net/publication/346474969
CITATIONS READS
0 916
1 author:
Andika Saputra
Universitas Muhammadiyah Surakarta
14 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Andika Saputra on 19 December 2020.
Pada bagian pertama tulisan ini saya akan mengulas pemahaman di atas dengan
menempatkan teknologi sebagai bagian dari budaya manusia1. Dengan pendekatan ini realitas
teknologi dapat difahami secara menyeluruh (holistik) dan dalam perspektif yang luas
(komprehensif) karena sebagai bagian dari budaya manusia, teknologi memiliki aspek
gagasan, perilaku, dan artefak yang secara struktural terikat dengan seluruh unsur budaya
manusia, dari persoalan politik, ekonomi, kondisi sosial, capaian seni, hingga realitas yang
melampaui budaya, yakni sistem keyakinan. Menjelaskan singkat aspek budaya manusia
yang telah disebutkan sebelumnya, aspek gagasan bersifat abstrak merujuk pada pemikiran
atau ide yang melandasi dicipta atau digunakannya suatu teknologi. Aspek perilaku
merupakan tujuan penggunaan dan tata cara atau prosedur penggunaan suatu teknologi. Yang
terakhir, aspek artefak merupakan perwujudan fisik teknologi. Sebenarnya terdapat satu
1
Dalam bidang keilmuan antropologi budaya, pendekatan ini dikenal dengan istilah Kulturalisme yang
mengandaikan manusia dan segala capaian hidupnya merupakan bagian dari struktur budaya, termasuk agama
yang dipandang sebagai hasil kreasi manusia untuk bertahan hidup dan membina kehidupan. Singkatnya dalam
pandangan Kulturalisme, tidak ada satu pun yang dapat berada di luar struktur budaya. Pada titik ekstrimnya,
Kulturalisme merupakan pandangan yang bersifat deterministik, bahwa kedudukan manusia yang terjebak di
dalam suatu struktur budaya senantiasa dipengaruhi secara mutlak oleh struktur tersebut. Salah satu tokoh di
bidang antropologi arsitektur yang memperkenalkan pendekatan ini adalah Amos Rapoport.
Ditinjau dari perspektif Islam, pendekatan Kulturalisme tidak sepenuhnya dapat diterima, sehingga saya
melakukan modifikasi pada ranah filosofisnya dengan menempatkan agama sebagai unsur yang melampaui
budaya karena merupakan pembentuk sekaligus pemberi landasan bagi suatu struktur budaya. Dengan demikian,
manusia yang beragama di satu sisi merupakan bagian dari budaya di mana ia terlibat, sementara di sisi yang
lain ia mampu melampaui struktur budaya dengan senantiasa mencipta, mengembangkan, memodifikasi, bahkan
menghapus budaya yang diusungnya berbekal agama yang diyakininya benar.
Melihatnya dari pendekatan yang saya gunakan, pemahaman teknologi bagaikan pisau
menyiratkan bahwa teknologi -tanpa pembatasan jenis teknologi- bebas nilai (value-free) dari
aspek gagasan dan artefaknya. Hal ini mengandaikan bahwa seluruh umat manusia, tidak
peduli identitas ras, etnik, dan sistem keyakinan yang dianutnya, akan memiliki gagasan yang
sama dalam mencipta suatu teknologi atau dalam perspektif lain, gagasan yang melandasi
diciptanya suatu teknologi akan mendapatkan penerimaan begitu saja dari masyarakat luas.
Begitu pula dalam aspek artefak, seperti apa pun perwujudan fisik suatu teknologi tidak akan
bertentangan dengan sistem keyakinan yang dianut oleh beragam komunitas manusia di
berbagai belahan dunia. Lagi-lagi dalam perspektif yang lain, siapa pun akan dapat mencipta
suatu teknologi dengan perwujudan fisik yang sama dikarenakan tidak bertentangan dengan
sistem keyakinan maupun cara hidup yang dianut. Sebagai contoh kita dapat mengulas pisau
yang merupakan teknologi pemotong. Pemahaman tadi mengandaikan seluruh manusia akan
sampai pada gagasan maupun perwujudan fisik pisau yang sama karena pisau dari aspek
gagasan dan artefaknya bersifat universal. Sepertinya tidak ada satu pun manusia yang akan
menggugat gagasan pisau untuk memotong dan bentuk artefaknya yang memiliki sisi
pegangan di satu bagian dengan sisi bilah tajam untuk memotong di bagian lainnya.
