Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1. Deskriptif
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah suatu negara yang wilayahnya
terdiri dari banyak pulau yang tersebar di sepanjang wilayah teritorialnya sehingga disebut
memperjuangkan wilayah kepulauannya (terdiri dari wilayah pulau-pulau dan perairan di sekitar
dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu,
Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia
adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari Deklarasi Juanda sendiri antara lain
sebagai berikut :
1.) Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line),
tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang
menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam
wilayah RI.
2.) Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
3.) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan
nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya
Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.
Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939
(TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara
dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh
3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan
pulau-pulau tersebut. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena
pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.
kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa
negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan
Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah
Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis
batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun 1982 deklarasi ini dapat
diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations
Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
Pasal 46 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS) memberikan definisi negara
(a) “Negara kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
(b) “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di
antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian
eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi pula perairan yang ditutup oleh garis pangkal
lurus kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS yang disebut dengan
perairan kepulauan (archipelagic waters). Tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari
pantai (Pasal 49 ayat (1) UNCLOS). Kedaulatan tersebut meliputi ruang udara di atas perairan
kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya(Pasal 49 ayat (2) UNCLOS). Hal ini berarti di antara pulau-pulau kita tidak ada laut
bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya)
Garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight base line) merupakan garis pangkal
yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah dari suatu negara kepulauan. Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 memberikan hak bagi negara kepulauan untuk menarik garis pangkal
kepulauan sebagaimana telah diatur oleh Pasal 47 ayat (1-9) UNCLOS, yaitu sebagai berikut:
(1) Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan
titik-titik terluar pulaupulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan
bahwa didalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah
dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara
(2) Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3%
dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi
kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.
(3) Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfirgurasi
(4) Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila di
atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas
permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada
suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(5) Sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara kepulauan dengan
cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau
(6) Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di antara dua
bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan
kepentingan-kepentigan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh Negara
tersebut terakhir di perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian
(7) Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan berdasarkan ketentuan
ayat 1, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran
karang, pulau-pulau dan atol, termasuk bagian plateau oceanik yang bertebing curam yang
tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas
(8) Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta
dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya,
dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum
geodetik.
(9) Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat
geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian
Dari garis pangkal lurus kepulauan ini, maka suatu negara kepulauan dapat menarik lebar
laut wilayahnya, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya ke arah laut
lepas. Ketentuan dalam Pasal 47 UNCLOS tersebut telah diundangkan dengan UU Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai
Kepulauan Indonesia.
Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat
koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia, oleh karena itu
Pemerintah Indonesia menerbitkan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan diatur dalam Pasal
(1) Di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal
untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
(2) Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar,
dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik
terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan.
(3) Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh
melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan
Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125
(4) Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.
(5) Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada setiap elevasi
surut yang di atasnya terdapat suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas
permukaan air atau elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak
yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat.
(6) Perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah Perairan Kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar
(7) Daftar Titik-titik Koordinat Geografis yang ditetapkan dengan lintang dan bujur geografis,
memiliki arti dan peran yang sangat penting untuk penarikan garis pangkal kepulauan
Indonesia, dari garis pangkal kepulauan Indonesia inilah selanjutnya antara lain dapat diukur
Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4211), namun berdasarkan keputusan The International Court of
Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 yang menyatakan bahwa Kedaulatan atas Pulau
Ligitan dan Pulau Sipadan dimiliki oleh Malaysia, meskipun secara hukum kita hanya punya hak
berdaulat di sana.
Disamping itu, sebagai akibat dari diakuinya oleh Majelis Permusyarakatan Rakyat
Republik Indonesia atas hasil pelaksanaan penentuan pendapat yang diselenggarakan di Timor
Timur tanggal 30 Agustus 1999 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan persetujuan
antara Republik Indonesia dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur. Serta tidak
berlakunya lagi Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Maka Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia mengalami perubahan terutama pada
bagian lampirannya. Sehingga ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
4. Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (The Right of Arxhipelagic Sea Lanes
Passage).
Hak lintas kepulauan merupakan hak lintas kapal-kapal asing melalui alur-alur laut (sea
lanes) dan lintas penerbangan di atas alur-alur laut tersebut, yang berada di bawah kedaulatan
suatu negara kepulauan. Hak ini telah lahir bersamaan dengan diterimanya prinsip Negara
Ketentuan mengenai hak lintas alur laut kepulauan tidak membedakan ketentuan yang
berlaku umum dan yang khusus untuk kapal tertentu, sebagaimana dalam ketentuan mengenai
hak lintas damai. Hasil kompromi yang telah berhasil dicapai, yang dimuat dalam Pasal 53
a. Semua kapal dan pesawat udara dapat menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur
laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur laut tersebut (Pasal 53 ayat (2) ).
b. Lintas alur laut kepulauan merupakan pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan, yang
dilakukan dengan cara-cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus
menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas
atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya
(Pasal 53 ayat(3) ). Ketentuan ini berbeda dengan hak lintas damai yang hanya memberikan
hak lintas pada kapal laut dan tidak memberikan hak lintas penerbangan pada pesawat udara.
c. Diberikannya kewenangan pada negara kepulauan untuk menentukan alur laut dan rute
kepulauannya, yang dapat dilewati kapal asing yang akan melaksanakan hak lintas alur laut
kepulauan. Demikian pula untuk menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk kepentingan
lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit di dalam alur laut. Apabila Negara
kepulauan tidak menentukan alur laut dan rute penerbangan, maka hak lintas alur laut
kepulauan akan dilaksanakan melalul alur-alur laut yang biasa digunakan untuk pelayaran
d. Diberikannya kewenangan kepada negara kepulauan untuk mengganti alur laut atau skema
pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkannya, apabila memang diperlukan
e. Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema
pemisah lalu lintas tersebut, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada
sehingga hasilnya merupakan persetujuan bersama antara Negara kepulauan dengan IMO
f. Alur laut dan rute penerbangan yang akan ditentukan, selain harus melintasi perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, juga harus mencakup semua rute lintas
normal yang biasa digunakan untuk pelayaran atau penerbangan internasional, sebelum
g. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis
sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas hingga tempat ke luar. Kapal
dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauan tidak boleh
menyimpang lebih dari pada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan
bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai
kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan
dengan alur laut tersebut (Pasal 52 ayat (5) ). Dengan digunakannya garis sumbu ini, alur laut
tidak digambarkan sebagai suatu koridor, yang dibatasi kedua tepinya seperti jalan raya di
wilayah darat.
h. Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan sumbu-sumbu alur laut dan skema
pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta-peta yang harus
Kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, harus
mematuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dalam Pasal 39 ayat (1) UNCLOS 1982,
yaitu :
(2) menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau
dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum
(3) menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan
secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena
kesulitan.
(1) memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek
di Laut.
(2) memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang
Sedangkan untuk pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan,
(1) mentaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(International Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil;
pesawat udara pemeritah biasanya memenuhi tindakan keselamatan demikian dan setiap
(2) setiap waktu memonitor frekwensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas
udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekwensi radio darurat
a. pelayaran;
berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lintas alur laut
kepulauan melalui perairan kepulauan mengenai semua atau setiap hal sebagai berikut :
internasional yang berlaku, tentang pembuangan minyak, limbah berbahaya dan bahan
beracun lainnya.
(3) Berkaitan dengan kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara
(4) menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata uang atau orang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter
negara kepulauan.
negara kepulauan tidak diperkenankan untuk bersikap diskriminatif baik secara formil maupun
diskriminasi nyata diantara kapal asing. Hal itu berarti tidak boleh membeda-bedakan pengaturan
bagi kapal-kapal atau pesawat udara asing antara yang satu dengan yang lainnya, yang akan
berakibat dalam prakteknya yang menolak, menghambat atau mengurangi hak lintas alur laut
PENUTUP
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara Reublik yang wilayahnya
terdiri dan tersusun atas beribu-ribu pulau dan perairan yang mengelilingi dan berada di sekitar
pulau-pulau tersebut, sehingga atas dasar wilayah tersebutlah Indonesia termasuk sebagai negara
kepulauan. Para pendiri bangsasudah sejak lama menyatakan berbagai wilayah negara Indonesia.
Dr. Soepomo menyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan
Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku - Ambon,
Semenanjung Melayu, Timor, Papua. Sedangkan Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan
Namun harapan para pendiri bangsa tersebut baru bisa terwujud ketika pada tahun 1982
negara-negara anggota PBB mengadakan Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations
Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Melalui konvensi tersebut akhirnya wilayah
NKRI menjadi “genap dan utuh” secara hukum internasional setelah disetujuinya peraturan
perairan bagi negara kepulauan. Meskipun sebelumnya pada tanggal 13 Desember 1957
dicetuskan Deklarasi Djuanda, tetapi hal itu belumlah memiliki kekuatan yang cukup di bidang
internasional. Sehingga pengaturan wilayah laut di Indonesia di dunia internasional masih tetap
berdasarkan Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di
wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut
Tahun 1985, UU Nomor 6 Tahun 1996, PP Nomor 38 Tahun 2002, dan PP Nomor 37 Tahun
2008. Akan tetapi kita tidak belajar dari kesalahan, hal ini dibuktikan dengan lepasnya hak
berdaulat atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang kemudian menjadi milik Malaysia
berdasarkan keputusan The International Court of Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002.
Semoga di waktu yang akan dating kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama…
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU :
Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
• Naskah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention On The
• Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
C. INTERNET :
• http//:kantongteh.wordpress.com
• http//:wikipedia.org
• http//:www.google.com
• http//www. replubika.com