Anda di halaman 1dari 32

1

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
1.1. Besaran dan Satuan Standar Dasar .......................................................................... 5
1.2. Besaran dan Satuan Dasar Standar Turunan ............................................................ 6
BAB II ALAT UKUR......................................................................................................... 9
2.1. SIFAT-SIFAT ALAT UKUR .................................................................................. 9
2.2. METODE PENGUKURAN LINEAR ................................................................... 10
2.2.1. Alat ukur linier tak langsung........................................................................... 10
2.2.2. Alat ukur linier langsung ................................................................................ 11
2.3. TEORI PEMAKAIN ALAT UKUR ...................................................................... 11
2.3.1. Cara Membaca Nonius ..................................................................................... 2
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong ......................................................................... 3
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup .................................................................. 4
2.3.4. Neraca Teknis ................................................................................................... 5
2.3.5. Spherometer ...................................................................................................... 6
2.4. ALAT UKUR BESARAN LISTRIK....................................................................... 7
2.4.1. Multimeter/Avometer ....................................................................................... 7
2.4.2. Amperemeter AC dan Amperemeter DC ........................................................ 15
BAB III TEORI RALAT .................................................................................................. 16
3.1. PENGERTIAN ...................................................................................................... 16
3.2. MACAM RALAT.................................................................................................. 16
3.2.1. Ralat Sistematik ........................................................................................ 16
3.2.2. Ralat Kebetulan ........................................................................................ 16
3.2.3. Ralat Kekeliruan Tindakan ....................................................................... 17
3.3. PERHITUNGAN RALAT ..................................................................................... 17
3.3.1. Ralat Langsung (Ralat Pengamatan).............................................................. 18
3.3.2. Ralat Tidak Langsung (Perambatan Ralat) .................................................... 21

2
MANAJERIAL LABORATORIUM FISIKA TERAPAN FT UNTIRTA
TAHUN AKADEMIK
2019/2020

KEPALA LABORATORIUM
Dr. Irma Saraswati, S.Si., M.T.

LABORAN
Kurniawan Putra Yudha, S.Si.

ASISTEN LABORATORIUM

1. Adam Andi Nugroho T. Metalurgi


2. Adzra Hana Nabila T. Metalurgi
3. Ahmad Fauzi T. Mesin
4. Chintya Nur Ramdhani T. Metalurgi
5. Danur Eka Riyanto T. Elektro
6. Destia Maradhina T. Sipil
7. Fitri Viviyana T. Metalurgi
8. Fuji Dwi Putri T. Kimia
9. Ginda Quriatama T. Metalurgi
10. Muhammad Maulanna Zensih T. Elektro
11. Muhammad Rifqi Hafizh T. Elektro
12. Nadin Alifia T. Kimia
13. Niko Arfana Usti T. Elektro
14. Nindya Carolin Ciptia Sari T. Kimia
15. Reza Hariansyah T. Elektro
16. Shania Yosephin Ginting T. Kimia
17. Siti Aisah T. Kimia
18. Vini Hafidzatul Hakimah T. Metalurgi

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pengukuran adalah proses perbandingan suatu besaran dengan besaran standar yang
sejenis. Secara umum pengukuran dapat digambarkan seperti dibawah ini,

Gambar 1.1. Diagram umum pengukuran

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa proses pengukuran membutuhkan:

a) Input (besaran yang akan diukur)


b) Besaran standar
c) Alat ukur
d) Subjek (pengukur atau operator)
Yang kesemuanya saling berinteraksi mempengaruhi hasil (output) pengukuran.
Besaran adalah sejumlah tertentu dari sesuatu yang dapat dinyatakan secara fisik,
contohnya panjang, berat dan energi. Besaran standar adalah besaran yang telah
disepakati dan diakui secara meluas, sebagai pembanding terhadap besaran lain yang
sejenis. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu besaran sebagai besaran
standar, yaitu:

a) Diakui secara meluas (internasional)


b) Tidak berubah terhadap waktu (mempunyai besar tertentu untuk suatu kondisi
tertentu)
c) Dapat dibuat dengan mudah
d) Dapat digunakan dimana saja sebagai pembanding
Besaran standar dan satuannya dikelompokkan atas dua jenis yaitu:

4
1) Besaran dan satuan standar dasar
2) Besaran dan satuan standar turunan
Besaran dan satuan standar dasar adalah besaran dan satuan tunggal. Sedangkan
besaran dan satuan standar turunan adalah besaran dan satuan yang merupakan kombinasi
dari berbagai besaran dan satuan standar dasar (diturunkan dari standar dasar).

