Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Agama, Pandemi
Sebuah Diskursus
Pasti
Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad
A.S. Laksana
Goenawan Mohamad
Taufiqurrahman
Tentang Scientist
Jamil Massa
KEPASTIAN SAINS
Dalam artikel “Paradigms lost” (Aeon,
2015), David Barash, ahli biologi
evolusioner, menyebut sains bukan
sekadar tubuh pengetahuan, namun
proses dinamis rekonfigurasi pengetahuan
yang terus berproses dan berubah.
Berdiam diri (istirahat) adalah satu hal
yang sains tidak akan lakukan. Terlebih
dalam situasi krisis kemanusiaan.
Memahami realitas melalui sains adalah
kerja yang terus berlangsung (work in
progress).
Progres yang tak bisa dihentikan untuk
memahami bagaimana dunia bekerja,
dengan terus meningkatkan akurasi dan
validitasnya. Siapapun yang memiliki
aspirasi untuk selalu well-informed perlu
mengetahui bukan hanya temuan-temuan
PENCARIAN KEBENARAN
Upaya “mencari kebenaran”, terinspirasi
pemikiran Popper, perlu dimulai dengan
membuat garis pemisah yang jelas antara
sikap subjektif dan objektif. Dengan
metode demarkasi sains vs pseudo-sains
dan falsifikasi. Dimulai dengan memilah
antara yang epistemik (bagaimana kita
tahu) dengan yang ontologis (realitas yang
ada).
Upaya mencari kebenaran bersifat
subjektif. Tidak ada pengetahuan
epistemik yang objektif. Termasuk sains
dengan metode ilmiahnya. Pengetahuan
epistemik adalah konstruksi manusia. Kita
menamai susunan atom, struktur kimia,
3 Juni 2020 | Lukas Luwarso | 129
organisme, spesies, hingga sistem planet
dan galaksi secara arbriter berbasis
konsensus (dalam hal ini konsensus
subjektif saintis dan ilmuwan).
Menafsirkan realitas ontologis adalah
upaya mencari makna hidup. Pencarian
makna lazimnya adalah wilayah agama,
spiritualitas, atau filsafat. Sains tidak
menyentuh pemaknaan, karena abstrak.
Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah
“apa makna kehidupan”, melainkan
“bagaimana membuat hidup lebih
bermakna”. Makna hidup pada akhirnya
harus dihadapkan atau didamaikan
dengan “hal-hal yang tidak
menyenangkan” dengan dunia. Misalnya
soal penderitaan, ketidak-adilan,
kejahatan, termasuk pandemi.
Manusia tidak perlu mencari kebenaran,
melainkan cukup bagaimana menjalani
hidup dengan benar. Kebenaran mungkin
tidak akan ditemukan, karena tidak jelas
lokus-nya. Namun manusia bisa
merumuskan hal-hal benar. Kebenaran
pada akhirnya adalah soal konsensus
manusia, seperti kebenaran moralitas,
Tanggapan Terhadap
Nirwan
Goenawan Mohamad
F. Budi Hardiman
Goenawan Mohamad
TENTANG HUSSERL
Taufiqurrahman menulis, bahwa ( ia
mungkin hendak membantah yang saya
sangka) fokus pandangan Husserl
“bukanlah krisis epistemologis yang terjadi
pada sains itu sendiri, melainkan krisis
kemanusiaan”.
Maka, kata Taufiq, untuk mengatasi krisis
kemanusiaan itu sains mesti mengubah
fondasinya: dari matematika ke
fenomenologi transendental. Sains
seharusnya tidak berangkat dari kalkulasi
matematis, tetapi dari pengalaman
langsung manusia dalam dunia
kehidupannya.
Kata Taufiqurrahman pula, tawaran itu
akan menyulitkan ilmuwan untuk bekerja.
4 Juni 2020 | Goenawan Mohamad | 211
Bagaimana cara ilmuwan untuk punya
pengalaman langsung tentang virus,
misalnya?
Catatan saya:
Kritik Husserl terhadap sains yang sejak
Galileo mempertaruhkan diri pada
kuantifikasi menyangkut erat dengan
persoalan bagaimana manusia
mengetahui dunia. Fisika ala Galielo
melihat alam sebagai semesta matematis.
Dengan kata lain, seperti dikatakan
Husserl, ini adalah “matematisasi alam”.
Di sini mau tak mau kita harus “melantur”
masuk ke dalam epistemologi, ke dalam
telaah bagaimana kita mengetahui alam.
Sejak Galileo, artinya sejak sains modern,
kita mengenal sesuatu (batu, bintang,
bangunan, badan, dan lain-lain) “hanya
dalam wujud yang terus menerus
dicocokkan dengan bentuk ideal
geometris yang berfungsi sebagai tonggak
pemandu”, untuk memakai kata-kata
Husserl.
Itu berarti matematika dan sains
matematis, (dalam kiasan yang disukai
TENTANG SAINTISME
Taufiqurrahman, dalam menyerang
pendapat Ulil, memakai pengertian Mario
Bunge tentang saintisme. Bagi Bunge, “the
thesis that all cognitive problems
concerning the world are best tackled
adopting the scientific approach, also called
‘the spirit of science’ and ‘the scientific
attitude’.”
