Anda di halaman 1dari 48

1 Karsinoma Nasofaring

Bagian : THT
Terkait
Sistem : THT
Terkait
Tingkat : 3
Kemampuan
Penyusun : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
Modul dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Tn. MH umur 34 tahun, datang ke poli THT dengan keluhan mimisan sebanyak 2 kali
sedikit-sedikit sejak 3 bulan sebelum periksa, hidung tidak buntu, kadang-kadang pilek.
Pendengaran telinga kanan berkurang sejak 1,5 bulan sebelum periksa, telinga kanan terasa
nyeri. Pasien mengeluh juga saat menelan terasa nyeri, sehari-hari makan bubur kasar.
Nyeri kepala 3 bulan, pipi kanan terasa tebal. Penderita pernah periksa ke RS dan dilakukan
biopsi nasofaring di rumah sakit tersebut dengan hasil karsinoma tidak berdiferensiasi. Pada
pemeriksaan, didapatkan telinga dalam batas normal. Tidak didapatkan massa dalam
hidung, fenomena palatum mole negatif. Tenggorok didapatkan refleks muntah menurun,
parese N. IX, X, XI sisi kanan serta didapatkan parese N.V kanan. Tidak ditemukan tumor
di leher. Apa kemungkinan diagnosis pasien dan tatalaksana selanjutnya?

PENDAHULUAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang terbanyak
ditemukan di indonesia. Hamper 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring. Kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung, dan sinus paranasal (18%). Laring

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi tumor ganas nasofaring sendiri selalu
berada dalam kedudukan 5 besar dari tumor ganas tubuh manusia Bersama tumor ganas
serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit . 1

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu


Pembelajara menguasai kompetensinya pada penyakit Karsinoma Nasofaring
n Umum
(TIU)
Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Pembelajara 1. Memahami definisi, factor risiko dan patogenesis Karsinoma
n Khusus Nasofaring
(TIK) 2. Mengetahui manifestasi klinis Karsinoma Nasofaring melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang sesuai
3. Menegakkan diagnosis kerja Karsinoma Nasofaring dan
diagnosis bandingnya
4. Mengetahui penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring
5. Mengetahui kriteria dan stadium penyakit Karsinoma
Nasofaring
6. Mengetahui prognosis Karsinoma Nasofaring
7. Memahami dan menerapkan pencegahan Karsinoma
Nasofaring

DEFINISI

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan
dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior,
dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe
leher.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer ati-virus EB yang
cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan
kepala lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Banyak penyelidikan
mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu satunya factor,
karena banyak factor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, rasial jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan
hidup, kebudayaan social ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebbanya belum dapat
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain.
Factor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan
makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan
makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan
keganasan lain tidak jelas.
Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan )
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. Tentang
factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma
nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.
Secara umum, faktor resiko yang menyebabkan kanker dibagi menjadi dua, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor di luar tubuh yang
mempengaruhi atau mendorong pembentukan kanker. Sedangkan faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam tubuh. Faktor eksternal penyebab kanker antara lain dalah
bahan kimia dan radiasi. Faktor eksternal tersebut sering disebut dengan istilah zat
karsinogen. Faktor internal penyebab kanker antara lain adalah virus dan kondisi-kondisi
tertentu di dalam tubuh, seperti lemahnya sistem imun tubuh dan kondisi genetik yang
membuat tubuh rentan terhadap beberapa jenis kanker. . 1

PATOGENESIS

Hampir semua sel KNF mengandung komponen dari virus Epstein-Barr (EBV), dan
kebanyakan orang dengan KNF memiliki bukti pernah terinfeksi oleh virus ini dalam darah

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


mereka. Hubungan antara infeksi EBV dan KNF sangat kompleks dan belum sepenuhnya
dipahami. Infeksi EBV saja tidak cukup untuk menyebabkan KNF. Faktor-faktor lain,
seperti gen seseorang, dapat mempengaruhi bagaimana tubuh menghadapi infeksi EBV,
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kontribusi EBV dalam perkembangan KNF.
Pada beberapa studi yang lain, dikatakan bahwa alkohol dan rokok memiliki peran dalam
terbentuknya KNF.
Agar sebuah kanker bisa terjadi, maka sel-sel yang terkena zat karsinogen harus mengalami
dua tahapan, yaitu yang disebut sebagai tahap inisiasi dan tahap promosi. Tahap inisiasi
dari kanker biasanya terjadi secara cepat dan menimbulkan kerusakan secara langsung
dalam bentuk terjadinya mutasi pada DNA. Mekanisme perbaikan DNA akan mencoba
melakukan perbaikan tetapi bila mekanisme tersebut gagal, maka kerusakan tersebut akan
terbawa pada sel anak yang dihasilkan dari proses pembelahan. Dalam tahap promosi, akan
terjadi perkembangbiakan pada sel yang rusak, dimana hal tersebut biasanya terjadi ketika
sel-sel yang mengalami mutasi tersebut terkena bahan yang bisa mendorong mereka untuk
melakukan pembelahan secara cepat. Seringkali terdapat jeda waktu yang cukup panjang
diantara kedua tahapan tersebut. Tahap promosi tersebut sebenarnya adalah sebuah tahap
yang membutuhkan pengulangan agar sel yang rusak tersebut mampu berkembang biak
lebih lanjut menjadi kanker. . 1

KLASIFIKASI DAN STADIUM PENYAKIT

Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh Pierre Denoy dari
Perancis tahun 1943. Tahun 1953, terdapat kesepakatan pada International Congress of
Radiology tentang perluasan tumor, dalam sistem TNM dan disetujui sebagai sistem dari
Union International Centre le Cancer (UICC). Sistem TNM UICC ini banyak dipakai di
seluruh dunia dan telah mengalami beberapa revisi. Di samping itu, di Amerika Serikat
sendiri diterima suatu sistem TNM lain yang disebut The American Joint Committee on
Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959. Sistem TNM AJCC pun telah
mengalami beberapa revisi. Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya sama untuk
seluruh keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelejar liur dan tiroid. Sistem TNM ini
.1
ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian:

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

Hasil Anamnesis (Subjective)


 Benjolan di leher yang semakin membesar
 Lamanya benjolan
 Hidung tersumbat
 Riwayat mimisan
 Gangguan pendengaran
 Telinga terasa tersumbat
 Penglihatan ganda
 Sakit kepala
 Penurunan berat badan
 Riwayat kemoradiasi
 Riwayat mengkonsumsi ikan asin/makanan yang diawetkan
 Riwayat merokok, minum alkohol
 Riwayat keluarga yang mempunyai tumor ganas

Pemeriksaan Fisik

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pemeriksaan nasofaring dapat dilakukan
dengan rinoskopi posterior dan nasofaringoskop (fiber/rigid)

a. Benjolan di leher/ Neck mass (ICD10: C76.0) sebanyak 43% kasus metastasis ke
kelenjar getah bening leher, di bawah angulus mandibula (Level IIb) dan atau di
level III KGB jugularis superior), di bawah lobulus daun telinga 36% unilateral,
6% bilateral.
b. Gejala Hidung (ICD10: C30.0) sebanyak 30%, berupa sekret bercampur darah
(blood stained discharge), sumbatan hidung unilateral dan bilateral serta epistaksis.
c. Gejala Telinga (ICD10: C72.4) sebanyak 17%, berupa, tuli konduktif unilateral,
tinitus, otalgia, dan otore.
d. Gejala lain (ICD10: C72.5) akibat kelumpuhan atau terkenanya saraf kranial
sebanyak 10% berupa, sakit kepala hebat, diplopia, parastesia wajah, kelumpuhan
otot fasial, serak, disfagia, kelumpuhan otot lidah, kelemahan otot bahu, trismus,
vertigo, kebutaan

Pemeriksaan Penunjang

1. Tomografi komputer/pencitraan magnetik resonansi, untuk mengetahui besar tumor,


perluasan tumor, destruksi tumor
2. Foto toraks posisi AP, menilai ada/tidak metastasis jauh ke Paru
3. USG abdomen, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke hati
4. Bone Scan, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke tulang
5. Serologi Virus Eptein Barr
6. Pemeriksaan laboratorium:
• Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hemostasis
• Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati
• Pemeriksaan elektrolit
7. Pemeriksaan patologi anatomi melalui nasofaringoskopi dan biopsi nasofaring

Alur Penegakan Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Ditemukannya karsinoma nasofaring WHO tipe I, II, atau III melalui pemeriksaan jaringan
nasofaring.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Diagnosis Banding
1. Hipertrofi adenoid
2. Nasofaringitis
3. Jaringan fibrosis
4. Angiofibroma nasofaring
5. Limfoma

TATALAKSANA

1. Radioterapi KNF stadium I dan IIa (T1N0M0, T2aN0M0)


Radioterapi definitif pada Nasofaring (± 70 Gy) dan elektif RT di daerah leher (N0)à ±
40Gy)
2. Kemoradiasi
 KNF Stadium IIb, III, IVa, (T1-T4, N1,2, M0) à Radioterapi definitif (±70 Gy)
pada nasofaring dan leher disertai kemoterapi setiap minggu (kemoterapi
sensitisiser) dengan Sisplatin 30-40 mg/m² atau paclitaksel 40 mg atau dengan
Nimotuzumab 200mg. Dilanjutkan Kemoterapi Fulldose 3 siklus.
 KNF Stadium IVB (T1-4 N3M0) neo-ajuvan kemoterapi (kemoterapi full dose)
selama 3 siklus dan dilanjutkan dengan kemoradiasi (radioterapi definitif di daerah
nasofaring dan leher masing-masing ±70 Gy dan kemoterapi dosis sensitisasi setiap
minggu).
3. Kemoterapi
 KNF Stadium IVC (T1-4N0-3,M1) kemoterapi full dose, kombinasi antara
Sisplatin 100mg/m² dan 5 FU 1000mg/m² atau Paclitaksel 75 mg/m² atau dengan
Nimotuzumab 200mg diberikan setiap 3 minggu, sebanyak 6- 8 siklus.
 Pada metastasis tulang yang mengenai weight bearing bone (tulang yang
menyangga tubuh), daerah pergerakan ini harus di tunjang dengan korset (konsul
ke dokter spesialis rehabilitasi medis) dan diberikan obat2 antiosteoporosis 1 bulan
sekali.
 Bila ada rasa nyeri akibat metastasis tulang, diberikan radioterapi lokal sebanyak
2Gy.
4. Penanganan suportif
 Bila ada nyeri hebat di kepala harus diatasi sebagai nyeri kanker à sesuai protokol
nyeri (stepladder WHO)

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


 Bila ada kesulitan makan /asupan nutrisi kurang, pasang NGT/gastrostomi
 Bila ada tanda2 infeksi di daerah saluran nafas atas, telinga tengah, diberikan
antibiotika sistemik (oral/injeksi) atau dan topikal tetes telingaà konsultasi ke ahli
otologi.
 Bila terdapat obstruksi jalan napas atas, tatalaksana sesuai dengan protokol
obstruksi jalan napas atas.

PROGNOSIS

1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia

EDUKASI

Pencegahan
Pemberian vaksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ke tempat lainnaya. Penerangan
akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasaka makanan untuk mencegah
akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Melakukan tes serologis igA-anti
VCA dan igA-anti EA secara massal di masa yang akan dating bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara dini 1

Konseling dan Edukasi


Penjelasan mengenai tujuan dan resiko biopsi, penjelasan tentang stadium tumor, hasil
pertemuaan tumor, rencana terapi serta akibat dan efek samping yang dapat terjadi selama
dan setelah pengobatan. . 1

LATIHAN SOAL (MCQ)

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


KEPUSTAKAAN
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-
KL FK UI. Dalam: Karsinoma Nasofaring. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015. h. 158-163
2. Anderson,M., Forsby,N., Klein, G.,Henle, W., 2007, Relationship between the Epstein-
Barr Viral and Undifferential Nasopharyngeal Carcinoma: Corelated nucleic acid
hybridation and histopatological examination. Int.J. Cancer 20: 486-494.
3. Bernadette Brennan. 2009. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet J rare Disease. June
2009.
4. Christopher M Nutting , Christopher P Cottrill and William I Wei. 2009. Tumors of the
Nasopharynx in Principles and Practice of Head and Neck Surgery and Oncology.; 2 nd
ed. Informa UK Ltd. 342 – 254
5. Ho-Sheng et al. 2009. Malignant nasopharyngeal tumors.Chinese Journal of Cancer. Vol
V. 2009
6. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Review: Annals of Oncology. 2013
7. William IW, Daniel T.T.Chua, 2014. Nasopharyngeal Carcinoma. BJ Bailey, et al., eds.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 5th Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. Pp: 1875-97
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health
Organization
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical Modification (ICD 9CM).
World Health Organization

2 Otitis Media Supuratif Kronis

Bagian Terkait : THT


Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 3A
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Seorang laki-laki usia 65 tahun datang dengan keluhan keluar darah dari hidung terus menerus
sejak 1 jam yang lalu + 2 gelas aqua, keluhan ini pertama kali dirasakan pasien. Pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi stage II sejak 10 tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat
candesartan sejak 3 tahun terakhir. Saat ini pasien merasakan darah juga mengalir di tenggorokan,
pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, TD 180/100. N: 110x/m, RR: 22x/m,
T: 37,1, Kemungkinan diagnosis pada pasien dan faktor risiko serta penatalaksanaan yang tepat
untuk kasus diatas adalah?

PENDAHULUAN

Otitis media supuratif kronik merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat
pada anak-anak terutama pada negara berkembang. Pada tahun 201 0, sekitar 28.000 kematiandi
seluruh dunia disebabkan oleh komplikasi otitis media. Otitis media supuratif kronik (OMSK)
adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, baik terus menerus maupun hilang timbul. Terdapat dua tipe
OMSK, yaitu OMSK tipe aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma).

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit OMSK

Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) - Memahami definisi, factor risiko dan patogenesis OMSK
- Mengetahui manifestasi klinis Epistaksis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
- Menegakkan diagnosis kerja OMSK dan diagnosis bandingnya
- Mengetahui penatalaksanaan OMSK
- Mengetahui kriteria rujukan yang sesuai pada kasus OMSK
- Mengidentifikasi komplikasi OMSK
- Mengetahui prognosis OMSK
- Memahami dan menerapkan pencegahan OMSK

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


DEFINISI

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan
(sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin serous, mukous, atau purulent. OMSK dapat terbagi atas 2, yaitu otitis media supuratif
kronik tubotimpani dan otitis media supuratif kronik atikoantral. OMSK atikoantral merupakan
bentuk yang paling berbahaya karena sifatnya yang dapat mendestruksi jaringan sekitar
sehingga dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor risiko OMSK antara lain:


1. Lingkungan.
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi terdapat
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana kelompok
sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan,
bahwa hal ini berhubungan dengan Kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang
padat.
2. Genetik.
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai factor genetik. Sistem sel-
sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini
primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan
atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu
telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronis.
4. Infeksi
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh campuran
mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar yang ada saat
ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah Pseudomonas aeruginosa
sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus aureus 25%. Jenis bakteri yang
ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan kebanyakan infeksi telinga lain, karena

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


bakteri yang ditemukan pada OMSK pada umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang
perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas.
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi
virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun.
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar terhadap otitis
media kronis.
7. Alergi.
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya Sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin- oksinnya, namun hal ini belum
terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat
oleh edema

PATOGENESIS

OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK dimulai dari
adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang disebabkan oleh multifaktorial,
diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi,
kekebalan tubuh turun, lingkungan dan social ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting
mudahnya anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda
dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi
jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap berjalan,
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan
tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan
granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika
lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini
berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Banding
• Acute suppurative otitis media (ICD 10: H66.0)
• Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya
Basal cell carcinoma skin of ear and external auricular canal (ICD 10: C44.21)
Squamous cell carcinoma of skin of ear and external canal (ICD 10: C44.22)

