Help Ca 4
Help Ca 4
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi anemia banyak ditemui pada penderita kanker, dimana hampir 40%
penderita kanker dengan kondisi anemia. Kondisi anemia ini akan menyebabkan
hidup penderita kanker (Janis M, 2012). Data ECAS pada tahun 2004 menunjukan
menunjukkan 39% pasien kanker dengan kondisi anemia sebelum memulai terapi.
Prevalensi data anemia pada pasien kanker bervariasi tergantung pada banyak
faktor, termasuk jenis kanker, nilai Hb yang diambil sebagai batas terbawah untuk
dan keadaan lain yang menyertai yang dapat menyebabkan anemia. Berdasarkan
data tahun 2004, prevalensi anemia pada pasien kanker antara 30-90%. Harrison
dkk. telah mengkaji data secara retrospektif acak dari 202 pasien kanker yang
menjalani terapi radioterapi, didapatkan 45% pasien adalah dengan kondisi anemia
pada pasien dengan kanker ginekologi, kanker urogenital , kanker paru dan kanker
kolorektal. Studi ini juga menunjukan lamanya pasien mendapat kemoterapi akan
sekitar 1,3 juta pasien kanker yang tidak dengan kondisi anemia saat awal
8
terdiagnosis kanker akan berkembang menjadi kondisi anemia dalam perjalanan
ECAS mengumpulkan data dari 15.367 pasien dari 748 pusat kanker di 24
negara Eropa, ditemukan 72% dari 2780 pasien kanker hematologi dan 66% dari
10.067 pasien dengan kanker padat adalah pasien anemia. Bila pasien-pasien
kemoterapi, radioterapi, angka anemia akan meningkat lagi (LeeP dkk., 2005).
seperti akibat kondisi defisiensi besi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12,
gangguan ginjal, keterlibatan sumsum tulang, perdarahan, efek dari terapi kanker
baik kemoterapi maupun radioterapi, kondisi inflamasi atau aktivasi dari sistem
imun dan akibat terjadinya hemolisis. Jenis anemia ini pada waktu yang lalu selalu
sebagai anemia yang berhubungan dengan kanker atau cancer related anemia
anemia dapat dibagi menjadi tiga yaitu gangguan produksi sel darah merah,
peningkatan destruksi sel darah merah dan akibat perdarahan (Jeffrey A dkk.,
2014).
9
Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun dan
inflamasi oleh keganasan tersebut. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem
imun dan inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosing factor (TNF) dan
anemia. Di samping itu, kanker tersebut juga dapat mempunyai efek langsung
untuk terjadinya anemia (LeeP dkk., 2005; Janis M, 2012; Jeffrey A dkk., 2014).
IL-1, seperti juga TNF, adalah sitokin yang mempunyai kerja yang luas di
dalam proses respon imun dan inflamasi yang berhubungan dengan anemia karena
bertanggung jawab terhadap terjadinya anemia yang diperantarai oleh IL-1, INF
dan TNF, yaitu gangguan pemakaian zat besi, penekanan terhadap sel progenitor
eritrosit, produksi eritropoetin tidak memadai, pemendekan umur sel darah merah
besi, folat dan vitamin B12 atau akibat penekanan susmsum tulang oleh proses
metastase, mielodisplasia atau akibat efek mielosupresif dari kemoterapi. Efek tidak
nafsu makan pada pasien kanker (Aapro M dkk., 2012; Jeffrey A dkk., 2014).
Kebanyakan kanker adalah kanker ganas padat, seperti kanker payudara dan
prostat yang kemudian dapat menginvasi sumsum tulang. Hal ini sering terabaikan
sebagai faktor yang menyebabkan anemia, bahwa kanker ini juga menyebabkan
10
reaksi desmoid atau reaksi fibrotik yaitu terjadinya peningkatan proses fibrosis di
dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum tulang dan
matrik sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang
eritroblastik dengan sel darah merah dan sel-sel mieloid yang belum matang yang
dapat terlihat pada pemeriksaan darah tepi (LeeP dkk., 2005; Werner dkk., 2007).
