Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seringkali manusia mengaitkan antara suatu kebahagiaan dengan masalah
ekonomi yang diraihnya. “Menanam” (berinvestasi) uang diyakini menjadi sumber
kebahagiaan oleh kebanyakan masyarakat. Jika salah langkah, menanam uang akan
membawa risiko berat, uang tidak akan berakar, serta tentu tidak akan berkembang,
berbuah, dan mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena itu, isu-isu yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah tentang sistem ekonomi islam dan kesejahteraan
umat, serta manajemen zakat, infak, sodaqoh, dan wakaf.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran tentang sistem ekonomi islam?
2. Bagaimana manajemen zakat, infak, shodaqoh, dan wakaf?
3. Bagaimana pengelolaan zakat produktif?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Gambaran tentang sistem ekonomi islam
2. Manajemen zakat, infak, shodaqoh, dan wakaf
3. Pengelolaan zakat produktif
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Ekonomi Islam


Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan
ekonomi haruslah berlandaskan tawhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau
hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya tidak sesuai
dengan ajaran tawhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak islami. Dengan
demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam.
Sebab hal ini berarti megingkari tawhid. Menurut ajaran Islam hak milik mutlak
hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti bahwa hak milik yang ada pada manusia
hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai
pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dengan pengertian yang seluas-
luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan hak itu seluas-luasnya, dan
manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah
ditentukan secara khusus dalam hukum islam. Persyaratan-prsyaratan dan batas-
batas hak milik dalam islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri,yaitu dengan
sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang telibat di dalamnya.
Hak milik perorangan didasarkan atas kebebasan individu yang wajar dan kodrati,
sedang kerjasama didasarkan atas kebutuhan dan kepentingan bersama. Menurut
ajaran islam, manfaat dan kebutuhan akan materi adalah untuk kesejahteraan seluruh
umat manusia, bukan hanya sekelompok manusia saja (Ismai r.al-Farukhi, 1982:
205).
Dalam ajaran islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorang
pun atau sekelompok orang pun berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak
ada sekelompok orang pun noleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan
untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Dengan
demikian, seorang muslim harus memunyai keyakinan bahwa perekonomian suatu
kelompok, bangsa maupun individu aslinya kembali berada di tangan Allah. Jika
seseorang memiliki keyakinan yang demikian dirinya tidak akan diperbudak oleh
keduniaan.
Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia
adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya.
Untuk merealisasi kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerja sama
dan tolong menolong. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap
seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai
dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas
sumbangannya terhadap masyarakat. Agar supaya tidak ada eksploitasi yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain, maka Allah melarang umat islam
memakan hak orang lain. Sebagaimana firman Allah:

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Al-Syu’ara: 183).

Dengan komitmen islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan,


keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan
bertentangan dengan islam. Akan tetapi konsep keadilan islam dalam distribusi
pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah
menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang
kontribusinya kepada masyarakat. (Khurshid Ahmad,1983:230). Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapat sampai tingkat tertentu karena setiap orang tidaklah sama
dalam tingkat kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Al-Qur’an
disebutkan:
“ Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari yang lain dalam hal rizqi... “ (Al-
Nahl:71).

Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai


dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannnya harus
dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah, atau diinvestasikan kembali dalam
suatu usaha yang akan mendatangkan keuntungan, lapangan kerja dan penghasilan
bagi orang lain. Sedekah sudah ada di sepanjang sejarah manusia. Semua agama
dan sistem etika memandang amal itu sebagai nilai yang tinggi, dan islam
melanjutkan tradisi tersebut (Ismail r,Al-Farukhi 1982: 219). Banyak ayat Al-
Qur’an yang mendorong manusia untuk melakukan sedekah antara lain:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-
bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat baik,
atau mengadakan perdamaian diantara manusia (Al-Nisa: 114).
Selain sedekah dalam ajaran islam masih ada lemabaga yang dapat
dipergunakan untuk menyalurkan harta kekayaan seseorang yakni infak, hibah,
zakat dan waqaf.

Dalam ajaran islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara,
yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia-
manusia lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan serentak.
Menurut ajaran islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia
akan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan
kesejahteraan yang dimaksud, di dalam islam selain dari kewajiban zakat, masih
disyariatkan untuk sedekah, infak, hibah dan wakaf kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Lembaga-lemnaga tersebut dimaksudkan untuk menjembatani dan
memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara kelompok
yang kuat dengan kelompok yang lemah; antara yang kaya dengan yang miskin.

Islam memandang bahwa, segala bentuk transaksi yang berkaitan dengan


produksi, distribusi, dan pemasaran barang dan jasa yang mendatangkan
keuntungan finansial itu, merupakan kegiatan ekonomi. Prinsip ekonomi
konvensional berbeda dengan prinsip ekonomi islam. Ekonomi konvensional
berprinsip: “berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnnya” prinsip ekonomi tersebut dipergunakan oleh pedagang dan pengusaha
semata-mata untuk mencari keuntungan. Dengan modal seadanya, pedagang dan
pengusaha berusaha memenuhi kebutuhan sebesar-besarnya; atau dengan alat
sekecil-kecilnya pedagang dan pengusaha berusaha memenuhi kebutuhan secara
maksimal. Dalam islam, ekonomi adalah berkorban secara tidak kikir dan tidak
boros dalam rangka mendapatkan keuntungan yang layak. Dengan demikian,
pengorbanan tidak boleh sekecil-kecilnya ataupun tertentu saja, melainkan
pengorbanan yang tepat harus sesuai dengan kepeluan yang sesungguhnya sehingga
mutu produksi dapat terjamin demikian pula kentungan tidak perlu dikejar sebesar-
besarnya dan tidak perlu melewati batas. Jadi, kuntungan monopoli dilarang dalam
islam. Oleh kaena itu, keuntungan harus sewajarmya dan tidak merugikan orang
lain
Kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan wibawa satu
bangsa. Bangsa yang ekonominya kuat akan menjadi bangsa yang kuat
dibandingkan bangsa yang lain dengan ekonomi yang kuat dan stabil, satu negara
dapat membantu negara, memajukan negara lain, dan mempunyai daya tawar
politik terhadap negara lainnya. Setelah perang dingin antara blok timur dengan
blok barat maka kriteria negara kuat beralih dari ukuran kuat secara militer ke
ukuran kuat secara ekonomi. Sebuah Negara dianggp kuat bukan karena kekuatan
militernya tetapi karena kekuatan ekonomi nya. Sebaliknya negara itu dianggap
lemha manakala ekonominya tidak maju, tidak stabil, tidak kuat meskipun,
misalnya secara militer kuat.

Sistem ekonomi dunia saat ini ada yang berkiblat ke sosialis dan ada yang
berkibat ke liberalis yang melahirkan sistem kapitalis. Sistem ekonomi islam tidak
kapitalis tetapi juga tidak sosialis. Islam mempunyai sistem tersendiri yang berbeda
dari kedua sistem yang dimaksud

Sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat Islam belum tentu juga Islami.
Untuk mengetahuinya bisa diamati pola ekonomi masyarakat islam sehari-hari,
misalnya pola jual belinya, gadainya, perbankannya, asuransinya, dan sebagainya.
Tolak ukur islami atau tidak islami kedua sistem ekonomi adalah adakah riba dan
gharar (spekulasi) di dalam prosesnya dan adakah gharar dan dharar (merugikan
orang lain) dalam niat dan akadnya.

Pakar ekonomi islam, Syafi’i Antonio menjelaskan jenis-jenis riba, sebagai


berikut:

a) Riba Qardh. Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan
terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b) Riba Jahiliyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya sehingga si peminjam tidak
mampu membayar utangnya di waktu yang ditetapkan
c) Riba Fadhl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, dan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi
d) Riba Nasi’ah. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan satu waktu dan yang diserahkan waktu berbeda.

2.2 Manajemen Zakat, Infak, Shodaqoh, dan Wakaf


A. Zakat
Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa
untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikkan pengorbanan diri serta
kemurahan hati. Pelaksanaan zakat akan membahagiakan dan menimbulkan rasa
puas dalam diri “Muzakki” (wajib zakat) karena telah menyempurnakan
kewajiban kepada Allah. BAZ (Badan Amil Zakat) sebagai lembaga sosial
keagamaan yang telah tua umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang
dibawa oleh para Rasul terdahulu.
Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti
berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Pendapat lain mengatakan bahwa kata dasar
“zaka” berarti bertambah dan tumbuh. Sedangkan segala sesuatu yang
bertambah disebut zakat. Menurut istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak menurut
Nawawi. Jumlah yang dikeluarkan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu
“menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan dari
kebinasaan” (Yusuf Al-Qardlawi,1969: 37-38). Sedangkan menurut Ibnu
Taimiyah, jiwa dan kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan
kekayaannya akan bertambah (Al-Jaziri: 590). Hal ini berarti bahwa makna
tumbuh dan berkembang itu tidak hanya diperuntukkan untuk harta kekayaan
tetapi lebih jauh dari itu. Dengan mengeluarkan zakat, diharapkan hati dan jiwa
orang yang menunaikan kewajiban zakat itu menjadi bersih. Hal ini sesuai
dengan ayat Al-Qur’an sebagai berikut yang artinya: “Pungutlah zakat dari
kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya.” (At-
Taubah: 103).

Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh para “Muzakki”
itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Suci hati dapat diartikan
mereka tidak mempunyai sifat yang tercela terhadap harta seperti rakus dan
kikir. Sebagai orang yang suci dan mendapat petunjuk Allah, dia akan
mengeluarkan harta bendanya tidak hanya semata-mata karena kewajiban yang
diperintahkan Allah, melainkan benar-benar karena merasa sebagai orang yang
mempunyai kelebihan harta yang ikut bertanggung jawab atas sebagian
masyarakat yang terlantar. Dengan rasa tanggung jawab yang demikian, ia akan
mau setiap saat bersedia mengeluarkan hartanya bila orang lain memerlukannya,
dan dia akan memiliki sikap jiwa yang peka terhadap kemiskinan dan
kesengsaraan orang lain. Dari pihak si miskin, zakat juga dapat membuat hati
mereka bersih dan suci. Dengan menerima zakat, ia dapat mengusir rasa dengki
dan iri terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda.

Dari definisi tersebut jelas bahwa zakat selain merupakan ibadah kepada
Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari satu segi zakat adalah
ibadah dan dari segi lain ia merupakan kewajiban sosial. Zakat merupakan salah
satu dana atau harta masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari.
Sehingga dapat mempunyai kesempatan untuk hal-hal yang lebih luhur. Dalam
ajaran Islam manusia selalu diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan ini
dengan cara-cara yang halal, sehingga dengan kenikmatan yang ia rasakan itu ia
dapat berbuat bagi dirinya dan orang lain.

Zakat merupakan dasar prinsipiil untuk menegakkan struktur sosial Islam.


Zakat bukanlah sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Zakat adalah perintah
Allah yang harus dilaksanakan. Dalam Al-Qur’an dan Hadits banyak perintah
untuk melaksanakan zakat. Yaitu antara lain:

“ dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu
usahakan dari kebaikan darimu, tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di
sisi Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Baqarah: 110)

Macam-macam harta kekayaan yang dikenai zakat yaitu antara lain: emas
dan perak, binatang ternak, harta perdagangan, hasil tanaman dan tumbuh-
tumbuhan, harta “rikaz” dan “ma’din”, hasil laut, dan harta profesi. Masing-
masing harta tersebut sudah ditentukan nisab dan kadar zakatnya.

Dalam Al-Qur’an disebutkan secara jelas mengenai orang yang berhak


menerima zakat, yaitu pada Surah At-Taubah: 60 yang artinya:

“sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang berhak


menerima zakat adalah:

1. Fakir
2. Miskin
3. Amil (orang yang mengurus zakat)
4. Muallaf (orang yang baru masuk Islam dan masih lemah imannya)
5. Riqab (hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha
untuk menebus dirinya supaya menjadi orag merdeka)
6. Gharim (orang yang berhutang)
7. Fii sabilillah (orang yang sedang melakukan usaha baik yang dilakukan
untuk kepentingan agama dan ajaran Islam)
8. Ibnussabil ( orang yang kehabisan biaya dalam perjalanan yang
bermaksud baik)
B. Infak
Infak merupakan bagian dari pembagian atau penyaluran harta selain zakat
maal. Infak adalah harta yang dapat dikeluarkan sewaktu-waktu dan tidak nisab.
C. Sedekah
Shodaqoh atau sedekah adalah sesuatu yang bisa berupa harta, makanan
yang kita makan sehari-hari, atau tenaga kit. Shodaqoh secara umum dapat
dikatakan sebagai bantuan.
D. Wakaf
Berdasarkan QS. Al-Hajj 77, wakaf atau waqaf yaitu menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya, mungkin diambil manfaatnya guna diberikan di jalan
kebaikan. Berwaqaf bukan hanya seperti berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih
besar pahalanya dan manfaatnya terhadap diri yang berwaqaf sendiri, karena
pahala waqaf itu terus-menerus selama barang waqaf itu masih berguna.
Yang berwaqaf, syaratnya:
1. Berhak berbuat kebaikan, walau bukan islam sekalipun
2. Dengan kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa orang lain.
Sesuatu yang diwaqafkan, syaratnya:
1. Kekal zatnya, berarti diambil manfaatnya zat barang tidak rusak
2. Kepunyaan yang mewaqafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak
dapat dipisahkan dengan yang lain)
3. Tempat berwaqaf (yang berhak menerima hasil waqaf). Kalau berwaqaf
kepada orang yang tertentu, disyaratkan orang yang berhak menerima hasil
waqaf itu; orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah berwaqaf
kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya; begitu juga kepada
hamba sahayanya.
4. Lafal yang sesuai.

2.3 Pengelolaan Zakat Produktif


Mulai tahun 1990-an beberapa perusahaan dan masyarakat berinisiatif
membentuk Baitul Mal yaitu lembaga Zakat yang menangani masalah ZIS (Zakat,
Infak dan Sedekah) dari perusahaan yang bersangkutan, dan dari masyarakat karena
mereka menilai bahwa pelaksanaan zakat belum optimal, sehingga masyarakat
mulai memikirkan bagaimana cara mengelola zakat. Salah satunya dengan
membentuk DDR (Dompet Dhu’afa Republika). Pada waktu itu dengan kekuatan
Media Republika , DDR secara terang-terangan mempersuasi masyarakat untuk
berzakat melalui DDR. Dengan himbauan terbuka ini kompetisi diam-diam antar
Lembaga Pengumpul Zakat lebih terbuka dan transparan untuk diketahui
masyarakat. Pada tahun 1997 DDR menggelar seminar zakat perusahaan di Jakarta
dan dihadiri lebih dari seratus orang yang 70% wakil dari Baitul Mal berbagai
perusahaan. Setelah seminar terbentuklah suatu organisasi yang menangani masalah
zakat yaitu Forum Zakat (FOZ). FOZ memayungi keberadaan LPZ dan organisasi
ini sangat diperlukan karena bersifat lembaga yang konsultatif, koordinatif dan
informatif tentang zakat. Untuk memaksimalkan dana ZIS. FOZ menjalin kerja
sama antar LPZ baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun non pemerintah. FOZ
juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antar anggota, menjadi
lembaga yang kuat dalam memperjuangkan kebutuhan anggota, menggolkan RUU
tentang Pengelolaan Zakat menjadi Undang Undang.
Pada awal tahun 1999 Menteri Agama RI yaitu A. Malik Fajar membacakan
RUU tentang Pengelolaan Zakat di depan Sidang Paripurna DPR-RI, dengan
perjuangan keras dan panjang akhirnya Presiden RI B.J. Habibie pada tanggal 23
September 1999 mengesahkan Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Zakat,
kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No.38 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Umat islam sangat
berharap pengelolaan zakat dapat dilakukan semaksimal mungkin, agar dapat
meningkatkan taraf hidup fakir miskin, kesejarteraan masyarakat, memberi beasiswa
bagi yang ingin sekolah, dan bantuan modal untuk yang ingin berwirausaha. Tujuan
umum usaha-usaha pengelolaan zakat di Indonesia agar Bangsa Indonesia lebih
mengamalkan ajaran agamanya, dalam hal ini zakat yang diharap dapat menunjang
perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun begitu lembaga yang
dibentuk tersebut belum sepenuhnya berhasil meningkatkan keadaan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Namun apabila diolah secara optimal
dan profesional bukan hal yang tidak mungkin bahwa dengan menerapkan fungsi
perencanaan (planing), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), dan
pengawasan (controling) jelas dapat mewujudkan hal tersebut.
Meskipun hal ini telah berjalan, namun bukan berarti tidak ada masalah yang
terjadi, seperti masalah pemahaman zakat. Masalah yang dimaksud sendiri adalah
masalah tentang pemahaman masyarakat mengenai Lembaga Zakat itu sendiri.
Sejauh ini pemahaman mereka mengenai lembaga zakat sangat terbatas
dibandingkan pemahaman mereka mengenai shalat, puasa dan haji. Masalah kedua
mengenai Fikih Zakat. Fikih Zakat yang diajarkan di lembaga-lembaga di Indonesia
saat ini lebih ke hasil perumusan para ahli beberapa abad silam yang tentu saja
dipengaruhi kondisi dan situasi saat itu, yang sudah jelas tidak sesuai jika digunakan
untuk mengatur zakat orang modern saat ini. Keadaan ekonomi Indonesia saat ini
juga padat akan sektor industri, pelayanan jasa contohnya tidak tertamlung dapat
Fikih Zakat yang sudah ada. Masalah ketiga adalah perbenturan antara organisasi
atau lembaga-lembaga sosial islam saat ini, seperti BAZ (Badan Amil Zakat) atau
Lembaga Amil Zakat, yaitu organisasi pengelola zakat yang baru. Masalah
selanjutnya adalah masih kurangnya rasa kepercayaan masyarakat kepada Lembaga
Pengelola Zakat yang ada, sehingga tidak sedikit muzakki yang menyalurkan zakat
mereka langsung tanpa melalui Lembaga Pengelola Zakat yang sudah ada.
Dengan adanya UU No.38 Tahun 1999 diharapkan amil zakat di Indonesia dapat
mengelola zakat secara produktif dan optimal.

Anda mungkin juga menyukai