Anda di halaman 1dari 24

APPENDISITIS PERFORASI

Disusun oleh:
dr. Saddam Hussein Damanik
1607601010005

Pembimbing:

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


SYIAH KUALA RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan tugas ilmiah yang berjudul “Appendisitis
Perforasi”. Shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW, atas
semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Penyusunan tugas ilmiah ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
studi di Universitas Syiah Kuala. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis
sampaikan kepada pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan tugas ilmiah
ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tugas ilmiah ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya.

Banda Aceh, Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BABI PENDAHULUAN........................................................................................6
1.1 Latar Belakang...........................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
2.1 Embrio dan Anatomi..................................................................................7
2.2 fisiologi…………………………………………………………………..8
2.3 etiologi…………………………………………………………………...8
2.4 patofisiologi……………………………………………………………...9
2.5 Spektrum Penyakit...................................................................................10
2.6 Gambaran klinis.......................................................................................10
2.7 Diagnosis.................................................................................................13
2.8 Diagnosis Banding...................................................................................17
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................19
2.10 Komplikasi..............................................................................................23
BAB III KESIMPULAN......................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Apendisitis masih menjadi kasus akut abdomen tersering dan kerap terjadi
misdiagnosis. Banyak aspek dari terapi yang masih kontroversi, memberikan minat yang
bertahan dan produktif terhadap literatur bedah anak. Variasi geografis pada insiden
apendisitis berbeda tiap daerahnya. Di Amerika Serikat, lebih dari 70.000 anak
didiagnosa dengan apendisitis setiap tahunnya, atau hampir 1 dari 1000 anak per tahun.
Terhitung sekitar 254.000 hari rawatan dan 680 juta dolar terbayarkan pada tahun 1997.
Apendisitis lebih jarang terjadi pada negara ketiga. Lebih dari beberapa dekade terakhir,
insiden seluruh dunia menurun.1

Istilah medis pertama yang mirip dengan apendisitis muncul sekitar 500 tahun
yang lalu. Perityphilitis sering digunakan untuk menggambarkan proses patologis. Sekum
dipercaya menjadi sumber dari penyakit ini sampai Melier mengemukakan inflamasi dari
apendiks menjadi penyebab dari penyakit ini pada 1827. Pada 1886, Fitz dengan yakin
mendemonstrasikan bahwa perityphilitis diawali dengan inflamasi apendiks, sehingga
terciptalah istilah apendisitis.1

Apendiktomi yang berhasil pertama kali dilakukan oleh Amyand, dengan


mendrainase abses skrotum dan membuang apendiks yang mengalami perforasi melalui
insisi skrotum pada 1735. Morton diketahui melakukan apendiktomi terhadap apendiks
perforasi di Amerika Serikat tahun 1887. Pada 1889, McBurney melaporkan tindakan
apendiktomi terhadap kasus apendisitis tanpa ruptur, digambarkan dengan “lokasi dengan
nyeri paling hebat…terjadi tepat diantara 1,5-2 inci dari prosesus spinous anterior dari
ilium, ditarik garis lurus hingga ke prosesus umbilikus”. Dari sinilah lokasi McBurney
dikenal. Tindakan bedah modern dan terapi antibiotik dibuat untuk penyakit yang
dulunya jarang fatal hingga sekarang. Bagaimanapun, apendisitis saat ini merupakan
sumber morbiditas yang berkelanjutan pada anak hingga remaja.1,2

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi dan Anatomi

Selama embriogenesis, apendiks pertama kali terdeteksi pada usia kehamilan


lebih dari delapan minggu, sebagai lanjutan jaringan diujung inferior sekum. Apendiks
berotasi hingga posisi akhirnya di posteromedial dari sekum, sekitar 2 cm dibawah katup
ileosekal, pada masa kanak-kanak akhir. Variasi dari rotasi ini menyebabkan banyaknya
posisi akhir dari apendiks. Apendiks intraperitonial meliputi 95% kasus, tapi lokasi
tepatnya memiliki banyak variasi. Pada 30% kasus, ujuung dari apendiks terletak di
pelvis, 65% berada di belakang sekum, dan 5% berada tepat di ekstraperitonial pada
posisi retrokolik atau retrosekal. Pada kasus malrotasi atau situs inversus, malposisi
apendiks mungkin memberikan tanda inflamasi pada lokasi yang berbeda dengan
biasanya. 1,2

Rata-rata apendiks memiliki panjang 8 cm dengan variasi 0,3 sampai 33 cm.


diameter apendiks bervariasi 5 hingga 10 cm. suplai perdarahan yaitu dari arteri
ileocolica cabang apendikal, yang lewat dari belakang ileum terminal. Dasar dari
apendiks muncul pada pertautan antara tiga taenia coli, sebuah pertanda yang bermanfaat
dalam menentukan lokasi apendiks yang sukar dideteksi. Epitel colonic, lapisan otot
sirkular dan longitudinal berdekatan dengan lapisan sekal. Beberapa folikel limfe
submukosal muncul saat lahir. Terjadi peningkatan sekitar 200 pada usia 12 tahun dan
menurun secara mendadak setelah usia 30 tahun, dan hanya tersisa sedikit setelah usia 60
tahun.2

Perkembangan sekum tertekan akibat dari hipoplasia atau agenesis apendikular.


Insidens duplikasi apendiks telah dilaporkan pada 4 dari 100.000. Duplikasi apendiks
dapat terjadi secara parsial (bifid apendiks) atau penuh, dan mereka dapat terpisah atau
orifisium comunis pada sekum, yang mana juga dapat terduplikasi. Fungsi dari apendiks
masih belum diketahui. Primata memiliki sebuah apendiks, namun tidak pada
kebanyakan mamalia. Menariknya, kelinci memiliki sebuah apendiks, dan ini dipercaya
menjadi lokasi penting terhadap berkembangnya sel β.3

7
2.2 Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke lumen dan selanjtnya mengalir menuju sekum. Adanya hambatan pada
aliran lendir di muara apendiks dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya apendisitis.
Di sepanjang saluran cerna terdapat imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associates Lymphoid Tissue) yakni IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun apabila seseorang menjalani prosedur apendektomi,
maka tidak akan mempengaruhi imun tubuh, sebab jumlah jaringan limf di area ini sangat
kecil dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh2.

2.3 Etiologi

Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya apendisitis. Berbagai hal berperan


sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan
cacing askaris terdapat pula menyebabkan sumbatan. Selain hal tersebut, penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti Entamoeba histolyca5.

