.

Bidan berada bersama ibu dan melakukan pemeriksaan ini, jagan pernah meninggalkan ibu

sendirian sampai paling sedikit 2 jam setelah persalinan dan kondisi ibu stabil.

Lakukan penatalaksanaan yang tepat persiapkan rujukan jika diperlukan.

1) Melakukan penilaian dan masase fundus uteri setiap 15 menit selama satu jam pertama setelah

persalinan, kemudian setiap 30 menit selama satu jam kedua persalinan. Pada saat melakukan

masase uterus, perhatikan berapa banyyak darah yang keluar dari vagina. Jika fundus tidak terraba

keras, terus lakukan masase pada daerah fundus agar berkontraksi, periksa jumlah perdarahan yang

keluar dari vagina. Periksa perinieum ibu apakah membengkak, hematoma, dan berdarah dari

tempatnya perlukaan yang ssudah dijahit setiap kali memeriksa perdarahan funddus dan vagina.

2) Jika terjadi perdarahan, segera lakukan tindakan sesuai dengan standar 21. Berbahaya jika

terlambat bertindak.

3) Periksa tekanan darah dan nadi ibu setiap 15 menit selama 1 Jam pertama setelah persalian, dan

setiap 30 menit selama 1 jam kedua setelah persalinan ( jika tekanan darah ibu naik, lihat standar

17 ).

4) Lakukan palpasi kandung kemih ibu 15 menit selama satu jam pertama setelah persalinan dan

kemudian setiap 30 menit selama satu jam kedua setelah persalinan. Bila kandung kemih penuh

dan meregang mintalah ibu untuk b.a.k jangan memasang kateter kecuali ibu tidak bisa

melakukanya sendiri. (retensi urine dapat menyebabkan perdarahan uterus). Mintalah ibu untuk

buang air kecil dalam 2 jam pertama sesudah melahirkan.


5) Periksa suhu tubuh ibu beberapa saat setelah persalinan dan sekali lagi satu jam setelah persalinan.

Jika suhu tubuh ibu > 38°C, minta ibu untuk minum 1 liter cairan , jika suhunya tetap > 38°C

segera rujuk ibu ke pusat rujukan terdekat ( Jika mungkin mual berikan IV RL dan berikan ibu 1 gr

amokxilin dan ampisilin per oral)

6) Secepatnya membantu ibu agar dapat menyusui. (perhatikan acuan lihat standar 10 & 13). Atur

posisi bayi agar dapat melekat dan menghisap dengan benar. (Semua ibu membutuhkan

pertolongan untuk mengatur posisi bayi, baik untuk ibu yang baru pertama kali menyusui maupun

ibu yang sudah pernah menyusui).

7) Penggunaan gurita atau stagen harus ditunda hingga 2 jam setelah melahirkan. Kontraksi uterus

dan jumlah perdarahan harus dinilai dan jika ibu mengenakan gurita atau stagen hal ini sulit untuk

dilakukan.

8) Bila bayi tidak memperlihatkan tanda – tanda kehidupan setelah dilakukan resisutasi, maka

beritahu orang tua bayi apa yang terjadi. Berikan penjelasan secara sederhana dan jujur. Biarkan

mereka melihat atau memeluk bayii mereka. Beritahulah dengan bijaksana dan penuh perhatian,

biarkan orang tua melakukan upacara untuk bayi yang meninggal sesuai dengan adat istiadat dan

kepercayaan mereka. Setelah orang tua bayi mulai tenang, bantulah mereka dan perlakukan bayi

dengan baik dan penuh pengertian terhadap kesedihan merreka

9) Bantu ibu membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian. Ingatkan ibu untuk selalu menjaga

kebersihan tubuh dan menganti kain pembalut secara teratur, berikan penjelasan perubahan –

perubahan yang terjadi paskah persalinan.

10) Catat semua temuan dan tindakan dengan lengkap dan seksama pada partograf, kartu ibu, dan kartu

bayi

11) Sebelum meninggalkan ibu, bahaslah semua bahaya potensial dan tanda – tandanya dengan suami

dan keluarga.

12) Pastikan bahwa ibu dan keluarganya mengetahui bagaimana dan kapan harus meminta pertolongan

13) Jangan meninggalkan ibu dan bayi sampai mereka dalam keadaan baik dan semua cataatan

lengkap. Jika ada hal yang mengkhawatirkan pada ibu atau janin lakukan rujukan puskesmas atau

rumah sakit.