Malignant neoplasm of middle ear (ICD 10: C30.1

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

Hasil Anamnesis (Subjective)


a. Riwayat keluar cairan telinga hilang timbul atau terus menerus lebih dari 2 bulan, sekret
yang keluar biasanya tidak berbau
b. Gangguan pendengaran
c. Dapat disertai gangguan keseimbangan.
d. Nyeri telinga
e. Tinitus

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan otoskopi ditemukan :
 Perforasi membran timpani berupa perforasi sentral, atau subtotal tanpa ada kolesteatoma •
Dapat disertai atau tanpa sekret
 Bila terdapat sekret dapat berupa :
 Warna: jernih, mukopurulen atau bercampur darah
 Jumlah: sedikit (tidak mengalir keluar liang telinga) atau banyak (mengalir atau
menempel pada bantal saat tidur)
 Bau: tidak berbau atau berbau (karena adanya kuman anaerob)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1. Dapat dilakukan pemeriksaan otomikroskopik/otoendoskopi
2. Pemeriksaan fungsi pendengaran:
a. Pemeriksaan penala

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


b. Audiometri nada murni
c. Audiometri tutur dapat dilakukakan terutama untuk pemilihan sisi telinga yang
dioperasi pada kasus bilateral dengan perbedaan ambang dengar kurang 10 dB
d. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) bila diperlukan
3. Dianjurkan High Resolution Computer Tomography (HRCT) mastoid potongan aksial
koronal tanpa kontras ketebalan 0.6mm. Foto polos mastoid Schuller masih dapat dilakukan
bila fasilitas CT scan tidak tersedia
4. Dapat dilakukan kultur dan resistensi sekret telinga, yang diambil di :
a. Poliklinik : dengan bahan sekret liang telinga
b. Saat operasi : dengan bahan sekret rongga mastoid
5. Dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius
6. Pemeriksaan fungsi keseimbangan
7. Pemeriksaan fungsi saraf fasialis
8. Dapat dilakukan Paper patch test
9. Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan saat operasi
10. Untuk persiapan operasi : disesuaikan dengan PPK Tindakan operasi yang dilakukan

Penegakan Diagnosis

Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2 bulan dengan atau
tanpa gejala lain, adanya perforasi membran timpani dan tidak ditemukan kolesteatoma pada
pemeriksaan fisik atau tidak ada kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi
anatomi atau pemeriksaan radiologi.

TATALAKSANA
1. Non Pembedahan :
a) Hindari air masuk ke dalam telinga
b) Cuci liang telinga :
• NaCl 0,9%
• Asam asetat 2%
• Peroksida 3%
c) Antibiotika:
• Topikal tetes telinga Ofloksasin
• Sistemik: anti Pseudomonas sp (golongan Quinolon dan Sefalosporin generasi IV)
2. Pembedahan :
Timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi. Menurut ICD 9 CM mencakup :

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


 Myringoplasty (Type I tympanoplasty) (19.4), Type II tympanoplasty (19.52), Type III
tympanoplasty (19.53)
 Ossiculoplasty (19.0)
 with or without Simple mastoidectomy (20.41)
 Atticotomy (20.23)
3. Setelah operasi :
A. Antibiotika
a) Golongan Sefalosporin anti pseudomonas adalah Sefalosporin generasi IV (dikenal sebagai
antipseudomonal), pilihannya : Cefepime atau Ceftazidim. Antibiotik jenis ini juga
merupakan pilihan untuk pasien anak mengingat adanya kontra indikasi pemberian
antibiotik golongan Quinolon.
b) Pada kasus infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) : Sefalosporin
generasi V, pilihannya : Fetaroline atau Ceftobiprol.
c) Penggunaan Gentamisin dapat dilakukan pada kondisi :
i. Tidak tersedia obat lain yang tidak bersifat ototoksik.
ii. Satu-satunya antibiotik yang sensitif terhadap kuman hasil biakan sekret
liang telinga yang diambil di poliklinik maupun saat operasi.
B. Pemberian analgetik diberikan pilihan golongan nonopioid dan golongan opioid.

Rencana Tindak Lanjut : Respon atas terapi dievaluasi setelah pengobatan selama 7 hari.

KOMPLIKASI
Komplikasi
Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
Komplikasi intrakranial
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


6. Hidrosefalus otitis

PROGNOSIS

 Ad vitam : Bonam
 Ad functionam : Bonam
 Ad sanationam : Bonam

PENCEGAHAN

Konseling dan Edukasi


 Jika mengalami batuk pilek segera berobat
 Menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam.
 Menjaga agar telinga tidak kemasukan air
 Menyarankan operasi dengan tujuan menurunkan risiko kekambuhan, mencegah komplikasi
lebih lanjut (intra temporal dan ekstra temporal) serta untuk perbaikan fungsi pendengaran.
 Menjelaskan bahwa penyakit ini merupakan penyakit infeksi sehingga dengan penanganan yang
tepat dapat disembuhkan tetapi bila dibiarkan dapat mengakibatkan hilangnya pendengaran serta
komplikasi lainnya.

KRITERIA RUJUKAN

Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang dilakukan
3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial
4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga kering

LATIHAN SOAL (MCQ)

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


KEPUSTAKAAN
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi ke enam. Jakarta: FKUI; 2007. hal 10-22.
2. Neely JG, Arts HA. Intratemporal and intracranial complications of otitis media. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, editor. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th edition. Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.2043-56.
3. Levine SC, Souza CD, Shinners MJ. Intracranial complications of otitis media. In: Gulya AJ,
Minor LB, Poe DS, editor. GlasscockShambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut:
PMPH USA; 2010. p.451-64.
4. Gopen Q. Pathology and clinical course of the inflammatory disease of the middle ear. In: Gulya
AJ, Minor LB, Poe DS, editor. Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition.
Connecticut: PMPH USA; 2010. p.425-36.
5. Hamilton J. Chronic otitis media in childhood. In: Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke
R, Hibbert J, Jones NS, Lund VJ, et al, editor. Scotts-Brown’s Otorhinolaryngology: Head and
Neck Surgery. 7th edition. London: Edward Arnold publisher; 2008. p.928-964.
6. Francis HW. Anatomy of the temporal bone, external ear and middle ear. In: Flint PW, Haughey
BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al, editor. Cummings
Otolaryngology Head & Neck Surgery. Fifth edition. Philadelphia: Mosby Elsevier;2010.p.1821-
2566.
7. Helmi. Otitis media supuratif kronis. Dalam: Helmi, editor. Otitis media supuratif kronis. Edisi ke
1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h.55-68.
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health Organization
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical Modification (ICD 9CM). World
Health Organization

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


3 Omsk tipe bahaya

Bagian Terkait : THT


Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 4
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Seorang wanita usia 25 th datang ke PKM dengan keluhan nyeri saat menelan sejak satu minggu
terakhir. Keluhan ini pertama kali dirasakan pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi makanan pedas dan panas secara bersamaan, keluhan serak disangkal pasien. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak keluhan nyeri menelan. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
120/80mmHg, N 100x/m, RR 20x/m, suhu 38,2°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T3/T3, hiperemis
(+), detritus (+). Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta tatalakasana
untuk menangani keluhan pasien ?

PENDAHULUAN

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan
maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa
menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus
infeksi. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu:
tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).Penyakit ini banyak diderita oleh
anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun (1)(2).
Tonsil paling aktif dari usia 4 hingga 10 tahun. Involusi dimulai setelah pubertas yang
mengakibatkan penurunan produksi sel B dan peningkatan rasio sel T ke sel B. Ada anggapan umum

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


bahwa pengangkatan tonsil dan adenoid akan mengganggu keutuhan sistem kekebalan tubuh dan
membuat pasien rentan terhadap virus polio dan meningkatkan kejadian penyakit Hodgkin. Namun teori
ini belum dibuktikan oleh pengamatan klinis dan epidemiologis. Pengangkatan tonsil dan adenoid juga
tidak mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh secara umum. Tonsil dan adenoid hanya boleh diangkat
dengan indikasi tertentu (3).