Berdasarkan studi epidemiologi, kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh


konstipasi sangat berperan terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi meningkatkan
tekanan intrasekal yang dapat berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Hal ini akan mempermudah
apendisitis akut

8
2.4 Patofisiologi Apendisitis perforasi

Patofisiologi dari apendisitis dimulai dari terinflamasi dan mengalami edema


sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan diseabkan oleh fekalit (massa keras
dari feses), tumor, atau beda asing. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminal, sehingga menimbulkan nyeri abdomen dan menyebar secara hebat
dan progresif dalam beberapa jam terlokalisasi di kuadran kanan bawah abdomen. Hal
tersebut menyebabkan apendik yang terinflamasi tersebut berisi pus5.

Apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Obstruksi lumen


apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid
submukosa. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami penyerapan air
dan terbentuklah fekolit yang akhirnya menjadi penyebab sumbatan tersebut.sumbatan
lumen tersebut menyebabkan keluhan sakit disekitar umbilikus dan epigastrium, mual
dan muntah. Proses selanjutnya adalah invasi kuman Entamoeba Coli dan spesies
bakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularis dan akhirnya
ke peritoneum parietalis kemudian terjadilah peritonitis lokal kanan bawah, hal ini
menyebabkan suhu tubuh mulai naik. Gangren dinding apendiks disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah dinding apendiks akibat distensi lumen apendiks. Bila tekanan intra
lumen meningkat maka akan terjadi perforasi yang ditandai dengan kenaikan suhu tubuh
dan menetap tinggi. Tahapan peradangan apendisitis dimulai dari apendisitis akuta yakni
sederhana tanpa perforasi, kemudian menuju apendisitis akuta perforata yani apendisitis
gangrenosa5,6

9
2.5 Spektrum Penyakit

Variasi geografis dalam kejadian apendisitis tersebar luas. Apendisitis lebih jarang
terjadi di negara berkembang. Selama beberapa dekade terakhir, insidensi diseluruh dunia
terus menurun. Di Amerika Serikat lebih dari 70.000 anak didiagnosis dengan apendisitis
setiap tahun, atau sekitar 1 per 1000 anak per tahun. Risiko seumur hidup untuk apendisitis
adalah 9% untuk pria dan 7% untuk wanita. Sekitar sepertiga pasien apendisitis berusia
kurang dari 18 tahun. Apendisitis lebih sering terjadi pada orang kulit putih dan selama
musim panas. Insiden puncak terjadi antara usia 11 dan 12 tahun. Meskipun kelainan ini
jarang terjadi pada bayi, apendisitis perforasi dapat terjadi bahkan pada bayi prematur.
Perforasi mungkin juga merupakan hasil akhir dari proses penyakit lain, seperti yang terlihat
pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung. Meskipun diagnosis dan pengobatan telah
membaik, apendisitis terus menyebabkan morbiditas yang signifikan dan masih tetap,
meskipun jarang, menjadi penyebab kematian.3,4

2.6 Gambaran Klinis


Pengajaran tradisional bahwa apendisitis berkembang sebagai lanjutan dari inflamasi
sederhana hingga menjadi perforasi, secara khas terjadi antara 24 hinga 36 jam dari terjadinya
gejala dengan pembentukan abses selanjutnya terjadi setelah periode 2 hingga 3 hari. Namun
variabilitas dari gambaran klinis dari apendisitis berujung pada tindakan laparotomi tanpa
menemukan apendiks yang inflamasi. Pengalaman klinis dan metode imaging telah
meningkatkan akurasi diagnosis, namun tetap tidak mudah. Gambaran klinis dari apendisitis
dapat dimengerti dengan patofisiologinya.5

Apendisitis merupakan hasil dari obstrusi lumen diikuti dengan infeksi. Proses ini
pertama kali dideskripsikan oleh van Zwalenberg pada 1905 dan dikonfirmasi secara
ekspremintal oleh Wangesteen pada 1939. Wangesteen menunjukkan bahwa apendiks
manusia secara kontinyu mensekresi mukus meski tekanan intralumen lebih dari 93 mmHg.
Meskipun jelas obstruksi lumen merupakan penyebab apendisitis, penyebab obstruksi itu
sendiri masih belum jelas. Biasanya terjadi pengentalan dan kalsifikasi dari bahan feses, yang
dikenal dengan fekalit, sering memiliki peran penting. Fekalit dapat ditemui saat pembedahan
sekitar 20% anak dengan apendisitis akut, dan dilaporkan pada 30% hingga 40% anak dengan
apendisitis perforasi. Gambaran fekalit sering tampak secara radiografis. Hiperplasia dari

10
folikel limfoid apendiks sering menyebabkan obstruksi lumen, dan insidensi apendisit
berkaitan dengan jumlah jaringan limfoid yang ada. Penyebab reaksi lokal atau umum dari
jaringan limfatik, seperti Yersinia, Salmonella, dan Shigella, dapat menyebabkan obstruksi
lumen apendiks, sebagaimana yang dapat pula disebabkan oleh infestasi parasit Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau spesies Ascaris. Infeksi virus
enterik dan sistemik, seperti campak, measles, chickenpox, dan cytomegalovirus, juga dapat
menyebabkan apendisitis. Pasien dengan fibrosis kistik lebih sering mengalami insidensi
apendisitis, dengan presumsi hasil dari pengingkatan kelenjar penghasil mukus. Tumor
karsinoid dapat menyumbat apendiks, terutama ketika ia berada pada proximal ke 3. Benda
asing, seperti pin, biji-bijian, dan biji buah ceri, telah diimplikasikan sebagai penyebab
apendisitis lebih dari 200 tahun. Penyebab lainnya yang telah dikemukakan yaitu trauma,
stres psikologis dan turunan.5,6

Pada awalnya pasien dapat mengalami gejala gastrointestinal ringan sebelum nyeri
dirasakan, seperti penurunan nafsu makan, gangguan pencernaan, atau perubahan kebiasaan
buang air besar. Kurangnya nafsu makan merupakan gejala yang membantu, terutama pada
anak-anak, karena anak dengan nafsu makan baik jarang mengalami apendisitis.
Bagaimanapun, gejala gastrointestinal lain yang dialami sebelum terjadinya nyeri, dapat
menjadi alternatf diagnosis. Distensi dari apendiks sebagai hasil dari nyeri viseral yang
dialami. Jenis nyeri viseral awal ini tidak spesifik dan berasal dari regio periumbilikus. Nyeri
awal ini sulit dilokalisasi, dirasakan sebagai nyeri yang dalam dan tumpul pada dermatom
T10. Distensi yang berkelanjutan pada dinding apendiks digambarkan dengan gejala mual
dan muntah, yang kemudian diikuti dengan nyeri dalam beberapa jam. Mual sering terjadi,
namun muntah yang dialami jarang dalam keadaan yang berat. Gambaran klinis sebelum
terjadinya nyeri menyebabkan ragu dalam diagnosis.6

