Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

POLIGAMI DAN PROBLEMATIKANYA


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu : Mahdaniyal Hasanah Nuriyyatiningrum, M. S.I.

Disusun Oleh :
Alfiah Nur Fauziah (2002016015)
Sinta Choiriyah (2002016017)
Annisa Nur Saputri (2002016043)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYRIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia
serta kasih sayangNya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai peletakan dasar
dasar peradaban Islam pada masa nabi Muhammad SAW. Sholawat serta Salam semoga
tercurah kepada nabi terahir, nabi besar Muhammad SAW.

Makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin, namun kami sadari dalam
menulis makalah ini masih banyak sekali kesalahan dan kekeliruan , baik mengenai
materi pembahasan maupun teknik pengetikan,untuk itu kami harapkan kritik dan saran
yang membangun bagi para pembaca agar kami bisa memperbaiki kesalahan sebagaimana
mestinya.

Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul “Poligami dan
Problematikanya” semoga ini dapat memberikan manfaat serta inspirasi bagi pembaca
aamin ya rabbal alamin.

Semarang, 14 April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tatanan kehidupan manusia yang diminasi kaum laki-laki atas perempuan sudah
menjadi akar sejarah yang cukup panjang. Dalam tatanan tersebut, perempuan dijadikan
sebagai the second human being (manusia kelas kedua),yang berada dibawah laki-laki,
yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan selalu
dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan
untuk laki-laki. Dan berakibat, perempuan hanya di tempatkan di ranah dalam saja,
sedangkan laki-laki berada di ranah public.

Mereka menggaggap bahwa poligami merupakan syariat dan di anjurkan dalam Islam.
Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan
martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam
poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan Nabi
Sulaiman mempunyai istri 700 orang. Akan tetapi setelah Islam datang Nabi Muhammad
SAW membatasi umatnya untuk mempunyai istri empat dan selebihnya diceraikan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian poligami ?


2. Apa saja syarat-syarat poligami ?
3. Apa masalah yang timbul ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui pengertian poligami


2. Mengetahui syarat-syarat poligami
3. Mengetahui masalah yang timbul
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Jika ditarik dari akar bahasanya, “poligami” berasal dari dua kata bahasa yunani,
yaitu “poly”, yang artinya banyak dan “gamein” yang artinya kawin. Oleh karena itu
menurut makna kebahasaan, arti poligami tidak dibedakan apakah seseorang laki laki
kawin dengan banyak perempuan atau seorang perempuan kawin dengan banyak laki laki
atau dapat berarti sama banyak pasangan laki laki dan perempuan mengadakan transaksi
perkawinan, semua dapat disebut poligami.

Poligami secara umum dapat dipahami dengan ikatan perkawinan yang salah satu
pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan,
bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan
monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri
pada jangka waktu tertentu.(2)

Dalam tinjauan secara sosio-antropologi yang dinamakan poligami tidak


membedakan pengertian, apakah seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau
sebaliknya seorang perempuan kawin dengan banyak laki laki. Di sini poligami
mempunya dua arti:

1. Polyandry, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki laki.
2. Polyginy, yaitu perkawinan antara seorang laki laki dengan beberapa perempuan.

Tetapi, pemahaman yang berlaku secara umum di masyarakat,makna poligami seperti


yang di ungkapkan oleh Soemiyati,yaitu perkawinan antara seorang laki laki dengan lebih
seorang wanita dalam jangka waktu yang sama. Poligami dengan arti ini adalah menyadur
arti asli dari poligini, karena itulah beberapa ahli hukum dan sosio-antropologi sering
menggunakan katapologini sebagai akar kata aslinya untuk menyebut istilah perkawinan
antara seorang laki laki dengan beberapa perempuan.

