Anda di halaman 1dari 50

1

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

PRINSIP KEPASTIAN HUKUM ATAS PENDAFTARAN AKTA


PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH SEMENTARA

PRINCIPLE OF LEGAL ASSURANCE ON REGISTRATION OF


TRANSITIONAL LAND RIGHTS BY OFFICIALS MANUFACTURER OF
PROVISIONAL LAND DEED

Oleh

EDWINDA SURYA ANGGANA, S.H.


NIM. 190720201026

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI


UNIVERSITAS JEMBER
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
2021
2

PROPOSAL TESIS

PRINSIP KEPASTIAN HUKUM ATAS PENDAFTARAN AKTA


PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH SEMENTARA

PRINCIPLE OF LEGAL ASSURANCE ON REGISTRATION OF


TRANSITIONAL LAND RIGHTS BY OFFICIALS MANUFACTURER OF
PROVISIONAL LAND DEED

Oleh

EDWINDA SURYA ANGGANA, S.H.


NIM. 190720201026

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER HUKUM
2021
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemerintah di dalam konstitusinya mengatur jika tanah merupakan suatu
hal yang sangat diperlukan dan berperan penting untuk manusia sehingga Negara
Indonesia mengatur dalam Pasal 28 huruf H ayat 4 Undang-undang Dasar 1945
(selanjutnya disebut UUD 45) yang pada intinya segala hal kekayaan alam yang
terkandung di atas tanah atau bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk dapat
dipergunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.1 Berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah).2 PP Pendaftaran Tanah merupakan
suatu dasar untuk diselenggarakannya suatu pendaftaran tanah bagi masayarakat
Indonesia yang memiliki sebidang tanah, hal tersebut bertujuan untuk dapat
memberikan rasa keamanan dari penguasaan hak atas tanah terhadap setiap
masayarakat Indonesia yang memiliki sebidang tanah. Seluruh tanah di Indonesia
dapat dikuasi oleh Negara manakala Negara membutuhkan untuk kepentingan
rakyat, kepentingan rakyat merupakan bagian terpenting dalam sistem
pemerintahan di Indonesia,3 sehingga muncullah jaminan kepastian hukum atas
pendaftaran tanah demi kepentingan masayarakat/rakyat.
Faktanya tanah yang dibutuhkan sangatlah terbatas dan tidak dapat
bertambah, hal ini yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara keinginan
manusia untuk memiliki tanah dengan keterbatasan tanah sehingga
mengakibatkan sebuah persoalan-persoalan dikehidupan manusia. Adanya
ketimpangan dan persoalan-persoalan tersebutlah yang membuat tanah menjadi
suatu hal yang harus memiliki, hak kepemilikan agar memberikan jaminan
kepastian hukum dan perlindungan hukum.4 dengan demikian sangat diperlukan

1
JW.Muliawan , Pemberian hak Milik untuk Rumah Tinggal –Sebuah Kajian Normatif untuk
Keadilan bagi Masyarakat (Jakarta, Cerdas Pustaka Publisher, 2009), h. 57.
2
Djoko Prakosa dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksana Mekanisme
Fungsi Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) h. 19.
3
Lihat pasal 6 UUPA
4
Diharja Hari Pangestu, Pendaftaran tanah dari Obyek jual Beli yang tidak bersertifikat,
Jurnal Ilmiah Mataram, Vol 1, No. 1, 2014, h. 2.
4

suatu pendaftaran tanah kepada Negara untuk menjamin hak kepemilikan atas
tanah tersebut.
Tanah dibutuhkan oleh setiap manusia untuk kepentingan pembangunan
dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya untuk menuju kesejahteraan. Tanah
bagi kehidupan manusia sangatlah berperan penting karena demi menjalankan
kehidupan manusia akan selalu bergantung kepada tanah mulai dari membuat
rumah, bercocok tanah dan lain sebagainya, sehingga sangat jelas jika tanah
merupakan suatu kebutuhan yang sangat urgen bagi kehidupan manusia.. 5 Tidak
heran jika manusia sangat bergantung pada tanah sehingga Pemerintah mengatur
tentang hukum pertanahan mulai dari pemilikan hak dan perbuatan hukum atas
hak tanah.
Jaminan kepastian hukum atas pendaftaran tanah juga diatur oleh Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang
pada intinya mengatur tentang jaminan adanya kepastian hukum hak dari suatu
tanah oleh pemerintah, hal tersebut dilakukan oleh pemerintah di seluruh wilayah
Negara Indonesia yang ketentuannya mengacu kepada PP Pendaftaran Tanah.6
Demi adanya kepastian hukum pada kepemilikan ha katas tanah di Indonesia
perlu diadakan suatu pendaftaran tanah pada wilayah seluruh Indonesia. Adapun
tujuan dari pendaftaran tanah tersebut yakni untuk tercapainya perlindungan
hukum dan kepastian hukum untuk pemegang hak milik tanah.7 Nantinya
pemegang ha katas tanah akan mendapatkan suatu bukti berupa sertifikat hak
milik yang dapat dijadikan suatu dasar kepemilikan atas tanah.
Negara dalam melakukan pendaftaran tanah milik masayarakat memiliki
suatu tujuan yang hendak dicapai yakni untuk dapat memberi pada masyarakat
adanya hak terhadap tanah dimana dengan adanya suatu hak yang diberikan akan
memberikan suatu kepastian hukum serta kelayakan pada pemegang hak, hal ini
Negara menginginkan agar masayarakat dapat mendapatkan kepastian dan
perlindungan atas hak yang dimilikinya secara aman dan adil.8 Mochtar
Kusumaatmaja berpendapat jika hukum memiliki tujuan pokok yakni untuk suatu
5
Kertasapoetra dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah
(Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 1.
6
Lihat Pasal 19 ayat (1) UUPA
7
Mira Novana Ardani, Tantangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap dalam Rangka Mewujudkan Pemberian Kepastian Hukum, Jurnal Gema Keadilan, Vol.
6, No. 3, 2019, h. 270.
5

ketertiban.9 Ketertiban pada masayarakat dapat tercipta manakala hukum memiliki


sifat yang dinamis serta mengikuti adanya suatu perkembangan pada kehidupan
masyarakat.
Undang-undang harus dapat memberikan suatu aturan yang dibutuhkan
oleh masayarakat, karena sejatinya hukum dibentuk demi menjamin perwujudan
ketertiban pada kehidupan masyarakat.10 Artinya hukum dapat tercapai manakala
terciptanya suatu ketertiban sehingga dengan tercapainya suatu ketertiban akan
berakibat tercapainya suatu kepastian hukum terhadap masayarakat yang
sejagtera. Pendaftaran tanah merupakan serangkaian aktivitas yang dibuat oleh
pemerintah untuk waktu yang terus menerus, teratur dan berkesinambungan.
Pendaftaran tanah dilakukan dengan cara pengelolahan, pengumpulan,
pengkajian dan pembukuan serta dipeliharanya suatu data fisik dan suatu data
yang bersifat yuridis pada suatu bentuk peta serta daftar berkaitan dengan bidang-
bidang tanah dan peraturan rumah susun, termasuk pemberian bukti hak atas tanah
yang sudah melekat suatu kepemilikan atas tanah tersebut.11 Adanya suatu
pendaftaran tanah membuat pihak-pihak yang kepentingan akan dengan sangat
mudah mengetahui status dan kedudukan kepemilikan dari suatu tanah.12
Menurut artinya pendaftaran tanah diartikan sebagai cadaster yang
merupakan istilah teknis pada suatu perekaman yang dapat menunjukkan suatu
luas, kepemilikan dan nilai pada suatu hak atas tanah. 13 Selain melakukan
pendaftaran tanah, UUPA juga mengatur tentang suatu pendaftaran peralihan hak
atas tanah yang peraturan pelaksananya adalah PP Pendaftaran Tanah, peralihan
hak atas tanah ini adalah suatu peristiwa dan dapat dikategorikan sebagai suatu
perbuatan hukum yang berakibat terjadinya suatu peralihan hak kepemilikan atas
tanah kepada pihak lainnya.
Peralihan ini akan dapat terjadi karena adanya suatu kesengajaan seperti
perbuatan hukum jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Mohammad Yamin

8
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia ,
(Bandung: Alumni, 1983), h .33.
9
Ibid.
10
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1985), h.
4.
11
Lihat Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
12
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h. 95.
13
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 18.
6

Lubis berpendapat jika ada pihak yang memiliki kehendak untuk disengajanya
atau disepakatinya terhadap sebidang tanah milik, maka hal tersebut mengandung
pengalihan hak atas tanah tersebut.14 Peralihan hak atas tanah merupakan
perbuatan hukum yang dapat mengakibatkan peralihan hak yang dimiliki oleh
subyek hukum yang satu ke subyek hukum yang lainnya, sehingga mengakibatkan
kehilangan kepemilikan hak atas tanah yang dimilikinya.
Pendaftaran tanah sangat erat kaitannya dengan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sudah jelas di atur dalam PP
Pendaftaran tanah yang pada Pasal 5 menerangkan pada pokoknya untuk
melakukan pendataran tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan nasional.15 Artinya
Negara sangat berperan aktif dalam melindungi hak atas tanah yang berada di
kawasan Negara Indonesia, dengan demikian kedudukan tanah di Negara
Indonesia sangatlah dihargai atas kepemilikannya.
Pendaftaran peralihan hak tanah harus segera didaftarkan ke kantor
pertanahan paling lambat 7 hari kerja oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) setelah ditandatanganinya akta yang dibuat, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 40 PP Pemdaftaran tanah. 16 Pendaftaran peralihan
hak atas tanah wajib untuk didaftarkan ke kantor pertanahan guna untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum tertentu.
Akta yang didaftarkan ke kantor pertanahan merupakan akta peralihan hak
atas tanah, sedangkan akta menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio merupakan suatu
surat yang berisikan suatu perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan Sudikno
Mertokusumo berpendapat jika yang dimaksud dengan akta adalah suatu naskah
yang dibubuhkan tandatangan yang berisikan peristiwa hukum yang merupakan
bagian dari dasar suatu perikatan dan selain itu akta juga digunakan sebagai suatu
pembuktian.17
Pendaftaran peralihan hak atas tanah kepada badan pertanahan nasional
hanya dapat dilakukan oleh PPAT hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 40
PP Pendaftaran tanah, sedangkan PPAT menurut PP Pendaftaran tanah