Ingat !!!
 Jaga bayi agar tubuhnya tetap hangat dan tetap berada
bersama ibunya
 Semua bayi harus segera diberi ASI sesudah lahir dan
tidak melewati satu jam setelah persalinan
 Kolostrum mengandung zat yang sangat diperlukan
untuk melindungi bayi dari infeksi
 Periksa perdarahan, perineum, tanda-tanda vital,
uterus, dan kandung kemih secara teratur
 Jika dilakukan episiotomi maka periksa luka
episiotomi secara teratur
Standart 15

Pelayanan Bagi Ibu dan Bayi Pada Masa Nifas

Tujuan

Memberikan pelayanan kepada ibu dan bayi sampai 42 hari setelah persalinan dan memberikan

penyuluhan ASI eksklusif.

Pernyataan Standar

Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu

kedua dan minggu keenam setelah persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui

penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau rujukan komplikasi yang mungkin

terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum, kebersihan

perorangan, makanan bergizi, perawatan BBL pemberian ASI, imunisasi dan KB.

Prasyarat

1) Sistem yang berjalan dengan baik agar ibu dan bayi mendapatkan pelayanan pasca persalinan dari

bidan terlatih sampai dengan 6 minggu setelah persalinan, baik dirumah, puskesmas atau rumah

sakit.

2) Bidan telah dilatih dan terampil dalam :

3) Perawatan nifas, termasuk pemeriksaan ibu dan bayi dengan cara yang benar

4) Membantu ibu untuk memberikan ASI

5) Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada ibu dan bayi pada masa nifas

6) Penyuluhan dan pelayanan KB/penjarangan kelahiran

7) Bidan dapat memberikan pelayanan imunisasi atau bekerjasama dengan juru imunisasi di

puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.

8) Tersedia vaksin, alat suntik, tempat penyimpanan vaksin dan tempat pembuangan benda tajam

yang memadai.

9) Tersedianya tablet besi dan asam folat.

10) Tersedia alat/perlengkapan, misalnya untuk membersihkan tangan, yaitu sabun, air bersih, dan

handuk bersih, sarung tangan bersih/DTT.

11) Tersedia kartu pencatatan, kartu ibu, kartu bayi, kartu KIA
12) Sistem rujukan untuk perawatan komplikasi kegawatdaruratan ibu dan bayi baru lahir berjalan

dengan baik

Hasil Yang Diharapkan

1) Komplikasi pada masa nifas segera dirujuk untuk penanganan yang tepat

2) Mendorong pemberian ASI eksklusif

3) Mendorong penggunaan cara tradisional yang berguna dan menganjurkan untuk menghindari

kebiasaan yang merugika

4) Menurunkan kejadian infeksi pada ibu dan bayi

5) Masyarakat semakin menyadari pentingnya penjarangan kelahiran

6) Meningkatkan imunisasi pada bayi

PROSES

Bidan harus:

1) Pada kunjungan rumah, menyapa ibu dan suami/ keluarga nya denagn ramah

2) Menanyakan pada ibu dan suami/ keluarganya jika ada masalah atau kekhawatiran tentang ibu dan

bayinya.

3) Mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa ibu dan bayi.

4) Memakai sarung tangan DTT/ bersih bila melakukan kontak dengan darah atau cairan tubuh

5) Periksa tanda – tanda vital ibu (Suhu tubuh, nadi dan tekanan darah). Periksa payudara ibu,

mengamati bila putting retak, dan tanda – tanda atau gejala – gejala saluran ASI yang tersumbat

atau infeksi payudara. Periksa involusi uterus (Pengecilan uterus sekitar 2 cm / hari selama 8 hari

pertama). Periksa lockea, yang ada pada hari ketiga seharusnya mulai berkurang dan berwarna

coklat, dan pada hari ketiga seharusnya mulai berkurang dan berwarna coklat, dan pada hari ke-8 -

10 menjadi sedikit dan berwarna merah muda. Jika ada kelainan segera rujuk. (Lihat daftar bahaya

dan tanda – tandanya di akhir standar ini) jika dicurigai sepsis puerpuralis gunakan (Standar 23).

Untuk penanganan perdarahan pasca persalinan gunakan (Standar 22).

6) Tanyakan apakah ibu meminum tablet sesuai ketentuan (Sampai 42 hari setelah melahirkan), dan

apakah persediaannya cukup.

7) Bila ibu menderita anemia semasa hamil atau mengalami perrdarahan berat selama proses

persalinan periksakkan Hb pada hari ketiga. Nasehati ibu supaya makan makanan yang bergizi dan

berikan tablet tambah darah.

