Diktat Perhitungan Praktikum Fisika Dasar 2020
Diktat Perhitungan Praktikum Fisika Dasar 2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
1.1. Besaran dan Satuan Standar Dasar .......................................................................... 5
1.2. Besaran dan Satuan Dasar Standar Turunan ............................................................ 6
BAB II ALAT UKUR......................................................................................................... 9
2.1. SIFAT-SIFAT ALAT UKUR .................................................................................. 9
2.2. METODE PENGUKURAN LINEAR ................................................................... 10
2.2.1. Alat ukur linier tak langsung........................................................................... 10
2.2.2. Alat ukur linier langsung ................................................................................ 11
2.3. TEORI PEMAKAIN ALAT UKUR ...................................................................... 11
2.3.1. Cara Membaca Nonius ..................................................................................... 2
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong ......................................................................... 3
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup .................................................................. 4
2.3.4. Neraca Teknis ................................................................................................... 5
2.3.5. Spherometer ...................................................................................................... 6
2.4. ALAT UKUR BESARAN LISTRIK....................................................................... 7
2.4.1. Multimeter/Avometer ....................................................................................... 7
2.4.2. Amperemeter AC dan Amperemeter DC ........................................................ 15
BAB III TEORI RALAT .................................................................................................. 16
3.1. PENGERTIAN ...................................................................................................... 16
3.2. MACAM RALAT.................................................................................................. 16
3.2.1. Ralat Sistematik ........................................................................................ 16
3.2.2. Ralat Kebetulan ........................................................................................ 16
3.2.3. Ralat Kekeliruan Tindakan ....................................................................... 17
3.3. PERHITUNGAN RALAT ..................................................................................... 17
3.3.1. Ralat Langsung (Ralat Pengamatan).............................................................. 18
3.3.2. Ralat Tidak Langsung (Perambatan Ralat) .................................................... 21
2
MANAJERIAL LABORATORIUM FISIKA TERAPAN FT UNTIRTA
TAHUN AKADEMIK
2019/2020
KEPALA LABORATORIUM
Dr. Irma Saraswati, S.Si., M.T.
LABORAN
Kurniawan Putra Yudha, S.Si.
ASISTEN LABORATORIUM
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pengukuran adalah proses perbandingan suatu besaran dengan besaran standar yang
sejenis. Secara umum pengukuran dapat digambarkan seperti dibawah ini,
4
1) Besaran dan satuan standar dasar
2) Besaran dan satuan standar turunan
Besaran dan satuan standar dasar adalah besaran dan satuan tunggal. Sedangkan
besaran dan satuan standar turunan adalah besaran dan satuan yang merupakan kombinasi
dari berbagai besaran dan satuan standar dasar (diturunkan dari standar dasar).
Ada tujuh besaran dan satuan standar dasar yang telah ditetapkan secara internasional
(International System of Units atau Le Systeme Internationale d’Unites). Dan ada banyak
besaran dan satuan standar turunan yang telah ditetapkan serta digunakan secara umum.
Tabel berikut menunjukkan beberapa besaran,
Faktor
Awalan Singkatan
Pengali
1012 tera T
109 giga G
106 mega M
103 kilo k
102 hector h
10 Deca d
10-2 centi c
10-3 milli m
10-6 micron μ
10-9 nano n
10-12 pico p
10-15 femto f
10-18 Atto a
5
Temperatur Kelvin [K]
Thermodinamik
Jumlah Zat mole [mole]
Intensitas Cahaya candella [cd]
Besaran Tambahan
Sudut Bidang radiant
Sudut Ruang steradiant
6
Satuan standar SI-units didefinisikan sebagai suatu besaran fisik dengan ukuran tertentu
yang memenuhi syarat-syarat besaran dan satuan standar yang telah disebutkan terdahulu.
Berikut adalah definisi ketujuh besaran standar dasar SI-units,
Catatan : untuk menentukan besaran 1A, terlebih dulu ditentukan besaran 1 ohm
dan 1 volt.
7
Pengukuran tahanan 1 (satu) ohm dilakukan melalui perhitungan induktansi
listrik dari suatu bahan dengan dimensi tertentu.
8
BAB II
ALAT UKUR
Dalam hal alat ukur, perlu diketahui beberapa sifat penting alat ukur yang
berpengaruh langsung pada hasil pengukuran. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kepekaan (Sensitifity)
Yaitu kemampuan alat ukur merasakan perubahan paling kecil dari objek
ukur. Kepekaan dipengaruhi oleh mekanisme transduser alat ukur dan pencatat.