14
Muhammad Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah (Bandung: Mandar Maju, 2008), h.
27.
15
Lihat pasal 5 UU Pendaftaran tanah
16
Lihat Pasal 40 PP Pendaftaran tanah
17
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta (Yogyakarta: Pustaka yustisia, 2012), h. 1.
7

sebagaimana yang termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 ayat 24 PP Pendaftaran


tanah yakni pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk dapat membuat akta
tanah tertentu.18 PPAT diberikan kewenangan oleh PP Pendaftaran tanah untuk
melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dengan mendaftarkan akta
peralihan hak atas tanah ke kantor pertanahan.
Selain itu, pada prakteknya tidak hanya PPAT yang melakukan
pendaftaran peralihan hak atas tanah melainkan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara (selanjutnya disebut PPATS), tentu hal tersebut memberikan sebuah
problem hukum karena pada PP Pendaftaran tanah tidak mengatur kewenangan
PPATS sebagai pejabat untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
PPATS sendiri merupakan pejabat pemerintah yang ditunjuk sebagai pejabat
pembuat akta tanah di daerah karena masih belum adanya PPAT di daerah
tersebut atau lebih dikenal dengan istilah Camat. Camat sendiri diartikan sebagai
pegawai pamong praja yang berwenang menjadi kepala pemerintahan di
kecamatan.19
Kekosongan jabatan PPAT pada suatu wilayah yang diakibatkan luasnya
teritorial Negara Indonesia, sehingga untuk dapat menanggulangi hal tersebut
perumus ketentuan PPAT memberikan suatu solusi yakni dengan menunjuk
pejabat yang lainnya untuk menjabat sebagai PPAT. Adapun pejabat lainnya yang
ditunjuk untuk mengisi kekosongan PPAT adalah camat atau kepala desaa, yang
setelah disumpah akan mengemban jabatan PPATS. Akan tetapi norma hukum
tentang PPATS yang berkaitan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah masih
menuai persoalan karena tidak secara langsung mengatur kewenangan PPATS di
dalam PP Pendaftaran tanah, sehingga mengakibatkan adanya kekosongan aturan
hukum dan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum.
PPATS yang menjabat adalah camat karena ditunjuk serta diangkat untuk
menjadi pejabat yang memiliki kewenangan membuat suatu akta otentik pada
bidang pertanahan oleh kepala badan pertanahan nasional wilayah propensi.
Camat yang ditujuk bertujuan agar dapat memberikan suatu pelayanan kepada
masayarakat untuk dapat membuat akta yang masih belum ada PPAT di daerah

18
Lihat Pasal 1 ayat 24 PP Pendaftaran tanah
19
Poerwodharmo, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), H. 181.
8

dimaksud.20 Camat sendiri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 thn 2008


tidak mengatur periode jabatan camat dan hal tersebut tergantung kepada putusan
kepala daerah yakni bupati, sedangkan pengangkatan PPATS didasarkan kepada
surat keterangan yang dibuat oleh kepala daerah untuk dapat dimohonkan seorang
camat kepada kantor wilayah pertanahan untuk diangkat sebagai PPATS. Tentu
camat disuatu daerah atau wilayah akan berubah-ubah tergantung kepada
kebijakan dari kepala daerah, sehingga apabila terjadi suatu permasalahan tidak
akan dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum karena jabatan PPATS
dapat berubah sewaktu-waktu.21
Pada dasarnya PP Pendaftaran tanah mengisyaratkan untuk melakukan
pendaftaran akta peralihan hak atas tanah paling lambat 7 hari kerja dan yang
berhak untuk mendaftarkannya adalah PPAT, hal ini dimaksudkan agar badan
pertanahan lebih mudah untuk melakukan pendaftaran tanah di wilayah Negara
Indonesia. Selain itu, PP Pendaftaran tanah tidak mengatur kewenangan PPATS
secara spesifik dan aturan yang mengatur PPATS adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PP Jabatan PPAT). Menurut PP Jabatan PPAT yang
dimaksud dengan PPATS yaitu pejabat pemerintahan yang ditunjuk dikarenakan
suatu jabat tertentu untuk dapat melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.22
PP Jabatan PPAT merupakan suatu peraturan pelaksana ketentuan PP
Pendaftaran tanah yang mengatur berkaitan dengan kewenangan dari PPAT untuk
membuat suatu alat bukti berupa perbuatan hukum tertentu dengan cara tertulis
berkaitan dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak kepemilikan terhadap
tanah yang akan djadikan suatu dasar pendaftaran. PPATS dapat melakukan suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh PPAT, hal tersebut diatur dalam ketentuan
Pasal 2 ayat 2 PP jabatan PPAT yakni :23
a. Jual beli

20
Suharjono, Camat Selaku Kepala Wilayah dan PPAT Sementara (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2009), h. 33.
21
Terry Maharani Wibowo, Pembinaan dan Pengawasan kepala kantor pertanahan kabupaten
malang terhadap PPAT dan PPATS. Justitia Jurnal Hukum. Vol. 2, No. 2, 2018, H. 347.
22
Lihat Pasal 1 ayat 2 PP nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah
23
Lihat pasal 2 ayat 2 PP jabatan PPAT
9

b. Tukar menukar
c. Pemasukan kedalam perusahaan
d. Hibah;
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan
Ketentuan Pasal 37 UU Pendaftaran tanah mengatur tentang peralihan hak
atas tanah yang pada intinya mengatur tentang peralihan hak atas tanah
sebagaimana pada ketentuan Pasal 2 ayat 2 PP jabatan PPAT tersebut hanya dapat
dilakukan pendaftaran apabila telah terdapat akta yang dibuat oleh PPAT dan
bukan akta yang dibuat oleh PPATS. Selain itu, PP Pendaftaran tanah tidak diatur
kewenangan PPATS untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dan
yang dapat melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah ke badan pertanahan
adalah PPAT, hal ini mengakibatkan suatu kekosongan norma apabila PPATS
melakukan suatu tindakan pendaftaran peralihan hak atas tanah, sehingga untuk
menjamin adanya kepastian hukum terkait pendaftaran peralihan hak atas tanah
oleh PPATS maka perlu adanya aturan perundang-undangan yang secara khusus
mengenai memberikan kewenangan kepada PPATS dalam melakukan pendaftaran
peralihan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional.
Kewajiban Negara Indonesia demi terciptanya kepastian hukum harus
memberikan perlindungan kepada setiap orang, hal terebut diatur dalam UUD
1945 yang mana pada pokoknya mengatur jika setiap orang berhak atas
perlindungan, jaminan, pengakuan, dan kepastian hukum yang meiliki sifat adil
serta kedudukan yang sama dimata hukum.24 Pemerintah Indonesia
mempertimbangkan jika berkaitan dengan pendaftaran tanah erat kaitannya
dengan suatu akta yang bersifat autentik maka Negara Indonesia menunjuk
pejabat lainnya yang berkompeten dalam bidang pembuatan akta autentik yang
ada kaitannya dengan hak atas tanah. Penyelenggaran pertanahan tetap berada
pada kewenangan badan pertanahan nasional, sedangkan yang dimaksud dengan
pejabat lain yakni pejabat yang membantu badan pertanahan nasional yaitu PPAT.

24
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
10

Kewenangan yang harus didapat oleh PPATS harus didasarkan kepada


suatu aturan hukum, hal ini berkesesuaian dengan pilar utama pada Negara hukum
yakni adaya asas legalitas, atas dasar hal tersebut kewenangan dari pemerintah
didasarkan kepada adanya suatu undang-undang. Pada kepustakaan hukum
administrasi publik terdapat beberapa cara untuk mendapatkan suatu kewenangan
yakni dengan cara delegasi, mandat dan atribusi.25
Saat ini, wewenang terhadap PPATS untuk melakukan suatu pendaftaran
peralihan hak atas tanah pada PP Penfaftaran Tanah maupun PP Jabatan PPAT
masih belum diatur dan hal tersebut merupakan suatu kekosongan norma
berkaitan dengan kewenangan PPATS dalam melakukan pendaftaran peralihan
hak atas tanah, Apabila PPATS tidak mendapatkan kewenangan untuk melakukan
pendaftaran peralihan hak atas tanah dan PPATS tetap melakukan perbuatan
pendaftaran peralihan hak atas tanah ke badan pertanahan nasional hal tersebut
tentunya akan bertentangan dengan prinsip kepastian hokum.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh peneliti maka sangatlah
menarik jika dibahas lebih lanjut di dalam sebuah penelitian tesis yang berjudul
“Prinsip Kepastian Hukum Atas Pendaftaran Akta Peralihan Hak Atas
Tanah Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa landasan hukum pejabat pembuat akta tanah sementara dalam
melakukan pendaftaran akta peralihan hak atas tanah?
2. Apakah pendaftaran akta peralihan hak atas tanah yang didaftarkan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara sesuai dengan ketentuan
PP Nomor 24 Tahun 1997?
3. Bagaimanakah konsep pengaturan pendaftaran akta peralihan hak atas
tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yang sesuai
dengan prinsip kepastian hukum?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yang ingin dicapai oleh peneliti yakni:

25
Nur Basuki Winanrno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
(Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), h. 65.
11

1. Untuk mengetahui dan memahami landasan hukum pejabat pembuat


akta tanah sementara dalam melakukan pendaftaran akta peralihan hak
atas tanah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian Pejabat Pembuat Akta
Tanah Sementara dalam melakukan pendaftaran akta peralihan hak
atas tanah terhadap ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997.
3. Untuk menemukan konsep pengaturan pendaftaran akta peralihan hak
atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yang sesuai
dengan prinsip kepastian hukum.

1.3.2 Manfaat Penelitian


Manfaat yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis memberikan suatu bentuk kontribusi pemikiran
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang
hukum perdata secara umum, dan secara khusus dapat dijadikan
pertimbangan dan kajian dalam menentukan pengaturan PPATS yang
sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Selain itu, dari aspek
akademis mengharapkan dapat memberikan nilai tambahan pada
perkembangan ilmu hukum, terutama pada bidang ilmu hukum
perdata dalam pengkajian mengenai pengaturan pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah oleh PPATS.
2. Manfaat praktis diharapkan menjadi dasar pertimbangan dan masukan
bagi Pemerintah terkait dan juga semua pihak-pihak yang aktif dan
turut andil dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan terkait
pendaftaran akta peralihan hak atas tanah yang didaftarkan oleh
PPATS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ORISINILITAS PENELITIAN
12

2.1 Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum sebagai bentuk upaya untuk merealisasikan hukum pada
kenyataanya. Menurut dari istilahnya kepastian hukum merupakan sebuah
keadaan yang pasti, tidak kabur, jelas, ketentuan dan merupakan ketetapan.
Hukum itu sendiri secara hakikatnya harus adil dan pasti agar tidak menimbulkan
multitafsir, arti pasti tersebut sebagai pedoman berprilaku sedangkan arti adil
prilaku harus memprioritaskan suatu tatanan yang bernilai wajar. Hanya karena
memiliki sifat yang adil dan diimplementasikan dengan pasti hukum itu mampu
menjalankan fungsinya. Kepastian hukum adalah pertanyaan yang dapat dijawab
secara normatif, dan tidak dapat dijawab secara sosiologi.26
Ajaran cita hukum menyebutkan harus adanya unsur cita hukum yang
wajib ada secara berimbang, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Walaupun dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana yang
diargumentasikan oleh Gustav di dalam karyanya yakni idee des recht yaitu
penegakan hukum wajib memenuhi tiga unsur tersebut. Implementasi dari ketiga
unsur terseebut tidak lepas dari peran seorang hakim, peran hakim sangat
terhormat dan dimulyakan didalam kehidupan masyarakat. Hakim sendiri di dlam
tugas pokok dan fungsinya yakni menegakkan keadilan dan kebenaran serla dalam
menjalani tugasnya harus eselalu menjunjung tinggi hukum.27
Menurut Hans Kelsen hukum merupakan norma yang terkandung di dalam
undag-undang. Undang-Undang yang memuat aturan yang memiliki sifat umum
dapat dijadikan dasar kepada individu dalam berprilaku di masyarakat, baik
hubungan bermasyarakat maupun sesame individu. Aturan tersebut menjadi tolok
ukur kepada masyarakat untuk melakukan penindakan kepada setiap individu.
Adanya implementasi aturan tersbut memberikan kepastian hukum kepada
msayarakat.28
Argumentasi lain lahir dari filsuf Jerman yakni Gustav Radbruch
memberikan ide tiga dasar hukum, yang oleh beberapa ahli teori hukum dan
filsafqt hukum, juga mengidentikkan ketiga tujuan hukum tersebut, yakni
26
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2010), h. 59.
27
Doddy Noormansyah. “Holding Game. Merger dan Penegakan Hukum Persaingan usaha”,
Jurnal Hukum Litigasi, Vol. 7, No. 1, 2006, h. 10.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2016),
h. 58.
13

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum merupakan suatu


jaminan untuk menjalankan hukum menggunakan cara yang baik dan tepat serta
sebagai tujuan paling utama dalam hukum, apabila tidak adanya kepastian hukum
maka hukum itu akan hilang jatidirinya dan maknanya implikasinya jika hukum
sudah kehilangan jati dirinya maka setiap orang tidak akan berpedman lagi kepada
hukum dan lebih mengutamakan kehendak diluar hukum itu sendiri. Gustav
Radbruch juga memandang hukum menjadi tiga nilai identitas, yakni sebagai
berikut:29
1. Kepastian hukum (rechmatigheid), Hlm ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Keadilan hukum (gerectigheit), Hlm ini meninjau dari filosofis,
bermakna keadilan dipandang sebagai kesamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan.
3. Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility.
Kepastian hukum sebagai jaminan dari keadilan. Norma yang diatur harus
sungguh-sungguh ditaati. Gustav Radbruch berpendapat kepastian hukum dan
keadilan merupakan konsistensi dari hukum itu sendiri. Menurutnya kepastian
hukum harus dipelihara demi keamanan dan ketertiban sebuah negara, maka
hukum positif haruslah ditaati berdasrkan hal tersebut yang ingin dicapai adalah
keadilan dan kebahagiaan.30
Munculnya hukum modern membuat lahirnya sebuah ajaran kepastian
hukum, ajaran tersebut merupakan suatu ajaran yang masih baru. Akan tetapi nilai
dari keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sejak sebelum adanya
hukum modern. Ajaran ini sebenarnya berasal dari sebuah ajaran Yuridis-
Dogmatif yang dilahirkan dari pemikiran-pemikiran positivistis dalam dunia
hukum, yang selalu beranggapan hukum sebagai pandangan yang otonom, karena
bagi penganut ajaran ini hukum dipandang hanya sebagai kumpulan aturan
belaka. Bagi penganut ajaran ini tujuan dari hukum bukanlah untuk mewujudkan
kemnfaatan dan keadilan melainkan mewujudkan kepastian hukum.31

2.2 Teori Kewenangan


29
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), h.123.
30
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2002, h. 82-83.
31
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung, Citra Aditya, 1999), h. 23.
14

Kewenangan berasal dari kata wewenang. Menurut A’an Efendi dan


Freddy Poernomo, wewenang adalah bagian penting dari hukum administrasi.
Indoharto menyatakan bahwa wewenang merupakan pengertian pokok hukum tata
Negara dan hukum tata usaha Negara. Indoharto dalam A’an Efendi dan Freddy
Poernomo mengartikan wewenang sebagai kemampuan dari peraturan perundang-
undangan yang diberikan untuk menciptakan timbulnya akibat hukum yang sah. 32
Bradley dan Ewing dalam A’an Efendi dan Freddy Poernomo menyatakan bahwa
dalam hukum administrasi, wewenang memiliki dua pengertian yang tidak selalu
dibedakan, yaitu:33
1. Kemampuan untuk melakukan tindakan dengan cara-cara tertentu
(misalnya, wewenang untuk menyediakan layanan perpustakaan atau
membeli tanah atas dasar suatu kesepakatan untuk kepentingan
rekreasi publik).
2. Wewenang untuk membatasi atau mengambil hak orang lain
(misalnya, untuk mengatur perdagangan mobil atau membeli tanah
untuk tujuan kepentingan umum, meskipun pemilik tanah tidak ingin
menjual tanahnya).
Prajudi Admosudirjo dalam A’an Efendi dan Freddy Poernomo
menjelaskan jika terdapat perbedaan antara kewenangan dan wewenang, meski
dalam praktiknya kedua hal tersebut dirasa tidak memerlukan perbedaan arti.
Kewenangan dimaksud ialah kuasa yang bersifat formal, yang terbentuk dari awal
mula adanya kekuasaan legislatif, administratif, maupun eksekutif. Kewenangan
diartikan Prajudi sebagai kekuasaan untuk melakukan kuasanya atas suatu bidang
pemerintahan atau bidang-bidang tertentu secara konkrit, sedang wewenang hanya
mencakup satu komponen saja. 34
Kumpulan wewenang-wewenang itu termasuk dalam satu kewenangan,
dan biasanya hanya kuasa untuk melaksanakan tindakan public. Contoh dari
wewenang seperti, wewenang kepala bagian kepegawaian dalam mengkoordinasi
para pegawai pemerintahan, sedang kewenangan tetap berada ditangan kepala

32
A’an Efendi dan Freddy Poernomo, Hukum Administrasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h.
108.
33
Ibid.h.109.
34
Ibid,h.111
15

dinas. Dengan demikian, menurut pendapat Prajudi bahwa kewenangan lebih luas
daripada wewenang. Dalam kewenangan itu terdapat wewenang.35
Kewenangan atau wewenang mempunyai kedudukan terpenting dalm
kajian ketatanegaraan serta hukum administrasi. F.A.M. Stroink dan J.G
Steenbeek berpendapat jika Konsep kompetensi/kewenangan juga merupakan
konsep inti dalam hukum negara dan administrasi.36 Pernyataan tersebut dapat
diambil suatu pengertian jika wewenang merupakan inti dari suatu hukum
tatanegara dan administrasi Negara, tanpa adanya wewenang tidak akan bekerja
dengan baik.
Wewenang yang merupakan bagian dari konsep hukum public memiliki
tiga komponen yakni dasar hukum , pengaruh dan konformitas hukum37:
1. Komponen pengaruh merupakan wewenang yang digunakan dengan
cara untuk dapat memberikan pengendalian terhadap subyek hukum.
2. Komponen dasar hukum yakni wewenang yang akan pasti dapat
ditunjukkan suatu dasar hukumnya.
3. Komponen konformitas merupakan wewenang yang berstandar umum
dan standasr khusus.
Sebagaimana pilar pada Negara hukum yakni asas legalitas, terhadap
rpinsip tersebut wewenang yang dimiliki oleh pemerintah berdasarkan adanya
peraturan perundang-undangan, pada pustaka hukum administrasi terdapat dua
cara untuk mendapatkan kewenangan pemerintah yakni : delegasi dan atribusi dan
terkadang mandate ditempatkan tersebndiri dalam mendapatkan kewenangan.38
Selain itu, pemerintah yang akan melakukan suatu perbuatan hukum harus
didasarkan kepada kewenangan yang diperolehnya secara sah, tanpa kewenangan
seorang pejabat atau badan tata usaha Negara tidak dapat menjalankan perbuatan
pemerintah.
Menurut Philipus M. Hardjon, kewenangan dan wewenang kerapkali
disejajarkan dengan bevoegheid,39 yang jika ditelaah pada pustaka hukum belanda

35
Ibid.
36
Nur Basuki Winanrno, Op. Cit. hal. 65.
37
Ibid.
38
Ibid. hal 70
39
Ajeng Kartika Anjani, Pertanggungjawaban Pengelolaan Dana Desa, Jurist-Diction: Vol. 2
No. 3, 2019. h. 751.
16

yang dimaksud dengan bevoegheid yakni suatu konsep yang digunakan pada
hukum publik serta hukum privat. Tetapi menurut kepustaka hukum di Negara
kita hanya berkaitan dengan hukum public sebagaimana pendapat F.A.M. Stroink
yang pada intinya wewenang merupakan suatu substansi dari hukum administrasi
dan tata Negara.

2.3 Teori Perlindungan Hukum


Teori perlindungan hukum yakni merupakan suatu bagian dari kajian teori
dalam ilmu hukum. Pada dasarnya teori ini memberikan perlindungan hukum
pada masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan masayarakat dalam teori
perlindungan hukum ini adalah keadaan yang lemah pada suatu masayarakat
tertentu, baik lemah pada bidang ekonomi maupun lemah dari aspek yuridis.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat merupakan penerapan
pada prinsip perlindungan dan pengakuan terhadap martabat manusia
yangmemiliki sumber prinsip negara hukum berdasarkan Pancasila. Pada tiap
orang memiliki hak untuk dapat dilindungi oleh hukum. Hampir seluruh
hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum.
Teori Perlindungan Hukum di Indonesia salah satunya dibangun oleh
Mochammad Isnaeni. Menurut M. Isnaeni secara prinsip Perlindungan hukum
dilihat dari sumbernya dibedakan 2 (dua) macam yaitu perlindungan hukum
“internal” dan pelindungan hukum “eksternal”.40 Perlindungan hukum eksternal
merupakan bentuk perlindungan hukum yang merupakan produk dari penguasa
melalui aturan hukum bagi kepentingan pihak-pihak yang lemah. Sesuai dengan
prinsip peraturan perundang-undangan yang tidak memihak atau berat sebelah,
perlindungan hukum secara proposional juga wajib diberikan secara seimbang dan
sedini mungkin kepihak lainnya.41 Dimungkinkan sejak awal pembuatan
perjanjian, terdapat pihak yang memiliki kekuatan lebih daripada mitranya, tetapi
pada pelaksanaannya pihak kuat yang semula itu akan beralih menjadi lemah,
missal wanprestasinya debitur, maka pihak kreditor layak diberi perlindungan
hukum. Aturan perundang-undangan yang dipaparan diatas, mengandung gambar

40
Isnaeni, 2016, Pejar Pendar Hukum Perdata, Revka Petra Media, Surabaya, hal. 39.
41
Ibid.
17

betapa adil dan rincinya penguasa dalam memberi perlindungan hukum secara
proposional pada seluruh pihak.
Perlindungan memiliki asal kata lindung yang mempunyai sifat
pengayoman, pencegahan, pertahanan dan membentengi.42 Perlindungan hukum
merupakan upaya pemerintah untuk menjamin adanya perlindungan terhadap
masyarakat agar sebagai warga negara haknya tidak di langgar. Terkait
perlindungan konsumen harus diperhatikan oleh Pemerintah baik itu dari
pembangunan dan perkembangan perekonomian secara umum dan khususnya
industri dan perdagangan. Mengenai teori perlindungan hukum terdapat beberapa
ahli yang berpendapat mengenai perlindungan hukum, antara lain Ftzgerald,
Satjipto Raharjo dan Lily Rasyidi.
Menurut Fitzergeral dalam Dyah Octorina menjelasakan jika hukum
memberikan perlindungan terhadap kepentingan seseorang dengan menggunakan
cara pengalokasian suatu kekuasaan terhadapnya secara terukur, artinya
ditentukan luas dan kedalammannya, sebagai kepentingan yang dapat disebut
dengan hak. Setiap kekuasaan didalam masyarkat itu tidak bisa dikatakan sebagai
hak dan hanya kekuasaaan tertentu saja yang diberikan hukum kepada
seseorang.43
Kepentingan masyarakat yang di sampaikan Salmond seperti yang di
jelaskan Fitzergerald dalam Dyah Ochtorina Susanti, adalah sasaran dari suatu
hak, tidak hanya yang di lindungi hukum, akantetapi karena suatu vinculum juris,
yaitu pengakuan terhadap hak pihak-pihak yang terikat dalam hubungan
kewajiban.44 Sedangkan ciri yang melekat pada hak menurut teori perlindungan
hukum menurut Salmond yang ditegaskan Fitzegerald dalam Dyah Ochtorina
Susanti yaitu:45
1. Hak dapat diletakan pada seseorang yang dapat disebut sebagai subjek
dari hak atau pemilik.
2. Hak dapat ditujukan pada orang yang menjadi pemegang kewajiban.

