Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

DINAMIKA POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

“Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Sistem Pemerintahan


Desa”

Dosen Pengampu:
Iyep Saefulrahman, S.IP., M.Si.
Disusun Oleh:
Kelas B
Kelompok 12

Muhamad Rizky Nurdin 170410180060


Amirio Tri Kusuma 170410180010
Fauziah Putri 170410180032
Novia Agustin Asqolani 170410180100

ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR, SUMEDANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya
sehingga makalah “Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa ” dapat selesai .
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini,
maka kami mengucapkan banyak terimakasih kepada :

Bapak Iyep Saefulrahman, S.IP., M.Si. selaku dosen matakuliah Sistem


Pemerintahan Daerah yang banyak memberikan materi, masukan dan bimbingan
kepada penulis.
Meski telah disusun secara maksimal kami menyadari bahwa kekurangan
pasti ada dalam laporan hasil diskusi ini. Karena itu dibutuhkan kritik serta saran
untuk perbaikan untuk kami berbenah. Sekian yang dapat kami sampaikan
semoga makalah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan menginspirasi untuk
pembaca.

Sumedang, 20 November 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
2.1 Politik Hukum Pemerintahan Desa .......................................................... 5
2.2 Undang-Undang Pemerintahan Desa pada Era Orde Lama ..................... 7
2.3 Undang-Undang Pemerintahan Desa pada Era Orde Baru .................... 11
2.4 Undang-Undang Pemerintahan Desa Pasca Reformasi.......................... 16
2.5 Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa ........................................ 19
BAB 3 KESIMPULAN ....................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebelum merdeka, di Indonesia terlebih dahulu telah ada satuan-satuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan berwenang
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dibuktikan dengan keberadaan
satuan masyarakat hukum yang ada di Indonesia telah hidup terlebih dahulu
sebelum penjajah datang, seperti satuan masyarakat hukum dukuh, gamong
dan nagari. Satuan-satuan ini disebut sebagai satuan masyarakat hukum karena
mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintahnya sendiri. Satuan masyarakat
hukum tersebut disebut desa, dan pemerintahan desa itulah oleh pemerintah
kolonial Belanda dan kemudian oleh pemerintah republik Indonesia diakui
sebagai satuan pemerintahan terendah.1
Istilah “Desa” secara etimologis berasal dari kata “swadesi” bahasa
sansekerta berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom.
Istilah desa sendiri sangat beragam di berbagai tempat di Indonesia. Desa
hanya dipakai dalam masyarakat pulau Jawa, Madura, dan Bali. Sedangkan
masyarakat Aceh menggunakan nama Gampong atau Meunasah, masyarakat
Batak menyebutnya dengan Kuta atau Huta, di daerah Minangkabau disebut
dengan Nagari, Dusun, atau Marga di Sumatera Selatan. Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia kata ”desa” diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni
oleh sejumlah keluarga yang memunyai sistem pemerintahan sendiri.2
Keberadaan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum memberi
pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas
administratif belaka tetapi juga entitas hukum yang harus dihargai,
diistimewakan, dilestarikan, dan dilindungi dalam struktur pemerintahan di
Indonesia. Hal ini yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat
(2) yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

1
Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, PT Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm
13
2
Hasjimzoem, Y. (2014). Dinamika Hukum Pemerintahan Desa. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum,
8(3).

1
2

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup


dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang”.3
Berdasarkan bunyi pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tersebut maka desa
diartikan bukan saja sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi juga
sebagai hierarki pemerintahan yang terendah dalam NKRI. Dengan ketentuan
tersebut, dinyatakan bahwa sebenarnya pemerintahan Indonesia terdiri dari
pemerintah desa sebagai pemerintahan dengan lingkup terkecil. Pemerintahan
desa dalam menjalankan pemerintahanya disesuaikan dengan karakteristik dan
kondisi masing-masing desa. Pemerintahan desa dalam mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahanya berdasarkan hak asal-usul dan hak
adat istiadat yang dimiliki.
Pasca kemerdekaan Negara Indonesia politik hukum pemerintahan Desa
banyak mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa peraturan
perundang-undangan yang ada umumnya mengatur menganai hak, kewajiban
dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa. Berdasarkan pengaturan
tentang desa di Indonesia yang cenderung menyesuaikan dengan rezim yang
berkuasa. Maka, dinamika dalam perubahan pemerintahan di Indonesia
khususnya mengenai desa tidak bisa dihindari. Untuk mengetahui apa saja
perubahan politik hukum Pemerintahan Desa yang terjadi di Indonesia dari
pasca kemerdekaan sampai dengan era reformasi sekarang, maka kami
menysusun makalah dengan judul :
“Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa ”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, dan untuk menghindari
perluasan subjek, penulis membatasi pembahasan dalam penulisan makalah ini
pada pertanyaan-pertanyaan berikut :

3
Khairuddin Tahmid,Dekonstruksi Politik Hukum Otonomi Desa Dalam Peraturan
Perundang-undangan Di Indonesia (Yogyakarta: ringkasan disertasi progam doktor
UII, 2011), hlm. 3.
3

1. Apa Politik Hukum Pemerintahan Desa?


2. Bagimana Politik Hukum Pemerintahan Desa Pasca Kemerdekaan atau
zaman Orde Lama?
3. Bagimana Politik Hukum Pemerintahan Desa zaman Orde Baru?
4. Bagimana Politik Hukum Pemerintahan Desa pasca Reformasi ?
5. Bagaimana Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan dan batasan di atas, dapat penulis paparkan
beberapa tujuan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Memberikan Pemahaman mengenai Politik Hukum Pemerintahan
Desa.
2. Memberikan Wawasan Politik Hukum Pemerintahan Desa Pasca
Kemerdekaan atau zaman Orde Lama.
3. Memberikan Wawasan Politik Hukum Pemerintahan Desa zaman Orde
Baru.
4. Memberikan Wawasan Hukum Pemerintahan Desa pasca Reformasi.
5. Memberikan Wawasan Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa.

1.4 Manfaat Penelitian


Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut.
1. Manfaat Teoritis
Kegunaan teoritis adalah kegunaan bagi kepentingan akademis, yaitu
turut serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan maupun informasi, khususnya di bidang informasi politik
hukum pemerintahan desa. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan gambaran serta tambahan informasi bagi penelitian
selanjutnya lebih dalam.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini baik masyarakat awam maupun ahli,
sama-sama paham terutama dalam menambah wawasan maupun
4

persediaan informasi mengenai politik hukum pemerintahan desa di


Indonesia. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi dalam pengerjaan
tugas atau melakukan penelitian di tingkat yang lebih tinggi.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Politik Hukum Pemerintahan Desa


Teuku Mohammad Radhie, mengatakan bahwa politik hukum adalah
pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang belaku di
wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak diperkembangkan. 4
Sedangkan, menurut Mahfud M.D, politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum
yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.5
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari 6 mengatakan bahwa politik hukum
memiliki ruang lingkup sebagai berikut:
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang
merumuskan politik hukum;
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut
ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-
undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang
merumuskan politik hukum;
c. Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan politik hukum;
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum;
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik
hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan; dan
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan

4
A.S.S Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis, 2002),
hlm. 10.
5
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 1.
6
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 51-52.

5
6

implementasi dari politik hukum suatu negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa memiliki arti sebagai
kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem
pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa). Pengertian mengenai
desa juga diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Menurut Didik Sukriono dalam bukunya pembaharuan hukum Pemerintahan


Desa secara yuridis dan politis terdapat dua konsep desa yaitu,desa yang diakui,
yakni desa masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama-nama setempat dan
desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-
undang. Artinya desa dipandang sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana
bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa atau memiliki wewenang
mengadakan pemerintahan sendiri.7

Jika dihubungkan dengan sejarah hukum pemerintahan desa maka dapat


dikatakan bahwa keberadaan politik hukum adalah sebagai arah dan tujuan
diberlakukannya pemerintahan desa dari tahun ke tahun disesuaikan dengan
perubahan pemerintahan yang terjadi di Indonesia. Dengan begitu, Politik hukum
pemerintahan desa yang dimaksud disini adalah arah kebijakan hukum
pemerintahan desa secara nasional, yakni garis-garis besar kebijaksanaan hukum
yang dianut oleh penyelenggara negara dalam usaha dan upaya memelihara,
memperuntukan, mengambil manfaat, mengatur, dan mengurus pemerintahan
desa beserta masyarakat desa sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri.8

7
Didik Sukaryono,Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa( Malang: Setara Press,
2010), hlm 57.
8
Hasjimzoem, Y. Dinamika Hukum.., Op. Cit, hlm. 463.
7

Pemilihan politik hukum Pemerintahan Desa ini, dimaksud untuk membedah


konfigurasi politik di masa orde lama, orde baru dan orde reformasi yang secara
berganti-ganti mengatur tentang desa tidak dalam posisi yang ideal, karena hanya
menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Padahal, cikal bakalnya negara RI
berasal dari desa, dusun, kampong, marga dan lain-lain sebagaimana yang
digambarkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Sementara di dalam semua
undangundang pemerintahan daerah maupun pemerintahan desa, desa direduksi
‘habis’ menjadi bagian kecil dari sebuah negeri yang bernama Indonesia.

2.2 Undang-Undang Pemerintahan Desa pada Era Orde Lama


Pada awal pemerintahan Soekarno, desa diatur dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan dan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1946 tentang Perubahan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa. Desa yang
semula tercantum dalam penjelasan ketentuan UUD 1945, justru ‘tergerus’
dengan lahirnya kedua undang-undang tersebut. Bahkan Pratikno menyatakan
‘telah berlangsung negaraisai desa yang dilakukan dengan dua instrumen
perundang-undangan tersebut’.9

UU No. 13 Tahun 1946 mencerminkan kepentingan pemerintah pusat untuk


mengintegrasikan desa perdikan di dalam satu kewenangan yang berakhir di
pemerintah pusat. Sedangkan UU No. 14 Tahun 1946 ini menjadi pilihan politik
hukum negara untuk mempertegas posisi negara terhadap desa, dimana negara
hanya sebagai pemberi legitimasi politis. 10

Keberlanjutan ‘nasib’ desa kemudian diakomodir dalam Undang-Undang


sebagai berikut:

• UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah


Secara umum undang-undang ini bertujuan untuk memberikan isi Pasal 18 UUD
1945 dan meletakkan landasan sebagai berikut:

9
Dadang Julianta (Penyunting), Arus Bawah Demokrasi (Otonomi Dan Pemberdayaan
Desa), Cetakan I, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000), hlm. 140.
10
Ibid.
8

a) Untuk menyusun pemerintahan Daerah dengan hak otonomi yang rasional


sebagai salah satu upaya untuk mempercepat kemajuan masyarakat di
daerah;
b) Untuk mengadakan tiga tingkatan Daerah yang tugas dan kewenangannya
telah diatur dalam undang-undang;
c) Untuk memodernisir dan mendinamisir pemerintahan desa dengan
menetapkan desa sebagai Daerah Tingkat III;
d) Untuk menghilangkan pemerintahan di daerah yang dualistis, melalui
penetapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Kepala
Daerah diberi kedudukan sebagai Ketua dan anggota Dewan Pemerintah
Daerah, dan tidak lagi menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD);
e) Untuk memungkinkan Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul
di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri,
dibentuk sebagai Daerah Istimewa. (Wajong;1975;37)

Kemudian UU No. 22 Tahun 1948 bermaksud memberikan otonomi


sebanyak-banyaknya (UU ini belum mempergunakan istilah otonomi "seluas-
luasnya") kepada Daerah. Maksudnya, beraneka ragam urusan pemerintahan
sedapat mungkin akan diserahkan kepada daerah. Otonomi Daerah akan
mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas. Sehingga, pengertian otonomi
"sebanyak-banyaknya" pada dasarnya sama dengan "otonomi seluas-luasnya".
Berkaitan dengan hal tersebut UU No. 22 Tahun 1948 meletakkan titik berat
otonomi pada Desa dan daerah lain setingkat Desa, dengan dasar pemikiran Pasal
33 UUD 1945.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1948 menyatakan “Daerah Negara


Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Provinsi, Kabupaten
(Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Ayat (2) Daerah-daerah yang
mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia
9

mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang


pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah khusus
yang setingkat dengan provinsi, kabupaten atau desa yang memiliki kewenangan
mengurus dan mengurus rumah tangga sendiri.11 Berdasarkan ketentuan tersebut
desa diklasifikasikan sebagai pemerintahan daerah tingkat III yang memiliki
kewenangan untuk mengurus dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Keinginan UU No. 22 Tahun 1948 untuk mengadakan restrukturisasi


wilayah desa membentuk desa-desa baru dengan teritorial yang lebih luas
merupakan pemikiran yang sangat maju. Namun, walaupun UU No. 22 Tahun
1948 mengandung gagasan dasar yang dikehendaki Pasal 18 UUD 1945 (seperti
diutarakan oleh Yamin, Soepomo, Ratulangi, dan Amir), dalam kenyataannya UU
ini tidak mencapai hal-hal yang diharapkan. Ada beberapa alasan yang
menghambat implementasi ide-ide tersebut. Pertama, desa sebagai bagian penting
susunan pemerintahan daerah tidak diperbaharui sebagaimana dikehendaki oleh
UU No. 22 Tahun 1948. Akibatnya, desa-desa yang diharapkan menjadi basis
kesejahteraan tidak dapat menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Kedua,
UU No. 22 Tahun 1948 tidak diikuti pembaharuan perangkat peraturan
perundang-undangan pendukung.12

Dalam implementasinya, UU No. 22 Tahun 1948 dinilai setengah-


setengah terhadap desa dan memperlihatkan sikap yang tidak sungguh-sungguh
pemerintahan pada saat itu dalam mengakomodir kepentingan desa dan dalam
menjalankan amanat Konstitusi. Setelah perubahan bentuk negara menjadi RIS
pada tahun 1949, terbitlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah yang mencabut kehadiran UU No. 22 Tahun 1948
yang semula mengatur pemeritahan daerah dan desa. Namun UU No 1 Tahun
1957 ini tidak mengatur tentang desa sedikitpun. Dapat dikatakan bahwa rezim
pemerintahan parlementer melalui UU No. 1 Tahun 1957 lebih memprioritaskan
model demokrasi pada tingkatan negara dan daerah-daerah di bawah seperti

11
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa “Nama, batas-batas, tingkatan, hak
dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam undang-undang
pembentukan”.
12
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan Dan Undang-Undang
Pelaksanaannya), (Unsika: Karawang, 1993), hlm. 29.
10

provinsi dan kabupaten, sehingga desa luput dari menyentuh langsung lapisan
masyarakat jika berbicara tentang demokrasi, sangat disayangkan dengan adanya
ketentuan tersebut justru ‘mematikan’ demokrasi pada tingkat desa.

• UU No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah


Ketentuan Umum pada UU No. 18 Tahun 1965 ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan Desa atau daerah yang setingkat dengan itu adalah kesatuan
masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18
UUD. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan, sesuatu atau beberapa desa
atau daerah yang setingkat dengan desa, dengan mengingat kehidupan masyarakat
dan kemajuan perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan
peraturan-peraturan hukum adat dan susunan asli yang masih hidup dan berlaku,
dapat dibentuk menjadi Daerah Tingkat III. Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 18
Tahun 1965 menyatakan “ayat (2) pasal ini tidaklah harus ditafsirkan, bahwa
daerah tingkat III baru akan dibentuk, apabila kehidupan masyarakat dan
perkembangan sosial ekonomi suatu atau beberapa desa atau daerah yang
setingkat dengan desa sudah mencapai tingkat taraf tertentu, sehingga sebelum
taraf itu dicapai tidak akan dibentuk daerah tingkat III, melainkan maksudnya
ialah hal-hal itu diperhatikan untuk menentukan apakah suatu atau beberapa desa
dan daerah yang setingkat dengan desa dibentuk menjadi daerah tingkat III.”

• UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja


Pada tahun 1965 pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1965
Tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya
Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. UU ini merupakan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965. Latar belakang lahirnya
UU ini adalah semangat untuk menghilangkan dengan cara mengganti peraturan
perundang-undangan yang masih mengandung unsur-unsur dan sifat-sifat
kolonial. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh semangat menjamin tata-perdesaan
yang lebih dinamis dan penuh daya guna dalam rangka penyelesaian revolusi
11

nasional yang demokratis dan pembangunan nasional secara umum. UU No. 19


Tahun 1965 juga bertujuan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III di
seluruh wilayah Republik Indonesia.

Desa praja dijelaskan dalam pasal 1 yang berbunyi : "Kesatuan masyarakat


hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangga
sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta benda sendiri ". Pengertian
Desapraja ini merupakan defenisi yang telah dijabarkan dalam UU No. 22 Tahun
1948. Dalam UU ini pemberian hak mengatur rumah tangga sendiri lebih tegas,
sebagaimana di atur dalam pasal 34 UU No. 22 Tahun 1948, secara organisatoris
Desapraja didukung oleh alat kelengkapan yang diatur dalam pasal 7 sebagaimana
berbunyi "alat-alat Desapraja terdiri atas kepala Desapraja, Badan Musyawarah
Desapraja, Petugas Desapraja, Pamong Desaparaja, Panitera Desapraja dan Badan
Pertimbangan Desapraja".

Desapraja merupakan peningkatan desa atau dengan nama lain seperti


nagari menjadi daerah tingkat III, yang kecuali mengurus urusan rumah tangganya
juga diserahi urusan dari daerah tingkat II. Desapraja dipimpin oleh Kepala
Desapraja yang didampingi lembaga legislatif musyawarah desapraja. UU No. 19
Tahun 1965 mengatur desapraja secara rinci, hal ini berbeda dengan perlakuan
undang-undang sebelumnya yang hanya menjadikan desa ‘bagian tambahan’
dalam pengaturannya, terlebih lagi nomenklatur dalam undang-undang
sebelumnya adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah,sehingga tidak
heran jika desa hanya dijadikan ‘tambahan’ saja dalam pengaturannya. Namun,
sebelum Undang-Undang ini sempat diberlakukan, terjadi pergantian rezim
pemerintahan dari Orde lama dibawah pimpinan Soekarno ke Orde Baru dibawah
pimpinan Suharto.

2.3 Undang-Undang Pemerintahan Desa pada Era Orde Baru


Pasca lengsernya rezim orde lama di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno, estafet kepemimpinan di Indonesia kemudia diambil alih oleh Presiden
Soeharto yang saat itu dikenal dengan pemerintahan Orde Baru. Soaharto datang
dengan semangat pembaharuan yang berorientasi pembangunan ekonomi.
12

• UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah

Pemerintahan Orde Baru mencoba menata ulang stuktur pemerintahan yang


ada, salah satu bagian yang hendak ditata ulang adalah pemerintahan daerah.
Ketentuan tentang pemerintahan daerah selanjutnya dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU
No. 5 Tahun 1974).

Dalam UU No. 5 Tahun 1974 juga membuat ketentuan terkait desa dalam
undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 88 yang menyebutkan,
“Pengaturan tentnag pemerintahan desa ditetapkan dalam undang-undang”. 13
Karena dalam UU No.5 Tahun 1974 tidak mengatur tentang desa secara luas,
hanya dengan satu pasal tersebut saja. Dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1974
tidak mengakomodir pemerintahan desa di dalamnya. Sehingga desa harus
menunggu lima tahun lamanya untuk memiliki undang-undang tentang
pemerintahan desa diajukan oleh pemerintah kepada DPR RI baru pada 11 Mei
1979.

• UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Sebagai bentuk pelengkap bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah


menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Oleh karena itu, pemerintah menganggap perlu untuk
memperkuat kedudukan pemerintahan desa agar mampu menggerakkan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan ditunjang dengan
penyelenggaraan administrasi desa yang maskin berdaya guna dan berhasil guna,
sehingga 61. 158 jumlah desa yang ada pada saat itu dapat sesuai dengan
perkembangan yang ada.14

Menurut Pemerintah, beberapa peraturan perundang-undangan pada masa


penjajahan belanda dahulu seperti Inlandsche Gemeente Ordonantie (Staatsblad
1906 Nomor 83) yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandshe Gemeente

13
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
14
Risalah Sidang Pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor….. Tahun 1979
Tentang Pemerintahan Desa. 1944/Risalah/79.07. hlm. 48.
13

Ordonantie Buitengewesten (Staatsblad 1938 Nomor 490 juncto Staatsblad 1938


Nomor 81) yang berlaku di daerah-daerah di luar Jawa da Madura, memang telah
ada. Akan tetapi peraturan perundang-undang tersebut tidak mengatur
pemerintahan desa secara seragam, kurang memberikan dorongan kepada
masyarakat untuk dapat tumbuh kearah kemajuan yang dinamis, dan kurang dapat
memenuhi tuntutan perkembangan seperti telah dikemukakan.15

Demikian pula Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja


walaupun menurut hukum masih berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, namun di dalam
kenyataanya tidak dapat dillaksanakan.16 Peraturan tersebut ternyata dirasa tidak
membantu pemerintahan Orde Baru maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya untuk menciptakan masyrakat Indonesia seutuhnya hidup dalam suasana
hukum nasional baik di bidang pemerintahan maupun di bidang pembangunan
desa itu sendiri.

Pandangan pemerintah terkait perlunya dibentuk ketentuan tentang desa


tersebut menimbulkan tanda tanya, apakah pemerintah benar-benar menjadikan
prioritas masyarakat desa dalam membangun kesejahteraan di tingkat desa,
ataukah hanya memanfaatkan desa sebagai roda penggerak pembangunan yang
telah direncanakan sejak awal oleh pemerintah. Arena di akhir penyampian
pemerintah disampaikan bahwa agar RUU ini untuk segera dibahas dan si sahkan
untuk pelaksanaan PELITA II. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya sikap
kritis oleh fraksi-fraksi yang ada di parlemen saat itu, yang cenderung mendukung
maksud pemerintah tersebut. 17 1 Desember 1979 Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa dan sebagai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan
Negara pengaturan tentang pemerintahan desa, agar mampu menggerakkan

15
Ibid. hlm 49.
16
Ibid. hlm 50.
17
Mandasari, Z. (2015). Politik Hukum Pemerintahan Desa Studi Perkembangan Pemerintahan
Desa Di Masa Orde Lama, Orde Baru, Dan Reformasi (Master's thesis, Universitas Islam
Indonesia).
14

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan menyelenggarakan


administrasi desa yang makin meluas dan efektif.18

UU No. 5 Tahun 1979 mendefinisikan desa sebagai suatu konsepsi dalam


pengertian administratif, yakni suatu satuan pemerintahan yang berkedudukan
langsung di bawah kecamatan. Keputusan lain yang diambil dalam dalam UU No.
5 Tahun 1979 adalah melakukan penyeragaman struktur pemerintahan desa,
sebagai srategi untuk memberikan legitimasi kontrol negara terhadap desa.
Pengintegrasian desa ke dalam struktur pemerintah nasional dan menempatkan
sebagai rantai terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistik. Hal
demikian menjadikan desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dan sub
sistem dari negara, sehingga kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang otonom dan otonomi asli kian terkikis.19 Tujuan awal dibentuknya UU No. 5
Tahun 1979 di bawah rezim Soeharto adalah untuk mengikat desa lewat kepala
desa, sebab kepala desa sekaligus sebagai kepala LKMD lemabaga eksekutif desa
dan LMD, lembaga legislatif desa. Sehingga pemerintah pusat dapat
melaksanakan programnya secara penh di desa apakah sesuai dengan kebutuhan
rakyat atau tidak. Dengan demikian kepala desa dijadikan sebagai penguasa
tunggal di desa seperti halnya bupati dan gubernur.20

Berlakunya UU No 5 Tahun 1979 membawa perubahan atau dinamika dalam


sistem pemerintahan di desa. Sistem pemerintahan desa dalam UU No. 5 Tahun
1979 cenderung dibangun seragam sehingga berdampak bagi masyarakat yang
bukan bercorak seperti desa. Misalnya Bali, dengan desa adatnya terpaksa
menyesuaikan diri dengan menempatkan kepala desa (dinas) diatas struktur sistem
adat. Sehingga kepala desa berada di puncak struktur sistem pemerintahan adat.

18
HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa (Menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 (Sebuah Tinjauan), Ed. 1., Cet. 1, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 1993). hlm. 4
19
Heru Cahyono (Editor), Dinamika Demokratisasi Desa Di Beberapa Daerah DI
Indonesia Pasca 1999, cetakan pertama, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2006),
hlm. 1
20
Juliantara, Dadang.. Arus Bawah Demokrasi.., Op. Cit, hlm 165.
15

Padahal seharusnya berbeda, ketua adatlah yang berada pada tingkatan paling
atas.21

Semangat sentralistrik dan penyeragaman yang dibawa oleh Orde Baru


membuat pembinaan-pembinaan yang menyebabkan lembaga bawahnya merasa
semakin dibatasi dan dihegemoni dalam hal ini desa.184 Padahal kenyataan yang
ada bangsa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, tetapi tidak
dijalankan secara murni dan konsekuen, padahal hal tersebut merupakan pedoman
dan pegangan dalam mengatur suatu masyarakat yang sangat majemuk. Namun
sayangnya di masa Orde Baru masih hanya dijadikan sebagai slogan. Kearifan dan
keanekaragaman belum menjadi politik perundang-undangan yang dijalankan. 22
Yang ada kearifan dan keanekaragaman tersebut diangap sebagai sebuah ancaman
disintegrasi bagi bangsa dan negara, sehingga harus diatur dan dimasukkan dalam
satu kesamaan dengan cara penyeragaman.

Selain itu, pemerintah Orde Baru tidak mau direpotkan oleh gerakan-gerakan
dan pertikaian politik yang dapat menyebabkan keadaan ekonomi menjadi buruk
sehingga memunculkan ketidakstabilan. Oleh karena itu, pemerintah fokus apada
pembangunan dengan menampikkan kegiatan-kegiatan politik, tetapi menurut
Mahfud MD, program pembangunan yang digaungkan di pemerintahan Orde Baru
merupakan sebuah program yang tidak terlepasa dari politik. Bahwa sebenarnya
politik dalam kenyataan tidak pernah surut walaupun dibingkai dalam bentuk
pembangunan semakin digalakkan. Artinya politik tetap sebagai ujung tombak
dan penguasa pada masa orde baru yang diwakili oleh ABRI.23

21
I Wayan Wesna Astara, Pertarungan Polirik Hukum Negara dan Politik Kebudayaan,
Cetakan Pertama, (Bali: Udayana University Press), 2010, hlm.33.
182
22
Ibid, hlm. 32.
23
Mahfud, Moh. 2000. Demokrasi dan konstitusi di Indonesia : Studi tentang interaksi politik dan
kehidupan ketatanegaraan. Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 75.
16

2.4 Undang-Undang Pemerintahan Desa Pasca Reformasi


Keruntuhan orde baru pada tahun 1998 menjadi sebuah momen yang
dimanfaatkan oleh pemerintahan lokal untuk melakukan perombakan terhadap
dirinya. Saat itu, desentralisasi, demokratisasi, dan pembentukan good governance
memang merupakan isu utama dalam perubahan politik negara. Daerah merasa
jika saat itu sudah bukan waktunya lagi bagi mereka untuk diatur sepenuhnya
serta harus melakukan segala sesuatu dengan menunggu instruksi dari pemerintah
pusat terlebih dahulu. Oleh karena itulah daerah menuntut kewenangan bagi
dirinya untuk memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
dirinya sendiri. Euforia tersebut rupanya juga turut menjangkiti masyarakat desa,
mereka juga menuntut agar demokrasi lokal bisa dirasakan.

● UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Tuntutan dari masyarakat Desa tersebut pun kemudian dijawab oleh


pemerintah pusat dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam pasal ini dijelaskan jika Desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Disebutkan dalam undang-undang ini, sebagai bentuk perwujudan dari demokrasi,
dibentuk pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang memiliki
beberapa fungsi, yaitu mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan fungsi
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa (pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan
keputusan Kepala Desa). Terdapat pula perubahan masa jabatan Kepala Desa
yang diatur dalam undang-undang ini. Jika sebelumnya pada UU No. 5 tahun
1979 disebutkan jika masa jabatan Kepala Desa adalah 8 tahun, maka setelah
diberlakukannya undang-undang ini masa jabatan Kepala Desa adalah 5 tahun
atau paling lama dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Hal
lainnya yang perlu digaris bawahi setelah berlakunya undang-undang ini adalah
17

ditetapkannya beberapa Desa menjadi kelurahan. Adapun Desa-Desa tersebut


yakni Desa-Desa yang ada dalam wilayah kotamadya, kotamadya administratif,
dan kota administratif berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Akan
tetapi, rupanya BPD tidak begitu memberikan sumbangan yang berarti terhadap
pelembagaan demokrasi Desa. Desa memiliki masalah baru sebab lembaga
perwakilan tersebut menjalankan kewenangannya secara kebablasan. Hal ini
dikarenakan begitu besarnya porsi kekuasaan BPD, dimana masyarakat Desa tidak
tahu bagaimana mengelolanya. Sebagaimana DPRD, ternyata BPD hadir sebagai
bentuk oligarki elit yang kurang peka terhadap kehidupan masyarakat. Dengan
kata lain, UU Nomor 22 Tahun 1999 hanya menggeser posisi otoritarianisme dari
pusat (Jakarta) ke daerah-daerah di seluruh Indonesia dan melahirkan raja-raja
kecil di daerah.

● UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


Kemudian pemerintah pun mengganti UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada masa UU No.32 Tahun 2004,
pemerintahan Desa masih terdiri atas pemerintah Desa dan BPD. Akan tetapi ada
sedikit perubahan penamaan dalam BPD pada masa ini. Jika sebelumnya pada UU
No.22 Tahun 1999 dijelaskan bahwa BPD merupakan “Badan Perwakilan Desa”,
maka dalam undang-undang ini disebutkan jika BPD merupakan “Badan
Permusyawaratan Desa”. Rupanya peralihan nama dari “Perwakilan” menjadi
“Permusyawaratan” memiliki implikasi yang serius. Berbagai kewenangan BPD
1999 dipreteli, sehingga kedudukan BPD 2004 tidak jauh berbeda dengan LMD.
Kewenangan BPD pada masa ini tidak seluas kewenangan BPD yang diatur dalam
undang-undang yang berlaku sebelumnya. Dalam masa ini secara bertahap setiap
Desa di kabupaten/kota dapat mengubah statusnya menjadi kelurahan. Perubahan
mengenai lamanya masa jabatan Kepala Desa kembali terjadi. Masa jabatan
Kepala Desa yang sebelumnya adalah selama 5 tahun dan atau paling lama dua
kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan (UU No.22 Tahun 1999) kini
berubah menjadi 6 tahun serta dapat kembali menjabat selama 1 periode
selanjutnya.
18

● UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desab


Diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 seolah menjadi angin segar bagi
penyelenggaraan pemerintahan Desa. Undang-undang tersebut dapat dikatakan
menjadi penyempurna dari segala kekurangan bagi undang-undang yang mengatur
tentang Desa sebelumnya. Akan tetapi UU ini dikatakan disusun atas ‘ambisi
politik’. Hal ini terkait dengan saat pembahasan UU N0.6 Tahun 2014 dekat
dengan waktu penyelenggaraan Pemilihan umum. Undang-undang ini mengatur
hal-hal yang sangat esensial seperti pemilihan Kepala Desa serentak, adanya
musyawarah desa, kewajiban untuk membuat perencanaan menengah dan
tahunan, dan perubahan perubahan esensial lainnya. Pemberlakuan UU ini
membawa dampak yang besar bagi bagi penyelenggaraan pemerintahan Desa,
dampak-dampak tersebut diantaranya adalah dilakukannya restrukturisasi
perangkat desa serta penyusunan perencanaan pembangunan Desa. Selain itu, hal
lainnya yang dapat kita soroti dalam pemberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 ini
adalah diberikannya legitimasi kuat bagi desa adat/masyarakat hukum adat yang
ada di Indonesia agar tidak dipaksakan menjadi bagian dari desa dengan corak
desa Jawa. Dengan harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa UU
No. 6 Tahun 2014 memberikan alokasi dana desa sebesar 10% dari APBN, Pajak
Daerah dan Retribusi, dan APBD. Adanya penguaatan terhadap Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD), yang selain berfungsi dalam membahas dan
menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, juga melakukan pengawasan kinerja
Kepala Desa. Hal baik lainnya adalah adanya check and balance dalam
pemerintahan desa, melalui Kepala Desa yang menyampaikan laporan keterangan
penyelenggaraanpemerintah kepada BPD setiap akhir anggaran. Pasar desa dan
Badan Usaha Milik Desa merupakan “kewenangan lokal berskala Desa” yang
diberikan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah
19

dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa atau yang
muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa.24

Realita ini yang mebedakan antara era orde baru dengan orde reformasi, di
mana keberlakuan otonomi daerah tetap dalam koridor NKRI dengan
menitikpusatkan perhatian pada kemandirian masyarakat khususnya di daerah
pedesaan25.

2.5 Dinamika Politik Hukum Pemerintahan Desa


Melihat pemaparan di atas mengenai Undang-Undang yang mengatur
Pemerintahan Desa. Dapat dikatakan dinamika politik hukum pemerintahan desa
di Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk, mengikuti era rezim yang
berkuasa. Pasang surut dari sistem pemerintahan orde lama yang awalnya
demokrasi kemudian berubah menjadi otoriter dan pemerintahan orde baru yang
otoriter yang selanjutnya digantikan oleh orde reformasi yang demokratis26. Hal
ini semua tidak terlepas dari perubahan pola kepemimpinan dalam mengambil
kebijakan. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfud M.D27 konfigurasi politik yang
demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau
otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter (nondemokratis) akan
melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif atau ortodoks atau
menindas.

Tabel 1.0 Politik Hukum Pemerintahan Desa


Aspek Orde Lama Orde Baru Reformasi

24
Mandasari, Z. (2015). POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA STUDI PERKEMBANGAN
PEMERINTAHAN DESA DI MASA ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN REFORMASI (Master's thesis,
Universitas Islam Indonesia).
25
Hasjimzoem, Y. Dinamika Hukum.., Op. Cit, hlm. 473.
26
Hasjimzoem, Y. Dinamika Hukum.., Op. Cit, hlm. 468.
27
Mahfud M.D,Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi(Jakarta: Rajawali Press ,
2010), hlm. 66.
20

Diatur bersama pemerintahan Diatur bersama Diatur bersama


daerah pemerintahan daerah pemerintahan daerah
dan diatur terpisah dan diatur terpisah
Peraturan (UU No.5 Tahun (UU No.6 Tahun
1979 tentang 2014 Tentang
Pemerintahan Desa ) Pemerintahan
Desan)
Karakter
Konservatif atau Responsif atau
Produk Responsif atau otonom
ortodoks otonom
Hukum
Sistem Demokratik Sentralistik Demokratik
Birokrasi
Kedudukan Pemerintahan Daerah Tingkat
Pemerintahan Desa Pemerintahan Desa
Desa III
Desa mulai otonom,
Otonomi asli tapi masih ada
Otonomi Sebanyak-
Otonomi terkikis, cenderung intervensi dari
sebanyaknya
Sentralistik pemerintah tingkat
atas
Masyarakat hukum

Kesatuan adat tidak diakui, Masyarakat hukum


Belum ada pengakuan
masyarakat karena semangat adat diakui
hukum masyarakat hukum adat
adat sentralisasi dan eksistensinya
penyeragaman
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Dinamika politik hukum pemerintahan desa di Indonesia telah mengalami
berbagai macam bentuk, mengikuti era rezim yang berkuasa. Pasang surut dari
sistem pemerintahan orde lama yang awalnya demokrasi kemudian berubah
menjadi otoriter dan pemerintahan orde baru yang otoriter yang selanjutnya
digantikan oleh orde reformasi yang demokratis. Hal ini semua tidak terlepas dari
perubahan pola kepemimpinan dalam mengambil kebijakan. Sebagaimana
dikatakan oleh Mahfud M.D konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan
produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi
politik yang otoriter (nondemokratis) akan melahirkan produk hukum yang
berkarakter konservatif atau ortodoks atau menindas.
Dengan demikian dari pemaparan di atas mengenai Undang-Undang yang
mengatur Pemerintahan Desa dari pasca kemerdekaan sampai dengan era
reformasi, Politik hukum atau legal policy pemerintahan desa dari tahun ke tahun
atau dari setiap periode pemerintahan semakin menunjukkan kearah pembentukan
civil society atau masyarakat madani. Atau dapat legal policy Pemerintahan Desa
terus mengalami perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dinamika perubahan yang paling revolusioner terjadi pada UU No. 6 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Desa yang mencoba memperbaiki kekurangan
undang-undang sebelumnya. Mulai dari nomenklatur desa, kewenangan desa,
perencanaan pembangunan desa, alokasi dana desa, penguatan Badan
Permusyawaratan Desa, konsep check and balance serta mempertahankan konsep
otonomi daerah, pasar desa dan Badan Usaha Milik Desa, Desa Adat diberikan
untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan adat dan pembangunan adat
secara otonom. Pembangunan Desa Adat mendapat anggaran yang bersumber dari
Pajak Daerah dan Retribusi, APBN, dan APBD.

21
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah


Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja

Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa
A.S.S Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis,
2002).

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan Dan Undang-
Undang Pelaksanaannya), (Unsika: Karawang, 1993).

Dadang Julianta (Penyunting), Arus Bawah Demokrasi (Otonomi Dan


Pemberdayaan Desa), Cetakan I, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama,
2000).

Didik Sukaryono,Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa( Malang: Setara Press,


2010), hlm 57.

Hasjimzoem, Y. (2014). Dinamika Hukum Pemerintahan Desa. Fiat Justisia


Jurnal Ilmu Hukum, 8(3).

HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa (Menurut


Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 (Sebuah Tinjauan), Ed. 1.,
Cet. 1, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1993).

Heru Cahyono (Editor), Dinamika Demokratisasi Desa Di Beberapa Daerah


DI Indonesia Pasca 1999, cetakan pertama, (Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2006).

22
I Wayan Wesna Astara, Pertarungan Polirik Hukum Negara dan Politik
Kebudayaan,Cetakan Pertama, (Bali: Udayana University Press),

Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2006).

Khairuddin Tahmid,Dekonstruksi Politik Hukum Otonomi Desa Dalam Peraturan


Perundang-undangan Di Indonesia (Yogyakarta: ringkasan disertasi
progam doktor UII, 2011).

Mandasari, Z. (2015). Politik Hukum Pemerintahan Desa Studi Perkembangan


Pemerintahan Desa Di Masa Orde Lama, Orde Baru, Dan Reformasi
(Master's thesis, Universitas Islam Indonesia).

Mahfud, Moh. 2000. Demokrasi dan konstitusi di Indonesia : Studi tentang


interaksi politik dan kehidupan ketatanegaraan. Jakarta : Rineka Cipta

Mahfud M.D. 2010. Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi. Jakarta:


Rajawali Press.

Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Odhosuka. (2020). Perbandingan Implementasi Otonomi Daerah Orde Lama,


Orde Baru dan Reformasi. Diakses dari
http://odhosuka.blogspot.com/2013/04/perbandingan-implementasi-
otonomi.html?m=1

Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, PT Bina Aksara,


Jakarta, 1981, hlm 13

23

Anda mungkin juga menyukai