Biasanya makin peka suatu alat ukur, makin sempit batas pengukurannya.
b. Ketepatan (Acuracy)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil pengukuran yang mendekati
nilai sebenarnya. Ketepatan dipengaruhi oleh kecermatan alat ukur. Nilai
sebenarnya tidak pernah dapat diketahui, tetapi yang dimaksud dalam hal ini
adalah nilai yang didapat melalui pengukuran dengan alat ukur standar dan
dengan pengukuran yang berulang.
c. Ketelitian (Precision)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil yang sama untuk
beberapa kali pengukuran yang dilakukan terhadap satu objek ukur.
e. Histerisis
Yaitu penyimpangan hasil pengukuran untuk beberapa titik pengukuran yang
dilakukan dari dua arah (dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah).
9
Yaitu perubahan hasil pengukuran pada pencatat, meskipun input tidak
berubah. Hal ini biasanya disebabkan kelainan fungsi komponen alat ukur
tersebut (pada sensor, transduser atau lainnya).
g. Pengambangan (Floating)
Yaitu penunjukkan hasil pengukuran yang berubah-ubah (tidak stabil) untuk
objek ukur yang tetap. Hal ini sering disebabkan oleh adanya perubahan input
yang kecil yang dirasakan oleh sensor, kemudian diperbesar oleh transduser.
i. Kepasifan (Passifity)
Yaitu kelambatan atau ketidakmampuan alat ukur bereaksi menanggapi
perubahan kecil yang dirasakan oleh sensor.
Alat ukur haruslah dijaga sedemikian sehingga dapat melakukan fungsinya sesuai
dengan kemampuan desainnya melalui pengoperasian dan penyimpanan yang baik, serta
pemeriksaan yang tepat. Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan berbagai hal
seperti yang dijelaskan diatas. Sehingga dapat dipakai menunjukkan ukuran yang baik
sesuai desainnya. Istilah pemeriksaan pada alat ukur sering disebut dengan kalibrasi.
10
▪ Kaliber induk tinggi (height master)
b) Alat ukur pembanding, yaitu;
▪ Jam ukur (dial indicator)
▪ Jam ukur tes/pupitas (dial test indicator)
▪ Pembanding (comparator)
11
2.3.1. Cara Membaca Nonius
Tujuan dari penggunaan nonius adalah agar hasil pengukuran yang dilakukan
menjadi lebih teliti. Banyak alat-alat yang menggunakan nonius, misalnya; jangka sorong,
mikrometer sekrup, spektrometer dan lainnya.
a). Contoh pembacaan panjang benda yang diukur dengan mistar (lihat gambar).
Angka 0,4 adalah berdasarkan perkiraan saja, sedang angka 0,2 adalah angka kesalahan
yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil pada alat pengukur (1 mm).
Carilah angka disebelah kiri yang paling dekat pada angka nol nonius. Angka ini
adalah angka utamanya (didepan koma). Kemudian carilah garis (angka) pada nonius yang
berimpit dengan garis pada skala utamanya. Angka ini adalah angka dibelakang koma.
Angka 0,50 adalah angka pada nonius yang berimpit dengan skala utama, angka 0,02
adalah angka kesalahan yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil (0,1 mm).
2
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong
Jangka sorong adalah alat ukur untuk mengukur besaran panjang. Di mana alat ukur
ini dipakai untuk pengukuran yang memerlukan ketelitian sampai dengan 0,1 mm.
3
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup
Salah satu jenis mikrometer yang sering dipakai adalah mikrometer sekrup yang
mempunyai ketelitian 0,01 mm.
a) Mikrometer sekrup terdiri dari bagian yang diam (rangka F), padanya terdapat alas A1 dan
skala utama B. Bagian yang bergerak yaitu sekrup (D) berskala C, silinder A2 dan sekrup
pemutar halus (E).
b) Skala C ikut berputar dengan sekrup D, skala C dibagi dalam 50 skala dan bila D berputar
satu putaran, maka C dan juga A2 akan maju/mundur sejauh 0,5 mm terhadap skala B. Jadi
satu bagian skala pada C adalah sama dengan 0,01 mm. Sedangkan pembagian skala pada B
adalah 1 mm dan 0,5 mm.
c) Untuk cara pengukurannya, benda diletakkan antara alas A1 dan A2, kemudian sekrup D
diputar sampai A1 dan A2 menyinggung benda. Jangan terlalu memutar sekrup K hingga
benda tertekan karena berakibat pada pengukuran yang salah.
d) Tebal benda (A1 - A2) adalah jumlah skala B ditambah skala C.
e) Contoh pembacaan skala (perhatikan gambar)!
