PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Gambaran tentang sistem ekonomi islam
2. Manajemen zakat, infak, shodaqoh, dan wakaf
3. Pengelolaan zakat produktif
BAB II
PEMBAHASAN
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Al-Syu’ara: 183).
Dalam ajaran islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara,
yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia-
manusia lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan serentak.
Menurut ajaran islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia
akan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan
kesejahteraan yang dimaksud, di dalam islam selain dari kewajiban zakat, masih
disyariatkan untuk sedekah, infak, hibah dan wakaf kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Lembaga-lemnaga tersebut dimaksudkan untuk menjembatani dan
memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara kelompok
yang kuat dengan kelompok yang lemah; antara yang kaya dengan yang miskin.
Sistem ekonomi dunia saat ini ada yang berkiblat ke sosialis dan ada yang
berkibat ke liberalis yang melahirkan sistem kapitalis. Sistem ekonomi islam tidak
kapitalis tetapi juga tidak sosialis. Islam mempunyai sistem tersendiri yang berbeda
dari kedua sistem yang dimaksud
Sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat Islam belum tentu juga Islami.
Untuk mengetahuinya bisa diamati pola ekonomi masyarakat islam sehari-hari,
misalnya pola jual belinya, gadainya, perbankannya, asuransinya, dan sebagainya.
Tolak ukur islami atau tidak islami kedua sistem ekonomi adalah adakah riba dan
gharar (spekulasi) di dalam prosesnya dan adakah gharar dan dharar (merugikan
orang lain) dalam niat dan akadnya.
a) Riba Qardh. Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan
terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b) Riba Jahiliyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya sehingga si peminjam tidak
mampu membayar utangnya di waktu yang ditetapkan
c) Riba Fadhl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, dan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi
d) Riba Nasi’ah. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan satu waktu dan yang diserahkan waktu berbeda.
Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh para “Muzakki”
itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Suci hati dapat diartikan
mereka tidak mempunyai sifat yang tercela terhadap harta seperti rakus dan
kikir. Sebagai orang yang suci dan mendapat petunjuk Allah, dia akan
mengeluarkan harta bendanya tidak hanya semata-mata karena kewajiban yang
diperintahkan Allah, melainkan benar-benar karena merasa sebagai orang yang
mempunyai kelebihan harta yang ikut bertanggung jawab atas sebagian
masyarakat yang terlantar. Dengan rasa tanggung jawab yang demikian, ia akan
mau setiap saat bersedia mengeluarkan hartanya bila orang lain memerlukannya,
dan dia akan memiliki sikap jiwa yang peka terhadap kemiskinan dan
kesengsaraan orang lain. Dari pihak si miskin, zakat juga dapat membuat hati
mereka bersih dan suci. Dengan menerima zakat, ia dapat mengusir rasa dengki
dan iri terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda.
Dari definisi tersebut jelas bahwa zakat selain merupakan ibadah kepada
Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari satu segi zakat adalah
ibadah dan dari segi lain ia merupakan kewajiban sosial. Zakat merupakan salah
satu dana atau harta masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari.
Sehingga dapat mempunyai kesempatan untuk hal-hal yang lebih luhur. Dalam
ajaran Islam manusia selalu diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan ini
dengan cara-cara yang halal, sehingga dengan kenikmatan yang ia rasakan itu ia
dapat berbuat bagi dirinya dan orang lain.
“ dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu
usahakan dari kebaikan darimu, tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di
sisi Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Baqarah: 110)
Macam-macam harta kekayaan yang dikenai zakat yaitu antara lain: emas
dan perak, binatang ternak, harta perdagangan, hasil tanaman dan tumbuh-
tumbuhan, harta “rikaz” dan “ma’din”, hasil laut, dan harta profesi. Masing-
masing harta tersebut sudah ditentukan nisab dan kadar zakatnya.
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil (orang yang mengurus zakat)
4. Muallaf (orang yang baru masuk Islam dan masih lemah imannya)
5. Riqab (hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha
untuk menebus dirinya supaya menjadi orag merdeka)
6. Gharim (orang yang berhutang)
7. Fii sabilillah (orang yang sedang melakukan usaha baik yang dilakukan
untuk kepentingan agama dan ajaran Islam)
8. Ibnussabil ( orang yang kehabisan biaya dalam perjalanan yang
bermaksud baik)
B. Infak
Infak merupakan bagian dari pembagian atau penyaluran harta selain zakat
maal. Infak adalah harta yang dapat dikeluarkan sewaktu-waktu dan tidak nisab.
C. Sedekah
Shodaqoh atau sedekah adalah sesuatu yang bisa berupa harta, makanan
yang kita makan sehari-hari, atau tenaga kit. Shodaqoh secara umum dapat
dikatakan sebagai bantuan.
D. Wakaf
Berdasarkan QS. Al-Hajj 77, wakaf atau waqaf yaitu menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya, mungkin diambil manfaatnya guna diberikan di jalan
kebaikan. Berwaqaf bukan hanya seperti berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih
besar pahalanya dan manfaatnya terhadap diri yang berwaqaf sendiri, karena
pahala waqaf itu terus-menerus selama barang waqaf itu masih berguna.
Yang berwaqaf, syaratnya:
1. Berhak berbuat kebaikan, walau bukan islam sekalipun
2. Dengan kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa orang lain.
Sesuatu yang diwaqafkan, syaratnya:
1. Kekal zatnya, berarti diambil manfaatnya zat barang tidak rusak
2. Kepunyaan yang mewaqafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak
dapat dipisahkan dengan yang lain)
3. Tempat berwaqaf (yang berhak menerima hasil waqaf). Kalau berwaqaf
kepada orang yang tertentu, disyaratkan orang yang berhak menerima hasil
waqaf itu; orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah berwaqaf
kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya; begitu juga kepada
hamba sahayanya.
4. Lafal yang sesuai.