Apendiks yang mengalami obstruksi dapat menjadi lokasi yang sempurna sebagai
bakteri yang terkunci. Sebagaimana tekanan intralumen meningkat, aliran lifatik menjadi
terhambat, menyebabkan edema dan pembengkakan. Pada akhirnya, peningkatan tekanan
menyebabkan terjadinya obstruksi vena, yang memicu terjadinya iskemia jaringan, infark,
dan gangren. Kemudian terjadi invasi bakteri pada dinding apendiks. Demam, takikardi, dan
leukositosis berkembang akibat hasil dari mediator dari jaringan iskemik, sel darah putih, dan
bakteri. Ketika eksudat inflamasi dari dinding apendiks mengenai peritonium parietal, nyeri
somatik terpicu dan nyeri dirasakan pada lokasi disekitar apendiks, yang dikenal dengan
McBurney point. Nyeri dapat terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawal nyeri viseral.

11
Dengan kondisi apendiks yang berada di retrosekal atau pelvis, onset nyeri somatik ini sering
kali terlambat karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritonium parietal sampai terjadinya
ruptur dan penyebaran infeksi. Nyeri pada apendiks retrosekal dapat dialami di regio flank
atau punggung. Apendiks pada pelvis berada dekat dengan pembuluh darah ureter atau testis
dapat meningkatkan frekuensi berkemih, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi dari
ureter atau buli oleh apendiks yang mengalami inflamasi juga dapat memicu terjadinya nyeri
saat berkemih atau nyeri akibat buli yang mengalami distensi akibat dari retensi urin
sekunder.5,6

Kerusakan lebih lanjut pada dinding apendiks memicu terjadinya perforasi dengan
tumpahanya kandungan infeksi intralumen dengan pembentukan abses terlokalisasi atau
peritonitis generalisata. Proses ini tergantung terhadap cepatnya progresi dari perorasi dan
pada kemmapuan pasien untuk meningkatkan respon dan tumpahan kandungan dari apendiks.
Tanda dari apendisiti perforasi termasuk peningkatan suhu lebih dari 38.6 C (101.5 F), jumlah
leukosit lebih dari 14.000/mm3, disertai gejala peritonitis generalisata. Laporan lainnya
mengenai faktori risiko meliputi jenis kelamin laki-laki, usia ekstrim, dan beberapa faktor
anatomi seperti posisi apendiks retrosekal. Bagaiamanpun, baik apendisitis perforasi ataupun
tidak dapat mengalami entitas yang terpisah sepenuhnya. Resolusi spontan pada kasus
apendisitis dapat terjadi. Pasien dapat mengalami periode asimptomatik sebelum terjadinya
perforasi, dan gejala dapat bertahan lebih dari 48 jam tanpa perforasi. Umumya, semakin
lama durasi gejala maka berkaitan dengan risiko terjadinya perforasi. konstipasi tidak sering
dialami, namun sensasi penuh pada rektum atau tenesmus sering dikeluhkan. Diare terjadi
lebih sering pada anak-anak dibanding dewasa dan dapat menyebabkan misdiagnosis dengan
gastroenteritis. Diare umumnya terjadi dalam durasi singkat dan sering diakibatkan oleh
iritasi ileum terminal atau sekum. Bagaimanapun, ini dapat mengindikaskan abses pelvis.6

Anak yang lebih muda umumnya memiliki gambaran apendisitis komplikasi akibat
ketidak mampuan mereka untuk memberi tahu riwayat penyakit, dan menurunkan kecurigaan
dokter yang dapat memicu terjadinya misdiagnosis. Gejala yang sering dikeluhkan oleh anak
usia pra sekolah yaitu muntah, diikuti dengan demam dan nyeri perut. 5 Perforasi selalu
menjadi temuan saat laparotomi, dan pasien mungkin terkait dengan obstruksi usus halus
sekunder terhadap inflamasi yang meluas dari ileum terminal dan sekum.6

12
2.7 DIAGNOSIS

2.7.1 Pemeriksaan Fisik


Sebagaimana proses penyakit yang sering terjadi, banyak hal yang dapat dipelajari
sebelum pasien diperiksa. Anak dengan apendisitis biasanya berbaring di bed dengan gerakan
yang minimal. Anak dengan gerakan aktif dan berteriak jarang mengalami apendisitis.
Namun pengecualian pada anak dengan apendisitis retrosekal dan iritasi berkelanjutan ke
arah ureter memiliki gejala yang mirip dengan kolik renal. Anak yang lebih tua memiliki
gambaran klinis yang lebih lemah dan melenturkan tubuhnya, sedangkan bayi dapat
melenturkan kaki kanan di atas perut. Mengingat nyeri lokal yang ditimbulkan oleh gundukan
di jalan dalam perjalanan ke rumah sakit sangat membantu.7

Setelah mendapatkan riwayat klinis, saya biasanya mulai dengan meminta anak untuk
menunjuk dengan satu jari ke lokasi sakit perut. Dengan lutut ditekuk untuk mengendurkan
otot perut, palpasi lembut pada perut harus dimulai pada titik yang jauh dari lokasi nyeri yang
dirasakan. Palpasi abdomen di area yang jauh dari lokasi nyeri dapat menimbulkan nyeri
tekan pada kuadran kanan bawah (tanda Rovsing dari nyeri alih), yang menunjukkan adanya
iritasi peritoneum. Anak-anak yang lebih kecil mungkin lebih kooperatif jika tangan mereka
atau stetoskop digunakan untuk palpasi. Stetoskop dapat memiliki beberapa peran dalam
evaluasi pasien yang berpotensi menderita apendisitis, yang paling tidak penting adalah
auskultasi. Meskipun pasien sering mengalami penurunan bising usus atau bahkan
menghilang, hal ini tidak seragam dan auskultasi abdomen hanya sedikit manfaatnya. Namun,
auskultasi dada untuk memeriksa infeksi saluran pernapasan bawah berguna, karena
pneumonia lobus bawah kanan dapat menyerupai apendisitis. Hiperestesia kulit, sensasi yang
berasal dari akar saraf T10 ke L1, seringkali merupakan tanda awal apendisitis yang tidak
konsisten. Sedikit menyentuh pasien dengan stetoskop menciptakan sensasi tidak nyaman.7