Sementara pemahaman tadi memandang aspek gagasan dan artefak teknologi bebas
nilai, tidak demikian dengan aspek perilaku yang sarat dengan muatan nilai (value-laden).
Kesepakatan mengenai gagasan pisau sebagai alat potong dan bentuk artefak yang
memungkinkannya digunakan untuk memotong, tidak berarti seluruh manusia akan
menggunakannya untuk memotong sayur dan daging. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mendapati sekalangan manusia yang menggunakan pisau untuk membuka mur, atraksi
pertunjukan sirkus, permainan lempar pisau, hingga membunuh untuk menumpahkan dendam
pribadi atau mendapatkan barang berharga milik seseorang.
Pemahaman di atas dapat diperluas untuk contoh selain pisau, seperti teknologi internet
dengan perangkat gawainya yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi yang
baik mau pun sebaliknya; informasi yang memuat penghinaan dan cacian. Begitu pula
teknologi pengeras suara elektronik dapat digunakan untuk mengumandangkan adzan atau
untuk memeriahkan konser musik. Tak ketinggalan teknologi mobil listrik yang bagi
sekalangan manusia diperjual belikan untuk mendulang keuntungan perusahaan dengan
memperhatikan pasar yang terus tumbuh, sementara sekalangan manusia yang lain
menggunakan dan mengkampanyekannya semata untuk menyelamatkan lingkungan di tengah
2
Ini merupakan pandangan Prof. Heddy Shri Ahimsa yang disampaikan pada perkuliahan Antropologi
Arsitektur di Pascasarjana Arsitektur UGM sebagai tanggapan beliau terhadap pandangan Prof.
Koentjaraningrat. Menurut Prof. Heddy Shri Ahimsa, bahasa bukanlah merupakan salah satu unsur budaya
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Koentjaraningrat, tetapi merupakan salah satu aspek bahasa dikarenakan
setiap unsur bahasa memiliki penamaan atau istilah khas yang diberikan oleh suatu komunitas masyarakat.
Membedah Teknologi
Dalam bagian kedua tulisan ini saya hendak melontarkan kritik terhadap pemahaman
teknologi bagaikan pisau dengan pertama-tama mengajukan pertanyaan, tepatkah
menganalogikan teknologi dengan sebilah pisau? Apakah teknologi benar-benar bebas nilai;
sama sekali tidak mengandung nilai pada aspek gagasan dan artefaknya? Lalu bagaimana
dengan bom nuklir, apakah hanya persoalan tujuan dan tata cara penggunaannya saja yang
harus sesuai dengan etika dan tujuan yang baik?
Sebelum saya menyampaikan kritik, saya sepakat pada poin bahwa aspek perilaku
teknologi tidaklah bebas nilai. Penggunaan teknologi harus dilandasi kebajikan untuk
kebaikan seluruh umat manusia tanpa terkecuali, dan memastikan kelestarian makhluk
lainnya sebagai amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Merujuk pada Islam, aspek
perilaku teknologi terkait erat dengan konsep maslahat, rahmat, dan akhlaqul karimah,
sehingga penggunaan teknologi yang berdampak pada kerusakan manusia secara fisik, psikis,
sosial, dan kultural serta kerusakan pada alam yang merupakan tempat berkehidupan seluruh
makhluk Tuhan tidaklah dibenarkan, sebagaimana termuat dalam Surah Asy-Syu’araa: 183
berikut (yang artinya),
Namun saya tidak sepakat pandangan yang menyatakan bahwasanya aspek gagasan dan
artefak teknologi adalah bebas nilai. Saya memiliki sebuah contoh dari bidang arsitekur untuk
direnungkan. Bangunan tinggi yang kini lazim dalam lingkungan kehidupan kita di tengah
perkotaan kontemporer, juga telah dikenal pada kehidupan masyarakat Mesir Kuno di bawah
kekuasaan Fir’aun. Allah melalui Al-Qur’an menyampaikan kabar tersebut sebagaimana
termuat dalam Surah Al-Qashash: 38 (yang artinya),
Dan berkata Fir'aun, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang tinggi agar aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".