Masa sel darah merah secara normal ditentukan oleh umur dari sel darah
merah itu dan dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara kedua faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua
faktor tersebut sangat menentukan. Yang paling penting adalah adanya kegagalan
relatif dari sumsum tulang dalam meningkatkan produksi sel darah merah guna
mengimbangi pendeknya umur sel darah merah tersebut (LeeP dkk., 2005).
yang sering terjadi pada leukemia limfositik kronis atau proses mikroangiopati.
keganasan limfoid atau pada kanker yang menginvasi lien atau yang meyebabkan
Pada penderita dengan anemia karena penyakit kronik, umur sel darah
merah yang biasanya selama 60-90 hari, lebih pendek dari umur sel darah merah
pada orang normal dimana sekitar 120 hari. Bila darah orang normal ditransfusikan
kepada pasien penderita kanker, umur sel darah merah ini akan memendek sekitar
50-60 hari dan mungkin akan lebih pendek jika terdapat faktor-faktor yang
11
mempengaruhi dalam memendeknya umur sel darah merah. Secara klinis maupun
secara eksperimental data ini menunjukkan bahwa efek ini diperantarai IL-1 dan
akan menyebabkan turunnya sintesis sel darah merah serta akan menurunkan umur
sel darah merah yang bersirkulasi sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
pada mencit. Efek TNF tersebut mungkin dapat menurunkan eritropoesis dan
memendekkan umur sel darah merah pada pasien kanker dengan anemia (LeeP
dkk., 2005; Werner dkk., 2007; Liumbruno G dkk., 2009; Jeffrey A dkk., 2014).
Kehilangan darah pada pasien kanker biasa terjadi akibat perdarahan yang
berasal dari tumor yang sering terjadi pada kanker gastrointestinal atau kanker
12
pembedahan atau akibat proses plebotomi untuk keperluan pemeriksaan
substansi atau protein yang dihasilkan oleh kanker sendiri. Deposit dari amiloid
imun. Terjadinya anemia hemolitik mikroangioati yang dapat dilihat pada sebagian
kanker padat, dapat menghasilkan prokoagulans pada kanker (Suega K., 2015).
Kemoterapi dengan regimen berbasis platinum seperti yang biasa digunakan dalam
kasus kanker paru-paru, ovarium dan kanker di daerah kepala dan leher akan dapat
menyebabkan gangguan pada ginjal dan penekanan sumsum tulang sehingga akan
terakumulasi, yang berarti tingkat resiko terjadinya anemia akan meningkat seiring
dengan makin banyaknya pasien menerima pengobatan kemoterapi. Hal ini dapat
terlihat dari studi ECAS dimana prevalensi anemia terlihat meningkat dari 19,5%
pada siklus pertama kemoterapi menjadi 46,7% pada siklus kemoterapi yang kelima
hematologi. Pada analisis retrospektif, sekitar sepertiga dari 210 pasien menjalani
radioterapi pada tulang cranium dan atau tulang belakang untuk mengobati kanker
13
primer pada central nervous system (CNS) menghasilkan efek samping anemia
pada pasien kanker. Kondisi defisiensi besi jika tidak diobati akan menyebabkan
terjadinya anemia. Sehingga adanya kondisi defisiensi besi pada pasien kanker
tidak boleh dianggap remeh. Insiden defisiensi besi banyak ditemui pada kasus
kanker kolorektal. Hal ini mungkin disebabkan adanya perdarahan kronis pada
pasien dengan kanker kolorektal (Aapro M dkk., 2012; Peerschke E dkk., 2014).
pada pasien kanker sebesar 26-60%. Pada pasien kanker yang mengalami anemia
sekitar 63% pasien memiliki nilai saturasi trasferin dan serum feritin dibawah nilai
Oleh karena itu, karena tingginya prevalensi defisiensi besi, perlu dinilai status besi
(saturasi transferrin, serum feritin) pada pasien kanker dengan gejala pada anemia
ringan (Hb 10-12 gr/dl) dan pada seluruh pasien kanker dengan anemia berat
(Hb <10 gr/dl) (Henry D dan Dahl N, 2007; Aapro M dkk., 2012).
Kondisi defisiensi besi pada penderita kanker dapat berupa defisiensi besi
absolut atau defisiensi besi fungsional. Defisiensi besi absolut terjadi dimana
cadangan besi menurun dan transport besi juga mengalami penurunan. Defisiensi
besi absolut pada penderita kanker adalah bila didapatkan saturasi transferin < 20%
dan serum feritin < 100 ng/ml. hal ini menunjukkan kondisi cadangan besi dan
14
transport besi mengalami penurunan. Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan
kondisi defisiensi besi absolut adalah buruknya bioavabilitas yang disebabkan oleh
faktor diet dan adanya terapi yang mungkin menggangu penyerapan besi. Sebagai
tambahan, pada pasien kanker juga sering terjadi perdarahan dari saluran
gastrointestinal atau melalui sistem urogenital (Janis M, 2012; Ludwig dkk., 2015).
transport besi walaupun sebenarnya cadangan besi dalam tubuh dalam jumlah yang
Defisiensi besi fungsional didefinisikan jika saturasi transferin <20% dan nilai
serum feritin > 100 ng/ml. Patofisilogi defisiensi besi fungsional disebabkan
berbagai mekanisme termasuk pemendekan masa hidup sel darah merah, hambatan
akibat peningkatan hepsidin (Janis M, 2012; Steinmetz HT, 2012; Jeffrey A dkk.,
Defisiensi besi fungsional pada kanker disebabkan oleh sel tumor yang
melepaskan sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Dalam praktek klinis
penting dalam regulasi homeostasis besi (Janis M, 2012; Steinmetz HT, 2012;
15
2.4 Pemeriksaan Petanda Besi pada Pasien Kanker dengan Anemia
Masalah anemia pada kanker adalah kompleks dan harus dilakukan evaluasi
secara cermat dan menyeluruh. Berdasarkan pedoman NCCN, pada pasien yang
awal yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah
tepi. Selain itu pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab anemia lain seperti
defisiensi besi, defisiensi vitamin B12, asam folat, perdarahan, hemolisis dan
Penilain satus besi pada pasien kanker perlu dilakukan, namun penilaian
haemoglobin (MCH) dan red cell distribution width (RDW) tidak dapat mendeteksi
secara dini onset dari defisiensi besi. Pemeriksaan serum feritin, besi serum, TIBC,
defisiensi besi absolut atau defisiensi besi fungsional (Janis M, 2012; Peerschke E
dkk., 2014).
Feritin adalah protein cadangan besi yang paling penting yang larut dalam
air. Feritin yang dapat terdeteksi dalam darah sebanding dengan cadangan besi
dalam tubuh, sehingga dapat mewakili suatu indeks dari jumlah cadangan besi.
Feritin terdapat hampir pada semua sel dan jaringan dimana konsentrasi yang
tinggi khususnya ditemukan di hati, limpa dan sumsum tulang. Feritin dalam
16
langsung untuk orang dewasa sehat antara konsentrasi feritin plasma dengan jumlah
cadangan besi yang tersedia dalam tubuh (Bull 2010; Suega K, 2015).