8) Berikan penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya menjaga kebersihan diri, memakai pembalut

bersih, makanan bergizi, istirahat cukup dan cara merawat bayi.


9) Cucilah tangan, lalu periksa bayi. Periksalah tali pusat pada setiap kali kunjungan (paling sedikit

pada hari ketiga, minggu kedua, dan minggu ke-enam). Tali pusat harus tetap kering. Ibu perlu

diberitahu bahayanya membubuhkan sesuatu pada tali pusat bayi. Misalnya: minyak atau bahan

lain. Jika ada kemerahan pada pusat, perdarahan atau tercium bau busuk, bayi segera dirujuk.

10) Perhatikan kondisi umum bayi, tanyakan kepada ibu pemberian ASI, misalnya bayi tidak mau

menyusu, waktu jaga, cara bayi menangis, berapa kali buang air kecil, dan bentuk fesesnya.

11) Perhatikan warna kulit bayi, apakah ada icterus atau tidak. Ikterus pada hari ketiga postpartum

adalah ikterus fisiologis yang tidak memerlukan pengobatan. Namun, bila ikterus terjadi sesudah

hari ketiga/kapan saja, dan bayi malas untuk menyusu dan tampak mengantuk, maka bayi harus

segera dirujuk ke Rumah sakit.

12) Bicarakan pemebrian ASI dan bila mungkin perhatikan apakah bayi menyusu dengan baik (Amati

apakah adda kesulitan atau masalah).

13) Nasehati ibu tentang pentingnya pemberian ASI ekkslusif sedikit 4 sampai 6 bulan. Bicarakan

bahaya pemberian unsur tambahan (Susu formula, air atau makanan lain) sebelum bayi berumur 4

bulan.

14) Bicarakan tentang KB dan kapan senggama dapat dimulai. Sebaiknya hal ini didiskusikan dengan

kehadiran suaminya

15) Catat dengan tepat semua yang ditemukan.

16) Jika ada hal - hal yang tidak normal, segeralah merujuk ibu dan / atau bayi ke puskesmas / rumah

sakit.

17) Jika ibu atau bayi meninggal, penyebab kematian harus diketahui sesuai dengan standar

kabupaten/propinsi/nasional.

Hasil Penelitian Membuktikan

1) Memberikan makanan lain selain kolustrum atau ASI membahayakan bayi.

2) Ibu yang baru bersalin harus menggunakan pembalut yang bersih atau kain yang bersih yang telah

dijemur. Menjemur kain di bawah sinar matahari dapat mengurangi bahaya.

3) Menggunakan minyak atau bahan–bahan lain untuk tali pusat bayi adalah berbahaya

INGAT !!!!!
o Masa nifas merupakan kesempatan baik untuk memberikan penyuluhan KB /
penjarangan kelahiran, tetapi hal ini harus disampaikan dengan hati– hati ,
ramah dan peka terhadap adat istiadat.
o Ibu dan bayi dalam masa nifas mudah terinfeksi , karena itu kebersihan diri,
makanan bergizi dan istirahat cukup sangatlah penting.
o Kelainan yang memerlukan rujukan harus mendapat perhatian dengan cepat
dan tepat
o Kesehatan generasi berikut dimulai dengan perawatan yang baik bagi anak
perempuan sejak bayi.
o Kelemahan pada massa nifas merupakan gejala anemia.
Tanda-Tanda Bahawa Pada Bayi

1) Kegagalan menyusu yang terjadi secara berkala

2) Tidak buang air kecil beberapa kali sehari ( kurang dari 6 – 8 kali sehari )

3) Bayi kuning

4) Muntah atau diare

5) Merah , bengkak atau keluarnya cairan dan tali pusat

6) Demam > 37,5°C

Tanda-Tanda Bahaya Pada Ibu

1) Perdarahan berat pada vagina

2) Perdarahan berwarna merah segar atau pengeluaran bekuan darah

3) Lochea yang berbau busuk

4) Nyeri pada perut atau pelvis

5) Pusing atau lemas yang berlebihan

6) Suhu tubuh ibu > 38°C

7) Tekanan darah yang meningkat

8) Ibu mengalami kesulitan atau nyeri pada saat b.a.k atau pada saat pergerakan usus

9) Tanda – tanda mastitis: bagian yang kemerahan, bagian yang panas , gurat – gurat kemerahan pada

penyebab.

