Anda di halaman 1dari 17

LINGKUNGAN PENGENDALIAN ASPEK EKONOMI

DENGAN DAMPAK INDUSTRI ROKOK


DI INDONESIA
(ROLE MODEL SEGITIGA EPIDEMIOLGI)

Dr. Syaiful Hifni, Drs.Ec, M.Si, Ak, CA


(Dosen FEB ULM, Participant, Tobacco Control-
Indonesia)

*) Disampaikan Dalam Kegiatan Seminar Sehari Dengan Tema “Hari Tanpa


Tembakau Sedunia” , Kamis, 12 Juli 2018, Di Banjarmasin-: Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Selatan”

0
1. Latar Belakang

Upaya berkelanjutan untuk menyelamatkan generasi bangsa dari dampak


buruk komoditi rokok di Indonesia terus dilakukan. Hari Tanpa Tembakau
Sedunia (HTTS) dijadikan sebagai momen berkelanjutan hadirnya
perjuangan pengendalian terhadap dampak pertumbuhan tobacco industry
(industri hulu-hilir rokok). Bagi Negara, seperti Indonesia, momen ini
semakin bermakna, karena lingkungan industri rokok yang saling
berhadapan dengan perjuangan dari “tobacco control”. Bangun kesadaran
untuk pengendalian tembakau di Indonesia tumbuh di era 1990 an,
diorganisir semenjak 2007. Ditandai dengan pembentukan Indonesian
Tobacco Control Centre (ITCC) oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (IAKMI), didukung pihak-pihak yang peduli dengan nasib bangsa
terhadap bahaya rokok.
Kehadiran yang lebih bersistem dan strategic melalui peran pejuang dan
pegiat “Tobacco Control” terus dilakukan. Secara berkesinambungan pegiat
“tobacco control” terus melakukan langkah–langkah pengendalian 1).
Sementara Pemerintah Indonesia dalam konteks ini masih belum berpihak
penuh dan signifikan pada kebutuhan pembangunan nasional yang hakiki dan
pro-rakyat. Peran Negara sejak Pemerintahan orde baru sampai sekarang
belum maksimal dan kurang relevan peran kehadirannya membela rakyatnya
dari bahaya rokok. Pemerintah berada dalam posisi tidak mudah. Sehingga
terbelenggu dalam status kebijakan dengan ketidakpastian dan
ketidaksetujuan. Hal ini terjadi pada kondisi sekarang dan potensi ke depan,
di mana pemerintah Indonesia belum melakukan langkah ratifikasi- dalam
mengaksesi “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)”. Tidak
berpartisipasi dengan traktat internasional pertama WHO ini, membuat
Indonesia sebagai satu-satunya Negara di Asia 2) yang tidak berniat formal
untuk mau dan dapat mengendalikan dan membatasi dampak buruk
penyebaran produk tembakau, seperti rokok. Sampai sekarang, Indonesia
sebagai sasaran pemasaran rokok global dari aktifitas “massive” produksi
rokok nasional dan global, serta dengan tautan kepemilikan industri
bercorak global.
Deskripsi jumlah perokok di Indonesia menunjukkan dampak dari
penghindaran meratifikasi–aksesi FCTC. Terdapat sajian data yang berbeda
namun tetap menunjukkan Indonesia sebagai Negara dengan jumlah perokok
yang besar. Pertama, hal ini tentu dapat menjadi catatan penting, karena data
yang justeru menunjukkan Indonesia sebagai Negara dengan jumlah perokok
terbesar di Dunia, disusul China dan India (http://m.republika.co.id).
Dikemukakan, Jumlah Perokok di Indonesia Nomor satu Dunia (2016), di
mana jumlah perokok mencapai 90 juta. Hal ini diperkuat (Atlas Tobacco,
2016; dan www.koran-jakarta.com, 2017) yang mengemukakan jumlah
perokok di Indonesia mencapai 90 juta jiwa (2017). Kedua, jumlah ini
berbeda dengan data yang dikemukakan (http://bisnis.tempo.com), yang
menujukkan perokok Indonesia ada pada rating 3 dunia, setelah China dan

1
India. YLKI mendeksripsikan jumlah perokok mencapai 35 % dari populasi
penduduk atau mencapai 75 juta jiwa. Jumlah ini belum termasuk
pertumbuhan prevalensi perokok anak-anak dan remaja yang tercepat di
dunia mencapai 19,4%. Data Atlas Pengendalian tembakau di ASEAN
menunjukkan 30 persen dari anak Indonesia berusia di bawah 10 tahun atau
sejumlah 20 juta adalah perokok. Dikemukakan, hal ini berdampak pada
kondisi social ekonomi yang signifikan, dan menimpa sebagian besar
keluarga yang ada dalam ukuran rumah tangga miskin.