Secara umum feritin berasal dari sintesis, pelepasan dari sel, serta bersihan
(clearance) dari plasma. Feritin diproduksi dan disekresi oleh hepatosit. Selain itu,
feritin juga disekresi sel lain termasuk makrofag. Sebagian besar feritin disintesis
di dalam sel dan kemudian melepaskan besi dalam rangka mengatur homeostasis
retikulum endoplasma kasar. Selain berada di dalam sitosol sel, feritin juga
ditemukan dalam plasma. Feritin dapat masuk ke sirkulasi melalui sekresi feritin
oleh sel atau berasal dari pelepasan sel yang rusak. Kedua hal ini mempengaruhi
kadar feritin dalam plasma menopause (Cohen dkk.,, 2010; Kell dan Pretorius,
2014).
aspirasi susmsum tulang menunjukkan bahwa pada defisiensi besi dan pada
timbunan besi primer dan sekunder, feritin memberi informasi akurat mengenai
cadangan besi yang tersedia bagi tubuh untuk sintesis hemoglobin. Jika lebih
banyak besi yang disuplai dibanding besi yang dapat disimpan sebagai feritin, besi
seperti feritin, hemosiderin tidak larut air dan sangat sulit untuk memobilisasi
dalam sel sebagai respon terhadap konsentrasi besi intrasel. Jika konsentrasi besi
intrasel tinggi, feritin akan disintesis dalam jumlah yang besar. Jika konsentrasi
besi intrasel rendah, maka feritin yang disintesis juga sedikit (Suega K, 2015).
17
Feritin merupaka indikator yang baik untuk cadangan besi, namun tidak
menunjukkan bahwa pasien beresiko mengalami defisiensi besi. Kadar feritin yang
meningkat dapat dijumpai pada penyakit hati akut maupun kronik, inflamasi,
feritin serum yang normal atau meningkat dapat ditemukan pada pasien dengan
defisiensi besi apabila kondisi tersebut disertai dengan inflamsi atau keganasan. Hal
ini dikarenakan feritin merupakan protein fase akut, dimana sintesisnya akan
meningkat apabila terdapat kondisi seperti inflamsi atau pada penderita kanker.
Akibatya adalah peningkatan kadar feritin tidak sesuai dengan jumlah cadangan
besi yang tersedia. Pada pasien dengan feritin yang normal yang disertai dengan
sepenuhnya Kadar feritin yang rendah didapatkan pada beberapa kondisi seperti
anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin C, serta celiac disease. Pada remaja dan
dewasa muda, kadar feritin yang rendah dapat menimbulkan gejala restless legs
besi, terutama dalam kombinasi dengan kapasitas mengikat besi (iron binding
capacity), yaitu transferin dan saturasi tarnsferin. Banyaknya besi yang beredar
dalam darah yang terikat dengan transferin direfleksikan oleh kadar serum besi.
Serum besi sendiri tidak signifikan mengingat variasi fisiologis yang ada. Banyak
18
subyek normal menunjukkan variasi harian dengan nilai tertinggi pada pagi hari
dan nilai terendah pada malam hari. Nilai serum besi pada individu dapat bervariasi
10-40% dalam satu hari atau dari hari ke hari karena perubahan penyerapan zat besi,
serapan sumsum tulang terhadap besi atau pengeluaran cadangan besi. Untuk itu
diurnal dari besi serum bisa mencapai 45µg/L. karena besi menunjukkan irama
sikardian yang berbeda dan bervariasi dari hari ke hari sehingga pengambilan
Besi serum adalah salah satu trace elemen, dengan konsentrasi dalam serum
mirip dengan tembaga dan seng sehingga terjadinya kontaminasi harus dihindari
saat pengambilan dan saat preparasi sampel. Serum dan plasma yang diheparinisasi
mengandung besi, karena itu pengambilan serum besi harus bebas dari senyawa
yang mengandung besi minimal selama 24 jam (Beutler E, 2010; Suega K, 2015).
berperan untuk mengikat dan menyalurkan zat besi ke jaringan. Setiap molekul
transferin dapat mengangkut 2 molekul besi (Fe3+). Indeks dari senyawa transferin
yang ditemukan dalam darah adalah kapasitas pengikatan besinya yaitu ukuran
Kapasitas total dari transferin dalam mengikat besi (TIBC) adalah metode
berkorelasi dengan kapasitas pengikat total serum besi. Dalam keadaan normal
19
sekitar sepertiga dari transferin akan tersaturasi besi. Sebagian transferin dalam
Protein tersebut mampu mengangkut dua ion trivalent permolekul. Sebesar 30-40%
defisiensi zat besi, kadar transferin dalam serum meningkat akibat adanya
peningkatan sintesis. Hasil yang tinggi dapat dilihat pada kehamilan dan selama
pemberian hormon estrogen dan kontrasepsi oral. Penurunan serum transferin dapat
peradangan akut dan kronis. Pemeriksaan transferin dapat digunakan untuk menilai
status nutrisi dan hasil tes ini dapat dipengaruhi oleh transfusi (Suega K, 2015).
kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. Saturasi transferin biasanya
dilaporkan sebagai kejenuhan persen (100 x serum besi/TIBC). Satursi transferin <
20% merupaka indikasi dari defisiensi besi, baik berupa defisiensi besi absolut
penyakit keturunan hemokromatosis dan atau karena akibat transfusi berulang atau
pemberian zat besi intravena. Jika terjadi inflamsi, penyakit infeksi atau kanker
akan menyebabkan konsentrasi transferin dan saturasi transferin yang rendah yang
20
sebenarnya disertai dengan peningkatn transferin. Peningkatan feritin palsu
menilai status besi, namun pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan secara rutin.
besi, karena dapat mencerminkan hubungan antara cadangan besi sumsum tulang,
absorbsi besi dan ketersediaan besi dalam sirkulasi (Janis M, 2012; Peerschke E
dkk., 2014).
Sejak diketahui bahwa feritin merupakan protein fase akut dimana nilainya
meningkat pada kondisi inflamasi dan kerusakan hati. Nilai normal atau
cadangan besi terutama pada pasien kanker. Hal ini menyebabkan penentuan kadar
feritin sebagai indikator cadangan besi tubuh dalam kondisi pasien dengan
dkk., 2014).
cadangan besi. Penelitian cohort pada pasien kanker menunjukkan 22% pasien
dengan serum feritin 100-800 ng/ml dan 24 % dengan serum feritin > 800 ng/ml
didapatkan dengan kondisi anemia defisiensi besi (saturasi trasferin < 20% dan Hb
21
dalam mengidentifikasi defisiensi besi dibandingkan saturasi transferin (59-88%).
Hasil ini menunjukkan jika serum feritin digunakan sebagai petunjuk tunggal, akan
WHO menyarankan dalam menilai status besi tidak baik menggunakan parameter
serum feritin dengan adanya kondisi inflamai (Janis M, 2012; Peerschke E dkk.,
2014).
Batas nilai sebagai indikator serum feritin yang menandakan defisiensi besi
absolut menjadi tidak jelas. Menurut penelitian Aurbeach dkk. menyebutkan batas
serum feritin yang dipakai batas untuk defisiensi besi absolut adalah < 100 ng/ml,
ini didasarkan atas percobaan dengan penggunaan terapi besi yang memberikan
hasil yang optimal. Kombinasi nilai serum feritin, CRP, sTfR, Ret-He
1. TIBC yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin dimana akan
meningkat bila kadar besi serum dan cadangan besi menurun. TIBC ternyata
juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker yang
2. Besi serum dapat diukur secara langsung dan kadarnya menurun bila cadangan
langsung cadangan besi karena dapat dipengaruhi oleh variasi diurnal dimana
konsentrasinya lebih tinggi pada siang hari, jenis diet dan suplementasi besi,
22
kondisi inflamasi serta infeksi juga ikut mempengaruhi perubahan kadar besi
serum.
transport dan proses transport besi tersebut. Nilai saturasi transferin didapatkan
berdasarkan pembagian besi serum dengan TIBC dan dengan demikian juga
4. Feritin merupakan indikator yang baik untuk cadangan besi. Kadar feritin yang
meningkat dapat dijumpai pada penyakit hati akut maupun kronik, infeksi dan
hemokromatosis.
Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda yang tidak berinti dan
berasal dari proses pematangan normoblast di sumsum tulang. Sel ini mempunyai
jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat
berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin.
Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama
satu sampai dua hari sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit
dengan melepas sisa RNA (Bakta, 2006; Suega dan Bakta, 2010; Karagulle dkk.,
2013).
Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau late-
sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan ini
23
ditandai dengan: (1) penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya
seperti halnya eritrosit yang matang; (2) adanya perubahan bentuk dari besar ke
yang lebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid; dan (3) terjadinya
degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya.
kesirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu
yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit
proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel retikulosit muda
akan meningkat baik didalam sumsum tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan
masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda yaitu membran
retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit muda
ini masih mempunyai reseptor untuk protein adesif sedangkan retikulosit normal
telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke perifer (Suega dan Bakta,
2010).
sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada tikus normal
sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia. Pada pasien tanpa anemia hitung
retikulositnya berkisar antara 1% sampai dengan 2%. Jumlah ini penting karena
24
retikulosit ini bisa dilakukan dengan metode manual menggunakan pengecatan
supravital dan bisa dengan analisa otomatis flowcytometer (Suega dan Bakta, 2010).
Saat ini blood cell analyzer telah memiliki kemampuan untuk menganalisis
karakteristik sel darah secara individual, seperti: kadar Hb dalam retikulosit, kadar
defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronis, kedua kondisi klinis ini memiliki
karakteristik tersendiri. Retikulosit sebagai sel darah dengan rentang hidup yang
pendek sampai dengan 2 hari, memiliki kelebihan dalam hal informasi yang
terkini yang tersedia di sumsum tulang dan mampu menjadi penanda awal adanya
besi pada eritrosit matur yang mampu dilakukan oleh automated hematology
analyzer akan memberikan hasil yang tidak sensitif sebagai penanda awal proses
eritropoeisis dengan kondisi defisiensi besi karena turnover eritrosit yang lama dan
variabilitas masing-masing individu yang luas (Mast dkk., 2008; Torino dkk.,
2014).
darah merah memungkinkan upaya identifikasi lebih dini terhadap status besi, jika
25
bias pada kondisi tertentu. Pemeriksaan kadar hemoglobin dalam retikulosit adalah
fungsional didalam eritron atau jumlah besi yang tersedia untuk pembentukan
sumsum tulang pada proses eritropoiesis yang pada akhirnya bermuara dengan
eritropoiesis 3-4 hari setelah besi terpakai untuk membuat hemoglobin. Oleh karena
sel darah merah dan parameter retikulosit ini menggambarkan keseimbangan antara
besi dan eritropoiesis dalam 28 jam terakhir (Suega dan Bakta, 2010).
Karena masa hidup retikulosit yang singkat maka pemeriksaan ini merupakan
indikator yang sensitif terhadap kondisi iron deficient erythropoiesis bahkan pada
stadium awal karena pemeriksaan ini mencerminkan ketersediaan besi untuk proses
eritropoesis dalam jangka waktu 2-4 hari kedepan sehingga pemeriksaan ini dapat
dipakai untuk mendiagnosis defisiensi besi (Brugnara dkk., 2006; Mast dkk., 2008;
besi, yang menyebabkan pergeseran distribusi Ret-He ke nilai yang lebih rendah
perkembangan mikrositosis yang jelas dan hipokromia dan karena itu membantu
26
dalam mengidentifikasi tahap awal defisiensi besi. Retikulosit adalah eritrosit
pengukuran awal kekurangan zat besi ketika perubahan dalam sel darah merah atau
parameter biokimia lainnya tidak jelas. Ini berarti bahwa defisiensi besi dapat
dideteksi pada tahap awal, ketika indikator eritrosit masih normal tetapi simpanan
besi habis pada titik yang mempengaruhi hematopoiesis dan merangsang produksi
retikulosit pada persentase tertentu dari penurunan konten hemoglobin (Bakr dan
Sarette, 2006).