10) Terdapat masalah mengenal makan dan tidur

Ingat !!!
1. Jaga bayi agar tubuhnya tetap hangat dan tetap berada bersama ibunya
2. Semua bayi harus segera diberi ASI sesudah lahir dan tidak melewati
satu jam setelah persalinan
3. Kolostrum mengandung zat yang sangat diperlukan untuk melindungi
bayi dari infeksi
4. Periksa perdarahan, perineum, tanda-tanda vital, uterus, dan kandung
kemih secara teratur
5. Jika dilakukan episiotomi maka periksa luka episiotomi secara teratur
Prinsip Kunjungan Rumah Masa Nifas

Prinsip pemberian asuhan lanjutan pada masa nifas di rumah meliputi:

1) Asuhan postpartum di rumah berfokus pada pengkajian, penyuluhan dan konseling

2) Pemberian asuhan kebidanan di rumah, bidan dan keluarga dilakukan dalam suasana rileks dan

kekeluargaan.

3) Perencanaan kunjungan rumah

4) Keamanan

Jadwal Kunjungan Di Rumah

1) Kunjungan dilakukan paling sedikit 4 kali selama ibu dalam masa nifas

2) Kegiatan yang dilakukan selama kunjungan meliputi pencegahan, pendeteksian, dan penanganan

masalah yang terjadi pada masa nifas.

3) Dimana hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik,

melaksanakan skirining yang komperhensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila

terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya, memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan

kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan

perawatan bayi sehat, serta memberikan pelayanan keluarga berencana.

Perencanaan Kunjungan Rumah

1) Merencanakan kunjungan rumah dalam waktu tidak lebih dari 24-48 jam setelah kepulangan klien

ke rumah.

2) Pastikan keluarga telah mengetahui rencana mengenai kunjungan rumah dan waktu.

3) Kunjungan bidan ke rumah telah direncanakan bersama anggota keluarga.

4) Menjelaskan maksud dan tujuan kunjungan


Asuhan Postnatal di Rumah

1) Asuhan post partum di rumah difokuskan pada pengkajian, penyuluhan dan konseling.

2) Dalam memberikan asuhan kebidanan di rumah bidan dan keluarga diupayakan dapat berinteraksi

dalam suasana yang respek dan kekeluargaan.

Berikuti ada 7 (tujuh)Tindakan konseling penting dan baik untuk asuhan masa nifas normal pada

ibu di rumah yaitu: Memberikan konseling kebersihan Diri, Menganjurkan untuk Istirahat cukup,

Konseling untuk senam nifas, Konseling gizi ibu nifas, Konseling Perawatan Payudara, Konseling

mengenai hubungan suami-istri, Konseling Keluarga Berencana (KB)

Kunjungan ke I (Satu) ( Di Pelayanan Kesehatan)

1) Dilakukan pada 6-8 jam setelah ibu melahirkan

2) Cegah dan deteksi adanya perdarahan

3) Lakukan konseling untuk mencegah perdarahan

4) Lakukan hubungan antara ibu dan bayi, motivasi Inisiasi Dini serta jaga bayi dari keadaan

hipotermi

Kunjungan ke II (Dua) (Di Rumah)

1) Kunjungan ke dua pada ibu nifas dilakukan enam hari setelah persalinan.

2) Bertujuan untuk memastikan involusi berjalan normal, tanda-tanda infeksi dan perdarahan.

3) Nutrisi dan istirahat adequate.

4) ASI optimal; bidan mendorong pasien untuk memberikan ASI secara ekslusif, cara menyatukan

mulut bayi dengan puting susu, merubah-rubah posisi, mengetahui cara memeras ASI dengan

tangan seperlunya, atau dengan metode-metode untuk mencegah nyeri puting dan perawatan

puting.

5) Perdarahan; bidan mengkaji warna dan jumlah perdarahan, adakah tanda-tanda yang berlebihan,

yaitu nadi cepat, suhu naik dan uterus tidak keras. Kaji pasien apakah bisa masase uterus dan ajari

pasien bagaimana caranya masase uterus yang benar agar uterus dapet mengeras. Periksa pembalut

untuk memastikan tidak ada darah berlebihan.

6) Involusi uterus; bidan mengkaji invoolusi uterus dan beri pasien penjelasan mengenai involusi

uterus.

7) Pembahasan tentang kelahiran; kaji perasaan ibu dan adakah pertanyaan tentang proses tersebut.

8) Bidan mendorong ibu untuk memperkuat ikatan batin antara ibu dan bayi (keluarga), pentingnya

sentuhan fisik, komunikasi dan rangsangan.


