Anda di halaman 1dari 10

Maternal and Child: Hipertensi dan Usia Ibu yang Menjadi Faktor Terjadinya

Preeklampsia pada Kehamilan


Melaniara Anggista A., Galuh Ajeng H., Shobrina Rifatul U., Yiyi Adelia

a. Pengantar
Kegawat daruratan maternal adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa. Salah
satunya yaitu kematian ibu. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
mengetahui kualitas kesehatan ibu. (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2018). Data Data AKI di
Indonesia tahun 2015 berdasarkan dari Survey Angka Sensus (SUPAS) yaitu sebanyak 305
per 100.000 kelahiran hidup, dimana Angka Kematian ibu masih cukup tinggi padahal target
AKI Indonesia pada tahun 2015 adala 102 per 100.000 kelahiran. (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2019). Berdasarkan jumlah tersebut Indonesia menepati peringkat kedua
sebagai Negara dengan kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara. Data AKI di Jawa Tengah
tahun 2018 sebanyak 78,60 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Jawa Tengah,
2018).
Preeklampsia adalah suatu keadaan dalam masa kehamilan yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah dan proteinuria, berhubungan dengan kejang atau eklampsia dan
disfungsi organ pada ibu juga mengakibatkan komplikasi pada janin seperti restriksi
pertumbuhan dan abrapsio plasenta yaitu plasenta yang lepas sebelum waktunya (Chapman,
2006), terjadi pada ibu hamil dengan usia kehamilan 20 minggu (Praworihardjo, 2009),
adanya hipertensi pada kehamilan dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria ≥ 300
mg / 24 jam (Nugroho, 2012). Kejadian preeklampsia dan eklampsia sekitar 5% - 10% dari
seluruh kehamilan. Faktor resiko yang terjadi yaitu usia ibu yang kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, primagravida, adanya hipertensi sebelum kehamilan, hamil ganda atau
gemeli, mola dihatidosa, obesitas, riwayat preeklampsia di kehamilan sebelumnya.
Preeklampsia merupakan penyebab nomor 2 setelah pendarahan yang menyebakan
kematian ibu (Saifuddin, 2009). Di dunia, sebanyak 10 juta ibu hamil mengalami
preeklampsia tiap tahunnya. Hubungan preeklampsia dengan gangguan hipertensi dalam
kehamilan mempengaruhi sekitar 5% - 8% kelahiran di Amerika, 2% - 5% di Amerika
Serikat, Kanada dan juga Eropa Barat, 4% di nergara berkembang, dan sebanyak 18% terjadi
di beberapa bagian Afrika. Menurut WHO (2008), angka kejadian preeklampsia di dunia
berkisar antara 0,51% - 38,4%, di negara maju terjadi 5% - 6% kejadian dan di Indonesia
terjadi sekitar 3% - 10% kejadian. WHO menyebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI)
akibat preeklampsia sebesar 289.000 jiwa di dunia, 16.000 jiwa di kawasan Asia Tenggara,
dan 190 per 100.000 kelahiran hidup di Indonesia. Di Provinsi Jawa Timur, angka kematian
ibu (AKI) tercatat pada tahun 2012 yaitu 97,41% per 100.000 kelahiran hidup dan cenderung
turun tiap tahunnya, menjadi 97,39% per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2013, dan
93,52% per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2014 (Dinkes Jatim, 2015).
Oleh sebab itu, jika dilihat dari prevalensi kejadian preeklampsia yang cukup tinggi,
maka penulis bertujuan ingin mengetahui dan membahas mengenai cara pencagahan
hipertensi agar tidak menyebabkan ibu hamil mengalami preeklampsia hingga tidak
menyebabkan eklampsia.
b. Latar Belakang
Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun beresiko
mengalami preeklampsia. Preeklampsia ini terjadi karena ibu hamil yang mengalami
hipertensi dan kadar protein urinaria tinggi. Preeklampsia ini dapat menyebabkan pendarahan
dan apabila tidak ditindak lanjuti akan mengalami kejang saat melahirkan yang disebut
eklampsia. Berdasarkan data (Maternal Mortality Ratio 2000-2017) yang dikemukakan oleh
UNICEF, WHO, UNFPA, World Bank Group, and UNPD pada tahun 2019, menyebutkan
tingkat kematian ibu hamil di dunia mengalami penuruan dari tahun 2000-2017, dengan data
pada tahun 2000 sebanyak 342 angka kematian dan sebanyak 211 pada tahun 2017.