Berdasarkan ayat di atas dan realitas kehidupan kontemporer kita mendapati perbedaan
gagasan dan artefak yang mendasari perwujudan bangunan tinggi pada dua periode yang
terpaut perbedaan waktu berpuluh abad. Perintah Fir’aun kepada Haman untuk mendirikan
bangunan tinggi dilandasi gagasan status dirinya sebagai tuhan, sedangkan bangunan tinggi
pada masa kini dilandasi gagasan simbol penguasaan ekonomi dalam lingkup global. Dari
aspek artefaknya bangunan tinggi yang dikehendaki Fir’aun menggunakan bahan bata bakar
yang jelas berbeda jika dibandingkan dengan bangunan tinggi masa kini yang menggunakan
Gambar 1: Fenomena bangunan tinggi pada zaman kontemporer yang berlandaskan gagasan ekonomi. Siapa
yang memiliki bangunan tertinggi di dunia, maka ialah penguasa ekonomi dalam skala global
Menjadi tidak koheren pandangan yang menyatakan pengaruh sistem keyakinan hanya
pada aspek perilaku teknologi, sementara sistem keyakinan yang sama tidak dapat
mempengaruhi aspek gagasan dan artefak teknologi. Pandangan ini bermasalah dilihat dari
dua sisi. Pertama, pandangan tadi menempatkan tiga aspek teknologi tidak terikat secara
struktural, tetapi masing-masing berdiri secara otonom yang menjadikannya tidak selalu
koheren antara satu aspek dengan lainnya. Kondisi tersebut tidak mungkin karena
mengandaikan manusia dapat hidup dan membina kehidupan di dalam suatu alam budaya
yang pecah disebabkan tidak terjalinnya setiap aspek pembentuk budaya dalam suatu struktur
yang koheren dan ajeg. Secara konseptual alam budaya yang pecah tergambarkan dari
terjadinya kontradiksi antar aspek dan unsur budaya yang menyebabkan budaya tersebut
tidak dapat digunakan manusia sebagai selaput mengarungi kehidupan yang berkualitas3. Dan
3
Budaya yang pecah dalam kajian kebudayaan kontemporer dikenal dengan istilah skizofrenia budaya yang
berdampak negatif terhadap kondisi psikologi manusia pengusung budaya tersebut. Di antaranya dampaknya
ialah identitas ganda yang kontradiktif yang menandakan suatu komunitas manusia sedang mengalami
Seseorang atau sekelompok manusia yang mengenali alat potong sebagai salah satu
kebutuhan dirinya untuk memotong hewan buruan maupun buah dan sayur mayur yang
dikumpulkannya di hutan mendorong manusia untuk mencipta pisau sejak periode kehidupan
berburu dan meramu yang terus mengalami peningkatan kualitas artefak hingga masa kini
dengan spesifikasi pisau yang semakin ringan, semakin tajam, dan semakin nyaman
digenggam yang mempengaruhi aspek perilaku dari teknologi pisau, yakni paling tidak untuk
memotong daging hewan berukuran besar manusia tidak harus mengerahkan seluruh
tenaganya dan menjadikan tangannya sebagai pengguna tidak merasakan sakit setiap kali
menggunakan pisau dalam durasi waktu yang panjang. Sementara itu bagi seseorang maupun
sekelompok manusia yang tidak memiliki keterampilan dalam mencipta pisau, kebutuhannya
terhadap pisau sebagai alat potong dapat dipenuhi dengan cara meminjam, membeli atau
melakukan pertukaran, hingga melakukan pencurian dan penjarahan.
Contoh lain adalah perangkat teknologi informasi dan digital untuk menyelenggarakan
pembelajaran secara daring. Pada awal diperkenalkannya tidak seluruh manusia maupun
kebingungan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dengan begitu budaya yang pecah tidak dapat digunakan
oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang baik, dalam skala yang lebih luas mewujudkan peradaban
yang dominan.
Tambahan penjelasan catatan kaki ini saya tuliskan ketika terlibat obrolan dengan istri berkenaan dengan
fenomena skizofrenia budaya yang diidap oleh umat Islam pada masa kini. Salah satu persoalan yang kami
bahas ialah sekalangan Muslim yang di satu sisi sangat ketat melangsungkan dan menampakkan tradisi
keagamaan, tetapi di sisi lain tidak mampu mengintegrasikan capaian teknologi modern ke dalam struktur
budaya yang salah satunya berasaskan pada konsep zuhud, seperti memiliki mobil mewah, rumah mewah,
hingga perhiasan mewah yang ditampakkan, sehingga kerapkali menampakkan citra gaya hidup hedonis yang
merupakan ciri khas kehidupan modern.
Untuk mencipta teknologi, aspek gagasan haruslah bersifat spesifik terkait dengan
kebutuhan yang hendak dipenuhi dikarenakan mempengaruhi tata cara penggunaan dan
bentukan artefak teknologi yang dicipta. Seseorang atau komunitas manusia yang
membutuhkan pisau untuk memotong hewan berukuran besar, seperti mamoth akan
membutuhkan spesifikasi pisau dengan cara penggunaannya yang berbeda dibandingkan
dengan komunitas lain yang membutuhkan teknologi serupa untuk memotong ikan.
Pandangan ini bermakna bahwa perumusan aspek gagasan teknologi selain melibatkan sistem
keyakinan yang mengafirmasi kebutuhan manusia untuk dipenuhi dengan cara-cara yang
patut dilakukan, juga melibatkan pemahaman pencipta teknologi terhadap kondisi lingkungan
kehidupannya, serta kondisi sosial, ekonomi, dan kultural masyarakatnya. Memperhatikan
faktor yang disebutkan terakhir, seseorang yang hidup di tengah masyarakat dengan nilai
komunalitas yang kuat dan secara kultural terbiasa menggunakan pisau dengan tangan kiri,
namun dengan tingkat perekonomian yang rendah, akan mempengaruhi tata cara penggunaan
dan bentuk artefak pisau yang diciptanya, yakni pisau berukuran besar untuk dapat digunakan
secara komunal, selain memiliki bagian pegangan yang nyaman untuk digunakan dengan
tangan kiri, serta biaya produksinya terbilang rendah dengan memanfaatan bahan dan teknik
ketukangan setempat agar mampu dijangkau oleh masyarakat penggunanya.
Tokoh selanjutnya adalah Malik Bennabi5 yang dikenal sebagai penerus pemikiran Ibnu
Khaldun pada zaman modern. Bennabi mengidentifikasi perbedaan karakter antara peradaban
yang berasaskan pada Islam dengan peradaban modern yang lahir dari rahim faham
Materialisme. Berdasarkan pandangannya tersebut Bennabi menyatakan upaya pembinaan
Peradaban Islam tidak dapat dilakukan dengan cara menumpuk teknologi melalui program
alih teknologi dari negara maju sebagaimana dianjurkan pihak Barat kepada umat Islam
dikarenakan sistem keyakinan Islam yang bersifat spiritual menuntut setiap penciptaan
teknologi utamanya didasari kepentingan untuk meningkatkan kualitas manusia walaupun
untuk itu penciptaan dan penggunaan teknologi menjadi tidak selaras dengan capaian
ekonomi. Pandangan yang senada disampaikan oleh Ziauddin Sardar6 dan Ali A. Allawi7,
bahwasanya umat Islam harus memperhatikan kebutuhannya sebagai dasar penciptaan
maupun penggunaan teknologi agar sesuai dengan dimensi dalaman Peradaban Islam yang
memuat spiritualitas, nilai-nilai, dan semangat Islam. Salah mengidentifikasi kebutuhan akan
menyebabkan salah dalam penciptaan dan penggunaan teknologi yang berdampak pada
robeknya rajutan Peradaban Islam di mana teknologi sebagai salah satu pembentuk dimensi
luaran tidak selaras karena mengambil posisi yang kontradiktif dengan dimensi dalaman
Peradaban Islam.
