EX LABORATORIUM KEMAJIRAN
Oleh :
INTAN NURCAHYA, S.KH
NIM 062013143004
Kelompok 4C
A. Definisi
Repeat breeder adalah sebuah kondisi pada sapi betina usia produktif yang
tidak terjadi kebuntingan setelah dilakukan perkawinan baik secara alam maupun
inseminasi buatan lebih dari tiga kali dengan pejantan unggul atau semen dengan
kualitas baik tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat
reproduksi (Amridis et al., 2009 dalam Siregar dkk, 2016). Kasus repeat breeding
ditemukan sekitar 5,5-33,3% di seluruh dunia (Yusuf et al., 2010 dalam Siregar dkk,
2016).
B. Anamnesa
Apakah sapi yang dilakukan inseminasi pada waktu yang sama atau inseminator yang
C. Etiologi
yang dimiliki oleh inseminator, Pendidikan inseminator, waktu inseminasi yang tidak
tepat atau penggunaan semen yang tidak berkualitas. Factor ternak seperti kerusakan
alat-alat reproduksi karena penyakit, kelainan fungsi hormonal dan kelainan bentuk
1988 dalam Ningrum dkk, 2020). Faktor peternak seperti manajemen pemeliharaan
seperti kurangnya pakan yang diberikan (sejak pedet/anak sampai dewasa),
rutin seperti pengecekan keadaan ternak apabila ternak mengalami penurunan nafsu
makan, terdapat luka dan gangguan abnormalitas para fisik yang kurang terjaga,
sanitasi kandang yang dilakukan sesekali dalam kurun waktu tertentu, serta
keterlambatan pelaporan mengenai adanya gejala birahi (Windig et al., 2005 dalam
kematian embrio dini. Kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini secara umum
disebabkan oleh (1) gangguan hormonal, (2) infeksi, (3) lingkungan, (4) nutrisi, serta
D. Gejala Klinis
1. Calving interval yang panjang yaitu mencapai 18-24 bulan. Calving interval yang
normal berkisar 12 bulan atau 365 hari. Calbing interval adalah waktu antara
2. Conception rate atau angka kebuntingan yang rendah yaitu ˂40%. Conception rate
normal yaitu antara 65-75%.conception rate adalah perhitungan jumlah sapi betina
3. Angka kebuntingan per kebuntingan yang tinggi yaitu ˃3. Angka kebuntingan per
kebuntingan pada sapi normal yaitu 1,65. S/C adalah penilaian atau perhitungan
kebuntingan. Semakin rendah nilai S/C berarti semakin tinggi kesuburan betina
1. Kekurangan Nutrisi
Kekurangan nutrisi menyebabkan BCS rendah. Pada sapi perah dengan BCS
rebdah diikuti dengan nilai S/C yang tinggi (Pisatra et al, 2019). Kekurang nutrisi
Perilaku birahi lebih intens pada sapi perah repeat breeder, namun proestrus lebih
penyebab utama ketidaksuburan pada repeat breeding. Hal ini berhubungan dengan
profil ekspresi gen yang berubah dan penurunan jumlah Salinan DNA mitokondria,
kegagalan perkembangan embrio yang diakhiri dengan kematian embrio dini dan
kegagalan kebuntingan.
2. Faktor Infeksi
masuk ke dalam peredaran darah seperti ternak mengalami radang kuku, ambing,
3. Faktor Lingkungan
Factor lingkungan yang sering menimbulkan kematian embrio adalah
peningkatan suhu lingkungan dikenal sebagai stress panas yang dapat menyebabkan
4. Faktor Hormonal
sapi, produksi hormone progesterone oleh korpus luteum diperlukan selama delapan
bulan agar kebuntingan dapat berjalan sampai saat kelahiran. Penurunan kemampuan
embrio.
5. Umur Ternak
sempurna. Hal tersebut disebabkan karena nutrisi yang masuk di dalam tubuh ternak
yang belum dewasa akan digunakan untuk fungsi pokok terlebih dahulu yaitu untuk
nutrisi untuk pertumbuhan tubuh. Selain itu, kinerja organ reproduksi untuk
6. Faktor Genetik
bersifat jelek yang dimiliki pejantan atau induk akan lebih sering muncul pada
turunannya. Sebelum terjadi proses implantasi, embrio lebih mudah terkena pengaruh
7. Faktor Kekebalan
Setelah proses pembuahan, terjadi reaksi antigen antibody dalam tubuh induk
yang berasal dari sel mani dan sel telur. Jika mekanisme tidak berjalan dengan baik,
antara unsur kekebalan yang berasal dari induk dengan embrio dapat menyebabkan
8. Faktor Laktasi
progesterone terhadap kehidupan embrio, stress menyusui atau produksi susu yang
tinggi menyebabkan ebrio dalam uterus tidak cukup memperoleh makanan untuk
proses perkembangan.
9. Faktor Pakan
leguminosa seperti daun lamtoro yang mengandung mimosin, bila termakan induk
hewan yang sedang bunting secara berlebihna dapat berpengaruh pada metabolisme
Rumput liar yang diduga mengandung Nitrat (KNO 3), bila dimakan induk yang
kesuburan sel mani yang mendorong terjadinya kematian embrio. Air mani yang
disimpan dalam bahan pengencer pada suhu dingin selama 3-7 hari dapat
Jumlah fetus atau embrio yang dapat ditampung dalam rongga uterus, sudah
ditentukan secara genetis. Pada hewan monopara hanya dapat menampung satu
embrio atau fetus sedangkan pada hewan multipara dapat mengandung lebih dari satu
fetus.
F. Diagnosa
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan Khusus
cairan uterus yang diambil dari hewan yang diduga terinfeksi (Aghamin et al.,
2020).
G. Prognosa
H. Pengobatan
1. Pada kelainan anatomi organ reproduksi seperti masalah pada serviks, adesi
ovarobursal, fribrous tuba falopi dan adesi uteri sangat sulit dilakukan terapi. Cara
untuk mengatasi hal tersebut bisa dengan meningkatkan dosis inseminasi buatan
2. Pada repeat breeder akibat prolonged estrus dapat dengan menggunakan dosis
tunggal inseminasi buatan yang bersamaan dengan pemberian GnRH secara IM.
et al., 2017).
0,1% lugol’s iodine dan flushing pada endometrium (Singh et al., 2017).
I. Pencegahan
inseminasi buatan.
3. Pemberian pakan yang baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga ternak
kelamin.
5. Melakukan seleksi dan memilih straw yang berisi semen dari pejantan unggul dan
semen dilakukan penanganan dengan benar sehingga tidak terjadi kelemahan pada
melakukan inseminasi buatan disertai dengan deteksi birahi dengan benar dan
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Singh, M., A. Sharma, dan P. Kumar. 2017. Repeat Breeding and Its Treatment in iary Cattle
of Himachal Pradesh (India)- a Review. Indian J. of Animal Reproduction. 38(2):
1-4.
Siregar, T.N., A. Iin, M. Agustina, M. Dian, A. Al., Dasrul, T. Cut Nila, S. Rusli dan D.
Razali. 2017. Physical Properties of Cervical Mucus of Repeat Breeder Aceh
Cattle. J. Vet. 18(3):378-382.
Ningrum, L.A., H. Madi, S. Suharyati dan Siswanto. 2020. Repeat Breeder pada Sapi Krui di
Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat. J. Riset dan Inovasi
Peternakan. 4(3):126-133.
Susilowati, S., Wurlina, M. Sri, U. Suzanita, dan M. Dewa Ketut. 2020. Pemberian Silase,
Complete feed, dan Growth Promotor pada Sapi Perah Kawin Berulang terhadap
Service per Conception dan Produksi Susu. Ovozoa. 9(2): 28-34.
Ramadhanty, D., M. Yusuf, A.L. Toleng, D.P. Raharja, Sahiruddin, M.Mansur dan A.
Fausiah. 2020. The Effect of Heatsynch Protocol on Repeat Breeding Dairy Cows.
The 2nd International Conference of Animal Science Technology.