9) Bidan memberi pengetahuan mengenai tanda-tanda bahaya baik bagi ibu maupun bayi dan rencana

menghadapi keadaan darurat.

Kunjungan ke III (Tiga) (Di Rumah)

1) Dilakukan dua minggu setelah ibu melahirkan

2) Mengevaluasi perjalanan postpartum, kesejahteraan ibu dan bayi

3) Mengevaluasi kemajuan psikologis ibu terhadap peran baru dan pengalaman persalinan

4) Eratkan hubungan saling percaya dan konseling sesuai kebutuhan

Kunjungan ke IV (Empat)(Di Rumah)

1) Kunjungan akhir pada ibu nifas, dilakukan pada minggu ke enam setelah ibu melahirkan

2) Melakukan evaluasi normalitas puerperium

3) Identifikasi kebutuhan ibu terutama mengenai kontrasepsi

4) Ketrampilan membesarkan dan membina anak

5) Rencana untuk asuhan selanjutnya bagi ibu

6) Pengetahuan tentang gizi terutama untuk anak

7) Rencana untuk pemeriksaan ulang bayi serta imunisasi

f. Post Partum Grup

1) Definisi

Kelompok post partum merupakan salah satu bentuk kelompok atau organisasi kecil dari ibu

nifas, yang bertujuan untuk mendeteksi, mencegah, dan mengatasi permasalahan-

permasalahan yang timbul selama masa nifas. Sebaiknya pembentukan kelompok ibu nifas

dilakukan pada minggu pertama masa nifas, yaitu setelah melakukan kunjungan pertama,

sehingga upaya deteksi dini, mencegah, dan mengatasi permasalahan pada masa nifas dapat

dilakukan sesegera mungkin serta kesejahteraan ibu dan bayi bisa terwujud.

2) Tahapan atau langkah-langkah dalam pembentukan kelompok ibu nifas :

a) Kenali program-program yang ada untuk ibu nifas.

Program untuk ibu nifas yang diberlakukan antara lain adalah kunjungan pada ibu nifas

dan neonates, pemberian ASI eksklusif, pemberian tablet tambah darah, dan pemberian

tablet vitamin A.

b) Kumpulkan Data
Adapun data yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok ibu nifas meliputi jumlah ibu

nifas dan bayi, kebiasaan atau trasisi setempat, permasalahanpermasalahan pada masa nifas dan

bayi, sumber daya masyarakat, serta penentu kebijakan.

c) Lakukan pendekatan (mengatur strategi)

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai

atau kepercayaan, patuh kepada orang yang dianggap sebagai contoh, maka pendekatan

dengan keluarga ibu, tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa, dan kader sebagai

pengambil keputusan dan penentu kebijakan sangat diperlukan untuk mewujudkan suatu

kelompok ibu nifas.

d) Buat Perencanaan

Untuk membuat suatu perencanaan harus melihat data yang telah terkumpul, buat usulan

atau proposal yang didalamnya memuat tentang latar belakang dan tujuan dari

pembentukan kelompok post partum. Perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam pembentukan kelompok post partum, tempat dan waktu, anggaran, serta

peserta.

e) Pelaksanaan

Lakukan diskusi sampai terbentuk susunan organisasi ibu nifas (kelompok postpartum).

Kemudian buat rencana tindak lanjut.

f) Evaluasi

Evaluasi dilakukan pada akhir masa nifas, setelah kunjungan ke-4. Pastikan bahwa tujuan

akhir daripembentukan kelompok postpartum benar-benar tercapai, ibu dan bayi sehat,

serta nifas berjalan normal.

g. Pelayanan Keluarga Berencana Terintegritas Pada Kebidanan Komunitas

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) diselenggarakan secara terpadu dan saling mendukung

guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pengelolaan kesehatan

diselenggarakan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya.

Melalui pendekatan SKN, yang tertuang dalam isu strategis RPJMN 2015-2019, terdapat 7

komponen SKN yaitu Upaya Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Obat dan Alat,

Pembiayaan, Sistem Informasi/Regulasi/Manajemen, Pemberdayaan Masyarakat dan Penelitian


Pengembangan. Diperlukan optimalisasi komponen SKN untuk peningkatan kualitas dan akses

pelayanan KB.

Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, regulasi, sinkronisasi, dan

harmonisasi berbagai sub-sistem SKN agar efektif, efisien, dan transparan dalam penyelenggaraan

SKN yang meliputi tersedianya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK); bimbingan dan

pengawasan; pemantauan dan evaluasi; umpan balik (feed back) dan reward bagi yang berprestasi.