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Tonsilitis

Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) 8. Memahamidefinisi, factor risiko dan patogenesis Tonsilitis
9. Mengetahui manifestasi klinis Tonsilitis melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai
10. Menegakkan diagnosis kerja Tonsilitis dan diagnosis
bandingnya
11. Mengetahui penatalaksanaan Tonsilitis, meliputi
medikamentosa maupun non medikamentosa
12. Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Tonsilitis
13. Mengidentifikasi komplikasi Tonsilitis
14. Mengetahui prognosis Tonsilitis
15. Memahami dan menerapkan pencegahan Tonsilitis

DEFINISI

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe Bahaya adalah radang kronik telinga tengah disertai
perforasi membran timpani dan sekret liang telinga yang berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang
timbul maupun terus menerus disertai adanya kolesteatoma di telinga tengah.

ETIOLOGI

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


beberapa jenis makanan, higienitas mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut, yaitu Grup A
Streptococcus ß hemoliticus, pneumokokus, Streptococcus viridan, dan Streptococcus piogenes, tetapi
kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif (5).
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penelitian dari Commission on Acute
Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana dari 169 kasus
didapatkan data sebagai berikut (5):
 25% disebabkan oleh Streptokokus B hemolitikus yang pada masa penyembuhan tampak adanya
kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
 25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer
Streptokokus antibodi dalam serum penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus,
Hemofilus influenza.

FAKTOR RESIKO

Faktor Risiko (2)

1. Faktor usia, terutama pada anak.


2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi

PATOGENESIS

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B hemolitikus yang dikenal
sebagai strep throat, pneumokokus, Steptokolus viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang
mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak
kuning (1)
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


tonsil (1).

DIAGNOSIS BANDING

1. Basal cell carcinoma skin of ear and external auricular canal (ICD 10: C44.21)
2. Squamous cell carcinoma of skin of ear and external canal (ICD 10: C44.22)
3. Malignant neoplasm of middle ear (ICD 10: C30.1

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

 Riwayat sering keluar cairan dari telinga atau terus menerus dan berbau, dapat disertai darah lebih
dari 2 bulan
 Gangguan pendengaran
 Tinitus
 Nyeri telinga
 Gejala komplikasi :
- Intra temporal : vertigo, muka mencong, ketulian total
- Ekstra temporal : bisul di belakang daun telinga, mual, muntah, nyeri kepala hebat, penurunan
kesadaran, demam tinggi

Pemeriksaan Fisik

 Terdapat kolesteatoma
 Perforasi membran timpani atik, marginal atau total
 Liang telinga bisa lapang atau sempit bila terjadi shagging akibat destruksi liang telinga posterior
 Sekret mukopurulen/purulen yang berbau
 Dapat disertai jaringan granulasi di telinga tengah
 Bila terdapat komplikasi dapat ditemukan abses retroaurikular, fistel retroaurikular, paresis fasialis
perifer, atau ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

Pemeriksaan Penunjang

1. Dapat dilakukan pemeriksaan otomikroskopik/otoendoskopi


2. Dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi sekret liang telinga :

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


 Di poliklinik : dengan bahan sekret liang telinga
 Saat operasi : dengan bahan sekret rongga mastoid
3. Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi sebelum atau durante operasi
4. Dianjurkan HRCT mastoid potongan aksial koronal tanpa kontras ketebalan 0.6mm. Foto polos
mastoid Schuller masih dapat dilakukan bila fasilitas CT scan tidak tersedia.
5. CT scan kepala dengan dan tanpa kontras bila curiga adanya komplikasi intrakranial
6. Pemeriksaan fungsi pendengaran :
• Pemeriksaan penala
• Audiometri nada murni
• Dapat dilakukan BERA
7. Pemeriksaan fungsi keseimbangan
8. Pemeriksaan fungsi saraf fasialis
9. Untuk persiapan operasi : disesuaikan dengan PPK Tindakan operasi yang dilakukan

Penegakan Diagnosis

Diagnosis Klinis
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2 bulan dengan atau
tanpa gejala lain, adanya perforasi membran timpani dan ditemukan kolesteatoma pada pemeriksaan
fisik atau kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi anatomi atau pemeriksaan
radiologi

TATALAKSANA

1. Non Pembedahan :
a. Hindari air masuk ke dalam telinga
b. Cuci liang telinga :
 NaCl 0,9%.
 Asam asetat 2%.
 Peroksida 3%.
c. Antibiotika :
 Topikal tetes telinga ofloksasin
 Sistemik : anti Pseudomonas sp (golongan Quinolon dan Sefalosporin generasi IV)

2. Pembedahan : Mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal modifikasi, timpanomastoidektomi,


canal wall down tympanoplasty/ mastoidectomy.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Menurut ICD 9 CM dapat mencakup tindakan :
 Radical mastoidectomy (20.42),
 Modified radical mastoidectomy (20.49)
 Simple mastoidectomy (20.41), Atticotomy (20.23)
 Type I tympanoplasty (19.4), Type II tympanoplasty (19.52), Type III tympanoplasty
(19.53), Type IV tympanoplasty (19.54), Type V tympanoplasty (19.55)
 Ossiculoplasty (19.0)
 Mastoid obliteration (19.9)
 Meatoplasty (18.6)

3. Setelah operasi :
A. Antibiotika
a. Golongan Sefalosporin anti pseudomonas adalah Sefalosporin generasi IV (dikenal sebagai
antipseudomonal), pilihannya: Cefepime atau Ceftazidim. Antibiotik jenis ini juga
merupakan pilihan untuk pasien anak mengingat adanya kontra indikasi pemberian antibiotik
golongan Quinolon.
b. Pada kasus infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) : Sefalosporin
generasi V, pilihannya : Fetaroline atau Ceftobiprole.
c. Penggunaan Gentamisin dapat dilakukan pada kondisi:
I. Tidak tersedia obat lain yang tidak bersifat ototoksik.
II. Satu-satunya antibiotik yang sensitif terhadap kuman hasil biakan sekret liang telinga
yang diambil di poliklinik maupun saat operasi.
d. Metronidazol 3x500 mg intra vena bila ada kecurigaan keterlibatan kuman anaerob

B. Pemberian analgetik diberikan pilihan golongan nonopioid dan golongan opioid

C. Steroid intra vena (bila perlu)

4. Bila pada kunjungan pertama pasien ditegakkan diagnosis Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya
disertai adanya komplikasi intra kranial maka pasien harus dirawat inap.

KOMPLIKASI

PROGNOSIS

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Malam
3. Ad sanationam : Bonam

PENCEGAHAN
Konseling dan Edukasi
• Memotivasi pasien untuk segera dan harus dilakukan operasi
• Penjelasan tentang gangguan pendengaran
• Penjelasan tentang komplikasi penyakit
• Telinga tidak boleh masuk air

KRITERIA RUJUKAN

Segera rujuk jika terjadi (2):


1.

LATIHAN SOAL (MCQ)

KEPUSTAKAAN

1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi ke enam. Jakarta: FKUI; 2007. hal 10-22.
2. Neely JG, Arts HA. Intratemporal and intracranial complications of otitis media. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD,eds. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.2043-56.
3. Levine SC, Souza CD, Shinners MJ. Intracranial complications of otitis media. In: Gulya AJ, Minor
LB, Poe DS, eds. GlasscockShambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut: PMPH USA;
2010. p.451-64.
4. Gopen Q. Pathology and clinical course of the inflammatory disease of the middle ear. In: Gulya AJ,
Minor LB, Poe DS. Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut: PMPH
USA; 2010. p.425-36.
5. Hamilton J. Chronic otitis media in childhood. In: Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke R,
Hibbert J, Jones NS, Lund VJ, et al, editor. Scotts-Brown’s Otorhinolaryngology: Head and Neck
Surgery. 7th edition. London: Edward Arnold publisher; 2008. p.928-964.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


6. Francis HW. Anatomy of the temporal bone, external ear and middle ear. In: Flint PW, Haughey BH,
Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT,et al. Cummings Otolaryngology Head &Neck
Surgery. Fifth edition. Philadelphia: Mosby Elsevier ;2010.p.1821-2566.
7. Helmi. Otitis media supuratifkronis. Dalam: Helmi. Otitis media supuratifkronis. Edisi ke 1. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI; 2005. h.55-68.
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health Organization
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical Modification (ICD 9CM). World Health
Organizatio

4 Rhinitis Vasomotor
Bagian Terkait : THT
Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 4A
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Seorang laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang
menyebabkan pasien sulit makan. Keluhan ini disertai demam sejak 4 hari yang lalu. Pasien memiliki
kebiasaan suka mengkonsumsi makanan pedas dan riwayat merokok dan minum minuman beralkohol
sejak 10 tahun terakhir. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/80mmHg, N 99x/m,
RR 20x/m, suhu 38,2°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T1/T1, dan tampak orofaring hiperemis (+).
Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta tatalakasana untuk menangani
keluhan pasien ?

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


PENDAHULUAN

Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis non
alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering
dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Faringitis

Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) 16. Memahamidefinisi, factor risiko dan patogenesis Faringitis
17. Mengetahui manifestasi klinis Faringitis melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai
18. Menegakkan diagnosis kerja Faringitis dan diagnosis
bandingnya
19. Mengetahui penatalaksanaan Faringitis, meliputi
medikamentosa maupun non medikamentosa
20. Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Faringitis
21. Mengidentifikasi komplikasi Faringitis
22. Mengetahui prognosis Faringitis
23. Memahami dan menerapkan pencegahan Faringitis

DEFINISI

Faringitis akut merupakan peradangan dinding faring dan terjadi karena berbagai faktor etiologi
seperti virus, bakteri, jamur atau lainnya. Penyebab virus lebih sering terjadi. Faringitis streptokokus akut
(

ETIOLOGI

disebabkan oleh Toxoplasma gondii, parasit intraseluler obligat. Infeksi ini sangat jarang terjadi.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


FAKTOR RESIKO

Faktor Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara lain: Ergotamin,
Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, serta bau
yang menyengat (misalnya, parfum).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dan stress.

PATOGENESIS

Gambar 1. Alur Patogenesis Faringitis Akibat Infeksi Streptococcus Grup A

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding

 Rinitis alergi,
 Rinitis medikamentosa,
 Rinitis akut Komplikasi Anosmia,
 Rinosinusitis

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi tidur pasien, memburuk pada pagi hari
dan jika terpajan lingkungan non-spesifik seperti perubahan suhu atau kelembaban udara, asap rokok, bau
menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rinitis alergika.
4. Lebih sering terjadi pada wanita.

Pemeriksaan Fisik

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Rinoskopi anterior:
1. Tampak gambaran konka inferior membesar (edema atau hipertrofi), berwarna merah gelap atau

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


merah tua atau pucat. Untuk membedakan edema dengan hipertrofi konka, dokter dapat memberikan
larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon hidung. Pada edema, konka akan mengecil, sedangkan
pada hipertrofi tidak mengecil.
2. Terlihat adanya sekret serosa dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan tetapi pada golongan rinore
tampak sekret serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak dengan konka licin atau berbenjol-benjol.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis


alergi. Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan dan fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama, yaitu: 1.
Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret hidung 2. Tes cukit kulit (skin prick test) 3. Kadar IgE spesifik

Penegakan Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya memberikan respon baik dengan terapi antihistamin dan
glukokortikoid topikal.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore yang jumlahnya banyak.
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala kongesti hidung dan hambatan aliran udara pernafasan yang
dominan dengan rinore yang minimal.

TATALAKSANA
Medikamentosa

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan AgNO3 25% atau trikloroasetat
pekat.
2. Medikamentosa
a. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan, misalnya Budesonide 1-2

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


x/hari dengan dosis 100- 200 mcg/ hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam aqua seperti Fluticasone Propionate dengan pemakaian
cukup 1 x/hari dengan dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal Ipratropium
Bromide.
c. Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat d. simpatomimetik golongan
agonis alfa (Pseudoefedrin, Fenilpropanolamin, Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.

KOMPLIKASI

Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius, Otitis
media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Meningitis, Glomerulonefritis akut, Demam rematik akut,
Septikemia

PROGNOSIS

1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

PENCEGAHAN

Konseling dan Edukasi (5)


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor pencetus, yaitu iritasi terhadap lingkungan non-spesifik.
2. Berhenti merokok.
KRITERIA RUJUKAN

Kriteria Rujukan Jika diperlukan tindakan operati

LATIHAN SOAL (MCQ)

1. Seorang anak perempuan 8 tahun, diantar ayahnya ke puskesmas dengan keluhan


nyeri menelan sejak 2 hari, sudah diberi Paracetamol namun tidak membaik.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Pemeriksaan fisik subfebris, pemeriksaan orofaring, terdapat bercak putih kotor di
dinding posterior faring, kemungkinan diagnosis?
a. Faringitis Difteri
b. Tonsilitis Difteri
c. Faringitis Akut
d. Infeksi mononuklear
e. Tonsilofaringitis difteri

2. Seorang perempuan 38 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan mengganjal di


tenggorokan, disertai tidak nyaman saat makan. Pasien mempunyai riwayat suka
makan pedas. Pemeriksaan ditemukan granulasi dan pelebaran lateral band pada
faring. Apakah kemungkinan diagnosa di atas :
a. Faringitis Kronis
b. Faringitis Akut
c. Tonsilitis kronis
d. Faringitis Tuberkulosa
e. Faringitis Leutika

3. Seorang perempuan 28 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 3 hari
terakhir hingga pasien sulit makan. Pasien juga mengeluhkan demam yang dirasa
naik turun sejak 2 bulan terakhir, juga mengeluhkan penurunan BB hingga >15
kg. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80mmHg, N 89x/m, RR
18x/m, suhu 37,3°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T1/T1, orofaring hiperemis
disertai bercak putih dan edema. Diagnosis?
a. Faringitis bakterial akut
b. Tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut
c. Faringitis Kandida
d. Tonsilofaringitis akut
e. Faringitis kronik eksaserbasi akut

4. Seorang perempuan usia 28 tahun datang dengan keluhan suara serak, nyeri menelan,
demam sejak 4 hari yg lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan disfoni, tonsil T2 /T2 detritus.
Diagnosis adalah?
a. Tonsilitis difteri

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


b. Tonsilofaringitis kronis
c. Tonsilofaringo sifilika
d. Tonsilofaringitis
e. Tonsilofaringolaringitis akut

5. Seorang anak perempuan usia 5 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas
sejak 8 jam yang lalu. Sesak disertai air liur yang keluar terus menerus dan
susah menelan 8 jam yang lalu. Sebelumnya pasien sempat menderita batuk pilek
panas 4 hari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, tekanan
darah 100/60 mmHg, Nadi 100x/m, RR 24x/m, suhu 38 o C, T1/T1 tidak hiperemis,
detritus (-), faring tidak hiperemis. Diagnosa yang paling tepat adalah?
a. Pseudocroup/ Epiglotitis
b. Difteri
c. Tonsillitis akut
d. Faringitis akut
e. Laryngitis akut

KEPUSTAKAAN
1. Adams GL, Jr LRB, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ke 6. Jakarta; 1994.

2. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology Volume 1. Fifth Edition,
editor. Lippincott Williams&. WJ.lkins; 2019. 1689-1699 p.

3. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
Seventh Ed. Elsevier; 2018.

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

5. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I. 2017;

6. Kasper, Fauci. Pharyngitis. Harrison’s Infectious Diseases, Chapter 17. 2nd Edition. Pg. 192-206
McGraw Hill Education, New York. 2013.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


7. Wolford RW, Goyal A, Syed SYB, Schaefer TJ. Pharyngitis. NCBI Bookshelf. 2020;

8. Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam Physician.


2009;79(5):383–90.

5 Benda Asing Saluran Nafas

Bagian Terkait : THT


Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 3
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Seorang laki-laki usia 40 tahun datang dengan keluhan suara serak jika berbicara sejak 4 bulan
yang lalu. Pasien memiliki kebiasaan merokok 5 batang perhari sejak 8 tahun terakhir. Pada
pemeriksaan tampak disfoni, tonsil T1 /T1, tidak tampak kelainan pada mukosa faring.
Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta pemeriksaan yang
diperlukan untuk mengetahui penyebab keluhan pasien adalah?

PENDAHULUAN

Benda asing di saluran nafas atau dikenal dengan aspirasi benda asing merupakan keadaan


emergensi yang memerlukan penanganan segera. Keterlambatan penanganan dapat meningkatkan
terjadinya komplikasi bahkan kematian. Serikat lebih kurang 3000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat aspirasi benda asing.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Benda Asing Saluran Nafas

Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) - Memahami definisi, Etiologi, faktor predisposisi dan
patogenesis Benda Asing Saluran Nafas
- Mengetahui manifestasi klinis Benda Asing Saluran Nafas
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang sesuai
- Menegakkan diagnosis kerja Benda Asing Saluran Nafas dan
diagnosis bandingnya
- Mengetahui penatalaksanaan Benda Asing Saluran Nafas,
meliputi medikamentosa maupun non medikamentosa
- Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Benda Asing Saluran Nafas
- Mengidentifikasi komplikasi Benda Asing Saluran Nafas

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


- Mengetahui prognosis Benda Asing Saluran Nafas
- Memahami dan menerapkan pencegahan Benda Asing
Saluran Nafas

DEFINISI

Benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh,
yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing
eksogen, biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yang berasal dari dalam tubuh
disebut benda asing endogen.
Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat terdiri dari
zat organik, seperti kacang- kacangan tulangdan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan
lain lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif, seperti zat kimia
dan benda cair non iritatif, yaitu cairan dengan ph 7,4 .
Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta, perkijuan,
membrat difteri, bronkolit, cairan amnion, mekonium dapat masuk ek dalam saluiran nafas bayipada
saat proses persalinan

ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor yang memepermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran nafas antara lain
faktor personal, (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan
mekanisme proteksi yang normal, (antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan
epilepsi), faktor fisik (yaitu kelainan dan penyakit neurologis), proses menelan yang belum
sempurna pada anak, faktor dental, medikal dan surgikal, (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi,
belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berumur <4 tahun), faktor kejiwaan (antara lain emosi,
gangguan psikis)ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan, (antara lain
meletakkan benda asing di mulut, persiapan makan yang kurang baik, makan atau minum tergesa
gesa, makan sambil bermain, (pada anak-anak), memberikan kacang atau permen pada anak yang
gigi molarnya belum lengkap.

PATOGENESIS

Benda asing mati di hidung cenderung menyebabkan edema dan inflamasi mukosa hidung, dapat
terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan granulasi dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Benda asing
hidup menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi dari infeksi lokal sampai destruksi

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


masif tulang rawan dan tulang hidung dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.
cacing askaris di hidung dapat menimbulkan iritasi dengan derajat yang bervariasi karena
gerakannya. sekitar 75% dari benda asing di bronkus ditemukan pada anak < 2 tahun dengan
riwayat yang khas yaitu pada saat benda atau makanan ada di dalam mulut, anak tertawa atau
menjerit, sehingga pada saat inspirasi laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam
laring. pada saat benda asing itu terjepit di sfingter laring, pasien batuk berulang-ulang
(paroksismal), sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. bila benda asing telah masuk ke dalam trakea
atau bronkus, kadang kadang terjadi fase asimptomatik selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti
oleh fase pulmonum dengan gejala yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus.
benda asing organis seperti kacang - kacangan mempunyai sifat higroskopis, mudah menjadi lunak
dan mengembang oleh air, serta menyebabkan iritasi ada mukosa.mukosa bronkus menjadi edema
dan meradang serta dapat pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing, sehingga gejala
sumbatan bronkus makin menghebat. akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis, toksemia,
batuk dan demam yang tidak terus menerus (irreguler)

DIAGNOSIS BANDING

1. Acute laryngitis (ICD 10: J04.0)


2.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

1. Fase akut:
 Batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi
 Benda asing laring akan menimbulkan suara parau atau afoni
 Bila terdapat sumbatan jalan napas atas (benda asing laring atau trakea), ada sesak hebat dan
dapat sampai sianosis
2. Fase tenang:
 Disebabkan oleh kelelahan pada refleks batuk, atau benda asing berhenti pada salah satu
cabang bronkus
 Keluhan pada fase akut mereda, gejala hilang timbul kadang menghilang
3. Fase komplikasi:
 Atelektasis dan emfisema menimbulkan keluhan sesak

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


 Pneumonia menimbulkan keluhan sesak, demam, dan batuk
 Pneumotoraks menimbulkan keluhan sesak progresif bila tipe ventil
4. Benda asing pada laring dan trakea dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas: sesak hebat,
stridor, retraksi, sampai sianosis

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik
1. Foreign body in larynx (ICD 10 : T17.4) :
 Asmatoid wheezing, audible slap, palpatory thud
 Disfonia
 Bila ada sumbatan jalan napas atas, retraksi supraklavikuler, interkostal atau epigastrial,
stridor inspirasi, gelisah sampai kesadaran menurun, sianosis
2. Foreign body in bronchus (ICD 10: T17.5) :
 Inspeksi: gerakan dada tertinggal ipsilateral
 Palpasi: gerakan napas asimetri
 Perkusi : didapatkan perubahan suara ketuk ipsilateral.
 Auskultasi : suara nafas melemah ipsilateral, stridor ekspirasi (mengi), ronki halus

Pemeriksaan Penunjang

1. Benda asing metal : rontgen foto polos toraks PA/lateral


2. Benda asing densitas rendah: rontgen foto polos jaringan lunak (soft tissue technique)
3. Benda asing radiolusen: rontgen foto akhir inspirasi dan ekspirasi, tomografi komputer toraks
4. Laboratorium : Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, elektrolit, analisa gas
darah

Alur Penegakan Diagnosis

Diagnosis Klinis

TATALAKSANA

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


1. Bronkoskopi diagnostik meliputi Fiber optic bronchoscopy (ICD 9CM: 33.22) atau other
bronchoscopy (ICD 9CM: 33.23)
2. Bronkoskopi ekstraksi meliputi ekstraksi benda asing pada laring (ICD 9CM: 98.14) dan ekstraksi
benda asing pada trakea/bronkus (ICD 9CM: 98.15)

KOMPLIKASI

Komplikasi (3)
1. Obstruksi jalan napas atas,
2. Pneumonia,
3. Bronkhitis

KRITERIA RUJUKAN

Indikasi rawat rumah sakit apabila (3):


1.

PROGNOSIS

1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

EDUKASI

Konseling dan Edukasi


1. Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat timbul
2. Menjelaskan indikasi operasi dan komplikasinya

LATIHAN SOAL (MCQ)

KEPUSTAKAAN

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


1. Mohz RM. Endoscopy and foreign body removal. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL,
Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London,
Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2399-428.
2. Snow JB. Bronchology. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck.
14th ed. Philadelphia, London: Lea &Febiger, 1991: 1278-96.
3. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia, London: WB
Saunders Co, 1963:842-55.
4. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion and foreign bodies in the aero digestive tract. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I.
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:725-37.
5. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health Organization
6. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical Modification (ICD 9CM). World
Health Organization

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


Skrining Gangguan Dengar
6
pada Bayi dan Anak
Bagian Terkait : THT
Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 3
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari

SKENARIO KASUS

Seorang laki-laki usia 20 tahun datang dengan keluhan telinga kiri terasa sakit dan penuh sejak
5 hari yang lalu.Keluhan ini pertama kali dirasakan pasien sejak berenang di sungai 1 minggu yang lalu.
Pasien telah meminum obat antinyeri yang dibeli sendiri namun keluhan tak kunjung membaik. Saat ini
pasien juga mengeluhkan demam (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 120/80 mmHg, N: 99x/,
RR: 22x/m, T: 38. Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan kanalis auditorius 2/3 dalam keadaan
hiperemi oedem batas tidak jelas, sekret kadang berbau, membran timpani intak. Kemungkinan
diagnosis pada kasus diatas adalah? Penatalaksanaan yang tepat untuk kasus tersebut?

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi
pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Keterlambatan dalam diagnosis berarti pula terdapat
keterlambatan untuk memulai intervensi dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan
selanjutnya. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir dapat menemukan gangguan pendengaran sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang
bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dapat
dilakukan dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode
dan peralatan yang sederhana. Tes pendengaran pada anak tidak bisa ditunda hanya dengan alasan usia
anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran. Tes pendengaran secara obyektif dibidang

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


audiologi dengan peralatan elektrofisiologik sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit
seperti ABR, ASSR, elektroakustik imitans dan OAE yang sangat berharga dalam diagnostik fungsi
pendengaran secara dini tidak tergantung usia

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran Umum : 1. Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik
(TIU) mampu menguasai kompetensinya pada penyebab
gangguan dengar pada bayi dan anak

Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
(TIK) 2. Memahami definisi dan etiologi gangguan dengar pada
bayi dan anak
3. Mengetahui penyebab dan factor resiko gangguan
pendengar pada bayi dan anak
4. Mengetahui jenis gangguan pendengaran pada bayi dan
anak
5. Mengetahui metode skrining gangguan dengar pada
bayi dan anak
6. Mengetahui penatalaksanaan gangguan dengar pada
bayi dan anak
7. Mengetahui guideline yang sesuai untuk melakukan
skrining gangguan dengar pada bayi dan anak

DEFINISI

Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan pendengaran sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang
bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Di negara maju program skrining pendengaran
sudah dimulai sejak bayi berusia 2 hari atau sebelum keluar dari rumah sakit. Program ini dilanjutkan
dengan pemeriksaa pendengaran ulangan pada usia 1 bulan. Untuk bayi yang tidak lulus skrining harus
melakukan pemeriksaan ulang pada usia 3 bulan. Gangguan pendengaran pada bayi sudah harus
dipastikan pada usia 3 bulan, sehingga bila diketahui bayi mengalami ketulian, upaya habilitasi sudah
dapat dimulai pada saat usia 6 bulan.Dengan memastikan ketulian pada usia 3 bulan dan memberikan
habilitasi yang memadai diharapkan pada usia 36 bulan perkembangan wicara anak yang mengalami
ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak yang pendengarannya normal. Di Indonesia beberapa

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


rumah sakit telah menjalankan program skrining pendengaran namun masih bersifat sukarela. Sayangnya
tidak semua rumah sakit yang menjalankan program tersebut memiliki fasilitas yang memadai untuk
pemeriksaan pendengaran lanjutan. Kendala lainnya adalah belum semua orang tua memahami maksud
skrining pendengaran bayi sehingga tidak melalukan pemeriksaan lanjutan
Skrining pendengaran bayi baru lahir hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap rangsangan
dengan intensitas tertentu dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun membedakan
jenis tuli (tuli konduktif atau tuli saraf). Alat yang direkomendasikan untuk skrining pendengaran bayi
adalah otoacoustic emissions (OAE) atau  automated auditory brainstem response (AABR)

ETIOLOGI

Proses belajar emndengar pada bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek
tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Pada sisi lain
pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini
mungkin. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak anak kadang disertai keterbelakangan mental,
gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami
gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed
speech). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf).
1

FAKTOR RESIKO

Berdasarkan penelitian pada bayi yang tuli sejak lahir terdapat sejumlah faktor risiko yang berperan.
Faktor faktor risiko yang mungkin menyebabkan gangguan pendengaran adalah :
1. Lahir belum cukup bulan (prematur).
2. Pernah dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
3. Pada saat hamil, ibu mengalami infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus, Herpes)
4. Kadar bilirubin darah yang tinggi (hiperbilirubinemia), sehingga membutuhkan transfusi tukar.
5. Terdapat kelainan anatomi pada wajah
6. Pernah mendapat obat yang bersifat meracuni pendengaran (ototoksik)
7. Di dalam keluarga terdapat penderita tuli sejak lahir
8. Mengalami infeksi selaput otak (meningitis)

JENIS GANGGUAN PENDENGARAN

Jenis gangguan pendengaran Ada tiga jenis gangguan pendengaran :


1. Gangguan pendengaran konduktif Gangguan pendengaran akibat masalah pada telinga luar atau

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


tengah sehingga suara tidak dapat diteruskan sepenuhnya ke telinga bagian dalam. Gangguan
pendengaran konduktif menurunkan kekerasan suara, tetapi tidak menyebabkan distorsi atau efek
negatif terhadap kejernihan suara. Kebanyakan gangguan pendengaran konduktif dapat diperbaiki
dengan pengobatan.
2. Gangguan pendengaran sensorineural Gangguan pendengaran akibat kerusakan pada telinga
bagian dalam dan atau jalur ke otak. Gangguan pendengaran senssorineural tidak hanya
mengurangi kenyaringan suara, tetapi juga dapat membuat hilangnya kejelasan memahami
pembicaraan. Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya permanen dan tidak dapat
diperbaiki dengan pengobatan
3. Gangguan pendengaran campuran Kombinasi keduanya komponen konduktif dan sensorineural

METODE SKRINING GANGGUAN PENDENGARAN

ANAMNESIS
Respon Anak terhadap Rangsang Suara
Informasi dari orang tua melalui anamnesa yang cermat mengenai respons anak terhadap rangsang suara
dilingkungan sehari-hari dirumah dan kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata-kata anak sangat
membantu menilai masalah gangguan pendengaran dan perkembangan bicara-bahasa pada anak.
1. Usia 0-4 bulan. Apakah bayi kaget kalau mendengar suara yang sangat keras ? Apakah bayi yang
sedang tidur terbangun kalau mendengar suara keras?
2. Usia 4-7 bulan. usia 4 bulan apakah anak mulai mampu menoleh kearah datangnya suara diluar
lapangan pandang mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7 bulan, sebelum usia 7 bulan
apakah anak mampu menoleh langsung ke arah sumber suara diluar lapangan pandang mata?
3. Usia 7-9 bulan. Apakah anak mampu mengeluarkan suara dengan nada yang naik –turun atau
monoton saja?
4. Usia 9-13 bulan. Apakah anak menoleh bila ada suara dibelakangnya? Apakah anak mampu
menirukan beberapa jenis suara? Apakah anak sudah mampu mengucapkan suara konsonan seperti
‘beh’, ‘geh’ , ‘deh’, ‘ma’
5. Usia 13-24 bulan. Apakah dia mendengar bila namanya dipanggil dari ruangan lain? Apakah anak
memberikan respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang kepada anda? Kata-kata apa saja yang
mampu diucapkan? Apakah kwalitas suara dan cara pengucapannya normal?
Informasi dari orang tua mengenai respons anak terhadap suara dan kemampuan berbicara disertai dengan
penilaian kualitas vokalisasi dan bicara pada saat anak datang di rumah sakit dapat di perkirakan derajat
dan onset gangguan pendengaran anak. Suara anak yang melengking tinggi tanpa bisa mengontrol
kekerasan suara dan hanya mampu mengeluarkan suara huruf hidup, kemungkinan anak mengalami
gangguan pendengaran derajad berat sejak dilahirkan. Apabila kualitas suaranya lebih baik kemungkinan

