Sir Ralf dahrendorf lahir di Hamburg, Jerman pada tahun 1929. ia mempelajari filsafat dan sastra di
Hamburg sebelum menjadi seorang sosiolog. Ralf Dahrendorf mempelajari sosiologi di London,
Inggris. Pada tahun 1967 ia menjadi anggota parlemen dan seorang menteri di Inggris. Pada tahun
1970 ia menjadi komisaris masyarakat Eropa. Pada tahun 1974-1984 ia menjadi direktur London
School of Economics. Sejak tahun 1987 di menjadi kepala di St. Anthony’s College, Oxford. Ralf
dahrendorf banyak menghabiskan kiprah keilmuannya di Inggris. Karya Dahrendorf yang cukup
monumental adalah Class and Class Conflict in industrial Society (1959), Society and Democracy
in Germany (1967), On britain (1982), dan The Modern Social Conflict (1989)1.
Dahrendorf tokoh yang cukup terkenal karena teori konfliknya, Dahrendorf menyerang teori
fungsionalisme struktural. Fungsionalis adalah sosiologi utopis, sebab teori ini merumuskan
masalah dengan penekanan pada konsensus, integrasi sosial, dan keseimbangan. Dahrendorf
menolak tekanan kaum fungsionalis pada integrasi nilai, dan konsensus, serta stabilitas karena berat
sebelah. Sebaliknya, dia berusaha untuk mendasarkan teorinya pada suatu perspektif Marxis yang
modern yang menerima meluasnya konflik sosial, Dahrendorf meyakini bahwa konflik melahirkan
sebuah perubahan sosial.
Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan komponen terpenting, dan
bukan kepemilikan alat produksi.2 Pada masa pra kapitalis memang alat produksi dimiliki dan
dikendalikan oleh pemilik modal, namun pada tahap post capitalist kepemilikan sah atas faktor
produksi dan kontrol pada alat produksi sudah dipisahkan. Pemilik modal diistilahkan dengan
pemegang saham, dan pemegang kontrol atas alat produksi dilakukan oleh para profesional yang
ahli dibidangnya.
1
Rachmad Dwi K. Susilo. 20 Tokoh Sosiologi modern. 2008. hal 312
2
Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi klasik dan Modern. Hal 183
Institusionalisasi
Institusionalisasi memiliki arti proses pelembagaan norma-norma dan nilai tertentu. Setiap anggota
memiliki tujuan tertentu ketika bergabung dalam sebuah kelompok. Kelompok kepentingan dibagi
menjadi 2 yaitu :
Dua kelompok diatas kemudian menimbulkan kelompok baru yang disebut dengan kelompok
kepentingan. Karena di dalam kelompok terdiri dari beberapa orang yang memiliki tujuan berbeda
dalam mewujudkan kepentingannya maka, timbul konflik di dalam tubuh kelompok kepentingan
tersebut. Konflik kepentingan terdiri dari 3 faktor yaitu :
Kondisi Politik
Dahrendorf menekankan tingkat kebebasan yang ada untuk pembentukan kelompok dan tindakan
kelompok. Dalam sistem demokrasi toleransi sangat dibutuhkan. Sebab setiap orang diberikan
kebebasan untuk mengejar tujuan dari kelompok yang dianutnya asal tidak bertentangan dengan
norma-norma hukum dan aturan yang berlaku.
Kondisi Teknis
Dahrendorf mendiskusikan munculnya pemimpin dan pembentukan ideologi. Keduanya dianggap
penting untuk pembentukan kelompok konflik dan tindakan kelompok konflik dan tindakan 3. Tidak
ada kelompok yang terjadi tanpa tindakan seorang pemimpin dan sebuah ideologi.
Kondisi Sosial
konflik akan muncul apabila terjadi interaksi sosial. Konflik tidak akan muncul pada 2
komunitas/asosiasi yang tidak pernah berinteraksi sebelumnya.
Tiga faktor diatas sangat penting dalam pembentukan kelompok-kelompok konflik. Apabila salah
satu elemen tidak ada maka tidak akan terbentuk kelompok konflik. Komunikasi yang terjadi antar
aggota dalam kelompok juga mencerminkan perbedaan dalam solidaritas internal dari kelompok
kelompok konflik itu.
Dahrendorf menunjukkan pola “pluralistik” dimana ada suatu tingkat pergantian posisi individu
yang jauh lebih kecil dalam satu organisasi dibandingkan dengan organisasi lainnya. Artinya,
individu mungkin rendah posisinya dalam satu asosiasi dan tinggi pada asosiasi lainnya4.
Dahrendorf mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat konsistensi, semakin besar pula
kemungkinan bahwa kesadaran kelas berkembang dan tindakan kelas dijalankan.
Seperti halnya para fungsionalis, para teoretisi konflik berorientasi pada perubahan struktur dan
institusi sosial. Pada dasarnya, teori ini tidak lebih dari sekedar serangkaian pernyataan yang sering
kali menentang secara langsung pendapat-pendapat fungsionalis. Antitesis ini terdapat pada karya
Ralf Dahrendorf (1958,1959) yang mempertentangkan ciri-ciri teori konflik dan teori fungsional.
3
Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi klasik dan Modern. Hal:83
4
Ibid, Hal:188
Bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik, masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan.
Apapun tatanan yang tumbuh di masyarakat merupakan hasil dari tekanan yang diberikan oleh
segelintir orang. Segelintir orang yang memaksakan dan memberikan tekanan adalah para penguasa
yang menggunakan peran mereka guna memelihara tatanan di dalam masyarakat. Pertentangan dan
konflik terjadi pada setiap sistem sosial. Banyak dari anggota masyarakat yang justru berperan
dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan sosial. Misal; Presiden dan para anggota parlemen
membuat sebuah kebijakan menaikkan harga BBM untuk mengurangi dana subsidi pemerintah
pada BBM. Kebijakan dari pemerintah ini, menimbulkan reaksi dari masyarakat. mereka
mengadakan demonstrasi agar harga BBM diturunkan lagi.
Wajah Masyarakat
Dahrendorf (1959,1968) mencetuskan bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan
konsensus. Maka, teori sosiologi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : teori konflik dan teori konsensus.
Teori konsensus menelaah mengenai integrasi nilai di tengah masyarakat, sedangkan teori konflik,
menelaah mengenai konflik kepentingan dan koersi yang menyatukan masyarakat di bawah
tekanan-tekanan tersebut.
Menurut Dahrendorf, tidak ada masyarakat yang tidak berkonflik dan tidak berkonsensus. Sebab
konflik dan konsensus merupakan syarat terjadinya suatu masyarakat. Jadi dapat ditarik kesimpulan
bahwa tidak mungkin terjadi konflik tanpa konsensus. Misal; para siswa SD tidak mungkin
berkonflik dengan para pemain sepak bola. Karena, mereka tidak pernah melakukan konsensus
sebelumya.
Sebaliknya, konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Contoh: pada sebuah musyawarah
terjadi perbedaan pendapat antara partisipan musyawarah. Mereka saling memaksakan kehendak
masing-masing sehingga menimbulkan konflik. Kemudian, pendapat dari masing-masing pihak
dilebur menjadi satu dan diambil kesimpulannya. Hasil kesimpulan tersebut merupakan konsensus.
5
Ibid, Hal:189
Digabungkannya kepentingan kelas subordinat dalam kebijakan kelas yang berkuasa disini, tujuan
dan kepentingan dari setiap individu dilebur dan diolah menjadi sebuah kebijaksanaan yang baru
seperti yang diterapkan oleh kaum yang berkuasa. Apabila tipe ini digunakan secara maksimal
maka, perubahan pada seluruh posisi dominasi akan terjadi.
Dahrendorf percaya bahwa otoritas dan kekuasaan muncul di dalam suatu struktur sosial karena
struktur yang baru, yang merupakan hasil dari proses perubahan sosial dilembagakan dan mulai
diikuti oleh seluruh personel di dalamnya. Otoritas muncul karena adanya posisi. Hendaknya orang
yang memiliki otoritas mengatur orang yang berada didalamya.
Dahrendorf dalam suatu perkumpulan bersifat bersifat dialektik. Di dalam masyarakat . Dalam
suatu kelompok yang berseteru adalah kelompok yang berada di bawah dan kelompok yang
memimpinnya. Konflik ini muncul akibat perbedaan tujuan. Kelompok yang diatas ingin
mempertahankan status quo terhadap kelompok dibawahnya. Sedangkan kelompok yang dibawah
menuntut adanya sebuah perubahan.