Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Pembaruan agraria merupakan kegiatan yang kompleks dari


berbagai program terkait dengan tanah dan apa yang ada di atasnya baik
alam maupun kehidupan sosialnya. Prinsip dasar dari implementasi
pembaruan agraria adalah untuk menciptakan sistem usaha pertanian
yang berkeadilan, efisien, dan berkelanjutan. Menurut Hanani dkk (2003),
perubahan agraria adalah kegiatan yang meliputi seluruh usaha
redistribusi tanah kepada kaum tak bertanah (tunakisma), pengaturan
harga tanah bagi kegiatan pertanian terutama penyakap, jaminan bagi
penguasaan tanah, serta aturan bagi hasil yang seimbang pada
penyakapan tanah. Selain itu teknologi pertanian terutama tepat guna
dapat diintrodusir guna mendukung usaha tani yang baik. Hal itu dapat
dilalui dengan pendampingan, bantuan modal, fasilitas pemasaran lewat
koperasi, sistem informasi pertanian dan kegiatan lainnya.
Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan
agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria ......”. Terlihat bahwa, pembaruan
agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan
(2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Sisi pertama dapat disebut dengan
“aspek landreform” dan sisi kedua disebut “aspek non-landreform”.
Landreform dalam arti sempit adalah penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen “non-
landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi
teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan
lain-lain.
Tanah merupakan objek pokok dalam pengertian agraria ( Pasal 1
ayat 2 dan pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun 1960, dan Tap MPR no. IX tahun
2001). Maknanya adalah bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk
aktifitas masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang
dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan pembaruan
agraria. Namun keeratan konsep “agraria dengan tanah” tidak tercermin
pada keeratan “pembaruan agraria dengan Deptan”. Deptan sebagai
departemen teknis, terbatas hanya pada aspek “penggunaan dan
pemanfaatan” (non-landreform), yaitu bagaimana menghasilkan
produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan
merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit
usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.

Dari tahun-ketahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun,


jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat,
begitu juga halnya dengan petani penyakap yang kesemuaannya dapat
dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Di sisi lain konsentrasi
penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang saja begitu
mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik
pada bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan
sebagainya. Di sisi lain, konflik agraria merupakan kenyataan yang
kerapkali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Tanggal 24 September umumnya diperingati sebagai Hari Agraria.


Pada tanggal yang sama, 43 tahun lalu, Sukarno mengesahkan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA 1960). UU ini hadir menggantikan Agrarisch Wet dan Agrarisch
Besluit 1870, yang menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan
sebagai eigendom (milik) seseorang, adalah tanah negara.

Aturan ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda


dapat memiliki tanah-tanah rakyat yang pada waktu itu, hampir
seluruhnya menerapkan sistem hukum adat. Sementara pemilikan tanah
berdasarkan sistem adat tidak ada satupun yang menyamai
hak eigendom. Kelahiran UUPA 1960 lah yang kemudian dipandang
sebagai titik balik perjalanan politik agraria di Indonesia karena kembali
menempatkan hukum adat sebagai dasar hukum agraria di

2
Indonesia. Dengan menerapkan strategi populis, UUPA 1960 menghendaki
penataan kembali struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang
timpang dan terbukti pula menimbulkan berbagai masalah sosial pada
masa itu. UUPA ingin melakukan perombakan total terhadap strategi
kapitalisme yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

PEMBAHASAN

• Konsep Agraria

Menurut Sitorus (2002) konsep agraria merujuk pada berbagai


hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta
hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan
sumber-sumber graria. Secara kategoris, subjek agraria dibedakan
menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah
tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private
sector).

Ketiga subjek agraria tersebut memiliki ikatan dengan sumber-


sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure
institution). Dalam hubungan-hubungan itu akan menimbulkan
kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-masing subjek
berkenaan dengan pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau
hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan,
pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria.

3
• Analisis Permasalahan Agraria

Masyarakat Indonesia kerap kali dihadapi oleh berbagai persoalan


yang terkait dengan ketidak-adilan dalam mendapatkan hak atas
penguasaan dan pemanfaatan suber-sumber agraria. Hal ini disebabkan
oleh kebijakan-kebijakan politik yang tidak memberikan kelayakan akses
bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber
agraria.

Keberadaan tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi


masyarakat agraris. Menurut Tjodronegoro (1998), tanah yang menjadi
aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang
merupakan sumber kehidupan utamanya. Sumberdaya tanah bersifat
multi fungsi dalam aktifitas kehidupan manusia di berbagai bidang, baik di
bidang pertanian maupun non-pertanian. Di bidang pertanian tanah
digunakan sebagai lahan untuk berusahatani sehingga dapat
menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi

4
kebutuhan. Sedangkan di bidang non-pertanian tanah digunakan sebagai
tempat pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.

Dari tahun ke tahun penguasaan tanah oleh petani semakin


menurun, jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin
meningkat, begitu juga halnya dengan petani penyakap yang
kesemuaannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Di sisi
lain konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang
saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang
sektoral. Konflik agraria merupakan kenyataan yang kerap terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai


pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain
dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama maupun yang
telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang
ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk
ke MA (Muchsin; 2007). Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria
telah merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang
Orde Baru, yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan
kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Konflik agraria struktural
adalah sengketa atau konflik yang disebabkan oleh penggunaan dan/atau
penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintahan.
Bukan antarwarga yang sifatnya individual. Umumnya konflik agraria
berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai
dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah
memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan- badan
usaha.

Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini


ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan Agustus
2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa
pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkaran

5
pertanahan 2.052 kasus. Dari 7.491 kasus tersebut, presentase
berdasarkan tipologi masalahnya adalah:

(a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%

(b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%

(c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%

(d) Ganti rugi eks-tanah partikelir 3,48%

(e) Tanah ulayat 1,78%

(f) Tanah objek landreform 2,27%

(g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%;

(h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di


Denpasar Bali, 14 November 2007).
Contoh konflik agraria yang kerap kali terjadi di Indonesia yakni
dalam hal kepemilikan kawasan hutan. Dalam konteks ini, petani sering
dituduh menyerobot kawasan hutan, padahal dalam banyak kasus justru
petanilah yang diserobot lahannya. Sebagaimana yang terjadi dalam
kasus Cibaliung di Propinsi Banten, tanah rakyat justru dirampas
Perhutani, meski petani memiliki bukti kepemilikan yang sah hal tersebut
tidak menutup tindak kekerasan yang terjadi pada petani.

Konflik kehutanan bisa juga muncul di wilayah konservasi hutan


atau hutan suaka, padahal rakyat lebih lama tinggal di kawasan tersebut.
Hal ini juga terjadi seperti kasus TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon) di
Propinsi Banten, yang dimana petani dipaksa pindah dari tempat
tinggalnya karena daerahnya ditetapkan sebagai taman nasional. Konflik
yang berkepanjangan itu kembali memakan korban, yakni satu orang
petani anggota SPI (Serikat Petani Indonesia) tewas tertembak pada 2006
yang mengakibatkan kemarahan kaum tani yang hidup disana. Buntut
dari konflik tersebut, pada 23 Mei 2007 lima orang petani di kawasan
TNUK ditangkap.

• Reforma Agraria

6
Penataan kembali arah kebijakan politik agraria disadari bersama
sebagai hal yang sangat esensial untuk mewujudkan suatu keadilan sosial
dan pemerataan hak bagi masyarakat. Salah satu upaya perbaikan
tersebut adalah dengan mencuatkan kembali pentingnya pelaksanaan
Reforma Agraria sebagai salah satu agenda pembangunan bangsa.

Dalam program pemerintahan SBY-JK agenda reforma agraria


merupakan bagian dari program Perbaikan dan Penciptaan Kesempatan
Kerja dan Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Presiden RI DR. H. Susilo
Bambang Yudhoyono telah melakuakn pidato politik terkait dengan
maslah agraria di Indonesia pada awal tahun 2007, salah satu penggalan
pidato tersebut adalah: “Program Reforma Agraria…secara bertahap…
akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan
mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan
konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh
diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai
prinsip tanah untuk keadialan dan kesejahteraan rakyat…[yang] saya
anggap mutlak untuk dilakukan”.

Tanah merupakan komponen dasar dalam Reforma Agraria. Pada


dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria adalah
tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat dijadikan sebagi obyek Reforma Agraria.
Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang dibutuhkan untuk
menunjang Reforma Agraria, maka luas kebutuhan tanah obyek Reforma
Agraria dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta Ha.
Menurut Badan Petanahan Nasional RI (2007), makna Reforma Agraria
adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan
pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu
menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan
rakyat. Apabila makna ini di dekomposisikan, terdapat lima komponen
mendasar di dalamnya, yaitu:

7
1. Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan
struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),
2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi keagraraiaan
(welfare),
3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi
lainnya secara optimal (efficiency),
4. Keberlanjutan (sustainability), dan
5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Konsep Reforma Agraria tidak lepas dari apa yang disebut dengan
konsep Lanreform. Syahyuti (2004) mengutarakan bahwa dalam konteks
reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara
optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan
juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform
tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan
pertanian dan pedesaan. Adapun tujuan dari landreform menurut
Michael Lipton dalam Mocodompis (2006) adalah:

1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik


tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan
redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara
petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk
memperbaiki persamaan diantara petani.

2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan


lahan. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka
petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap
lahan, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani
penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang
cenderung merugikan para petani.

Keseluruhan tujuan Reforma Agraria di atas bermuara pada


peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai

8
permasalahan bangsa. Berbagai upaya perbaikan dalam bidang
agrarian sebaiknya terus diupayakan dengan memiliki suatu muara,
yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

BPN. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam
Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”.
Jakarta: Badan Pertanahan Nasional RI.

Mocodompis, Harison. 2006. Reforma Agraria Dan Upaya Mengatasi Kemiskinan


di Indonesia.

Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (ed.).


Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.

Soetarto, Endriatmo dan Shohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Reforma


Agraria dan Peran Lembaga Pendidikan Kedinasan Keagrariaan.

Suryo, Tejo. 2008. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reforma


Agraria Nasional. Tesis. Program Pasca Sarjan IPB.

http://ahmad.zuber70.googlepages.com/pendekatandalammemahamiperubahan
agrariad

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART3-2d.pdf

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/08/02/Profil/pro01.htm

Anda mungkin juga menyukai