2. Prolapsus Uteri
A. Definisi
Prolapsus uteri adalah suatu kejadian dimana uterus keluar melewati vagina dan
pengeluarna fetus dan kotiledon fetus terpisah dari karunkula induk (Wardhani,
B. Anamnesa
C. Etiologi
Prolapsus uteri terjadi akibat ukurna fetus yang terlalu besar (relative maupun
absolut) dan cairan amnion sudah hamper habis sehingga uterus seolah melekat pada
fetus. Kondisi lantai kandang yang terlalu miring kebelakang. Factor predisposisi
yang dapat menyebabkan prolapsus uteri pada sapi yaitu hypocalcemia, distokia
berkepanjangan, besarnya fetus, penyakit kronis dan paresis (Parmer et al., 2016
berlebihan selama persalinan atau adanya tekanan berlebihan pada saat menarik fetus
keluar. Kurangnya nutrisi selama kebuntingan juga dapat menjadi factor terjadinya
prolapsus uteri. Selain itu, pertautan mesometrial yang Panjang, uterus yang lemah,
dan relaksasi daerah pelvis yang berlebihan juga dapat menyebabkan prolapsus uteri.
D. Gejala Klinis
Hewan berbaring ataupun berdiri dengan uterus yang menggantung pada vulva,
E. Patogenesis
Prolapsus uteri yang disebabkan karena ukuran fetus yang besar dapat
kandang yang terlalu miring kebelakang juga dapat menyebabkan prolapsus uteri
karena tekanan atau kontraksi saat proses kelahiran terlalu kuat, maka menyebabkan
terjadinya konstipasi sehingga ternak merejan terus – meneris dan berakibat terjadinya
prolapsus uteri.
sekundinarum karena berat sekundinae yang menggantung di luar tubuh, apalagi saat
masih ada tekanan dinding perut yang kuat sehingga uterus keluar dalam keadaan
membalik.
F. Diagnosis
yang menggantung pada vulva dengan mukosanya yang berada di luar disertai
G. Prognosis
uterus sudah berwarna coklat dan tidak mengkilap serta adanya luka atau
sepsis.
H. Pertolongan
anestesi epidural untuk mengurangi kontraksi dari induk sehingga memudahkan untuk
melakukan reposisi serta mencuci uterus yang keluar dengan menggunakan air hangat
ditambah larutan desinfektan (Betadine®). Saat proses reposisi uterus ditaburi dengan
gula. Gula bersifat hipertonis sehingga menarik cairan yang terdapat dalam uterus
yang mengalami oedematus sehingga mudah saat akan dimasukkan kembali kedalam
rongga abdomen. Lalu melakukan reposisi dengan menyanggah uterus sejajar dengan
vulva dan uterus didorong dengan lembut melalui vagina sampai masuk kedalam
(Colibact®) dimasukkan kedalam uterus. Labia dijahit dengan jahitan Flessa atau
Buhner.
secara IM. Vitamin A berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Vitamin D
mengurangi nyeri, dan antispasmodic untuk mengurangi kontraksi, obat ini dapat
diberikan jika suhu tubuh tidak subthermal. Pemberian Biosan ATP 20 ml yang
dicampurkan dalam air minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama
proses partus dan prolapsus uteri. Pada luka setelah penjahitan vulva disemprot
I. Pencegahan
2. Konstruksi kandang yang baik dengan bagian belakang tidak terlalu miring.
3. Melakukan exercise.
4. Sapi tidak dilakukan inseminasi buatan dengan semen ras yang ukuran badan
Asri, A. 2017. Penanganan Kasus Prolapsus Uteri pada Sapi Limousin di Kecamatan Maiwa
Kabupaten Enrekang. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran. Universitas Hassanudin.
Lutfi, M dan Y. Widyaningrum. 2017. Tingkat Kejadian Gangguan Reproduksi Sapi Bali dan
Madura pada Sistem Pemeliharaan Kandang Kelompok. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Mustofa, I., U. Suzanita, I.R. Tjuk, M. Sri, dan D.L Tita. 2019. Ilmu Kebidanan Hewan.
Universitas Airlangga.
Rahayu, S. 2017. Penanganan Kasus Prolapsus Uteri pada Sapi Brahman Cross. Tugas Akhir.
Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin