Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah Sejarah Agraria kelas A

M. Wafiq Saiful Rijal Abrori

180110301046

Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember

Agraria Pra-Kemerdekaan

Secara historis, ketentuan hukum agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak berdiri dan
berkuasanya VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) hingga masa penjajahan Jepang. Pada
masa VOC terdapat sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang ujung-ujungnya menindas
rakyat Indonesia.

Kebijakan yang dimaksud, meliputi: pertama, contingenten, dengan ketentuan bahwa pajak
hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus
menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

Kedua, verplichte leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja
tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga
sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa
berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan. Dan, ketiga,
roerendiensten, yakni kebijakan mengenai kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia
yang tidak mempunyai tanah pertanian.

Setelah kekuasaan VOC berakhir terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah.
Hal ini terjadi karena tanah adanya kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda
melalui Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811). Kebijakan yang dikeluarkan oleh
Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun
bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah istilah tanah partikelir. Tanah partikelir merupakan
tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa yakni adanya hak-hak pada
pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.
Pemerintahan kemudian beralih ke Gubernur Thomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada
masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai
eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal
dengan kebijakan Landrent.

Kebijakan ini berangkat dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di daerah
swapraja di Jawa. Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja, sedangkan rakyat
hanya sekedar memakai dan menggarapnya.

Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya
adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris.
Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya,
melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada
Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.

Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes van
den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau
Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis
tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar
internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial
tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib
menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk
waktu satu tahun.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah
membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Disamping pada dasarnya para
penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna
dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang
dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-
tanah yang biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.

Kebijakan hukum di bidang agraria di zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai
sekarang pengaruhnya adalah diberlakukannya Agrarische Wet (AW). AW ini merupakan
undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di
Indonesia disinyalisasi sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang
bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda
yang karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah hutan di
Jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan
membuka usaha di bidang perkebunan besar. Terlihat jelas bahwa diberlakukannya AW
bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para
pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.

Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama, memperhatikan perusahaan swasta yang
bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka
waktu lama, sampai 75 tahun dan mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah
adat/rakyat. Kedua, memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah
rakyat asli dan memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische Eigendom).

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang


Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat
dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak
miliknya dengan menjadi agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit (AB). Ketentuan-ketentuan AW
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang
paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal
dengan nama Agrarische Besluit.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku
untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga
untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.

Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga
tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan
tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka
tanah-tanah di Hindia Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu
tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera; 2) tanah negara tidak bebas, yaitu
tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak
barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk keperluan pembuktian
pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak
eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat,
sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW,
maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara
(domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda,
meliputi: a) tanah-tanah daerah swapraja; b) tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c)
tanah-tanah partikulir; dan d) tanah-tanah eigendom agraria.

Selain AW, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas
konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang
angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang
dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan Tanah hak gebruis.

Disamping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia,
seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula tanah-tanah
dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agrarische eigendom, landerijn
bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-
tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda dan swapraja
tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah
hak adat.

Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie Staad 1834-1827 dan dipetakan oleh Kantor
Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum
tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang
haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur
menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.

Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum
adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak milik adat, merupakan
sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di
daerah-daerah swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.

Selanjutnya, pada masa Penjajahan Jepang, kebijaksanaan pemanfaatan tanah dan penguasaan
tanah tidak tertib akibat kekacauaan di bidang pemerintahan. Selain itu, tujuan utama dari
kebijakan di bidang agraria adalah untuk menunjang kepentingan Jepang.

Pada masa itu juga mulai terjadi akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan
liar dan usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda serta terjadi kerusakan fisik
tanah karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan Jepang ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah
bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis
formal bukan sebagai pembuktian hak.

Agraria Masa Kemerdekaan dan Orde Baru

SEJAK awal kemerdekaan, pemerintah berupaya merumuskan UU agraria baru untuk mengganti
UU agraria kolonial. Pada 1948 pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, gejolak
politik membuat upaya itu selalu kandas. Panitia agraria pun turut berganti-ganti: Panitia
Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo
1960.

Setelah Peristiwa Tanjung Morawa, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No 8 tahun 1954


tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Pendudukan lahan tak lagi
dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui
pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa.

Pada 1957, karena Belanda terus mengulur penyelesaian Irian Barat, Indonesia secara sepihak
membatalkan perjanjian KMB. Hal ini kemudian diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-
perkebunan asing.

Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah


partikelir. Tanah partikelir merupakan tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual
kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni
berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan
memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan
pungutan-pungutan. Dengan UU tersebut hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara.