Hasil pengukuran menunjukkan tebal benda adalah
sebesar (4,17 ± 0,002) mm.
4
pada skala B. Bila penunjukkan positif, maka pengukuran harus dikurangkan dan
sebaliknya jika negatif, pengukuran harus ditambahkan.
g) Perhatian!!!
▪ Memutar D tidak boleh terlalu keras, supaya benda yang diukur tidak rusak/berubah
bentuknya dan juga agar mikrometer sekrup tidah mudah rusak.
▪ Bila A1 - A2 sudah dekat dengan benda maka jangan memutar D lagi, melainkan
putarlah E sampai titik A2 tidak maju lagi.
a) Perhatikan batas maksimum dari setiap neraca teknis demikian pula batas minimunnya (C)
b) Sebelum menimbang periksalah kedudukan neraca apakah sudah berdiri tegak (dilihat dari
bandul D) dan perlu juga diperhatikan adalah praktikan tidak diperkenankan mengubah
skrup pengatur F.
c) pada umumnya jarum gandar B tidak dapat berhenti karena pengaruh dari luar (angin). Oleh
karena itu, dianjurkan untuk digunakan dalam ruangan tertutup.
5
d) Dalam melakukan penimbangan, peletakan anak timbangan adalah disebelah kanan dan
benda yang akan ditimbang diletakkan disebelah kiri (standar Laboratorium).
e) Waktu meletakkan atau mengambil anak timbangan hanya diperbolehkan bila ”Jarum
gandar B” berhenti berayun.
f) Anak timbangan sama sekali tidak boleh dipegang atau disentuh dengan tangan dianjurkan
untuk menggunakan alat penjepit.
g) Zat yang dapat merusak pinggan neraca (A) dilarang diletakkan dipinggan, tetapi harus
dibersihkan dulu.
h) Pada waktu melepas alat penahan (E) harus dijaga agar simpangan jarum tidak terlalu besar.
i) Penimbangan dianggap selesai bila jarum petunjuk telah tepat pada titik nol (Titik
setimbang).
2.3.5. Spherometer
Spherometer yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui seberapa panjang
elastisitas dari logam setelah diberi beban tertentu.
Gambar spherometer
Pada pelat yang tegak (penunjuk skala) terdapat skala dalam mm, sedangkan pada piringan
terdapat 50 garis skala. Apabila piringan diputar sebanyak satu putaran, maka piringan akan naik atau
turun sebesar 1 mm, yaitu dengan melihat kedudukan permukaan piringan pada skala tegak.
6
Gambar piringan spherometer
Pembacaan skala
1 mm
Jadi 1 garis skala pada piringan sebesar = = 0.02 mm .
50
Ini berarti bahwa ketelitian dari spherometer yang demikian adalah 0.02 mm
Kedudukan nol spherometer ditandai oleh nyala lampu indikator yang diperoleh dengan cara
menyentuhkan kedua ujung lampu indikator, yaitu pada batang logam dan pada papan penunjuk skala.
2.4.1. Multimeter/Avometer
Jenis :
• Multimeter analog
• Multimeter digital
7
Gambar bagian-bagian multitester
1. Papan skala
• Untuk skala tahanan terdapat pada ujung paling atas, membacanya dari kanan ke kiri,
dimana pada kedua ujungnya terdapat lambang Ω atau Omega.
• Untuk skala DCV, ACV, DcmA, DCA, ACA, hFE, tepat dibawahnya skala tahanan,
membacanya dari kiri kekanan.
2. Saklar Jangkah (selector)
Berfungsi sebagai penunjuk besaran apa yang hendak diukur, misalnya :
8
Untuk mengukur tegangan bolak balik maka jangkah ditaruh atau ditunjukkan dengan
cara memutarnya pada ACV, begitu pula untuk yang lainnya.