Dalam konteks kesejahteraan social sesuai Data BPS menunjukkan


rokok kretek filter menyumbang persentase yang cukup tinggi dalam daftar
komoditi yang berpengaruh pada angka kemiskinan nasional (BPS, Januari
2015). Dikemukakan, rokok kretek filter menyumbang kemiskinan 11,18%
di Kota, dan 9,39 % di Desa. Sebagai pembanding, angka tersebut di bawah
komoditi beras sebagai komoditi kebutuhan pokok yang menjadi
penyumbang angka kemiskinan dengan porsi 23,39 % di Kota, dan 31,615
di Desa. Hal ini sebagai potensi yang akan terus memberikan dampak
negative bagi kualitas kehidupan ke depan.
- Pertama, masih besarnya jumlah perokok dan meningkatnya prevalensi
perokok pemula (anak-anak dan remaja),
- Kedua: volume produksi rokok yang meningkat dan besar (jumlah
produksi mencapai 340 milyar batang, yang dialokasikan untuk konsumsi
mencapai 10 batang/hari/orang untuk jumlah perokok mencapai 90 juta).
Kemudian, adanya implikasi negative-makro, sebagai fakta potensial
bahwa adiktif terhadap nikotin tembakau menjadi “gateway” menuju
pemakaian narkoba, minuman keras dan akan berakhir dengan
HIV/AIDS (APTI, 2013, vii).
- Pertentangan Road Map Tobacco Industri yang focus pada upaya
peningkatan produksi untuk demand yang tinggi berhadapan dengan
Road Map Tobacco Control yang substansinya akses dalam kerangka
FCTC (dari sisi ekonomi penurunan sisi suplai dan demand komoditi
tembakau-rokok)

Kebijakan pemerintah yang berpihak pada kebenaran dan kesejahteraan


rakyat diperlukan dalam pengendalian dampak negative komoditi tembakau
–rokok di Indonesia. Namun hal ini jelas tidak mudah, karena realitas
berhadapan dengan kendala. Seperti dari aspek kelembagaan, dengan masih
terdapat perbedaan cara pandang antara leading sector. Perbedaan dan
keberpihakan dari Kementerian Kesehatan yang pro-Tobacco Control,
dengan Kementerian Perindustrian yang pro- Tobacco Industry. Dalam
tataran legislative direpresentasikan dengan saling berhadapan antara
Komisi 9 (Sembilan) Bidang Kesehatan dengan Komisi 6 (enam) Bidang
Industri. Akan hadir kebijakan dan program yang bersifat kontradiktif dan
dominannya pada sifat solipsisme (benar pada pemikiran sektoral masing-
masing). Dari sisi kekuatan peran dan tujuan aspek pembangunan terdapat
perspektif strategic yang tidak dapat menyatukan dan harmoni untuk aspek

2
ekonomi, kesehatan, aspek hukum terkait pragmatisme pihak industri rokok
dan normatifnya pihak pengendali tembakau. Bahkan, fenomena RUU
Pertembakauan masih menjadi “lesson learned” bagaimana keberpihakan
pemerintah dan legislative pada industry rokok (hulu-hilir) dan
pengendaliannya.
- Dari sisi ekonomi hadirnya industri rokok, memang memberikan nilai
tambah ekonomi sejak dari hulu (input) : tembakau, proses pengolahan
(nilai tambah produk), serapan tenaga kerja, dan pos penerimaan dari
cukai dan pajak, serta nilai tambah ekonomi terkait (hulu- hilir) industry
rokok. Namun, aspek ini semakin terbantahkan, karena dari sisi input,
ternyata Indonesia dalam memenuhi industri nasional masih melakukan
impor tembakau 3). Kemudian, dalam proses produksi sudah didominasi
system “machienary”, dan bahkan penerimaan Negara untuk cukai dan
pajak rokok tidak positif menutup deficit pembiayaan untuk layanan
kesehatan BPJS terkait penyakit karena dampak merokok….. 4)
- Aspek kesehatan, menunjukkan keberadaan industry rokok (tobacco
industry) yang menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan dan hidup
masyarakat (pelanggaran konvensi FCTC dengan hak kesehatan sebagai
kualitas hidup)
- Aspek hukum, belum maksimal memberikan asas manfaat, kejelasan, dan
keadilan demi perlindungan konsumen dan kesehatan. Kesejahteraan
dengan kepastian perlindungan (bahkan HAM). Pemerintah melakukan
pengendalian tidak pada fundamental aspek (ratifikasi-aksesi) FCTC,
tetapi memenuhi regulasi yang cenderung saling bertentangan lintas
sektoral/aspek pembangunan. Regulasi pada tataran mikro, meso dan
makro masih belum dapat memberikan perlindungan bagi individu,
keluarga, dan masyarakat, bangsa dari kerugian akibat adiktif terhadap
nikotin tembakau 5).

Konfirmatori fakta-fakta aspek kesehatan adalah logika dan korespondensi


paling kuat dalam kemampuan menunjukkan makna negative komoditi
tembakau seperti rokok dalam konteks kualitas kehidupan, diri, dan
lingkungan social. Sementara aspek ekonomi memiliki kondisi dualistis
antara das sollen vs das sein dalam alat dan cara pembangunan dengan
eksistensi tobacco industry dan tobacco control. Alasan nilai tambah
ekonomi sektoral, kesempatan kerja, serta penerimaan Negara dari cukai dan
pajak rokok telah menjadi mitos tentang kebenaran aspek ini seiring hadirnya
tobacco industry dengan upaya enumbuhkan supply dan demand rokok.
Meskipun alasan ekonomi sebenarnya sudah dikalahkan banyak Negara
dengan ratifikasi-aksesi FCTC-WHO, karena sebagai strategi nasional
banyak Negara untuk memilih untuk menekan eksistensi tobacco industry.
Namun Indonesia belum sepenuhnya melakukan langkah strategic untuk hal
ini.
Diperlukaan pendekatan berkelanjutan dalam menganalisis situasi
sekarang terkait upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Suatu
pendekatan yang melibatkan multi aspek. Penguatan arah kebijakan dapat