Perkembangan selanjutnya istilah poligini jarang sekali dipakai, banyak


intelektual yang secara langsung mempopulerkan pergantian istilah poligini dengan
poligami. Bahkan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan (yang
sekarang Departemen Pendidikan Nasional) mensahkan defnisi poligami dengan arti di
atas, yaitu ikatan perkawinan yang laki laki boleh kawin dengan beberapa wanita dalam
waktu yang sama.dan kata ini dipergunakan sebagai lawan dari kata poliandri. Sedangkan
dalam bahasa Arab, perkawinan antar seorang pria dengan lebih dari seorang wanita
disebut dengan istilah ta’addud al-zaujat yang berarti mempunyai banyak istri.

Dalam Islam, poligami mempunyai arti per-kawinan yang lebih dari satu, dengan
batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang
memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari
sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti
sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.

Adapun dasar dari diperbolehkannya poligami itu sendiri yaitu frman Allah SWT
dalam surat an Nisa’ ayat 3:

‫ا‬FF‫دة او م‬FF‫دلوا فواح‬FF‫ان خفتم اال تع‬FF‫نى وثلث وربع ف‬FF‫اء مث‬FF‫الب لكم من النس‬FF‫وان خفتم اال تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ماط‬
‫ملكت ايما نكم ذلك ادنى اال تعولوا‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” ( (QS. An-Nisa’:3)

Berlaku adil ialah terkait perlakuan seorang suami dalam mengurus dan
menafkahi isteri seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun
ayat ini poligami sudah ada dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad, Sedangkan ayat ini lebih menjelaskan tentang pembatasan poligami yang
dibolehkan adalah empat orang saja.

Akan tetapi, perlu kita ketahui dan kita fahami bahwa poligami yang dilakukan
oleh para nabi khususnya nabi Muhammad Saw bukan semata-mata untuk memnuhi
hasrat biologis dan nafsu semata, melainkan ada nilai dakwah dan sosial yang jauh lebih
tinggi. Bagaimana tidak, beberapa istri Nabi itu adalah janda yang diakibatkan oleh
wafatnya para suami mereka dalam berperang. Dengan adanya hal tersebut, maka
rasulullah melindungi para janda dengan cara menikahinya.
Hal ini senada dengan pandangan Jumhur Ulama’, yang menjelaskan bahwa ayat
3 pada surat An-Nisa’ di atas turun setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam
(mujahidin) yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim
dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim
yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya. (4)

Disini kita bisa mengetahui bahwa poligami itu dibolehkan karena adanya
keringanan atau dalam bahasa disebut dengan rukhsah. Senada dengan hal ini, Sayyid
Qutb menjelaskan bahwa keringan yang diperbolehkan dalam agama itu selalu identik
dengan hal yang sangat mendesakata dharurat. Hal ini juga berlaku bagi hukum
diperbolehkannya poligami disertai dengan syarat-sayarat tertentu seperti adil dalam
memberi nafkah dan lain-lain.(7)

B. Syarat-Syarat Poligami

Syarat-Syarat Poligami dalam Islam dan Undang-undang

Dari segi agama Islam, kita sudah tahu bahwa praktik poligami itu diperbolehkan.
Tetapi banyak yang tidak tahu bahkan tidak mau tahu dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebelum melakukan poligami. Pada dasarnya tujuan sebuah pernikahan adalah
ketenangan, dengan adanya poligami ini tentu membuat ftrah perempuan atau istri
menjadi tidak lagi nyaman dan membuat tujuan pernikahan di atas tidak lagi terwujud
bahkan akan muncul gejolak dalam rumah tangga.(8)

Dalam pandangan Ilham Marzuq, syarat diper-bolehkannya poligami dalam Islam


bagi seseorang antara lain: (9)

