PEMBAHASAN
72
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54.
73
C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
h.102.
55
2
74
Dyah Ochtorina Susanti, Op. Cit. h 1
3
75
Ibid. hal 2
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
78
79
Munir Fuady, Loc. Cit. hal. 26
6
80
Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi dan
Bisnis Kontan, Jakarta, h. 50.
81
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 57.
7
82
Ernama Santi, Loc.cit, hal. 35
83
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta, h 221
8
dijelaskan diatas oleh peneliti jika perjanjian selain dibuat secara online juga dapat
dilakukan secara konvensional artinya dilakukan secara langsung akan tetapi
dapat pula dilakukan secara tidak langsung.84 Perjanjian dimaksud akan terjadi
apabila salah satu pihak melakukan suatu penawaran dan pihak lainnya menerima
dan dengan adanya kondisi hukum yang demikian serta adanya suatu kejelasan
kepada para pihak memberikan suatu tujuan adanya kejelasan antara hubungan
hukumnya dan hal ini merupakan suatu yang disyaratkan oleh suatu perjanjian
sebagaimana dalam KUHPer.
Adanya internet dan globalisasi serta menghadirkan suatu bentuk fintech
dengan adanya hal tersebut memberikan suatu bentuk perjanjian baru yakni
adanya perjanjian online atau berbasiss teknologii. Konsep fintech ini mengadopsi
adanya perkembangan suatu teknologi yang diperpadukan dengan adanya
finansial terhadap lembaga perbankan, sehingga dengan hal tersebut dapat
memberikan fasilitas proses transaksi keuangan yang lebih praktis, aman dan
modern yang meliputi sistem layanan yang sudah berbasis digital yang diera saat
ini sudah berkembang pesat di Indonesia.85 Adanya fasilitas proses transasi yang
mempermudah tersebut tentu akan disambut baik oleh masayarakat yang akan
melakukan suatu sistem transaksi.
Tidak menjadi suatu hal yang baru apabila saat ini teknologi dan internet
digunakan oleh banyak orang dan memiliki peranan yang begitu pesat dalam
memberikan suatu pelayanan yang dapat memberikan suatu kenyamanan dalam
aktivitas manusia, hal tersebut juga meliputi kenyamanan yang diberikan oleh
fintech. Berdasarkan pengertian para pakar finansial teknologi (fintech) ada
berbagai macam meskipun dalam bahasa berbeda mendefinisikanya. Sala satu
pakar tersebut adalah Dorfleitner, Hornuf, Schmitt, & Weber yang menurutnya
finansial teknologi (fintech) didefinisiskan sebagai industri yang melaju dengan
sangat cepat dan dinamis dimana terdapat banyak model bisnis yang berbeda.86
Adanya fintech yang merupakan suatu fasilitas perekonomian yang tergolong
84
Ibid. hal. 5
85
Imanuel Adhitya Wulanata Chrismastianto, Loc. Cit.
86
Miswan Ansori, Loc. Cit. hal. 35
9
3. Crowdfunding.
Platfrom digital lebih sama dengan peer-to-peer lending (P2PL),
tetapi uang yang dikumpulkan secara gotong-royong melalui website
10
87
Muh. Rizal, Fintech As One Of The Financing Solutions For Smes, Jurnal AdBispreneur : Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan Vol.3, No. 2, Agustus 2018, h.
91
11
88
Lihat pasal 1 ayat 12 POJK 77 tahun 2016
13
orang atau lebih yang mana pihak yng satu memberikan sesuatu barang kepada
pihak lainnya, dengan sayarat pihak lainnya tersebut akan mengembalikan barang
yang diterimanya dengan jumlah, jenis dan memiliki mutu yang serupa.
Sebagaimana yang peneliti jelaskan sebelumnya subyek dari pinjaman
online pada layanan fintech diantaranya yakni pemberi pinjam yang merupakan
pihak kreditur dan peminjam yang merupakan pihak debitur. Selain itu, obyek dari
pinjaman online tersebut berupa segala bentuk barang habis yang tidak
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Perjanjian online pada
prinsipnya sama dengan yang dilakukan pinjaman secara konvensional, akan
tetapi pinjaman online lebih dikenal sebagai istilah peer to peer lending. Artinya
para pihak yang membuat suatu perjanjian tidak bertemu secara langsung,
melainkan menggunakan sarana elektronik dalam melakukan komunikasi dan
transaksinya, sedangkan yang akan mempertemukan pihak pemberi pinjaman
maupun yang meminjam adalah pihak penyelenggara yang akan mempertemukan
mereka secara online.