Range Multiplied
Range Multiplied
DCV 1000 x 100
Ω x 100k x 100k 4
ACV 750 x 100
x 1k x 1k
5 ACV 10 x1
x 100 x 100
1 6 C (µF) x1
x 10 x 10
7 DCV ± 25 x1
x1 x1
8 DCV ± 5 x1
DCV 250 x1
150 mA at x 1 x10
DCV 2.5 x 0.01
15 mA at x 10 x1
DCV 0.25 x 0.001
9 1.5 mA at x 100 x0.1
2 ACV 250 x1
150 µA at x 1k x10
DCA 0.25 x 0.001
1.5 µA at x 100k x0.1
DCA 25m x 0.1
10 LV x1
DCA 2.5m x 0.01
11 hFE x1
DCV 50 x1
ACV10 x1
3 ACV 50 x1
ACV50 14dB added
DCA 50 x1 12
ACV250 28dB added
DCV 0.1 x 0.01
4 ACV750 40dB added
DCV 10 x1
9
3. Pengatur nol/Adjust (penyesuai)
Berfungsi sebagai pengatur penepatan jarum skala mulai dari nol pada
pengukuran tahanan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang teliti.
4. Jarum Penunjuk
Berfungsi untuk menunjukan nilai yang terukur.
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi OHM. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya nilai resistor yang akan diukur misalnya
(R x 1), (R x 10), (R x 100), (R x 1K), (R x 1OK).
c) Kalibrasi alat ukur dengan menemukan kedua ujung kabel penyidik, jarum
harus menyimpang kekanan, dan menunjukan nilai nol. Jika tidak nol maka
putarlah pengatur nol/adjust sampai mendapatkan nilai nol, sehingga alat
ukur ini siap untuk nilai tahanan. Pengesetan nol ini harus diulangi jika saklar
jangkah dipindah pada posisi OHM yang lain.
d) Pada pengukuran tahanan polaritas kabel penyidik boleh terbalik (tidak akan
membawa dampak terhadap alat ukur)
e) Tahanan/alat yang diukur nilai resistansinya tidak boleh ada tegangannya
karena akan merusak sensitifitas dari alat ukur
f) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tahanan yang hendak diukur.
*). Bila jarum menunjukan skala nol atau tidak bisa dibaca, berarti nilai
resistansi yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah
pada posisi yang lebih rendah.
10
*). Begitu pula sebaliknya jika jarum menyimpang jauh kekiri, berarti
resistansi yang diukur terlalu besar, pindahkan saklar pada posisi
yang lebih tinggi.
Contoh :
R = 12 10
= 120
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCV. Pemilihan saklar jangkah
ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya (10, 50, 250,
1000 Volt).
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk menghindari
kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik tidak boleh terbalik
(akan membawa dampak terhadap alat ukur).
*) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang mempunyai
potensial positif dan kabel penyidik hitam (-) dihubungkan dengan titik
yang mempunyai potensial negatif dari alat yang akan diukur tegangannya.
11
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah pada
posisi yang lebih rendah.
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 250 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 125, maka
nilai resistansinya adalah :
2. 5
R = 125
250
= 1.25 Volt
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACV. Pemilihan saklar jangkah
ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya (0.1, 2.5, 10,
50, 250, 1000 Volt).
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk menghindari
kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik boleh terbalik (tidak
akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkar pada
posisi yang lebih rendah.
12
e) Cara menetukan besarnya nilai tegangan bolak balik gunakan Persamaan :
Posisi jangkah
V AC = penunjukan jarum
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 10, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 10 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 5, maka
nilai resistansinya adalah :
10
R = 5
10
= 5 Volt
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(50μA, 2.5mA, 25 mA, 250 mA ).
c) Jika tidak mengetahui arus yang hendak diukur maka gunakan skala yang
ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus searah polaritas kabel penyidik tidak boleh terbalik
(akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang mempunyai arus
positif dan kabel penyidik hitam (-) dihubungkan dengan titik yang
mempunyai arus negatif dari alat yang akan diukur tegangannya.
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti nilai
tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar jangkah
pada posisi yang lebih rendah.
13
Posisi jangkah
I DC = penunjukan jarum
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250 mA, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 250 mA, jarum penunjuk menunjukan angka 125,
maka nilai resistansinya adalah :
2 .5
R = 125
250
= 1.25 mA
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel penyidik
hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(0.1, 2.5, 10, 50, 250, 1000 Volt)
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala
yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus bolak balik polaritas kabel penyidik boleh terbalik
(tidak akan membawa dampak terhadap alat ukur).
e) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
*. Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti
nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar
jangkah pada posisi yang lebih rendah.
14
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 25 mA, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 10 mA, jarum penunjuk menunjukan angka 5 mA,
maka nilai resistansinya adalah :
10
R = 5
25
= 2 mA
Untuk pembacaan skala yang tidak linier dapat dipergunakan perumusan sebagai
berikut :
15
BAB III
TEORI RALAT
3.1. PENGERTIAN
Tujuan dari pengukuran adalah mengetahui nilai yang sesungguhnya dari suatu
besaran yang diukur. Hal ini tidak mungkin dapat dicapai dengan tepat. Nilai yang
diperoleh selalu berbeda dengan nilai yang sesungguhnya atau mempunyai selisih
meskipun selisihnya mungkin sangat kecil. Sehubungan dengan itu dikatakan bahwa
dalam pengukuran selalu timbul kesalahan atau ralat (error). Jadi usaha dalam
pengukuran adalah memperoleh nilai dengan kesalahan sekecil mungkin.
a. Alat
Kalibrasi alat salah, misalkan pembagian skala keliru, kondisi alat berubah
dan lain-lain.
b. Pengamat
Ketidakcermatan pengamat dalam membaca, misalkan membaca skala.
d. Metode Pengamatan
Ketidaktepatan pemilihan metode pengamatan akan mempengaruhi hasil
pengamatan.
16
pada pengamatan ini disebut dengan ralat kebetulan. Adapun faktor-faktor
penyebabnya adalah:
Misalkan penaksiran harga skala terkecil oleh pengamat akan berbeda dari
waktu ke waktu atau oleh satu orang dengan yang lain.
c). Gangguan
d). Definisi
Misalkan salah dalam membaca skala, salah pengaturan kondisi alat, salah
perhitungan (misalkan ayunan 10 kali dihitung 9 kali)
17
kecilnya. Apabila ralat kekeliruan tindakan dan ralat sistematik dapat dihindari maka
yang tinggi adalah ralat kkebetulan. Untuk memperkecil ralat ini harus dilakukan
pengukuran berulang, makin banyak pengukuran makin baik. Tetapi tidak semua
pengamatan dapat diulang, dalam hal ini praktikan hanya dapat melakukan pengamatan
sekali saja. Karena itu ralatnya adalah setengah skala terkecil (untuk hal ini hanya dapat
dilakukan bila keadaan benar-benar terpaksa).
Dalam perhitungan ralat yang ditimbulkan oleh ralat kebetulan ada dua hal yang
harus diperhitungkan, yaitu ralat hasil pengamatan langsung dan ralat perhitungan (ralat
rambatan).
x1, x2, …, xk = xi
k
1
x=
k
xi
i =1
x = xi - x
Dapat dibuktikan bahwa nilai rata-rata dari deviasi (persamaan diatas) adalah :
k
1
k
xi =1
i= 0
Karena
x
i =1
i= 0
18
Juga dapat dibuktikan bahwa jika yang diambil sebagai nilai terbaik adalah x dari
nilai-nilai terukur, maka jumlah dari deviasi-deviasi kuadratnya adalah minimum,
k
yaitu : x
i =1
i adalah minimum.
k
a= x
i =1
i
1
srms =
k
(xi ) 2
(x )
i =1
i
2
sx =
(k − 1)
(x )
i =1
i
2
sx =
k (k − 1)
A = (a/x) . 100%
S = (s/x) . 100%
19
Hasil pengukuran yang dikemukakan adalah :
x = x x
x s
100% = x 100%
x x
x = x sx
Contoh :
Menghitung panjang suatu balok dengan tiga kali pengukuran, diperoleh data
sebagai berikut:
▪ Pengukuran 1 : 3,5 cm
▪ Pengukuran 2 : 3,6 cm
▪ Pengukuran 3 : 3,4 cm
n Pn Pa |ðP| |ðP|2 SP SR Pa ± SP
1 3,5 0 0
Contoh Perhitungan:
20
▪ P : deviasi yaitu selisih dari harga terukur dengan
rata – rata harga terukur,
P
2
▪ : Deviasi kuadrat
P = 0,1 = 0,01
2 2
P
2
0,02
▪ = = 3
= 0,006667
n
P
2
0,02
▪ SP = = = 0,1
n −1 3 −1
SP 0,1
▪ SR = x 100% = x100% = 2,86%
Pn 3,5
Contoh :
Lebar (l) = 3 cm
Tinggi (t) = 2 cm
V = Pl t
= 3.5 3 2
= 21 cm 3
21
V
▪ = l.t
P
= 2 x 3 = 6 cm2
V
▪ = P.t
l
= 3,5 x 2 = 7 cm2
V
▪ = l .P
t
= 3 x 3,5 = 10,5 cm2
V V V
2 2 2
SV = SP + Sl + St
P l t
= (6 0.1)2 + (7 Sl )2 + (10.5 St )2
= xxx cm 3
V SV = 21 xxx cm3
22