42
Dedy Sugiono, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, hal. 185
43
Dyah Ochtorina Susanti, Makalah Teori Perlindungan Hukum, disampaikan di
program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri (UNISKA), (Kediri: 3 Desember
2011), hal. 1
44
Ibid. hal. 2
45
Ibid.
18

3. Hak yang terdapat pada sesorang dapat mewajibkan pihak lainnya


melakukan atau tanpa melakukan sesuatu perbuatan.
4. Commmission dan ommision dapat berupa suatu hal yang disebut
sebagai objek dari hak.
5. Hukum menyebutkan setiap hak mempunyai titel, yang berupa suatu
kejadian tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak pada
pemiliknya.
Kepentingan hukum mengurusi hak dari kepentingan manusia, sehingga
otoritas tertinggi dimiliki oleh hukum dalam memilih kepentingan manusia yang
perlu dilindungi dan diatur. Perlindungan hukum harus melihat beberapa tahapan
yang diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus beracuan pada beberapa
tahapan yaitu perlindungan hukum yang lahir dari ketentuan hukum dan segala
aturan hukum yang diberikan masyarakat, pada dasarnya adalah kesepakatan
masyarakat tersebut dalam mengatur hubungan antara prilaku perseorangan,
anggota masyarakat, dan pemerintah yang dapat mewakili kepentingan banyak
masyarakat. 46
Menurut Lili Rasjidi dan IB Wysa Putra dalam Satjipto Raharjo hukum
berfungsi guna menciptakan perlindungan yang bersifat tidak sekedar fleksibel
dan adaptif, melainkan juga prediktif dan antipatif. Sedangkan menurut Satjipto
Raharjo perlindungan hukum merupakan memberi pengayoman atau perlindungan
pada hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang lain dan perlindungan itu
dapat diberikan pada masyarkat agar mendapatkan semua hak yang diberikan oleh
hukum.47
2.4 Tinjauan Umum Mengenai Akta PPAT
2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT
Berlakunya UUPA atas dasar adanya ketentuan Pasal 19 PP No. 10 Tahun
1961 sebagai pelaksanaan UUPA, telah ditentukan bahwa “Setiap perjanjian yang
bermaksud mengalihkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas
tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan melalui suatu akte yang dibuat oleh
dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Akta tersebut harus
dibuat oleh dan di hadapan pejabat PPAT.
46
Ibid. 32
47
Ibid. 30
19

Unsur absolut yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah,
yakni akta yang dibuat oleh PPAT tersebut. Secara konseptual, akta PPAT
ditentukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Penjelasan Pasal 45 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
Akta PPAT adalah suatu alat yang membuktikan telah
dilakukannya suatu perbuatan hukum. Akta PPAT yang bersangkutan
tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum apabila perbuatan
hukum itu batal atau dibatalkan. Apabila suatu perbuatan hukum
dibatalkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan
hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran
tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut
pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain,
misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan
hukum yang baru.
Esensi akta PPAT dalam konsepsi ini, yaitu fungsi akta
sebagai alat pembuktian juga tentang akibat hukum PPAT. Akta
PPAT dikatakan sah, apabila akta yang dibuat oleh para pihak harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan (Pasal 1320 KUHPerdata). Apabila syarat subjektif dalam
sahnya perjanjian tidak dipenuhi, maka akta PPAT tersebut dapat
dimintakan pembatalan kepada pengadilan, dan apabila syarat objektif
sahnya perjanjian tidak terpenuhi, maka akta yang dibuat oleh para
pihak batal demi hukum.
Selain itu di dalam konsepsi ini juga memuat tentang
perbuatan hukum yang dibatalkan sendiri oleh para pihak, sedangkan
perbuatan hukum tersebut sudah didaftar di Kantor Pendaftaran, maka
pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Berkaitan dengan membatalkan
pendaftaran yang dimaksud, maka diperlukan alat bukti lainnya yang
berupa putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan
hukum yang baru.48

48
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. Ke-8, Sinar Grafika,
Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS II), hal. 162
20

2. Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 4 PKBPN


No. 1 Tahun 2006 menetapkan “Akta PPAT adalah Akta tanah yang
dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun”.
Adapun Salim HS berpendapat dari definisi-definisi di atas, esensi akta
PPAT adalah sebagai alat pembuktian, dan tidak disajikan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan klausula-klausula atau aturan yang memuat dalam akta itu. Atas
dasar hal tersebut, menurut beliau pengertian akta PPAT perlu disempurnakan
dengan memberikan pengertian akta PPAT sebagai : “Surat tanda bukti, yang
dibuat di hadapan PPAT memuat tentang aturan-aturan yang berkaitan dengan hak
dan kewajiban para pihak, yang mana pihak pertama berkewajiban menyerahkan
hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun, dan Pihak Kedua
berkewajiban untuk menyerahkan uang dan menerima hak atas tanah dan/atau hak
milik atas satuan rumah susun”

2.4.2 Kedudukan akta PPAT


Kedudukan akta tidak akan pernah lepas dari kedudukan akta dimata
hukum. Kedudukan sendiri dapat diartikan sebagai tempat kediamansuatu benda
tau keadaan yang sebenarnya.49 Kedudukan merupakan suatu posisi pada
umumnya pada suatu kondisi pada hubungan suatu tertentu. Posisi tersebut
berkaitan dengan ruang lingkup, hak-hak, prestige dan kewajibannya. Secara
abstrak, diartikan kedudukan merupakan sebuah penempataan sesuatu dalam
keadaan tertentu.50
Kedudukan hukum merupakan suatu keadaaan yang telah ditentukan untuk
dapat memenuhi syarat tertentu dan oleh karenanya memiliki status atau tempat
pada suatu posisi yang diatur pada hukum. 51 Pengertian kedudukan hukum
tersebut dapat memberikan pemahaman terkait dengan kedudukan akta yakni
suatu akta yang mempunyai posisi yang ada kaitannya dan berhubungan dengan

49
Ibid.
50
Ibid.
51
Ibid.
21

aturan hukum, sehingga akta dimaksud memiliki akibat hukum atas


keberadaannya serta implikasinya.

2.4.3 Keabsahan Akta PPAT


Suatu perjanjian memiliki sifat tertulis yang dituangkan kedalam akta,
wajib memenuhi dasar sahnya suatu perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kesepakatan merupakan
kesesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Dengan adanya kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, tidak
mendapat suatu tekanan seperti paksaan, penipuan ataupun kekhilafan,
yang mengakibatkan adanya cacat hukum bagi perwujuan kehendak
tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, cakap bertindak, yaitu
suatu kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan
hukum.52 Orang mampu atau berwenang adalah orang dewasa
(berumur 21 tahun atau sudah menikah), sedangkan orang yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum ditentukan dalam ketentuan
Pasal 1330 KUHPerdata, meliputi :
a. Orang-orang yang belum dewasa (minderjarigheid),
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (curandus),
c. Orang-orang perempuan (istri).
3. Suatu hal tertentu, hal tertentu berkenaan dengan objek perjanjian,
dimana suatu perjanjian harus mempunyai objek tertentu, baik berupa
barang atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Dalam Pasal 1332
KUHPerdata ditentukan bahwa : “Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”, yang
artinya dalam pokok perjanjian harus dapat dinilai dengan uang, dan
apabila nantinya terjadi suatu pelanggaran dalam perjanjian tersebut
dapat diganti rugi dengan uang atau benda yang dapat dinilai dengan
52
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama,
Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta, hal. 225
22

uang. Selain itu, Pasal 1333 KUHPerdata menentukan “Suatu


perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditemukan jenisnya”, artinya barang yang diperjanjikan paling
tidak dapat ditentukan dengan cara mengukur, menimbang,
menghitung, menentukan kualitas dan menentukan batasnya.
4. Suatu sebab yang halal, merupakan adanya sebab-sebab hukum yang
menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan,
keamanan, kesusilaan dan ketertiban umum dan sebagainya.Perjanjian
yang dibuat karena sebab yang palsu dilarang yang telah ditentukan
dalam Pasal 1335 KUHPerdata merupakan sebab yang tidak
mempunyai kekuatan. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana
ketentuan 1 dan 2, merupakan syarat subjektif karena menyangkut
para subjek hukum yang mengadakan suatu perjanjian, sedangkan
ketentuan 3 dan 4, merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan
objek yang dijadikan suatu perjanjian. Adapun akta PPAT
sebagaimana Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat
(1) PKBPN No. 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa akta yang dibuat
oleh PPAT adalah akta otentik. Dalam kedua peraturan tersebut tidak
dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan akta otentik, oleh
karena itu perlu untuk melihat aturan yang lebih umum yaitu
KUHPerdata. Akta otentik ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata
“sebagai suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan unsur-unsur yang dimaksud
dengan akta otentik yaitu:
a. Akta harus dibuat dihadapan seorang Pejabat Umum;
b. Akta harus dibuat sesuai bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang;
c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) di hadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
23

2.5 Pendaftaran tanah


2.5.1 Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah merupakan suatu istilah yang berasal dari cadastte yang
merupakan suatu pengistilahan teknis untuk sebuah rekaman, dapat memberikan
petunjuk kepada khalayak luas atas sebuah nilai dan kepemilikaan pada suatu
bidang tanah tertentu, pendaftaran tanah ini merupakan suatu instrument yang
dapat menguraikan serta identifikasi pada uraian tersebut dan juga sebagai bentuk
rekaman dari kepemilikan atas sebuah hak atas tanah.53
Pendaftaran tanah juga diartikan dalam ketentuan pasal 1 angka 1 UU
Pendaftaran tanah, yakni suatu rangkaian kegiatan yang dibuat oleh pemerintahan
secara terus menerus, teratur dan berkesinambungan. Meliputu pengelolahan,
pengumpulan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data yuridis dan data
fisik, dengan bentuk daftar dan peta, berkaitan dengan bidang tanah dan termasuk
satuan pada rusun serta pemberian adanya surat tanda buktii.54
Definisi pendaftaran tanah yang diberikan oleh UU Pendaftaran tanah
merupakan suatu penyempurnaan pada ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah
berdasar kepada Pasal 19 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961.
Adapun pengertian pendaftaran tanah sebagaimana tersebut dapat diuraikan
unsur-unsurnya yakni :55
a. Serangkaian kegiatan
Kata “serangkaian kegiatan” dapat menunjuk kepada sebuah kegiatan
untuk penyelenggaran pendaftaran tanah, yang ada kaitannya dengan
yang lain-lainnya, berurutaan menjadi satu kesatuan rangkaiian yang
berorientasi kepada tersedianya suatu data yang diinginkan pada suatu
rangka pemberian atas jaminan kepastian hukum pada masayarakat.
Kegiatan ini terdiri dari beberapa bagian yakni pengelolahan dan
pengumpulan data fisik, pembuktian dan pembukuan atas sebuah hak,
terbit sertifikat, sajian data fisik serta data yuridis, penyimpanan daftar
umum dan dokumen, kegiatannya yakni peralihan hak dan
pembebanan hak atas tanah.
53
Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif (Jakarta: Kencana, 2011), h. 286.
54
Lihat pasal 1 angka 1 UU Pendaftaran tanah
55
Urip Santoso, Op. Cit. h. 287.
24

Kegiatan pendaftran tanah memberikan hasil dua macam data yakni


data fisik dan data yuridis, data fisik merupakan suatu keterangan
mengenai letak, luas dan batas bidang tanah serta satuan pada rusun
yang akan di daftarkan,56 termasuk berkaitan dengan keterangan
mengenai bangunan yang ada pada atas bidang tanah tersebut.
sedangkan data yuridis merupakan keterangan berkaitan dengan status
hukum pada bidang tanah dan rusun yang terdftar, pihak lain dan
pemegang haknya serta termasuk beban lainya yang dapat
membebaninya.
b. Pemerintah yang melakukanyya
Pendaftaran tanah diselenggarakan pada masayarakat modern
merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara baik
pemerintah yang tujuannya demi kepentingan rakyat hal tersebut
bertujuan untuk memberi jaminan kepastian hukum pada bidang
pertanahan.
c. Berkesinambungan dan secara intens
Istilah terus menerus/ intens merupakan suatu pelaksanaan kegiatan,
yang apabila dilakukan pelaksanaan tidak akan berakhir. Data yang
sudah dikumpulkan dan tersedia wajib untuk dipelihara, dalam arti
disesuaikan terhadap perubahan yang terjadi untuk waktu yang
selanjtnya hingga tetap sesuai pada keadaan yang terakhir.
Pendaftaran tanah merupakan suatu kegiatan untuk yang pertama
kalinya meghasilkan suatu tanda bukti berupa sertifikat tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah dimungkinkan terjadi peralihan hak,
perpanjangan jangka waktu hak atas tanah; pembebanan hak,
pemisahan, pemecahan dan pengabungan bidang tanah; pembagian hak
bersama; hak milik terhadap satuan rumah susun dan hapusnya hak
terhadap tanah; peralihan serta hapusnya hak tanggungan; diubahnya
data pendaftaran tanah didasarkan kepada penetapan atau putusan
pengadilan; dan diubahnya nama pemegang hak wajib didaftarkan
56
Rachmad Nur Nugroho, Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Secara Sistematis
Lengkap Dengan Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 Di Kabupaten Sleman, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, 2017, h. 132.
25

kepada kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk selanjutnya


akan tetap sesuai dengan suatu hal serupa untuk yang terakhir.
d. Teratur
Dari kata “teratur” memperlihatkan bahwa semua kegitan harus
berdasarkan peraturan undang- undang yang sesuai yang menghasilkan
data bukti menurut hukum, walaupun kekuatan buktinya tidak selalu
sama pada hukum Negara-negara yang melakukuan pendaftaran tanah.
e. Bidang tanah dan satuan rumah susun
Pendaftaran tanah dapat dilakukan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah
Negara.
f. Surat tanda bukti hak
Pertama-tama dalam pendaftaran tanah untuk pertama kalinya akan
memperoleh surat tanfa bukti hak yang berupa sertifikat atas bidang
tanah yang telah mendapatkan haknya dan sertifikat hak milik atas
satuan rumah susun. Sertifikat merupakan surat tanda bukti yang
dimaksud pada pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dalam hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan
hak tanggungan yang masing-masing telah dibukukan pada buku tanah
yang berkaitan.
g. Hak-hak tertentu yang membebaninya
Objek pendaftaran tanah dibebankan dengan hak yang lain, misalnya
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun bisa terjadi pada pendaftaran
tanah dan dijadikan sebagai jaminan hutang dengan dibebankan pada
Hak Tanggungan, atau Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai bangunan.57

2.5.2 Tujuan dan Manfaat Pendaftaran Tanah

Tony, Penyelesaian Hukum Atas Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah yang Cacat Hukum
57

Administratif, dikantor Pertanahan, 2015, Batam, h. 28.


26

Pendaftaran tanah memiliki tujuan untuk memberikan jaminan kepastian


hukum yang dapat dikenal dengan istilah rechts cadaster/legal cadaster. Jaminan
kepastian hukum yang akan diwujudkan dalam pendaftaran tanah meliputi
kepastian pada status hak yang didaftar, kepastian subyek hak, dan kepastian
obyek hak. Pendaftaran ini akan mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak
yang dimiliki. Kebalikan dari rechts cadaster, adalah fiscal cadaster, yaitu
pendaftaran tanah yang memiliki tujuan dalam menetapkan siapa yang
berkewajiban dalam membayar pajak tanah. Pada pendaftaran tanah ini akan
mendapatkan surat tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, yang dapat dikenal
dengan istilah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
(SPPTPBB).
UUPA yang mengatur pendaftaran tanah memiliki tujuan dalam memberi
jaminan kepastian terhadap hukum. Pendaftaran ini menjadi kewajiban
Pemerintah ataupun pemegang hak atas tanah. Suatu hal yang ditentukan oleh
suatu kewajiban dari Pemerintah dalam melaksanakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia telah diatur pada Pasal 19 UUPA, yaitu
sebagai berikut :
a. Dalam penjaminan kepastian hukum yang dilakukan Pemerintah, dapat
dilaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia,
berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
b. Sebagaiman pendaftaran yang disebutkan pada ayat 1 pada pasal 19
UUPA yaitu :
1. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
2. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan
3. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
c. Pendaftaran tanah dapat dilaksanakan dengan mengingat kondisi
negara dan masyarakat terhadap keperluan lalu lintas sosial-ekonomi
dan kemungkinan pelaksanaannya, berdasarkan pertimbangan yang
dilakukan oleh Menteri Agraria.
d. Pada Peraturan Pemerintah telah diatur pembiayaan yang berkaitan
dengan pendaftaran, termasuk dalam ayat 1 diatas yang memiliki
27

ketentuan bahwa rakyat tidak mampu di beri kebesasan dari


pembiayaan tersebut.
Menurut Pasal 3 PP Pendaftaran Tanah memiliki tujuan : 58
a. Memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum pada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-
hak lain yang terdaftar sehingga mudah dalam membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Dalam hal itu pemegang
haknya diberikan sertifikat sebagai surat tanda bukti kepemilikan. Hal
ini adalah tujuan utama pendaftaran tanah yang pelaksanaannya pada
Pasal 19 UUPA. Sehingga mendapatkan sertifikat, bukan sekedar
fasilitas, melainkan adalah pemegang hak atas tanah yang dijamin
perundang-undangan.
b. Jaminan kepastian hukum yang bertujuan sebagai pendaftaran tanah
yaitu meliputi :
1. Kepastian status terhadap hak yang didaftarkan, yang berarti
pendaftaran tanah bisa diketahui dengan pasti status hak yang
didaftarkan, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf.
2. Kepartian subjek, yang berarti dengan adanya pendaftaran hak atas
tanah akan diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah
perseorangan (Warga Negara Indonesia atau orang asing yang
tinggal di Indonesia), sekelompok orang, atau badan hukum (badan
hukum privat atau badan hukum publik).
3. Kepastian obyek hak, yang berararti dengan pendaftaran tanah
akan diketahui letak tanah, batas tanah, dan ukuran (luas) tanah.
Letak tanah berada di jalan, kelurahan/desa, kecamatan,
kabupaten/kota, dan provinsi mana. Batas-batas tanah meliputi :
sebelah utara, selatan, timur, dan barat berbatasan dengan tanah
siapa atau tanah apa. Ukuran (luas) tanah dalam bentuk meter
persegi.

58
Budi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1984), h. 472.
28

c. Penyediaan informasi pada pihak yang memilik kepentingan seperti


Pemerintah supaya dengan mudah memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum terkait bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Penyajian data
tersebut dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
tata usaha pendaftaran tanah yang dikenal sebagai daftar umum. Hal
tersebut terdiri dari : peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku
tanah dan daftar nama.
Peta pendaftaran merupakan peta yang menggambarkan bidang
tanah yang diperlukan untuk pembukuan tanah. Daftar tanah
merupakan suatu dokumen dalam bentuk daftar yang terdiri dari
identitas bidang tanah dan suatu sistem penomoran. Surat ukur
merupakan suatu dokumen yang memiliki data fisik suatu bidang tanah
bentuk peta dan uraian, dengan diambil datanya dari peta pendaftaran.
Daftar nama merupakan suatu dokumen bentuk daftar yang terdapat
keterangan mengenai penguasaan tanah dengan suatu hak atas tanah,
atau Hak Pengelolaan yang merupakan kepemilikan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang dilakukan oleh perseorangan atau badan
hukum tertentu.
Data yang terdapat pada daftar nama tidak terbuka untuk umum.
Hanya diperuntukkan bagi instansi Pemerintah tertentu untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya. Daftar nama sebenarnya tidak
memuat keterangan mengenai orang perseorangan atau badan hukum
dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya. Karena ada
kemungkinan disalahgunakan, maka data yang dimuat di dalamnya
tidak terbuka untuk umum. Tujuan pendaftaran tanah untuk
menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai
bidang-bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan
bidang-bidang tanah yang data fisik dan/atau data fisiknya belum
lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah
demikian belum dikeluarkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
29

d. Tertibnya aadministrasi pertanahan hal ini diwujudkan dengan


pendaftaran tanah yang baik sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
pasal 4 ayat 3 PP Pendaftaran tanah. penyelenggaraan tanah demi
wujudnya tertib administrasi dilakukan dengan cara yang bersifat
rechts cadaster. Terselenggaranya pendaftaran tanah dengan baik
merupakan suatu dasar pengaplikasian tertib administradi pada bidang
pertanahan.
Adapun pihak yang mendapatkan manfaat dari adanya pendaftaran tanah
adalah sebagai berikut :59
a. Manfaat terhadp pemegang hak.
1. Adanya rasa aman kepada pemegang hak.
2. Memberikan pengetahuan tentang data fisik dan yuridis terhadap
tanah miliknya.
3. Mempermudah adanya perailhan hak atas tanah.
4. Tanah yang hendak dijual akan lebih tinggi.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan.
6. Penetapan pajak bumi dan banbunan (PBB) tidak gampang
keliru.
b. Selain bermanfaat kepada pemilik tanah , amnfaat lainnya juga
kepada pemerintah yakni :
1. Terwujudnya tertib administrasi pertanahan.
2. Memberikan kelancaran kepada pemerintah terhadap kegiatan
pertanahan.
3. Mengurangi adanya sengketa dibidang pertanahan, seperti
sengketa batas dan kedudukan atas tanah.
c. Bagi pembeli atau kreditur
Manfaat bagi pembeli yakni dapat dengan mudah mendapatkan suatu
keterangan yang jelas berkaitan dengan data fisik dan data yuridis
tanah yang akan menjadi obyek segala perbuatan hukum terhadap
tanah.
59
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria (Jakarta: Universitas Terbuka, Karunika,
2008), h. 99.
30

2.6 Tinjauan Umum Tentang Peralihan Hak Atas Tanah


2.6.1 Pengertian dan Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah
Semua hak atas tanah dapat beralih dan di alihkan. Beralih merupakan
proses pindahnya hak atas tanah karena hukum, dengan sendirinya tanpa ada
perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain.
Salah satu contoh dari pindahnya hak atas tanah ini yaitu terjadi karena pewarisan.
Dengan meninggalnya pemilik tanah maka dengan sendirinya, menurut hukum
tanah tersebut akan pindah kepada ahli warisnya. Dialihkan memiliki arti bahwa
pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena adanya suatu perbuatan
hukum yang disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain.60
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena jual-beli, hibah, tukar menukar, atau
perbuatan hukum lain yang bersifat mengalihkan hak atas tanah.
Menurut Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, telah ditentukan bahwa
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli,
tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan
tersebut tidak dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan beralih dan di
alihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun. Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum
kebendaan, suatu hak atas kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses
berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain
karena pemegang haknya meninggal dunia. Peralihan hak tersebut terjadi karena
hukum yang tidak dilakukan secara sengaja, artinya dengan meninggalnya
seorang pemegang hak, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih
kepada ahli warisnya, sehingga ahli waris memperoleh peralihan hak atas tanah
karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subjek hukum.

60
ibid
31

Adapun suatu hak atas tanah “di alihkan” apabila hak atas tanah tersebut
dipindahkan dari/oleh pemegang hak selaku subjek hukum kepada pihak lain
karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak
lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. 61 Dalam hal ini, peralihan
hak atas tanah terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum
antara pemegang hak lama dengan pihak ketiga yang akan menjadi penerima hak
(pemegang hak baru).
Berdasarkan paparan di atas, maka peralihan hak atas tanah adalah
pindahnya hak atas tanah dari pemegang hak kepada penerima hak, baik dengan
adanya peristiwa hukum maupun perbuatan hukum. Mengenai peralihan hak atas
tanah yang terjadi karena peristiwa hukum, penulis akan membahas tentang
pewarisan sedangkan peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang akan
penulis gunakan untuk membahas akta PPAT adalah jual-beli hak atas tanah.
Peralihan hak karena pewarisan yaitu dengan meninggalnya pemegang hak
atas tanah, maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya (karena hukum) akan
beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, serta
berapa bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya diatur oleh
Hukum Waris Almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan diatur oleh
hukum tanah (hukum agraria). Hukum Agraria memberikan ketentuan mengenai
penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat
tanda bukti pemilikannya oleh para ahli warisnya.
Ketika peralihan hak terjadi dengan sendirinya karena hukum, maka
pewarisan tanpa wasiat tidak perlu dibuatkan akta oleh PPAT, hanya saja
peralihan hak atas tanah ini harus didaftarkan di Kantor Pertanahan. Untuk bisa
didaftar di Kantor Pertanahan, maka para ahli waris harus dapat menunjukan bukti
diri sebagai ahli waris, seperti surat keterangan ahli waris dan bukti-bukti
pendukung lainnya.
Perbuatan hukum jual beli menurut hukum agraria nasional adalah
menggunakan dasar hukum adat yaitu jual beli yang bersifat, tunai, terang, dan
nyata (riil).62 Menurut Boedi Harsono, bahwa jual beli bersifat tunai, artinya
dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut hak atas tanahnya berpindah
61
Ibid.
62
Ibid
32

kepada pihak lain. Terang artinya dilakukannya perbuatan hukum dihadapan


PPAT, jadi perbuatan yang dilakukan tidak secara “gelap” atau sembunyi-
sembunyi, sedangkan nyata (riil) bahwa akta yang ditandatangani para pihak
menunjukkan secara nyata perbuatan jual beli tersebut dengan dihadiri dan
disaksikan oleh saksi-saksi.
Demikian juga pendapat Maria Sumardjono, Hukum Agraria Nasional
(UUPA) menganur sistem pendaftaran hak, dalam jual beli hak atas tanah
didasarkan pada hukum adat, di mana jual beli bersifat tunai, maka saat beralihnya
hak kepada pembeli adalah pada saat beralihnya hak kepada pembeli adalah pada
saat dilakukan di hadapan PPAT. Namun demikian, untuk mengikat pihak ketiga
termasuk pemerintahm setelah dilakukan jual beli di hadapan PPAT, harus
dilakukan pendaftaran terlebih dahulu, karena yang wajib diketahui oleh pihak
ketiga adalah apa yang tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang
bersangkutan. Dengan dilakukannya jual-beli hak atas tanah di hadapan PPAT,
telah terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli dengan disertai
pembayaran harga (dipenuhi syarat tunai) membuktikan secara nyata perbuatan
hukum jual-beli yang bersangkutan telah dilaksanakan oleh para pihak. Menurut
Subekti, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah diperjanjikan.63
Sifat dari tata usaha PPAT adalah tertutup untuk umum, maka pembuktian
mengenai berpindahnya hak tersebut berlaku terbatas pada para pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (dan para ahli waris). Baru
setelah didaftarkan, diperoleh alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang
berlaku terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran tanah Kantor
Pertanahan adalah terbuka untuk umum. Hal demikian selaras dengan pendapat
Subekti bahwa dengan telah ditandatanganinya akta PPAT hak atas tanah telah
beralih kepada pembeli, yang menurut beliau disebut sebagai penyerahan secara
nyata (feitelijk levering), kemudian akta PPAT tersebut harus disertai dengan
penyerahan yuridis (juridische levering) yang harus memenuhi formalitas undang-
undang sehingga mengikat pihak ketiga. Akta PPAT belum berlaku terhadap
63
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta (selanjutnya disingkat Subekti II), hal.
79
33

pihak ketiga, karena yang wajib diketahui oleh pihak ketiga adalah apa yang
tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang bersangkutan.

2.6.2 Prosedur Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah


Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah
yang dimilki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud maka haknya
berpindah. Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat
sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum.
Di dalam terminologi hukum kata-kata “right” diartikan hak yang legal, atau
dasar untuk melakukan sesuatu tindakan secara hukum.
Peralihan hak atas tanah tidaklah sama dengan peralihan benda-benda
lainnya, yang dapat dilakukan secara dibawah tangan bahkan secara lisan. Untuk
peralihan hak atas tanah, pemerintah telah mengaturnya, yaitu harus dengan akta
yang dibuat oleh PPAT. Agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dapat
dilakukan pendaftaran peralihannya di kantor Pertanahan, maka peralihan hak
tersebut harus dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan ditandatangani dihadapan
PPAT.
Terkait dengan peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan
proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda, terutama yang terkait
dengan syarat formil dan materiil, maupun mekanisme yang sangat ditentukan
oleh sifat atau keadaan subjek dan objek hak. Syarat materiil dalam jual-beli hak
atas tanah, antara lain sebagai berikut:
1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak wajib memenuhi
syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan
berhak tidaknya pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya,
tergantung pada hak apa yang melekat pada tanah tersebut, seperti
apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai.
2. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
Hanya pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang berhak
menjual tanah. Apablia pemilik dari hak atas tanah tersebut hanya
seorang maka ia berhak menjual sendiri tanah itu, namun apabila
34

pemilik hak atas tanah tersebut adalah lebih dari seorang maka yang
berhak menjual adalah orang-orang itu secara bersama-sama.
3. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak dalam
sengketa;
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah
ditentukan dalam UUPA yaitu Hak Milik (Pasal 20), hak guna usaha
(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), dan hak pakai (Pasal 41).
Sementara itu, syarat formil merupakan akta yang menjadi bukti perjanjian
jual-beli serta pejabat yang berwenang untuk membuat akta itu, sebagaimana yang
ditentukan PP No. 24 Tahun 1997 guna mewujudkan kepastian hukum dalam
setiap peralihan hak atas tanah, setiap perjanjian dengan maksud memindahkan
hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di
hadapan PPAT.64 Jual-beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah
karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat yaitu konkret, kontan dan nyata,
namun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap
peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 telah menentukan setiap
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan
suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT. Dengan demikian legalitas
peralihan hak atas tanah sangat ditentukan oleh syarat formil maupun materiil,
prosedur, dan kewenangan bagi pihak-pihak terkait, baik kewenangan
mengalihkan maupun kewenangan pejabat untuk bertindak. Namun demikian,
syarat utama adalah harus adanya alat bukti kepemilikan hak atas tanah secara
tertulis (formil) yang berupa sertipikat.65
PPAT akan memeriksa kelengkapan syarat-syarat untuk dilakukannya
peralihan hak atas tanah, dan ketika semua persyaratan lengkap, maka sertifpikat
tersebut harus diajukan permohonan pengecekan terlebih dahulu di Kantor
Pertanahan. Pengecekan sertipikat ini dimaksudkan untuk mencocokan
kesesuaiannya dengan daftar buku tanah di Kantor Pertanahan, akan kemungkinan
adanya catatan khusus seperti sita ataupun blokir. Apabila terdapat kecocokan
antara sertipikat hak dengan data yang berada di Kantor Pertanahan, maka PPAT
64
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Hukum tentang Hukum Tanah, Alumni,
Bandung, hal. 23
65
Ibid
35

memanggil kembali para pihak, guna dibuatkan dan ditandatanganinya akta


peralihan hak atas tanah. Pembuatan akta peralihan harus disaksikan oleh 2 (dua)
orang saksi, yang memenuhi syarat sebagai saksi (Pasal 38 PP No. 24 Tahun 1997
jo. Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998). Bagi yang memerlukan persetujuan pasangan
kawin, maka yang bersangkutan harus turut hadir menghadap dan
menandatangani akta, atau jika tidak dapat hadir dapat membuat surat pertujuan
yang nantinya dimuat dalam komparisi akta, dan asli dari surat persetujuan
dilekatkan dalam minuta akta. Di hadapan para pihak itulah PPAT membacakan
isi dari akta tersebut dan menjelaskan maksudnya, selanjutnya akta ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, saksi-saksi dan PPAT.

2.7 Orisinalitas Penelitian


Penelitian ini merupakan hasil karya peneliti sendiri, kecuali sumber yang
disebutkan dan oleh peneliti ataupun pihak lain tidak pernah dikirim kepada
institusi manapun dan bukan hasil tiruan ataupun jiplakan. Penelitian ini
berangkat pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi
pada tesis ini dengan judul “Prinsip Kepastian Hukum atas Pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara” dijamin
keasliannya serta pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini didasarkan
oleh penelitian yang pernah diajukan dari beberapa tesis yang sejenis. Adapun
sebagai refrensi dan rujukan yaitu :
No Bagian Siti Fatimah Reza Aritha Hersila
Universitas
Febriantina Rumbiak
Sebelas Maret
Universitas Universitas
Diponegoro Airlangga
Semarang Surabaya
1. Judul Tinjauan Kewenangan Kedudukan Pejabat
Yuridis Pejabat pembuat Pembuat Akta Tanah
Pengangkatan Akta Tanah (Ppat) Dalam
Camat sebagai (PPAT) dalam Pendaftaran
Pejabat pembuat Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas
Akta Tanah Otentik Tanah
Sementara
(study di kab.
Jembrana, Bali)
2. Isu Hukum Pejabat pembuat PPAT dalam PPAT bertugas
akta tanah menjalankan untuk melakukan
sementara di tugasnya pendaftaran
36

dalam menggunakan peralihan ha katas


kehidupan blanko akta hal tanah kepada kantor
masayarakat tersebut diatur pertanahan, akan
dikenal sebagai oleh aturan tetapi apabila PPAT
camat, terdapat hukum, tidak melakukan
persoalan camat diaturnya pendaftaran
menjadi Pejabat penggunaan peralihan ha katas
Pembuat Akta blangko tanah akibat hukum
Tanah mulai dikarenakan apa yang akan
dari status dan sebagian PPAT diterima oleh PPAT
kedudukannya dijabat oleh tersebut.
sebagai camat PPATS dan
sehingga sebagian besar
timbullah bukan bergelar
beberapa sarjana hukum.
kendala
terhadap
pengangkatan
camat sebagai
Pejabat pembuat
Akta Tanah
Sementara
sehingga
dibutuhkan
adanya solusi
dari kendala-
kendala tersebut.
3. Tipe Empiris Empiris Normatif
Penelitian
4. Rumusan 1. Apakah 1. Bagaimana 1. Bagaimanaka
Masalah doxing oleh kewenangan h Kedudukan
dasar yuridis Pejabat PPAT dalam
pengangkata Pembuat Pendaftaran
n camat Akta Tanah Peralihan
sebagai dalam Hak Atas
pembuat akta pembuatan Tanah di
tanah akta otentik? Kantor
sementara? 2. Bagaimana Pertanahan?
2. Apakah kedudukan 2. Apakah
kendala yang hukum dan akibat hukum
ditimbulkan arti penting dari tidak
akibat blangko akta dilakukannya
pengangkata tanah bagi Pendaftaran
n camat Pejabat Peralihan
sebagai Pembuat Hak Atas
pejabat Akta Tanah Tanah oleh
pembuat akta sebagai masyarakat di
tanah Pejabat tinjau dari PP
37

sementara Umum? No. 24 Tahun


dan 1997?
pengaruhnya
dilapangan?
3. Bagaimanaka
h cara
mendapatkan
solusi dari
kendala yang
dialami
tersebut?
5. Hasil Hasil penelitian Hasil penelitian Hasil dari penelitian
Penelitian memberikan mengambarkan yakni, pertama,
gambaran PPAT untuk untuk
bahwa camat melaksanakann menyelenggarakan
menjadi Pejabat kewenangannya pendaftaran
Pembuat Akta harus memakai peralihan ha katas
Tanah blangko akta tanah maka PPAT
Sementara tanah. Blangko ditunjuk untuk
memiliki dasar akta dalam membuat akta
hukum yang faktanya tidak peraliha hak atas
jelas sebagai begitu urgen, tanah. Apabila tanpa
mana yang karena adanya Akta PPAT
diatur di dalam menggunakan para pihak maupun
ketentuan Pasal blangko yang Badan Pertanahan
5 ayat 3 Huruf a isinya perjanjian nasional tidak dapar
PP 37 tahun sudah diatur memproses peralihan
1988 ttng pada hukum ha katas tanah.
ktentuan publik. Adanya Kedua, pendaftaran
pelaksanaan pp blangko akta tanah merupakan
nomor 37 tahun dapat jaminan atas hak atas
1998. Tetapi memberikan sebuah tanah demi
pada kemudahan adanya kepastian
pengangkatan kinerja kepad hukum pada obyek,
camat sebagai PPAT subyek dan status
PPATS yang Sementara & tanah. Adanya
terletak pada PPAT baru kepastian hukum
tugas ganda diangkat terhadap tanah
camat sebagai menjadi PPAT menjadikan status
PPATS dan dalam tanah jelas dan hal
perangkat pembuatan akta, tersebut mencegah
daerha. Selain dan dapat adanya suatu
itu juga kendala memberikan sengketa pertanahan.
yang dialami kemudahan
berkaitan BPN untuk
dengan latar pemeriksaan,
belakang serta nantinya
pendidikan akan terdapat
38

camat dan keseragaman


keautentikan berkitan bentuk
akta PPATS Akta PPAT.
yang dibuat oleh
camat, solusi
yang dapat
dilakukan yakni
dengan
mengharmonisas
ikan suatu
peraturan
perundang-
undangan serta
peningkatan
pendidikan pada
bidang
pertahanah
untuk camat
sebagai PPATS
Sementara.

6. Perbedaan Perbedaan penulisan karya karya tulis penulis dengan Tesis


Siti Fatimah, Reza Febriantina dan Aritha Hersila Rumbiak
adalah penulis membahas mengenai prinsip kepastian
hukum PPATS dalam melakukan pendaftaran akta jual beli
atas tanah. Selain itu, juga membahas mengenai
kewenangan dari PPATS dalam melakukan pendaftaran
akta peralihan hak atas tanah, serta tentang konsep regulasi
kedepan terhadap pendaftaran akta peralihan hak atas tanah
yang dibuat oleh PPATS.
Adapun Rumusan Masalah dalam Penulisan tesis ini
adalah:
1. Apa landasan hukum pejabat pembuat akta tanah
sementara dalam melakukan pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah?
2. Apakah pendaftaran akta peralihan hak atas tanah
yang didaftarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara sesuai dengan ketentuan PP Nomor 24
Tahun 1997?
3. Bagaimanakah konsep pengaturan pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah Sementara yang sesuai dengan prinsip
kepastian hukum?
39

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan faktor penting untuk penulisan yang bersifat
ilmiah. Suatu karya ilmiah harus mengandung kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga hasil karya ilmiah tersebut dapat
mendekati suatu kebenaran sesungguhnya. Penelitaian hukum dilakukan dalam
rangka upaya pengembangan hukum serta menjawab isu-isu hukum baru yang
berkembang dalam masyarakat. Tanpa penelitian hukum maka pengembangan
hukum tidak akan berjalan maksimal.66
Sebuah penelitian secara mutlak diperlukan adanya sebuah metode agar
dalam mengerjakan penelitian dapat tersusun secara terencana dan terstruktur, hal
66
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research) (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h. 7.
40

ini diharapkan agar penelitian karya ilmiah berupa tesis ini memiliki kejelasan dan
batasan tertentu agar terhindar dari alur pikir yang mengakibatkan sesat nalar.
Penggunaan suatu metode yang tepat dapat memberikan penyelidikan dan analisis
yang sesuai dengan perencanaan karya ilmiah, sehingga dapat mencapai suatu
tujuan tertentu agar langkah-langkah yang akan diambil menjadi jelas dan
memberikan batasan tertentu sebagai upaya untuk menghindari jalan yang
mengakibatkan kesesatan alur pikir yang tidak terkendali.
Metode sendiri merupakan tipe pemikiran yang digunakan untuk
melakukan penelitian dan penilaian terhadap isu hukum yang diangkat.67 Selain
itu penggunaan metode dapat digunakan untuk menggali, mengelola, merumuskan
dan dapat menyimpulkan sesuai dengan kebenaran ilmiah serta untuk menjawab
isu hukum yang diambil oleh peneliti sehingga pada akhirnya dapat menarik
sebuah kesimpulan yang mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
akademisi.

3.1.1 Tipe Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif yang berlaku.68 Definisi dari tipe penelitian
yuridis normative adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan eksposisi
yang bersifat sistematis mengenai aturan hukum yang mengatur bidang hukum
tertentu, menganalisis hubungan antara aturan hukum yang satu dengan yang lain,
menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami dari suatu aturan hukum, bahkan
mungkin juga mencakup prediksi perkembangan suatu aturan hukum tertentu
pada masa mendatang.69 Tipe penelitian yuridis normatif seperti undang-undang,
peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang
kemudian dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkenaan
dengan prinsip kepastian hukum terhadap PPATS yang melakukan pendaftaran
67
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. h. 35.
68
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayu Media
Publising, 2008), h. 102.
69
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi. Op.Cit, h. 1.
41

akta peralihan hak atas tanah ke badan pertanahan, oleh karenanya peneliti akan
melakukan analisis berdasarkan prinsip kepastian hukum yang akan dibahas
dalam tesis ini.

3.1.2 Pendekatan Penelitian


Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penyusunan tesis
terbagi menjadi tiga pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan historis
(historical approach), yang selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-
undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk
mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara undang-
undang yang satu dengan undang-undang lainnya atau antara
regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan
suatu argument untuk memecahkan isu yang dihadapi.70 Pendekatan
perundang-undangan digunakan terkait dengan isu hukum yang
menjadi topic bahasan, yaitu prinsip kepastian hukum atas
pendaftaran akta peralihan hak atas tanah oleh pejabat pembuat akta
tanah sementara. Penggunaan pendekatan perundang-undangan
diharapkan mampu menjawab isu hukum yang menjadi topic
penelitian tersebut. Setelah dilakukan telaah terhadap regulasi-
rgulasi terkait, maka hasilnya dapat dijadikan argument untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) adalah suatu
pendekatan yang berasal dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga dengan

70
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. h. 133.
42

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang


berkembang dalam ilmu hukum, penulis dapat menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman dan
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam pemecahan isu yang dihadapi.71 Guna dapat menjawab isu
hukum yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini, maka
pendekatan konseptual digunakan untuk mengetahui dan memahami
terkait dengan asas-asas maupun prinsip-prinsip, baik melalui
doktrin-doktrin hukum maupun pandangan-pandangan hukum.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan pendaftaran akta peralihan
hak atas tanah ke badan pertanahan yang dilakukan oleh PPATS
maupun PPAT, sehingga nantinya akan mampu membantu
memecahkan isu hukum yang menjadi pokok permasalahan pada
penelitian ini.

c. Pendekatan Historis ( Historical Approach)


Pendekatan historis (Historical Approach) merupakan pendekatan
dengan cara menelaah sejarah pembentukan peraturan perundang-
undangan. Ada dua cara dalam menentukan penafsiran peraturan
perundang-undangan yakni, Pertama, penafsiran yang di dasarkan
sejarah hukum. Kedua, penafsiran yang di dasarkan pada sejarah
adanya penetapan peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini
memiliki tujuan untuk mencari aturan hukum dari waktu ke waktu
dalam memahami filosofi yang terkandung pada aturan tersebut,
serta mempelajari perkembangannya.72 Peneliti dalam menggunakan
pendekatan ini, akan menelaah filosofi dan mempelajari adanya
pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran tanah).

71
Ibid, h. 136-137.
72
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi.Op. Cit. h. 126.
43

3.1.3 Sumber Bahan Hukum


Bahan hukum merupakan bagian penting di dalam sebuah penelitian
hukum. Tanpa adanya bahan hukum tidak akan dapat ditemukan jawaban atas isu
hukum yang diketengahkan, dalam memecahkan isu hukum yang akan dihadapi
peneliti harus menggunakan bahan hukum sebagai sumber penelitiaan hukum.73
Adapun sumber bahan hukum yang hendak dipergunakan, mengkaji dan
menganalisis isu hukum dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer,
sekunder dan bahan non hukum sebagai berikut:74

a. Bahan Hukum Primer (Primary Law Material)


Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan atau aturan hukum yang mengikat
dan diurut secara sistematik.75 Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Adapun yang menjadi bahan hukum primer dari
penelitian ini adalah:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan.

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks yang berisi
mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik
parasarjana, disamping buku teks, bahan hukum lainnya dapat berupa tulisan-
tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal.76 Bahan

73
Ibid, h. 48.
74
Peter Mahmud Marzuki.Op. cit. h. 183.
75
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 31.
76
Peter Mahmud Marzuki, Pelitian Hukum (Jakarta: Edisi Revisi Kencana, 2005), h. 183.
44

hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku teks termasuk bahan
hukum berbentuk publikasi di media internet yang ada kaitannya dengan isu
hukum yang hendak diteliti oleh peneliti.

c. Bahan Non Hukum


Pada penelitian hukum untuk keperluan akademis pun bahan non hukum
dapat membantu. Sumber bahan non hukum sebagai penunjang dari bahan hukum
primer dan sekunder, bahan non hukum yang memberikan petunjuk maupun
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan non
hukum yaitu bahan-bahan yang diambil dari buku-buku non hukum, jurnal-jurnal
non hukum, hasil diskusi, dan lain sebagainya sepanjang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian.

3.1.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan pada penyusunan
tesis ini antara lain dengan melakukan langkah-langkah pada penelitian hukum,
yaitu kajian pustaka, identifikasi bahan hukum, analisis dan mengeliminasi hal-hal
yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang akan dipecahkan,
pengumpulan bahan hukum-bahan hukum yang sekiranya dipandang memiliki
relevansi terhadap isu hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan
berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan, menarik kesimpulan dalam
bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum, untuk selanjutnya memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan.77

3.1.5 Analisis Bahan Hukum


Analisa bahan hukum merupakan suatu metode atau cara yang digunakan
oleh penulis dalam menentukan jawaban atas permasalahan yang dibahas. Untuk
dapat menganalisis bahan yang telah diperoleh, maka penulis harus menggunakan
beberapa langkah dalam penelitian hukum agar menentukan hasil yang tepat
untuk menjawab masalah yang ada. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
penulisan penelitian hukum yaitu sebagai berikut.78
77
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op.cit, h.171.
78
Ibid, h. 213.
45

a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak


relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum.
c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-
bahan yang telah dikumpulkan.
d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu
hukum.
e. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
di dalam kesimpulan.
Langkah-langkah selanjutnya yang dipergunakan dalam suatu penelitian
hukum adalah melakukan telaah atas isu hukum yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah untuk menarik kesimpulan berdasarkan bahan-bahan hukum
yang sudah terkumpul menggunakan metode analisa bahan hukum deduktif yaitu
berpangkal dari suatu permasalahan yang secara umum sampai dengan hal-hal
yang bersifat khusus. Selanjutnya, dengan demikian akan dapat dicapai tujuan
yang diinginkan dalam penulisan tesis, yaitu untuk menjawab isu hukum yang
ada, sehingga pada akhirnya penulis dapat memberikan preskripsi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan dan dapat diterapkan.
43

BAB IV
KERANGKA KONSEPTUAL

Peneliti di dalam penyusunan tesis ini bermaksud untuk meneliti terhadap


masalah hukum perdata yang berkaitan dengan prinsip kepastian hukum
pendaftaran peralihan hak atas tanah oleh PPATS. Adapun isu hukum yang perlu
diteliti oleh peneliti menggunakan beberapa konsep dan teori-teori untuk
mempermudah dalam melakukan penelitian atas permasalahan berupa landasan
hukum pejabat pembuat akta tanah sementara dalam melakukan pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah, kesesuaian Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
dalam melakukan pendaftaran akta peralihan hak atas tanah terhadap ketentuan PP
Nomor 24 Tahun 1997 dan konsep pengaturan pendaftaran akta peralihan hak atas
tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yang sesuai dengan prinsip
kepastian hukum.
PPATS sudah ada sejak dikeluarkannya PP jabatan PPAT pada tahun 1998
yang pada intinya PPATS dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh PPAT, hal tersebut tertuang pada ketentuan Pasal 2 ayat 2 PP
jabatan PPAT.79 Keberadaan PPATS sebagai PPAT dikarenakan tidak adanya
PPAT disuatu daerah wilayah Republik Indonesia, sehingga kepala wilayah
pertanahan mengangkat pejabat pamong praja yaitu camat sebagai PPATS. Camat
sendiri merupakan kepala wilayah kecamatan yang ditunjuk oleh kepala daerah
setempat (bupati) dan memiliki jabatan di pemerintahan sehingga camat yang
menjadi PPATS memiliki dua jabatan sekaligus yakni sebagai pejabat
pemerintahan dan pejabat umum yakni PPATS. Tugas dari PPAT yang juga
dilakukan oleh PPATS salah satunya adalah membuat akta jual beli, akta jual beli
merupakan suatu naskah yang ditandatangani memuat peristiwa hukum serta
menjadi dasar suatu hak yang dibuat sejak semula disengaja untuk digunakan
sebagai bukti.80
Peralihan hak atas tanah tentu didasarkan kepada pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah yang secara hukum sebagaimana ketentuan PP
79
Lihat pasal 2ayat 2 PP jabatan PPAT
80
Daeng Naja, Loc. Cit.
44

pendaftaran tanah harus atau wajib untuk dilakukan pendaftaran ke badan


pertanahan paling lama 7 hari kerja oleh PPAT. 81 PP pendaftaran tanah tidak
mengatur tentang PPATS sebagai bagian dari pelaksana pendaftaran tanah
melainkan PP pendaftaran tanah hanya mengatur tentang PPAT, sehingga
akibatnya PPATS tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum pendaftaran tanah
ke badan pertanahan karena PP pendaftaran tanah hanya mengatur tentang PPAT
sebagai pejabat yang dapat melakukan suatu tindakan pendaftaran tanah ke badan
pertanahan, dengan demikian apabila PPATS melakukan pendaftaran tanah ke
badan pertanahan hal tersebut tentu tidak memiliki suatu kewenangan dan hal
tersebut memberikan suatu masalah hukum sehingga perlu dirumuskan aturan
hukum tentang kewenangan dari PPATS dalam melakukan pendaftaran akta
peralihan hak atas tanah sehingga nantinya akan sesuai dengan prinsip kepastian
hukum..
Peneliti di dalam memecahkan isu hukum diatas menggunakan beberapa
teori-teori dan konsep untuk di jadikan pisau analisis dalam membahas ketiga
rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan karya tulis ilmia tesis ini.
Beberapa konsep dan teori tersebut yakni teori kewenangan dan teori kepastian
hukum. Teori kewenangan dan teori kepastian hukum oleh Peneliti akan
digunakan sebagai pisau analisis pada rumusan masalah yang pertama, kedua dan
ketiga. Pembahasan dan hasil analisis dari bagian masing-masing rumusan
masalah tersebut akan menghasilkan sebuah kesimpulan dan saran yang akan
diuraikan pada bagan berikut ini:

81
Lihat pasal 40 PP pendaftaran tanah
45

Gambar 4.1 Kerangka Konseptual

PRINSIP KEPASTIAN HUKUM ATAS PENDAFTARAN AKTA


PRINSIPHAK
PERALIHAN KEPASTIAN HUKUM
ATAS TANAH ATAS
OLEH PENDAFTARAN
PEJABAT PEMBUATAKTA
AKTA
PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH
TANAH SEMENTARAPEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH SEMENTARA

Legal Issue
Legal Issue
Adanya kekosongan norma pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Adanya kekosongan norma pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang berkaitan dengan pendaftaran akta peralihan
Pendaftaran Tanah yang berkaitan dengan pendaftaran akta peralihan
hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

(1) (2)Pendaftaran
Pendaftaranakta
aktaperalihan
peralihan (3) Konsep pengaturan pendaftaran
(1) Landasan
Landasan hukum
hukum pejabat
pejabat (2) (3) Konsep pengaturan pendaftaran
akta peralihan hak atas tanah oleh
pembuat akta tanah sementara hak atas tanah yang didaftarkan akta peralihan hak atas tanah oleh
pembuat akta tanah sementara hak atas tanah yang didaftarkan
oleh Pejabat
Pejabat Pembuat
Pembuat AktaAkta Pejabat Pembuat Akta Tanah
dalam Pejabat Pembuat Akta Tanah
dalam melakukan
melakukan pendaftaran
pendaftaran oleh Sementara yang sesuai dengan prinsip
akta Tanah Sementara
Sementara ditinjau
ditinjau dari
dari Sementara yang sesuai dengan prinsip
akta peralihan hak atastanah
peralihan hak atas Tanah
tanah kepastian hukum
PPNomor
Nomor2424Tahun
Tahun1997.
1997. kepastian hukum
PP

Pendekatan
Pendekatan
Pendekatanundang-undang
undang-undang Pendekatanundang-undang
undang-undang Pendekatanundang-undang
Pendekatan undang-undang
Pendekatan Konseptual Pendekatan konseptual Pendekatankonseptual
konseptual
Pendekatan Konseptual Pendekatan konseptual Pendekatan
Pendekatan
Pendekatanhistoris
historis

Teori Kewenangan Teori Kewenangan Teori Kewenangan


Teori Kewenangan Teori Kewenangan Teori Kewenangan
Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum
Teori Perlindungan Hukum Teori Perlindungan Hukum
Teori Perlindungan Hukum Teori Perlindungan Hukum

KESIMPULAN
KESIMPULANDAN
DANSARAN
SARAN
46

BAB V
SISTEMATIKA PENELITIAN

Proposal tesis ini disusun secara sistematis dan terstruktur dari beberapa
bab sebagaimana yang akan diuraikan di dalam per sub bab yang ada sebagaimana
berikut :
Bab I. Tentang Pendahuluan adalah bab pendahuluan yang di dalamnya
berisikan tentang latar belakang masalah, dilanjutkan dengan
permasalahan/rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan pada
bagian akhir di sampaikan mengenai.
Bab II. Tentang Tinjauan Pustaka berisi landasan teori, pendapat para ahli
hukum tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari teori kewenangan, teori
kepastian hukum, tinjauan umum mengenai akta, pendaftaran tanah, tinjauan
umum tentang jual beli, serta pada bagian akhir disampaikan mengenai orisinilitas
penelitian.
BAB III Tentang Metodologi Penelitian yang memuat bagian-bagian
meliputi, tipe penelitian, pendekatan masalah, bahan hukum, prosedur
pengumpulan bahan hukum, analisis bahan hukum. Pada bagian ini merupakan
bagian untuk memecahkan ketiga isu hukum yang peneliti ambil sehingga akan
menghasilkan suatu penulisan yang bersifat ilmia, karena pada dasarnya suatu
karya ilmiah harus dapat dipertanggungjawabkan untik mencapai sebuah
kebenaran.
Bab IV Tentang Kerangka Konseptual yang berisi tentang beberapa teori
dan konsep-konsep yang dapat digunakan oleh Peneliti sebagai pisau analisis
terhadap ketiga isu hukum yang Peneliti angkat, beberapa teori tersebut yakni
teori kewenangan dan teori kepastian hukum. Pada bagian ini pula menjelaskan
alur penelitian Peneliti dalam memecahkan ketiga isu hukum sehingga
menghasilkan suatu argumentasi pada kesimpulan dan saran.
Bab IV Tentang Pembahasan, pembahasan ini berdasarkan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, beberapa teori, asas dan konsep hukum yang
membahas ketiga rumusan masalah, yaitu. Pertama, Apa landasan hukum pejabat
pembuat akta tanah sementara dalam melakukan pendaftaran akta peralihan hak
47

atas tanah. Kedua, Apakah pendaftaran akta peralihan hak atas tanah yang
didaftarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara sesuai dengan ketentuan
PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketiga, Bagaimanakah konsep pengaturan pendaftaran
akta peralihan hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yang
sesuai dengan prinsip kepastian hukum.
BAB V. Tentang Kesimpulan dan Saran, bab ini merupakan bab penutup
yang di dalamnya berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi uraian
singkat dari hasil pembahasan terhadap rumusan masalah pertama , kedua dan
ketiga. Saran – saran berisi tentang masukan atau kontribusi dari hasil kesimpulan
pertama, hasil kesimpulan kedua dan hasil kesimpulan ketiga.

Anda mungkin juga menyukai