Ada tujuh besaran dan satuan standar dasar yang telah ditetapkan secara internasional
(International System of Units atau Le Systeme Internationale d’Unites). Dan ada banyak
besaran dan satuan standar turunan yang telah ditetapkan serta digunakan secara umum.
Tabel berikut menunjukkan beberapa besaran,

Standar Istilah Kelipatan Persepuluh (SI-Units)

Faktor
Awalan Singkatan
Pengali
1012 tera T
109 giga G
106 mega M
103 kilo k
102 hector h
10 Deca d
10-2 centi c
10-3 milli m
10-6 micron μ
10-9 nano n
10-12 pico p
10-15 femto f
10-18 Atto a

1.1. Besaran dan Satuan Standar Dasar


Satuan
Nama Besaran
Nama Simbol
Besaran Pokok
Panjang meter [m]
Massa kilogram [kg]
Waktu second [s]
Arus Listrik Ampere [A]

5
Temperatur Kelvin [K]
Thermodinamik
Jumlah Zat mole [mole]
Intensitas Cahaya candella [cd]
Besaran Tambahan
Sudut Bidang radiant
Sudut Ruang steradiant

1.2. Besaran dan Satuan Dasar Standar Turunan


Satuan
Nama Besaran
Nama Simbol
Luas square meter [m2]
Volume cubic meter [m3]
Massa Jenis kilogram percubic meter [kg/m3]
Kecepatan meter per second [m/s]
Percepatan meter per square second [m/s2]
Kecepatan Angular radiant per second [rad/s]
Percepatan Angular radiant per square second [rad/s2]
Momen Inersia Massa kilogram per square meter [kg/m2]
Frekuensi Hertz [1/s]
Gaya Newton [kg m/s2]
Tekanan & Tegangan Newton per square meter [kg/m s2]
Energi, Kerja & Panas Joule [kg m2/s2]
Daya Joule per second [kg m2/s3]
Viskositas Kinematik square meter per second [m2/s]
Viskositas Dinamik Newton sec. per square meter [kg/m s]
Muatan Listrik Coulomb [A s]
Tahanan Listrik Ohm [J/A s]
Kapasitansi Listrik Farad [A s/V]
Induktansi Listrik Henry [V s /A]
Fluks Magnetik Weber [V s]
Fluks Cahaya Lumen [cd sr]
Kuat Cahaya Cd per square meter [cd/m2]
Terang Cahaya lux [lm/m2]

6
Satuan standar SI-units didefinisikan sebagai suatu besaran fisik dengan ukuran tertentu
yang memenuhi syarat-syarat besaran dan satuan standar yang telah disebutkan terdahulu.
Berikut adalah definisi ketujuh besaran standar dasar SI-units,

1) Satuan Standar Panjang (meter)


1 meter = 1.650.763,73 kali panjang gelombang radiasi akibat transisi elektron
dari orbital 2p10 ke orbital 5ds isotop Krypton no 86 pada ruang vakum (hampa
udara).

Ditetapkan tanggal 14 Oktober 1960.

2) Satuan Standar Massa (kg)


1 kilogram = massa satu pelat Platinum-Iridium yang disimpan di Internasional
Bureau of Weights and Measures, Severs-Paris.

Ditetapkan pada tanggal 05 Juni 1959.

3) Satuan Standar Waktu (sekon)


1 sekon = lamanya 9.192.631.770 kali periode radiasi atom Caesium-133.

Ditetapkan tanggal 13 Oktober 1967.

4) Satuan Standar Temperatur Thermodinamik (K)


1 derajat Kelvin = 1/273,6 kali temperatur H2O pada titik tripel fasanya (fasa
padat-cair-gas berada dalam kesetimbangan).

5) Satuan Standar Jumlah Zat


1 mole = sejumlah zat yang mengandung partikel (atom, ion atau molekul)
sebanyak 6,022 x 1023 pada temperatur 0ºC dan tekanan 1 atmosfir.

6) Satuan Standar Kuat Arus (Ampere)


1 ampere = sejumlah arus yang menembus tahanan sebesar 1 ohm diantara beda
tegangan 1 volt.

Catatan : untuk menentukan besaran 1A, terlebih dulu ditentukan besaran 1 ohm
dan 1 volt.

7) Satuan standar Tahanan Listrik (Ohm)

7
Pengukuran tahanan 1 (satu) ohm dilakukan melalui perhitungan induktansi
listrik dari suatu bahan dengan dimensi tertentu.

8
BAB II
ALAT UKUR

2.1. SIFAT-SIFAT ALAT UKUR


Hasil pengukuran dipengaruhi langsung oleh beberapa hal, yaitu subjek
(pengukur atau operator), alat ukur, objek ukur dan lingkungan tempat pengukuran
berlangsung.