3
ditekankan pada alat penjelas, pengendali, dan untuk prediksi. Suatu model
segitiga epidemiologi 6), releven diimplementasikan melalui lingkungan
kebijakan. Analisis dapat dimulai dari kondisi pertentangan road map terkait
tobacco industry vs tobacco control. Tanpa henti, upaya pengendalian dalam
hal ini menjadi tugas dan amanah bersama jajaran pegiat “tobacco control”
yang berada di tataran pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Implementasi
Role model sebagai kebijakan pengendalian Tobacco control” diperlukan
hadir dalam suatu lingkungan. Didasarkan bangun visi bersama tentang arah
pengendalian tembakau di Indonesia. Diperlukan aksi kebijakan yang
menerapkan model lingkungan pengendalian, terkait upaya menentukan
wilayah aksi kebijakan pengendalian tembakau yang memiliki kemungkinan
untuk sukses paling tinggi. 7)

Tulisan ini dikemukakan untuk pemikiran : Bagaimana pegiat “ Tobacco


Control” di Indonesia dengan lingkungan pengendaliannya, dengan model
kebijakan terhadap Inang-orang, penyebab, lingkungan, dan vector, terkait
cara pikir ekonomi dengan dampak industry rokok di Indonesia ?

2. Aspek Dalam Model Epidemiologi

2.1. Aspek Inang –Orang: Aspek Ekonomi

Perokok adalah individu yang melakukan pengeluaran untuk


pemenuhan keinginan merokok. Secara personal, selain menekan aspek
keuangan individu dengan “spending” yang kontra prestasi. Juga,
merokok meghadirkan kegagalan diri dalam perlindungan harta (hifzh al-
mal). Hal ini karena merokok bertentangan dengan unsur syariah
(maqashid asy-syariah). Bagi orang atau individu yang terpapar asap
rokok, maka dapat dikemukakan adanya kegagalan mempertahankan
dalam perlindungan keluarga (hifzh an-nasl).
Kerugian ekonomis terkait inang-orang dengan konsumsi rokok dan
kerugian ini berdampak luas pada lingkungan keluarga, dan masyarakat.
Deskripsi BPS menegaskan arah adanya belanja rokok yang menekan
dan bahkan mengalahkan belanja untuk beras serta beragam kebutuhan
primer lainnya. Hal ini terutama terkait hambatan pada pemenuhan
belanja pada aspek pendidikan dan kesehatan.

Salah satu masalah kesehatan yang serius di Indonesia adalah tingginya


angka prevalensi merokok. Dari waktu ke waktu prevalensi merokok di
Negara kita bukannya menurun, akan tetapi semakin meningkat terutama
dikalangan usia remaja (Kepala, BPOM, 2017). Rencana dalam RPJMN
2015-2019 bidang kesehatan, untuk menurunkan prevalensi perokok
anak usia di bawah 18 tahun dari 7,2% (2013) menjadi 5,4% (2019),
kenyataannya justeru meningkat mencapai 8,8 5 (2016)…

4
Beban pembiayaan pelayanan kesehatan yang tinggi…memerlukan
penurunan aktifitas merokok …Substansi regulasi dari Kementrian
Kesehatan “ Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dengan INPRES
Nomor 1 tahun 2017 (27 Pebruari 2017). Sulit…karena “partial
diamteral” antar sector pembangunan…Strategik Ratifikasi-aksesi FCTC
sebagai jalan keluar….
Sejumlah mitos (LD UI-Facts sheet, 2009), perlu difalsifikasi dalam
pemahaman pada permasalahan merokok dan dampaknya.
Mitos 1: Bahwa merokok menenangkan pikiran dan meningkatkan daya
konsentrasi ?
Mitos 2: Bahwa merokok adalah hak individu dan tak dapat diganggu
gugat ?
Mitos 3: Bahwa nikotin tidak menimbulkan kecanduan
Mitos 4: Bahwa polusi udara oleh asap mobil lebih berbahaya dari asap
rokok
Mitos 5: Bahwa iklan rokok yang sangat agresif tidak dimaksudkan untuk
mencari perokok baru, tapi agar perokok beralih ke produk baru atau lain
Mitos 6: Bahwa industry rokok berjasa dalam meningkatkan pendapatan
Negara melalui cukai rokok
Mitos 7: Bahwa rokok kretek adalah Cultural Heritage Indonesia.

Khusus untuk alasan ekonomis fakta-fakta sebagai falsifikasi Mitos


dikemukakan:
Fakta untuk Mitos 5: Bagi pecandu rokok dengan atau tanpa iklan,
mereka tetap akan berusaha untuk membeli rokok karena
ketergantungannya. Kemudian, iklan rokok yang agresif justeru berusaha
mengambangkan pasar baru, terutama dari segmen masyarakat baru,
yakni perempuan dan generasi muda. Bagi tobacco industry,
pengembangan pangsa pasar lebih penting dari menaikan atau
mempertahankan margin keuntungan dari harga jual rokok.

Fakta untuk Mitos 6: Bahwa pembayar cukai adalah konsumen rokok


atau perokok, bukan industry rokok. Mereka (industry rokok) dapat
mengelola setting price dengan dasar HPP mereka, sehingga mereka
sangat aman dengan margin yang didapat…Fakta adanya biaya layanan
kesehatan (BPJS Kesehatan): notes (4).

2.2. Vektor: Industri Tembakau

Industri tembakau memiliki perspektif ekonomi yang utama.


Mereka memiliki road map industry rokok. Bahkan penetapan peta
jalan pihak tobacco industry mendapat penguatan dari Pemerintah.
Juga, jajaran industry nasional hasil tembakau (IHT) ingin dianggap
sebagai industry strategis. Hal ini semakin jelas memberikan “Vektor
“ industry tembakau yang menjadi semakin kuat.

5
Untuk motive ekonomi dalam industri, pihak hulu-hilir industri rokok
melakukan aktifitas dalam memperluas produksi dan konsumsi
tembakau (suplai dan demand). Cara yang ditempuh industri
tembakau berbasis intervensi aspek legal dengan focus alasan
ekonomi dengan strategis market dan taktis lainnya. Bahkan juga
dalam proses intervensi legalitas, mereka didukung sistem
pemerintahan dengan prolegnas RUU Pertembakauan. Mereka
memerlukan dan melooby untuk suatu dukungan penguatan mulai
hulu ke hilir. Hulu dengan upaya mempertahankan lahan perkebunan
tembakau. Alasan terkait nasib petani tembakau. Sementara dengan
alasan kualitas dan kuantitas industri rokok tetap melakukan import
tembakau. Pada sisi hilir dengan perlakuan ekonomi pungutan culai
dan pajak, adalah tidak pernah menekan hak profit industry rokok.
Luas dan bertumbuhnya produksi dan konsumsi rokok adalah
pertumbuhan kinerja ekonomi (profit) bagi industry rokok, namun
tidak bagi sector pemerintah, karena beban layanan kesehatan yang
meningkat dalam menghadapi beragam penyakit katastropik
(berbiaya tinggi) karena merokok. Pada sisi inang-orang sebagai
individu perokok dan penerima paparan asap rokok menyebabkan
penurunan kualitas hidup. Hal ini terkait kesehatan dan beban
ekonomi individu dan keluarga.

Secara sistematis tobacco industri mendekati tujuan industry dalam


fase hulu-hilir:
(1) Petani Tembakau
(2) Pembeli daun tembakau
(3) Proses produksi daun tembakau
(4) Pengiriman
(5) Pabrik rokok
(6) Periklanan
(7) Distribusi komoditi
(8) Konsumen
(9) Target konsumen baru

Setiap mata rantai yang memiliki nilai tambah ekonomis. Setiap


mata rantai yang dari sisi ekonomi dapat memenuhi kesempatan
kerja, penerimaan bagi Negara melalui cukai dan pajak tembakau-
rokok. Hal penting dalam mata rantai nilai tersebut, petani
sampai sekarang masih sebagai pihak yang tidak mendapat
benefit-ekonomis selayaknya atas upaya mereka. Serta pihak yang
paling dirugikan dalam semua aspek adalah konsumen.

- Aktifitas ekonomi terkait hulu-hilir industry tembakau-rokok, secara


mikro menempatkan individu (konsumen) dalam rumah tangga keluarga

6
dalam kondisi dirugikan. Karena pengeluaran untuk rokok adalah bukan
tindakan ekonomi yang rational. Secara mikro, bagi Perusahaan dan
industry hulu-hilir tembakau-rokok, mereka (perusahaan) menerima
margin, namun dengan cara pandang yang merugikan konsumen, jadi
aktifias ekonomi bukan atas dasar motive ekonomi yang baik, karena
nilai ekonomis dipertahankan melalui perluasan konsumen. Sementara
rokok adalah produk/komoditi yang dikenakan cukai karena dampak atas
pemakainnya. Jajaran pelaku ekonomi seperti petani adalah pihak yang
masih belum menerima tingkat harga yang layak. Karena aktifitas
produsen bertumpu pada alasan kualitas dan kuantitas, sehingga mereka
melakukan impor dan diskriminasi harga input tembakau dari petani.
- Dari sisi ekonomi makro peran pemerintah yang cenderung memihak
tobacco industry, sudah harus ditinjau ulang, karena aspek penerimaan
Negara dengan pengeluarannya telah tereduksi. Tanggungjawab Negara
untuk sector kesehatan menjadi alat penjelas, bahwa penerimaan cukai
dan pajak rokok adalah anomali dalam ekonomi nasional. Meskipun nilai
tambah ekonomi terselenggara, namun social cost lebih menggilas social
benefit.