Komentar saya:
Kata kunci dalam pengertian Bunge adalah
“best”. Dan itulah salahnya. Menganggap
pemakaian pendekatan sains sebagai yang
paling bagus dalam menghadapi semua
SAINS
Objek material sains atau ilmu alam adalah
dunia pengalaman empiris, sementara
objek formalnya adalah keterukuran
objek-objek empiris tersebut. Sains
meneliti alam dengan tujuan agar
fenomena-fenomena alam itu dapat
dikontrol, dijelaskan, dikendalikan, atau
diprediksi. Dan untuk itu, sains berusaha
mencari hukum-hukum yang dapat
menjelaskan fenomena-fenomena alam
yang diteliti.
Upaya mencari hukum tersebut dilakukan
melalui metode eksperimen, observasi,
percobaan, perumusan teori dan
pengujian kembali teori tersebut ke dunia
pengalaman empiris itu sendiri.
FILSAFAT
Bagaimana dengan filsafat?
Berbeda dari sains, filsafat tidak bersifat
empiris, tidak reduktif secara tematis dan
juga tidak abstrak secara metodologis.
Filsafat memang bertolak dari pengalaman
empiris, tapi ia justru menantang dan
melampaui pengalaman empiris. Filsafat
juga bertolak dari akal sehat tapi ia
bergerak melampau akal sehat.
Pengetahuan akal sehat adalah
pengetahuan yang kebenarannya kita
terima begitu saja, tanpa dibuktikan dan
tanpa dipertanyakan, berdasarkan
kebiasaan atau pengalaman sehari-hari.
Filsafat menyadari bahwa pengetahuan
akal sehat itu sering tidak sehat.
Objek material filsafat adalah keseluruhan
kenyataan, bukan hanya bagian tertentu
dari kenyataan, sebagaimana sains. Filsafat
mempertanyakan dan menjadikan apa saja
sebagai bahan refleksinya. Heidegger
berfilsafat tentang alat-alat. Hegel dan
KEMATIAN METAFISIKA?
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan
bahwa ternyata filsafat belum mati, dan
tidak mungkin mati. Sekalipun sains sudah
5 Juni 2020 | Fitzgerald Kennedy Sitorus | 246
sedemikian maju filsafat tetap memiliki
alasan untuk hidup. Sains tidak pernah
dapat menggantikan tugas dan fungsi
filsafat dan agama.
Hidup kita akan terlalu dangkal bila
semuanya dijelaskan dengan penjelasan
empiris-ilmiah. Naturalisme tidak pernah
dapat memuaskan manusia. Manusia
adalah mahluk yang selalu ingin tahu.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti di
atas akan selalu dilontarkan oleh manusia,
sehebat apapun kemajuan yang telah
dicapai oleh sains. Sains mungkin dapat
menjelaskan asal usul alam semesta
dengan teori Big Bang. Tapi siapa yang
dapat menghentikan akal budi manusia
untuk tidak bertanya: sebelum Big Bang
ada apa? Kalau sains memberikan jawaban
untuk itu, manusia juga akan bertanya:
sebelum itu ada apa?
Manusia tidak akan pernah berhenti
menciptakan sistem-sistem metafisika
yang membantunya memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ultim
menyangkut eksistensinya. Karena itu
Heidegger benar ketika ia mengatakan
5 Juni 2020 | Fitzgerald Kennedy Sitorus | 247
bahwa selama manusia merupakan animal
rationale, ia sekaligus merupakan animal
metaphysicum (as long as man remains the
animal rationale he is also the animal
metaphysicum). (The Way Back into the
Ground of Metaphysics, hal. 209).
Benar, Juergen Habermas dari Sekolah
Frankfurt berbicara mengenai
postmetafisika. Namun, yang dimaksud
Habermas dengan frase itu bukanlah
bahwa di masa depan tidak ada lagi
metafisika. Ciri metafisika menurut
Habermas adalah pemikiran identitas,
idealisme, paradigma filsafat kesadaran
dan prioritas teori atas praktik. Itulah yang
sudah berlalu menurut Habermas.
Postmetafisika dalam pengertian
Habermas adalah post-idealisme, post-
platonisme. Dengan kata lain, era sekarang
tidak lagi mengakui adanya kebenaran
tunggal, seperti Ide Plato, yang mesti
menjadi acuan bagi semua.
Metafisika, demikian Kant, adalah hakikat
manusia (Metaphysik als Naturanlage).
Mengapa? Jawaban atas pertanyaan ini
diberikan Kant pada kalimat pertama
5 Juni 2020 | Fitzgerald Kennedy Sitorus | 248
bukunya, Kritik der reinen Vernunft: karena
manusia selalu dibebani oleh pertanyaan-
pertanyaan yang tidak dapat dihindari tapi
yang sekaligus tidak dapat dijawab, karena
pertanyaan-pertanyaan itu telah
melampaui pikiran kognitifnya, dan untuk
itulah manusia menciptakan sistem-sistem
metafisika.
Saya pikir uraian di atas sudah cukup
memperlihatkan bahwa metafisika
merupakan keniscayaan eksistensial bagi
manusia itu sendiri.
KESIMPULAN
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu
bukan kelemahan, justru keterbatasan
itulah kekuatan sains. Dengan
keterbatasan itu, sains dapat melakukan
penelitian yang sedemikian mendalam
pada objek tertentu sehingga dengan
demikian kita memperoleh pengetahuan
yang mendalam mengenai objek tersebut.