bersama serum feritin dan saturasi transferin dalam memprediksi respon terhadap
pemberian besi intravena. Ini menunjukan bahawa Ret-He memiliki variasi yang
lebih kecil dan lebih akurat daripada serum feritin dan saturasi transferin. Rentang
referensi Ret-He adalah 26-32 pg/cell. Nilai Ret-He < 26 pg/cell konsisten dengan
defisiensi zat besi untuk eritropoesis. Ret-He memiliki sensitivitas dan spesitifitas
yang baik untuk mendiagnosis defisiensi zat besi fungsional pada kondisi klinik
yang kompleks dibandingkan dengan pengukuran zat besi secara tradisional seperti
feritin, besi serum, TIBC dan saturasi transferin. Ret-He memberikan respon
terhadap pemberian agen yang dapat merangsang eritropoesis atau pemberian zat
besi intravena selama 48-96 jam. Ret-He mungkin dapat digunakan sebagai
prediktor yang lebih baik untuk cadangan besi sumsum tulang bila dibandingkan
Studi Ret-He dengan batas < 32 pg/cell untuk menentukan status defisiensi
besi pada penderita kanker berdasarkan nilai saturasi transferin < 20%, besi serum
27
< 40 µg/dl dan serum feritin < 100 ng/ml. Dengan batas 32 pg/cell, Ret-He dapat
digunakan untuk menentukan status besi pada penderita kanker dengan negative
hemoglobin < 11 gr/d, MCV < 80 fL dengan NPV sebesar 88,5% (Peerschke E
dkk., 2014).
Karagulle dkk. dengan subyek wanita defisiensi besi dan anemia defisiensi besi
Demikian halnya pada penelitian oleh Ageeli dkk. yang hanya menggunakan
subyek pada tahap anemia defisiensi besi mendapatkan korelasi Ret-He dan saturasi
Penelitian Ageeli dkk. di Saudi Arabia yang menggunakan 100 subyek anemia
defisiensi besi, didapatkan korelasi Ret-He dengan feritin yang lebih tinggi yaitu
28
yang menggunakan subyek pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
diamana didapatkan hubungan negatif antara Ret-He dengan feritin namun tidak
Ferniawanti D, 2015).
anemia di dunia, anemia karena penyakit kronik lebih banyak ditemui pada
cadangan besi yang tidak adequate, pada anemia karena penyakit kronik
sebenarnya cadangan besi dalam jumlah yang cukup. Ret-He dapat membantu
membedakan antara bentuk anemia tersebut dan menunjukan variasi yang lebih
Misalnya pada pasien hemodialisis regular atau pasien kanker dengan anemia yang
besi pada bayi dan anak-anak dan telah terbukti sebagai prediktor yang paling kuat
terhadap kondisi defisiensi besi dengan atau tanpa anemia (Mast dkk., 2008).
Berdasarkan kriteria Kerlin, keberhasilan terapi besi pada ADB ditandai dengan
Studi yang dilakukan oleh Brugnara menemukan bahwa terdapat kenaikan kadar
29
Ret-He dengan rata-rata 3,2 pg/cell setelah diberikan terapi besi oral dan kenaikan
tersebut telah terjadi dalam waktu 1-2 minggu. Pada pemberian terapi besi
intravena, Ret-He merupakan indikator awal terhadap respons terapi dimana kadar
Ret-He mulai meningkat dalam 2-4 hari sejak pemberian terapi (Brugnara dkk.,
tergantung dari MCV dimana pada kondisi tersebut telah terjadi anemia mikrositer
karena gangguan dari struktur pembentuk hemoglobin. Demikian pula halnya pada
terapi besi, defisiensi B12 dan folat serta adanya kelainan dari analisis hemoglobin
maka hasil pemeriksaan Ret-He kurang memberikan hasil yang maksimal (Mast
dkk., 2008).
30