Upaya transfer tanah dari elite ke rakyat sebagai konsekuensi dari penghapusan tanah-tanah
partikelir, dan sebelumnya penghapusan desa perdikan, dilakukan dengan ganti rugi,
sebagaimana ganti rugi yang diberikan pada upaya nasionalisasi perkebunan-perkebunan milik
orang Eropa pada 1958. Artinya, reforma agraria dipandu oleh negara dengan skenario ganti-
rugi untuk meminimalisasi konflik.

Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerjasama
Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada membuahkan
rancangan UU agraria. Melalui perdebatan politis dan kompromi, RUU itu disetujui DPR-GR
pada 24 September 1960 sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria
menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum
agraria kolonial. Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat.

UUPA meletakkan landasan hukum berkenaan dengan distribusi penggunaan tanah yang
dianggap monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur pembatasan
penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas
tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal
ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian dijadikan Hari Tani –rezim Soeharto
menggantinya sebagai Hari Ulang Tahun UUPA, menganggapnya hanya sebagai peristiwa di
masa lalu.

Dengan landasan UUPA, dimulailah program reforma agraria. Pelaksanaan program ini ditandai
dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961,
untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.
Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan yang
selanjutnya dibagikan kepada petani tak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).

Tapi pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat. Alasan umum adalah administrasi yang
buruk, korupsi, serta oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena
pelaksanaan landreform yang lamban, PKI dan BTI mengorganisir program-program gerakan
petani untuk melaksanakan UUPA atau sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan provokatif
atau hambatan dari tuan tanah atau pemilik perkebunan. Terjadilah apa yang dikenal dengan
aksi sepihak.

Salah satu sengketa agraria yang mencuat pada masa itu adalah Peristiwa Jengkol, terjadi di
Jember dan Kediri pada November 1961. Para petani, dengan dukungan BTI, protes dan
menolak pengosongan tanah yang dilakukan Perusahaan Perkebunan Negara-Baru. Para petani
diusir dengan cara mentraktor tanah itu. 38 orang tewas. Aksi sepihak menjadi isu yang
didiskusikan di tingkat nasional. Ia juga jadi bahan perdebatan sengit antara Njoto dari Harian
Rakjat dan BM Diah dari Harian Merdeka. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah UU
No 21 tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform untuk memberi sanksi mereka yang menolak
untuk bekerjasama dalam pelaksanaan UUPBH.

Pemerintahan Soeharto menjungkirbalikkan proses reforma agraria dan mencap segala


kegiatan yang berkaitan dengan UUPA sebagai hantu komunis. Pada 1967 lahir UU Penanaman
Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA.
Jiwa UU Agraria kolonial 1870 seolah menjelma kembali pada periode ini yang kemudian
menimbulkan banyak konflik agraria sehingga semakin memperkelam sejarah agraria di
Indonesia.
Ideologi Orde Baru adalah pembangunan, tanah kemudian dipersepsikan sebagai kepentingan
umum dalam kerangka pembangunan. Saat itulah terjadi banyak gejolak perampasan tanah.
Kasus Tapos pada 1971, misalnya, di mana PT Rejo Sari Bumi (RSB) yang sebagian besar
sahamnya dimiliki anak-anak Soeharto merampas lahan petani Desa Cibedug dan desa lain di
sekitarnya untuk mewujudkan obsesi Soeharto memiliki ranch.

Orde Baru dengan mudah merampas tanah-tanah rakyat, dengan ganti rugi maupun tidak.
Penguasa mendasarkan kepada hukum positif, sedangkan rakyat pada hukum adat atau
keterangan pengelolaan tanah sementara. Ini merupakan buah dari kelemahan pemerintah
yang tidak melakukan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Bagi
penduduk, girik atau letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal ketentuannya hanya
diberikan hak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke
Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat. Karena itulah waktu Orde Baru banyak
tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C.

UUPA sendiri, sejak 1965 hingga sekarang, “dipeti-eskan”. Berbagai kebijakan negara yang lahir
kemudian bertentangan dengannya, sehingga konflik agraria semakin mencuat. Data konflik
agraria yang diungkap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 1970-2001 tercatat 1.753
kasus, yang mencakup luas tanah 10.892.203 hektar dan mengakibatkan setidaknya 1.189.482
keluarga menjadi korban. Pergantian rezim ke era reformasi tak mengurangi konflik agraria
yang menimbulkan korban jiwa di pihak petani.

Saat ini, muncul wacana untuk merevisi UUPA dengan anggapan UUPA sebagai sumber konflik.
Padahal, persoalannya, justru konflik timbul karena UUPA tak pernah dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai