Askep Trauma Capitis
Askep Trauma Capitis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak berarti bahwa resiko
tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak kecelakaan yang terjadi sebagai akibat
dari aktivitas sehari-hari. salah satu trauma yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah
resiko cedera kepala, karena sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang berada di
rongga kepala.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi yang diakibatkan sebagai
akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing individu. Dari semua kasus cedera kepala di
Amerika Serikat 49% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (sepeda motor) dan jatuh
merupakan penyebab ke dua (keperawatan kritis, Hudak & Gallo) serta dua kali lebih besar pada
pria dibandingkan wanita sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang menunjukkan
presentasi kematian yang diakibatkan oleh cedera kepala, tetapi dari pengamatan yang dilakukan
banyak kasus cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas sehingga masyarakat
tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma di kepala bisa
mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan kematian.
Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi penyuluhan-penyuluhan
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala.
Peran dari berbagai pihak seperti kepolisian sangat penting karena kecelakaan terjadi biasanya
didahului dengan pelanggaran lalu lintas, sehingga pendidikan, tata tertibdi jalan raya perlu
ditingkatkan.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan trauma kepala karena
perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi untuk menurunkan angka
kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Agar lebih memahami secara mendalam tentang trauma kapitis sehingga dapat memberi
perawatan yang akurat pada pasien.
2. Memperoleh pengalaman nyata dan menghubungkan dengan teori yang telah didapat.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan :
1. Studi kepustakaan dengan mempelajari literatur yang berhubungan dengan Trauma Kapitis.
2. Studi kasus yaitu dengan pengamatan langsung pada pasien trauma kapitis.
D. Sistematika Penulisan
Terdiri dari 5 bab yang diawali dengan kata pengantar dan daftar isi. Dalam Bab I memuat latar
belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang tujuan teoritis; konsep
medik meliputo definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, test diagnostik, terapi dan
pengelolaan medik serta komplikasi. Sedangkan konsep asuhan keperawatan : pengkajian,
diagnosa perawatan, perencanaan keperawatan dan perencanaan pulang. Bagian akhir bab II
berisi tentang patoflowdiagram. Bab III pengamatan kasus, memuat tentang kasus yang diamati
di lapangan dan pengkajian sampai evaluasi termasuk nilai laboratorium dan obat-obatan yang
diberikan. Bab IV pembahasan kasus menghubungkan antara teori dan kasus yang diamati. Bab
V berisi kesimpulan setelah mengamati pasien dilapangn dan teori. Bagian akhir dilampirkan
daftar pustaka yang menjadi referansi dalam penyususnan makalah ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
3. Piamater
4. Membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak dan
meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan pembuluh darah.
Otak merupakan organ kompleks yang dominasi cerebrum. Otak merupakan struktur kembar
yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium.
Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum
berkaitan dengan sisi kiri tubuh.
Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :
1. Cerebrum (otak besar)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada bagian luar
dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada prinsipnya
komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi kortex serebri,
nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari sel-sel syaraf yang menghubungkan
bagian–bagian otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (telesefalon) tensi jaringan SSP.
Area inilah yang mengontrol fungsi motorik tertinggi yaitu terhadap fungsi individu dan
intelegensia.
2. Batang otak (trunkus serebri), terdiri dari :
• Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan mesensepalon.
Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (mengecilkan pembuluh darah), respiratory
(membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan membantu pekerjaan jantung.
• Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata,
memutar mata dan pusat pergerakan mata.
• Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga medula oblongata
dengan serebellum pusat saraf nervus trigeminus.
• Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol
pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol kegiatan
refleks.
• Serebelum
Terletak dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda
yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum.
Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat
refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tenus-tenus
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
• Diensefalon
Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan membentuk inti
bagian dalam serebrum. Diensefalon memproses rangsang sensorik dan membantu memulai atau
memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut.
Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu :
a. Talamus
Berfungsi sebagai pusat sensorik primitif (dapat merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar dan
suhu yang ekstrim secara samar-samar).
Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik oleh karena hubungan fungsinya terhadap
pusat motorik utama dalam korteks motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis.
b. Hipotalamus
Letak dibawah talamus
Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom
perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi.
Berperan penting dalam pengaturan hormon (hormon anti diuretik dan okstoksin disintesis
dalam nukleus yang terletak dalam hipotalamus).
Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu tubuh, fungsi endokrin dari tingkah laku
seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan atau kemarahan, lapar dan haus.
c. Subtalamus
Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum dapat dimengerti
sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut
hemibalismus.
d. Epitalamus
Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus berhubungan
dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa dorongan emosi dasar dan ingarasi
informasi olfaktorius.
III. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas/industri
b. Jatuh
c. Benturan benda tajam/ tumpul
d. Trauma pada saat kelahiran
e. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
IV. Patofisiologi
- Trauma kapitis menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Cedera
otak bisa berasal dari trauma langsung dan trauma tidak langsung pada kepala.
- Kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan
ke otak.
- Riwayat kerusakan yang disebabkan oleh beberapa hal tergantung pada kekuatan yang
menimpa.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras, bergerak,
dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan (counter coup) karena ada benturan keras ke otak maka bagian ini dapat merobek
dan mengoyak jaringan, kerusakan diperhebat bila ada rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling
keras mengalami kerusakan adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian
posterior lobus oksipitalis dan bagian atas mesencefalon.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat disebabkan oleh reaksi
jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat mempengaruhi
perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel. Peningkatan suplay darah ke tempat cedera dan
mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki kerusakan sel. Neuron dan sel-sel fungsional dalam otak
tergantung dari suplay nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan O2 dan sangat peka
terhadap cedera metabolik apabila suplay terhenti. Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat
kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah yang tersedia, menyebabkan iskemia
pada beberapa tempat tertentu dalam otak.
IX. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
a. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila kehilangan
lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
b. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam tulang
tengkorak.
c. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
d. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada fraktur
tulang tengkorak.
e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan
darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan
vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke
dalam alveolus.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.
• Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.
• Fraktur atau terlepasnya persendian.
• Gangguan penglihatan
• Kulit luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma)
• Keluarnya cairan dari telinga dan hidung
• Gangguan kesadaran
• Demam, perubahan suhu tubuh
b. Pola nutrisi metabolik
• Mual, muntah
• Sulit menelan
c. Pola eliminasi
• Inkontinensia atau retensi kandung kemih.
d. Pola aktivitas
• Keadaan aktivitas : lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase, kelemahan koordinasi
otot-otot kejang
• Keadaan pernapasan: apnea, hyperventilasi, suara napas stridor, rochi, wheezing.
e. Pola istirahat
• Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit kepala.
f. Pola persepsi sensori kognitif
• Kehilangan kesadaran sementara.
• Pusing, pingsan
• Mati rasa pada ekstremitas
• Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap reflek cahaya, perubahan pupil,
ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.
• Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera
• Perubahan dalam kesadaran, koma.
• Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan, konsentrasi).
• Wajah tidak simetris
• Tidak ada reflek tendon
• Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada salah satu anggota gerak
otot.
• Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.
• Kesulitan dalam memahami diri sendiri.
g. Pola persepsi dan konsep diri
• Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).
• Kecemasan, lekas marah, mengingau, gelisah, bingung.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus pariental,
kerusakan nervus olfakttorius.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.
d. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan dan kelemahan fisik.
e. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya proses berfikir,
ketidakmampuan fisik.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
i. Gangguan kognitif kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia
j. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma dan sakit kepala.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.
l. Perubahan pola eliminasi urine inkontinential atau retensi urine b.d terganggunya saraf kontrol
berkemih.
3. Perencanaan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK
• Terorientasi pada tempat, waktu dan respon
• Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
Intervensi:
• Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan sesak,
dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/: Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.
• Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi
peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
• Monitor suhu tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau
panas karena peningkatan metabolisme tubuh.
• Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK
• Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus parientalis,
kerusakan nervus olfaktorius.
Hasil yang diharapkan:
• Kesadaran pasien kembali normal
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Observasi keadaan umum serta TTV
R/: Mengetahui keadaan umum pasien.
• Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.
R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan pasien.
• Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya: parfum
R/: Melatih kepekaan nervus olfaktorius.
• Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa
R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang tunjukkan dengan tidak adanya
kontraktur.
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Lakukan latihan pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.
• Beri foodboard/penyangga kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas
• Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi
• Kolaborasi fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur
e. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
Hasil yang diharapkan:
• Tidak ada gangguan jalan napas
• Lendir dapat batukkan/sekret dapat keluar.
• Pernapasan teratur.
Intervensi:
• Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret
• Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental
• Anjurkan minum 2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan
• Beri posisi fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas
• Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses berpikir
Hasil yang diharapkan:
• Membuat pernyataan tentang body image
• Mengekspresikan penerimaan body image
• Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.
Intervensi:
• Kaji persamaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses berfikir dan
ketidakmampuan mobilitas fisik.
R/: Menentukan tindakan keperawatan yang tepat.
• Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan bod image
R/: Meningkatkan proses penerimaan diri.
• Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body image.
R/: Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image.
• Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa penerimaan diri.
R/: Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Hasil yang diharapkan:
• Berat badan normal
• Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.
• Terbebas dari malnutrisi.
Intervensi:
• Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya aspirasi
• Dengarkan suara peristaltik usus
R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya hiperperistaltik
kemungkinan adanya komplikasi ileus.
• Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi
• Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
R/: Meningkatkan nafsu makan.
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan kognitif.
Hasil yang diharapkan:
• Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.
• Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.
Intervensi:
• Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.
R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.
• Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.
R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah sembuh.
l. Perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia atau retensi urine b.d terganggunya saraf
kontrol.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mengontrol pengeluaran urine
Intervensi:
• Kaji pola berkemih
R/: Menentukan tindakan
• Catat intake dan output
R/: Mengetahui balance cairan
• Pasang kateter kondom
R/: Mencegah infeksi
4. Discharge Planning
a. Jelaskan pentingnya istirahat
b. Segera bawa ke rumah sakit bila ada keluhan
c. Minum obat secara teratur sesuai program medik
d. Libatkan keluarga dalam perawatan untuk cegah komplikasi.
Diposkan oleh Sulanty Balla"Ners" di 22.35
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Trauma Kapitis
Pengertian
“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan
merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera
kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari
100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent” (York, 2000). Sedangkan
menurut Brunner & Suddarth (2000), trauma capitis adalah “gangguan traumatic yang
menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak
mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan
otak”
Tipe-Tipe Trauma :
Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat
menyebabkan kerusakan struktur otak.
Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang
berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai
epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.
The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited
in Mansjoer, dkk, 2000: 4):
SKG 13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada
fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.
SKG 9-12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.
SKG 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.
Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca
trauma yang di bagi menjadi :
1. Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari
30 menit
2. Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai
24 jam atau adanya fraktur tengkorak
3. Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24
jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme,
keparahan dan morfologi cidera.
Keparahan cidera
Morfologi
v Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi
klasik, cidera difus.
1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit
kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi
intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di
sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak
tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur
terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
3. Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah
pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak.
Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang
mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.
4. Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu
yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan
sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan
komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang
perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja.
5. Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami
memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari,
pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit
dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
6. Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah
kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat
sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak
serta peningkatan TIK.
7. Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah
berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan
ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus
/rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada
otak.
8. Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan
dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural
dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena
dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera
kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub
akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal
meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat
terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
9. Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke
dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan
mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).
Etiologi
v Lokasi
v Kekuatan
v Rotasi
1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh :
akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan
tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama ( Hoffman, dkk,
1996):
Pemeriksaan Dianostik:
Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia
atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga
direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
· Berikan oksigenasi.
· Atasi shock
Penatalaksanaan lainnya:
1. dukungan ventilasi.