Lahirnya pinjaman online ini diawali dengan adanya suatu bentuk tawaran
yang diperbuat oleh penyelenggara layanan fintech slenjutnya akan dilanjutkan
dengan penerimaan yang dilakukan oleh seorang nasabah atau debitur. Prosedur
yang dilakukan dalam perjanjian online sangat berbeda dengan perjanjian secara
konvensional, hal tersebut dapat diketahui pada saat perjanjian tersebut lahir. Pada
perjanian online penawaran yang dilakukan dengan sistem online dan penerimaan
dilakukan dengan cara online pula. Perjanjian online akan melahirkan adanya
suatu kontrak elektronik, yang menurut Edmon Makarim89 yang dimaksud dengan
kontrak elektronik yakni suatu ikatan dalam hukum yang penggunaannya dengan
cara elektronik dengan adanya suatu jaringan sistem informasi pada basis
computer dengan sistem komunikasi dengan didasarkan kepada adanya suatu
jaringan telekomunikasi yang selanjutnya menggunakan suatu sarana computer.
Segala bentuk perjanjian yang dibuat oleh kreditur maupun debitur pada
layanan fintech menggunakan kontrak elektronik. Kontrak elektronik tersebut
89
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kompilasi Kajian di dalam Kontrak
Elektronik (E-Contract) dalam Sistem Hukum Indonesia , Gloria Juris, Vol.8, No. 1, Januari –April
2008, h. 7
14
sebagai dasar adanya suatu hubungan hukum diantara para pihak, sehingga
apabila terjadi suatu sengketa penyelesaiannya harus mengacu kepada kontrak
elektronik yang dibuatnya. Berkaitan dengan POJK 77 tahun 2016 apabila dilihat
hanya mengadobsi perlindungan terhadap konsumen dimana bentuk
perlindungannya yakni terhadap data pribadi konsumen, akan tetapi terkait dengan
perlindungan terhadap pihak kreditur yang berkaitan dengan segala aktivitas
debitur yang mergikan kepada kreditur masih belum diatur. Memang secara
konvensional dapat dilakukan upaya gugatan terhadap debitur akan tetapi hal ini
dapat dilakukan apabila perjanjian dibuat secara konvensional dan berbeda dengan
suatu perjanjian yang dibuat secara online yang mana para pihak hanya
mengetahui melalui sarana elektronik. Selain itu, identitas pihak debitur terkadang
bukanlah identitas yang sebenarnya sehingga apabila dilakukan suatu gugatan
akan sia-sia.
Menurut berita Kompas.com pada tahun 2020 terjadi perbuatan
wanprestasi pada pinjaman fintech yang mana pada tahun ini terjadi peningkatan
dibanding dengan tahun yang sebelumnya. Menurut berita tersebut tingkat
wanprestasi pengembalian pinjaman meningkat dan semakin menanjak, dari data
Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2020 tingkat wanprestasi pengembalian
pinjaman sebesar 4,93% lebih besar disbanding tahun sebelumnya yang berada
ditingkat 3,65%,90 tentu hal demikian memberikan dampak kerugian kepada
pemberi pinjaman online sehingga pada keadaan yang demikian diperlukannya
suatu perlindungan hukum kepada pihak penyedia dana dalam hal ini pihak
kreditur.
Upaya gugatan secara konvensional yakni melalui hukum acara perdata
tidak akan memberikan suatu solusi terhadap tingkat wanprestasi yang ada, karena
gugatan yang akan diajukan sangat memerlukan waktu yang lama dan selain itu
berkaitan dengan dana yang akan dikeluarkan apabila melakuakan suatu gugatan
sehingga dapat dipastikan tidakmungkin dapat diselesaikan secara sederhana,
cepat dan biaya terjangkau. Layanan fintech tidak sama dengan layanan pinjaman
90
https://money.kompas.com/read/2020/06/04/154914726/naik-tingkat-wanprestasi-pinjaman-
fintech-lending-tembus-49-persen?page=all diakses pada tanggal 10 Maret 2021
15
91
Hamowy, Ronald, Loc. Cit.
17
92
Isnaeni, 2016, Op. Cit. h. 39.
18
hati dan istilah lainnya kehati-hatian.93 Artinya pihak perbankan harus berhati-hati
dalam memberika segala fasilitas kepada nasabah, hal tersebut bertujuan agar
dapat meminimalisir terjadinya sengketa.
Selain itu, penggunaan prinsip kehati-hatian pada transaksi pinjam-
meminjam online sebenarnya dapat memberikan suatu bentuk perlindungan
hukum yang bersifat preventif kepada pihak kreditur, akan tetapi hal yang
demikian tentu tidak dapat memberikan suatu bentuk penyelesaian sengeta apabila
pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak timbul suatu sengketa. Sengketa
yang dimaksud yakni lalainya pihak debitur melakukan prestasinya atau dapat
dikatakan pihak debitur yang wanprestasi. Di Negara Indonesia sebagaimana yang
diberitakan oleh Kompas,com yang telah diulas diatas oleh peneliti tentang tingkat
wanprestasi pijaman fintech meningkat, tentu yang melakukan tindakan
wanprestasi adalah dari pihak debitur dikarenakan gagal bayar.
Terjadinya tingkat wanprestasi yang diakibatkan adanya gagal bayar tentu
sangat memberikan suatu bentuk kerugian kepada pihak penyedia dana, oleh
karenanya perlu adanya suatu perlindungan hukum kepada pihak penyedia dana
dengan cara memberikan suatu fasilitas penylesaian sengketa secara online,
sebagaimana yang peneliti jelaskan diatas menurut teori perlindungan hukum
yang disampaikan oleh John Struat Mill suatu perbuatan individu agar tidak
menimbulkan suatu bentuk kerugian kepada pihak lainnya maka harus dibatasi
agar dapat mencegah terjadinya suatu kerugian, hal ini tak kan dapat
direalisasikan tanpa terlebih dahulu diatur dalam peraturan perundang-undangan
agar dapat memberikan suatu kepastian hukum.
Prinsip kepastian hukum sendiri dapat dikatakan sebagai suatu sistem
noma, hal tersebut sesuai dengan pendapat Hans Kelsen. Norma disini merupakan
suatu prodak dari manusia, yang tertuang dalam suatu bentuk undang-undang.
Undang-undang dimaksud memiliki isi suatu aturan-aturan umum yang mengatur
setiap orang bertingkah laku dalam kehidupan masayarakat. Aturan tersebut akan
dapat dijadikan suatu batasan berprilaku, sehingga dengan adanya aturan tersebut
93
Permadi Gandapraja, Loc. Cit.
20
94
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 158
95
Riduan Syahrani, 1999, Loc. Cit.
21
96
Ibid.
22
hukum kepada pihak kreditur, karena sampai saat ini masih belum ada suatu
aturan yang khusus mengatur tentang penyelesaian sengketa secara online,
sehingga dengan demikian aturan hukum yang saat ini ada tidak dapat
memberikan suatu bentuk perlindungan hukum kepada pihak kreditur secara
sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Adanya suatu bentuk regulasi yang dapat
mengupayakan pihak debitur dapat memenuhi prestasinya hal tersebut akan
memberikan suatu bentuk kepastian hukum di Negara Indonesia. Berdasarkan hal
sebagaimana peneliti uraikan di atas, maka masilh belum terdapat pengaturan
perlindungan hukum bagi pihak kreditur sehingga dalam kaiatannya dengan
prinsip kepastian hukum dikarenakan masih belum diatur maka hal tersebut tidak
mencerminkan adanya prinsip kepastian hukum
97
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, hal. 12
23
98
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West, St. Paul, h.1343
99
Satjipro Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta , h.121.
24
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, 2013, Penerapan Teori Hukum pada PenelitianTesis
102
terkecuali terhadap pihak kreditur yang mendapatkan suatu kerugian atas tindakan
dari pihak debitur.
Hak sendiri merupakan suatu hal yang harus didapatkan oleh suatu pihak
sedangkan kewajiban merupakan sesuatu hal yang harus dikerjakan. Perjanjian
yang dibuat oleh pihak kreditur maupun pihak debitur melahirnya adanya suatu
hak dan kewajiban. Dipenuhinya suatu kewajiban dan hak tersebutlah yang dapat
dikategorikan sebagai akibat hukum dari adanya suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Akibat dari adanya suatu perjanjian merupakan pelaksanaan dari
adanya isi perjanjian dimaksud, sebagaimana ketentua Pasal 1339 KUHPer yang
pada pooknya menyatakan jika suatu perjanjian tidak hanya memberian ikatan
terhadap segala yang secara tegas disampaikan dalam bentuk perjanjian melainkan
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diwajibkan oleh kepatutan,
undang-undang dan kebiasaan.
Berkaitan dengan isi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para
pihak tentunya memuat segala hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
para pihak.103 Hak dan kewajiban yang tertuang dalam isi perjanjian apabila tidak
dilaksanakan atau dijalankan oleh para pihak tentu hal tersebutlah yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi. Menurut Subekti yakni suatu
perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan pada suatu
perjanjian yang dibuatnya, tidak ditepatinya suatu perjanjain yang dibuat
dikarenakan kesalahan pihak debitur, keadaan memaksa.104 Artinya pihak debitur
yang melakukan sebuah wanprestasi melakukan suatu kesalahan yang dapat
menghambat dilaksakannya suatu perjanjian yang buatnya hal tersebut
dikarenakan kesalahan debitur baik karena tidak melakukan suatu prestasi,
memenuhi prestasi akan tetapi tidak baik, terlambat memenuhi prestasi,
melakukan suatu perbuatan yang oleh perjanjian yang dibuatnya dilarang.
Wanprestasi memiliki arti tidak dipenuhinya suatu kewajiban dari
seseorang yang telah ditetapkan dalam sebuah perikatan tertentu, baik yang
Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum dan Kontrak “Franchise”, artikel diakses pada 12
103
105
Lihat Pasal 1234 KUHPer
28
Johanes Ibrahim, 2004, Cross Defauld & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
106
debitur secara formil untuk menyatakan jika pihak debitur telah nyata melakukan
suatu perbuatan wanprestasi sehingga dengan adanya somasi tersebut dapat
dijadikan rujukan untuk menentukan sejak kapan pihak debitur melakukan suatu
wanprestasi.
