Anda di halaman 1dari 7

Di Balik Tabir Feminisme

Akmal, M.Pd.I.

Sebagai bagian dari gerakan global, para aktivis pengusung feminisme Jakarta
turut menggelar aksi Women’s March pada 3 Maret 2018 yang lalu. Dalam aksi yang
dimulai dari pelataran hotel Sari Pan Pacific hingga taman aspirasi di seberang Istana
Merdeka itu, mereka menyuarakan beragam isu yang berhubungan dengan kaum
perempuan.

Sejumlah isu seperti persamaan hak dalam kesempatan memperoleh pendidikan


dan pekerjaan memang telah lama menjadi bahan diskusi. Selain itu, persoalan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga sangat layak mendapat perhatian.
Idealnya, rumah tangga yang diinginkan setiap manusia adalah yang sakinah, yaitu
yang dapat memutus semua masalah, bukannya menambah masalah. Karena itu,
wacana meningkatkan ketahanan keluarga yang dibicarakan oleh banyak orang
belakangan ini memang menemukan konteksnya. Akan tetapi, wacana ketahanan
keluarga justru tak pernah menjadi prioritas dalam perjuangan kaum feminis di mana
pun. Padahal, keluarga adalah benteng pertahanan bangsa yang terakhir.

Barangkali tidak semua perempuan juga merasa bahwa suara hatinya terwakili
oleh Women’s March. Sebab, selain hal-hal yang tersebut di atas, ada juga
persoalan-persoalan lain yang menjadi ‘penumpang gelap’ dalam aksi yang satu ini.
Wacana-wacana tersebut antara lain adalah pembelaan terhadap LGBT, penolakan
terhadap RKUHP, hak otoritas atas tubuh, seks bebas, dan bahkan dukungan terhadap
pelacuran. Dengan sedikit usaha, kita akan dapat dengan mudah menemukan
dokumentasi aksi Women’s March 2018 di dunia maya.1

Pembelaan Terhadap LGBT

Salah satu ‘penumpang gelap’ yang ikut mengendarai wacana kaum feminis di
Women’s March 2018 adalah wacana LGBT. Seorang waria turut mengikuti aksi
dengan membawa poster bertuliskan “Support all sisters, not just cis-ters”.
“Cisgender”, atau seringkali disingkat menjadi “cis”, artinya adalah seseorang yang
identitas gendernya sesuai dengan jenis kelaminnya. Dengan demikian, ‘cis-ters’ yang
dibicarakan di sini adalah orang-orang yang terlahir sebagai perempuan dan
berperilaku layaknya perempuan. Tapi, menurut sang waria tadi, sisters itu lebih luas
cakupannya ketimbang cis-ters. Dengan kata lain, meski ia terlahir sebagai lelaki,

1
Tidak sulit menemukan dokumentasi dari aksi Women’s March 2018 di Jakarta. Salah satunya dapat diakses di
https://www.vice.com/id_id/article/bj5kx3/deretan-makna-perjuangan-bagi-mereka-yang-terlibat-womens-marc
h-di-indonesia (19 April 2018).
namun karena berperilaku seperti perempuan, maka haruslah dianggap sebagai
perempuan.

Sebenarnya istilah ‘cis-gender’ sendiri telah menunjukkan kerancuan yang timbul


akibat perilaku transgender ini. Laki-laki yang berlagak seperti perempuan memang
mengalami dilema; di kalangan lelaki ia tidak diakui, dan di kalangan perempuan ia
tidak diterima. Meski ia ikut dalam aksi feminis dan menyebut dirinya sebagai bagian
dari ‘sisters’, namun belum tentu ia diterima dengan baik oleh kaum Hawa, misalnya
di toilet perempuan. Karena, bertentangan dengan keinginannya, hanya cis-ters-lah
yang benar-benar layak disebut sisters.

Dalam aksi yang sama, ada pula sejumlah oknum yang tak malu-malu lagi
mengaku sebagai lesbian, bahkan mereka merasa perlu menuliskannya dalam poster
yang dibawanya ke mana-mana. Memang, isu LGBT berhembus semakin kencang
beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah seluruh negara bagian AS secara
resmi memperbolehkan perkawinan sejenis. Meski demikian, LGBT dianggap tabu di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang memandang perilaku ini sebagai tindakan
tak bermoral.

Kelompok-kelompok LGBT nampaknya sulit untuk menampik tuduhan amoral


terhadap mereka. Buktinya, walau sangat minoritas, namun dalam dua tahun terakhir
saja sudah cukup banyak kasus pesta seks kaum homoseks yang terungkap, bahkan
ada yang melibatkan hingga lebih dari 100 orang peserta.2 Meski kemudian sebagian
besar di antara peserta pesta seks itu dilepas lagi (karena adanya kekosongan hukum
untuk menjerat mereka), namun argumen moral tak lagi dapat digunakan. Karena itu,
penolakan masyarakat, termasuk juga sebagian besar kaum perempuan, semestinya
mudah dimengerti. Sementara kaum homoseks bersikeras bahwa orientasi seksual
mereka tidak menyimpang, perilakunya justru terlihat jauh dari normal.

Penolakan Terhadap RKUHP

Mudah ditebak, jika ada yang mengangkat isu pro-LGBT di tanah air sekarang ini,
pastilah mereka juga menyuarakan penolakan terhadap RUU KUHP yang tengah
dibahas di DPR RI saat ini. Pasalnya, di antara sekian banyak pasal yang tengah
digodok di dalamnya, ada tuntutan kuat dari masyarakat agar negara (melalui KUHP)
menunjukkan penolakan terhadap perilaku LGBT. Di Women’s March, justru RUU
KUHP itulah yang dibilang ngawur.

Dua tahun sebelumnya, lebih tepatnya sejak bulan Juni 2016, telah digelar
serangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang membahas sebagian
kecil dari KUHP, lebih tepatnya tiga pasal kesusilaan di dalamnya. Ketiga pasal
tersebut, yaitu pasal 284, 285 dan 292, dianggap masih memiliki celah yang
membuatnya tak mampu melindungi rakyat Indonesia, dan karenanya, perlu ditinjau
ulang. Sebenarnya, persoalan mendasar dari KUHP yang digunakan di Indonesia saat

2
Lihat, misalnya, peristiwa 21 Mei 2017 silam, ketika sebuah pesta seks di Kelapa Gading yang melibatkan 141
orang peserta digrebek oleh petugas. Hampir semua media massa nasional meliputnya, antara lain di
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/17/05/22/oqc2tr330-141-orang-diciduk-po
lisi-dalam-pesta-seks-gay-the-wild-one.
ini adalah karena ia bersumber dari hukum kolonial Belanda, yaitu Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang telah diberlakukan sejak tahun 1918. Dapat
dibayangkan, paling tidak sebagian pasal di dalamnya telah kedaluwarsa, dan
memang tidak sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Secara ringkas, permohonan uji materi terhadap pasal-pasal kesusilaan itu dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pasal 284 yang melarang perselingkuhan sudah
semestinya diperluas menjadi larangan terhadap perzinaan. Sebab, banyak orang yang
tidak terikat dalam pernikahan melakukan zina, dan karena mereka tidak dalam
pernikahan, maka mereka tidak dikategorikan sebagai pelaku tindak perselingkuhani.
Padahal, segala jenis perzinaan, dan bukannya hanya perselingkuhan, telah
mengancam keutuhan keluarga.

Kedua, pasal 285 yang berfungsi melindungi masyarakat dari tindak pemerkosaan,
ternyata mendefinisikan pemerkosaan sebagai pemaksaan terhadap seorang
perempuan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh. Padahal,
dengan semakin merebaknya fenomena homoseksualitas sekarang ini, semakin
banyak laki-laki yang mengalami pemerkosaan. Karena itu, pengertian dalam pasal ini
perlu diperluas sehingga korban pemerkosaan juga mencakup laki-laki, atau dengan
kata lain untuk setiap manusia tanpa kecuali.

Ketiga, pasal 292 melarang orang dewasa melakukan perbuatan cabul sesama
jenis dengan orang yang belum dewasa, namun tidak melarang perbuatan cabul
sesama jenis yang dilakukan oleh sesama orang dewasa atau sesama orang yang
belum dewasa. Para pemohon judicial review berpandangan bahwa larangan ini
semestinya diperluas kepada hubungan sesama jenis tanpa batasan umur, karena
perilaku ini bagaimana pun membahayakan bagi masyarakat dan tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang religius.

Dalam perjalanan panjang persidangan ini, penentangan yang kuat justru


ditemukan dari Komnas Perempuan. Menariknya, Komnas Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) berada pada posisi yang berlawanan. Dr. Asrorun Ni’am, Ketua
KPAI, hadir di hadapan majelis hakim MK untuk menjelaskan bahaya yang akan
ditimbulkan bagi anak-anak Indonesia jika pasal-pasal kesusilaan tersebut tidak
direvisi. Akan tetapi, Komnas Perempuan sangat gigih menolaknya. Nampaknya, baru
kali ini kita menyaksikan organisasi perempuan yang begitu keras mengabaikan
kepentingan anak.

Pada akhirnya, permohonan judicial review ini memang ditolak. Akan tetapi,
perlu dicatat bahwa dalam amar putusan-nya, MK menyatakan bahwa penolakannya
terhadap permohonan judicial review tidaklah berarti MK menolak gagasan
pembaruan para pemohon, tidak pula berarti MK berpendapat bahwa norma hukum
pidana yang ada dalam pasal-pasal kesusilaan KUHP tersebut sudah lengkap dan
tidak butuh penyempurnaan.3 Hanya saja, MK berpendapat bahwa yang dimohonkan
adalah perluasan sejumlah makna yang lebih tepat jika diajukan kepada DPR RI
sebagai pembentuk undang-undang. Karena itu, pembahasan mengenai perubahan
KUHP ini kini berpindah ke DPR RI dalam bentuk rancangan undang-undang yang

3
Amar Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016, hlm. 452 (dapat diakses di laman situs resmi MK,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, demikian pula seluruh risalah sidangnya).
dikenal sebagai RKUHP. Perlu pula digarisbawahi bahwa dari sembilan orang hakim,
ada empat yang mengajukan dissenting opinion. Artinya, empat dari sembilan orang
hakim tersebut mendukung dilakukannya perubahan pada pasal-pasal kesusilaan.

Meski apa yang disusun oleh DPR RI dalam RKUHP kini lebih luas dan tidak
persis sama dengan yang diperjuangkan di MK tempo hari, namun penolakan
terhadap RKUHP di kalangan feminis (dan juga aktivis pembela LGBT) nampaknya
sangat merata dan terus dikampanyekan.

Otoritas Hak Tubuh

Isu lainnya yang juga dianggap penting oleh kaum feminis adalah ‘otoritas hak
tubuh’. Sejumlah perempuan dalam Women’s March 2018 di Jakarta terlihat
membawa poster bertuliskan “Bukan baju gue yang porno, tapi otak lo”, atau “Aurat
gue bukan urusan lo”. Pesan yang hendak disampaikan sangat sederhana: kaum
feminis tidak ingin diatur soal aurat.

Ada masalah etika yang agaknya memang dengan sengaja diabaikan. Manusia
bukanlah individu yang lahir ke dunia ini dan kemudian berjuang seorang diri. Secara
moral, seorang manusia semestinya merasa berhutang budi pada banyak orang,
terutama pada kedua orang tuanya sendiri. Seorang anak gadis yang berpakaian
minim belum tentu mendapat restu orang tuanya untuk berbuat demikian. Boleh saja
ia mengatakan bahwa dirinya sudah mampu membuat keputusan sendiri, namun
ketika seseorang berperilaku tidak baik, maka yang akan jatuh nama baiknya bukan
hanya dirinya seorang, melainkan juga seluruh keluarganya. Seorang bintang film
porno bisa saja merasa berhak memilih jalan hidupnya sendiri, namun belum tentu
orang tua, saudara atau anak-anaknya senang dikaitkan dengan seseorang yang
profesinya seperti dirinya.

Tentu saja, persoalan aurat ini pun membenturkan kaum feminis dengan agama,
termasuk agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, yaitu Islam (kata
“aurat” sendiri merupakan kosa kata Islam). Menyatakan bahwa aurat tak perlu diatur
adalah provokasi kepada umat Muslim untuk mengingkari agamanya sendiri. Padahal,
bangsa Indonesia menempatkan martabat Tuhan dan agama di posisi tertinggi,
termasuk dalam dasar negaranya sendiri.

Seks Bebas

Setelah tubuh diklaim sebagai milik sendiri yang tidak boleh diatur siapa pun,
masih ada wacana lain yang lebih mengerikan. Ada, misalnya, yang membawa poster
“Keperawanan adalah konstruksi sosial”, atau “Kamu lahir dari vagina, jangan resek!”
Inilah tuntutan terhadap ‘hak tubuh’ yang cukup ekstrem, karena mencakup bagian
tubuh yang paling pribadi, yaitu kelamin. Lagi-lagi, tuntutan ini bertentangan dengan
agama, sebab tidak ada agama yang membenarkan seks bebas. Al-Qur’an, misalnya,
dalam Surah Al-Mu’minun, menyebutkan salah satu ciri keimanan adalah menjaga
kemaluan. Apakah penolakan terhadap aturan seputar seks ini dapat dimaknai sebagai
provokasi agar umat Muslim menanggalkan keimanannya?
Pengalaman di tanah air juga menunjukkan bahwa pembelaan terhadap perilaku
seks bebas atas nama kebebasan memang bukan barang baru. Anggota Komnas HAM,
Roichatul Aswidah, S.I.Kom, M.A., yang hadir sebagai ahli atas pengajuan dari
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam persidangan judicial review tiga
pasal kesusilaan KUHP di MK, bahkan menyatakan dengan gamblang bahwa
aktivitas seksual tak dapat dikriminalisasi. “Hal ini berlaku bagi perilaku seksual dari
seseorang dalam ranah privat atau konsumsi pornografi dalam ranah privat,” katanya.
Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) yang diwakili oleh Bahrain dalam rangkaian persidangan yang
sama. Tentu saja, kita tak dapat membayangkan pendapat yang sama diamini oleh
kaum ibu di seantero negeri.

Jauh sebelum itu, pemikir liberal jebolan IAIN Semarang, Sumanto Al Qurtuby,
juga telah ‘mencarikan jalan’ untuk menjustifikasi perilaku seks bebas. Gawatnya,
Sumanto melakukannya dari perspektif agama. Dalam sebuah artikelnya yang diberi
judul “Agama, Seks dan Moral”, Sumanto menulis:

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan


masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat
fundamental, Tuhan — seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an —
telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir.
Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli apalagi masalah
seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks
bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti
tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar
telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih
mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan
rendahnya kualitas agama itu.4

Pelacuran

Gerakan pro seks bebas di Women’s March Jakarta barangkali menemukan


bentuknya yang paling ekstrem di tangan sejumlah orang yang dengan bangga
membawa poster bertuliskan “We stand with sex workers”. Nampaknya, di mata
mereka, pelacur itu sama dengan yang lainnya; sama-sama mencari nafkah tanpa
merugikan siapa pun. Padahal, banyak istri yang menderita karena suaminya melacur.
Di samping itu, menjadi pelacur takkan meninggikan derajat perempuan.5

Dalam persidangan di MK, sikap yang serupa juga dapat terlihat dari kalangan
para penolak judicial review. Dr. Irwanto, dosen Universitas Katolik Atma Jaya,
menolak kriminalisasi terhadap mereka yang melakukan komersialisasi seks untuk
mencegah penyebaran HIV/AIDS dan penyakit lainnya. Menurut Irwanto, posisi
sosial, ekonomi dan budayalah yang menyebabkan mereka mudah terinfeksi. “Ketika
mereka berada dalam suatu hubungan seks, apalagi komersial, mereka tidak dapat

4
Sumanto Al Qurtuby, “Agama, Seks dan Moral”, http://elsaonline.com/agama-seks-dan-moral/ (19 April 2018).

5
Karena alasan-alasan inilah penulis menolak menggantikan istilah “pelacur” dengan “pekerja seks”. Melacur
bukanlah sebuah profesi.
dengan semau mereka sendiri untuk memakai kondom karena pelanggan sering tidak
mau, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.

Irwanto juga berpendapat bahwa berjangkitnya HIV/AIDS bersumber dari


kecerobohan dan rendahnya disiplin dari laki-laki ‘berisiko tinggi’. “Ketika mereka
berhubungan dengan istrinya sendiri, mereka cenderung tidak melakukan hubungan
yang aman,” ujarnya seraya menambahkan hanya empat belas persen dari kelompok
ini yang selalu menggunakan kondom saat berhubungan. Jadi, yang salah bukannya
mengkhianati istri yang sah dengan melacur, melainkan tidak disiplin menggunakan
kondom.

Sementara itu, pada bulan Maret 2018 juga, dalam sebuah aksi di jalanan, seorang
pelacur bernama Kate McGrew berteriak lantang, “Hoes need abortions!” (para
pelacur butuh aborsi).6 Kata-kata ini rasanya bahkan tidak terpikirkan dalam benak
seorang perempuan baik-baik. Nampaknya, pembelaan terhadap pelacuran ini menjadi
agenda penting kaum feminis di mana-mana, meskipun pelacuran jelas-jelas
merendahkan dan merugikan kaum perempuan.

Segala hal di atas menunjukkan bahwa persoalan feminisme bukan hanya soal
ketidakadilan, melainkan sudah mencapai tingkatan ideologis yang mustahil
dipersatukan. Feminisme, jika masih mengusung wacana-wacana di atas, akan
selamanya bertentangan dengan agama, dan juga dengan kepribadian bangsa
Indonesia itu sendiri.

Perempuan Versi Feminis

Sewajarnya, manusia itu berkemanusiaan. Akan tetapi, sejarah menunjukkan


bahwa hanya manusialah makhluk yang bisa melawan fitrahnya, dan karenanya, ada
manusia yang memilih untuk menanggalkan kemanusiaannya.

Persoalan kemanusiaan bukan hanya masalah kekerasan. Karena itu, banyak yang
menyarankan agar kita tidak hanya fokus pada kekerasan seksual, melainkan juga
kejahatan seksual. Pelacuran adalah sebuah kejahatan, baik diiringi kekerasan atau
tidak, sebab ia merusak rumah tangga, menghancurkan generasi dan peradaban.
Demikian pula perzinaan tetaplah merusak, baik mengenakan pengaman atau tidak,
berakibat hamil atau tidak hamil, menularkan penyakit atau tidak, disertai kekerasan
atau tidak.

Perbedaan pandangan semacam ini terlihat jelas dalam RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual yang kini diusung oleh kaum feminis. Jika kita setuju untuk
menolak kekerasan seksual, maka perlu diketahui bahwa seksualitas versi kaum
feminis ini sepenuhnya dibangun di atas konsep gender ala kaum sekuler.7 Selain itu,

6
Amanda Prestigiacomo, “Watch: Prostitute Leads ‘Hoes Need Abortions’ Chant At Protest”,
https://www.dailywire.com/news/28469/watch-prostitute-leads-hoes-need-abortions-chant-amanda-prestigiaco
mo (19 April 2018).

7
Untuk memahami konsep gender secara sederhana, baca Henri Shalahuddin, “Gender Itu Istilah Transnasional”,
https://thisisgender.com/gender-itu-istilah-transnasional/ (19 April 2018).
dalam RUU tersebut, misalnya, yang ditolak tegas hanyalah pelacuran paksa. Adapun
yang tanpa paksaan, maka tidak ditolak.8

Manusia tidak sama seperti binatang. Bagi binatang, tidak ada bedanya tangan,
kaki, telinga dan kelaminnya. Tapi manusia yang terlihat hidungnya tidak akan
merasa malu seperti orang yang tersingkap pahanya. Binatang kawin sekedar untuk
menumpahkan birahi, namun manusia yang tahu adab mendahuluinya dengan sebuah
pernikahan yang bermartabat. Dan jangan lupa, pernikahan itu bukan urusan
sendiri-sendiri; pasti melibatkan keluarga.

Alih-alih membela kaum perempuan, feminisme justru mendekonstruksi


segalanya. Perempuan yang telah ‘diformat ulang’ oleh feminisme adalah perempuan
yang telah kehilangan naluri keibuan, keperempuanan dan bahkan kemanusiaannya,
sehingga apa yang kita lihat dari dirinya bukan lagi perempuan yang sebenarnya.

8
Untuk mempelajari makna kekerasan seksual yang dikonstruksi oleh kaum feminis, silakan merujuk ke
https://thisisgender.com/penghapusan-kekerasan-seksual-sebuah-kritik/ (20 April 2018).

Anda mungkin juga menyukai