0
1. Latar Belakang
1
India. YLKI mendeksripsikan jumlah perokok mencapai 35 % dari populasi
penduduk atau mencapai 75 juta jiwa. Jumlah ini belum termasuk
pertumbuhan prevalensi perokok anak-anak dan remaja yang tercepat di
dunia mencapai 19,4%. Data Atlas Pengendalian tembakau di ASEAN
menunjukkan 30 persen dari anak Indonesia berusia di bawah 10 tahun atau
sejumlah 20 juta adalah perokok. Dikemukakan, hal ini berdampak pada
kondisi social ekonomi yang signifikan, dan menimpa sebagian besar
keluarga yang ada dalam ukuran rumah tangga miskin.
2
ekonomi, kesehatan, aspek hukum terkait pragmatisme pihak industri rokok
dan normatifnya pihak pengendali tembakau. Bahkan, fenomena RUU
Pertembakauan masih menjadi “lesson learned” bagaimana keberpihakan
pemerintah dan legislative pada industry rokok (hulu-hilir) dan
pengendaliannya.
- Dari sisi ekonomi hadirnya industri rokok, memang memberikan nilai
tambah ekonomi sejak dari hulu (input) : tembakau, proses pengolahan
(nilai tambah produk), serapan tenaga kerja, dan pos penerimaan dari
cukai dan pajak, serta nilai tambah ekonomi terkait (hulu- hilir) industry
rokok. Namun, aspek ini semakin terbantahkan, karena dari sisi input,
ternyata Indonesia dalam memenuhi industri nasional masih melakukan
impor tembakau 3). Kemudian, dalam proses produksi sudah didominasi
system “machienary”, dan bahkan penerimaan Negara untuk cukai dan
pajak rokok tidak positif menutup deficit pembiayaan untuk layanan
kesehatan BPJS terkait penyakit karena dampak merokok….. 4)
- Aspek kesehatan, menunjukkan keberadaan industry rokok (tobacco
industry) yang menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan dan hidup
masyarakat (pelanggaran konvensi FCTC dengan hak kesehatan sebagai
kualitas hidup)
- Aspek hukum, belum maksimal memberikan asas manfaat, kejelasan, dan
keadilan demi perlindungan konsumen dan kesehatan. Kesejahteraan
dengan kepastian perlindungan (bahkan HAM). Pemerintah melakukan
pengendalian tidak pada fundamental aspek (ratifikasi-aksesi) FCTC,
tetapi memenuhi regulasi yang cenderung saling bertentangan lintas
sektoral/aspek pembangunan. Regulasi pada tataran mikro, meso dan
makro masih belum dapat memberikan perlindungan bagi individu,
keluarga, dan masyarakat, bangsa dari kerugian akibat adiktif terhadap
nikotin tembakau 5).
3
ditekankan pada alat penjelas, pengendali, dan untuk prediksi. Suatu model
segitiga epidemiologi 6), releven diimplementasikan melalui lingkungan
kebijakan. Analisis dapat dimulai dari kondisi pertentangan road map terkait
tobacco industry vs tobacco control. Tanpa henti, upaya pengendalian dalam
hal ini menjadi tugas dan amanah bersama jajaran pegiat “tobacco control”
yang berada di tataran pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Implementasi
Role model sebagai kebijakan pengendalian Tobacco control” diperlukan
hadir dalam suatu lingkungan. Didasarkan bangun visi bersama tentang arah
pengendalian tembakau di Indonesia. Diperlukan aksi kebijakan yang
menerapkan model lingkungan pengendalian, terkait upaya menentukan
wilayah aksi kebijakan pengendalian tembakau yang memiliki kemungkinan
untuk sukses paling tinggi. 7)
4
Beban pembiayaan pelayanan kesehatan yang tinggi…memerlukan
penurunan aktifitas merokok …Substansi regulasi dari Kementrian
Kesehatan “ Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dengan INPRES
Nomor 1 tahun 2017 (27 Pebruari 2017). Sulit…karena “partial
diamteral” antar sector pembangunan…Strategik Ratifikasi-aksesi FCTC
sebagai jalan keluar….
Sejumlah mitos (LD UI-Facts sheet, 2009), perlu difalsifikasi dalam
pemahaman pada permasalahan merokok dan dampaknya.
Mitos 1: Bahwa merokok menenangkan pikiran dan meningkatkan daya
konsentrasi ?
Mitos 2: Bahwa merokok adalah hak individu dan tak dapat diganggu
gugat ?
Mitos 3: Bahwa nikotin tidak menimbulkan kecanduan
Mitos 4: Bahwa polusi udara oleh asap mobil lebih berbahaya dari asap
rokok
Mitos 5: Bahwa iklan rokok yang sangat agresif tidak dimaksudkan untuk
mencari perokok baru, tapi agar perokok beralih ke produk baru atau lain
Mitos 6: Bahwa industry rokok berjasa dalam meningkatkan pendapatan
Negara melalui cukai rokok
Mitos 7: Bahwa rokok kretek adalah Cultural Heritage Indonesia.
5
Untuk motive ekonomi dalam industri, pihak hulu-hilir industri rokok
melakukan aktifitas dalam memperluas produksi dan konsumsi
tembakau (suplai dan demand). Cara yang ditempuh industri
tembakau berbasis intervensi aspek legal dengan focus alasan
ekonomi dengan strategis market dan taktis lainnya. Bahkan juga
dalam proses intervensi legalitas, mereka didukung sistem
pemerintahan dengan prolegnas RUU Pertembakauan. Mereka
memerlukan dan melooby untuk suatu dukungan penguatan mulai
hulu ke hilir. Hulu dengan upaya mempertahankan lahan perkebunan
tembakau. Alasan terkait nasib petani tembakau. Sementara dengan
alasan kualitas dan kuantitas industri rokok tetap melakukan import
tembakau. Pada sisi hilir dengan perlakuan ekonomi pungutan culai
dan pajak, adalah tidak pernah menekan hak profit industry rokok.
Luas dan bertumbuhnya produksi dan konsumsi rokok adalah
pertumbuhan kinerja ekonomi (profit) bagi industry rokok, namun
tidak bagi sector pemerintah, karena beban layanan kesehatan yang
meningkat dalam menghadapi beragam penyakit katastropik
(berbiaya tinggi) karena merokok. Pada sisi inang-orang sebagai
individu perokok dan penerima paparan asap rokok menyebabkan
penurunan kualitas hidup. Hal ini terkait kesehatan dan beban
ekonomi individu dan keluarga.
6
dalam kondisi dirugikan. Karena pengeluaran untuk rokok adalah bukan
tindakan ekonomi yang rational. Secara mikro, bagi Perusahaan dan
industry hulu-hilir tembakau-rokok, mereka (perusahaan) menerima
margin, namun dengan cara pandang yang merugikan konsumen, jadi
aktifias ekonomi bukan atas dasar motive ekonomi yang baik, karena
nilai ekonomis dipertahankan melalui perluasan konsumen. Sementara
rokok adalah produk/komoditi yang dikenakan cukai karena dampak atas
pemakainnya. Jajaran pelaku ekonomi seperti petani adalah pihak yang
masih belum menerima tingkat harga yang layak. Karena aktifitas
produsen bertumpu pada alasan kualitas dan kuantitas, sehingga mereka
melakukan impor dan diskriminasi harga input tembakau dari petani.
- Dari sisi ekonomi makro peran pemerintah yang cenderung memihak
tobacco industry, sudah harus ditinjau ulang, karena aspek penerimaan
Negara dengan pengeluarannya telah tereduksi. Tanggungjawab Negara
untuk sector kesehatan menjadi alat penjelas, bahwa penerimaan cukai
dan pajak rokok adalah anomali dalam ekonomi nasional. Meskipun nilai
tambah ekonomi terselenggara, namun social cost lebih menggilas social
benefit.
Alasan ekonomi atas eksistensi industry rokok juga memiliki dasar dari
realitas ekspor rokok dan cerutu (US $ 617,8 juta/2012…US $ 804,7
juta dengan peningkatan rata-rata 14,1%/tahun ). Negara dianggap
mendapat manfaat hilir industry rokok melalui cukai, namun pihak yang
mewakili IHT meminta perlindungan Negara pada struktur hilir
industry.
7
- Fakta : Harga pokok produksi rokok, ditetapkan akurat (Bahan baku,
Biaya overhead, biaya tenaga kerja), dan HJE/HET dapat menutup biaya
marketing yang tinggi pada industry rokok.
- Alasan klasik: penerimaan cukai dan pajak rokok untuk alokasi biaya
kesehatan bagi perokok. Serta untuk pajak rokok yang menjadi bagian
yang diterima di daerah sebagai pendapatan daerah adalah untuk
peningkatan sarana dan prasarana kesehatan daerah, peningkatan sarana
dan prasarana bagi perokok, serta untuk membiayai kampanye tentang
bahaya merokok.
Potensi daerah, sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah, per tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah daerah, khususnya
Provinsi diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10 % dari tarif
cukai rokok nasional. Kebijakan ini menjadi jebakan bagi daerah yang
mengutamakan penerimaan daerah dalam APBD dibandingkan membangun
IPM melalui aspek kesehatan, serta pendidikan. Objek pajak rokok adalah
konsumsi rokok (sigaret, Cerutu, dan rokok daun). Subjek pajak adalah
8
konsumen rokok, wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan
importir rokok yang memiliki ijin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai (NPPBKC). Pajak rokok dipungut pemerintah bersamaan dengan
pemungutan cukai rokok, dan disetorkan ke rekening kas umum daerah
Provinsi secara proporsional , berdasarkan jumlah penduduk.
Dilema etika dapat terjadi, karena saat Pemerintah daerah menerima pajak
rokok, pada saat yang sama sebagai upaya perlindungan dampak rokok,
dilakukan intervensi kebijakan peniadaan untuk ijin iklan rokok. Kebijakan
untuk penetapan “zero” rencana penerimaan pendapatan pajak reklame iklan
rokok dan produk tembakau sebagai protect bagi sasaran iklan tobacco
industry pada perokok pemula. Beberapa Pemerintah daerah menolak
menerima iklan rokok pada media luar ruang (Billboard). Hal ini sebagai
Padanan upaya menolak penyiaran iklan rokok (UU Nomor 32 Tentang
Penyiaran). Ikan rokok sendiri menyalahi UU Kesehatan (UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Meningkatnya budget iklan Industri rokok
perlu dukungan politik dengan kebijakan yang berpihak pada inang-orang.
Program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga menjadi bagian dari upaya
merumuskan kekuatan role model pengendalian dampak tembakau-rokok
antara alasan ekonomis yang sudad debatable dengan alasan kaulitas hidup
yang bersifat keniscayaan.
9
2.4. Lingkungan Pengendalian
10
industry ke konsumen
dan dampak
7 Teknik/Metode layanan Berbasis market dan . Berbasis aspek
(Lobby) pembangunan :social
welfare
*) Disusun Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustran (2009)
**) Disusun Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia
Road map tobacco industry bertentangan dengan spirit nasional dan global
(FCTC) dalam kehidupan dengan HAM dan kualitas hidup.
11
Pengendalian yang selalu memerlukan dukungan politik, kemitraan,
kerjasama antar pegiat tobacco control, dukungan komunikasi dan
advokasi, opini dan dukungan public.
12
- Perdagangan illegal produk tembakau
- Penjualan produk tembakau kepada dan oleh anak di bawah umur;
- Pemberian bantuan untuk kegiatan alternative yang layak secara
ekonomis;
Save Indonesia
Notes:
1) Jaringan Tobacco Control di Indonesia: Tobacco Control and Support Center (TCSC)
IAKMI dengan pelaksanaan ICTOH regular mulai 2014: The 1st Indonesian Conference
on Tobacco or Health 2014, Jakarta, dengan dukungan Kementerian Kesehatan, ITCN,
The UNION, WHO….
2) Negara yang belum meratifikasi atau aksesi FCTC, sampai 2018 (Andorra,
Liechtenstein, Monaco (Eropa), Zimbabwe, Malawi, Somalia, Eritrea (Afrika), dan
Indonesia (Asia);
3) Sementara pelaku industry rokok nasional masih melakukan impor tembakau untuk
penuhi kebutuhan produksi nasional (http://ekonomi.kompas.com). Untuk memenuhi
quota produksi nasional mencapai 340 milyar batang, dengan kebutuhan tembakau
mencapai 340.000 ton. Produksi tembakau Indonesia mencapai 200.000 ton. Data
impor tembakau tahun 2017 mencapai 252, 6 juta dolar AS dengan volume
mencapai 50.700 ton. Jumlah ini meningkat dari tahun 2016 dengan nilai mencapai
241,6 juta dollar AS dengan volume 37.600 ton.
4) Konsumsi rokok yang tinggi mengancam keberlangsungan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Hadirnya beragam penyakit katastropik (berbiaya tinggi)
karena merokok, menyebabkan BPJS Kesehatan deficit (Defisit tahun 2016 sebesar
Rp. 9 Trilyun, tahun 2017 sebesar 12 Trilyun). Cukai Rokok dinaikan mencapai
10,14 % belum mampu menutup deficit.
13
5) Regulasi untuk peran Pemerintah, seperti : PP Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan. Aturan pelaksanaannya PMK Nomor 28 tahun 2013 Tentang
Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk
Tembakau. melalui Gambar-gambar yang harus dicantumkan pada tiap bungkus
yaitu: kanker mulut, kanker paru, bronchitis akut, kanker tenggorokan, merokok
membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Kurang efektif…., karena data
meningkatnya jumlah perokok di Indonesia…
-
- UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Serta, Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri (Nomor 188/MENKES/PB/1/2011 dan Nomor 7
tahun 2011, Tertanggal 28 januari 2001: tentang Pedoman Pelaksanaan KTR.
Berimplikasi pada pelembagaan Program “Kawasan Tanpa Rokok (KTR) “ upaya
teknis yang efektif, meskipun terbatas. Kecuali Kesadaran hadir pada kawasan
kehidupan… Seperti PERDA KTR di Seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia, dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
o
14
Pengendalian pengganti (Compensating) untuk memperkuat pengendalian yang
terabaikan.
Lingkungan pengendalian:
Proses :COSO
Unsur Kerangka Kerja Tujuan
Lingkungan Pengendalian Proses Operasi
Penilaian Resiko Orang Pelaporan
Aktifitas Pengendalian Keyakinan yang memadai Ketaatan
Sistem informasi dan
komunikasi
Pemantauan
Referensi
15
16