Pelayanan KB dalam SKN sejalan dengan komponen – komponen yang ada dalam Sistem

Kesehatan Nasional, khususnya dalam sub sistem upaya kesehatan yang memprioritaskan pada

upaya promotif dan preventif.

1) Pelayanan Keluarga Berencana

Pelayanan KB merupakan salah satu strategi untuk mendukung percepatan penurunan

Angka Kematian Ibu melalui:

a) Mengatur waktu, jarak dan jumlah kehamilan

b) Mencegah atau memperkecil kemungkinan seorang perempuan hamil mengalami komplikasi

yang membahayakan jiwa atau janin selama kehamilan, persalinan dan nifas.

c) Mencegah atau memperkecil terjadinya kematian pada seorang perempuan yang mengalami

komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas.

Peranan KB sangat diperlukan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, unsafe

abortion dan komplikasi yang pada akhirnya dapat mencegah kematian ibu. Selain itu, Keluarga

Berencana merupakan hal yang sangat strategis untuk mencegah kehamilan “Empat Terlalu”

(terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak). Mengacu pada Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, upaya yang

diselengggarakan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya

kesehatan masyarakat pengembangan.

Pelayanan Keluarga Berencana merupakan salah satu dari 5 Upaya Kesehatan Masyarakat

Esensial yaitu pelayanan promosi kesehatan; pelayanan kesehatan lingkungan; pelayanan

kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;pelayanan gizi; dan pelayanan pencegahan dan

pengendalian penyakit. Begitu pula untuk di Rumah Sakit, menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perijinan Rumah Sakit, pelayanan

KB merupakan pelayanan medik umum yang harus ada di RS. Dapat disimpulkan, pelayanan

KB merupakan:
a) Upaya kesehatan masyarakat esensial Puskesmas dan pelayanan medik umum di Rumah

Sakit

b) Upaya pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus

yang sehat dan cerdas.

c) Upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan.

d) Memenuhi hak reproduksi klien.

Pelayanan keberlanjutan (Continuum of Care) dalam pelayanan KB, meliputi pendidikan

kesehatan reproduksi pada remaja, konseling WUS/ calon pengantin, konseling KB pada ibu

hamil/ promosi KB pasca persalinan, pelayanan KB pasca persalinan, dan pelayanan KB

interval.

Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Pelayanan KB 2014-2015, salah satu strateginya

adalah peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan KB melalui pelayanan

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan konseling secara sistematis dengan salah satu

program utama adalah memastikan seluruh penduduk mampu menjangkau dan mendapatkan

pelayanan KB. Komunikasi, Informasi dan Edukasi adalah proses yang sangat penting dalam

pelayanan KB.

Komunikasi adalah penyampaian pesan secara langsung/tidak langsung melalui saluran

komunikasi kepada penerima pesan untuk mendapatkan suatu efek. Dalam bidang kesehatan kita

mengenal komunikasi kesehatan yaitu usaha sistematis untuk mempengaruhi perilaku positif

masyarakat, dengan menggunakan prinsip dan metode komunikasi baik menggunakan

komunikasi individu maupun komunikasi massa. Sementara informasi adalah keterangan,

gagasan maupun kenyataan yang perlu diketahui masyarakat (pesan yang disampaikan) dan

edukasi adalah proses perubahan perilaku ke arah yang positif.

Proses yang diberikan dalam KIE, salah satunya adalah konseling. Melalui konseling

pemberian pelayanan membantu klien memilih cara KB yang cocok dan membantunya untuk

terus menggunakan cara tersebut dengan benar. Konseling adalah proses pertukaran informasi

dan interaksi positif antara klien-petugas untuk membantu klien mengenali kebutuhannya,

memilih solusi terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang

dihadapi. Pelayanan konseling KB memegang peranan yang sangat penting, oleh karena itu untuk

meningkatkan keberhasilan konseling KB dapat digunakan media KIE dengan menggunakan

lembar balik Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) - KB. Konseling KB dapat

dilaksanakan bagi wanita dan pasangan usia subur, ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional

dan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan

Nasional dinyatakan bahwa Pelayanan KB merupakan salah satu manfaat promotif dan preventif.

Selama masa transisi menuju universal health coverage pada tahun 2019, maka pelayanan KB

bagi penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta program JKN, dapat dibiayai dengan

Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pelayanan KB yang dijamin meliputi konseling,

kontrasepsi dasar, vasektomi, tubektomi termasuk komplikasi KB bekerjasama dengan lembaga

yang membidangi keluarga berencana.