a) Akhlak Mahmudah
Akhlak sebagai budi pekerti yang dapat me-nunjukan apakah seseorang itu
memiliki nilai yang mulia atau tidak adalah hal yang sangat mendasar. Dalam
rumah tangga, tentu hal ini sangat diperlukan. Tujuan menikah untuk
menjadikan ketenangan dan rasa kasih saying tidak mungkin dapat terwujud
tanpa adanya akhlak yang baik.
b) Iman Kuat
Iman sebagaimana kita ketahui adalah ke-percayaan yang tertanam di
dalam hati dan direalisasikan dalam kehidupan dapat menjadi kunci
kesusksesan dalam berumah tangga. Iman kuat yang dimiliki seseorang akan
menjadikannya kuat juga dalam menghadapi kesulitan dalam kehidupan.
Telebih dalam poligami, yang secara naluri dapat menimbulkan kecemburuan
dan gejolak dalam rumah tangga tentu membutuhkan keteguhan iman. Dengan
keteguhan iman itulah seorang suami dapat mengkontrol dirinya dan dengan
terkontrolnya diri dapat lebih mudah dalam membentuk keluarga yang
tentram. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan bagi seorang lelaki yang
memang belum memiliki keteguhan iman untuk melakukan poligami
c) Harta yang Cukup
Suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga harus dapat melindungi dan
menciptakan ke-tentraman. Melindungi istri dan anak-anaknya tidak hanya
dari gangguan orang lain melainkan juga dari sandang, papan, dan makanan.
Seorang suami harus mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Harta memang
bukan segalanya, tetapi tanpa adanya harta atau ekonomi yang cukup tentu
akan membuat ketidaknyamanan bagi anggota keluarga dan ketidaknyamanan
itu akan menimbulkan pertengkaran yang dapat menimbulkan perpisahan. Istri
lebih dari satu tentu akan membutuhkan ekonomi yang lebih sehingga
kecukupan dalam harta tidak bisa dinafkan dalam syarat berpoligami.
d) Uzur (darurat)
Seperti halnya kita ketahui bahwa manusia butuh terhadap adanya penerus
atau generasi. Dari ftrah manusia inilah agama mengatur bagaimana manusia
dapat memiliki keturunan secara sah dengan cara melaksanakan pernikahan.
Meskipun demikian, tidak semua orang bisa memiliki keturunan dengan
mudah. Hal ini yang terkadang menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah
tangga. Dengan demikian sangat wajar jika poligami dibolehkan bagi keluarga
yang mengalami demikian demi untuk menjaga nasab maupun keturunan.
e) Adil
Adil menjadi sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin
berpoligami, tanpa keadilan tentu akan muncul kecemburuan dan rasa iri dari
pasangan yang lain sehingga mengakibatkan pertikaian dalam keluarga.
Padahal kita semua tahu tujuan keluarga adalah sebuah ketenangan lahir
maupun batin Rasa adil memang akan sangat susah diwujud-kan terlebih
dalam poligami. Bahkan mayoritas ulama fkih menyebutkan bahwa keadilan
kualitatif adalah sesuatu yang mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-
Jazairi menuliskan bahwa mempersamakan hak yang berkaitan dengan
kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dinikahi bukanlah
kewajiban bagi orang yang berpoligami, karena ia berpandangan sebagai
manusia biasa akan sangat berat bahkan tidak akan mampu berbuat adil dalam
membagi kasih sayang yang sebenarnya manusiawi. Oleh karena itu menjadi
sangat wajar ketika ada seorang suami hanya tertarik pada salah seorang
istrinya melebihi yang lain dan yang demikian ini merupakan sesuatu yang di
luar batas kemampuan manusia.(10)

Di samping ketentuan di atas, praktik poligami ini dibatasi secara mutlak dengan
jumlah 4orang istri. Wahbah az Zuhaili memberikan pendapat yang menguatkan mengapa
dibatasi dengan jumlah 4 istri. Beliau mengatakan bahwa terdapat 4 minggu dalam 1
bulan memberikan kemudahan laki-laki dalam membagi waktu terhadapistri-istrinya.
Dalam satu minggu seseorang dapat mencurahkan cinta dan kasih sayangnya terhadap
satu istri dan begitu dengan minggu-minggu selanjutnya. Oleh karena itu, waktu bagi
seseorang yang berpoligami dalam membagi waktu terhadap istri-istrinya bisa dilakukan
tidak lebih dari satu bulan.(11)

Hukum poligami akan berbeda dilihat dari tujuan serta manfaat dan tidaknya
poligami dilakukan. Hukum ini terbagi menjadi tiga: sunah, makruh, dan haram.(12) Oleh
karena itu, islam melihat halini secara proporsional dan menganjurkan untuk setiap orang
mengukur dirinya masing-masing apakah dia sanggup dengan berbagai syarat seperti di
atas atau tidak sehingga perkawinan itu benar-benar mewujudkan ketenangan.
Ketenangan itulah inti dari perkawinan yang harus diwujudkan baik dalam perkawinan
poligami maupun monogami.

Senada dengan diperbolehkannya poligami menurut Islam, Indonesia sebagai


negara yang mayoritas penduduknya muslim pun juga mem-perbolehkan poligami.
Undang-undang mem-perbolehkan poligami apabila memang seseorang yang ingin
berpoligami memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dalam UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa sistem kekeluargaan yang dianut
oleh Negara Indonesia adalah bersifat monogami atau hanya memiliki satu istri.
Meskipun demikian, dalam aturan tersebut juga dijelaskan bahwa seseorang diberi
kelonggaran dan diperbolehkan berpoligami jika pengadilan memberikin izin disertai izin
dari pihak yang terkait yakni istri.(13)
Dari undang-undang tersebut, seorang suami harus mengajukan permohanan
untuk melakukan poligami kepada pengadilan di daerahnya yang dilanjukan dengan
pertimbangan pihak pengadilan untuk mengizinkan atau tidak. Di samping itu, pengadilan
juga melihat dan memperhatikan kondisi istri baik dari segi moral, kesuburan kandungan
dan sebagainya. Kecukupan ekonomi juga dijadikan dasar bagi pengadilan untuk
memberikan izin. Ekonomi yang tidak cukup tentu akan menjadikan sumber masalah
dalam berkeluarga terlebih poligami.

Mekanisme permohonan seseorang dalam me-lakukan poligami dijelaskan oleh aturan


Negara yang tertuang dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan
bahwa:

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: a). Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri; b). Adanya
kepastian bahwa suami mampu men- jamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-
anak mereka. c). Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.(14)

Kalau kita memperhatikan UU No. 1 tahun 1974, di sana memang memberikan


penjelasan untuk memberikan peluang bagi seseorang dalam melakukan poligami, akan
tetapi aturan ini tetap lebih menekankan pernikahan monogami. Hal ini dapat dilihat dari
syarat-syarat yang ditentukan untuk melakukan poligami begitu ketat. Syarat yang harus
dipenuhi seseorang yang menginginkan poligami tidaklah ringan. Orang tersebut harus
benar-benar siap secara materi dan ekonomi sehingga tidak hanya bertujuan untuk
menuruti hawa nafsunya semata melainkan juga terwujudnya sifat adil dalam segala hal
baik itu materi maupun non materi.(18)

Jika ada pegawai negeri sipil melangsungkan pernikahan secara poligami tanpa
ada persetujuan dari pejabat maka kemungkinan ia akan mendapatkan 4 sanksi hukuman,
bisa dengan penurunan pangkat setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan,
pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri, dan pemberhentian dengan tidak
hormat sebagai ASN.(19)

Adapun jika ASN tersebut adalah seorang perempuan tidak boleh menjadi istri
kedua, ketiga maupun keempat.(20).Oleh karena itu, seorang perempuan hanya bisa
menjadi istri tunggal dari seorang suami.

C. Problematika Poligami

1. Faktor Penyebab Poligami


Berikut beberapa alasan seorang suami mempertimbangkan langkah berpoligami:
a.) Faktor Biologis
Sudah merupakan fitrah apabila manusia selalu merasa kekurangan di
dalam hidupnya, begitu juga dalam masalah biologis dalam berumah tangga.
b.) Faktor Ekonomi
Bahwa di zaman dahulu, dan bahkan mungkin ada juga pada zaman
sekarang, mempunyai banyak istri dan lebih banyak anak secara ekonomis
menguntungkan pria.Kaum pria biasa menyuruh para istri dan anak-anaknya
bekerja sebagai budak, dan sekali-kali menjual anak-anaknya.Sumber
perbudakan bagi banyak orang bukan karena diperoleh melalui perampasan
dalam peperangan melainkan ayah-ayah mereka telah membawa dan
menjualnya.
c.) Jumlah Wanita Lebih Banyak Daripada Pria
Faktor yang terakhir ini adalah terpenting dari semua faktor dalam
poligami dikarena kan jumlah kaum wanita dibandingkan dengan pria

2. Hikmah Poligami

Karena tuntutan pembangunan, undang-undang diperbolehkannya poligami


tidak dapat diabaikan begitu saja, walaupun hukum tidak wajib dan juga tidak sunnah.
Hikmah-hikmah yang terkadung dalam poligami, hendaknya ada kemauan dari pihak
pemerintah untuk turut memerhatikan masalah ini, di antara hikmah-hikmahnya adalah:

a. Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari isteri


kedua, jika isteri pertama mandul, karena tujuan pernikahan pada dasarnya adalah
untuk memperbanyak keturunan.
b. Untuk menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika isterinya tidak bisa
dikumpuli karena terkena suatu penyakit yang berkepanjangan.
c. Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan
peperangan, agar tidak merasa kesepian
d. Bila isteri telah tua, dan mencapai umur ya‟isah (tidak haid) lagi, kemudian
sang suami berkeinginan mempunyai anak, dan ia mampu memberikan nafkah
kepada lebih dari seorang isteri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya,
termasuk pendidikan mereka.
3. Tujuan Poligami

Disini ada beberapa tujuan poligami, di antaranya yaitu:

a. Memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan insting dasar seksual.


b. Memenuhi harapan pembangunan keluarga yang bahagia melalui estafetisasi
generasi.
c. Membantu meringankan kesulitan hidup perempuan yang terbengkalai rumah
tangganya.
d. Membantu anak-anak yang terlantar akibat ditinggal bapaknya dalam
mewujudkan cita-cita dan harapannya.
e. Menghindarkan para perempuan dari perbuatan asusila yang sangat riskan terjadi
ketika para perempuan bertanggung jawab sebagai satu-satunya penjaga
kesinambungan kehidupan keluarganya.

Demikian tujuan poligami bagi seorang suami yang secara umum melakukannya.
Tampak di situ bahwa poligami pada dasarnya bukan sekedar bertujuan terpenuhinya
hubungan seksual suami yang secara kodrati memiliki intensitas seks tinggi, tetapi
juga membangun sebuah tatanan hidup masyarakat secara adil, sejahtera dan bermoral,
melalui kepedulian dan perhatian kepada sebagian kelompok masyarakat yang
kesulitan dalam mengurus rumah tangga dan mengayomi anak-anaknya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Jika ditarik dari akar bahasanya, “poligami” berasal dari dua kata bahasa yunani, yaitu
“poly”, yang artinya banyak dan “gamein” yang artinya kawin. Tetapi, pemahaman yang
berlaku secara umum di masyarakat,makna poligami seperti yang di ungkapkan oleh
Soemiyati,yaitu perkawinan antara seorang laki laki dengan lebih seorang wanita dalam
jangka waktu yang sama, Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu,
Akan tetapi, perlu kita ketahui dan kita fahami bahwa poligami yang dilakukan oleh para
nabi khususnya nabi Muhammad Saw bukan semata-mata untuk memnuhi hasrat biologis
dan nafsu semata, melainkan ada nilai dakwah dan sosial yang jauh lebih tinggi.

Syarat-Syarat Poligami dalam Islam dan Undang-undang.

Dalam pandangan Ilham Marzuq, syarat diper-bolehkannya poligami dalam Islam bagi
seseorang antara lain:

a) Akhlak Mahmudah

b) Iman Kuat

c) Harta yang Cukup

d) Uzur (darurat)

e) Adil

Hukum poligami akan berbeda dilihat dari tujuan serta manfaat dan tidaknya
poligami dilakukan. Hukum ini terbagi menjadi tiga: sunah, makruh, dan haram.

1. Faktor Penyebab Poligami

Berikut beberapa alasan seorang suami mempertimbangkan langkah

berpoligami:

a.) Faktor Biologis

b.) Faktor Ekonomi


c.) Jumlah Wanita Lebih Banyak Daripada Pria

Hikmah Poligami

a. Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari isteri kedua,
jika isteri pertama mandul, karena tujuan pernikahan pada dasarnya adalah untuk
memperbanyak keturunan.
b. Untuk menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika isterinya tidak bisa
dikumpuli karena terkena suatu penyakit yang berkepanjangan.
c. Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan,
agar tidak merasa kesepian
d. Bila isteri telah tua, dan mencapai umur ya‟isah (tidak haid) lagi, kemudian sang
suami berkeinginan mempunyai anak, dan ia mampu memberikan nafkah kepada
lebih dari seorang isteri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya, termasuk
pendidikan mereka.

Tujuan Poligami

Demikian tujuan poligami bagi seorang suami yang secara umum melakukannya.
Tampak di situ bahwa poligami pada dasarnya bukan sekedar bertujuan terpenuhinya
hubungan seksual suami yang secara kodrati memiliki intensitas seks tinggi, tetapi juga
membangun sebuah tatanan hidup masyarakat secara adil, sejahtera dan bermoral, melalui
kepedulian dan perhatian kepada sebagian kelompok masyarakat yang kesulitan dalam
mengurus rumah tangga dan mengayomi anak-anaknya.
TABEL POLIGAMI
N
BAB TOKOH PENDAPAT ALASAN RESPON
O
1 Polig Ulama Pendapat ini di wakili oleh abu bakar jassas Razi yang Qs. An - Nisa : 3
ami Hanafiyah mengatakan dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim dalam ‫و ان خفتم اال تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء‬
ayat tersebut tidak berarti anak yang ditinggal mati ayahnya ،‫ فإن خفتم اال تعدلوا فوحدة أو ما ملكت ايمنكم‬،‫مثنى وثالث وربع‬
semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya ‫ذلك أدنى االتعولوا‬
juga. Al-Kasyani (W. 1191M)39 berpendapat, poligini " Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
dibolehkan tetapi syaratnya harus adil. Namun jika seseorang adil terhadap ( hak- hak) perempuan yatim ( bila
khawatir tidak bisa berbuat adil dalam nafkah lahir (sandang, mana kamu mengawininya ), maka kawinilah
pangan dan papan) dan nafkah batin (membagi giliran tidur) wanita wanita lain yang kamu senangi, dua ,tiga
terhadap istri-istrinya, maka Allah menganjurkan kaum lelaki atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
untuk menikah dengan satu istri saja. Karena bersikap adil dalam dapat berlaku adil, maka ( kawinilah) seorang saja,
nafkah [lahir-batin] merupakan kewajiban syar’i yang bersifat atau budak budak yang kamu miliki. Yang
dlarurah, dan itu sungguh berat sekali. Dlarurah berarti suatu demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
keperluan yang harus ditunaikan karena ia sangat penting dan berbuat aniaya."
pokok. Antara bentuk perlakuan adil terhadap beberapa istri
adalah nafkah lahir yang berkaitan dengan materi (seperti
makanan, tempat tinggal dan pakaian) harus sama. Baik
diberikan pada istri merdeka maupun hamba sahaya, karena
semua itu merupakan keperluan- keperluan primer. Suami juga
dilarang mengganti kewajiban nafkah batinnya dengan uang.
Demikian pula bagi istrinya, tidak boleh memberikan uang
kepada suaminya agar mendapat jadwal giliran lebih dari istri
yang lain.
https://core.ac.uk/download/pdf/268132623
Ulama Dalam kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas Dalam kitab Al muwattha bahwa Ghailan bin
Malikiyah seputar hukum poligini hamba sahaya, keharaman beristri lebih Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai
dari empat orang serta kewajiban membagi jadwal giliran sepuluh istri, maka Rasulullah bersabda ;
‫امسك منهن أربعا فارق سائر هن‬
terhadap istri-istrinya. Menurut Imam Malik (w. 179 H/796 M)
(‫)رواه أمام مالك‬
dalam buku Al- Muwattha`--yang merupakan buku fiqh pertama "Periharalah empat orang istrimu diantara mereka
yang ditulis secara sistematik-- seorang hamba sahaya dalam hal dan bebaskanlah ( ceraikanlah) yang lainnya. "
poligini juga sama dengan orang merdeka, mereka sama-sama
dibolehkan mempunyai istri sampai empat orang, karena ayat Imam Malik, al- muwata' ; ( Kairo: Dar Al kitab
tersebut bersifat umum. Meskipun ketika ini sudah tiada hamba- Al sib ) .1409
hamba sahaya, tetapi tetap harus diakui bahwa pendapat ini
progresif daripada pendapat ulama fiqh lain yang sezamannya
dalam mengakui hak-hak seorang hamba sama dengan hak-hak
yang merdeka. Menjadikan pendapat ini berbeda dengan
pendapat sebagian besar fuqaha yang mengatakan bahwa seorang
hamba hanya diperbolehkan menikahi dua istri saja, karena hak-
hak hamba sahaya ditetapkan hanya separo dari hak-hak orang
merdeka. Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa kewajiban bersikap adil di antara para istri sudah menjadi
ijma’ ulama yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Secara umum,
dalam masalah ‘keadilan’ di sini menunjukkan bahwa poligini
(baik untuk yang merdeka maupun hamba) dalam pandangan
ulama Malikiyah tak berbeda dengan pendapat sebagian besar
ulama lainnya, yakni poligini dibolehkan tetapi yang menjadi
pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=poligami+menurut+imam+mazhab&o
q=poligami+menurut+#d=gs_qabs&u=%23p%3Dlp73LhzEJscJ
Ulama Dalam hal ini, Ibnu Taymiyah (w.728 H/1328 M) menjelaskan,
Hambali poligini termasuk salah satu keistimewaan dalam syariat Islam
sepanjang masa karena mengandung banyak hikmah di
sebaliknya, baik bagi lelaki dan perempuan maupun masyarakat
sosial pada umumnya.Manakala di sudut lain, masalah
monogami malah menjadi perhatian penting bagi Ibnu
Quddamah. Senada dengan Imam Al-Nawawi (mazhab Syafi’i),
Ibnu Quddamah pun berpendapat bahwa monogami adalah lebih
baik karena bersikap adil bukanlah hal yang mudah dalam
poligini. Sedangkan bersikap adil adalah wajib bagi yang
berpoligini. Sehubungan itu, Ibnu Quddamah bersama Imam Al-
Hajawi, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Al- qayyim menjelaskan, jika
calon seorang istri mengajukan syarat agar tidak dimadu, dan
calon suami setuju, maka suami tidak boleh poligini. Tetapi jika
suami melakukannya, maka istri tersebut berhak mengajukan
gugatan untuk membubarkan pernikahannya. Begitu juga kalau
seorang lelaki menikahi wanita yang berasal dari keluarga yang
tidak biasa dimadu, maka secara otomatis kebiasaan tersebut
menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh suami, yaitu tidak
berpoligini. Pendapat ini merujuk kepada hadits Nabi yang
melarang Ali ibn Abi Talib menikahi perempuan lain setelah
menikah dengan puteri beliau.
https://core.ac.uk/download/pdf/268132623

Ulama Imam Syafi`i (w.204 H/820 M) tidak membahas poligini secara Hadits :
Syafi’iyah spesifik dalam buku fiqhnya yang sangat monumental, yakni al- ‫ أقام عندها سبعا‬، ‫عن انس بن مالك قال إذا تزوج البكر على الثيب‬
Umm. Beliau hanya membicarakan perempuan yang boleh atau ‫ أقام عندها ثاالثا‬، ‫ وإذا تزوج الثيب على البكر‬،
" Dari Annas bin Malik, nabi bersabda jika kamu
tidak boleh dipoligini dan mengenai batasan jumlah istri. menikahi seorang prawan maka tinggallah
Menurut Imam Syafi`I, perempuan yang tidak boleh dipoligini bersamanya selama tujuh hari dan jika kamu
secara mutlak dalam waktu yang sama adalah kakak beradik, menikahi seorang janda maka tinggallah
bersamanya selama tiga hari "
baik ia seorang hamba maupun merdeka. Demikian juga larangan
Bukhori. Shahih Al Bukhori juz VII hal. 34
mengawini antara perempuan dan tantenya (baik‘ammah maupun
kholah), danperbedaan antara yang prawan dan janda.
sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah. Sedangkan mengenai jumlah istri yang dibolehkan
menurut syariat Islam adalah
terbatas empat orang dan batasan ini hanya berlaku kepada
perempuan merdeka saja. Sementara pada hamba-hamba wanita
boleh dipoligini tanpa ada batasan. Namun, sepanjang kajian ini,
Imam Syafi`i sama sekali tidak berbicara tentang syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin berpoligini.
Hanya saja, di dalam satu bab khusus yang bertema ‚Kitab
Asyrah al-Nisa`‛, Syafi`i berbicara tentang masalah bagaimana
seharusnya seorang suami mempergauli istrinya dengan baik,
kewajiban dan cara bergilir bagi seorang lelaki yang berpoligini.
Syafi`i juga menegaskan bahwa antara suami dan istri memiliki
hak dan kewajiban masing-masing. Dikatakan juga bahwasanya
seorang yang berpoligini harus adil dalam memberikan jatah
kunjungan kepada semua istrinya dengan perhitungan
berdasarkan kuantitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggilir
seorang istri walau istri tersebut dalam keadaan sakit parah, haid
atau nifas, kecuali jika istri tersebut menyerahkan jatahnya
kepada istri yang lain. Pandangan ini bisa ditafsirkan membawa
kesan kepada keadilan dalam relasi gender, iaitu antara suami
dan istri itu harus saling pengertian, saling menghormati hak
masing-masing dan tidak boleh bertindak kasar kepada salah satu
pasangannya. Memandangkan dunia luar Islam ketika itu masih
kental dalam mengeksploitasi hak-hak perempuan.
Al-Hikmah jurnal studi keislaman, volume 5, nomor 1, Maret
2015
DAFTAR PUSTAKA

(2). 2 Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer,
(Jakarta: Restu Ilahi, 2005), h.

(4).Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, (1996), h. 85

(7). Sayid Qutub, Fi Dzilal al Quran,( Dar al Kutub al Jamiah,1961), Cet. IV, h. 236

(8). Rashid ridho, al Manar, h. 344-345

(9). M. Ilham Marzuq, Poligami Selebritis, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka April
2009), h.63-6

(10).Abdurrahman Abu Bakr al-Jazairi, h. 239

(11).Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, juz 7, (Demaskus: Dār al-Fiqr,


1985), h. 167

(12). Mustafa Khan, Mustafa al-Bighā dan Ali al-Syarbaji, Al-Fiqh al-Manhajiy ‘alā
Mażhab al-Imām al-Syaf’ī, Juz 1, al-Maktabah al-Syamilah, t.th., h. 409

(13).UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1

(14). Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafka, 2006), h.
47.

(18). PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal

(19). PP No. 30 tahun 1980 pasal 6 ayat 4

(20).PP.No 30 Tahun 1980 dan PP. No 10 Tahun 1983.

Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir al-Maragi, juz 4, Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly,
“Tafsir al-Maragi”, Semarang: Toha Putra, cet. ke-2, 1993, hal. 327

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hal.61-62.

Anda mungkin juga menyukai