Memiliki argumentasi yang mirip, E.F. Schumacher8 yang merupakan tokoh di bidang
ekonomi menggugat teknologi modern yang merupakan tulang punggung industrialisasi
karena menyebabkan berbagai krisis dalam kehidupan manusia, sehingga penggunaan
teknologi tersebut justru menjadikan manusia semakin jauh dari tujuan hidupnya yang luhur.
Dari analisanya, Schumacher hendak menunjukkan dua hal bahwasanya terdapat perbedaan
kebutuhan teknologi antara negara maju dengan negara berkembang yang bermakna industri
dalam skala besar yang menjadi ciri khas negara maju tidak bisa dialihkan ke bagian dunia
lain yang sedang berupaya memenuhi kebutuhan mendasar masyarakatnya. Selain itu,
Schumacher menemukan dalam analisisnya bahwa teknologi modern tidaklah sesuai dengan
hakikat manusia yang menjadi sebab baginya tidak mampu meraih kebahagiaan dalam hidup.
Berangkat dari sini gagasan teknologi madya (intermediate technology) yang dirintis
Schumacher untuk negara dunia ketiga, lambat laun dibutuhkan pula oleh masyarakat yang
bemukim di negara maju.
Para tokoh yang saya kutip di atas menunjukkan relasi teknologi terhadap kebutuhan
manusia dari lingkup individu, masyarakat, hingga negara yang memperkuat dua argumentasi
yang melandasi pandangan saya bahwasanya teknologi tidak bebas nilai pada tiga aspek
pembentuknya. Dengan begitu realitas yang menunjukkan suatu teknologi dimiliki dan
digunakan secara luas oleh hampir seluruh manusia dari berbagai latarbelakang budaya, ras,
5
Bennabi. Malik, 1994, Membangun Dunia Baru Islam, Bandung: Penerbit Mizan.
6
Sardar. Ziauddin, 1987, Masa Depan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
7
Allawi. Ali A., 2015, Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total, Bandung: Mizan.
8
Schumacher. E.F., 1979, Kecil Itu Indah, Jakarta: LP3ES.
Schumacher. E.F., 2008, Kerja Bermartabat, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Selain terdapat teknologi yang dicipta dan digunakan secara luas, juga terdapat
teknologi yang hanya dicipta dan digunakan oleh satu atau sedikit komunitas manusia
disebabkan kekhasan sistem keyakinan yang dianut maupun kekhasan ruang kehidupan yang
ditinggali, sehingga hampir-hampir tidak dapat tersebar luas di kalangan komunitas manusia
lain yang menganut sistem keyakinan dan ruang kehidupan yang berbeda. Saya dapat
mencontohkan dari bidang arsitektur yang merupakan bagian dari teknologi rancang bangun
untuk membentuk lingkungan binaan bagi manusia agar dapat ditinggali dengan aman dan
nyaman, baik secara fisiologis maupun psikologis. Dalam lingkup umat Islam dengan sistem
keyakinan Islam yang berasaskan pada Tauhid, masjid merupakan teknologi yang khas milik
umat Islam dengan ruang utama bersifat egaliter yang diperuntukkan untuk mewadahi ibadah
maghdah sebagai cerminan pandangan Islam yang menempatkan kesejajaran manusia ketika
beribadah kepada Allah. Seorang buruh dapat melaksanakan shalat di shaf pertama
bersebelahan dengan pemilik pabrik, pun tenaga kependidikan dapat berada di shaf shalat
paling depan membelakangi pimpinan universitas. Gagasan tersebut melandasi penciptaan
dan penggunaan sistem struktur hypostyle dengan artefak jajaran kolom yang menerus untuk
menopang ruang utama masjid, sehingga terbentuk suasana ruang yang egaliter di mana tidak
terdapat satu pun bagian ruang yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya.