Mengacu pada Permenkes No 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, dalam

rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan, Puskesmas didukung oleh jaringan pelayanan

Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan. Jaringan pelayanan Puskesmas terdiri atas

Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling, dan bidan desa.Sementara Jejaring fasilitas pelayanan

kesehatan terdiri atas klinik, rumah sakit, apotek, laboratorium, dan fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya.

Sesuai dengan Permenkes Nomor 71 tahun 2013, tentang pelayanan kesehatan pada Jaminan

Kesehatan Nasional dinyatakan bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua

Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Berdasarkan cara pembayaran

dalam JKN, maka Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan

Tingkat Lanjutan (FKRTL). Pelayanan KB tersebut dilaksanakan secara berjenjang di:

a) FKTP meliputi:

o Pelayanan konseling;

o Kontrasepsi dasar (pil, suntik, IUD dan implant, kondom);

o Serta pelayanan Metode Operasi Pria (MOP)

o Penanganan efek samping dan komplikasi ringan-sedang akibat penggunaan kontrasepsi;

o Merujuk pelayanan yang tidak dapat ditangani di FKTP.

b) FKRTL meliputi :

o Pelayanan konseling;

o Pelayanan kontrasepsi IUD dan implant

o Metode Operasi Wanita (MOW)

o Metode Operasi Pria (MOP).

Untuk wilayah yang tidak mempunyai fasilitas pelayanan kesehatan, terdapat pelayanan yang

dilaksanakan secara mobile atau bergerak oleh BKKBN. Pembiayaan pelayanan kontrasepsi
bergerak ini di luar skema JKN. Pelayanan KB bergerak ini tetap harus memperhatikan standar

dan kualitas pelayanan, sehingga kejadian efek samping dan komplikasi dapat dikurangi. Selain

itu untuk kecamatan yang tidak ada tenaga dokter berdasarkan penetapan Kepala Dinas

Kesehatan Kab/kota setempat, BPJS Kesehatan dapat bekerjasama dengan praktik bidan, dengan

persyaratan praktik bidan tersebut harus membuat perjanjian kerjasama dengan dokter atau

Puskesmas pembinanya.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 1464/PER/X/ 2010 tentang ijin dan

penyelenggaraan praktik bidan, maka bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk

memberikan pelayanan kesehatan ibu, anak dan kesehatan reproduski perempuan dan keluarga

berencana meliputi :

a) Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana;

b) Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.

Selain kewenangan tersebut, terdapat juga kewenangan bidan yang menjalankan program

Pemerintah yaitu :

a) Pemberian alat kontrasepsi suntikan, AKDR/ IUD, dan memberikan pelayanan AKBK

/implant.

b) Pelayanan AKDR dan AKBK dilakukan oleh bidan terlatih.

Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan

kewenangan pelayanan kesehatan dengan syarat:

a) Daerah yang tidak memiliki dokter ditetapkan oleh Kadinkes Kab/ Kota

b) Bidan dengan pendidikan D3 Kebidanan atau Bidan yang telah terlatih

2) Pengorganisasian Pelayanan KB

Pengorganisasian dalam manajemen pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan pengaturan

sumber daya manusia dan sumber daya fisik lainnya untuk menjalankan rencana yang telah

ditetapkan guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Pelaksanaan program pelayanan KB tidak

sepenuhnya berada dijajaran sektor kesehatan, maka diperlukan upaya untuk mengorganisasi semua

sumber daya di lintas program dan lintas sektor agar mendapatkan hasil yang optimal.

Untuk mewujudkan program pelayanan KB yang berkualitas, perlu dilakukan pengorganisasian

sumber daya sebagai berikut:


a) Menjamin ketersediaan alat dan obat kontrasepsi serta bahan habis pakai, penyimpanan dan

distribusinya.

b) Menjamin tersedianya sarana penunjang pelayanan KB seperti obgyn-bed, IUD kit, implan

removal kit, VTP kit, KIE kit, media informasi, pedoman klinis dan pedoman manajemen.

Pengelola program KB perlu berkoordinasi dengan pengelola program terkait di tingkat pusat,

provinsi dan kabupaten dan kota, baik di sarana pelayanan pemerintah maupun swasta.

Mekanisme penyediaan sarana penunjang pelayanan KB mengikuti mekanisme penyediaan

alokon.

c) Menjamin tersedianya pembiayaan pelayanan KB baik melalui APBN (Kementerian Kesehatan

dan BKKBN) dan APBD dan sumber lain yang tidak mengikat misalnya dana hibah dalam dan

luar negeri serta bantuan swasta dan perorangan.

d) Menjamin tersedianya tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB yang terampil

dalam pelayanan klinis, konseling dan manajemen melalui pelatihan yang terakreditasi.