Goethe pernah mengatakan, “Barang
siapa ingin menjadi besar, ia harus mampu
membatasi dirinya“. Pembatasan diri ini
bukan hanya terjadi pada sains. Pada
PEMBACAAN DEKAT
Ledakan pandemi corona adalah rapid test
yang sangat bagus untuk menguji klaim
superioritas berbagai jenis pengetahuan.
Hasil test itu segera menunjukkan bahwa
agama yang meletakkan diri paling
superior itu ternyata adalah jenis
5 Juni 2020 | Nirwan Ahmad Arsuka | 261
pengetahuan yang paling banyak diam
menghadapi corona.
Barangkali sumbangan terbesarnya itu
justru adalah dengan tidak berbuat apa-
apa itu. Dengan bersikap patuh pada
anjuran sains, agama telah sangat
membantu memutus rantai penularan
wabah.
Sastra dan filsafat menunjukkan sikap
yang lebih aktif menghadapi wabah.
Melukiskan dan memberi nama pada
objek adalah tindakan awal dalam
pengetahuan. Slavoc Zizek, misalnya,
memberi rincian sumber wabah itu: a sub-
layer of life, the undead, stupidly repetitive,
pre-sexual. Arundhati Roy memberi
deskripsi yang sedikit lebih dinamis pada
virus itu: unseeable, undead, unliving blobs
dotted with suction pads waiting to fasten
themselves on to our lungs.
Sains memang yang paling awal dan
paling gigih membaca COVID-19. Ketika
korban di Indonesia belum berontokan,
sains sudah berhasil mengurutkan genom
virus tersebut, dan memberi nama yang
bagus: Sars-COV-2. Nama yang
5 Juni 2020 | Nirwan Ahmad Arsuka | 262
merupakan singkatan dari Coronavirus
Sindrom Pernapasan Akut Berat-2,
menjelaskan wujud dan tabiat virus ini
sekaligus asal-usulnya yang adalah galur
baru dari keluarga virus bermahkota yang
sudah dikenal sebelumnya. Nama ini
adalah indeks yang baik karena terang
menunjukkan lokus virus ini dalam tatanan
hal ihwal.
Dari praktek membaca pandemi ini, dapat
dikatakan bahwa hanya sains yang
mengamalkan close reading (pembacaan
dekat), dan menelisik bukan hanya genom
individual. Sastra, seperti halnya sejarah
dan filsafat, hanya sanggup melakukan
distant reading (pembacaan jauh) yakni
mengaji dan meminjam hasil bacaan sains,
atau jadi pengamat dan pencatat dari satu
jarak.
Sains bukan saja membaca dan
menyumbang pemahaman baru tentang
SARS-CoV-2; sains juga “memanfaatkan”
SARS-CoV-2 untuk mengoreksi dan
mengembangkan diri, agar bisa sungguh-
sungguh membaca pandemi ini dengan
jitu. Pembacaan sains tidak mudah bukan
DUA MAZHAB
Ketika WHO mengumumkan bahwa Sars-
COV-2 itu adalah pandemi, korban sudah
banyak jatuh dan wabah menyebar seperti
api besar melangkahi batas-batas negara.
Bill Gates menyebutnya "Once-in-a-
5 Juni 2020 | Nirwan Ahmad Arsuka | 264
Century Pandemic." Flu Spanyol di awal
abad ke-20 menelan korban sekitar 50 juta
jiwa; Sars-COV-2 diduga lebih ganas lagi
dan akan menelan korban yang mungkin
jauh lebih besar. Pengumuman WHO
memantik reaksi para epidemiolog dan
mengobarkan perselisihan yang oleh
filosof kedokteran Jonathan Fuller
dipetakan sebagai debat antara mazhab
"model" melawan mazhab "bukti." Di
Amerika, mazhab "model" diwakili oleh
epidemiolog kesehatan publik dari
Harvard, Marc Lipsitch, dan mazhab
"bukti" diwakili oleh epidemiolog klinis
John Ioannidis dari Stanford.
Hipokrates, Bapak Kedokteran Yunani
Kuno, sudah mengajarkan azas
penanganan penyakit luar biasa. Extremis
malis extrema remedia. Berdasarkan sekian
data yang diakui belum memadai, mazhab
"model" menyusun sejumlah model
matematis yang kemudian diajukan
sebagai dasar untuk membuat keputusan
penanggulangan wabah. Pendekatan
dengan model matematis memang suatu
yang biasa dalam dunia pengetahuan.
Berdasar dugaan bahwa Sars-COV-2 itu
5 Juni 2020 | Nirwan Ahmad Arsuka | 265
adalah virus lebih ganas, maka saran
penanggulangan wabahnya pun berskala
luar biasa.
Para epidemiolog di mazhab "bukti" tentu
tak keberatan dengan ajaran Hippokrates,
tapi mereka mendebat sengit berbagai
usulan yang berdasarkan model-model
matematis itu. Buat kubu ini, pendekatan
model itu bukan saja tak memadai, tapi
bisa berbahaya, karena banyak kajian yang
menunjukkan bahwa pendekatan model
ini mengandung berbagai bias.
Pada 2005, John Ioannidis menerbitkan
paper berpengaruh yang tercatat paling
banyak diunduh dari pustaka akses-
terbuka Public Library of Sciences.
Judulnya, "Why Most Published
Research Findings Are False."
Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu
bisa juga tampak sebagai debat antara
kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi
kaum pragmatis, data memang tak
memadai, namun tindakan harus segera
diambil untuk mencegah lebih banyak
korban. Kaum idealis setuju intervensi, tapi
TESIS 2
Selain dari yang kita lihat pada sisi
lahiriahnya, terdapat "sesuatu yang
lebih" dari itu, Dan “itu” menakjubkan.
Kita sudah melihat bahwa sifat sebenarnya
dari “sesuatu itu,” secara radikal “berbeda”
dari yang tampak. Mereka, para saintis
menyetujui bahwa "yang berbeda" itu,
lebih tinggi tingkatannya dari segala yang
kita alami dalam penglihatan sehari-hari.
Sains adalah ilmu yang berurusan dengan
kuantitas. Maka istilah "sesuatu yang
melebihi" itu dalam sains selalu dinyatakan
dalam bentuk angka-angka. Misalnya, kita
mendapatkan bahwa cahaya dari sebuah
galaksi yang agak besar, dan paling dekat
dari bumi memerlukan dua juta "tahun
cahaya" untuk sampai ke bumi. Jumlah
5 Juni 2020 | Budi Munawar Rachman | 279
molekul dalam 4 1/2 dram air (kira-kira
1/2 ons), dan sebagai tetapan avogadro
(Avogadro Constanta) adalah 6,023 x
1023, atau kira-kira 600.000 miliar molekul.
Kepada keajaiban angka-angka seperti itu,
agama biasanya mengatakannya dengan
cara kualitatif, misalnya "Penderitaan yang
kita alami pada masa kini tidak seberapa
besar dibandingkan dengan kemuliaan
dan keindahan yang akan kita alami
kelak."
Dari fisika mikro, kita juga mengetahui
bahwa adanya zat yang 100 miliar kali
lebih kecil dari elektron. John Weller
memberitahukan kita bahwa cakrawala
yang kita ketahui ini, 13 miliar tahun
umurnya, dan 26 miliar tahun cahaya yang
terjauh, jauhnya dari bumi. Angka-angka
ini mempunyai platform yang begitu
besar, sehingga menjadikan sains berkata
secara mistis, sebagai tak terbatas atau tak
tergambarkan, maka dianggap “infinite”.
TESIS 3
"Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat
diketahui dengan cara yang biasa
dilakukan.
5 Juni 2020 | Budi Munawar Rachman | 280
Biasanya, para saintis (ilmuwan)
menggambarkan atas besaran yang sukar
dibayangkan di atas, dengan kata
"mengagumkan" (Siapa yang bisa
membayangkan angka bermiliar-miliar di
atas). Tetapi sebenarnya, ini baru
permulaan, yang belum apa-apa. Karena,
kajian sains belakangan ini
mengemukakan sesuatu yang tidak dapat
diterka oleh pikiran kita. Inilah yang terjadi
pada teori relativitas dan mekanika
kuantum.
Selama abad kedua puluh, penemuan-
penemuan fisika modern telah
meruntuhkan paradigma Newtonian.
Runtuhnya paradigma ini, terjadi akibat
perkembangan teori relativitas Einstein
dan mekanika kuantum. Teori relativitas,
yang merupakan fisika kecepatan tinggi
pada jarak-jarak yang besar, yang
membantah asumsi Newton tentang
ruang dan waktu absolut, telah menguasai
pandangan sehari-hari kita tentang dunia.
Ruang dan waktu direlatifkan oleh
Einstein, ketika unsur kecepatan cahaya
menjadi variabel dari gerak. Dengan
demikian, panjang ruang dan panjang
5 Juni 2020 | Budi Munawar Rachman | 281
waktu adalah sesuatu yang relatif,
tergantung keadaan pengukurnya.
Sementara itu, mekanika kuantum, yang
merupakan fisika tentang dunia mikro
subatomik, merombak total pandangan
tentang materi. Asumsi lama bahwa,
atom-atom dunia mikroskopik adalah versi
berskala kecil dari dunia sehari-hari, harus
segera ditinggalkan. Mesin deterministik
Newton digantikan oleh alam yang diatur
dengan hukum-hukum kemungkinan,
bukan hukum sebab akibat yang
memberikan kepastian. Perkembangan ini
mengakibatkan terbukanya ruang “mistik”
dalam penjelasan fisika, juga menjadi
fenomena yang tak pernah terduga,
karena fisika sebelumnya sangat bersifat
materialistik dan sekular dalam melihat
kenyataan alam.
Pernyataan paling revolusioner dari fisika
kuantum mengenai hakikat kenyataan
alam adalah tentang sifat dualitas dunia
subatomik.
Contoh paling terkenal tentang sifat ini
adalah cahaya, yang bisa diamati sebagai
gelombang elektro-magnetik atau
5 Juni 2020 | Budi Munawar Rachman | 282
partikel-partikel foton, tergantung dari
rancangan percobaan yang diterapkan
padanya. Niels Bohr menjelaskan ini
melalui prinsip komplementaritas. Prinsip
ini mengatakan bahwa, gambaran dunia
subatomik sebagai partikel dan
gelombang merupakan dua penjelasan
yang saling melengkapi tentang satu
kenyataan yang sama, kendati kita tidak
bisa memperolehnya secara sekaligus.