Sedangkan di Indonesia data kematian ibu hamil pada tahun 2000 sebanyak 272 dan
mengalami penurunan pada tahun 2017 sebanyak 177 orang. Maka dari itu peneliti akan
berfokus pada cara pencagahan hipertensi agar tidak menyebabkan ibu hamil mengalami
preeklampsia hingga tidak menyebabkan eklampsia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kematian ibu di Indonesia
tahun 2015 sebanyak 305 angka kematian sedangkan jumlah kematian ibu di Kabupaten
Bojonegoro tahun 2020 sebanyak 27 angka kematian dengan salah satu penyebab utama
kematian ibu adalah preklamsia. Pada tahun 2017 terdapat sekitar 810 ibu di dunia
mengalami kematian akibat persalinan dan 94% terjadi di negara dengan penghasilan rendah
dan menengah ke bawah. WHO melaporkan bahwa penyebab kematian ibu terjadi saat dan
pasca melahirkan. Salah satu penyebab dari 75% kematian ibu disebabkan oleh tekanan darah
tinggi (hipertensi) saat kehamilan.
c. Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada salah satu penyulit persalinan yang
menjadi penyebab kematian ibu hamil di Indonesia, yaitu preklamsia. Preklamsia sering
dialami oleh ibu hamil dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Oleh karena itu, penulis memilih salah satu faktor utama terjadinya preklamsia,
yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi). Penulis menggunakan kata kunci berupa preklamsia,
hipertensi, kematian ibu hamil, kematian akibat preklamsia, dan usia kehamilan. Untuk
mempermudah mencari artikel atau jurnal, penulis menggunakan search engine google
scholar dan science direct.
Berdasarkan pencarian data di search engine google scholar dan science direct
diperoleh arikel atau jurnal kurang lebih sebanyak 49.340 untuk kata kunci preklamsia,
18.809 untuk kata kunci kematian ibu hamil, 24.043 untuk kata kunci hipertensi, 6.700 untuk
kata kunci kematian akibat preklamsia, dan 607.404 untuk kata kunci usia kehamilan. Penulis
juga menggunakan dan menambahkan beberapa kriteria dalam artikel atau jurnal yang akan
dipilih dengan mengambil artikel atau jurnal yang berkaitan dengan kematian ibu hamil
akibat kejadian preklamsia yang terbit dalam rentang 5 tahun, yaitu dari tahun 2017 hingga
2021. Penulis memilih artikel yang berbahasa Indonesia dan Inggris yang kemudian akan
mengolah data kembali.
d. Hasil
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat tiga faktor utama yang dapat
menjadi penyebab kematian ibu melahirkan yaitu perdarahan, hipertensi saat kehamilan atau
preeklampsi dan infeksi. Kejadian dari preeklampsi meningkat menjadi tujuh kali lebih
tinggi di negara berkembang (2,8% dari kelahiran yang hidup) daripada di negara maju
(0,4%) (Departemen Kesehatan RI,2010). Data berdasarkan WHO (World Health
Organization) pada tahun 2014 juga memaparkan bahwa kematian dari wanita diakibatkan
karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh Lisnawi tahun
2013 menjelaskan bahwa usia atau umur sangat mempengaruhi kehamilan, usia yang baik
untuk hamil pada ibu berkisar antara 20-35 tahun. Pada usia 20-35 tahun alat reproduksi
wanita telah berkembang dan berfungsi dengan baik serta maksimal. Namun sebaliknya, jika
wanita dengan usia di bawah 20 tahun ataupun wanita yang berusia lebih dari 35 tahun akan
memiliki resiko tinggi yakni 3 kali lipat untuk mengalami kejadian saat persalinan seperti
terjadinya keguguran atau kegagalan saat persalinan, hipertensi laten bahkan hingga
mengakibatkan kematian.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Billington di sebuah RS PKU Muhammadiyah
Bantul tahun 2018, ia menyatakan bahwa mayoritas pada kriteria usia berisiko <20 tahun dan
>35 tahun sebanyak 62,5%. Bertambahnya umur pada usia wanita yang subur dengan umur
yang masih remaja yaitu <20 tahun dan wanita yang lebih dari 35 tahun merupakan suatu
keadaan yang dapat menimbulkan suatu resiko komplikasi dan kematian pada ibu. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Langelo dkk tahun 2013, ia menjelaskan bahwa wanita yang
berusia <20 tahun dan >35 tahyn memiliki resiko 3,37 kali dibangdingkan dengan wanita
yang berusia 20-35 tahun. Dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor usia
berpengaruh terhadap kejadian preeklampsia, yaitu pada usia dibawah 20 tahun organ-organ