2. Pencegahan kejang.
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
4. Terapi anti konvulsan.
5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
6. Pemasangan selang nasogastrik.
Pengkajian Keperawatan
Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera
tambahan pada organ-organ vital.
Aktivitas/ Istirahat
Hemiparase, quadrepelgia
Integritas Ego
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
Eliminasi
Makanan/ cairan
Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus
kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tnda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor,
terdesak
Keamanan
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
Diagnosa Keperawatan
3 Votes
PENDAHULUAN(4)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di
lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di
ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan
secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat
pasien tiba di rumah sakit.
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (1)
SINONIM (1)
Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injury
PATOFISIOLOGI (1)
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak
berupa :
• Lesi bentur (Coup)
• Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak,
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
• Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending
Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun
sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke
batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik
hipotensi, hipoksemia dan asidosis
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang
berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih
perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional
atau diffus (vasogenik oedem serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian oedema
akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel
astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas
berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi
dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan
herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan
kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak.
Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas
mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang
rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan
vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-
mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral
dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen
motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral
Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO
minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra
Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus
mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi
(Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor,
sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik)
bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan
PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut
masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula
jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi
tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada
pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah
serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah
irreguler, melambat dan steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks
dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke
bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem
kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-
tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.
MONITORING KLINIS(1,5)
Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif perkembangan tingkat kesadaran
penderita per-jam dan per-hari secara ketat, dibuatlah suatu Skala Koma Glasgow (oleh Bryan
Jennett) yang menyangkut masalah buka mata, repons verbal dan respons motorik.
Pelaksanaannya sangat mudah sehingga bisa cepat di mengeti dan diterapkan oleh para perawat.
Jika pengamatan tingkat kesadaran penderita trauma kapitis tidak cukup lengkap atau hanya
dengan SKG, maka belumlah dapat menggambarkan keadaan neurologik penderita yang
sebenarnya.
Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai dengan :
1. Monitor fungsi batang otak
Besar dan reaksi pupil
Okulosefalik respons (Doll’s eye phenomen)
Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons
2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)
Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atas
Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan pons
Apneustic breathing : lesi di pons
Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata
3. Pemeriksaan fungsi motorik
Kekuatan otot
Refleks tendon, tonus otot
4. Pemeriksaan funduskopi
5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu EEG
Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang dilakukan pada semua kasus trauma
kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin
dilakukan.
SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5)
Nilai
Buka Mata Spontan 4
Atas perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Respons Verbal Orientasi baik 5
Bingung-bingung 4
Kata-kata ngawur 3
Kata-kata tak dimengerti 2
Tak ada reaksi 1
Respons Motorik Gerak turut perintah 6
Menghindari terhadap nyeri 5
Flexi withdrawal 4
Flexi abnormal 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
KLASIFIKASI(1,3,4)
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai pertimbangan dari berbagai
aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :
a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5. Fraktur kranii
tertutup b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%) 1. Hematoma intra kranial
yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio
serebri) 3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)
4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif
Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra yang membagi
klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Skala Koma Glasgow-nya yaitu :
Mild head injury SKG score : 13-15
Moderate head injury SKG score : 9-13
Severe head injury SKG score : < 8 Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam
maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih dalam dan
lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak
kerusakan otaknya. 1. KOMOSIO SEREBRI (1,2) (gegar otak, insiden : 80 %) Komosio serebri
yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan
kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi Benturan pada kepala
menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah
lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang
dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio
serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa
juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada
kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada
proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa
diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila
pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala -
tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa
beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini
menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post trumatic
amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan
trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde
amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh
lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari
sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk
bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke
korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian
besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih
sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan
dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar,
muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi
keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-
gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness,
sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan
memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif
(konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai
daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur
Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk
komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap
penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi
kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval
hematom. 2. KONTUSIO SEREBRI (1,2,3) (memar otak, insiden : 15-19 %) Kontusio serebri
yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil
nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan
gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas
jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20
menit
Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal
tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock
absorber yang baik terhadap trauma.
Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
2. LP bercampur darah
3. EEG abnormal
3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3)
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater. Insiden
terjadinya 1-3 %.
Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan yang di
atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas
2. fraktur kranii daerah oksipital
3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor
biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum pecah maka
prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang
2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih
4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3)
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid.
Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah
bergabung dengan likuor serebrospinal
Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-
sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada subdural
hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami perdarahan adalah
pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu
sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti sendir.
Klasifikasi :
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan gejala
subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau pada saat otopsi.
Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral.
Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
- CT-Scan
- LP berdarah
- Arteriografi karotis
- EEG abnormal
5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3)
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak,
sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun
multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat dilakukan.
Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan konservatif
dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.
Keterangan gambar :
1. epidural hematoma/subdural hematom
2. intra serebral hematoma
3. impresio/depressed fraktur
4. herniasi uncus
Jenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3)
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan gambaran
pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah dan menyempit pada
ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis
tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau jaringan
otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari tulang
sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal sutura tidak
melebihi 2 mm)
CT-Scan Otak(1)
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis mengenai
trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita secara tepat dilakukan
CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri, kontusio
jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.
Angiografi (1)
Sistem rapid serial film 10 film/detik
Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lain
Jenis angiografi :
- karotis (paling sering)
- vertebralis (jarang)
Cara melakukan dengan ;
1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)
2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada trauma kapitis
penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural hematomanya.
OEDEMA SEREBRI(1)
Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan intraseluler
maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik lokal atau pengaruh umum
yang merusak.
Jenis-jenis
1. Vasogenik oedema serebri
2. sitotoksik oedema serebri
3. osmotik oedema serebri
4. hidrostatik oedema serebri
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih dapat
dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor serebro
spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat
10-15 mmHg.
1. Vasogenik oedema serebri
Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran
endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak
dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang
mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel
kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema serebri.
Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
- trauma kapitis
- stroke
- iskhemia
- radang : meningitis, ensefalitis
- space occupying lesion : tumor otak
- malignant hipertensi
- konvulsi
2. Sitotoksik oedema serebri
Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas
membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak
Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
- neonatal asphyxia
- cardiac arrest
- zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal
3. Osmotik oedema serebri
Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari sistem
vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel masih
intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus :
- water intoksikasi
- hemodialisis yang terlalu cepat
4. Hidrostatik oedema serebri
Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal). Contohnya
pada hidrosefalus.
2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya :
Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
• membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran
• melindungi sel otak dari anoksia
• memperbaiki sistem sodium pump
• memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas
membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel otak
berkurang
Dosis :
• dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4 jam/hari dan
pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari)
• methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam kemudian
taffering off
Hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan. Banyak
kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.
3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
a. menurunkan metabolisme otak
b. menstabilkan membran sel
c. menurunkan aktivitas lysozim
d. menurunkan tekanan intra kranial
e. menurunkan pembentukan oedema otak
f. melindungi sel otak terhadap iskhemia
Dosis :
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB
kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg %.
Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan
hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.
4. Hipothermi
30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah.
Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan hanya
dalam 5 hari saja.
5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri diturunkan
dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood flow berkurang dan
akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.
PENATALAKSANAAN(4)
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal
(proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan
bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat:
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan
larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT- Scan
dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera
kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:
- Hematoma epidural
- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan
tindakan berikut ini :
- Elevasi kepala 30o
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6
jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
- Foto servika1jelas normal
- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala
korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
- Monitor tekanan darah
- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak
terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko
infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72
jam).
- Profflaksis trombosis vena dalam
- Profilaksis ulkus peptik
- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi
dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
- CT Scan lanjutan
PROGNOSIS(4)
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor
pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan
pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%.
Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada
banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004
4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics
With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000
Like this:
Like Loading...