Pengelola program KB perlu mengadakan koordinasi dengan Balai Besar Pelatihan Kesehatan

(BBPK), Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes), Balai Pelatihan dan Pengembangan KB

(BKKBN), Pusat Pelatihan Klinik Sekunder (P2KS) di Provinsi, Pusat Pelatihan Klinik Primer

(P2KP) di kabupaten/kota, Puskesmas, Rumah Sakit, Organisasi Profesi (POGI, IDI dan IBI) dan

lintas sektor terkait yang mengacu kepada pedoman pelatihan yang berlaku

e) Untuk mendapatkan pelayanan KB sesuai standar, maka diperlukan penguatan supply dalam

rangka percepatan revitalisasi program KB untuk pencapaian target penurunan TFR melalui:

f) Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan KB untuk mempercepat terwujudnya

revitalisasi KB.

g) Memperkuat sarana pelayanan kesehatan sehingga semua calon peserta KB mendapatkan

pelayanan yang berkualitas dan merata

h) Penyiapan supply di kabupaten dan kota untuk memberikan pelayanan komprehensif yang

berkualitas hingga pasca pelayanan

i) Pendekatan kepada organisasi non pemerintah, seperti LSM, swasta dan asosiasi-asosiasi serta

organisasi profesi.

j) Memperkuat pelayanan statis dengan meningkatkan kapasitas faskes berstatus sederhana menjadi

pelayanan KB yang lengkap.

k) Memastikan ketersediaan sarana prasarana dan alat obat kontrasepsi di semua sarana pelayanan

melalui dana APBN maupun APBD.


l) Menjamin mekanisme distribusi alokon melalui satu pintu untuk bisa memenuhi kebutuhan

seluruh fasilitas pelayanan KB sehingga tidak terjadi kesenjangan distribusi.

m) Meningkatkan kompetensi pelayanan KB dengan menyiapkan provider pelayanan KB dengan

pelatihan
DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus, Su. TT. Hak Dasar Hukum Kesehatan[ppt]

2. J. Guwandi. 2011. Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability. Jakarta: Fakultas

3. Kedokteran Universitas Indonesia

4. Satriawan, Dendi. 2014. Tanggungjawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian yang

5. Diakibatkan oleh Tenaga Kesehatan, Bandar Lampung: Universitas Lampung, Skripsi


6. Sudrajat, Jajat. 2011. Mewujudkan Hak Asasi Manusia di Bidang Kesehatan. Diakses

7. dari www.antaranews.com pada tanggal 11 Oktober 2016

8. Susanti, Rika. 2014. HAM dan Pelayanan Kesehatan[ppt].

9. Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

10. Yunanto, Ari. 2010. Hukum Malpraktik Medik. Yokyakarta: CV. Andi Offset

11. www.rsannisa.co.id/informasi/hak-dan-kewajiban-pasien

12. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 4 tahun 2018

13. Brindley, B. “Gender Analysis and Forestry,” dalam How to Use Rapid Rural

14. Appraisal (RRA) to Develop Case Studies, 1995

15. Yulifah Rita,Johan Agus YuswantoTri . Asuhan kebidanan komunitas edisi 2 2014.Salemba

Medika : Jakarta.

16. Canadian International Development Agency (CIDA), 1997. “Guide to Gender-sensitive

Indicators .

17. Debbie Budlender, Diane Elson, Guy Hewitt and Tanni Mukhopadhyay,2002. Understanding

Gender Responsive Budgets.

18. “Gender, Law, and Policy in ADB Operations: A Tool Kit (2006). Asian Development Bank.

19. Fakih. M, 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

20. Faraz N.J.,2010. Profil Kegiatan Keluarga Home Industry Kulit di kabupaten bantul provinsi DI

Yogyakarta

21. Handayani T dan sugiarti, 2002. Konsep dan Teknik Penelitia Gender. Penerbitan Universitas

Muhamadiyah Malang

22. Instruksi Presiden RI (2000) Inpres No 9 tahun 2000, Jakarta.

23. Umar, Nazarudin 1998, Argumentasi Ksetaraan Gender Perspektif ALQuran, PT Paramadina,

Jakarta.

24. UNFPA, Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, Baan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional, 2001. Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengurusutamaan Gender Bidang Kesehatan

Reproduksi dan Kependudukan. Buku 02, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai