Bagian : THT
Terkait
Sistem : THT
Terkait
Tingkat : 3
Kemampuan
Penyusun : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
Modul dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari
SKENARIO KASUS
Tn. MH umur 34 tahun, datang ke poli THT dengan keluhan mimisan sebanyak 2 kali
sedikit-sedikit sejak 3 bulan sebelum periksa, hidung tidak buntu, kadang-kadang pilek.
Pendengaran telinga kanan berkurang sejak 1,5 bulan sebelum periksa, telinga kanan terasa
nyeri. Pasien mengeluh juga saat menelan terasa nyeri, sehari-hari makan bubur kasar.
Nyeri kepala 3 bulan, pipi kanan terasa tebal. Penderita pernah periksa ke RS dan dilakukan
biopsi nasofaring di rumah sakit tersebut dengan hasil karsinoma tidak berdiferensiasi. Pada
pemeriksaan, didapatkan telinga dalam batas normal. Tidak didapatkan massa dalam
hidung, fenomena palatum mole negatif. Tenggorok didapatkan refleks muntah menurun,
parese N. IX, X, XI sisi kanan serta didapatkan parese N.V kanan. Tidak ditemukan tumor
di leher. Apa kemungkinan diagnosis pasien dan tatalaksana selanjutnya?
PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang terbanyak
ditemukan di indonesia. Hamper 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring. Kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung, dan sinus paranasal (18%). Laring
TUJUAN PEMBELAJARAN
DEFINISI
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan
dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior,
dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe
leher.
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer ati-virus EB yang
cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan
kepala lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Banyak penyelidikan
mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu satunya factor,
karena banyak factor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, rasial jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan
hidup, kebudayaan social ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebbanya belum dapat
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain.
Factor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan
makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan
makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan
keganasan lain tidak jelas.
Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan )
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. Tentang
factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma
nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.
Secara umum, faktor resiko yang menyebabkan kanker dibagi menjadi dua, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor di luar tubuh yang
mempengaruhi atau mendorong pembentukan kanker. Sedangkan faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam tubuh. Faktor eksternal penyebab kanker antara lain dalah
bahan kimia dan radiasi. Faktor eksternal tersebut sering disebut dengan istilah zat
karsinogen. Faktor internal penyebab kanker antara lain adalah virus dan kondisi-kondisi
tertentu di dalam tubuh, seperti lemahnya sistem imun tubuh dan kondisi genetik yang
membuat tubuh rentan terhadap beberapa jenis kanker. . 1
PATOGENESIS
Hampir semua sel KNF mengandung komponen dari virus Epstein-Barr (EBV), dan
kebanyakan orang dengan KNF memiliki bukti pernah terinfeksi oleh virus ini dalam darah
Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh Pierre Denoy dari
Perancis tahun 1943. Tahun 1953, terdapat kesepakatan pada International Congress of
Radiology tentang perluasan tumor, dalam sistem TNM dan disetujui sebagai sistem dari
Union International Centre le Cancer (UICC). Sistem TNM UICC ini banyak dipakai di
seluruh dunia dan telah mengalami beberapa revisi. Di samping itu, di Amerika Serikat
sendiri diterima suatu sistem TNM lain yang disebut The American Joint Committee on
Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959. Sistem TNM AJCC pun telah
mengalami beberapa revisi. Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya sama untuk
seluruh keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelejar liur dan tiroid. Sistem TNM ini
.1
ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian:
Pemeriksaan Fisik
a. Benjolan di leher/ Neck mass (ICD10: C76.0) sebanyak 43% kasus metastasis ke
kelenjar getah bening leher, di bawah angulus mandibula (Level IIb) dan atau di
level III KGB jugularis superior), di bawah lobulus daun telinga 36% unilateral,
6% bilateral.
b. Gejala Hidung (ICD10: C30.0) sebanyak 30%, berupa sekret bercampur darah
(blood stained discharge), sumbatan hidung unilateral dan bilateral serta epistaksis.
c. Gejala Telinga (ICD10: C72.4) sebanyak 17%, berupa, tuli konduktif unilateral,
tinitus, otalgia, dan otore.