Dalam hal alat ukur, perlu diketahui beberapa sifat penting alat ukur yang
berpengaruh langsung pada hasil pengukuran. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kepekaan (Sensitifity)
Yaitu kemampuan alat ukur merasakan perubahan paling kecil dari objek
ukur. Kepekaan dipengaruhi oleh mekanisme transduser alat ukur dan pencatat.
Biasanya makin peka suatu alat ukur, makin sempit batas pengukurannya.

b. Ketepatan (Acuracy)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil pengukuran yang mendekati
nilai sebenarnya. Ketepatan dipengaruhi oleh kecermatan alat ukur. Nilai
sebenarnya tidak pernah dapat diketahui, tetapi yang dimaksud dalam hal ini
adalah nilai yang didapat melalui pengukuran dengan alat ukur standar dan
dengan pengukuran yang berulang.

c. Ketelitian (Precision)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil yang sama untuk
beberapa kali pengukuran yang dilakukan terhadap satu objek ukur.

d. Kemudahan Baca (Readability)


Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil pengukuran yang mudah
dibaca (dapat meminimumkan kemungkinan salah baca).

e. Histerisis
Yaitu penyimpangan hasil pengukuran untuk beberapa titik pengukuran yang
dilakukan dari dua arah (dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah).

f. Pergeseran (Shifting atau Draft)

9
Yaitu perubahan hasil pengukuran pada pencatat, meskipun input tidak
berubah. Hal ini biasanya disebabkan kelainan fungsi komponen alat ukur
tersebut (pada sensor, transduser atau lainnya).

g. Pengambangan (Floating)
Yaitu penunjukkan hasil pengukuran yang berubah-ubah (tidak stabil) untuk
objek ukur yang tetap. Hal ini sering disebabkan oleh adanya perubahan input
yang kecil yang dirasakan oleh sensor, kemudian diperbesar oleh transduser.

h. Kestabilan Nol (Zero Stability)


Yaitu kemampuan alat ukur untuk mengembalikan penunjukkannya ke
titik skala nol setiap setelah pengukuran.

i. Kepasifan (Passifity)
Yaitu kelambatan atau ketidakmampuan alat ukur bereaksi menanggapi
perubahan kecil yang dirasakan oleh sensor.

Alat ukur haruslah dijaga sedemikian sehingga dapat melakukan fungsinya sesuai
dengan kemampuan desainnya melalui pengoperasian dan penyimpanan yang baik, serta
pemeriksaan yang tepat. Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan berbagai hal
seperti yang dijelaskan diatas. Sehingga dapat dipakai menunjukkan ukuran yang baik
sesuai desainnya. Istilah pemeriksaan pada alat ukur sering disebut dengan kalibrasi.

2.2. METODE PENGUKURAN LINEAR


Pengukuran linier adalah jenis pengukuran yang sering ditemukan dalam ilmu
ketekhnikan serta kehidupan sehari-hari. Pengukuran linier dapat dibagi menjadi dua
jenis menurut metodenya yaitu:

2.2.1. Alat ukur linier tak langsung


Alat ukur linier tak langsung adalah alat ukur yang hasil pengukurannya tidak
dapat dibaca langsung pada alat ukur tersebut, melainkan harus melalui proses
perbandingan dengan alat ukur lainnya ataupun proses lainnya.

Contoh-contoh alat ukur jenis ini adalah:

a) Alat ukur standar, yaitu;


▪ Balok ukur (gauge block)
▪ Batang ukur (length bar)

10
▪ Kaliber induk tinggi (height master)
b) Alat ukur pembanding, yaitu;
▪ Jam ukur (dial indicator)
▪ Jam ukur tes/pupitas (dial test indicator)
▪ Pembanding (comparator)

2.2.2. Alat ukur linier langsung


a) Mistar ukur
Mistar ukur adalah alat ukur paling sederhana, hanya terdiri dari
komponen sensor dan penunjuk yang menjadi satu dengan badan alat ukur.
Umumnya terbuat dari pita/pelat baja/kuningan dengan skala utama terkecil 1 mm
(tanpa skala nonius). Contoh-contoh mistar ukur adalah sebagai berikut:

1) Mistar ukur berkait 3) Meteran lipat


2) Mistar ukur 4) Meteran gulung

b) Mistar ingsut (jangka sorong)


Mistar ingsut alat ukur yang identik dengan mistar ukur, perbedaannya mistar ingsut
mempunyai sensor yang berupa rahang yang dapat digerakkan menjangkau dimensi benda ukur.
Menurut komponen penunjuknya, mistar ingsut dapat dikelompokkan atas dua jenis, yaitu:

1) Mistar ingsut nonius


2) Mistar ingsut jam
c) Mikrometer
Mikrometer pada umumnya mempunyai kecermatan yang lebih baik dibanding mistar
ingsut, hanya saja pemakaian mikrometer umumnya terbatas untuk dimensi-dimensi yang relatif
kecil dibanding dengan mistar ingsut. Kecermatan mikrometer dapat mencapai 0,01 mm.

2.3. TEORI PEMAKAIN ALAT UKUR


Dalam melakukan penyelidikan atau percobaan pada suatu laboratorium, sering kita
jumpai alat-alat yang memerlukan cara-cara tertentu agar pemakaiannya menjadi benar dan teliti.
Oleh karena itu perlu kiranya diberikan penjelasan-penjelasan mengenai pemakaian alat ukur untuk
memudahkan dalam penggunaannya sehingga pengukuran menjadi benar dan teliti.