Nyeri tekan lokal sangat penting untuk diagnosis dan dicatat baik pada palpasi atau
perkusi. Kelembutan bisa ringan dan bahkan tertutupi oleh nyeri perut yang lebih umum,
terutama selama tahap awal. Titik McBurney adalah lokasi yang paling umum. Apendiks
retrosekal dapat dideteksi dengan nyeri tekan di pertengahan antara kosta ke-12 dan spina
iliaka posterior superior. Apendisitis pada regio pelvis menghasilkan nyeri rektum. Seorang
anak dengan malrotasi akan mengalami nyeri tekan lokal yang berhubungan dengan posisi
drainase eksudatif dari apendiks yang meradang. Seiring berkembangnya penyakit menjadi

13
perforasi, peritonitis terjadi kemudian. Sekali lagi, pola nyeri bergantung pada lokasi
apendiks. Perforasi dapat menyebabkan pengurangan gejala sementara karena nyeri pada
berkurangnya distensi viskus. Awalnya, peritonitis direfleksikan sebagai kekakuan otot lokal.
Ini berkembang kekakuan involunter sederhana menjadi kekakuan umum perut. Tanda-tanda
lain termasuk kekakuan otot psoas (ditunjukkan dengan ekstensi pinggul kanan atau
mengangkat kaki lurus melawan resistensi) atau otot obturator (ditunjukkan oleh rotasi
internal pasif paha kanan), yang keduanya menunjukkan iritasi otot-otot ini karena apendisitis
retrosekal. Tes inflamasi peritoneum lainnya, seperti nyeri tekan rebound, jarang diperlukan
untuk diagnosis dan menyebabkan ketidaknyamanan yang dapat dihindari.8

Penggunaan pemeriksaan rektal secara rutin dalam mendiagnosis apendisitis telah


dipertanyakan. Nyeri selama pemeriksaan ini tidak spesifik untuk apendisitis. Jika tanda lain
menunjukkan apendisitis, pemeriksaan dubur tidak diperlukan. Namun, ini mungkin
merupakan manuver diagnostik yang membantu dalam kasus-kasus yang meragukan, seperti
ketika dicurigai adanya apendiks pelvis atau abses atau ketika kondisi patologis uterus atau
adneksa sedang dipertimbangkan. Jika apendisitis dibiarkan berkembang, baik peritonitis
difus dan syok akan terjadi atau infeksi akan menjadi terisolasi dan abses akan terbentuk.
Peritonitis difus lebih sering terjadi pada bayi, mungkin karena tidak adanya lemak omentum.
Anak-anak yang lebih besar dan remaja lebih mungkin untuk memiliki abses terorganisir.
Pemeriksaan fisik pada kasus abses yang terorganisir menunjukkan massa yang lunak di atas
abses.8

Aspek evaluasi penting namun sering tidak dilaporkan adalah pemeriksaan serial yang
dilakukan oleh orang yang sama. Keamanan dan kemanjuran pengamatan serial pertama kali
dilaporkan oleh White dan rekan pada tahun 1975 dan sejak itu telah diperkuat oleh
penelitian lain. Surana dkk melaporkan studi prospektif yang menunjukkan tidak ada
peningkatan morbiditas dengan apendiktomi setelah observasi aktif di rumah sakit
dibandingkan dengan apendiktomi mendesak. Ketika diagnosis tidak jelas, pemeriksaan
abdomen serial memungkinkan dokter untuk mengurangi jumlah laparotomi yang tidak perlu
tanpa meningkatkan risiko pada pasien.8

2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium


Banyak yang telah dibahas mengenai temuan laboratorium apendisitis. Jumlah
leukosit dan hitung neutrofil telah diselidiki secara ekstensif. Sensitivitas jumlah leukosit

14
yang meningkat berkisar dari 52% menjadi 96% dan jumlah neutrofil yang bergeser ke kiri
dari 39% hingga 96%. Yang terakhir ini memiliki nilai diagnostik yang lebih baik, tetapi
salah dalam interpretasi nilai masih sangat umum. Jumlah leukosit normal terjadi pada 5%
pasien dengan apendisitis. Spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar telah dilaporkan
menggunakan rasio neutrofil-limfosit yang lebih besar.6,7

Nilai positif untuk protein C-reaktif dan laju sedimentasi eritrosit sangat berguna.
tetapi nilai negatif tidak selalu mengesampingkan kelainan tersebut, sehingga membuat
pengukuran nilai-nilai ini memiliki nilai klinis yang terbatas. Kombinasi dari semua tes ini
mungkin yang paling membantu. Ducholm menemukan bahwa jumlah leukosit total yang
normal, persentase neutrofil, dan tingkat protein C-reaktif secara tepat menyingkirkan
apendisitis dengan akurasi 100%. Namun, nilai abnormal belum tentu diagnostik gangguan
tersebut. Pada sebagian besar anak dengan suspek apendisitis, kombinasi dari riwayat klinis,
temuan fisik, dan pemeriksaan laboratorium harus menyediakan data yang cukup untuk
membuat diagnosis. Namun demikian, kesalahan diagnosis yang mengarah ke apendisitis
negatif mulai dari 10% hingga 30% telah dilaporkan.7,8

Skor apendisitis berdasarkan pada penimbangan delapan faktor klinis (nyeri tekan
kuadran kanan bawah yang terlokalisasi, leukositosis, migrasi nyeri, pergeseran ke kiri,
demam, mual/muntah, anoreksia, iritasi peritoneal) diusulkan untuk meningkatkan akurasi
diagnostik. Pada evaluasi prospektif anak-anak dengan nyeri perut abdomen, sensitivitas
sistem penilaian berkisar antara 76% hingga 100%, dan spesifisitasnya berkisar dari 79%
hingga 87%. Dalam kasus di mana diagnosisnya tidak jelas, observasi serial diperlukan
diikuti oleh pemeriksaan Radiologi mungkin berguna.7,8

2.7.3 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiografi dan radiofarmasi memiliki keberhasilan yang bervariasi dalam
meningkatkan akurasi diagnostik. Radiografi polos dapat membantu. Fekalit terdapat pada
10% hingga 20% pasien dan merupakan indikasi untuk operasi bahkan ketika gejalanya
ringan. Pola gas abnormal di kuadran kanan bawah, skoliosis lumbal menjauhi kuadran kanan
bawah, dan hilangnya bayangan psoas atau garis lemak di sebelah kanan juga membantu.
Radiografi dada untuk menyingkirkan pneumonia dapat diindikasikan.9

Radiografi kontras barium enema dapat menunjukkan tidak ada atau tidak lengkapnya
pengisian apendiks, ketidakteraturan lumen apendiks, dan massa ekstrinsik mempengaruhi

15
sekum atau ileum terminal. Sensitivitas dan spesifisitas teknik ini rendah, dan ini yang terbaik
digunakan dalam diagnosis nyeri perut nonspesifik. Pemindaian leukosit bertanda telah
digunakan dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 92%, tetapi membutuhkan waktu 3 hingga
5 jam untuk melakukannya. Sebuah penelitian terbatas pada populasi anak menunjukkan
bahwa skintigrafi leukosit technetium-99m hexamethylpropylene amine oxime tidak akurat
atau dapat diandalkan sebagai alat diagnostik pada anak-anak dengan presentasi klinis awal
yang menunjukkan apendisitis. Dengan operator yang terampil, ultrasonografi telah terbukti
menjadi alat bantu diagnostik yang efektif. Sebuah studi prospektif menunjukkan bahwa
ultrasonografi lebih akurat daripada yang dilakukan oleh ahli bedah kesan klinis awal.
Sebagian besar penelitian menunjukkan sensitivitas lebih besar dari 85% dan spesifisitas
lebih besar dari 90%. Adanya apendiks yang tidak dapat dikompresi dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih besar merupakan kriteria utama untuk diagnosis. Adaya
appendicolith sangat membantu. Teknik seperti kompresi bertingkat, lokalisasi diri, dan
pendekatan ultrasound transvaginal, atau transrektal juga telah meningkatkan hasil
diagnostik.9

Dalam dekade terakhir, computed tomography (CT) telah menjadi lebih banyak
digunakan dalam diagnosis apendiks. Temuan apendiks yang membesar (>6 mm), penebalan
dinding apendiks (>l mm), periappendix terdampar lemak, dan peningkatan dinding apendiks
adalah kriteria diagnostik yang berguna.34,66 Sensitivitas CT scan adalah: lebih dari 90%, dan
spesifisitasnya lebih dari 80%. Perbandingan ultrasonografi dan CT telah menunjukkan
bahwa yang terakhir adalah lebih sensitif sedangkan yang pertama lebih spesifik. Kedua
modalitas pencitraan, bagaimanapun, harus digunakan hanya jika diagnosis tidak pasti.
Dalam protokol yang mengevaluasi anak-anak dengan temuan klinis samar-samar untuk
apendisitis, kombinasi USG pelvis diikuti oleh CT terbatas dengan kontras rektal, jika perlu,
menghasilkan sensitivitas 94% dan spesifisitas 94%. 9

Protokol yang sama mengurangi tingkat apendiktomi negatif dari 12% menjadi 6% di
institusi yang sama selama masa studi tetapi melakukan pencitraan pada hampir 80% anak-
anak dengan suspek apendisitis. Peningkatan akurasi diagnostik yang dirasakan menyebabkan
peningkatan dramatis dalam jumlah CT scan yang dilakukan pada populasi pediatrik,
meskipun tidak ada bukti yang yang mendukung, penggunaan CT rutin dalam diagnosis
apendisitis. Selain pemanfaatan sumber daya rumah sakit dan keterlambatan dalam perawatan
bedah, risiko kanker potensial yang terkait dengan radiasi pengion dari CT harus
dipertimbangkan. Metode diagnostik ini hanya diperlukan jika diagnosisnya tidak jelas.

16
Penggunaan rutin radiografi kontras barium enema, CT, atau ultrasonografi tidak secara
substansial mempengaruhi diagnosis atau perjalanan klinis pasien dengan apendisitis akut.
Selain itu, meskipun beberapa penelitian melaporkan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik bedah tunggal, pemeriksaan serial oleh pemeriksa yang sama
adalah alat diagnostik yang paling aman dan paling akurat. Dalam laporan retrospektif baru-
baru ini, evaluasi bedah pediatrik yang dikombinasikan dengan penggunaan pencitraan tubuh
secara selektif (<40% anak dengan suspek apendisitis) sangat sensitif (99%) dan spesifik
(92%) dan dikaitkan dengan tingkat apendiktomi negatif yang rendah (5%).9

2.8 Diagnosis Banding

Apendisitis akut dapat meniru hampir semua proses intra-abdominal. Pertimbangan


proses penyakit lain ini sebelum pembedahan sama pentingnya dengan pemeriksaannya
secara hati-hati saat pasien berada dibawah anastesi dan selama pembedahan pada kasus
apendiks normal.7,8

Diagnosis klinis apendisitis sangat menantang karena banyak gejala apendisitis tidak
spesifik dan presentasinya bisa bervariasi. Gastroenteritis akut adalah penyebab umum nyeri
perut pada anak-anak. Biasanya karena penyakit virus dan sembuh sendiri. Gejalanya
meliputi diare berair, sakit perut kram, demam, mual, dan muntah. Sembelit adalah masalah
pediatrik umum lainnya dan dapat menyebabkan sakit perut, mual, dan muntah. Nyeri
biasanya persisten tetapi tidak progresif. Sejarah dan radiografi polos akan menyarankan
diagnosis. Infeksi saluran kemih juga akan menyebabkan demam, mual, dan muntah.
pemeriksaan urinalisis harus dilakukan jika terdapat gejala saat berkemih.7,8

Meskipun kemajuan dalam pencitraan diagnostik, laparotomi yang dilakukan untuk


apendisitis tidak selalu mengungkapkan apendiks yang meradang. Rentang nilai laparotomi
yang diterima sebelumnya tidak mengungkapkan apendisitis 15% hingga 40%. Angka ini
tidak didukung oleh literatur terbaru yang melaporkan angka apendiktomi negatif kurang dari
10%. Ketika apendiks normal ditemukan, sebagian besar ahli bedah merekomendasikan agar
itu dihapus untuk memungkinkan pemeriksaan patologis dan untuk menghindari kebingungan
potensial jika pasien mengalami nyeri kuadran kanan bawah di masa depan. Eksplorasi
kuadran kanan bawah harus dilakukan untuk mencari penyebab lain dari gejala tersebut.
Ileum terminal dapat menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening adenitis mesenterika di
mesenterium ileal yang mungkin mengalami infeksi sekunder dari saluran pernapasan atas.
17
Pasien-pasien ini mungkin mengalami nyeri perut,
demam, dan mual, tetapi nyeri tekannya tidak
terlokalisir seperti pada apendisitis. Limfositosis
dapat dicatat pada perbedaan jumlah sel darah.
Pencarian divertikulum Meckel's harus dilakukan,
tetapi jarang menimbulkan rasa sakit. Pendarahan
tanpa rasa sakit dan obstruksi adalah gejala yang
lebih umum. Jika pasien memiliki penyakit Crohn,
apendiks tidak boleh diangkat jika sekum terlibat
dalam proses penyakit, karena pengangkatan
dikaitkan dengan tingginya insiden pembentukan
fistula berikutnya.7,8