d. Gejala lain (ICD10: C72.5) akibat kelumpuhan atau terkenanya saraf kranial
sebanyak 10% berupa, sakit kepala hebat, diplopia, parastesia wajah, kelumpuhan
otot fasial, serak, disfagia, kelumpuhan otot lidah, kelemahan otot bahu, trismus,
vertigo, kebutaan
Pemeriksaan Penunjang
TATALAKSANA
PROGNOSIS
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
EDUKASI
Pencegahan
Pemberian vaksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ke tempat lainnaya. Penerangan
akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasaka makanan untuk mencegah
akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Melakukan tes serologis igA-anti
VCA dan igA-anti EA secara massal di masa yang akan dating bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara dini 1
SKENARIO KASUS
Seorang laki-laki usia 65 tahun datang dengan keluhan keluar darah dari hidung terus menerus
sejak 1 jam yang lalu + 2 gelas aqua, keluhan ini pertama kali dirasakan pasien. Pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi stage II sejak 10 tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat
candesartan sejak 3 tahun terakhir. Saat ini pasien merasakan darah juga mengalir di tenggorokan,
pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, TD 180/100. N: 110x/m, RR: 22x/m,
T: 37,1, Kemungkinan diagnosis pada pasien dan faktor risiko serta penatalaksanaan yang tepat
untuk kasus diatas adalah?
PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronik merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat
pada anak-anak terutama pada negara berkembang. Pada tahun 201 0, sekitar 28.000 kematiandi
seluruh dunia disebabkan oleh komplikasi otitis media. Otitis media supuratif kronik (OMSK)
adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, baik terus menerus maupun hilang timbul. Terdapat dua tipe
OMSK, yaitu OMSK tipe aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma).
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit OMSK
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) - Memahami definisi, factor risiko dan patogenesis OMSK
- Mengetahui manifestasi klinis Epistaksis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
- Menegakkan diagnosis kerja OMSK dan diagnosis bandingnya
- Mengetahui penatalaksanaan OMSK
- Mengetahui kriteria rujukan yang sesuai pada kasus OMSK
- Mengidentifikasi komplikasi OMSK
- Mengetahui prognosis OMSK
- Memahami dan menerapkan pencegahan OMSK
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan
(sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin serous, mukous, atau purulent. OMSK dapat terbagi atas 2, yaitu otitis media supuratif
kronik tubotimpani dan otitis media supuratif kronik atikoantral. OMSK atikoantral merupakan
bentuk yang paling berbahaya karena sifatnya yang dapat mendestruksi jaringan sekitar
sehingga dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat.
FAKTOR RESIKO
PATOGENESIS
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK dimulai dari
adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang disebabkan oleh multifaktorial,
diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi,
kekebalan tubuh turun, lingkungan dan social ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting
mudahnya anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda
dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi
jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap berjalan,
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan
tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan
granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika
lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini
berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.
Diagnosis Banding
• Acute suppurative otitis media (ICD 10: H66.0)
• Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya
Basal cell carcinoma skin of ear and external auricular canal (ICD 10: C44.21)
Squamous cell carcinoma of skin of ear and external canal (ICD 10: C44.22)
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan otoskopi ditemukan :
Perforasi membran timpani berupa perforasi sentral, atau subtotal tanpa ada kolesteatoma •
Dapat disertai atau tanpa sekret
Bila terdapat sekret dapat berupa :
Warna: jernih, mukopurulen atau bercampur darah
Jumlah: sedikit (tidak mengalir keluar liang telinga) atau banyak (mengalir atau
menempel pada bantal saat tidur)
Bau: tidak berbau atau berbau (karena adanya kuman anaerob)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1. Dapat dilakukan pemeriksaan otomikroskopik/otoendoskopi
2. Pemeriksaan fungsi pendengaran:
a. Pemeriksaan penala
Penegakan Diagnosis
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2 bulan dengan atau
tanpa gejala lain, adanya perforasi membran timpani dan tidak ditemukan kolesteatoma pada
pemeriksaan fisik atau tidak ada kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi
anatomi atau pemeriksaan radiologi.
TATALAKSANA
1. Non Pembedahan :
a) Hindari air masuk ke dalam telinga
b) Cuci liang telinga :
• NaCl 0,9%
• Asam asetat 2%
• Peroksida 3%
c) Antibiotika:
• Topikal tetes telinga Ofloksasin
• Sistemik: anti Pseudomonas sp (golongan Quinolon dan Sefalosporin generasi IV)
2. Pembedahan :
Timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi. Menurut ICD 9 CM mencakup :
Rencana Tindak Lanjut : Respon atas terapi dievaluasi setelah pengobatan selama 7 hari.
KOMPLIKASI
Komplikasi
Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
Komplikasi intrakranial
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
PENCEGAHAN
KRITERIA RUJUKAN
Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang dilakukan
3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial
4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga kering
SKENARIO KASUS
Seorang wanita usia 25 th datang ke PKM dengan keluhan nyeri saat menelan sejak satu minggu
terakhir. Keluhan ini pertama kali dirasakan pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi makanan pedas dan panas secara bersamaan, keluhan serak disangkal pasien. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak keluhan nyeri menelan. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
120/80mmHg, N 100x/m, RR 20x/m, suhu 38,2°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T3/T3, hiperemis
(+), detritus (+). Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta tatalakasana
untuk menangani keluhan pasien ?
PENDAHULUAN
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan
maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa
menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus
infeksi. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu:
tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).Penyakit ini banyak diderita oleh
anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun (1)(2).
Tonsil paling aktif dari usia 4 hingga 10 tahun. Involusi dimulai setelah pubertas yang
mengakibatkan penurunan produksi sel B dan peningkatan rasio sel T ke sel B. Ada anggapan umum
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Tonsilitis
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) 8. Memahamidefinisi, factor risiko dan patogenesis Tonsilitis
9. Mengetahui manifestasi klinis Tonsilitis melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai
10. Menegakkan diagnosis kerja Tonsilitis dan diagnosis
bandingnya
11. Mengetahui penatalaksanaan Tonsilitis, meliputi
medikamentosa maupun non medikamentosa
12. Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Tonsilitis
13. Mengidentifikasi komplikasi Tonsilitis
14. Mengetahui prognosis Tonsilitis
15. Memahami dan menerapkan pencegahan Tonsilitis
DEFINISI
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe Bahaya adalah radang kronik telinga tengah disertai
perforasi membran timpani dan sekret liang telinga yang berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang
timbul maupun terus menerus disertai adanya kolesteatoma di telinga tengah.
ETIOLOGI
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,
FAKTOR RESIKO
PATOGENESIS
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B hemolitikus yang dikenal
sebagai strep throat, pneumokokus, Steptokolus viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang
mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak
kuning (1)
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi
DIAGNOSIS BANDING
1. Basal cell carcinoma skin of ear and external auricular canal (ICD 10: C44.21)
2. Squamous cell carcinoma of skin of ear and external canal (ICD 10: C44.22)
3. Malignant neoplasm of middle ear (ICD 10: C30.1
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat sering keluar cairan dari telinga atau terus menerus dan berbau, dapat disertai darah lebih
dari 2 bulan
Gangguan pendengaran
Tinitus
Nyeri telinga
Gejala komplikasi :
- Intra temporal : vertigo, muka mencong, ketulian total
- Ekstra temporal : bisul di belakang daun telinga, mual, muntah, nyeri kepala hebat, penurunan
kesadaran, demam tinggi
Pemeriksaan Fisik
Terdapat kolesteatoma
Perforasi membran timpani atik, marginal atau total
Liang telinga bisa lapang atau sempit bila terjadi shagging akibat destruksi liang telinga posterior
Sekret mukopurulen/purulen yang berbau
Dapat disertai jaringan granulasi di telinga tengah
Bila terdapat komplikasi dapat ditemukan abses retroaurikular, fistel retroaurikular, paresis fasialis
perifer, atau ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pemeriksaan Penunjang
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2 bulan dengan atau
tanpa gejala lain, adanya perforasi membran timpani dan ditemukan kolesteatoma pada pemeriksaan
fisik atau kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi anatomi atau pemeriksaan
radiologi
TATALAKSANA
1. Non Pembedahan :
a. Hindari air masuk ke dalam telinga
b. Cuci liang telinga :
NaCl 0,9%.
Asam asetat 2%.
Peroksida 3%.
c. Antibiotika :
Topikal tetes telinga ofloksasin
Sistemik : anti Pseudomonas sp (golongan Quinolon dan Sefalosporin generasi IV)
3. Setelah operasi :
A. Antibiotika
a. Golongan Sefalosporin anti pseudomonas adalah Sefalosporin generasi IV (dikenal sebagai
antipseudomonal), pilihannya: Cefepime atau Ceftazidim. Antibiotik jenis ini juga
merupakan pilihan untuk pasien anak mengingat adanya kontra indikasi pemberian antibiotik
golongan Quinolon.
b. Pada kasus infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) : Sefalosporin
generasi V, pilihannya : Fetaroline atau Ceftobiprole.
c. Penggunaan Gentamisin dapat dilakukan pada kondisi:
I. Tidak tersedia obat lain yang tidak bersifat ototoksik.
II. Satu-satunya antibiotik yang sensitif terhadap kuman hasil biakan sekret liang telinga
yang diambil di poliklinik maupun saat operasi.
d. Metronidazol 3x500 mg intra vena bila ada kecurigaan keterlibatan kuman anaerob
4. Bila pada kunjungan pertama pasien ditegakkan diagnosis Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya
disertai adanya komplikasi intra kranial maka pasien harus dirawat inap.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
PENCEGAHAN
Konseling dan Edukasi
• Memotivasi pasien untuk segera dan harus dilakukan operasi
• Penjelasan tentang gangguan pendengaran
• Penjelasan tentang komplikasi penyakit
• Telinga tidak boleh masuk air
KRITERIA RUJUKAN
KEPUSTAKAAN
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi ke enam. Jakarta: FKUI; 2007. hal 10-22.
2. Neely JG, Arts HA. Intratemporal and intracranial complications of otitis media. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD,eds. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.2043-56.
3. Levine SC, Souza CD, Shinners MJ. Intracranial complications of otitis media. In: Gulya AJ, Minor
LB, Poe DS, eds. GlasscockShambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut: PMPH USA;
2010. p.451-64.
4. Gopen Q. Pathology and clinical course of the inflammatory disease of the middle ear. In: Gulya AJ,
Minor LB, Poe DS. Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut: PMPH
USA; 2010. p.425-36.
5. Hamilton J. Chronic otitis media in childhood. In: Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke R,
Hibbert J, Jones NS, Lund VJ, et al, editor. Scotts-Brown’s Otorhinolaryngology: Head and Neck
Surgery. 7th edition. London: Edward Arnold publisher; 2008. p.928-964.
4 Rhinitis Vasomotor
Bagian Terkait : THT
Sistem Terkait : THT
Tingkat Kemampuan : 4A
Penyusun Modul : Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
dr. Mochamad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL., M.Sc.
dr. Eka Arie Yuliyani, Sp.THT-KL., M. Biomed
dr. Ni Putu Emi Januantari
SKENARIO KASUS
Seorang laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang
menyebabkan pasien sulit makan. Keluhan ini disertai demam sejak 4 hari yang lalu. Pasien memiliki
kebiasaan suka mengkonsumsi makanan pedas dan riwayat merokok dan minum minuman beralkohol
sejak 10 tahun terakhir. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/80mmHg, N 99x/m,
RR 20x/m, suhu 38,2°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T1/T1, dan tampak orofaring hiperemis (+).
Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta tatalakasana untuk menangani
keluhan pasien ?
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis non
alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering
dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Faringitis
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) 16. Memahamidefinisi, factor risiko dan patogenesis Faringitis
17. Mengetahui manifestasi klinis Faringitis melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai
18. Menegakkan diagnosis kerja Faringitis dan diagnosis
bandingnya
19. Mengetahui penatalaksanaan Faringitis, meliputi
medikamentosa maupun non medikamentosa
20. Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Faringitis
21. Mengidentifikasi komplikasi Faringitis
22. Mengetahui prognosis Faringitis
23. Memahami dan menerapkan pencegahan Faringitis
DEFINISI
Faringitis akut merupakan peradangan dinding faring dan terjadi karena berbagai faktor etiologi
seperti virus, bakteri, jamur atau lainnya. Penyebab virus lebih sering terjadi. Faringitis streptokokus akut
(
ETIOLOGI
disebabkan oleh Toxoplasma gondii, parasit intraseluler obligat. Infeksi ini sangat jarang terjadi.
Faktor Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara lain: Ergotamin,
Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, serta bau
yang menyengat (misalnya, parfum).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dan stress.
PATOGENESIS
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding
Rinitis alergi,
Rinitis medikamentosa,
Rinitis akut Komplikasi Anosmia,
Rinosinusitis
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi tidur pasien, memburuk pada pagi hari
dan jika terpajan lingkungan non-spesifik seperti perubahan suhu atau kelembaban udara, asap rokok, bau
menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rinitis alergika.
4. Lebih sering terjadi pada wanita.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Penegakan Diagnosis
TATALAKSANA
Medikamentosa
KOMPLIKASI
Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius, Otitis
media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Meningitis, Glomerulonefritis akut, Demam rematik akut,
Septikemia
PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
PENCEGAHAN
3. Seorang perempuan 28 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 3 hari
terakhir hingga pasien sulit makan. Pasien juga mengeluhkan demam yang dirasa
naik turun sejak 2 bulan terakhir, juga mengeluhkan penurunan BB hingga >15
kg. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80mmHg, N 89x/m, RR
18x/m, suhu 37,3°C, didapatkan hidung dbn, tonsil T1/T1, orofaring hiperemis
disertai bercak putih dan edema. Diagnosis?
a. Faringitis bakterial akut
b. Tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut
c. Faringitis Kandida
d. Tonsilofaringitis akut
e. Faringitis kronik eksaserbasi akut
4. Seorang perempuan usia 28 tahun datang dengan keluhan suara serak, nyeri menelan,
demam sejak 4 hari yg lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan disfoni, tonsil T2 /T2 detritus.
Diagnosis adalah?
a. Tonsilitis difteri
5. Seorang anak perempuan usia 5 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas
sejak 8 jam yang lalu. Sesak disertai air liur yang keluar terus menerus dan
susah menelan 8 jam yang lalu. Sebelumnya pasien sempat menderita batuk pilek
panas 4 hari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, tekanan
darah 100/60 mmHg, Nadi 100x/m, RR 24x/m, suhu 38 o C, T1/T1 tidak hiperemis,
detritus (-), faring tidak hiperemis. Diagnosa yang paling tepat adalah?
a. Pseudocroup/ Epiglotitis
b. Difteri
c. Tonsillitis akut
d. Faringitis akut
e. Laryngitis akut
KEPUSTAKAAN
1. Adams GL, Jr LRB, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ke 6. Jakarta; 1994.
2. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology Volume 1. Fifth Edition,
editor. Lippincott Williams&. WJ.lkins; 2019. 1689-1699 p.
3. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
Seventh Ed. Elsevier; 2018.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
5. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I. 2017;
6. Kasper, Fauci. Pharyngitis. Harrison’s Infectious Diseases, Chapter 17. 2nd Edition. Pg. 192-206
McGraw Hill Education, New York. 2013.
SKENARIO KASUS
Seorang laki-laki usia 40 tahun datang dengan keluhan suara serak jika berbicara sejak 4 bulan
yang lalu. Pasien memiliki kebiasaan merokok 5 batang perhari sejak 8 tahun terakhir. Pada
pemeriksaan tampak disfoni, tonsil T1 /T1, tidak tampak kelainan pada mukosa faring.
Kemungkinan diagnosis pada pasien? Faktor risiko penyebab keluhan serta pemeriksaan yang
diperlukan untuk mengetahui penyebab keluhan pasien adalah?
PENDAHULUAN
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu
Umum (TIU) menguasai kompetensinya pada penyakit Benda Asing Saluran Nafas
Tujuan Pembelajaran : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
Khusus (TIK) - Memahami definisi, Etiologi, faktor predisposisi dan
patogenesis Benda Asing Saluran Nafas
- Mengetahui manifestasi klinis Benda Asing Saluran Nafas
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang sesuai
- Menegakkan diagnosis kerja Benda Asing Saluran Nafas dan
diagnosis bandingnya
- Mengetahui penatalaksanaan Benda Asing Saluran Nafas,
meliputi medikamentosa maupun non medikamentosa
- Mengetahui kriteria dan alur rujukan yang sesuai pada kasus
Benda Asing Saluran Nafas
- Mengidentifikasi komplikasi Benda Asing Saluran Nafas
DEFINISI
Benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh,
yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing
eksogen, biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yang berasal dari dalam tubuh
disebut benda asing endogen.
Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat terdiri dari
zat organik, seperti kacang- kacangan tulangdan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan
lain lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif, seperti zat kimia
dan benda cair non iritatif, yaitu cairan dengan ph 7,4 .
Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta, perkijuan,
membrat difteri, bronkolit, cairan amnion, mekonium dapat masuk ek dalam saluiran nafas bayipada
saat proses persalinan
Faktor yang memepermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran nafas antara lain
faktor personal, (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan
mekanisme proteksi yang normal, (antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan
epilepsi), faktor fisik (yaitu kelainan dan penyakit neurologis), proses menelan yang belum
sempurna pada anak, faktor dental, medikal dan surgikal, (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi,
belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berumur <4 tahun), faktor kejiwaan (antara lain emosi,
gangguan psikis)ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan, (antara lain
meletakkan benda asing di mulut, persiapan makan yang kurang baik, makan atau minum tergesa
gesa, makan sambil bermain, (pada anak-anak), memberikan kacang atau permen pada anak yang
gigi molarnya belum lengkap.
PATOGENESIS
Benda asing mati di hidung cenderung menyebabkan edema dan inflamasi mukosa hidung, dapat
terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan granulasi dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Benda asing
hidup menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi dari infeksi lokal sampai destruksi
DIAGNOSIS BANDING
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Fase akut:
Batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi
Benda asing laring akan menimbulkan suara parau atau afoni
Bila terdapat sumbatan jalan napas atas (benda asing laring atau trakea), ada sesak hebat dan
dapat sampai sianosis
2. Fase tenang:
Disebabkan oleh kelelahan pada refleks batuk, atau benda asing berhenti pada salah satu
cabang bronkus
Keluhan pada fase akut mereda, gejala hilang timbul kadang menghilang
3. Fase komplikasi:
Atelektasis dan emfisema menimbulkan keluhan sesak
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
1. Foreign body in larynx (ICD 10 : T17.4) :
Asmatoid wheezing, audible slap, palpatory thud
Disfonia
Bila ada sumbatan jalan napas atas, retraksi supraklavikuler, interkostal atau epigastrial,
stridor inspirasi, gelisah sampai kesadaran menurun, sianosis
2. Foreign body in bronchus (ICD 10: T17.5) :
Inspeksi: gerakan dada tertinggal ipsilateral
Palpasi: gerakan napas asimetri
Perkusi : didapatkan perubahan suara ketuk ipsilateral.
Auskultasi : suara nafas melemah ipsilateral, stridor ekspirasi (mengi), ronki halus
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Klinis
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
Komplikasi (3)
1. Obstruksi jalan napas atas,
2. Pneumonia,
3. Bronkhitis
KRITERIA RUJUKAN
PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
EDUKASI
KEPUSTAKAAN
SKENARIO KASUS
Seorang laki-laki usia 20 tahun datang dengan keluhan telinga kiri terasa sakit dan penuh sejak
5 hari yang lalu.Keluhan ini pertama kali dirasakan pasien sejak berenang di sungai 1 minggu yang lalu.
Pasien telah meminum obat antinyeri yang dibeli sendiri namun keluhan tak kunjung membaik. Saat ini
pasien juga mengeluhkan demam (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 120/80 mmHg, N: 99x/,
RR: 22x/m, T: 38. Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan kanalis auditorius 2/3 dalam keadaan
hiperemi oedem batas tidak jelas, sekret kadang berbau, membran timpani intak. Kemungkinan
diagnosis pada kasus diatas adalah? Penatalaksanaan yang tepat untuk kasus tersebut?
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi
pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Keterlambatan dalam diagnosis berarti pula terdapat
keterlambatan untuk memulai intervensi dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan
selanjutnya. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir dapat menemukan gangguan pendengaran sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang
bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dapat
dilakukan dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode
dan peralatan yang sederhana. Tes pendengaran pada anak tidak bisa ditunda hanya dengan alasan usia
anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran. Tes pendengaran secara obyektif dibidang
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum : 1. Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik
(TIU) mampu menguasai kompetensinya pada penyebab
gangguan dengar pada bayi dan anak
Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah menyelesaikan modul ini, maka peserta didik mampu :
(TIK) 2. Memahami definisi dan etiologi gangguan dengar pada
bayi dan anak
3. Mengetahui penyebab dan factor resiko gangguan
pendengar pada bayi dan anak
4. Mengetahui jenis gangguan pendengaran pada bayi dan
anak
5. Mengetahui metode skrining gangguan dengar pada
bayi dan anak
6. Mengetahui penatalaksanaan gangguan dengar pada
bayi dan anak
7. Mengetahui guideline yang sesuai untuk melakukan
skrining gangguan dengar pada bayi dan anak
DEFINISI
Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan pendengaran sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang
bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Di negara maju program skrining pendengaran
sudah dimulai sejak bayi berusia 2 hari atau sebelum keluar dari rumah sakit. Program ini dilanjutkan
dengan pemeriksaa pendengaran ulangan pada usia 1 bulan. Untuk bayi yang tidak lulus skrining harus
melakukan pemeriksaan ulang pada usia 3 bulan. Gangguan pendengaran pada bayi sudah harus
dipastikan pada usia 3 bulan, sehingga bila diketahui bayi mengalami ketulian, upaya habilitasi sudah
dapat dimulai pada saat usia 6 bulan.Dengan memastikan ketulian pada usia 3 bulan dan memberikan
habilitasi yang memadai diharapkan pada usia 36 bulan perkembangan wicara anak yang mengalami
ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak yang pendengarannya normal. Di Indonesia beberapa
ETIOLOGI
Proses belajar emndengar pada bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek
tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Pada sisi lain
pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini
mungkin. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak anak kadang disertai keterbelakangan mental,
gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami
gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed
speech). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf).
1
FAKTOR RESIKO
Berdasarkan penelitian pada bayi yang tuli sejak lahir terdapat sejumlah faktor risiko yang berperan.
Faktor faktor risiko yang mungkin menyebabkan gangguan pendengaran adalah :
1. Lahir belum cukup bulan (prematur).
2. Pernah dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
3. Pada saat hamil, ibu mengalami infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus, Herpes)
4. Kadar bilirubin darah yang tinggi (hiperbilirubinemia), sehingga membutuhkan transfusi tukar.
5. Terdapat kelainan anatomi pada wajah
6. Pernah mendapat obat yang bersifat meracuni pendengaran (ototoksik)
7. Di dalam keluarga terdapat penderita tuli sejak lahir
8. Mengalami infeksi selaput otak (meningitis)
ANAMNESIS
Respon Anak terhadap Rangsang Suara
Informasi dari orang tua melalui anamnesa yang cermat mengenai respons anak terhadap rangsang suara
dilingkungan sehari-hari dirumah dan kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata-kata anak sangat
membantu menilai masalah gangguan pendengaran dan perkembangan bicara-bahasa pada anak.
1. Usia 0-4 bulan. Apakah bayi kaget kalau mendengar suara yang sangat keras ? Apakah bayi yang
sedang tidur terbangun kalau mendengar suara keras?
2. Usia 4-7 bulan. usia 4 bulan apakah anak mulai mampu menoleh kearah datangnya suara diluar
lapangan pandang mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7 bulan, sebelum usia 7 bulan
apakah anak mampu menoleh langsung ke arah sumber suara diluar lapangan pandang mata?
3. Usia 7-9 bulan. Apakah anak mampu mengeluarkan suara dengan nada yang naik –turun atau
monoton saja?
4. Usia 9-13 bulan. Apakah anak menoleh bila ada suara dibelakangnya? Apakah anak mampu
menirukan beberapa jenis suara? Apakah anak sudah mampu mengucapkan suara konsonan seperti
‘beh’, ‘geh’ , ‘deh’, ‘ma’
5. Usia 13-24 bulan. Apakah dia mendengar bila namanya dipanggil dari ruangan lain? Apakah anak
memberikan respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang kepada anda? Kata-kata apa saja yang
mampu diucapkan? Apakah kwalitas suara dan cara pengucapannya normal?
Informasi dari orang tua mengenai respons anak terhadap suara dan kemampuan berbicara disertai dengan
penilaian kualitas vokalisasi dan bicara pada saat anak datang di rumah sakit dapat di perkirakan derajat
dan onset gangguan pendengaran anak. Suara anak yang melengking tinggi tanpa bisa mengontrol
kekerasan suara dan hanya mampu mengeluarkan suara huruf hidup, kemungkinan anak mengalami
gangguan pendengaran derajad berat sejak dilahirkan. Apabila kualitas suaranya lebih baik kemungkinan
Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi tes yang subyektif berdasarkan
Skrining pendengaran bayi baru lahir, Di beberapa rumah sakit sudah termasuk skrining yang rutin,
mengingat :
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal.
Adanya periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara, yang dimulai dalam 6 bulan
pertama Kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun.
Bayi yang mempunyai gangguan pendengaran bawaan atau didapat yang segera diintervensi
sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal
dibandingkan bayi yang baru diintervensi setelah berusia 6 bulan.
TATALAKSANA
Habilitasi Gangguan pendengaran terdeteksi setelah menjalani seluruh pemeriksaan fungsi pendengaran
maka penanganan segera adalah pemberian ABD (Alat Bantu Dengar). American Joint Committee on
Infant Hearing 2007 merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan.
Habilitasi yang optimal dimulai sebelum usia 6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak
yang mengalami ketulian dapat mendekati kemampuan wicara anak normal. Pemasangan ABD tidak
selamanya dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran, apabila gangguan pendengarannya berat
atau sangat berat di kedua telinga 9–11 perlu diatasi dengan pemasangan implan koklea.
Habilitasi pendengaran berupaya memberikan impuls auditori dan memaksimalkan plastisitas neural
auditori agar tercapai pematangan pendengaran. Habilitasi pendengaran bergantung pada kebutuhan
masing-masing anak dan beberapa faktor, antara lain usia anak, onset kurang dengar, usia saat kurang
dengar terdiagnosis, derajat kurang dengar, jenis kurang dengar, dan usia saat alat bantu dengar pertama
digunakan. Habilitasi pendengaran pada anak berpedoman pada cara komunikasi yang digunakan dalam
keluarga. Proses habilitasi membutuhkan kerjasama dari beberapa disiplin antara lain dokter spesialis
THT, Audiologist, spesialis Anak, spesialis rehabilitasi medik, Ahli terapi wicara, 11,12 Psikologi anak,
guru khusus dan keluarga.
Penggunaan ABD atau implant selanjutnya diperlukan evaluasi pendengaran dengan metode AVT
(Auditory Verbal Therapy) yaitu terapi mendengar dan terapi wicara sehingga dapat mendeteksi suara dan
13 selanjutnya dapat berkomunikasi.
AVT adalah pendekatan paling populer untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak dengan
KEPUSTAKAAN
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UI.
Dalam: Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015. h. 30-35
2. Brennan–Jones CG, White J, Rush RW, Law J. Auditory-verbal therapy for promoting spoken
language development in children with permanent hearing impairments (Review). Cochrane Database
of Systematic Reviews. 2014(3): Art. No.: CD010100. DOI: 10.1002/14651858.CD010100.pub2.
3. Madell JR, Flexer C. Colaborative team management of children with hearing loss. In: Madell JR,
Flexer C. Pediatic Audiology. Diagnosis, Technology, and Management. New York, Stuttgart
4. Sperando D. Hearing rehabilitation with AVT. In Seminar and Workshop. Jakarta 2017
5. Hogan S, Stokes J, Weller I. Language outcomes for children of low-income families enrolled in
auditory verbal therapy. De a fne s s and educ a tion int e rna tiona l journa l. 2010;12(4):204–16.