Akan tetapi pada perjanjian online yang notabeni perbuatan kontraknya
dilakukan secara online tentu tindakan melakukan somasi kepada pihak debitur
sangatlah sulit bahkan pihak kreditur tidak akan mengetahui secara pasti yang
hendak akan disomasi atau alamat debitur apakah domisilinya sesuai dengan
identitas atau tidak, selain itu juga perlu diperhatikan berkaitan yang mengajukan
apa benar-benar pihak debitur dalam suatu perjanjian, hal inilah yang membuat
suatu bentuk perjanjian online mengalami persoalan untuk menagih dan meminta
piutangnya kepada pihak debitur. Diketahui pinjaman online pada faktanya
tidaklah seperti pinjaman secara konvensional yang masih memerlukan adanya
suatu jaminan benda bergerak maupun benda tidak bergerak, dengan adanya
jaminan tersebut pihak kreditur dapat melakakukan suatu sita eksekusi terhadap
benda jaminan milik debitur. Akan tetapi berbeda dengan pinjaman online yang
sangat mudah prosedurnya tidak harus menggunakan suatu bentuk jaminan
apapun dan hanya menggunakan identitas diri saja sudah dapat melakukan suatu
bentuk transaksi pinjaman online.
Pinjaman online sendiri sebagaimana yang diketahui merupakan suatu
bentuk transaksi yang dilakukan dalam sistem online atau menggunakan sarana
elektronik sebagai penghubung diantara penyedia jasa keuangan atau kreditur dan
penerima jasa keuangan atau debitur. Pada sistem pinjaman yang dinyatakan pihak
debitur telah melakukan sebuah wanprestasi sebenarnya pihak kreditur masih
memiliki upaya untuk melakukan suatu bentuk perlindungan terhadap hak yang
seharusnya pihak kreditur dapatkan, dengan cara pihak kreditur dapat meminta
kepada pihak debitur untuk untuk melaksanakan prestasinya meskipun dalam
perkanjian yang telah dibuat oleh pihak kreditur dan debitur terlambat untuk
dilaksanakannya dapat melakukan suatu perbintaan terhadap ganti kerugiannya
saja,yang merupakan suatu kerugian yang dialaminya. Pihak kreditur sebenarnya
masih dapat melakukan suatu tuntutan kepada pihak debitur untuk melaksanakan
30
perjanjian dengan suatu menganti kerugian yang dilakukan oleh pihak debitur atas
keterlambatan pelaksanaan perjanjian tersebut.
107
M. Yahya Harahap, Op. Cit. h. 6
31
pinjaman online dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian timbal balik. Pada
kenyataannya bentuk dari pinjaman online yakni si pemberi pinjaman
memberikan sejumlah uang kepada peminjam dan hal tersebut ditentukan dalam
suatu perjanjian jika penerima pinjaman memiliki kewajiban untuk
mengembalikan pinjamannya dengan disertai adanya suatu bunga tertentu atas
pinajaman tersebut. memang perjanjian ini sangatlah memiliki resiko dan hal
tersebut tidak hanya pada bentuk perjanjian pinjaman uang melainkan kepada
tiap-tiap perjanjian, adapun resiko yang akan diterima atau timbul dari adanya
transaksi pinjam-meminjam adalah adanya gagal bayar atau dengan istilah lain
kredit macet. Kredit macet merupakan istilah dalam dunia perbankan dan secara
hukum hal tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi.108
Secara istilahnya wanprestasi atau dapat disebut juga dengan kata gagal
bayar merupakan pelanggaran yang merupakan suatu bentuk tidak dipenuhinya
perjanjian pinjam-meminjam yang merupakan dasar atau sumber dari adanya
kejadian senggketa diantara pihak kreditur dan debitur. 109 Artinya wanpresatsi
merupakan suatu hal dimana pihak kreditur yang telah menagih piutangnya
kepada pihak debitur akan tetapi pihak debitur tidak mau membayar hutang-
hutangnya kepada pihak kreditur. Pada sistem perjanian secara konvensional
apabila terjadi suatu bentuk wanpresatasi untuk mengupayakan perlindungan
hukum kepada pihak kreditur dapat dilakukan suatu gugatan sebagaimana yang
diatur dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, akan tetapi hal tersebut dapat
dilakukan manakalah perjanjian tersebut memiliki suatu benda jaminan atas
pemenuhan hutang pihak debitur dan lain halnya dengan sistem perjanjian secara
online yang dilakukan pada fintech yang mana pinajam tersebut dilakukan secara
online yag notabeni tidak mensyaratkan adanya suatu bentuk jaminan tertentu
dimana pihak penyelenggara fintech mempertemukan pihak penyedia jasa
keuangan dan penerima jasa keuangan, pertemuan tersebut terjadi pada sistem
online.
108
Gatot Supramono, 2013,Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, h. 147.