Percobaan yang dirancang untuk
mendeteksi gelombang hanya dapat
mengukur aspek gelombang dari elektron.
Sedangkan percobaan yang dirancang
untuk mendeteksi partikel, hanya dapat
mengukur aspek partikelnya. Sebuah
percobaan tak mungkin mengukur kedua
aspek itu secara serempak.
Prinsip ini mempunyai efek epistemologis
berkaitan dengan objektivitas yang selama
ini dijunjung setinggi langit oleh fisika.
"Tidak benar bahwa fisika adalah tentang
alam sebagaimana adanya. Fisika adalah
tentang alam sebagaimana yang kita
ketahui," begitu Bohr mengomentari
implikasi dari prinsip komplementaritas ini.
TESIS 4
"Kelebihan" itu tidak bisa diketahui
dengan cara biasa. Meskipun begitu, ia
TESIS 5
Cara-cara mengetahui yang luar biasa
itu, memerlukan penyuburan
(“Cultivation”) atau Penyemaian.
TESIS 6
Pengetahuan mendalam memerlukan
alat.
Sains pasti memerlukan alat. Sains
misalnya mempunyai teleskop, kamera,
spektroskop, dan sebagainya. Mistik pun
mempunyai alat, yang terdiri dari dua
AKHIRNYA
Sekarang makin disadari bahwa sains bisa
menjadi jalan memahami realitas kosmos,
mengikuti jalan lain yang lebih tua, seperti
mistik. “Mystics have known about it for
thousands of years. Science is now
discovering it”. Sains tidak lagi
mendominasi, tapi melengkapi jalan mistik
yang banyak membicarakan tema-tema
seperti kesadaran. "Consciousness and the
physical universe are connected," begitu
kata Michael Talbot, seorang penulis
buku-buku bertemakan fisika baru dan
mistisisme. Melalui mistik dan sains,
muncullah apa yang sekarang disebut "the
cosmic connection". Dan rupanya, ini
A.S. Laksana
Mempertanyakan
Kebenaran Real World
Science dan Pengkhianatan
Matematika
Sabrang Damar Panuluh
SENGKARUT BENAR-SALAH
Sepemahaman saya, Sains tidak pernah
menawarkan kebenaran real world.
Apalagi bertugas mencari hakikat
kenyataannya. Hal yang dihasilkan Sains
adalah narrative reality. Dia menciptakan
model realitas. Tapi korelasi one-on-one
antara pengetahuan yang ditawarkan
Sains dengan real world tak bisa dijamin
ada. Begitu pula dengan kebenarannya.
Sains bahkan tak mampu menjamin
konsistensi dirinya. Kesimpulan itu semua,
menurut model Sains sendiri.
Begini ceritanya. Dimulai dari alat utama
pencarian dalam Sains, yakni: metode ilmiah.
Perhatikan tahapan-tahapan dalam
metode ilmiah itu. Masih ingat? Kurang
lebih sebagai berikut.
JALAN TENGAH
Adalah Ram Roy Bhaskar, seorang filsuf
asal Inggris yang melahirkan pendekatan
WAJAH INDONESIA
Jauh sebelum pandemi, negara ini sudah
terjangkit wicked problem. Frasa yang
menurut C. West Churchman, filsuf dan
saintis sistem dari Amerika, diartikan
sebagai masalah yang tidak mungkin
dipecahkan. Karena komponen
persyaratan jalan keluar yang kita ketahui
tidak komplit, kontradiktif, juga berubah-
ubah. Interdependensi komponen di
dalamnya begitu kompleks, sehingga
upaya-upaya pemecahan masalahnya pun
malah melahirkan masalah baru.
Kemudian datang COVID-19. Bila
dikawinkan dengan wicked problem yang
sudah lebih dulu mendera, wabah tersebut
telah menjelmakan keruwetan Indonesia
menjadi monster nggegirisi.
EKSPLORASI POSIBILITAS
Apakah cara-cara tadi terasa utopis? Bisa
jadi!
Mari belajar sedikit dari sistem yang
sampai saat ini memiliki koherensi paling
solid, yakni Matematika. Simbol-simbolnya
mampu membawa kita ke tempat-tempat
sukar dijangkau pengalaman. Kerumitan
dimensi hasil prediksi fisika yang sulit
dibayangkan, akan mudah dialami melalui
simbolisme Matematika.
CODA
Real world mungkin akan terus diam. Tapi
dia tak pernah gagal mengikuti apapun
yang kita jogetkan. Untuk kita yang hidup
bersama, mungkin nada memang
berbeda, tapi simfoni tetap harus
ditembangkan. Barangkali bisa membawa
kita ke tempat yang belum pernah
terbayangkan.***
Sumber:
https://www.facebook.com/toto.rahardjo.18/posts/1
564916687012523
Perdebatan “menghadap-hadapkan”
agama, filsafat, dan sains sebagai
semacam “perselisihan paradigma”
berisiko menghadapi problem trilema
(dilema namun menyangkut tiga aspek).
