IndeksKekeringanHidrologi WaluyoFull Paper7Jan2015pm
IndeksKekeringanHidrologi WaluyoFull Paper7Jan2015pm
ABSTRAK
Kekeringan disebabkan oleh kurangnya curah hujan dari kondisi normal,
dinamakan sebagai kekeringan meteorologi, yang jika berlangsung cukup lama
akan menyebabkan kekeringan hidrologi, yaitu mengeringnya debit sungai dan
menurunnya muka air danau dan air tanah. Untuk dapat menentukan awal, akhir,
dan tingkat keparahan kekeringan maka digunakan indeks kekeringan. Salah satu
jenis indeks kekeringan hidrologi (IKH) yang populer adalah Standardized Runoff
Index (SRI), serupa dengan indeks kekeringan meteorologi Standardized
Precipitation Index (SPI), dimana data asli dihitung rerata berjalan, transformasi
distribusi statistik, dan dengan Theory of Run dipotong pada suatu ambang,
sehingga bagian yang berada di bawah ambang adalah tingkat kekeringan.
Penelitian ini mengkaji kinerja IKH SRI dengan berbagai kombinasi parameter,
yaitu: 1) rerata berjalan untuk 1, 3, 6 dan 12 bulan; 2) distribusi statistik Normal,
Log-Normal dan Gamma, serta 3) ambang potong debit rata-rata dan debit
andalan Q80% secara tetap dan bulanan. Kinerja IKH dinyatakan dengan besarnya
korelasi indeks kekeringan terhadap data luas sawah terkena kekeringan. Lokasi
penelitian adalah pada bendung irigasi di Wilayah Sungai Pemali-Comal, yaitu
Bendung Notog dan Kramat, dengan menggunakan data debit sungai bulanan dari
tahun 2003 sampai dengan 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
kombinasi distribusi, dan ambang batas berkorelasi baik terhadap data dampak
kekeringan, menunjukkan semua kombinasi tersebut dapat digunakan sebagai
IKH. Korelasi tertinggi dicapai pada distribusi Log-Normal, ambang tetap debit
rata-rata, dan rerata berjalan 3 bulanan. Kombinasi parameter IKH ini disarankan
untuk digunakan dalam mengevaluasi dan memantau kondisi kekeringan di WS
Pemali-Comal. Dengan melengkapi analisis pada berbagai bendung irigasi di
Indonesia, maka pemantauan dan evaluasi kekeringan secara nasional akan dapat
diwujudkan untuk mitigasi bencana kekeringan.
Kata kunci: kekeringan, kekeringan hidrologi, indeks kekeringan hidrologi, luas
sawah terkena kekeringan, evaluasi kekeringan, pemantauan kekeringan, mitigasi,
Pemali-Comal
PENDAHULUAN
Kekeringan berbeda dengan bencana alam lainnya yang terlihat secara
jelas dan menakutkan. Kekeringan merayap, tidak jelas awal dan akhirnya.
Setelah musim hujan kita gembira dengan hari yang cerah, sampai waktu berlalu
dan kita sadari bahwa air sungai menyusut, air sumur menurun, tanaman mulai
layu, kekeringan telah terjadi. Untuk itu diperlukan adanya indeks kekeringan
yang memungkinkan untuk mendeteksi bilamana kekeringan mulai terjadi dan
kapan berakhirnya.
Kekeringan meteorologi adalah berkurangnya curah hujan dari kondisi
normal, sedangkan berkurangnya debit sungai dan menurunnya muka air danau
dan waduk merupakan kekeringan hidrologi. Indeks Kekeringan Meteorologi
(IKM) telah disepakati oleh masyarakat dunia, yaitu Standardized Precipitation
Index (SPI), sedangkan untuk kekeringan hidrologi belum ada indeks yang
seragam dan dianjurkan. Indeks Kekeringan Hidrologi (IKH) yang menyatakan
kondisi kekeringan di sungai akan lebih sesuai untuk infrastruktur sumber daya
air, termasuk bendung irigasi, dibandingkan dengan IKM yang hanya berdasarkan
curah hujan.