109
Ibid. hal 148
35
Sebenarnya untuk melindungi pihak kreditur atas sebuah perjanjian yang tidak
dilaksanakan oleh pihak debitur harus memiliki suatu jaminan atas pinjaman yang
diajukan oleh pihak debitur dan jaminan tersebut harus didaftarkan menjadi
jaminan fidusia, sebagaimana menurut Undang-Undang No.42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia mengartikan jika jaminan fidusia merupakan suatu
jaminan terhadap barang bergerak yang bentuk penguasaannya terdapat pada
kekuasaan debitur meskipun telah terjadi adanya suatu pengalihan kepemilikan. 110
Pendaftaran jaminan fidusia sebenarnya merupakan salah satu bentuk upaya
perlindungan hukum kepada pihak kreditur atas tidak dijalankannya perjanjian
oleh pihak debitur.
Akan tetapi pada perjanjian online yang dibuat oleh pihak kreditur maupun
pihak debitur serta penyelenggara layanan pada layanan dintech tidak terdapat
ketentuan adanya suatu jaminan sehingga hal tersebut akan menyulitkan untuk
pemenuhan hak apabila terjadi adanya wanprestasi atau gagal bayar maka dengan
hal tersebut perlindungan hukum terhadap pihak kreditur tidak terjadi. Pada
penelitian ini, teori perlindungan hukum yang dipakai oleh peneliti yakni teori
perlindungan hukum yang dikemukakan oleh John Struat Mill, perilindungan
hukum sendiri seyogyanyalah akan memberikan suatu perlindungan kepada setiap
orang dari adanya suatu bentuk kerugian yang akan ditimpulkan oleh seseorang
sehingga diperlukan adanya suatu bentuk pencegahan untuk menanggulangi
bentuk kerugian tersebut.Tidak dilanksanakannya suatu perjanjian tentu hal
tersebut akan menimbulkan suatu bentuk kerugian kepada salah satu pihak, hal
terebut juga akan terjadi pada perjanjian online yang mana apabila terjadi suatu
perbuatan wanprestasi. Wanprestasi tersebut timbul dari perbuatan yang tidak
melaksanakan perjanjian termasuk tindakan debitur maupun kreditur, akan tetapi
apabila dilihat tingkat wanprestasi terjadi pada saat ini diakibatkan oleh pihak
debitur yang tidak menjalankan suatu kewajibannya pada perjanjian online
sehingga timbullah perbuatan wanprestasi.
Apabila ditelaah secara mendalam ketentuan POJK 77 tahun 2016 masih
belum mengatur terkait upaya yang dapat dilakukan agar dapat memberikan
110
Wirojono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bale, bandung, h.20
37
111
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Op. Cit. hlm. 58.
38
aturan tersebut dikarenakan adanya aturan dimaksud hal inilah yang dikategorikan
sebagai kepastian hukum.
Kepastian hukum akan memberikan suatu bentuk kepastian terhadap upaya
perlindungan hukum kepada para pihak dalam transaksi fintech. Adanya
pengaturan berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum terhadap pihak kreditur
dalam melakukan suatu bentuk transaksi pinjaman online tentu akan
meminimalisir terjadinya suatu bentuk perbuatan wanprestasi atau gagal bayar
sehingga dengan mengupayakan penyelesaian sengketa melalui online dispute
resolution akan dapat membantu serta memberikan perlindungan hukum kepada
pihak kreditur atas perbuatan gagal bayar yang hendak diperbuat oleh pihak
debitur sehingga tingkat wanprestasi pada perjanjian pinjaman online dapat
diminimalisir dan upaya perlindungan kepada pihak kreditur dapat tercipta hal
inilah yang akan memberikan suatu bentuk kepastian hukum kepada perlindungan
hukum pihak debitur.
Adanya kepastian hukum kepada seseorang merupakan suatu harapan
terhadap pencari keadilan atas tindakan gagal bayar yang dilakukan oleh pihak
lainnya. Kepastian hukum akan memberikan suatu pemahaman kepada seseorang
akan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, tanpa adanya suatu bentuk
kepastian hukum seseorang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuatnya.
Hal inilah yang akan memberikan suatu bentuk perlindungan hukum kepada pihak
kreditur atas tindakan pihak debitur yang melakukan tindakan wanprestasi,
sehingga dengan diaturnya suatu bentuk upaya perlindungan hukum kepada pihak
kreditur dengan memberikan sebuah fasilitas penyelesaian sengketa secara online
dapaat memberikan suatu hal yang memungkinkan perbuatan gagal bayar dari
pihak debitur dapat dimanimalisir, dengan demikian bentuk perlindungan hukum
kepada pihak kreditur terhadap perbuatan debitur yang gagal bayar atau
wanprestasi dapat diatasi.
Pada prinsipnya teori kepastian hukum mengatur berkaitan suatu hal yang
pasti. Artinya dengan adanya suatu aturan hukum dan dilaksanakannya aturan
tersebut hal itulah yang dikategorikan sebagai suatu bentuk kepastian hukum.
Diketahui jika perlindungan hukum terhadap pihak kreditur masih belum diatur
39
secara tergas dalam POJK 77 tahun 2016, malah aturan tersebut hanya mengatur
berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pihak debitur. Padahal pada
dasarnya pihak kreditur juga memerlukan adanya suatu perlindungan hukum atas
tindakan pihak debitur yang merugikan kepada pihak kreditur, sehingga dengan
diaturnya suatu bentuk perlindungan hukum kepada debitur dengan sebuah aturan
tata cara penyelesaian sengketa secara online atau online dispute resolution
(ODR) sehingga dengan diaturnya hal tersebut dan apabila terjadi suatu bentuk
wanprestasi dapat diselesaiakan, hal ini dikarenakan suatu bentuk transaksi
fintech juga dilaksanakan dengan cara online maka sangat patutlah apabila suatu
bentuk penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara online pula.
M. Djumhana, 2003, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, ctkn ke III,
113
Bandung, h. 392-393.
114
Munir Fuady, 1995, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, h 7
41
prestasi debitur sudah tidak berarti lagi bagi kreditur. Jika debitur
melanggar perikatan untuk tidak berbuat.
b. Terlambat memenuhi prestasi
Debitur terlambat memenuhi prestasinya, makadiperlukanpenetapan
lalai (ingerbrekestelling). Debitur, baru dapatdibebani ganti kerugian
setelah ia diberi penetapan lalai untuk memenuhiprestasinya. Dengan
persetujuan kewajiban untuk memberikan penetapanlalai dapat
ditiadakan, yaitu dengan menentukan dalam persetujuan bahwadengan
terlambatnya pemenuhan prestasi, debitur sudah harus dianggap
melakukan ingkar janji.Jika dalam persetujuan ditentukan waktu
tertentubagi debitur untuk berprestasi, ini belum berarti bahwa
dengandilanggarnya waktu tersebut debitur sudah melakukan ingkar
janji, untukitu masih diperlukan penetapan lalai.
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi dan jika tidak melakukan
kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap
melakukan ingkar janji. Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam
suatu perikatan.115 Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan.
Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab
(liability),artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan
pemenuhan hutangnya kepada kreditur. Sehingga bila si debitur atau dapat
dikatakan seorang yang berutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka
seorang itu dapat dikatakan melakukan “wanprestasi”.
Terjaninya ingkar janji atau wanprestasi takkan pernah lepas dari adanya
suatu perjanjian, menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yaitu dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
Dapat diartikan pula, Perjanjian ialah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Pada rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan bahwa
perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang ataulebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian dengan demikian mengikat para
115
Mariam Darus Badruzaman, 1970, Asas-asas Hukum Perikatan, FH USU, Medan, hlm. 8.
44
pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang
ditentukan di dalam perjanjian itu.116 Peristiwa ini,timbulah suatu hubungan antara
duaorang tersebut yang dinamakanperikatan. Perjanjian menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Menurut bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian yang dimaksud disini merupakan perjanjian hutang piutang,
Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang
dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754
yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang
tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini
akan mengembalikansejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama
pula”.117 Perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur dituangkan dalam
perjanjian kredit. Perjanjian kredit memuat hak dan kewajiban antara para
pihak,perjanjian kredit bertujuan agar para pihak memenuhi segalakewajibannya
dengan berdasarkan iktikad baik seperti yang tercantum dalam pasal 1338
KUHPerdata. Perjanjian merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa lepas dari
kehidupan masyarakat. Melalui perjanjian masyarakat sangat dibantu dalam
melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan bisnis. Baik itu jual beli,
pinjam meminjam, perjanjian kerja, dan usaha bisnis lainnya yang membutuhkan
perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan lahir baik
karena perjanjian maupun karena undang-undang”. Perikatan yang lahir dari
perjanjian dapat dilakukan melalui kesepakatan para pihak yang melakukan
perjanjian. Suatu perjanjian akan lahir pada saat tercapainya kesepakatan atau
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asamara Putra, 2008, Implementasi Ketentuan-
116
Fajar Sahat Ridoli Sitompul, I Gst Ayu Agung Ariani .2014. Kekuatan Mengikat Perjanjian
118
Yang Dibuat Secara Lisan. Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana h .2.
46
kebutuhan sehari-hari. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata terdapat adanya syarat
sahnya perjanjian yang penting untuk dijadikan sebagaipertimbangan, karena
suatu perkara wanprestasi yang pertama dilihat adalah perjanjiannya sah atau
tidak sah. Jika perjanjian tersebut tidak sah maka seseorang yang diduga
melakukan wanprestasi tidak dapat dinyatakan melakukan wanprestasi.
Perjanjian yang dilakukan dengan bentuk apapun terdapat perikatan di
dalamnya, karena perjanjian merupakan sumber perikatan. Dalam hal ini,
Perjanjian secara fintech tetaplah sah dan memiliki kekuatan hukum untuk
menyatakan seseorang melakukan wanprestasi. Namun, jika dalam perjanjian
tersebut tidak diakui oleh pihak yang diduga melakukan wanprestasi, perjanjian
itu harus dibuktikan dulu keberadaanya. Perjanjian secara fintech memang
47
mempunyai kekuatan hukum namun tidak terlalu kuat seperti perjanjian yang
dibuat secara konvensional karena perjanjian yang dibuat secara konvensional
memiliki jaminan kebendaan untuk dapat dilakukan pemenuhan prestasi apabila
debitur wanprestasi dan berbeda dengan perjanjian secara fintech yang tidak
memiliki jaminan apapun sehingga pemenuhan prestasinya sulit untuk
dilaksanakan apabila pihak debitur wanprestasi.
Setelah perjanjian berlaku, maka para pihak baik kreditur maupun debitur
diharapkan melaksanakan iktikad baik untuk menghindarkan suatu perbuatan
yang menyimpang dari aturan yang berlaku dalam sebuah perjanjian. Solusi yang
digunakan dalam menjamin terlaksananya perjanjian diantaranya adalah dengan
memberikan sanksi yang tegas untuk pihak yang melakukan wanprestasi atau
melanggar perjanjian tersebut, terutama pihak kreditur sebaiknya memberikan
penjelasan kepada debitur terkait kewajibannya dan sanksi apabila kewajibannya
itu tidak dilaksanakan. Pengawasan terhadap debitur juga diperlukan agar debitur
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Kesepakatan yang dilakukan dalam perjanjian utang piutang online
sejatinya merupakan perjanjian yang dilakukan dibawah tangan yang dibuat oleh
pihak-pihak dengan menggunakan media sistem elektronik.119 Semua ketentuan
hukum perihal perikatan tetap berlaku terkait semua media yang digunakan dalam
melakukan transaksi itu sendiri, baik yang dilakukan dengan media kertas maupun
Perjanjian menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perjanjian antara orang
yang membuatnya. Perikatan adalah hbungan hukum antara dua pihak dalam
lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi
dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi, sehingga apabila
salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya maka hal tersebutlah yang
dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi.
Tindakan wanprestasi merupakan tindakan yang dapat merugikan kepada
salah satu pihak, pada penelitian ini tindakan yang merugkan tersebut yakni
tindakan dari pihak debitur yang tidak melakukan prestasinya. Apabila dilihat
dalam ketentuan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 masih belum menatur tentang
suatu bentuk upaya perlindungan hukum kepada pihak kreditur terhadap tindakan
wanprestasi pihak debitur dan apabila diteliti ketentuan POJK Nomor
77/POJK.01/2016 lebih melindungi pihak debitur. Padahal pihak kreditur sangat
membutuhkan perlindungan hukum agar pihak debitur tidak melakukan
wanpretasi, pada faktanya sebagaimana yang termuat pada berita Kompas.com
pada tahun 2020 terjadi perbuatan wanprestasi pada pinjaman fintech yang mana
pada tahun ini terjadi peningkatan dibanding dengan tahun yang sebelumnya.
Menurut berita tersebut tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman meningkat
dan semakin menanjak, dari data Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2020 tingkat
wanprestasi pengembalian pinjaman sebesar 4,93% lebih besar disbanding tahun
sebelumnya yang berada ditingkat 3,65%,120 tentu hal demikian memberikan
dampak kerugian kepada pemberi pinjaman online sehingga pada keadaan yang
demikian diperlukannya suatu perlindungan hukum kepada pihak penyedia dana
dalam hal ini pihak kreditur.
Pada prinsipnya instrumen perlindungan hukum dalam suatu perjanjian
diwujudkan dalam bentuk pengaturan, yaitu perlindungan hukum melalui suatu
bentuk perundang-undangan tertentu (undang-undang, peraturan pemerintah, dan
sebagainya yang sifatnya umum untuk setiap orang yang melakukan perjanjian
120
https://money.kompas.com/read/2020/06/04/154914726/naik-tingkat-wanprestasi-pinjaman-
fintech-lending-tembus-49-persen?page=all diakses pada tanggal 10 Maret 2021
49
dan perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang khusus dibuat oleh para
pihak, dalam bentuk substansi/isi perjanjian antara kreditur dan debitur. Otoritas
Jasa Keuangan atau OJK memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi
terhadap semua kegiatan pada sektor keuangan, termasuk kegiatan utang piutang
secara online. Sehingga, OJK telah mempersiapkan mekanisme penyelesaian yang
kemungkinan timbul apabila terjadi wanprestasi oleh debitur dan akan merugikan
kreditur.
Menurut teori perlindungan hukum
Memang perlindungan hukum terhadap kreditur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 dapat dilakukan oleh pihak
penyelenggara dengan cara menerapkan 5 prinsip dasar sesuai dengan Pasal 29
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 ang menyatakan
bahwa, Penyelenggara wajaibmenerapkan prinsip dasar dari perlindungan
pengguna(kreditur dan debitur) yaitu:
1. Transparansi
2. Perlakuan yang adil
3. Keandalan
4. Kerahasiaan dan keamanan data
5. Penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan biaya
terjangkau.
Penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi,
hanyalah sebagai marketplace, sejatinya para pihak dalam perjanjian pinjam
meminjam adalah kreditur dan debitur. Sebagai penyelenggara, tetu hanya sebagai
pihak yang diberikan kuasa oleh kreditur untuk menyalurkan dananya kepada
debitur. Sehingga apabila terjadi kerugian terhadap kreditur manakala debitur
wanprestasi, kreditur tidak dapat mengajukan tuntutan akibat tindakan
penyelenggara dalam menganalis, menyeleksi dan memberikan persetujuan
terhadap pinjaman yang telah dikategorikan layak untuk ditawarkan kepada
kreditur. Jika terjadii wanprestasi, maka pihak penyelengara mengupayakan
melakukan penagihan dengan jasa unitt pengihan serta mengupayakan dengan
mediasi dan mediasi dimaksud tidak terdapat suatu aturan yang mengaturnya.
50
Memang mediasi memiliki tujuan supaya tidak terjadi wanprestasi, akan tetapi hal
tersebut tidak memungkinkan terjadi mediasi secara konvensional dikarenakan
para pihak hanya berkomunikasi melalui sarana online.
Apabil kerugian yang timbul adalah diakibatkan oleh tidakan
penyelenggara dalam menganalisis, menyeleksi, dan menyetujui pinjaman maka
sesuai dengan Pasal 37 POJK No.77/POJK.01/2016 yang menegaskan bahwa
Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul
akibat kesalahan dan/atau kelalaian, direksi, dan/atau pegawai penyelenngara.
Bentuk pertanggung jawaban penyelenggara adalah sesuai dengan pasal 5 ayat (1)
POJK No.77/POJK.01/2016 yaitu penyelenggara menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasidari pihak Pemberi Pinjaman (kreditur) kepada Penerima Pinjaman
(debitur) yang sumber dananaya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman (kreditur).
Berdasarkan peraturan tersebut, apabila tindakan penyelenggara dapat merugikan
kreditur maka penyelenggara dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 47 POJK
No.77/POJK.01/2016. Sanksi administratif yang berikan kepada penyelenggara
yang melanngar ketentuan OJK adalah:
1. Peringatan Tertulis
2. Denda yaitu kewajiban unruk membayar sejumlah uang tertentu
3. Pembatasan kegiatan usaha
4. Pecabutan izin
Pada POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tidak diatur mengenai prosedur
pengajuan komplain ketika terjadi kelalaian oleh debitur. POJK Nomor
77/POJK.01/2016 tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum atas
perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pelepas dana, sehingga dalam
POJK tersebutperlu memberikan perlindungan hukum yang cukup terhadap
kreditur manakala debitur wanprestasi. Pada saat terjadi sengketa yakni debitur
wanprestasi, maka kreditur dapat mengajukan pengaduan kepada penyelenggara
sehingga pihak penyelenggara segera menindak lanjuti. Setelah adanya pengaduan
dari kreditur maka berdasarkan Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
18/POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa
51
Keuangan menegaskan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dalam hal ini adalah
penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
wajib melakukan tindak lanjut berupa:
1. Melakukan pemeriksaan internalatas pengaduan secara kompeten,
benar dan obyektif
2. Melakukan analisa untuk memastikan kebenaran pengaduan
Setelah pengaduan diterima maka penyelesaian pengaduan yang diberikan
Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
terhadap kreditur menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen
pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan berupa pernyataan maaf atau menawarkan
ganti rugi (redress/remedy). Sehingga sesuai dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian
Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut maka dapat
dibenarkan jika pihak penyelenggara wajib memberikan ganti rugi apabila
kerugian yang diderita kreditur dalam perjanjian utang piutang terbukti akibat
tindakan dari pihak penyelenggara. Namun jika pengaduan dari kreditur kepada
pihak penyelenggara tidak juga menemukan kesepakatan, maka kreditur dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur pengadilan maupun tidak. Hal ini
sesuai dengan Pasal 25 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
18/POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa
Keuangan yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat
dilakukan melauli lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau dapat
menyampaikan permohonannya kepada OJK untuk memfasilitasi penyelesaian
pengaduan konsumen dalam hal ini kreditur sebagai pengguna layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang telah dirugikan oleh
pelaku jasa keuangan dalam hal ini adalah penyelenggara jasa layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Upaya perlindungan hukum terhadap kreditur jika pihak debitur
wanprestasi dapat dilakukan dengan cara memberikan fasilitas penyelesaian
sengketa kepada pihak kreditur dan debitur, apabila diselesaikan pada pengadilan
52
121
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. Hal. 58.
54