Tiga aspek ini cukup sulit dipersatukan
untuk menjadi kesatuan paradigma yang
koheren, substantif, non-superficial. Kita
bisa mengombinasikan dua paradigma,
namun agak mustahil menyatukan
ketiganya. Mampu menjadi orang yang
taat beragama, mendalami filsafat,
sekaligus antusias pro-sains.
Trilemanya begini: (1) Jika Anda taat
beragama dan mendalami filsafat, pasti
tidak pro-sains; (2) Jika Anda pro-sains
dan beragama, pasti kurang mendalami
filsafat; (3) Jika Anda berfilsafat dan pro-
sains, pasti tidak taat beragama.
9 Juni 2020 | Lukas Luwarso | 374
Saya mengategorikan F. Budi Hardiman
(FBH) pada trilema pertama: beragama
dan berfilsafat, namun tidak pro-sains. Ia
menulis “Saintisme dan Momok-Momok
Lain” ikut meramaikan debat menyoal
sains dan korelasinya dengan filsafat dan
agama.
Tulisannya, di beberapa paragraf awal,
bernada patronizing dalam mendakwa
sains. Ia sengaja memilih judul dengan
diksi yang detraktif (“saintisme”;
“momok”). Berkhotbah: “kepongahan
kemajuan sains bisa menjadi dogmatisme
baru.”
FBH juga mengajak untuk membuat
distingsi antara “sains dengan saintisme,”
sebagaimana memilah “agama dengan
fideisme,” dan membedakan “filsafat
dengan ideologi.” Menurutnya, yang
pertama adalah upaya mencari jawaban,
yang kedua merasa telah menemukan
jawaban. Perdebatan yang berlangsung,
katanya, lebih pada saintisme, fideisme,
dan ideologi; ketimbang soal sains,
agama, atau filsafat.
SAINS
Suatu saat ketika Museum of American
History diminta mengadakan pameran
tentang perkembangan sains di Amerika,
para penyandang dananya sebetulnya
berharap melihat kecanggihan
pencapaian-pencapaian mutakhir di
bidang sains.
Namun ternyata yang mereka dapatkan
pada katalog adalah persis kebalikannya:
deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu
dan teknologi, yaitu perusakan lingkungan
yang parah, senjata pemusnah masal,
peracunan makanan oleh berbagai zat
kimia, robotisasi industri yang mengancam
9 Juni 2020 | Bambang Sugiharto | 407
para buruh pabrik, ketidakadilan sosial,
berbagai eksperimen tak bermoral, dsb.
Bagi manusia zaman ini, sains rupanya
bukan lagi sesuatu yang sangat
mengagumkan. Kalau pun masih tersisa
kekaguman, maka itu kini bercampur
dengan kecemasan dan kecurigaan.
Yang mencemaskan dan mencurigakan
bukanlah akibat-akibat negatifnya saja,
melainkan sesuatu yang lebih mendasar,
yakni sisi-sisi ideologis, kerangka dasar
ontologis, beserta doktrin-doktrin
metodologisnya. Kaum feminis, misalnya,
suka sekali membayangkan kiprah ilmu
dan teknologi sebagai salah satu benteng
kokoh dominasi perspektif patriarki. Di
sana realitas, khususnya alam, bagaikan
kaum perempuan yang tak berdaya
dieksploitasi, diinterogasi dan dipaksa
untuk membukakan rahasia-rahasianya.
Paul Feyerabend, fisikawan yang
berkiprah dalam filsafat ilmu,telah
menohok sisi ideologis sains yang baginya
telah menjadi opressif terhadap jenis-jenis
pengetahuan lain, sama dengan kelakuan
agama di masa pra-modern. Jenis-jenis
9 Juni 2020 | Bambang Sugiharto | 408
pengetahuan tradisional, klenik, dsb.
cenderung didiskreditkan dihadapan sains,
sementara bagi Feyerabend, sains sendiri
sebenarnya tak memiliki otoritas lebih
dibanding ilmu pengetahuan lain.
Secara ontologis, gambaran dunia
(worldview) Newtonian yang material-
atomistik ala sains pun makin hari makin
diragukan. Meskipun hingga kini masih
problematis dan masih diperdebatkan, toh
melalui Fisika Kuantum ada tendensi
makin kuat kini untuk melihat
materi/massa sebagai interkonvertibel
dengan energi, atau partikel
interkonvertibel dengan gelombang.
Artinya ada tendensi kuat untuk melihat
unit terdasar realitas sebagai non-material.
Dan lebih jauh lagi, juga bertentangan
dengan paham Newtonian, segala hal kini
cenderung dilihat sebagai saling terkait
dalam suatu jaringan interdependensi
keseluruhan. Bahkan pandangan dasar
sains yang cenderung “substansialistik”
pun kini berubah ke arah pengutamaan
“flux” (aliran) ataupun “web” (jaringan),
yang niscaya mengubah pola berpikir
FILSAFAT
Sepanjang sejarahnya filsafat telah
berusaha untuk mengatasi tegangan
antara kecenderungan akal untuk
membentuk kerangka teoretis formal
tentang realitas kehidupan ini di satu
pihak, dan di pihak lain kenyataan bahwa
realitas kehidupan dialami sebagai sesuatu
yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa
bentuk yang pasti dan menyangkut
demikian banyak aspek sekaligus.
