Anda di halaman 1dari 5

Tugas Individu

FATMAWATI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAPIKA
MAKASSAR
2020
STIGMA DAN DISKRIMINASI YANG TERJADI PADA MASYARAKAT TERHADAP
PASIEN HIV
A. Pengertian Stigma
Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk
memisahkan atau mendeskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau
pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi,
yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak‐hak dasar
indvidu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia yang bermartabat.
Stigma dan diskriminasi terjadi karena adanya persepsi bahwa mereka dianggap
sebagai “musuh”,“penyakit”,“elemen masyarakat yang memalukan”, atau “mereka yang
tidak taat tehadap norma masyarakat dan agama yang berlaku”. Implikasi dari stigma dan
diskriminasi bukan hanya pada diri orang atau kelompok tertentu tetapi juga pada
keluarga dan pihak-pihak yang terkait dengan kehidupan mereka.
Tindakan menstigma atau stigmatisasi terjadi melalui beberapa proses yang
berbeda‐beda seperti:
 Stigma aktual (actual) atau stigma yang dialami (experienced): jika ada orang atau
masyarakat yang melakukan tindakan nyata, baik verbal maupun non verbal yang
menyebabkan orang lain dibedakan dan disingkirkan.
 Stigma potensial atau yang dirasakan (felt): jika tindakan stigma belum terjadi tetapi
ada tanda atau perasaan tidak nyaman. Sehingga orang cenderung tidak mengakses
layanan kesehatan.
 Stigma internal atau stigmatisasi diri adalah seseorang menghakimi dirinya sendiri
sebagai “tidak berhak”, “tidak disukai masyarakat” Proses stigma tidak bersifat
tunggal, beberapa proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan dan dapat bersifat
stigmatisasi ganda (misalnya: “perek” sekaligus “penasun”).

Faktor‐faktor yang mempengaruhi stigma terhadap Orang dengan HIV‐AIDS:

 HIV-AIDS adalah penyakit mematikan


 HIV‐AIDS adalah penyakit karena perbuatan melanggar susila, kotor, tidak
bertanggung jawab
 Orang dengan HIV-AIDS dengan sengaja menularkan penyakitnya
 Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV.
Perubahan perkembangan pengobatan, perawatan dan dukungan yang diharapkan
mempengaruhi paradigma stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV-AIDS:

 HIV‐AIDS dapat mengenai siapapun, tanpa membedakan status sosial, pendidikan,


agama, warna kulit, latar belakang seseorang. adalah penyakit mematikan.
 HIV‐AIDS dapat mengenai orang yang tidak berdosa yaitu bayi dan anak.
 HIV-AIDS sudah ada obatnya sekalipun tidak menyembuhkan, tetapi mengembalikan
kualitas hidup penderitanya.
 Penularan HIV-AIDS ke bayi/anak dapat dicegah
 Kepatuhan berobat dan minum obat adalah kunci utama pencegahan dan pengendalian
HIV-AIDS.
 Setiap orang memiliki hak yang sama untuk akses pelayanan kesehatan paripurna
yang komprehensif.
 Ketidaktahuan seseorang bahwa ia menderita penyakit termasuk HIV‐AIDS dan IMS
yang membuat orang menularkan penyakitnya.

B. Pengertian Diskriminasi
UNAIDS mendefinisikan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri
negatif yang diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tindakan yang tidak wajar
dan tidak adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV-nya.
Contoh‐contoh diskriminasi meliputi:
 Keluarga yang tega mengusir anaknya karena menganggapnya sebagai aib.
 Rumah sakit dan tenaga kesehatan yang menolak untuk menerima ODHA atau
menempatkan ODHA di kamar tersendiri karena takut tertular.
 Atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status HIV mereka.
 Keluarga/masyarakat yang menolak ODHA.
 Mengkarantina ODHA karena menganggap bahwa HIV‐AIDS adalah penyakit
kutukan atau hukuman Tuhan bagi orang yang berbuat dosa.
 Sekolah tidak mau menerima anak dengan HIV karena takut murid lain ketakutan.
 Odha mengalami masalah dalam mengurus asuransi kesehatan.
Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Siklus Stigma dan Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi saling menguatkan satu sama lain dan
beroperasi dalam suatu siklus yang dinamis. Tanda atau label sebagai
ODHA, dapat menyebabkan stigma. Stigma dapat menyebabkan diskriminasi
yang selanjutnya dapat mengakibatkan:

 Isolasi
 Hilangnya pendapatan atau mata pencaharian
 Penyangkalan atau pembatasan akses pada layanan kesehatan
 Kekerasan fisik dan emosional

Ketakutan pada penghakiman dan diskriminasi dari orang lain mempengaruhi


bagaimana cara ODHA melihat diri mereka sendiri dan mengatasi kesulitan
terkait status atau perilaku berisikonya.

Bayangan/perasaan terstigma dan stigma internal sangat mempengaruhi upaya


pencegahan HIV dan PDP.Hal ini dapat mengakibatkan kerentanan dan risiko
lebih besar pada HIV. Stigma dan diskriminasi sendiri tidak tetap dan diam,
tetapi berkembang.Oleh karena itu penting bagi pelaksana program pencegahan
HIV untuk memahami elemen-‐elemen stigma dan mengadaptasinya dalam
konteks saat ini dan konteks lokal.

C. Dampak Stigma Dan Diskriminasi


Stigma dan diskriminasi masih menjadi masalah didalam upaya
pengendalian HIV/AIDS di dunia sehingga masih banyak yang enggan untuk
mengetahui status HIVnya karena takut kalau ketahuan mengidap HIV akan
diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal makin dini
orang mengetahui status HIVnya makin baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain.
Stigma dan diskriminasi dalam kaitan dengan HIV-‐AIDS sebenarnya
tidak ditujukan kepada jenis kelamin melainkan kepada penyakitnya yang
amat ditakuti. Masalah akan timbul dalam situasi ketidak-‐setaraan gender.
Perempuan yang termarginalkan dan berada dalam posisi subordinat bisa
menjadi tumpuan kesalahan, selanjutnya memperoleh label sebagai sumber
penularan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya: Dari sisi anatomi, fisiologi
dan kedudukan sosial, perempuan lebih rentan tertular HIV/AIDS daripada laki- ‐
laki.

Diperlukan komitmen dan upaya-upaya komprehensif terpadu oleh


pemerintah dan seluruh unsur masyarakat untuk memberdayakan perempuan
melalui pendekatan non diskriminatif dan persamaan sebelum menuju kesetaraan.
Hasil yang diharapkan adalah perempuan mempunyai akses terhadap
pendidikan, ketrampilan, informasi dan ekonomi, sehingga memiliki
pengetahuan yang cukup tentang reproduksi dan penyakit serta mempunyai
akses untuk meningkatkan ekonominya sehingga mampu memperoleh pekerjaan
dan penghasilan yang setara dengan laki‐laki baik di sektor formal maupun
informal. Demikian pula perempuan harus diberi wadah berorganisasi dan
bisa memasuki wadah tersebut guna meningkatkan kapasitas sosialnya. Dengan
demikian tidak akan ada lagi diskriminasi dalam bekerja, tidak hanya
perempuan HIV positif tetapi perempuan secara keseluruhan.

Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh Odha


dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi
yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat
tentang bagaimana Odha melihat diri mereka sendiri.Hal ini bisa mendorong,
dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan
keputusasaan.
Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan
membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak,
atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek
seksual yang tidak aman karena takut orang‐orang akan curiga terhadap status
HIV mereka. Akhirnya, Odha dilihat sebagai "masalah", bukan sebagai bagian
dari solusi untuk mengatasi epidemi ini.
Deklarasi Komitmen yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam
sesi khusus tentang HIV-AIDS menyerukan untuk memerangi stigma dan
diskriminasi. Ini menunjukkan fakta bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran
HAM. Ini juga secara jelas menyatakan bahwa melawan stigma dan
diskriminasi adalah merupakan prasyarat untuk upaya pencegahan dan perawatan
yang efektif.
Prinsip‐Prinsip HAM Sebagai Filosofi Penghapusan Stigma Dan Diskriminasi
Hak Asasi Manusia dan untuk hak‐hak perempuan, kesempatan kerja
serta perlindungan, terkait dengan pekerjaan dan fungsi reproduksi mendapat
tempat khusus dalam Undang‐Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia. Antara lain adalah upah yang sama dan adil disebutkan dalam Hak Atas
Kesejahteraan Pasal 38(3): Setiap orang, baik pria maupun wanita yang
melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah
serta syarat‐syarat perjanjian kerja yang sama, dan pasal 38(4): Setiap orang, baik
pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan
dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Hak-hak perempuan dituangkan dalam Hak Wanita, Pasal 45 – 51. Hak
perempuan sebagai hak asasi ditegaskan dalam Pasal 45 yang berbunyi: Hak
wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Sedangkan
perlindungan terkait dengan pekerjaan dan fungsi reproduksi disebutkan dalam
Pasal 49(2): Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal‐hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita,
dan Pasal 49(3):
Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. 7
Hak Asasi dan Diskriminasi, Pasal 2 Undang‐Undang RI No: 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan menyebutkan: Pembangunan kesehatan diselenggarakan
dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan non
diskriminatif, dan norma- norma agama. Kemudian pada Pasal 57 (1)
disebutkan: Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dengan pengecualian
pada Pasal 57 (2) .. tidak berlaku dalam hal a. Perintah Undang-Undang; b.
Perintah pengadilan; c. Izin yang bersangkutan; d. Kepentingan masyarakat; atau
e. Kepentingan orang tersebut.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan senantiasa memperhatikan hak asasi
manusia yang merupakan amanat Undang-Undang. Di dalam Kebijakan Umum
Rencana Aksi Pengendalian HIV-AIDS Sektor Kesehatan Tahun 2009 – 2014
disebutkan bahwa setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed
consent) serta menjaga kerahasiaan hasil pemeriksaan. Pemeriksaan bersifat
sukarela, dilakukan konseling dulu baru dilaksanakan test HIV (Voluntary
Counseling and Testing). Petugas kesehatan bisa menawarkan test (Provider
Initiated Conselling and Testing), namun apabila yang bersangkutan tidak
bersedia maka test HIV tidak dilaksanakan Pada prinsipnya testing harus
bersifat sukarela dan tidak ada testing tanpa persetujuan klien.

Diskriminasi Yang Sering Dijumpai :

 Odha lebih sulit diterima oleh dunia kerja dengan alasan kesehatan dan
produktivitas.
 Karena kurangnya informasi orang akan menghindari Odha karena takut tertular
melalui keringat dan sentuhan.
 Odha mengalami masalah dalam mengurus asuransi kesehatan.
 Ada pendapat bahwa Odha sebaiknya di karantina saja supaya tidak
menularkan ke orang lain. Tetapi hal ini melanggar hak asasi manusia.
 Sekolah tidak mau menerima anak dengan HIV karena takut murid lain
akan ketakutan

Anda mungkin juga menyukai