11
2.3.1. Cara Membaca Nonius
Tujuan dari penggunaan nonius adalah agar hasil pengukuran yang dilakukan
menjadi lebih teliti. Banyak alat-alat yang menggunakan nonius, misalnya; jangka sorong,
mikrometer sekrup, spektrometer dan lainnya.

a). Contoh pembacaan panjang benda yang diukur dengan mistar (lihat gambar).

Gambar mekanisme pengukuran

Panjang benda diatas adalah (82,4 ± 0,2) mm.

Angka 0,4 adalah berdasarkan perkiraan saja, sedang angka 0,2 adalah angka kesalahan
yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil pada alat pengukur (1 mm).

b). Contoh pembacaan dengan nonius persepuluh,

Gambar mekanisme pengukuran nonius

Carilah angka disebelah kiri yang paling dekat pada angka nol nonius. Angka ini
adalah angka utamanya (didepan koma). Kemudian carilah garis (angka) pada nonius yang
berimpit dengan garis pada skala utamanya. Angka ini adalah angka dibelakang koma.

Pembacaan contoh diatas adalah (73,50 ± 0,02) mm.

Angka 0,50 adalah angka pada nonius yang berimpit dengan skala utama, angka 0,02
adalah angka kesalahan yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil (0,1 mm).

2
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong
Jangka sorong adalah alat ukur untuk mengukur besaran panjang. Di mana alat ukur
ini dipakai untuk pengukuran yang memerlukan ketelitian sampai dengan 0,1 mm.

Gambar Jangka sorong dengan bagian-bagiannya

Beberapa pengukuran dengan memakai jangka sorong

▪ Untuk mengukur panjang atau diameter luar benda.


Cara penggunaannya, benda diletakkan diantara rahang (A1 – A2), kemudian tekan dan
doronglah pada roda F secara perlahan dengan ibu jari sehingga rahang menjepit benda.
Kemudian bacalah nilai ukur pada skala utama (D1 atau D2) dan skala nonius (E1 atau E2).

▪ Untuk mengukur diameter dalam benda.


Caranya masukkan rahang (B1 – B2) kedalam lubang atau diameter bagian dalam dan tariklah
roda F secara perlahan dengan ibu jari sehingga rahang mengenai tepi lubang benda.
Kemudian bacalah nilai ukur pada skala utama (D) dan skala nonius (E).

▪ Untuk mengukur kedalaman benda.


Caranya masukkan bagian ekor jangka sorong (C1 – C2) kedalam lubang dan tariklah roda F
secara perlahan kebelakang hingga bagian belakang jangka sorong terlihat. Kemudian bacalah
nilai ukur pada skala utama (D) dan skala nonius (E).

3
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup
Salah satu jenis mikrometer yang sering dipakai adalah mikrometer sekrup yang
mempunyai ketelitian 0,01 mm.

Gambar mikrometer sekrup dan bagian-bagiannya

a) Mikrometer sekrup terdiri dari bagian yang diam (rangka F), padanya terdapat alas A1 dan
skala utama B. Bagian yang bergerak yaitu sekrup (D) berskala C, silinder A2 dan sekrup
pemutar halus (E).
b) Skala C ikut berputar dengan sekrup D, skala C dibagi dalam 50 skala dan bila D berputar
satu putaran, maka C dan juga A2 akan maju/mundur sejauh 0,5 mm terhadap skala B. Jadi
satu bagian skala pada C adalah sama dengan 0,01 mm. Sedangkan pembagian skala pada B
adalah 1 mm dan 0,5 mm.
c) Untuk cara pengukurannya, benda diletakkan antara alas A1 dan A2, kemudian sekrup D
diputar sampai A1 dan A2 menyinggung benda. Jangan terlalu memutar sekrup K hingga
benda tertekan karena berakibat pada pengukuran yang salah.
d) Tebal benda (A1 - A2) adalah jumlah skala B ditambah skala C.
e) Contoh pembacaan skala (perhatikan gambar)!
Hasil pengukuran menunjukkan tebal benda adalah
sebesar (4,17 ± 0,002) mm.

Angka 4 diperoleh dari skala B, angka 0,17 diperoleh dari


skala C. angka 0,002 adalah angka kesalahan dari
mikrometer sekrup (20% dari skala terkecil).

f) Sebelum melakukan pengukuran periksalah


dahulu titik nolnya (koreksi titik nol) yaitu dengan jalan memutar sekrup D sehingga A1 -
A2 berimpit dan periksalah apakah angka nol pada skala C berimpit dengan garis melintang

4
pada skala B. Bila penunjukkan positif, maka pengukuran harus dikurangkan dan
sebaliknya jika negatif, pengukuran harus ditambahkan.
g) Perhatian!!!
▪ Memutar D tidak boleh terlalu keras, supaya benda yang diukur tidak rusak/berubah
bentuknya dan juga agar mikrometer sekrup tidah mudah rusak.
▪ Bila A1 - A2 sudah dekat dengan benda maka jangan memutar D lagi, melainkan
putarlah E sampai titik A2 tidak maju lagi.