Plato meyakini bahwa refleksi akal budi
manusia mampu menyaring peristiwa-
peristiwa real yang partikular dan unik
dalam rangka mendapatkan idea yang inti,
abadi dan universal. Dan fokus refleksi
mesti diarahkan pada persoalan
“kebenaran” yang bersifat abstrak.
Aristoteles agak lain prosedurnya. Yang
inti dan universal itu tidak didapatkan
terutama melalui refleksi. Hakikat dari
realitas itu terdapat dalam kenyataan
AGAMA
Orang umumnya meyakini bahwa
millennium ketiga ini ditandai dengan
bangkitnya kembali kehidupan religius.
Maka abad ini sering disebut sebagai abad
post-sekular, abad dimana sekularisme
atheistik dianggap tak lagi meyakinkan
sebagai kerangka pandang.
Ada berbagai unsur yang telah
mengangkat religiusitas kembali menjadi
primadona, dan umumnya bukanlah
karena daya tarik agama-agama itu sendiri
an sich. Religiusitas bangkit sebagian
karena ideologi-ideologi besar ambruk,
sebagian lagi karena dunia sains sendiri
akhirnya sampai pada fenomena-
fenomena yang berkaitan dengan
eksistensi suatu intelegensi kosmik
transenden, sebagian lain karena
kehidupan modern sekular akhirnya
9 Juni 2020 | Bambang Sugiharto | 426
mengakibatkan gejala umum kekosongan
batin mendalam, dan sebagainya, dan
sebagainya.
Bersama dengan naiknya religiusitas,
justru agama-agama tampil sebagai
penuh persoalan. Ini memang ironis.
Agama bagaimana pun adalah produk dari
perkembangan kesadaran bangsa
manusia.
Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang
meski terasa simplistik toh ada gunanya
untuk melihat peta besar, babakan awal
kehidupan agama bisa disebut sebagai
periode “Arkhaik”, yaitu ketika agama-
agama berfokus pada realitas ilahi yang
metafisik dan mengatur perilaku umatnya
dalam ritual dan mitos yang ketat.
Babakan kedua adalah periode “Axial”,
yang bersama dengan munculnya para
nabi macam di Israel, Persia, India, Cina,
hingga Arab fokus bergeser ke arah nilai
etis. Kesalehan vertikal dalam ritual dan
pengakuan doktrin tidak cukup,
religiusitas menuntut komitmen nilai
dalam hubungan manusiawi horizontal.
TENTANG SAINS
Hasil-hasil positif dari sains dan teknologi
tentu tak bisa diragukan. Yang perlu
diwaspadai adalah aspek ideologis dan
paradigmatisnya.
Hasil-hasilnya yang memukau tak mesti
berarti bahwa sains atau iptek harus
dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur
kebenaran dan kesahihan pengetahuan.
Intelegensi manusia masih jauh lebih
misterius dan lebih luas daripada yang
bisa dikategorikan oleh sains, apalagi oleh
ilmu-ilmu eksakta.
Kini makin disadari bahwa kecerdasan di
bidang religius (mistik), politik, bisnis, seni,
apalagi klenik, dsb. sebetulnya tak
sepenuhnya bisa dijelaskan dengan
kriteria IQ,EQ, bahkan SQ misalnya. Ada
berragam jenis kecerdasan, berbagai jenis
pengetahuan, dan banyak bentuk “logika”.
Dan tidak perlu ada satu jenis meta-
bahasa yang merangkum semua bahasa-
TENTANG FILSAFAT
Dari refleksi kritis para filsuf mutakhir
memang kini ambisi filsafat untuk mencari
TENTANG AGAMA
Dalam konteks peradaban sesungguhnya
agama tetaplah bisa dilihat sebagai oasis
yang mampu menyuburkan sisi-sisi terbaik
manusia, sebagai “the mind in all the
mindlessness of the world” atau “the heart
in the heartless world”. Tapi juga sebagai
upaya yang tak pernah berhenti untuk
mewujudkan cita-cita luhur yang “tak
mungkin” sampai menjadi mungkin.
Sayangnya itu semua sering terkubur oleh
antusiasme berlebihan yang membabi
buta, oleh kesempitan wawasan, oleh krisis
identitas, oleh nafsu kekuasaan, atau pun
egosentrisme kekanak-kanakan. Dan
dengan itu agama malah justru menjadi
bahaya laten paling destruktif bagi
peradaban.
Perguruan tinggi, terutama yang
menyandang nilai-nilai agama secara
eksplisit, perlu ekstra waspada terhadap
ironi-ironi yang kerap tak disadari itu.
Goenawan Mohamad
Tentang Korrelasionisme
Catatan kecil untuk Goenawan Mohamad
Ulil Abshar Abdalla
FILSAFAT BERTUTUR
“Suasana senja di sebuah pelabuhan kecil,”
tutur Goenawan Mohamad (GM), adalah
contoh kesyahduan alam yang tidak bisa
dirasakan oleh sains.
GM begitu romantis merasakan alam dan
kehidupan. Mungkin ia terpengaruh
Goethe, pemikir era romantik, yang
pernah bilang: “Perasaan adalah
segalanya." Sikap romantisisme ini bisa
menjelaskan mengapa GM sinis dan sengit
memahami sains. Dunia bagi kaum
romantik adalah kanvas indah yang penuh
warna, puisi yang perlu dihayati. Dan sains,
menurutnya, gagal memaknainya.