Kita bahas satu contoh, yakni Masjid Cordoba yang menerapkan sistem struktur
hypostyle pada ruang utamanya. Ketika umat Islam terusir dari Andalusia sebab serangan
Reconquista yang dipimpin oleh Raja Fernando dari Aragon dan Ratu Isabel dari Castilla,
Masjid Cordoba menjadi di bawah kekuasaan kerajaan Katolik. Kehendak untuk
mengalihfungsikan Masjid Cordoba menjadi gereja tidak mudah karena sifat ruang yang
egaliter tidak sesuai dengan gagasan umat Katolik terkait ruang utama gereja yang bersifat
hirarkis. Solusi yang dilakukan ialah merobohkan bagian tengah Masjid Cordoba untuk
dibangun gereja Katolik dengan altar yang tinggi di bagian depan untuk pendeta dan gang
lebar (nave) di bagian tengah yang membagi jemaat gereja berada di sisi kiri dan kanan altar.
Masjid memang memiliki mihrab yang diperuntukkan bagi imam untuk memimpin shalat,
tetapi gagasan antara mihrab dan altar tidaklah sama karena shalat memiliki hukum fardhu
ain yang mengharuskan seluruh jamaah turut melaksanakan shalat di bawah komando imam.
Dengan gagasan demikian, mihrab pada masa awal memiliki elevasi lantai yang sejajar
dengan area shalat jamaah dan dengan bentuk ceruk kecil sehingga tidak signifikan berbeda
dengan area yang digunakan jamaah yang menegaskan sifat egaliter ruang utama masjid.
Sistem keyakinan tidak hanya membentuk aspek gagasan yang khas yang menjadikan
suatu teknologi hanya dicipta dan digunakan oleh satu atau sedikit komunitas manusia. Aspek
perilaku yang khas, di antaranya laku peribadatan yang merupakan ajaran suatu sistem
keyakinan, turut pula membentuk teknologi yang khas. Saya dapat mencontohkan perilaku
wudhu dengan syarat dan rukunnya yang dilakukan umat Islam paling tidak setiap kali
sebelum melaksanakan ibadah shalat, mempengaruhi bentuk tempat wudhu sebagai teknologi
yang dicipta dan digunakan umat Islam. Dengan bentuk artefaknya sebagaimana dapat dilihat
pada gambar 3, teknologi tempat wudhu tidak mendorong umat lain untuk turut memiliki dan
menggunakannya disebabkan ketiadaan kebutuhan terhadap teknologi tersebut dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu dikarenakan kekhasan aspek perilakunya, tidak
setiap teknologi cocok digunakan agar wudhu dapat dilakukan dengan baik, seperti wastafel
yang justru akan menyulitkan seorang Muslim untuk melangsungkan kegiatan wudhu.
Gambar 3: Teknologi untuk melakukan wudhu yang merupakan khas milik umat Islam disebabkan kekhasan
aspek perilaku yang merupakan bagian dari sistem keyakinan Islam
Demikianlah pandangan saya perihal teknologi sebagai bagian dari budaya manusia
yang menjadikannya tidak bebas nilai, sehingga saya menilai pemahaman yang memandang
teknologi bagaikan pisau untuk menunjukkan netralitas teknologi tidaklah tepat, walaupun
tidak salah sepenuhnya. Pemahaman tersebut mereduksi realitas teknologi yang
sesungguhnya kompleks sebab berjalin kelindan dengan manusia sebagai subjek yang hidup
Tersisa pertanyaan yang belum terjawab dalam tulisan ini. Pertama, apa dampak dari
pemahaman yang dianut secara luas oleh umat Islam pada hari ini bahwasanya teknologi
merupakan realitas yang bebas nilai bagaikan pisau? Kedua, bagaimana menjelaskan
teknologi yang pada awalnya dicipta dan digunakan oleh hanya segelintir manusia atau
komunitas manusia yang terbatas, kemudian diterima secara luas dan digunakan oleh hampir
seluruh manusia pada masa kemudian? Dalam tulisan selanjutnya sebagai kelanjutan dari
tulisan ini saya akan menanggapi dua pertanyaan tersebut, insya Allah.