2.3.4. Neraca Teknis


Neraca Teknis adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur berat dari suatu benda
secara teliti.

Gambar neraca teknis dan bagian-bagiannya

Cara Menggunakannya adalah sebagai berikut :

a) Perhatikan batas maksimum dari setiap neraca teknis demikian pula batas minimunnya (C)
b) Sebelum menimbang periksalah kedudukan neraca apakah sudah berdiri tegak (dilihat dari
bandul D) dan perlu juga diperhatikan adalah praktikan tidak diperkenankan mengubah
skrup pengatur F.
c) pada umumnya jarum gandar B tidak dapat berhenti karena pengaruh dari luar (angin). Oleh
karena itu, dianjurkan untuk digunakan dalam ruangan tertutup.

5
d) Dalam melakukan penimbangan, peletakan anak timbangan adalah disebelah kanan dan
benda yang akan ditimbang diletakkan disebelah kiri (standar Laboratorium).
e) Waktu meletakkan atau mengambil anak timbangan hanya diperbolehkan bila ”Jarum
gandar B” berhenti berayun.
f) Anak timbangan sama sekali tidak boleh dipegang atau disentuh dengan tangan dianjurkan
untuk menggunakan alat penjepit.
g) Zat yang dapat merusak pinggan neraca (A) dilarang diletakkan dipinggan, tetapi harus
dibersihkan dulu.
h) Pada waktu melepas alat penahan (E) harus dijaga agar simpangan jarum tidak terlalu besar.
i) Penimbangan dianggap selesai bila jarum petunjuk telah tepat pada titik nol (Titik
setimbang).

2.3.5. Spherometer
Spherometer yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui seberapa panjang
elastisitas dari logam setelah diberi beban tertentu.

Gambar spherometer

Pada pelat yang tegak (penunjuk skala) terdapat skala dalam mm, sedangkan pada piringan
terdapat 50 garis skala. Apabila piringan diputar sebanyak satu putaran, maka piringan akan naik atau
turun sebesar 1 mm, yaitu dengan melihat kedudukan permukaan piringan pada skala tegak.

6
Gambar piringan spherometer

Pembacaan skala

1 mm
Jadi 1 garis skala pada piringan sebesar = = 0.02 mm .
50

Ini berarti bahwa ketelitian dari spherometer yang demikian adalah 0.02 mm

Kedudukan nol spherometer ditandai oleh nyala lampu indikator yang diperoleh dengan cara
menyentuhkan kedua ujung lampu indikator, yaitu pada batang logam dan pada papan penunjuk skala.

2.4. ALAT UKUR BESARAN LISTRIK

2.4.1. Multimeter/Avometer
Jenis :

• Multimeter analog
• Multimeter digital

7
Gambar bagian-bagian multitester

Fungsi dan kegunaan alat ukur multimeter adalah :

1) Mengukur resistansi/tahanan (Ω = Ohm)


2) Mengukur tegangan searah (DCV = Direct Current Voltage)
3) Mengukur tegangan bolak- balik (ACV = Alternating Current Voltage)
4) Mengukur Arus (A = Ampere)
5) Mengukur kapasitas kapasitor (μF = mikrofarad)
6) Menentukan jenis dan penguatan dari transistor (PNP/NPN, hFE)

2.4.1.1. Bagian-bagian Multimeter Analog

1. Papan skala
• Untuk skala tahanan terdapat pada ujung paling atas, membacanya dari kanan ke kiri,
dimana pada kedua ujungnya terdapat lambang Ω atau Omega.
• Untuk skala DCV, ACV, DcmA, DCA, ACA, hFE, tepat dibawahnya skala tahanan,
membacanya dari kiri kekanan.
2. Saklar Jangkah (selector)
Berfungsi sebagai penunjuk besaran apa yang hendak diukur, misalnya :

8
Untuk mengukur tegangan bolak balik maka jangkah ditaruh atau ditunjukkan dengan
cara memutarnya pada ACV, begitu pula untuk yang lainnya.

Pembacaan skala multitestert

Range Multiplied
Range Multiplied
DCV 1000 x 100
Ω x 100k x 100k 4
ACV 750 x 100
x 1k x 1k
5 ACV 10 x1
x 100 x 100
1 6 C (µF) x1
x 10 x 10
7 DCV ± 25 x1
x1 x1
8 DCV ± 5 x1
DCV 250 x1
150 mA at x 1 x10
DCV 2.5 x 0.01
15 mA at x 10 x1
DCV 0.25 x 0.001
9 1.5 mA at x 100 x0.1
2 ACV 250 x1
150 µA at x 1k x10
DCA 0.25 x 0.001
1.5 µA at x 100k x0.1
DCA 25m x 0.1
10 LV x1
DCA 2.5m x 0.01
11 hFE x1
DCV 50 x1
ACV10 x1
3 ACV 50 x1
ACV50 14dB added
DCA 50  x1 12
ACV250 28dB added
DCV 0.1 x 0.01
4 ACV750 40dB added
DCV 10 x1

9
3. Pengatur nol/Adjust (penyesuai)
Berfungsi sebagai pengatur penepatan jarum skala mulai dari nol pada
pengukuran tahanan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang teliti.

4. Jarum Penunjuk
Berfungsi untuk menunjukan nilai yang terukur.

5. Jumper kabel penyidik


(+) untuk kabel penyidik merah

(-) com (common), Untuk kabel penyidik hitam

2.4.1.2. Langkah Pengukuran

1). Mengukur Resistansi

a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi OHM. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya nilai resistor yang akan diukur misalnya
(R x 1), (R x 10), (R x 100), (R x 1K), (R x 1OK).

c) Kalibrasi alat ukur dengan menemukan kedua ujung kabel penyidik, jarum
harus menyimpang kekanan, dan menunjukan nilai nol. Jika tidak nol maka
putarlah pengatur nol/adjust sampai mendapatkan nilai nol, sehingga alat
ukur ini siap untuk nilai tahanan. Pengesetan nol ini harus diulangi jika saklar
jangkah dipindah pada posisi OHM yang lain.
d) Pada pengukuran tahanan polaritas kabel penyidik boleh terbalik (tidak akan
membawa dampak terhadap alat ukur)
e) Tahanan/alat yang diukur nilai resistansinya tidak boleh ada tegangannya
karena akan merusak sensitifitas dari alat ukur
f) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tahanan yang hendak diukur.
*). Bila jarum menunjukan skala nol atau tidak bisa dibaca, berarti nilai
resistansi yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah
pada posisi yang lebih rendah.

10
*). Begitu pula sebaliknya jika jarum menyimpang jauh kekiri, berarti
resistansi yang diukur terlalu besar, pindahkan saklar pada posisi
yang lebih tinggi.

g) Cara menentukan besarnya nilai resistansi gunakan persamaan :


R = Penunjukan jarum x posisi jangkah (Ω)

Contoh :

Jangkah ukur ditaruh pada posisi R x 10, jarum penunjuk menunjukan


angka 12, maka nilai resistansinya adalah :

R = 12  10
= 120 

2). Mengukur tegangan searah (DCV)

a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCV. Pemilihan saklar jangkah
ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya (10, 50, 250,
1000 Volt).
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk menghindari
kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik tidak boleh terbalik
(akan membawa dampak terhadap alat ukur).
*) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang mempunyai
potensial positif dan kabel penyidik hitam (-) dihubungkan dengan titik
yang mempunyai potensial negatif dari alat yang akan diukur tegangannya.

11
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah pada
posisi yang lebih rendah.

e) Cara menentukan besarnya nilai tegangan searah gunakan Persamaan :


Posisi jangkah
VDC = penunjukan jarum 
Skala

Contoh :

Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 250 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 125, maka
nilai resistansinya adalah :

 2. 5 
R = 125   
 250 
= 1.25 Volt

3). Mengukur tegangan bolak balik ( ACV )

a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACV. Pemilihan saklar jangkah
ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya (0.1, 2.5, 10,
50, 250, 1000 Volt).
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk menghindari
kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik boleh terbalik (tidak
akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.

*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkar pada
posisi yang lebih rendah.

12
e) Cara menetukan besarnya nilai tegangan bolak balik gunakan Persamaan :
Posisi jangkah
V AC = penunjukan jarum 
Skala

Contoh :

Jangkah ukur ditaruh pada posisi 10, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 10 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 5, maka
nilai resistansinya adalah :

 10 
R = 5  
 10 
= 5 Volt

4). Mengukur arus searah ( DCA )

a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(50μA, 2.5mA, 25 mA, 250 mA ).
c) Jika tidak mengetahui arus yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus searah polaritas kabel penyidik tidak boleh terbalik
(akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang mempunyai arus
positif dan kabel penyidik hitam (-) dihubungkan dengan titik yang
mempunyai arus negatif dari alat yang akan diukur tegangannya.