SAINS BERCERITA
Lukas Luwarso
PERTAMA
Maafkan sains yang fokus mengamati,
meneliti, dan mengukur alam natural yang
hanya bisa diobservasi. Sains tidak
mengutik-utik (tinkering) dengan urusan
yang besar, agung, metafisik, dan mistik.
KEDUA
Supaya adil dan tidak terus berselisih—
sehingga terkesan kurang adab—abaikan
saja temuan dan teori sains yang mungkin
menyinggung keyakinan atau penafsiran
anda. Sains tidak pernah memaksakan
KETIGA
Jika Anda tidak berniat bergaya hidup
eksentrik ala komunitas Amish atau
komunitas lain yang anti-sains, silakan
manfaatkan pengetahuan dan teknologi
hasil kerja keras sains. Gunakan komputer
untuk mengakses informasi dan
berkomunikasi, pakai smartphone dengan
berbagai aplikasinya, televisi dengan
beragam acara. Namun, tetap waspada
dengan pilihan informasi, jangan tergoda
info yang mengusik keyakinan (abaikan
dan segera matikan saja gajet Anda jika
ada info sains masuk). Manfaatkan sarana
KEEMPAT
Jika Anda termasuk orang beriman yang
memanfaatkan pengetahuan dan produk
sains modern untuk memudahkan hidup,
Anda tetap bisa menjalankan keyakinan,
atau sebagai filsuf terus meragukan sains.
Namun, sedikit mengingatkan, sains
dihasilkan oleh proses panjang
pengamatan, penelitian, dan pengujian
26 Juni 2020 | Lukas Luwarso | 659
hasil kolaborasi saintis dari berbagai
penjuru dunia. Sains dan teknologi bukan
hadir secara ajaib dari alam gaib (sains
bukan sulap kelinci yang bisa sekonyong-
konyong-konyong muncul dari topi
pesulap) atau hasil renungan spekulatif
belaka.
Akan lebih mudah bagi hidup Anda,
setidaknya secara pemahaman kognitif,
jika selain menggunakan teori atau produk
sains, Anda juga menerima metode dan
paradigmanya. Anda akan selalu menjadi
orang yang mengalami “kebingungan
paradigmatis” jika getol menggunakan
produk sains-teknologi tapi
mempersoalkan metodenya. Gemar
memakai aplikasi media sosial, sekaligus
mengecam sains yang menghasilkannya.
Berpretensi kritis-filosofis,
mempertanyakan epistemologi sains, baik-
baik saja jika jelas bidikannya. Bermaksud
membawa sains ke “tempat yang bersih,
dan terang lampunya,” seperti Goenawan
Mohamad, tentu satu niat yang mulia.
Tapi, sekadar mengingatkan, pastikan
tempat yang bersih itu ada aliran
listriknya, agar lampu (produk sains)
26 Juni 2020 | Lukas Luwarso | 660
menyala. Karena lilin atau obor, pasti
kurang efektif untuk penerangan.
KELIMA
Seperti fatwa, “ketidaksukaan tidak boleh
membuat kita tidak adil”. Kritis pada sains
tentu baik dan penting. Komunitas sains
menjadikan sikap kritis bukan cuma
sebagai slogan, wacana, atau khotbah,
namun memakainya sebagai metode.
Berpikir kritis inheren dalam metode sains,
bagian dari metode ilmiah saat
merumuskan, menyimpulkan, hingga
menguji teori sains. Jadi, kritisisme yang
proporsional dan tepat sasaran pasti
disambut dengan baik dan diperlukan.
Sains mustahil menjadi “dogma atau
panglima”, karena “dogmatisme dan
panglimaisme” justru dipersoalkan dan
ditolak oleh sains.
Sangat penting Anda mampu secara jernih
membedakan sains, saintisme, dan
saintologi (science, scientism, dan
scientology). Anda pasti sedang bingung
atau ragu jika bersikap “kritis” pada sains,
namun yang Anda serang dan persoalkan
adalah saintisme. Anda cocok menjadi
26 Juni 2020 | Lukas Luwarso | 661
penganut scientology (yang menjadikan
novel sains-fiksi L. Ron Hubbard sebagai
ajaran agama) jika gagal memahami
perbedaan science dengan scientism, dan
gemar menggunakan diksi keagamaan,
seperti “dogmatis” atau “bigotry” untuk
memberi label pada sains. Poin ini penting
untuk diperhatikan “men of faith” seperti
Budhy Munawar-Rahman, F. Budi
Hardiman, dan Haidar Bagir.
Kebingungan yang fatal, tapi bisa
dipahami secara empati. Bagi mereka yang
cara berpikirnya terbiasa dengan
dogmatisme agama, maka kegemaran
menggunakan diksi agama, seperti
“dogmatisme”, “bigotry”, tentu harus
dimaklumi. Sikap superficial dalam melihat
sains, seperti kegemaran mempermainkan
label istilah ketimbang substansi, perlu
dimaklumi secara empati. (Majalah Tempo,
misalnya, dua kali menggelar diskusi
online dengan memilih tema “saintisme”,
ketimbang “sains”. Boleh diduga panitia
penggagas diskusi di Tempo adalah para
penganut scientology, mereka pasti
mengidolakan Tom Cruise)