Akurasi diagnostik untuk apendisitis paling


rendah di kalangan wanita muda karena berbagai
kondisi ginekologi yang dapat menyebabkan nyeri
perut bagian bawah. Kehamilan ektopik harus
dipertimbangkan pada gadis remaja dengan nyeri
perut bagian bawah. Mereka mungkin hadir dengan
perdarahan vagina, amenore, pusing, mual dan
muntah. Pecahnya kista ovarium dan torsio ovarium juga dapat muncul sebagai nyeri perut
bagian bawah.7,8

Tabel 1. Diagnosis banding


Apendisitis akut

Perempuan yang aktif secara seksual dengan penyakit radang pelvis dapat muncul
dengan nyeri perut bagian bawah, keputihan, dan pembesaran adneksa. Sebagian besar akan
mengalami nyeri tekan pada gerakan serviks dan akan berespons terhadap antibiotik.
Intervensi operatif dapat diindikasikan untuk mereka yang tidak respon terhadap pengobatan
atau mengalami abses persisten. Tumor karsinoid terdapat pada kurang dari 1% pasien yang
menjalani apendektomi. Sebagian besar tumor karsinoid apendiks tidak memiliki sel yang
mengandung serotonin yang khas dari tumor karsinoid usus tengah sehingga jarang bergejala
dan biasanya muncul secara kebetulan pada apendiktomi. Sebagian besar adalah apendisitis
jinak, dan sederhana bersifat kuratif. Kontroversi seputar manajemen pembedahan yang tepat
tumor karsinoid yang berpotensi ganas. Konsensusnya adalah bahwa tumor karsinoid dengan

18
diameter lebih besar dari 2 cm, yang telah jelas bermetastasis, dan yang terletak di dasar
apendiks memerlukan hernikolektomi kanan sedangkan yang berdiameter lebih kecil dari 1
cm dan belum bermetastasis pada saat diagnosis diobati dengan apendiktomi saja.
Pengobatan tumor dengan diameter 1 sampai 2 cm masih kontroversial. Moertel percaya
bahwa prosedur bedah konservatif adalah semua yang diperlukan terlepas dari ukuran atau
lokasi tumor selama belum menyebar. 7,8

2.9 Penatalaksanaan

Meskipun semua ahli bedah akan setuju bahwa pengobatan untuk apendisitis adalah
dengan melakukan Apendictomi, rincian dari manajemen perioperatif sangat bervariasi.
Perawatan yang optimal di banyak daerah tidak diketahui. Sebagai contoh, teknik
pembedahan seperti penggunaan drainase, kebutuhan irigasi peritoneum, penanganan tunggul
apendiks, dan penutupan insisi masih menjadi perdebatan. Penggunaan ultrasonografi dan CT
untuk diagnosis dan drainase yang dipandu untuk manajemen abses mempengaruhi
kebutuhan untuk operasi dini. Kebutuhan untuk apendiktomi interval setelah manajemen
nonoperatif awal dari plegmon apendiks telah dipertanyakan. Pilihan antibiotik dan lamanya
penggunaannya sangat bervariasi pada setiap ahli bedah.8

2.9.1 Pemberian Antibiotik

Penggunaan antibiotik untuk pengobatan apendisitis jelas bermanfaat. Kultur


intraoperatif belum terbukti mengubah hasil pengobatan. Rejimen terbaik dan durasi
penggunaan antibiotik masih menjadi kontroversi. Dalam survei baru-baru ini di kalangan
ahli bedah anak, penggunaan antibiotik sangat berbeda. Pemberian ampisilin, gentamisin, dan
klindamisin atau metronidazol intravena selama 10 hari merupakan standar emas untuk
pengobatan apendisitis yang mengalami komplikasi, dan efektivitas kombinasi antibiotik
lainnya biasanya diukur dengan rejimen empiris ini. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
keterlibatan bakteri, termasuk Escherichia coli, Enterococcus, Klebsiella, dan Bacteroides.8

Ada kecenderungan penurunan durasi terapi antibiotik. Hanya antibiotik perioperatif


yang diperlukan untuk apendisitis dini. Untuk apendisitis yang komplikasi, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pemberian 48 jam saja sudah cukup. Yang lain menyarankan agar
pengobatan dilanjutkan selama 5 hari dengan penambahan waktu seperti yang ditunjukkan

19
secara klinis dengan menggunakan jumlah leukosit dan adanya demam sebagai panduan. Ada
juga merupakan tren untuk menggunakan antibiotik oral daripada antibiotik intravena ketika
fungsi gastrointestinal membaik. Sebuah studi prospektif acak menunjukkan kesetaraan
antara pemberian antibiotik intravena selama 10 hari dan diikuti dengan antibiotik oral untuk
apendisitis yang kompilkasi. 8

2.9.2 Pembedahan

A. Apendektomi

Pengobatan apendisitis yang paling banyak diterima adalah apendektomi. Percobaan acak
yang membandingkan terapi medis dengan Apendektomi pada orang dewasa dengan radang
usus buntu menunjukkan bahwa terapi medis dikaitkan dengan 10% hingga 20%
kemungkinan kekambuhan tetapi memiliki tingkat komplikasi yang lebih rendah. Ada
kecenderungan untuk tidak melakukan operasi segera. Tidak ada peningkatan tingkat perforasi
atau insiden komplikasi yang dicatat antara sekelompok pasien yang didiagnosis dengan
apendisitis akut dan menjalani operasi dalam waktu 6 jam setelah masuk rumah sakit dan
mereka yang menjalani operasi antara 6 hingga 18 jam masuk rumah sakit. Namun demikian,
sebagian besar pasien dengan diagnosis apendisitis akut masih harus segera menjalani
operasi. Mayoritas ahli bedah anak akan melakukan operasi apendisitis dalam waktu 8 jam.8
Pada teknik terbuka, sayatan melintang atau miring pada kuadran kanan bawah dibuat
melalui titik McBurney. Otot-otot dinding perut biasanya terbelah. Sekum dan apendisitis
dimobilisasi dan apendisitis dibawa keluar melalui sayatan. Mesoapendiks kemudian dibagi,
dan pangkal apendiks diligasi. Basis pendek dibiarkan untuk menghindari peradangan pada
potongan. Jaringan yang telah dipotong ditatalaksana dengan ligasi sederhana, ligasi dengan
inversi menggunakan jahitan pursestring atau jahitan Z, atau inversi tanpa ligatur. Ligasi
sederhana dapat dilakukan dengan cepat dan diklaim dapat mengurangi adhesi. Inversi secara
teoritis mengarah pada kontrol perdarahan yang lebih baik, penutupan ganda yang aman, dan
kemungkinan kontaminasi yang lebih kecil; namun, hal itu dapat membuat artefak pada
pemeriksaan kontras di masa mendatang dan dapat menyebabkan intususepsi. Sebuah
tinjauan yang membandingkan ligasi sederhana dengan ligasi dan inversi menyimpulkan
bahwa ligasi sederhana tampaknya setidaknya seefektif ligasi dengan inversi dan dikaitkan
dengan pembentukan adhesi yang lebih sedikit. Untuk apendisitis sederhana, irigasi luka
tidak diperlukan. Luka ditutup berlapis-lapis, dan tidak ada drainase yang dipasang. Diet

20
normal dapat diberikan segera setelah operasi, dan pasien dapat dipulangkan 1 sampai 2 hari
setelah operasi. Jika apendiks normal ditemukan, rongga peritoneum harus diperiksa untuk
mencari penyakit radang usus, adenitis mesenterika, divertikulitis Meckel, atau, pada wanita
dapat menilai kondisi patologis pada ovarium.8

Gambar 2 : Teknik Operasi Apendektomi

B. Laparoskopi

Apendiktomi "Endoskopi" pertama kali dijelaskan pada 1983. Apendiktomi


laparoskopi dapat dilakukan dengan bantuan teknik laparoskopi, dengan cara apendiks
dimobilisasi secara laparoskopi menggunakan satu atau dua lubang dan ditarik melalui
lubang perut kecil dan diangkat dengan teknik terbuka standar. Sebagai alternatif, apendiks
dapat diangkat seluruhnya secara laparoskopi. Tiga trocar biasanya digunakan: satu di
umbilikus untuk skop, satu di kuadran kanan atas, dan satu di kuadran kiri bawah untuk
retraksi dan diseksi. Apendiks ditemukan dengan mengikuti sekum, dan mesoapendiks
digenggam di dekat ujungnya untuk mengangkat apendiks ke arah dinding perut. Sebuah
jendela dibuat di mesoappendix dekat dasar untuk memungkinkan pembagiannya dengan
menerapkan klip, staples, atau pisau bedah harmonik. Banyak variasi pengikatan dan
pengangkatan apendiks telah telah dijelaskan. Teknik paling sederhana dengan menerapkan
21
stapler endoskopi ke dasar apendiks, dan apendiks dibawa melalui situs trokar umbilikalis.
Uji coba acak yang membandingkan apendiktomi terbuka dan laparoskopi, keuntungan dan
kerugian apendiktomi laparoskopi masih diperdebatkan. Keuntungan yang diklaim dari
tindakan laparoskopi termasuk rawat inap yang lebih pendek, penurunan nyeri pasca operasi,
penurunan komplikasi luka, peningkatan kemampuan untuk mendiagnosis kasus yang tidak
pasti, kemudahan pembedahan pada pasien obesitas, dan pemulihan pasca operasi yang lebih
cepat. Kerugiannya adalah biaya yang lebih tinggi karena kebutuhan peralatan dan waktu
yang lebih lama untuk operasi, peningkatan pelatihan dan pengalaman yang diperlukan untuk
ahli bedah dan staf pendukung tambahan, peningkatan insiden menemukan apendiks normal,
dan peningkatan insiden infeksi intra-abdomen.8

Meskipun kesimpulan mengenai keuntungan teknik ini dibandingkan teknik terbuka


sangat bervariasi, terutama pada anak-anak, laparoskopi apendiktomi tampaknya menjadi
cara yang aman dan efektif untuk melakukan apendektomi dan pemanfaatannya telah
meningkat secara dramatis selama dekade terakhir.8

Pengobatan pasien dengan apendisitis komplikata lebih kontroversial daripada pasien


dengan apendisitis sederhana. Karena pengaruh sosial, budaya, ekonomi, dan medis pada
diagnosis dan pengobatan proses penyakit ini, tingkat perforasi bervariasi dari 16% menjadi
57% pada rumah sakit yang berbeda. Tidak ada konsensus tentang pengobatan yang optimal
pada pasien dengan apendisitis yang rumit. Pendapat berkisar dari pengobatan nonoperatif
hingga reseksi bedah agresif dengan irigasi antibiotik, drainase rongga peritoneum, dan
penutupan luka yang tertunda. Weiner melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam jumlah hari rawatan, biaya pengobatan, atau tingkat komplikasi secara keseluruhan
menggunakan pengobatan nonoperative awal apendisitis komplikata diikuti dengan
apendisitis interval dalam 8 minggu. Dalam studi lain yang meneliti terapi nonoperatif awal
untuk apendisitis komplikata yang dikonfirmasi dengan imaging, 22% dari pasien dikonversi
untuk mendapatkan apendiktomi karena obstruksi usus halus. Perawatan operatif tetap
menjadi pendekatan standar karena kesulitan dalam menentukan sebelum operasi apakah
telah terjadi perforasi.8

Prosedur operasi untuk apendisitis komplikata adalah apendiktomi. Ada kontroversi


lanjutan mengenai rincian prosedur: apakah akan mengeringkan rongga peritoneum, apakah
akan menutup luka atau membiarkannya terbuka dengan penutupan yang tertunda, apakah
akan mengairi rongga peritoneum dan, jika demikian, apakah akan menggunakan larutan

22
antibiotik. Penggunaan drainase pasca operasi telah digambarkan sebagai peningkatan
komplikasi infeksi serta mencegahnya. Sebagian besar penelitian tidak mendukung
penggunaan drainase, dengan kemungkinan pengecualian abses retrocecal yang tidak dapat
didebridement dengan baik. Penutupan luka yang tertunda tidak didukung oleh literatur dan
tampaknya bukan jaminan, karena tingkat infeksi luka yang terkait dengan operasi apendisitis
kurang dari 3%. Irigasi masih kontroversial. Putnam menyarankan bahwa irigasi
memperpanjang ileus dan dapat menyebabkan obstruksi usus halus dan melaporkan hasil
yang sangat baik tanpa irigasi. Studi terbaru lainnya mendukung irigasi saline di rongga
peritoneal dengan atau tanpa antibiotik.8

Penatalaksanaan pasien dengan massa abdomen yang teraba adalah topik


kontroversial lainnya. Terjadi pada sebagian kecil tetapi signifikan dari pasien dengan
apendisitis yang rumit, terutama pada anak kecil setelah perforasi Beberapa menganjurkan
apendiktomi segera dan lainnya melakukan prosedur hanya jika massa dapat terkonfirmasi
dengan pasien di bawah anestesi. Jika operasi dilakukan, perawatan harus dilakukan untuk
menghindari kerusakan pada struktur yang berdekatan yang mengalami proses inflamasi,
seperti usus kecil, saluran tuba dan ovarium, dan ureter. Surana dan Nitecki
merekomendasikan pengobatan dengan antibiotik intravena sampai jumlah leukosit normal
dan pasien tetap tidak demam selama 24 jam. Jika kondisi pasien memburuk atau massa
membesar pada ultrasonografi serial, massa dikeringkan secara perkutan, diikuti dengan
apendiktomi interval. Apendiktomi interval mencegah episode apendisitis berulang dan
memberikan kesempatan kepada ahli bedah untuk mengevaluasi pasien untuk kondisi lain
yang dapat menyamar sebagai massa apendiks, apakah dilakukan apendiktomi interval juga
masih dalam perdebatan. Nitecki telah menyarankan bahwa apendiktomi interval tidak
diperlukan karena hanya 14% pasien yang memiliki gejala berulang dan kekambuhan dalam
2 tahun setelah diagnosis awal jarang terjadi. Standar pengobatan saat ini adalah manajemen
konservatif dengan apendiktomi interval setelah 8 sampai 12 minggu.8

2.10 Komplikasi

Insiden komplikasi meningkat dengan tingkat keparahan apendisitis, tetapi semua


komplikasi telah menunjukkan penurunan yang stabil dalam beberapa tahun terakhir.
Komplikasi termasuk infeksi luka, pembentukan abses intra-abdomen, obstruksi usus pasca
operasi, ileus berkepanjangan, dan, jarang, fistula enterokutaneus. Infeksi luka adalah
komplikasi yang paling umum, tetapi angkanya telah turun dari 50% hingga kurang dari 5%,

23
bahkan pada apendiks komplikata. Pembentukan abses intra-abdomen juga lebih sering
terjadi pada apendisitis komplikata tetapi masih kurang dari 2%. Abses dapat dikeringkan
secara perkutan dengan panduan CT atau transrektal di ruang operasi, meskipun yang lain
telah menganjurkan manajemen yang lebih konservatif. Obstruksi usus pasca operasi terjadi
pada 1% pasien dengan apendisitis komplikata, yang sering membutuhkan adhesiolisis
operatif.8

Fistula enterokutan merupakan komplikasi yang jarang terjadi dan biasanya akan
berespon terhadap manajemen nonoperatif. Pylephlebitis supuratif adalah komplikasi yang
sangat serius, meskipun jarang. Sepsis dan kegagalan organ multisistem dapat terjadi pada
anak kecil yang menderita penyakit berkepanjangan sebelum diagnosis. Komplikasi utama,
termasuk obstruksi usus pasca operasi dan pembentukan abses intra-abdomen, juga telah
menurun menjadi insiden kurang dari 5%. Masalah yang belum terselesaikan adalah efek
apendisitis yang rumit pada kesuburan pada wanita. Studi yang tersedia apendisitis. Puri,
melaporkan bahwa apendisitis komplikata sebelum pubertas memainkan sedikit peran dalam
penyebab infertilitas tuba, sedangkan Mueller dkk melaporkan bahwa kondisi ini terkait
dengan peingkatan risiko empat kali lipat untuk terjadinya infertilitas tuba. Konsekuensi dari
apendisitis komplikata dapat dikurangi melalui pendidikan publik dan medis. yang
memastikan perawatan dini yang cepat sebelum perforasi.8

24
BAB III
KESIMPULAN

Tingkat kematian untuk apendisitis yang rumit telah turun menjadi hampir nol.
Antibiotik telah secara nyata menurunkan insiden komplikasi infeksi. Meskipun lama rawat
inap dan morbiditas pasien dengan apendisitis komplikata masih jauh melebihi apendisitis
sederhana, morbiditas secara keseluruhan pada anak dengan apendisitis komplikata kurang
dari 10%. Manajemen pasca operasi apendisitis sangat bervariasi mulai diatasi dengan
menerapkan jalur klinis berbasis bukti terutama didorong oleh tekanan ekonomi, ada
peningkatan pengawasan pengobatan pasien dan hasil hasil awal penelitian telah
menunjukkan bahwa rumah sakit yang melakukan kurang dari satu operasi apendisitis per
minggu dikaitkan dengan kemungkinan kesalahan diagnosis yang lebih tinggi. Ada juga
laporan yang menunjukkan hasil yang lebih baik pada anak-anak yang lebih muda dengan
apendisitis ketika mereka dirawat oleh ahli bedah anak. Kombinasi evaluasi bedah, operasi
yang cepat ketika diagnosis jelas, periode observasi jika diagnosis samar-samar diikuti
dengan pencitraan jika perlu, dan perawatan yang diberikan oleh dokter dan institusi yang
berpengalaman akan menghasilkan hasil terbaik untuk anak-anak dengan apendisitis.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Eriksson S, Granstro¨m L. Randomized controlled trial of appendicectomy versus


antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J Surg 1995;82:166.

2. Fraser JD, Aquayo P, Sharp SW, et al. Accuracy of computed tomography in


predicting appendiceal perforation. J Pediatr Surg 2010;45:231.

3. Hernanz-Schulman M. CT and US in the diagnosis of appendicitis: An argument for


CT. Radiology 2010;255:3.

4. Jen HC, Shew SB. Laparoscopic versus open appendectomy in children: Outcomes
comparison based on a statewide analysis. J Surg Res 2010;161:13.

5. Mason RJ. Surgery for appendicitis: Is it necessary? Surg Infect (Larchmt)


2008;9:481.

6. Ponsky TA, Hafi M, Heiss K, et al. Interobserver variation in the assessment of


appendiceal perforation. J Laparoendosc Adv Surg Tech A 2009;19:S15.

7. Solomkin JS, Mazuski JA, Bradley JS, et al. Diagnosis and management of
complicated intra-abdominal infection in adults and children: Guidelines by the
Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of America. Surg Infect
(Larchmt) 2010;11:79.

8. St Peter SD, Aquayo P, Fraser JD, et al. Initial laparoscopic appendectomy versus
initial nonoperative management and interval appendectomy for perforated
appendicitis with abscess: A prospective, randomized trial. J Pediatr Surg
2010;45:236.

9. Strouse PJ. Pediatric appendicitis: an argument for US. Radiology 2010;255:8.

26

Anda mungkin juga menyukai