reproduksi masih belum matang sempurna, sedangkan pada ibu dengan usia diatas 35 tahun
memiliki resiko yang tinggi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tenny dan Herlin di RS PKU Mohammadiyah
Bantul Yogyakarta tahun 2018, ia mendapatkan hasil penelitian yang dicantumkan dalam
table bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 36 (65%). Faktor penyebab preeklampsia dapat
berupa status kesehatan reproduksi, riwayat kesehatan, distensi rahim yang berlebih, dan
faktor makanan, serta terdapat pula faktor pekerjaan dari ibu yang dapat mempengaruhi
faktor terjadinya preeklampsia/eklampsia. Wanita yang bekerja diluar rumah mempunyai
resiko lebih tinggi mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Menurut
Indriani, ia berpendapat bahwa pekerjaan erat hubungannya dengan adanya aktivitas fisik dan
stress yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya preeklampsia, akan tetapi kelompok
ibu hamil yang tidak bekerja dengan pendapatan yang rendah akan mengakibatkan frekuensi
ANC (Antenatal Care) berkurang yang ada hubungannya dengan pendapatan rendah dan
dapat menyebabkan kualitas gizi juga rendah. Data dari hasil penelitian di RS PKU
Muhammadiyah Bantul Yogyakarta memaparkan hasil tabulasi bahwa usia yang <20 tahun
dan >35 tahun yang mengalami preeklampsia sebesar 20 (50%), sedangkan usia 20 sampai 35
tahun yang tidak berisiko mengalami preeklampsia sebanyak 6 (15%). Hasil penelitian yang
sama juga dilakukan oleh Karima tahun 2015 yang menyatakan bahwa ibu yang berusia <20
tahun lebih beresiko mengalami preeklampsia.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gumah, Wijayanegara,
dan Zulmansyah tahun 2015 dan oleh Saputra tahun 2017 menyatakan bahwa ibu dengan
preeklampsia berat mempunyai resiko 3,303 kali dan 4,5 kali untuk menjalani persalinan
prematur dibandingkan dengan ibu tanpa preeklampsia berat. Mereka juga menjelaskan
bahwa faktor usia serta paritas dapat menjadi resiko terjadinya persalinan prematur pada ibu
dengan preeklampsia berat. Usia ibu yang beresiko mengalami hal tersebut yaitu <20 tahun
dan >35 tahun. Usia yang dibawah 20 tahun beresiko tinggi terhadap kehamilan karena usia
tersebut organ reproduksi dan fungsi fisiologis belum optimal dan secara psikologis belum
tercapainya emosi dan kejiwaan yang cukup dewasa, sehingga nantinya akan berpengaruh
terhadap janin yang dikandungnya. Sementara itu, pada usia yang lebih dari 35 tahun
beresiko mengalami persalinan prematur pada ibu dengan preeklampsia berat karena telah
terjadi penurunan fungsi organ reproduksi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan
janinnya, adanya kehamilan membuat ibu memerlukan ekstra energi untuk kehidupannya dan
juga janinnya yang sedang dalam kandungannya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mita dkk tahun 2019, hasil analisis hubungan
antara preeklampsia berat dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) menunjukkan bahwa dari
46 ibu yang mengalami preeklampsia berat terdapat 14 ibu yang mengalami komplikasi janin
berupa BBLR (30,4%). Sementara pada kelompok ibu yang tidak megalami preeklampsia
berat terdapat 1 ibu yang mengalami komplikasi janin berupa BBLR (2,2%). Hasil penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian yang diakukan oleh Mallisa & Towidjojo (2014), John &
Sunarsih (2013), Hartanti, Surinati, & Pradnyaningrum (2018) yang memaparkan bahwa ibu
yang mengalami preeklampsia berat memiliki resiko 2,58 kali 5,235 kali, dan 4 kali untuk
melahirkan bayi dengan BBLR (berat bayi lahir rendah). Pada penelitian ini OR yang
diperoleh yaitu 19,686 lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Mallisa &
Towidjojo (2014), John & Sunarsih (2013), Hartanti, Surinati, & Pradnyaningrum (2018),
dari hall ini mungkin disebabkan karena adanya penyulit preeklampsia berat yang dialami
oleh ibu, seperti halnya oligohidramnion, riwayat section caesaria, kehamilan multiple,
sindroma HELLP, dan solusio plasenta. Sealain itu, penyakit penyerta yang telah dialami
oleh ibu sebelumnya juga bisa memperoleh kehamilan dan dapat menyebabkan peningkatan
kejadian BBLR, utamanya pada penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi peredaran darah
dan oksigenasi, misalnya stroke, hiperkolestrolemia, dislipidemia, dan hipertensi gestasional.
Dalam hal ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa tidak hanya factor usia yang <20
tahun dan >35 tahun yang dapat menyebabkan preeklampsia pada ibu hamil, melainkan
terdapat faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia yaitu seperti status
kesehatan reproduksi, riwayat kesehatan, distensi rahim yang berlebih, dan faktor makanan,
serta terdapat pula faktor pekerjaan dari ibu hamil. (Tenny dan Herlin, 2018).

e. Diskusi
Hipertensi merupakan faktor resiko penyebab preeklamsia, yang dapat menimbulkan
komplikasi fatal seperti eklamsia. Penelitian yang dilakukan Sukmawati dan dkk 2018 ini,
mengungkapkan Ibu yang memiliki riwayat hipertensi berisiko lebih besar mengalami
preeklampsia, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih
tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Novi dkk, yang berjudul Determinan Gangguan
Hipertensi Kehamilan di Indonesia, Prevalensi hipertensi ibu hamil sebesar 6,18% dengan
jumlah hipertensi paling banyak berada di Provinsi Jawa Barat sebesar 10,57%. Hasil dari
penelitiannya yaitu Overweight, hipertensi kronik dan penggunaan alat kontrasepsi
merupakan determinan yang berhubungan dengan kejadian gangguan hipertensi dalam
kehamilan di Indonesia. Sedangkan DM, konsumsi buah dan sayur yang rendah, aktivitas
fisik rendah dan konsumsi makanan asin yang berlebih bukan merupakan faktor risiko
hipertensi dalam kehamilan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang overweight
berisiko 2,37 kali lebih besar untuk mengalami kejadian hipertensi dalam kehamilan
dibandingkan dengan ibu hamil yang hipertensi dengan status gizi normal. Kejadian
gangguan hipertensi dalam kehamilan meningkat 22,80 kali dengan probabilitas sebesar 53%
pada ibu hamil yang mengalami lima faktor risiko sekaligus yaitu overweight, hipertensi
kronik, tingkat pendidikan, usia ibu <20 tahun dan >35 tahun, dan nullipara. Selain
overweight, penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat hipertensi kronik berhubungan
signifikan dengan hipertensi kehamilan (preeklamsia).
Penyebab kematian pada ibu hamil yang mengalami gangguan Preeklamisia atau
eklamsia salah satunya yaitu sindrome HELLP. Preeklamsia dan eklamsia dapat memicu
munculnya sindrome HELLP pada ibu hamil. Sindrome HELLP adalah rangkaian kejadian
atau gejala berupa kerusakan atau hancurnya sel darah merah, meningkatnya kadar enzim
yang dihasilkan organ hati, dan rendahnya kadar keping darah. Pernyataan ini didukung
penelitian yang dilakukan oleh Nova tahun 2015 berjudul Pre-eklamsia berat dan kematian
ibu, mengatakan bahwa Sindrom HELLP merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya
kematian pada ibu hamil yang mengalami preeklampsia berat. Hasil uji multivariat yang
dilakukan Nova menunjukkan bahwa ibu dengan pre-eklampsia berat yang mengalami
sindrom HELLP memiliki risiko kematian 12 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak
mengalami sindrom HELLP. Penelitian yang dilakukan di Turkey oleh Bekir dkk(2017) yang
berjudul Maternal mortality due to hypertensive disorders in pregnancy, childbirth, and the
puerperium between 2012 and 2015 in Turkey: A nation-based study, juga mengatakan dalam
penelitiannya bahwa rasio tertinggi kematian ibu disebabkan oleh gangguan hipertensi
(62,7%) pada ibu berusia <35tahun dengan Eklampsia mewakili sekitar 31,0% dari gangguan
hipertensi.
f. Rekomendasi
Dalam beberapa jurnal penelitian yang kelompok sudah baca dan pahami bahwa ada
beberapa hal yang dapat kelompok rekomendasikan kepada pemerintah, layanan kesehatan
dan juga masyarakat untuk dapat menguragi dan menekan adanya peningkatan jumlah pasien
dengan preeklampsia serta khususnya pada ibu yang masih berusia dibawah 20 tahun dan
diatas 35 tahun yaitu dengan cara, antara lain:
1. Melakukan upaya promotif dan preventif kepada ibu hamil yang dilakukan oleh pihak
layanan kesehatan atau petugas kesehatan.
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara memberikan edukasi berupa penyuluhan dan
sosialisasi kepada masyarakat khususnya ibu hamil untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai faktor resiko dari preeklampsia. Hal ini diperkuat pula dengan literature yang
dikemukakan oleh Nursal dkk (2015-2016) dengan cara meningkatkan upaya promotif dan
preventif dengan memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai umur berisiko
terjadinya preeklampsia pada ibu hamil dan mengurangi berat badan sehingga tidak
mengalami obesitas pada kehamilannya sehingga dapat menambah pengetahuan ibu hamil
tentang faktor resiko preeklampsia.
2. Melakukan pengawasan dari pemerintah terhadap puskesmas maupun rumah sakit.
Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan pendataan dan pengawasan terhadap
puskesmas maupun rumah sakit agar kejadian preeklampsia tidak mengalami peningkatan.
Hal ini diperkuat dengan literature yang disarankan oleh Nova Muhani dan Besral (2015)
dengan melakukan pengawasan terhadap puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi dasar dalam melakukan pelayanan antenatal agar kasus preeklampsia berat
dapat dicegah dan memberikan penanganan pra rujukan pada ibu yang telah mengalami
preeklampsia berat sehingga dapat dipastikan bahwa proses rujukan ke rumah sakit
dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu juga dilakukan
peningkatan Audit Maternal Perinatal untuk mengkaji kasus kematian ibu akibat
preeklampsia berat dan melakukan program sweeping (penertiban) ibu hamil yang
beresiko pada setiap puskesmas agar ibu hamil yang beresiko mendapat perhatian khusus
terutama untuk mendeteksi secara dini adanya komplikasi kehamilan seperti eklampsia
dan sindroma HELLP secara cepat dan tepat.
3. Melakukan pemeriksaan secara teratur dan sedini mungkin serta melakukan pengobatan
jika telah terdeteksi preeklampsia.
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur
kepada bidan, dokter, perawat baik di puskesmas maupun di rumah sakit. Hal ini diperkuat
dengan literature yang dikemukakan oleh Nursal dkk (2015-2016) yakni masyarakat
khususnya ibu hamil dalam umur yang beresiko agar melakukan pemeriksaan antenatal
yang teratur dan bermutu serta teliti, dapat mengenali tanda-tanda sedini mungkin
(preeklampsia ringan), lalu memberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak
menjadi lebih buruk, melakukan istirahat yang cukup guna untuk melakukan pencegahan
kemungkinan terjadinya preeklampsia. Selain itu terdapat pula literature yang disampaikan
oleh Nova Muhani dan Besral (2015) dengan cara memberikan pengobatan pada ibu hamil
dengan hipertensi dan pengaturan diet yang ketat agar kejadian preeklampsia berat tidak
terjadi sehingga kematian ibu dapat dicegah.
4. Meningkatkan status pelayanan kesehatan dengan berdasarkan Standar Pelayanan
Kebidanan (SPK).
Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah, dimana hal ini diperkuat oleh literature yang
dikemukakan oleh Tenny (2019) dengan menerapkan dan memperketat kebijakan
pemerintah dalam mengatasi permasalahan terakit obstetric yang diatur dalam Kepmenkes
RI Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) yang
seuai dengan standar 3 yaitu Bidn memberikan asuhan antenatal bermutu tinggi untuk
mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau
rujukan dari komplikasi tertentu (Kepmenkes RI, 2007).
g. Kesimpulan
Preeklampsia adalah suatu keadaan dalam masa kehamilan dengan ditandai
peningkatan tekanan darah dan proteinuria, berhubungan dengan kejang atau eklampsia dan
disfungsi organ pada ibu juga mengakibatkan komplikasi pada janin seperti restriksi
pertumbuhan dan abrapsio plasenta, terjadi pada kehamilan 20 minggu, dan ditandai dengan
hipertensi pada kehamilan. Preeklampsia merupakan penyebab nomor 2 setelah perdarahan
yang menyebabkan kematian ibu. Kejadian preeklampsi meningkat menjadi tujuh kali lebih
tinggi di negara berkembang (2,8% dari kelahiran hidup) daripada di negara maju (0,4%).
Kriteria risiko yakni pada wanita usia <20 tahun dan >35 tahun.
Faktor penyebab preeklampsia dapat berupa status kesehatan reproduksi, riwayat
kesehatan, distensi rahim yang berlebih, faktor makanan, dan faktor pekerjaan. Faktor
pekerjaan berkaitan dengan adanya aktivitas fisik dan stress. Ibu dengan preeklampsia
memiliki risiko sebesar 3,303 kali dan 4,5 kali untuk menjalani persalinan prematur
dibandingkan dengan ibu tanpa preeklampsia berat. Ibu dengan preeklampsia berat berpotensi
mengalami komplikasi janin BBLR.
Upaya promotif dan preventif, pengawasan pemerintah, peningkatan pemeriksaan
secara teratur dan sedini mungkin, dan peningkatan status pelayanan kesehatan berdasarkan
Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) dapat dilakukan sebagai tindakan penanggulangan
bertingkat pada kejadian preeklampsia.
h. Referensi
Andini, Ayu. 2020. Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target SDGs.
Lokadata.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Angka Kematian Ibu Menurut Pulau. Jakarta.
Champman, V. 2006 Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta: EGC.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro. 2020. Pertemuan Upaya Penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Pertemuan Angka Kematian Bayi (AKB). Bojonegoro.
Dinas Kesehatan Provinsi Jatim. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2014.
Surabaya.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Profil Kesehatan Jawa Tengah 2018.
Semarang.
Faiza.M.M.R., Ngo.N.F., dan Fikriah.I. 2019. Hubungan Preeklampsia Berat dengan
Komplikasi Pada Janin di RSUD Abdul Wahab Sjahrinie Samarinda tahun 2017-2018.
Jurnal Kebidanan Mutiara Mahakam. Vol.7 (No.2): hal 74-84.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
Keskinkılıç, B. Engin-Üstün, Y. et al. 2017. Maternal mortality due to hypertensive disorders
in pregnancy, childbirth, and the puerperium between 2012 and 2015 in Turkey: A
nation-based study. J Turk Ger Gynecol Assoc. 18: 20-5
Muhani.N dan Besral. 2015. Severe Preeclampsia and Maternal Death. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. Vol. 10 (No. 2): hal 85.
Nur, A. F., dan Arifuddin, A., 2017. Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di
RSU Anutapura Kota Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. Vol. 7 (No. 2): hal 52-58.
Nursal.D.G.A., Tamela.P., dan Fitrayeni. 2015-2016. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia
pada Ibu Hamil di RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2014. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas. Vol. 10 (No. 1): hal 38-44.
Prawirohardjo, S., 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sari, N. K. 2016. Determinan Gangguan Hipertensi Kehamilan di Indonesia. Berita
Kedokteran Masyarakat. Vol. 32 (No. 19)
Sukmawati. Mamuroh, L. Nurhakim. 2018. Hubungan Riwayat Hipertensi Dengan Kejadian
Preeklampsia diRuang Kalimaya Rsu Dr Slamet Garut. Prosiding Seminar Nasional dan
Diseminasi Penelitian Kesehatan. ISBN:978-602-72636-3-5
Syaifuddin, A.B., 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Nina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Tarnoto.T dan Kurniawati.H.F. 2019. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Pre Eklampsia di
RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta tahun 2018. Jurnal Kesehatan Karya
Husada. Vol.7 (No.2): hal 30-38.
Utami, Bakti S., dkk. 2020. Hubungan Riwayat Hipertensi dan Status gizi dengan Kejadian
Preklamsia pada Ibu Hamil: Literatur Review. Jurnal Ilmu Keperawatan Maternitas. Vol.
3 (No. 2): hal 22-28
WHO. 2008. World Health Static.

Anda mungkin juga menyukai