Alasan ekonomi atas eksistensi industry rokok juga memiliki dasar dari
realitas ekspor rokok dan cerutu (US $ 617,8 juta/2012…US $ 804,7
juta dengan peningkatan rata-rata 14,1%/tahun ). Negara dianggap
mendapat manfaat hilir industry rokok melalui cukai, namun pihak yang
mewakili IHT meminta perlindungan Negara pada struktur hilir
industry.

Dilema Cukai dan pajak Rokok

- Dasar HET dengan acuan UU Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai,


perubahan mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2007. Kemudian
diteruskan dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Dearah dan
Retribusi Daerah. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai yang dipungut
pemerintah. Sedangkan Cukai adalah pungutan yang dipungut Negara
terhadap rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk sigaret, cerutu,
serta rokok daun.

- Mitos bahwa: pungutan pajak rokok tidak dibebankan pada pengguna


rokok atau perokok/konsumen. Karena wajib pajak rokok adalah pabrik
rokok atau pengusaha yang melakukan pemesanan pita cukai dan
berikutnya membayar pajak. Mitos, karena HET adalah gabungan HPP
dan target laba/batang rokok + cukai + pajak . Produsen tetap profit
dengan HET, dan cukai dan pajak melekat dalam HET. Meskipun, untuk
Cukai rokok yang dikenai adalah dari harga jual eceran (HJE) rokok.
Serta, dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok. Produsen telah
mengamankan cukai dan pajak rokok dalam HET rokok.

7
- Fakta : Harga pokok produksi rokok, ditetapkan akurat (Bahan baku,
Biaya overhead, biaya tenaga kerja), dan HJE/HET dapat menutup biaya
marketing yang tinggi pada industry rokok.

- Alasan klasik: penerimaan cukai dan pajak rokok untuk alokasi biaya
kesehatan bagi perokok. Serta untuk pajak rokok yang menjadi bagian
yang diterima di daerah sebagai pendapatan daerah adalah untuk
peningkatan sarana dan prasarana kesehatan daerah, peningkatan sarana
dan prasarana bagi perokok, serta untuk membiayai kampanye tentang
bahaya merokok.

- Kenaikan cukai bagi industry rokok adalah tantangan dan beban


psikologis atas daya beli konsumen, karena cukai dan pajak rokok
sejatinya tetap dibayar konsumen
- Bagi Pemerintah, penerimaan cukai yang ditingkatkan dan pajak rokok
adalah penerimaan yang berhadapan dengan tanggungjawab layanan
kesehatan, kemerosotan kualitas kesehatan masyarakat.

Anomali Kebijakan Cukai:


Per 1 Januari 2018 Pemerintah menaikan cukai rokok:
Pertimbangan ada petani tembakau
Pekerja pabrik rokok
Sisi kesehatan
Rokok illegal (JKW/https://nasional.kopas.com)
Menkeu: 4 aspek:
1. Kenaikan cukai rokok ini telah memperhatikan pandangan
masyarakat terutama dari aspek kesehatan dan konsumsi rokok
yang harus dikendalikan;
2. Kenaikan cukai rokok ini harus bisa untuk mencegah makin
banyaknya rokok illegal
3. Kenaikan ini juga memperhatikan dampaknya pada kesempatan
kerja, terutama pada petani dan buruh rokok;
4. Terkait peningkatan penerimaan negara
(Permenkeu Nomor PMK-146/PMK.010/2017: Tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau, Persentase kenaikan tertimbang tariff cukai tahun
2018.

- Aspek Ekonomi Daerah dan Pajak Rokok

Potensi daerah, sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah, per tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah daerah, khususnya
Provinsi diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10 % dari tarif
cukai rokok nasional. Kebijakan ini menjadi jebakan bagi daerah yang
mengutamakan penerimaan daerah dalam APBD dibandingkan membangun
IPM melalui aspek kesehatan, serta pendidikan. Objek pajak rokok adalah
konsumsi rokok (sigaret, Cerutu, dan rokok daun). Subjek pajak adalah

8
konsumen rokok, wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan
importir rokok yang memiliki ijin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai (NPPBKC). Pajak rokok dipungut pemerintah bersamaan dengan
pemungutan cukai rokok, dan disetorkan ke rekening kas umum daerah
Provinsi secara proporsional , berdasarkan jumlah penduduk.

Dilema etika dapat terjadi, karena saat Pemerintah daerah menerima pajak
rokok, pada saat yang sama sebagai upaya perlindungan dampak rokok,
dilakukan intervensi kebijakan peniadaan untuk ijin iklan rokok. Kebijakan
untuk penetapan “zero” rencana penerimaan pendapatan pajak reklame iklan
rokok dan produk tembakau sebagai protect bagi sasaran iklan tobacco
industry pada perokok pemula. Beberapa Pemerintah daerah menolak
menerima iklan rokok pada media luar ruang (Billboard). Hal ini sebagai
Padanan upaya menolak penyiaran iklan rokok (UU Nomor 32 Tentang
Penyiaran). Ikan rokok sendiri menyalahi UU Kesehatan (UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Meningkatnya budget iklan Industri rokok
perlu dukungan politik dengan kebijakan yang berpihak pada inang-orang.
Program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga menjadi bagian dari upaya
merumuskan kekuatan role model pengendalian dampak tembakau-rokok
antara alasan ekonomis yang sudad debatable dengan alasan kaulitas hidup
yang bersifat keniscayaan.