*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah
pada posisi yang lebih rendah.

e) Cara menetukan besarnya nilai arus searah gunakan Persamaan :

13
Posisi jangkah
I DC = penunjukan jarum 
Skala

Contoh :

Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250 mA, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 250 mA, jarum penunjuk menunjukan angka 125,
maka nilai resistansinya adalah :

 2 .5 
R = 125   
 250 
= 1.25 mA

5). Mengukur arus bolak balik (ACA)

a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(0.1, 2.5, 10, 50, 250, 1000 Volt)
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala
yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus bolak balik polaritas kabel penyidik boleh terbalik
(tidak akan membawa dampak terhadap alat ukur).
e) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
*. Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti
nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar
jangkah pada posisi yang lebih rendah.

f) Cara menetukan besarnya nilai arus bolak balik gunakan Persamaan :


Posisi jangkah
I AC = penunjukan jarum 
Skala

14
Contoh :

Jangkah ukur ditaruh pada posisi 25 mA, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 10 mA, jarum penunjuk menunjukan angka 5 mA,
maka nilai resistansinya adalah :

 10 
R = 5  
 25 
= 2 mA

2.4.2. Amperemeter AC dan Amperemeter DC


Kedua amperemeter ini merupakan alat ukur khusus yang dibuat terpisah.
Amperemeter AC disimbolkan dengan gelombang sinusoida () dan Amperemeter
DC disimbolkan dengan garis lurus (-). Masing masing amperemeter mempunyai
kemampuan mengukur arus dengan kemampuan maksimum mengukur arus tertera
pada ujung kanan skala.

Untuk pembacaan skala yang tidak linier dapat dipergunakan perumusan sebagai
berikut :

Nilai skala maksimum − Nilai Skala Minimum


Jumlah skala total

15
BAB III
TEORI RALAT

3.1. PENGERTIAN
Tujuan dari pengukuran adalah mengetahui nilai yang sesungguhnya dari suatu
besaran yang diukur. Hal ini tidak mungkin dapat dicapai dengan tepat. Nilai yang
diperoleh selalu berbeda dengan nilai yang sesungguhnya atau mempunyai selisih
meskipun selisihnya mungkin sangat kecil. Sehubungan dengan itu dikatakan bahwa
dalam pengukuran selalu timbul kesalahan atau ralat (error). Jadi usaha dalam
pengukuran adalah memperoleh nilai dengan kesalahan sekecil mungkin.

3.2. MACAM RALAT


Ditinjau dari sebab timbulnya ralat atau kesalahan dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:

3.2.1. Ralat Sistematik


Ralat Sistematik adalah ralat yang bersifat tetap dan disebabkan oleh:

a. Alat
Kalibrasi alat salah, misalkan pembagian skala keliru, kondisi alat berubah
dan lain-lain.

b. Pengamat
Ketidakcermatan pengamat dalam membaca, misalkan membaca skala.

c. Kondisi Fisik Pengamat


Kondisi fisik pada saat pengamatan tidak sesuai dengan kondisi pada waktu
alat ditera.

d. Metode Pengamatan
Ketidaktepatan pemilihan metode pengamatan akan mempengaruhi hasil
pengamatan.

3.2.2. Ralat Kebetulan


Dalam pengukuran berulang-ulang untuk suatu besaran fisis yang dianggap tetap
ternyata memberikan hasil yang berbeda-beda. Kesalahan-kesalahan yang terjadi

16
pada pengamatan ini disebut dengan ralat kebetulan. Adapun faktor-faktor
penyebabnya adalah:

a). Kesalahan Menaksir

Misalkan penaksiran harga skala terkecil oleh pengamat akan berbeda dari
waktu ke waktu atau oleh satu orang dengan yang lain.

b). Kondisi Fisik Berubah

Misalkan karena suhu dan tekanan berubah mempengaruhi pengukuran titik


didih air.

c). Gangguan

Misalkan getaran mekanik mempengaruhi gerakan miliamperemeter


sehingga arus yang terbaca berubah.

d). Definisi

Misalkan pengukuran diameter pipa, karena penampang pipa tidak bulat


betul dianggap bulat sehingga mempengaruhi pengukuran diameternya.

3.2.3. Ralat Kekeliruan Tindakan


Kekeliruan tindakan dalam percobaan bagi pengamat ada dua hal yaitu :

a). Salah Berbuat

Misalkan salah dalam membaca skala, salah pengaturan kondisi alat, salah
perhitungan (misalkan ayunan 10 kali dihitung 9 kali)

b). Salah dalam perhitungan terutama dalam perhitungan ralat

3.3. PERHITUNGAN RALAT


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan dalam pengukuran tidak
dapat dihindari, yang dapat dilakukan hanyalah memperkecil kesalahan tersebut sekecil-

17
kecilnya. Apabila ralat kekeliruan tindakan dan ralat sistematik dapat dihindari maka
yang tinggi adalah ralat kkebetulan. Untuk memperkecil ralat ini harus dilakukan
pengukuran berulang, makin banyak pengukuran makin baik. Tetapi tidak semua
pengamatan dapat diulang, dalam hal ini praktikan hanya dapat melakukan pengamatan
sekali saja. Karena itu ralatnya adalah setengah skala terkecil (untuk hal ini hanya dapat
dilakukan bila keadaan benar-benar terpaksa).

Dalam perhitungan ralat yang ditimbulkan oleh ralat kebetulan ada dua hal yang
harus diperhitungkan, yaitu ralat hasil pengamatan langsung dan ralat perhitungan (ralat
rambatan).

3.3.1. Ralat Langsung (Ralat Pengamatan)


Untuk besaran yang diperoleh secara langsung dari pengukuran (pengamatan),
maka nilai terbaiknya adalah nilai rata-rata dari besaran tersebut (yang diukur
berulang-ulang). Misalkan suatu besaran x diukur sebanyak k kali dengan nilai-nilai
terukur adalah,

x1, x2, …, xk = xi

nilai terbaiknya adalah x , yaitu:

k
1
x=
k
 xi
i =1

Sedang selisih antara nilai-nilai terukur dengan x dinamakan deviasi (  ) yang


dapat dituliskan sebagai berikut:

 x = xi - x

Dapat dibuktikan bahwa nilai rata-rata dari deviasi (persamaan diatas) adalah :

k
1
k
 xi =1
i= 0

Karena

 x
i =1
i= 0

18
Juga dapat dibuktikan bahwa jika yang diambil sebagai nilai terbaik adalah x dari
nilai-nilai terukur, maka jumlah dari deviasi-deviasi kuadratnya adalah minimum,
k
yaitu :  x
i =1
i adalah minimum.

Untuk menunjukan kesalahan (ralat) kebetulan secara kuantitatif, didefinisikan


beberapa pengertian :

a). Deviasi Rata-Rata :

k
a=  x
i =1
i

b). Deviasi rms (root mean square deviation) :

1
srms =
k
 (xi ) 2

c). Deviasi Standar Individual :

 (x )
i =1
i
2

sx =
(k − 1)

d). Deviasi Standar Rata-Rata :

 (x )
i =1
i
2

sx =
k (k − 1)

e). Deviasi Rata-Rata Fraksional atau Relatif :

A = (a/x) . 100%

f). Deviasi Standar Fraksional atau Relatif :

S = (s/x) . 100%

19
Hasil pengukuran yang dikemukakan adalah :

x = x  x

Sedangkan ralat nisbi atau relatifnya tentu saja sama dengan :

x s
100% = x 100%
x x

Jadi hasil akhir pengukuran adalah :

x = x  sx

Contoh :

Menghitung panjang suatu balok dengan tiga kali pengukuran, diperoleh data
sebagai berikut:

▪ Pengukuran 1 : 3,5 cm
▪ Pengukuran 2 : 3,6 cm
▪ Pengukuran 3 : 3,4 cm
n Pn Pa |ðP| |ðP|2  SP SR Pa ± SP

1 3,5 0 0

2 3,6 3,5 0,1 0,01 0,0667 0,1 2,86% 3,5 ± 0,1

3 3,4 0,1 0,01

 10,5 0,2 0,02

Contoh Perhitungan:

▪ n : Banyaknya pengambilan data (3 kali)


▪ Pn : Harga terukur
▪ Pn : Rata – Rata Harga terukur

3,5 + 3,6 + 3,4


Pn = = 3,5
3

20
▪ P : deviasi yaitu selisih dari harga terukur dengan
rata – rata harga terukur,

P = 3,6 – 3,5 = 0,1

P
2
▪ : Deviasi kuadrat

P = 0,1 = 0,01
2 2

 P
2
0,02
▪  = = 3
= 0,006667
n

 P
2
0,02
▪ SP = = = 0,1
n −1 3 −1
SP 0,1
▪ SR = x 100% = x100% = 2,86%
Pn 3,5

3.3.2. Ralat Tidak Langsung (Perambatan Ralat)


Jika suatu besaran fisis tidak terukur secara langsung tetapi dihitung dari
unsur–unsurnya, misalkan volume kubus dihitung dari sisi–sisi yang diukur,
kecepatan dihitung dari jarak yang ditempuh dibagi dengan waktu tempuh dan
lain-lain.

Contoh :

Diketahui dimensi dari suatu balok adalah :

Panjang (P) = 3,5 cm

Lebar (l) = 3 cm

Tinggi (t) = 2 cm

Sehingga volume dari balok tersebut adalah :

V = Pl t
= 3.5  3  2
= 21 cm 3

21
V
▪ = l.t
P
= 2 x 3 = 6 cm2

V
▪ = P.t
l
= 3,5 x 2 = 7 cm2

V
▪ = l .P
t
= 3 x 3,5 = 10,5 cm2

 V   V   V
2 2 2

SV =   SP  +   Sl  +   St 
 P   l   t 
= (6  0.1)2 + (7  Sl )2 + (10.5  St )2
= xxx cm 3

V  SV = 21  xxx cm3

22

Anda mungkin juga menyukai