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


gangguan pendengaran terjadi kemudian setelah anak mampu berbicara. Beberapa gejala pada anak
dengan kemungkinan mengalami gangguan pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua :
1. Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada disekitarnya : vacuum cleaner, klakson mobil, petir
2. Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi disekitarnya, kecuali yang bisa
dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada
disekelilingnya
3. Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari petunjuk dari gerak bibir dan
ekspresi muka guna mendapat informasi tambahan apa yang diucapkan. Anak kurang responsif
apabila diajak bicara tanpa diberi kesempatan melihat muka lawan bicara
4. Sering minta kata-kata diulang lagi.
5. Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
6. Kesulitan menangkap huruf mati/ konsonan.
7. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan kekerasan tertentu.
8. Kesulitan menangkap pembicaraan didalam ruangan yang ramai. Anak dengan gangguan
pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap pembicaraan dilingkungan yang ribut
seperti di kelas atau dirumah dengan suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan
pendengaran yang normal mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan di lingkungan mendengar
yang sulit.
9. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan anak mengalami gangguan
pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen pembicaraan dengan
jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan meniru ucapan dengan betul dan baik. Anak juga akan
mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah intelegensinya
10. Bicara anak lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa anak tidak mendengar
suaranya sendiri. Anak yang bicaranya pelan kemungkinan mengalami tuli konduktif karena anak
dapat menangkap suaranya sendiri melalui jalur hantaran tulang sekalipun hantaran udaranya
mengalami gangguan. Anak dengan tuli sensorineural akan berbicara lebih keras supaya bisa
menangkap suaranya sendiri
11. Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan gangguan pendengaran akan
mengalami penurunan kemampuan mendengar dan memahami arti katakata sehingga menghambat
proses perkembangan bicara

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi tes yang subyektif berdasarkan

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry, visual re-
inforcement audiometry) dan tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat
elektrofisologik (Auditory brainstem response/ABR, Auditory Steady State Response/ASSR, Otoacoustic
Emission / OAE).
1. BERA/ABR : Pemeriksaan BERA adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologik yang obyektif, non
invasif untuk menilai respons sistim auditorik termasuk batang otak terhadap bunyi, sehingga dapat
diketahui ambang pendengaran maupun letak lesi pada sistim auditorik tersebut. BERA telah terbukti
berguna dalam menentukan status pendengaran bahkan pada pasien yang tidak kooperatif atau pasien
yang masih sangat muda. Respon terhadap stimulus auditorik berupa respon auditory evoked potential
yang sinkron direkam melalui elektroda permukaaan (surface electrode) yang ditempel pada kulit
kepala. Respon auditory evoked potential yang berhasil direkam kemudian diproses melalui program
komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi
sekitar 2-12 ms setelah stimulus diberikan.
2. Otoaccoustic Emission (OAE) : Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
dihasilkan pada koklea yang normal, baik secara spontan maupun respon dari rangsang akustik.
Skrining pendengaran pada bayi-bayi dapat dilakukan dengan menggunakan alat emisi otoakustik,
karena metoda ini obyektif, aman, tidak memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan sebelum
dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik sampai
menit; caranya mudah, tidak memerlukan keahlian khusus, biaya alat yang relatif murah.
3. BOA : Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes pendengaran secara pengamatan perilaku
(behavioral observation audiometry/ BOA) harus menunggu sampai anak usia mampu berbicara
sehingga dapat mengikuti prosedur tes, yang sebenarnya tidak demikian. Tes BOA sudah dapat
dilakukan pada semua usia mulai bayi baru lahir dengan mempertimbangkan usia dan status
perkembangan anak secara umum. Tes behaviour cukup dapat memberikan nilai ketepatan, efisiensi
dan cukup obyektif apabila dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA cukup
relibel, cukup menyenangkan bagi anak-anak, cukup efisien dari segi waktu dan biaya. Tes BOA
sederhana yang sering dilakukan di rumah sakit adalah dengan menggunakan benda atau mainan yang
berbunyi seperti bel, terompet.
4. Audiometri bermain/play audiometry : Anak yang cukup kooperatif, mau pakai headphone dan bisa
diajarkan bagaimana memberikan respons apabila mendengar suara dapat dilakukan metode
audiometri nada murni seperti tes pada orang dewasa. Hanya metode respons apabila mendengar
suara dilakukan dengan mainan, seperti memasukkan kelereng ke dalam kotak setiap mendengar
suara.
5. Timpanometri : Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Pemeriksaan

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


tersebut merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada
telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal.

ALUR SKRINING GANGGUAN PENDENGARAN

Skrining pendengaran bayi baru lahir, Di beberapa rumah sakit sudah termasuk skrining yang rutin,
mengingat :
 Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal.
 Adanya periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara, yang dimulai dalam 6 bulan
pertama Kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun.

 Bayi yang mempunyai gangguan pendengaran bawaan atau didapat yang segera diintervensi
sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal
dibandingkan bayi yang baru diintervensi setelah berusia 6 bulan.

TATALAKSANA

Habilitasi Gangguan pendengaran terdeteksi setelah menjalani seluruh pemeriksaan fungsi pendengaran
maka penanganan segera adalah pemberian ABD (Alat Bantu Dengar). American Joint Committee on
Infant Hearing 2007 merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan.
Habilitasi yang optimal dimulai sebelum usia 6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak
yang mengalami ketulian dapat mendekati kemampuan wicara anak normal. Pemasangan ABD tidak
selamanya dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran, apabila gangguan pendengarannya berat
atau sangat berat di kedua telinga 9–11 perlu diatasi dengan pemasangan implan koklea.
Habilitasi pendengaran berupaya memberikan impuls auditori dan memaksimalkan plastisitas neural
auditori agar tercapai pematangan pendengaran. Habilitasi pendengaran bergantung pada kebutuhan
masing-masing anak dan beberapa faktor, antara lain usia anak, onset kurang dengar, usia saat kurang
dengar terdiagnosis, derajat kurang dengar, jenis kurang dengar, dan usia saat alat bantu dengar pertama
digunakan. Habilitasi pendengaran pada anak berpedoman pada cara komunikasi yang digunakan dalam
keluarga. Proses habilitasi membutuhkan kerjasama dari beberapa disiplin antara lain dokter spesialis
THT, Audiologist, spesialis Anak, spesialis rehabilitasi medik, Ahli terapi wicara, 11,12 Psikologi anak,
guru khusus dan keluarga.
Penggunaan ABD atau implant selanjutnya diperlukan evaluasi pendengaran dengan metode AVT
(Auditory Verbal Therapy) yaitu terapi mendengar dan terapi wicara sehingga dapat mendeteksi suara dan
13 selanjutnya dapat berkomunikasi.
AVT adalah pendekatan paling populer untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak dengan

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


kecacatan pendengaran. AVT fokus pada input audiologi, menggunakan pendengaran sebagai modalitas
sensori utama dalam mengembangkan bahasa tanpa penggunaan bahasa isyarat atau membaca gerak bibir,
orang tua/pengasuh dan pelatih utama dalam memfasilitasi anak mereka mendengar dan berbahasa
melalui partisipasi aktif dan konsisten. Tujuan utama AVT adalah anak dengan kurang dengar mencapai
level kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif yang sama 11,13 dengan sebayanya.
Keterlibatan keluarga dalam terapi AVT terbukti memperbesar keberhasilan terapi. Efektivitas AVT pada
10 penelitian di India yang dilakukan tahun 1993 sampai 2016, menyimpulkan bahwa AVT meningkatkan
kemampuan bahasa dan wicara pada anak usia lebih dari 3 tahun dengan gangguan dengar dapat mengejar
ketertinggalan dengan anak berusia sebayanya dalam hal Bahasa dan wicara.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166


LATIHAN SOAL (MCQ)

KEPUSTAKAAN

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UI.
Dalam: Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015. h. 30-35
2. Brennan–Jones CG, White J, Rush RW, Law J. Auditory-verbal therapy for promoting spoken
language development in children with permanent hearing impairments (Review). Cochrane Database
of Systematic Reviews. 2014(3): Art. No.: CD010100. DOI: 10.1002/14651858.CD010100.pub2.
3. Madell JR, Flexer C. Colaborative team management of children with hearing loss. In: Madell JR,
Flexer C. Pediatic Audiology. Diagnosis, Technology, and Management. New York, Stuttgart
4. Sperando D. Hearing rehabilitation with AVT. In Seminar and Workshop. Jakarta 2017
5. Hogan S, Stokes J, Weller I. Language outcomes for children of low-income families enrolled in
auditory verbal therapy. De a fne s s and educ a tion int e rna tiona l journa l. 2010;12(4):204–16.

Modul Pembelajaran Bagian THT-KL 166

Anda mungkin juga menyukai