Permasalahannya adalah IKH yang bagaimana yang dapat menyatakan
kekeringan di bendung dengan baik? Salah satu jenis IKH yang populer adalah
Standardized Runoff Index (SRI), serupa dengan indeks kekeringan meteorologi
Standardized Precipitation Index (SPI), dimana data asli dihitung rerata berjalan,
transformasi distribusi statistik, dan dengan Theory of Run dipotong pada suatu
ambang, sehingga bagian yang berada di bawah ambang adalah tingkat
kekeringan.
KAJIAN PUSTAKA
Untuk dapat memberikan informasi mengenai durasi terjadinya
kekeringan, perlu didefinisikan awal dan akhir kejadian kekeringan, yang biasa
digunakan metode “theory of run” yang dikembangkan oleh Yevjevich (1967).
Indikator kekeringan seperti misalnya data runtut waktu hujan atau debit Xt
dipotong pada suatu ambang batas X0, yang dapat berupa nilai rata-rata, median,
atau persentil tertentu, atau angka lainnya yang dapat berupa angka tetap maupun
bervariasi menurut musim. Kekeringan didefinisikan sebagai kondisi bilamana
nilai indikator setelah dipotong berada di bawah garis ambang batas, atau dengan
lain perkataan jika nilainya negatif setelah dilakukan pemotongan. Selanjutnya
Theory of Run diterapkan pada data runtut waktu (time-series) indikator
kekeringan yang telah dipotong, sebagaimana disajikan pada Gambar 1 (Mishra
and Singh, 2010). Durasi kekeringan D (Duration) adalah panjang waktu antara
garis memotong X0 menjadi negatif sampai dengan memotong X0 menjadi positif.
Tingkat kekeringan M (magnitude) dari suatu kejadian kekeringan adalah jumlah
kumulatif defisit di bawah ambang batas X0. Sedangkan intensitas kekeringan I
(Intensity) adalah rata-rata penyimpangan dari X0, atau hasil bagi antara
keparahan dengan durasi.
I=M/D (1)
4.0
3.0
2.0
1.0
Indeks Kekeringan
waktu
0.0
2
-1.0 1
3
-2.0
-3.0
K.
Co
m al
al
om
K.C
K. Sir
K. C
o
angd
mal
KOTA TEGAL
mali
u
KOTA PEKALONGAN
sri
K. Pe
ang
K. Se
al
an
Bd. Asemseketek
m
K. B
Bd. Pesayangan
du
cab
Co
K. Rambut
K. Ciu
ngk a
ng
K.
Ca
K.
a
Sir
Bd. Sungapan
K.
rang
alu
K.
K. C
h
Bd. Cipero om al
Bd. Sukowati
K.
Bd. Krompeng
Am
Waduk Cacaban
PEMALANG
ba
Bd. Kaliwadas
gdu
BATANG
al
PEKALONGAN
K. Com
iran
TEGAL
t
Bd. Kejene
bu
BREBES
m
K. S
Ra
K. Gun
K.
Bd. Danawarih
Bd. Notog Bd. Mejagung
v
K. Sengk arang
K. Rambut
g
tun
Gin
K.
n nga
u
ay
Sr
K. Pe
K.
ng
Comal
K. Gintu
PURBALINGGA
25,000 BANJARNEGARA
WONOSOBO
CILACAP 20,000
BANYUMAS
15,000
Ha
10,000
5,000
0
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kab. Batang 0 0 1433 0 0 1426 40 0 225 0 0 0 0 204 70 4 0 210 0 3 0 0
Kab. Pekalongan 67 0 5650 0 26 5965 0 0 542 0 0 0 53 970 1956 66 49 446 220 817 409 55
Kab. Pemalang 0 0 6194 20 4 3017 0 0 313 0 2 142 0 716 2451 39 8 1415 2306 3463 525 0
Kab. Tegal 2 8 5133 0 9 4212 0 0 1242 0 480 235 847 1132 2246 169 537 2572 1469 1020 482 0
Kab. Brebes 60 34 518 2 0 5197 0 0 228 0 41 0 20 107 1672 44 170 724 233 693 151 0
Kesimpulan
Dari pengkajian Indeks Kekeringan Hidrologi (IKH) Standardized Runoff
Index (SRI) berdasarkan Theory of Run dengan berbagai variasi distribusi
statistik, dengan ambang tetap dan bulanan, pada nilai rata-rata dan debit andalan
80%. Semua variasi Indeks Kekeringan Hidrologi SRI ini konsisten dengan tahun
El-Nino 1991, 1994, 1997, 2002, 2003, 2006 dan 2008. Verifikasi terhadap data
luas sawah terkena kekeringan menunjukkan bahwa pada umumnya IKH yang
sesuai untuk WS Pemali-Comal adalah SRI dengan Ambang Batas Tetap Q50%,
berdistribusi Log-Normal, dengan rerata 3 bulanan.
Pada bendung irigasi dengan daerah tangkapan air yang luas, sebaiknya
digunakan rerata 3, 6, atau 12 bulanan. Sedangkan untuk daerah tangkapan air
yang kecil, rerata 1 dan 3 bulanan akan lebih sesuai. Transformasi distribusi
statistik yang digunakan sebaiknya mengikuti distribusi statistik dari data debit
yang dikaji. Dengan pemilihan kombinasi rerata dan distribusi ini, pada umumnya
semua jenis IKH berkorelasi cukup baik terhadap data luas sawah terkena
kekeringan, yaitu antara 75% sampai dengan 95%. Kinerja ini jauh lebih baik dari
indeks kekeringan meteorologi SPI yang hanya sampai 61%.
Saran
Disarankan untuk menerapkan perhitungan indeks kekeringan hidrologi
pada setiap bendung irigasi agar kondisi kekeringan pada infrastruktur sumber
daya air dapat diketahui secara tepat, sebagai bahan masukan penyelenggaraan
alokasi air. Untuk pengembangan lebih lanjut, dapat diteliti perilaku indeks
kekeringan hidrologi pada wilayah sungai lain di Indonesia. Selanjutnya perlu
diteliti kemungkinan prediksi indeks kekeringan hidrologi beberapa bulan
mendatang berdasarkan data prediksi indeks kekeringan meteorologi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adidarma, W. K., 2006. Pengembangan Model Pemantauan Gejala
Kekeringan di Indonesia, Disertasi Program Doktor Teknik Sipil
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
2. Adidarma, W. K., L. Martawati, Levina, dan O. Subrata 2011. Model
Monitoring Kekeringan dalam Kerangka Manajemen Bencana yang
Memberikan Informasi Secara Spasial dan Temporal. Jurnal teknik
Hidraulik, Vol. 2 No. 2, Desember 2011.
3. Adidarma, W. K., 2013. Trend Hujan di Musim Kemarau yang Berkurang
Belum Tentu Menimbulkan Intensitas Kekeringan yang Bertambah
Parah, Jurnal Sumber Daya Air, Vol. 9 No 2, November 2013
4. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2011. Rancangan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum tentang Neraca Air dan Penyelenggaraan Alokasi
Air, Kementerian Pekerjaan Umum
5. Edossa, Desalegn Chemeda, Mukand Singh Babel, and Ashim Das Gupta.
2010. “Drought analysis in the Awash river basin, Ethiopia.” Water
resources management: 1441-1460. doi:10.1007/s11269-009-9508-0.
http://www.springerlink.com/index/a463727w342148x4.pdf.
6. Levina, W. K. Adidarma, L. Martawati, dan W. Seizarwati, 2011. Analisis
Pemilihan Pos Hujan untuk Pemantauan Kekeringan di Wilayah Sungai
Pemali Comal, Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 2 No. 1, Juni 2011.
7. Mckee, Thomas B, Nolan J Doesken, and John Kleist. 1993. The relationship
of drought frequency and duration to time scales. In Eighth Conference
on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California, 17-
22.
8. Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh. 2010. “A review of drought concepts”
Journal of Hydrology 391 (1-2): 202-216. doi: 10.1016/
j.jhydrol.2010.07.012. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.07.012.
Diakses 01-10-2012
9. Shukla, S., & Wood, A. W. (2008). Use of a standardized runoff index for
characterizing hydrologic drought. Geophysical Research Letters,
35(2), L02405. doi:10.1029/2007GL032487. Diakses 01-10-2012
10. Yevjevich, Vujica. 1967. “An Objective Approach to Definitions and
Investigations of Continental Hydrologic Droughts” Hydrology Papers
Colorado State University Fort Collins, Colorado (August).