2.3. Penyebab “produk”: Alasan Ekonomi

Produk tembakau, rokok, produk lain dan asap rokok adalah


penyebab perlunya pengendalian tembakau, karena alasan ekonomi
dengan alokasi pengeluaran untuk pemenuhan pembelian produk,
serta alasan kualitas hidup (kesehatan, pendidikan). Juga terkait
alasan lingkungan dengan norma, nilai, sikap, serta kebijakan
pemberdayaan. Atau adanya alasan, justeru sebagai alasan ekonomi
dari vector dengan hadirnya industry rokok yang bermotif ekonomis.
Mengingkari alasan kualitas hidup atas produk berbahaya bagi
kehidupan umat manusia.

o Saat sekarang hadirnya produk lain yang menjadi penyebab


perlunya tobacco control adalah diproduksinya rokok elektronik
atau vape. Ini adalah produk yang saat ini sedang marak dan
disinyalir menjadi salah satu produk perantara untuk mulai
merokok (smoking initiation) terutamma di kalangan anak muda
dan remaja. Selain itu, kasus penyalahgunaan vape dengan
memasukan obat illegal dan narkotika semakin banyak dan sulit
dikendalikan. Hal ini semakin berat, karena belum ada regulasi
terkait pengaturan produk vape ini (BPOM, 2017)

9
2.4. Lingkungan Pengendalian

Budaya dan masyarakat di mana industry rokok hadir berhadapan dengan


2 (dua) poros kebijakan yang saling bertentangan. Pertama kebijakan
dalam Road map industry Rokok, dan Kedua, kebijakan dalam road map
tobacco control. Pendekatan kerangka konseptual dapat menegaskan cara
pandang peta jalan (road map) yang bertolak belakang antara Tobacco
industry (industry rokok) dengan tobacco control (Pengendali tembakau).

Garis Besar aspek Dalam Road Map :


Industri Rokok Vs Road Tobacco Control

No Aspek Tobacco Industri Tobacco Control


(2007-2020)*) (2013-2025)**)
1 Tujuan Meningkatkan Pengurangan supply
produksi rokok dan demand
2 Asumsi Dasar Komitmen pada aspek Perlindungan
keseimbangan tenaga komprehensif berbasis
kerja dengan HAM,
penerimaan dan Komitmen pada 5
kesehatan (2007- (lima) aspek
2010); Prioritas pada utama:kebijakan
aspek penerimaan publik dan legal,
dengan kesehatan dan ekonomi, kesehatan,
tenaga kerja (2010- pendidikan, dan social
2015); Prioritas aspek budaya.
kesehatan melebihi
aspek tenaga kerja dan
penerimaan
3 Pihak berkepentingan Industri hulu-hilir Semua pemangku
tembakau-rokok kepentingan dengan
focus pada masyarakat
4 Prinsip dasar layanan Batas minimal HAM: Meningkatnya
pencapaian produksi Batas perlindungan
dampak tobacco
industry
5 Standar layanan Volume produksi Capaian aspek dan
batas perlindungan
6 Prosedur layanan Layanan industry Kebijakan
hulu-hilir Pengendalian dampak
mata rantai tata niaga
tembakau (Petani sd
perokok) tahap
“holistic” kehidupan

10
industry ke konsumen
dan dampak
7 Teknik/Metode layanan Berbasis market dan . Berbasis aspek
(Lobby) pembangunan :social
welfare
*) Disusun Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustran (2009)
**) Disusun Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia

Road map tobacco industry bertentangan dengan spirit nasional dan global
(FCTC) dalam kehidupan dengan HAM dan kualitas hidup.

Road map tobacco control secara implicit memberikan dasar pilihan


kebijakan yaitu: ratifikasi-aksesi FCTC sebagai kebijakan elementer. Sebagai
basic underlying assumption dalam keseluruhan strategi pengendalian jajaran
Tobacco control di Indonesia. Data historis dan data eksternal antar Negara
adalah alasan utama diambilnya keputusan nasional dengan ratifikasi-aksesi
FCTC.
- FCTC sebagai traktat internasional, menegaskan kembali akan hak
semua orang untuk memperoleh drajat kesehatan yang setinggi-
tingginya. Traktat ini sebagai paradigm yang sudah tidak baru bagi
banyak Negara, kecuali Indonesia. FCTC sebagai fasilitasi strategi
regulasi dalam mengatasi zat adiktif, dengan n menekankan pada strategi
pengurangan permintaan (demand reduction). Pada sisi ekonomi strategi
peningkatan cukai menjadi kebijakan strategi yang ditempuh.

- Road map tobacco control memiliki korespondensi dengan FCTC. FCTC


disusun untuk menghadapi globalisasi epidemic tembakau. FCTC
memberikan kerangka terkait sejumlah faktor perdagangan yang
kompleks dengan efek lintas Negara, difasilitasi melalui perdagangan
bebas dan investasi asing. Juga dalam menghadapi kekuatan besar dalam
pemasaran global, iklan-promosi-sponsor bersifat lintas bangsa dan
Negara dengan capital besar. Fakta atas belum ditempuhnya ratifikasi-
aksesi FCTC oleh Indonesia, telah menghadirkan fenomena “akuisisi:
Indutri rokok Nasional oleh investor asing (seperti “PM”). Indonesia
menjadi sasaran iklan rokok dan kedatangan komoditi produk global.

Kerangka road map tobacco control berbasis FCTC memerlukan


implementasi pengendalian. Hal ini terkait fasilitasi FCTC dengan aspek
ekonomi pada suplai dan demand komoditi tembakau-rokok. Upaya
pengendalian dengan MPOWER: Melindungi (Protect)- masyarakat dari
asap rokok;
Menawarkan (Offer)-bantuan untuk berhenti merokok;
Memperingatkan (Warn) masyarakat akan bahaya tembakau;
Memberlakukan (Enforce) larangan iklan;
Menaikan (Raise) pajak tembakau (Cukai)

11
Pengendalian yang selalu memerlukan dukungan politik, kemitraan,
kerjasama antar pegiat tobacco control, dukungan komunikasi dan
advokasi, opini dan dukungan public.

3. Implementasi Kebijakan Pengendalian: Simpulan

Pengendalian dilakukan dengan hadirnya elemen penting kepemimpinan


dalam jajaran Tobacco control di Indonesia. Role model dengan aspek:
inang-orang, industry hulu-hilir tembakau-rokok, penyebab, dan lingkungan,
memerlukan implementasi “rencana aksi”. Kepemimpinan harus mampu
mengkomunikasikan visi Tobacco control Indonesia sesuai role model.

Implementasi road map tobacco industry yang dibangun di atas realitas


ekonomi (tenaga kerja, nilai tambah sektoral, penerimaan Negara)
selayaknya sudah dapat dikendalikan dengan kekuatan strategi road tobacco
control yang dibangun atas dasar nilai HAM, kualitas hidup generasi bangsa.

Pendekatan pengendalian strategic dilakukan karena sebenarnya sudah


dipatahkannya mitos realitas alasan ekonomi (mikro dan makro) pada sector
hulu-hilir industry (tembakau- industry rokok) sebagai pilar APBN. Tidak
saja atas dasar data terukur tentang aspek penerimaan dan pengeluaran dalam
APBN/APBD. Hal ini didekati melalui role model segitiga epidemiologi,
dengan Negara mengikuti arus global yang cerdas, yaitu dengan meratifikasi
–aksesi FCTC.

Pengendalian aspek ekonomi melalui ratifikasi-aksesi FCTC dilakukan


melalui: “Demand reduction” komoditi tembakau-rokok”. Pendekatan
pengendalian dilakukan melalui :
- Perlindungan terhadap paparan asap rokok, AROL (asap rokok orang
lain), terutama di berbagai fasilitas public;
- Regulasi mengenai kandungan produk tembakau;
- Regulasi mengenai pengungkapan produk tembakau;
- Pengemasan dan label;
- Pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran
masyarakat terhadap ancaman bahaya produk tembakau bagi kesehatan;
- Iklan, promosi dan sponsor tembakau;
- Pengurangan permintaan yang berkaitan dengan ketergantungan atas
tembakau dan penghentian pemakaiannya (Quit smoking)

Pengendalian aspek ekonomi melalui ratifikasi-aksesi FCTC dilakukan


melalui: “Supply reduction” komoditi tembakau-rokok”. Pendekatan
pengendalian dilakukan melalui :

12
- Perdagangan illegal produk tembakau
- Penjualan produk tembakau kepada dan oleh anak di bawah umur;
- Pemberian bantuan untuk kegiatan alternative yang layak secara
ekonomis;

Program MPOWER relevan dilembagakan sebagai inti role model


pengendalian. Hal ini karena problem dampak tobacco industry yang harus
dicermati secara seksama. Pencermatan pada sisi social budaya dengan ranah
:Kesehatan, Pendidikan, bahkan Agama, kesejahteraan social. Sisi politik
dengan ranah perumusan kebijakan, pengaturan dan penegakan hukum.
Kemudian dalam sisi ekonomi dalam perspektif mikro dan makro ekonomi.

Sebagai renungan: bahwa tembakau adalah komoditi perkebunan yang


memiliki peran tergantung proses produksi pemanfaatannya. Hanya ketika
menjadi komoditi kesenangan “Rokok”, maka pengendalian menjadi kata
kunci. Mitos ekonomis tentang mata rantai hulu hilir industry tembakau-
rokok menjadikan masalah ini akan selalu menyertai proses kehidupan umat
manusia. Pemerintah yang bertanggungjawab untuk ini semua. Masyarakat
dapat mengambil bagian setelah itu. Tobacco Industri akan selalu berada
diantara hal-hal yang ada.

Save Indonesia

Notes:
1) Jaringan Tobacco Control di Indonesia: Tobacco Control and Support Center (TCSC)
IAKMI dengan pelaksanaan ICTOH regular mulai 2014: The 1st Indonesian Conference
on Tobacco or Health 2014, Jakarta, dengan dukungan Kementerian Kesehatan, ITCN,
The UNION, WHO….

2) Negara yang belum meratifikasi atau aksesi FCTC, sampai 2018 (Andorra,
Liechtenstein, Monaco (Eropa), Zimbabwe, Malawi, Somalia, Eritrea (Afrika), dan
Indonesia (Asia);

3) Sementara pelaku industry rokok nasional masih melakukan impor tembakau untuk
penuhi kebutuhan produksi nasional (http://ekonomi.kompas.com). Untuk memenuhi
quota produksi nasional mencapai 340 milyar batang, dengan kebutuhan tembakau
mencapai 340.000 ton. Produksi tembakau Indonesia mencapai 200.000 ton. Data
impor tembakau tahun 2017 mencapai 252, 6 juta dolar AS dengan volume
mencapai 50.700 ton. Jumlah ini meningkat dari tahun 2016 dengan nilai mencapai
241,6 juta dollar AS dengan volume 37.600 ton.
4) Konsumsi rokok yang tinggi mengancam keberlangsungan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Hadirnya beragam penyakit katastropik (berbiaya tinggi)
karena merokok, menyebabkan BPJS Kesehatan deficit (Defisit tahun 2016 sebesar
Rp. 9 Trilyun, tahun 2017 sebesar 12 Trilyun). Cukai Rokok dinaikan mencapai
10,14 % belum mampu menutup deficit.

13
5) Regulasi untuk peran Pemerintah, seperti : PP Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan. Aturan pelaksanaannya PMK Nomor 28 tahun 2013 Tentang
Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk
Tembakau. melalui Gambar-gambar yang harus dicantumkan pada tiap bungkus
yaitu: kanker mulut, kanker paru, bronchitis akut, kanker tenggorokan, merokok
membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Kurang efektif…., karena data
meningkatnya jumlah perokok di Indonesia…
-
- UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Serta, Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri (Nomor 188/MENKES/PB/1/2011 dan Nomor 7
tahun 2011, Tertanggal 28 januari 2001: tentang Pedoman Pelaksanaan KTR.
Berimplikasi pada pelembagaan Program “Kawasan Tanpa Rokok (KTR) “ upaya
teknis yang efektif, meskipun terbatas. Kecuali Kesadaran hadir pada kawasan
kehidupan… Seperti PERDA KTR di Seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia, dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
o

6) Model Segitiga Epidemiologi pengendalian tembakau:

Inang-Orang, masyarakat umum, baik penggguna


tembakau maupun mereka yang terpapar asap rokok

Vektor: industry tembakau,


yang aktif memperluas
konsumsi tembakau melalui
cara yang legal dan cara
lainnya

Penyebab : produk tembakau, Lingkungan : Budaya dan


rokok dan produk lain dan asap masyarakat tempat penggunaan
rokok terpapar asap rokok tembakau, termasuk norma, nilai,
sikap, kebijakan dan layanan yang
mempengaruhi penggunaan
tembakau

7) Role Model Pengendalian:

Pengendalian pencegahan (preventive): melalui regulasi “ratifikasi-aksesi


FCTC”WTO
Pengendalian deteksi (detective): dalam mendeteksi kesalahan yang telah terjadi
Pengendalian koreksi (Corrective): koreksi atas masalah teridentifikasi melalui
pengendalian deteksi
Pengendalian pengarahan (directive): pengendalian saat kegiatan dilaksanakan agar
sesuai ketentuan

14
Pengendalian pengganti (Compensating) untuk memperkuat pengendalian yang
terabaikan.

Lingkungan pengendalian:
Proses :COSO
Unsur Kerangka Kerja Tujuan
Lingkungan Pengendalian Proses Operasi
Penilaian Resiko Orang Pelaporan
Aktifitas Pengendalian Keyakinan yang memadai Ketaatan
Sistem informasi dan
komunikasi
Pemantauan

Referensi

Kajian, Rokok Elektronik di Indonesia, Direktorat pengawasan Narkotika,


Psikotropika dan Zat Adiktif, Cetakan Kedua, ISBN 978-602-50929-0-9,
BPOM, 2017

Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013, Peta Jalan Pengendalian


Produk Tembakau Indonesia, Perlindungan Terhadap Keluarga, Generasi
Muda dan bangsa Terhadap Ancaman Bahaya Rokok, Indonesian Tobacco
Control Network Penerit Muhammadiyah University Press, Jakarta,

TCSC-IAKMI, Kepatuhan Industri Rokok dan Kesadaran Masyarakat


Terhadap Peringatan Kesehatan Bergambar Pada Bungkus Rokok,
Factsheet, www.tcsc-indonesia.org

ICTOH (Indonesian Conference on Tobacco or Health), Buku Program, 1 st


ICTOH 2014, Tobacco Control : Saves Lives, Save Money, Jakrata 29-31
Mei, 2014

IDRC-CRDI, International Development Research Centre, Policy Brief,


Addressing Conflict Between Publict Helath and Tobacco Production,
(www.idrc.ca or www.idrc.ca/ncdp)

WHO and Johns Hopkins, Bloomberg School of Public Health, Indonesia


Tobaco Control Leadership Program, Yogyakarta, April 2015

Johns Hopkins Bloomberg School o Public Health : Institute for Global


Tobacco Control, Pengendalian Tembakau Menembus Batas Keberhasilan,
Institute for Global Toacco Control.

15
16

Anda mungkin juga menyukai