Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Sistem penggolongan darah yang telah kita kenal merupakan sistem ABO, namun
selain sistem ini juga ada penggolongan darah lainnya yang berperan penting dalam dunia
kedokteran. Penggolongan darah ini adalah berdasarkan faktor rhesus. Bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia, yang juga termasuk bangsa Asia, memiliki rhesus positif. Rhesus
negatif umumnya dijumpai pada orang-orang yang mempunyai garis keturunan kaukasian
(berkulit putih)
Pada pernikahan antara orang yang memiliki rhesus berbeda, faktor rhesus ini
dapat menjadi suatu masalah. Hal ini akan timbul apabila orang yang memilki rhesus
negatif menikah dengan orang yang memiliki rhesus positif. Perbedaan rhesus ini bisa
menjadi cikal bakal ketidakcocokan rhesus yang sangat berbahaya bagi bayi. Apabila
rhesus janin tidak sama dengan rhesus ibu, secara alami tubuh akan bereaksi membentuk
zat antibodi atau anti rhesus untuk melindungi tubuh ibu sekaligus menghancurkan banda
asing tersebut (janin). Kondisi ini dapat mengakibatkan penghancuran sel darah meah
janin serta dapat menyebabkan kematian janin dalam rahim, atau jika lahir menderita hati
yang bengkak, anemia, kuning (jaundice), dan gagal jantung.
Perbedaan rhesus antara ibu dan janin tak terlalu berbahaya pada kehamilan
pertama sebab kemungkinan terbentuknya zat antirhesus atau antibodi pada kelahiran
pertama sangat kecil. Kalaupun sampai terbentuk, jumlahnya tidak banyak, sehingga bayi
pertama dapat lahir sehat. Pembentukan zat antirhesus baru benar-benar dimulai pada saat
proses persalinan (atau keguguran) kehamilan pertama. Pada saat kehamilan kedua,
antibodi yang dimiliki oleh ibu terdapat dalam jumlah yang banyak, sehingga jika ibu
mengandung lagi, zat antibodi atau antirhesus di tubuh ibu akan menembus plasenta dan
menyerang sel darah merah janin.
Pengenalan faktor rhesus secara dini penting untuk dilakukan terutama pada
pernikahan dengan rhesus berbeda. Dengan kemajuan di dunia kedokteran, saat ini telah
ditemukan immunoglobulin yang dapat mengurangi insiden ketidakcocokan rhesus ini.

1
FAKTOR RHESUS

Faktor Rh (yaitu, Rhesus faktor) adalah antigen yang ditemukan pada permukaan
sel darah merah Antigen Rh diekspresikan sebagai bagian dari kompleks protein dalam
membran sel darah merah oleh karena itu antigen Rh hanya terdapat dalam sel darah
merah. Komposisi kompleks tidak diketahui, namun diperkirakan suatu tetramer, terdiri
dari dua molekul glikoprotein Rh-asosiasi (RhAG) dan dua molekul protein Rh.
Antigen Rh diduga berperan dalam mempertahankan integritas membrane sel darah
merah. Sel darah merah yang kurang antigen Rh memiliki bentuk abnormal. Tidak
adanya kompleks Rh mengubah bentuk RBC, meningkatkan kerapuhan osmotik, dan
umur yang lebih pendek, menghasilkan anemia hemolitik alami yang biasanya ringan.
Antigen Rh juga mungkin terlibat dalam transportasi amonium melintasi membran RBC.
Terdapat 49 antigen rhesus, dimana yang paling banyak terdapat adalah antigen D, C, E,
c dan e. (1)
Dari segi molekuler, Lokus Rh terletak di lengan panjang kromosom 1 (pada
1p36-p34), yang mengandung gen RHD dan RHCE. Gen RHD dan RHCE masing-
masing mengkode protein transmembran lebih dari 400 residu panjang yang melintasi
membran RBC sebanyak 12 kali. Protein RhD hanya berbeda dari bentuk umum protein
RhCE sekitar 35 asam amino. (2)
Inkompatibilitas Rh, juga dikenal sebagai penyakit Rh, adalah kondisi yang
terjadi ketika seorang wanita dengan tipe darah Rh-negatif terpapar dengan sel darah Rh-
positif, yang mengarah ke pengembangan antibodi Rh. Penyebab paling umum dari
inkompatibilitas Rh adalah paparan dari seorang ibu yang Rh-negatif dengan darah janin
Rh-positif selama kehamilan atau persalinan. Akibatnya, darah dari sirkulasi janin bisa
bocor ke sirkulasi ibu, dan, setelah eksposur yang signifikan, sensitisasi yang terjadi
menyebabkan produksi antibodi ibu terhadap antigen Rh asing. Meskipun sistem
golongan darah Rh terdiri dari beberapa antigen (misalnya, D, C, c, E, e), antigen D
adalah yang paling imunogenik, sehingga paling sering terlibat dalam inkompatibilitas
Rh. (3)

2
SEJARAH FAKTOR RHESUS

Pada tahun 1939, seorang ibu yang baru saja melahirkan seorang anak yang lahir
mati, membutuhkan transfusi darah. Namun, meskipun ibu itu telah ditransfusi dengan
darah yang kompatibel ABO dari suaminya, ia masih mengalami reaksi transfusi. Serum
wanita itu ditemukan mengandung antibodi yang mengaglutinasi sel darah merah
suaminya, walaupun mereka ABO kompatibel. Selama kehamilan, ibu sudah terkena
antigen pada sel darah merah janin yang berasal dari ayah. Sistem kekebalannya
menyerang antigen ini, dan penghancuran sel darah merah janin menyebabkan kematian
janin. Ibu kembali menemui antigen yang sama ketika dia menerima transfusi darah dari
suaminya. Kali ini sistem kekebalan tubuhnya menyerang sel darah merah yang
ditransfusikan dari ayah, menyebabkan reaksi transfusi hemolitik. Dari antibodi ini
ditemukanlah golongan darah rhesus. (4)
Terdapat kesalahan pemikiran bahwa antibodi yang diproduksi dalam serum ibu
terhadap sel darah merah nya suami memiliki sifat spesifik yang sama seperti antibodi
yang diproduksi dalam serum berbagai hewan sebagai reaksi terhadap sel darah merah
dari monyet rhesus. Dalam kesalahan tersebut, antigen ayah dinamakan faktor Rhesus.
Pada saat ditemukan bahwa antibodi ibu dihasilkan terhadap antigen yang berbeda,
terminologi golongan darah rhesus telah luas digunakan. Oleh karena itu, nama tersebut
tidak diubah, namun disingkat dengan golongan darah Rh
Faktor ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1940 oleh Drs. Karl Landsteiner
dan Alexander S. Wiener.(5) Mereka menemukan bahwa sera yang diperoleh dari kelinci
yang sebelumnya diimunisasi dengan cara menyuntikkan sel darah merah monyet rhesus
memiliki reaksi aglutinasi yang selektif terhadap sel-sel darah merah pada berbagai
individu manusia. Serum aglutinasi antirhesus kelinci ini mengaglutinasi 85 persen sel
darah merah dari serangkaian kasus yang diambil dari populasi kulit putih. Penelitian ini
dikembangkan lagi dan ditemukan bahwa insiden reaksi positif dan negatif berbeda pada
setiap ras.

EPIDEMIOLOGI

3
Di Amerika Serikat hanya 15% dari populasi tidak memiliki antigen permukaan
eritrosit Rh dan dianggap Rh-negatif. Sebagian besar (85%) dari individu dianggap Rh
positif. Sensitisasi Rh terjadi pada sekitar 1 per 1000 kelahiran pada wanita yang
memiliki Rh negatif. Amerika Serikat bagian tenggara memiliki insiden sekitar 1,5 kali
dari kejadian rata-rata nasional, yang mungkin disebabkan oleh faktor imigrasi dan
terbatasnya akses perawatan medis sejak penggolongan darah menjadi bagian rutin
perawatan prenatal. Meskipun demikian, hanya 17% wanita hamil dengan darah Rh-
negatif yang terkena Rh-positif sel-sel darah janin yang pernah mengembangkan antibodi
Rh.
Frekuensi Antigen RH pada berbagai ras
D: 85% Caucasians, 92% Blacks, 99% Asians
C: 68% Caucasians, 27% Blacks, 93% Asians
E: 29% Caucasians, 22% Blacks, 39% Asians
c: 80% Caucasians, 96% Blacks, 47% Asians
e: 98% Caucasians, 98% Blacks, 96% Asians (4)
Sekitar 15-20% ras kaukasia, 5-10% ras Afrika Amerika, memiliki jenis darah
Rh-negatif. Di antara ras Cina dan Indian Amerika, insiden tipe darah Rh-negatif adalah
kurang dari 5%.
Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas rhesus (yaitu dengan rhesus
negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa
asia. Rhesus negatif pada orang Indonesia jarang terjadi, kecuali ada perkawinan dengan
orang asing yang bergolongan rhesus negatif. (6)
Pada wanita rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama rhesus positif, risiko
terbentuknya antibody sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%.
Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses
sentisisasi, diperkirakan berhubungan dengan respon imun sekunder yang timbul akibat
produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan
tersensitisasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga.
PATOFISIOLOGI

4
Rhesus positif (Rh positif) adalah seseorang yang mempunyai Rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (Rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai
Rh-antigen pada eritrositnya. Penggolongan darah dengan sistem Rhesus dikenal juga
dengan sistem CDE. Sistem ini mencakup 5 macam antigen yaitu C, c, D, E, dan e. Tidak
ada antigen “d” yang berhasil diidentifikasi. D (-) diidentifikasi sebagai ketidakadaan
Antigen D. Meskipun demikian ditemukan varian lain dari antigen D yang dapat
menyebabkan penyakit hemolisis. (7)

Antigen CDE, terutama antigen D dianggap memiliki kepentingan klinis karena


banyak individu dengan D (-) menjadi terisoimunisasi setelah sekali paparan. Gen D dan
CE terletak pada lengan pendek kromosom 1 dan diturunkan secara bersama terlepas dari
gen golongan darah lainnya. Antigen C, c, E, dan e memiliki imunogenisitas yang lebih
rendah dibanding antigen D, namun juga dapat menyebabkan eritroblastosis fetalis.
American Association of Blood Banks merekomendasikan semua wanita hamil sebaiknya
diperiksa secara rutin untuk antigen D eritrosit dan antibodi di dalam serumnya. (7)
Rh atau Hr diturunkan oleh gen alel. Setiap individu memiliki sepasang gen yang
diturunkan satu dari ayah dan satu yang lain dari ibu. Individu dengan genotip murni
seperti Rh Rh (positif) atau rh rh (negatif) bersifat homozigot, sedangkan individu dengan
genotip campuran Rh rh bersifat heterozigot. Karena rhesus positif bersifat dominan,
maka semua individu heterozigot diklasifikasikan sebagai rhesus positif, sedangkan
semua individu rhesus negatif bersifat homozigot.(5)

5
Jika gen faktor Rh ayah adalah + +, dan ibu adalah + +,
bayi akan memiliki satu + dari ayah dan satu + gen dari
ibu. Bayi akan + + Rh positif.

Jika gen faktor Rh ayah


adalah + +, dan ibu
adalah - -, bayi akan
memiliki satu + dari
ayah dan satu - gen
dari ibu. Bayi akan + -
Rh positif.

Jika gen ayah adalah + - Rh positif, dan ibu adalah + -


Rh positif, bayi bisa:
• + + Rh positif
• + - Rh positif
• - - Rh negatif

Jika gen ayah adalah - -, dan ibu adalah + -, bayi dapat:


• + - Rh positif
• - - Rh negatif

Tidak seperti pada sistem ABO di mana


seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan
mempunyai antibodi yang berlawanan dalam
plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan
antibodi hampir selalu oleh suatu paparan baik melalui transfusi ataupun kehamilan.
Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang kuat bila dibandingkan dengan

6
sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali
saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah
Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun
golongan darah ABO nya sama.(8) Dari sudut pandang praktis, hanya perkawinan di mana
sang ibu rhesus negatif dan ayah rhesus positif yang dapat menimbulkan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir. 92% ibu yang mengandung bayi yang memiliki
manifestasi penyakit hemolitik adalah rhesus negatif dan sang ayah rhesus positif. 8%
lainnya diakibatkan antara lain oleh (I) Faktor A dan B, (2) Hr faktor, (3) dan perbedaan
antara sub kelompok Rh (5).
Alloimunisasi Rh terjadi ketika sel darah merah dari janin (D)- positif melewati
plasenta ke dalam sirkulasi ibu yang Rh-negatif. Kurang dari 0,1 mL sel darah merah
janin yang untuk menghasilkan sensitisasi. Pengukuran Kleihauer-Betke menunjukkan
bahwa transfusi feto-maternal terjadi pada 75% wanita, namun teknik deteksi molekuler
yang lebih sensitif menunjukkan bahwa sel darah merah janin memasuki sirkulasi ibu di
seluruh kehamilan. Risiko alloimunisasi meningkat pada prosedur invasif seperti
amniosentesis, chorionic villus sampling, dan fetal blood sampling, karena meningkatkan
(9)
terjadinya perdarahan fetomaternal. Apabila janin ABO kompatibel dengan ibu, maka
risiko terjadinya alloimunisasi adalah 16%, namun jika janin ABO inkompatibel dengan
ibu, maka risiko ini hanya 1.5% sampai 2%. Hal ini terjadi karena darah janin yang ABO
inkompatibel segera dihancurkan ketika memasuki sirkulasi darah ibu sehingga tidak
sempat memicu proses sensitisasi.(9)
Respon awal terhadap antigen asing dalam sirkulasi ibu adalah produksi
imunoglobulin (Ig) M antibodi yang tidak melewati plasenta. Respons ini diikuti oleh
produksi antibodi IgG, yang dapat melewati sawar plasenta. Respon imun sekunder pada
paparan berulang antigen Rh menghasilkan antibodi IgG anti-D. Tanggapan ini dapat
tersensitisasi hanya dengan 0,03 ml sel-sel darah merah D-positif. Tingkat sensitisasi Rh
berkaitan dengan dosis paparan antigen dan volume perdarahan transplacental.

7
Gambar diunduh dari: http://www.pediatrix.com/

8
Sel-sel eritrosit janin akan terselubungi (coated) oleh antibodi tersebut dan
akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan dan
akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan, sehingga akan
didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast. Hemolisis yang berlebihan dan
berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sum-sum tulang,
hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran jantung dan
perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan
distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini jarang terjadi :
1. variasi kadar antigen eritrosit sebagai penyebab terbentuknya antibodi
2. variasi daya antigenisitasnya
3. lintasan antigen dari janin ke ibu kurang mencukupi
4. variasi respon maternal terhadap antigen tersebut
5. perlindungan isoimun lewat inkompatibilitas ABO
6. kurangnya jumlah antibodi ibu ke sirkulasi darah janin

DIAGNOSIS

Setiap wanita hamil harus melakukan pengecekan golongan darah ABO, tipe
rhesus, dan skrining antibodi pada kunjungan antenatal yang pertama. Jika ditemukan
antigen D negatif bersamaan dengan skrining antibodi yang negatif, maka wanita tersebut
tidak termasuk dalam aloimunisasi dan pemberian profilaksis anti D IgG harus melihat
pada status Rh ayah. Jika ditemukan antigen D bersamaan dengan skrining antibodi yang
positif, maka perlu ditimbangkan adanya kemungkinan aloimunisasi dan perlu dilakukan
identifikasi antigen serta mengukur titer antibodinya untuk selanjutnya melihat
bagaimana penatalaksanaan kehamilannya. (10)

9
Penanganan pasien bergantung dari kapan diagnosis isoimunisasi ditegakkan.
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui golongan darah dan rhesus dari setiap
wanita hamil pada kedatangan pertama. Status rhesus suami dari wanita hamil rhesus
negatif harus diketahui. Bila suami memiliki rhesus positif, dianjurkan untuk memeriksa
genotipe dari suami. Genotipe yang homozigot akan selalu memiliki bayi rhesus positif,
jadi pemantuan ketat harus dilakukan selama kehamilan dan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan. Tes PCR fluorescent berdasarkan DNA merupakan test yang cepat dan
akurat dalam menentukan gen Rh D paternal.(11)
Bila suami memiliki Rh positif heterozygous, chorionic vilous sampling (CVS)
akan mendeteksi antigen D pada fetus dengan tehnik imunofluoresensi.bila janin
memiliki rhesus negatif maka tehnik invasif seperti amniocentesis dan cordocentesis
sebaiknya dihindari . keuntungan teknik ini sebanding dengan kecilnya resiko aborsi dan
kelainan dari tungkai janin bila CVS dilakukan sebelum minggu ke 10.
Pemeriksaan indirek coomb sebaiknya dilakukan pada trisemester pertama. Bila
ditemukan negatif maka diulangi lagi pada minggu 28 – 34. Pengulangan ini diperlukan
karena kadang pada kasus yang jarang anti-D memerlukan waktu hingga 6 bulan untuk
dapat terdeteksi dan juga “fresh silent sensitization” dapat terjadi pada kehamilan. Bila
pemeriksaan coomb indirek ini hingga minggu ke 34 masi negatif, maka tidak ada resiko
pada janin dan kehamilan dapat dilanjutkan hingga term. Bila hasilnya positif maka harus
diulangi kembali tes ini untuk memonitor proses haemolitik.
Titer antibody 1:16 menandakan adanya albumin antibody (IgG) dan riwayat
sebelumnya terdapat amniocentesis. Belakangan, Bowell (oxford) telah melakukan
pengukuran pada anti-D untuk mengetahui kebutuhan transfusi tukar. Ketika terukur 4
IU/ml maka neonatus yang butuh transfusi hanya 5%. 4 – 8 IU/ml, 55% neonatus
membutuhkan transfusi disamping induksi kelahiran pada usia gestasi 38 minggu. Bila
terdeteksi level 10 IU/ml maka perlu dilakukan amniocentesis untuk menentukan apakah
diperlukan tranfusi intrauterine.
Amniocentesis dapat dilakukan untuk mengukur kadar bilirubin. Sebaiknya tidak
dilakukan sebelum usia kehamilan 20 minggu karena transfusi intrauterine secara
teknikal tidak dapat dilakukan bila usia kehamilan belum 20 minggu. Bergantung dari
level anti-D, amniocentesis paling awal dilakukan pada usia kehamilan 28 – 30 minggu.

10
10 ml cairan amnion cukup untuk menganalisa densitas optical dari cairan amnion.
Cairan amnion harus dilindungi dari cahaya dan dikumpulkan pada botol gelap serta
ditaruh dalam pendingin bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung. Pada saat
dilakukan amniocentesis ibu harus diberikan anti-D globulin. Cairan amnion dilakukan
pemeriksaan spectophotometri unutk mengetahui adanya bilirubin yang diukur dengan
panjang gelombang 350 – 700 mµ dan diplot pada skala logaritma – panjang gelombang
serta deviasinya.
USG merupakan cara yang mudah, non invasif untuk mengetahui usia gestasi. Ini
dibutuhkan untuk menentukan waktu yang tepat untuk terminasi kehamilan. Untuk kasus
hidrops fetalis diameter abdomen bertambah karena adanya ascites.
1. Hati membesar
2. Tali pusat menebal dan terjadi dilatasi vena dari umbilikus
3. Plasenta membesar dan menebal hingga lebih dari 4 cm
4. Oligohidramnion mungkin ditemukan.
Denyut jantung janin memberikan pola sinusoidal dan deselarasi. Hal ini dan
rendahnya hemoglobin berasosiasi dengan kematian perinatal. Kardiotokografi tidak
sensitif untuk mengetahui anemia ringan hingga sedang, tetapi dapat mengidentifikasi
anemia janin yang berat. Cordocentesis dengan bantuan USG dapat mengaspirasi darah
janin untuk memeriksa kadar Hb dan bilirubin serta melakukan test coomb direk.
Jika seorang ayah mempunyai Rh D negatif (genotip Rh-/Rh-, atau tidak adanya
D/D karena tidak mempunyai antigen d), fetus juga akan memiliki Rh D negatif. Jika
seorang ayah memiliki Rh D positif, maka itu bisa berupa alel D yang homozigot tau
heterozigot. Jika homozigot, maka fetus adalah Rh D positif. (10)

11
Jika sumbernya tidak diketahui (pada 3-5% kehamilan), atau jika ayah merupakan
alel D yang heterozigot, maka dapat ditentukan antigen D fetus melalui pemeriksaan PCR
dari cairan amnion atau villi chorialis. Meskipun chorionic villous sampling (CVS) dapat
dilakukan lebih awal dibandingkan amniosentesis, CVS mempunyai beberapa kerugian
karena dapat menyebabkan kerusakan pada vili korialis. Oleh karena itu, amniosentesis
merupakan metode yang direkomendasikan. (10)
Jika wanita hamil dketahui mempunyai alloimunisasi Rh D atau jika hasil
skrining prenatal antibodi ditemukan positif, maka perlu dilakukan pemeriksaan sumber
Rh D antigen untuk menilai apakah fetus berada dalam risiko atau tidak. Jika fenotip
ayah negatif dan kadarnya dapat diukur, maka fetus tidak berada dalam risiko dan dapat
dilahirkan tepat pada waktunya. Tapi, jika paternal antigen fenotip positif dan genotipnya
heterozigot, maka status fetal antigen harus ditentukan dengan amniosentesis pada masa
gestasi 15 minggu. Jika titer antibodi tidak meningkat lebih dari empat kali lipat, maka
persalinan dapat dilakukan tepat pada waktunya. Namun, jika titer mengalami
peningkatan 4 kali atau bih, manajemennya harus dilakukan sama seperti jika ditemukan
paternal genotip homozigot (seperti : DD), dimana janinnya mempunyai antigen Rh D
positif. (10)

12
Pemeriksaan laboratorium (10)
1. Pada masa prenatal
• Pemeriksaan tipe rhesus dilakukan pada semua wanita hamil
• Pada wanita hamil dengan tipe rhesus negatif, dilakukan pemeriksaan skrining
Rosette untuk mendeteksi adanya aloimunisasi yang disebabkan karena
adanya perdarahan dari fetomaternal. Jika terdapat kecurigaan adanya
perdarahan dalam jumlah yang cukup besar (> 30 ml), dilakukan pemeriksaan
Kleihauer-Betke acid elution test. Tes ini mengukur secara kuantitatif adanya
sel darah merah fetus pada darah ibu, sehingga dapat diperkirakan jumlah IgG
Rh yang dapat diberikan.
• Point-of-care blood tests. Tes ini dapat digunakan di unit gawat darurat dan
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menentukan status
rhesus.
2. Pada masa postnatal
• Pada bayi yang lahir dari ibu dengan rhesus negatif, segera sesudah lahir
dilakukan pemeriksaan darah dari tali pusat bayi untuk memeriksa golongan
darah dan tipe rhesusnya, mengukur level hematokrit dan hemoglobin, analisa
serum bilirubin, lakukan pemeriksaan apusan darah, tes Coomb’s direk.
• Tes Coomb’s yang memberikan hasil positif menandakan adanya antibody-
induced hemolytic anemia, yang mengarahkan menuju ke adanya
inkompatibilitias ABO atau rhesus.
• Peningkatan serum bilirubun, hematokrit yang rendah, dan peningkatan
jumlah retikulosit mengindikasikan perlunya dilakukan transfuse tukar.
• Transfusi tukar yang dilakukan secara mendadak, dapat dilakukan di neonatal
intensive care setting pada bayi dengan erythroblastosis fetalis, hidrops fetalis,
atau kernicterus.

MANIFESTASI KLINIS

A. Bayi

13
Sekitar 50% bayi yang terkena dampak tidak memerlukan pengobatan,
mereka hanya mengalami anemia ringan pada saat kelahiran dan tidak pernah
berkembang hiperbilirubinemia parah. Sekitar 25% sampai 30% akan
memerlukan intervensi dengan fototerapi dan atau transfusi tukar dan sekitar 20%
sampai 25% terkena dampak cukup parah dan berkembang menjadi hidrops in
utero (296). Sekitar setengah dari grup terakhir ini menjadi hidropik sebelum
kehamilan 34 minggu dan membutuhkan transfusi janin langsung intravaskuler.
Hematokrit janin kurang dari 30% umumnya dianggap sebagai indikasi untuk
transfusi intrauterin, yang dilakukan, sesuai kebutuhan, sampai umur kehamilan
34 sampai 35 minggu dengan kelahiran direncanakan mendekati term.(9)
Hidrops Fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh,
asites dan efusi pleura. Efusi pleura dapat sedemikian parah, hingga menghambat
perkembangan paru dan menyebabkan gangguan paru pada saat lahir. Perubahan
patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus
parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum serosa. Teori-teori
penyebabnya mencakup keadaan:
1. gagal jantung akibat anemia
2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat.
3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati
oleh proses hematopoesis ekstrameduler.
4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang
disebabkan oleh disfungsi hepar
Pada janin hidrops, placenta tampak edema dan membesar. Kotiledon tampak
membesar, dan edema. Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat
anemia berat dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak
pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar,
ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian
dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.(7)

14
Hydrops Fetalis karena Anemia Hemolitik
(gambar diunduh dari: http://adam.about.com/encyclopedia/Hydrops-fetalis.htm)

15
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah
kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan
atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik
dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat
bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan-bulan
Proses pemecahan sel darah merah masih terus berlangsung hingga
antibodi ibu berhasil dinetralisir. Pemecahan sel darah merah yang berlebihan ini
dapat menimbulkan hiperbilirubinemia. Hiperbilirubin dapat menimbulkan
gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan
kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi
kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menyusui dan kejang-kejang.
Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.

16
Primrose, vanDorsser and Philpott, 1947 membagi manifestasi klinis
inkompatibilitas rhesus janin dan bayi ke dalam 5 tingkatan:
Grade I: Imunisasi sangat sedikit , titrasi antibodi rendah, hanya muncul pada
minggu terakhir kehamilan. Bayi dilahirkan hidup dan mengalami kemajuan
positif tanpa pengobatan.
Grade II: Antibodi muncul pada akhir kehamilan. Ada peningkatan antibodi
dalam minggu-minggu terakhir kehamilan, namun titrasi tidak tidak melebihi
dilusi I : 8. Bayi-bayi ini lahir term menunjukkan beberapa tanda-tanda klinis
erythroblastosis dengan tingkat sedang. Pemeriksaan apusan darah
mengkonfirmasi temuan ini. Bayi biasanya selamat dengan transfusi dan terapi
suportif.
Grade III: Terjadi peningkatan titer antibodi yang tajam pada minggu – minggu
akhir kehamilan hingga mencapai dilusi 1:32. Biasanya terjadi perburukan tiba-
tiba pada 2 minggu sebelum term. Bayi sakit berat, namun dapat diselamatkan
dengan terapi yang adekuat.
Grade IV: Terjadi peningkatan tajam dari blocking antibodi dalam bulan – bulan
akhir kemudian, titer antibodi di atas dilusi I : 64, dengan beberapa antibodi
aglutinasi. Prognosis untuk bayi sangat buruk. Terjadi anemia berat dengan
edema. Banyak bayi lahir mati. Jika dapat mencapai usia term, kematian terjadi
satu atau dua minggu sebelum kelahiran.

17
Grade V: Kemunculan antibodi blocking, kadang-kadang disertai antibodi
aglutinasi, dalam konsentrasi telah melebihi dari 1:4 sebelum minggu ke-20. Ada
kecenderungan peningkatan pesat dalam titer antibodi. Prognosis tidak ada
harapan jika bayi dengan rhesus positif. Hasilnya biasanya keguguran pada awal
kehamilan. Dalam kasus suami homozigot rhesus positif, prognosis untuk
keluarga ini mengecewakan (5)
B. Ibu
Penelitian oleh George Knox dan Sheilagh Murray menunjukkan adanya
peningkatan risiko yang bermakna terjadinya toksemia gravidarum pada ibu
dengan inkompatibilitas rhesus. (5)
O’Driscoll juga menemukan retensi cairan pada ibu dengan
inkompatibilitas Rh. Sindroma ini ditandai dengan edema berat tiba-tiba bagian
bawah tubuh, tanpa hipertensi atau albuminuria. Apabila keadaan ini ditemukan
maka kemungkinan besar janin sudah dalam keadaan meninggal. (12)

18
TATA LAKSANA INKOMPATIBILITAS RHESUS

Anamnesa lengkap tentang penyebab dari aloimunisasi (profilaksis yang tidak


adekuat, pemberian gagal, transfusi darah) harus dilakukan. Anamnesa mengenai
kehamilan sebelumnya juga penting. Informasi ini akan membantu dalam menilai risiko
pada kehamilan sekarang. Selain itu, genotip ayah harus dipastikan. Jika heterozigot, ada
kemungkinan (50%) bahwa anaknya mempunyai RhD positf dan berada dalam risiko.

Kehamilan pada pasien dengan Rh D negatif nonaloimunisasi (10)


Tujuan utama untuk merawat wanita hamil dengan Rh D negatif yang
nonimunisasi adalah untuk mencegah terjadinya aloimunisasi. Pemberian IgG eksogen
untuk menekan respon imun, seperti memberikan profilaksis IgG anti D, dikenal sebagai
antibodi-mediated immune suppression. Meskipun beberapa teori telah menjelaskan
mekanisme dari aksi supresi imun dengan mediasi antibodi, mekanisme yang paling
dianut adalah via inhibisi secara sentral, dimana Rh D IgG melapisi eritrosit fetus, yang
kemudian dibawa ke limpa dan kelenjar getah bening. Peningkatan lokal dari kompleks
antigen antibodi mengganggu keutuhan dari sel B untuk klon sel plasma, sehingga
menekan respon imun primer. Selain itu, kompleks antigen antibodi ini akan
menstimulasi pengeluaran sitokin melalui sel efektor imun yang menghambat proliferasi
antigen spesifik sel B.

19
Regimen dosis standar dari IgG anti D adalah 300 mcg intamuskular pada gestasi
28 minggu dan diberikan lagi postpartum dalah 72 jam setelah persalinan kecuali jika
sudah dipastikan bahwa neonatus memiliki Rh D negatif.

Table : Danforth,s obstetric and gynecology 10th edition. Gibb’s S. Ronald et al. 2008:

Imunoprofilaksis
Sebelum imunoprofilaksis dapat digunakan, penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir diderita oleh 1% dari semua bayi baru lahir dan merupakan 1% dari 2200 kematian
pada bayi baru lahir. Pemberian anti D immunoglobulin antenatal dan postnatal sekarang
dilakukan untuk mencegah aloimunisasi Rh D.

20
Rekomendasi imunoprofilaksis dari Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists dan NICE antara lain :
1. Setelah persalinan, walaupun telah diberikan immunoglobulin antenatal,
profilaksis postnatal harus tetap diberikan dan termasuk tes skrining untuk
mengidentifikasi wanita dengan perdarahan fetomaternal yang banyak yang
membutuhkan tambahan immunoglobulin.
2. Immunoglobulin anti D harus diberikan setelah sensitisasi pada saat sebelum
persalinan dan setelah aborsi.
3. Immunoglobulin anti D sekarang tidak dipergunakan lagi pada wanita yang
terancam keguguran dengan fetus yang viable dan penghentian perdarahan
dilakukan pada usia 28 minggu dan 34 minggu kehamilan.
4. Setidaknya immunoglobulin anti D 500 IU harus diberikan pada wanita non-
sensitised Rh D pada usia 28 dan 34 minggu kehamilan.

Peristiwa-peristiwa dimana terjadi paparan antara ibu dan janin, antara lain pada :
ancaman keguguran, kehamilan ektopik, prosedur prenatal yang invasif (chorionic villous
sampling, amniocentesis), dan perdarahan antepartum. Pasien yang memiliki Rh D positif
lemah (sebelumnya Du positif) hanya berdasarkan kuantitatif dibandingkan perbedaan
kualitatif pada antigen D dan tidak berisiko untuk aloimunisasi RhD. Sehingga mereka
tidak membutukan profilaksis immunoglobulin anti D.
D-isoimunisasi dicegah dengan menggunakan pemberian anti-D antibodi dosis
tinggi yang diekstraksi dengan fraksinasi plasma alcohol dingin dan ultrafiltrasi. Injeksi
standar intramuscular memberikan 300µg dari D-antibodi menurut radioimmunoassay.
Ini diberikan pada ibu D-negatif yang tidak tersensitisasi untuk mencegah sensitisasi. Ada
juga sediaan 50µg “mini dose” dengan indikasi kehamilan awal.
Satu dosis anti-D immunoglobulin diberikan sebagai profilaktif untuk semua
wanita D-negatif pada 28 minggu, dan dosis kedua diberikan setelah persalinan jika
bayinya D-positif. Menurut penelitian, tanpa profilasksis 1,8% wanita D-negatif akan
terisoimunisasi oleh silent fetal maternal hemorrhage.(7)
Walaupun sudah diberikan saat usia 28 minggu, dosis kedua juga diberikan
setelah persalinan karena waktu paruh dari immunoglobulin hanya 24 hari dan kadar

21
protektif bertahan hanya 6 minggu atau lebih. Sebagai tambahan, perdarahan fetal-
maternal terjadi saat persalinan. Setiap 300µg akan memberikan perlindungan ibu
berukuran sedang dari perdarahan fetus sampai dengan 15 mL dari D-positif SDM atau
30 mL dari fetal whole blood. Dosis inisial tersebut akan menghasilkan positif lemah –
1:1 sampai 1:4 – titer Coomb indirek pada ibu. Seiring indeks massa tubuh meningkat di
atas 27 sampai 40kg/m2, kadar antibody serum menurun 30-60%. Sangat jarang,
sejumlah kecil dari antibody melewati plasenta dan menyebabkan positif lemah pada
Coomb direk pada tali pusat dan darah bayi. Kadar ini dapat menyebabkan hemolisis
yang dapat diabaikan.
Wanita D-negatif yang menerima produk darah juga akan meningkatkan risiko
tersensitisasi. Walaupun mereka harusnya hanya diberikan SDM D-negatif, transfusi
platelet dan plasmapheresis dapat menyediakan D-antigen untuk menimbulkan
sensitisasi. Ini dapat dicegah dengan menggunakan injeksi D-imunoglobulin.

22

Anda mungkin juga menyukai