Anda di halaman 1dari 6

Masjid Tua Palopo

Masjid Tua Palopo

Masjid Tua Palopo


Informasi umum
Kota Palopo,
Letak
Sulawesi Selatan
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Pembukaan tanah 1604

Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang


berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu
yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan
Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi
nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari
kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama,
penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan
pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan
proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.[1]

Aristektur
Bangunan masjid terletak di tepi jalan, tepatnya di sudut perempatan jalan. Tidak
jauh dari masjid ini berdiri Istana Raja Luwu. Denah masjid tua Palopo berbentuk
bujur sangkar. Ukurannya yaitu 15 × 15 m, sedang ketebalan dinding mencapai
90,2 cm dan tinggi dinding 3 m dari permukaan tanah. Ukuran ketinggian
seluruhnya dari permukaan tanah sampai ke puncak atap mencapai 10,80 m.[2]

Masjid menghadap ke timur, pintu masuk diapit oleh enam buah jendela dengan
ukuran lebar 85 cm dan tinggi 117 cm. Setiap pintu pada bagian atasnya agak
melengkung (setengah lingkaran) dan pada puncaknya di sebelah kanan dan kiri
terdapat tonjolan dengan motif daun, sehingga bentuknya seperti pintu bersayap
serta dihiasi dengan huruf Arab.[2]

Dinding sisi utara dan selatan berisi masing-masing dua buah jendela, sedangkan
di sisi barat terdapat ceruk yang berfungsi sebagai mihrab. Mihrab bagian atas
berbentuk melengkung (setengah lingkaran) dan bagian atas meruncing sehingga
membentuk seperti kubah. Hiasan sekeliling mihrab yaitu daun-daun kecil. Sebagai
pengapit ceruk adalah ventilasi yang berbentuk belah ketupat dengan komposisi
enam buah berjajar dua-dua mengapit ceruk.[2]

Masjid Palopo beratap tumpang tiga seperti masjid-masjid tua di Indonesia lainnya.
Atap tumpang teratas terdapat sebuah mustaka yang terbuat dari keramik Cina
yang diperkirakan jenis Ming berwarna biru. Mustaka tersebut secara teknis
sebagai pengunci puncak atap untuk menjaga masuknya air, tetapi juga secara
filosofis berarti menunjukkan ke Esaan Tuhan. Atap terbuat dari sirap. Tumpang
tengah dan bawah masing-masing ditopang oleh empat buah pilar (tiang kayu),
sedangkan tumpang paling atas ditopang oleh sebuah tiang utama (soko guru) yang
langsung menopang atap. Soko guru inilah yang disakralkan oleh orang-orang
tertentu, terbuat dari kayu lokal yaitu cinna gori yang dibentuk secara utuh, dan
tampak ditatah dengan ukuran garis tengah 90 cm.[2]

Lantai masjid dari tegel ubin teraso, pengganti ubin asli yang terbuat dari batu
tumbuk. Di dalam ruangan masjid terdapat mimbar dari kayu dengan atap kala
parang atau kulit kerang. Gapura mimbar berbentuk paduraksa, memiliki hiasan
kala makara yang distilir dengan daun-daunan yang keluar dari kendi. Sebagian
masyarakat Luwu beranggapan bahwa tepat di bawah mimbar terdapat makam
Puang Ambe Monte yang berasal dari Sangalla Tana Toraja. la adalah arsitek yang
dipercayakan oleh Sultan Abdullah untuk membuat dan membangun Masjid Tua
Palopo pada tahun 1604.[2]

Bangunan
Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m,
[3]
dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan
dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi
bentuk denah candi-candi di Jawa.Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo
mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo
atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama
berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua
melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.[3]
Sejarah
Pada awal abad ke-17 para pedagang yang beragama Islam datang ke Sulawesi
Selatan yang kemudian menyebarkan agama Islam. Agama ini berkembang pesat
semenjak kedatangan penyebar dan pengembang Islam dari Koto Tangah
Minangkabau, Sumatera Barat yaitu Datuk Sulaeman, Abdul Jawad Datuk Ri Tiro,
dan Abdul Makmur Datuk Ri Bandang. Ketiganya pertama kali mendarat di Bua
Luwu tahun 1603. Selanjutnya mubaliq asal Minangkabau itu berhasil
mengislamkan Raja Luwu yang bergelar Payung Luru XV La Pattiware Daeng
Parrebung, juga bergelar Sultan Muhammad Mudharuddin. Pengislaman ini terjadi
pada tahun 1603 dan bertepatan 15 Ramadhan 1013 H. Setelah raja memeluk
agama Islam, maka para pembesar dan rakyat Luwu mengikutinya. Kepesatan
perkembangan agama Islam di Kerajaan Luwu mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Datu Luwu atau Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi,
Sultan Abdullah Matinroe Ri Malangke yang menggantikan ayahandanya pada
awal tahun 1604.[2]

Pada awal pemerintahan Sultan Abdullah memindahkan Ibu kota Kerajaan Luwu
dari Patimang ke Ware Palopo. Pertimbangan perpindahan ini berdasarkan pada
teknis strategis pemerintahan dan pengembangan ajaran agama islam. Untuk
mendukung perkembangan agama Islam maka Khatib Sulaeman yang kemudian
bergelar Datuk Ri Patimang berhasil mendirikan sebuah masjid permanen pada
tahun 1604 m di tengah kota Palopo tidak jauh dari istana. Masjid ini sampai kini
masih berdiri disebut Masjid Tua Palopo.[2]Masjid Tua Palopo tumbuh pada zaman
madya Indonesia yang berfungsi sebagai masjid Kerajaan atau masjid istana, maka
dari itu letaknya berada di sebelah barat alun-alun dan masjid merupakan
gambaran struktur perkotaan pada awal masa Islam di Indonesia.
Masjid Jami' Tua, begitulah masyarakat kota Palopo akrab menyebut masjid ini.
Masjid ini didirikan pada Tahun 1604 M oleh Pomante, terbuat dari batu alam
dengan tiang penyangga utama (soko guru) terbuat dari Kayu Cinaduri / Senaduri
berdiameter sekitar 1 meter. (sekarang tumbuhan Cinaduri sudah menjadi
Bonsai/Kerdil yang tingginya hanya + 10 hingga 15 cm).

Berada di Jalan Andi Jemma, mesjid ini tidak sekedar sebagai tempat peribadatan
bagi umat muslim tetapi juga sebagai monumen kelahiran nama Palopo bahkan
mesjid ini diyakini sebagai mesjid tertua di Sulawesi Selatan. Keunikan mesjid ini
dapat dilihat dari arsitektur bangunan yang tetap dipertahankan hingga saat ini. 
Pada Masjid ini anda akan menemui sebuah bangunan yang terlihat kuno namun
terawat dengan arsitektur gaya lama dan dicirikan dengan bentuk jendela dan
pintu. 1 buah pintu, 20 jendela besar dan 12 jendela kecil memiliki gaya arsitektur
yang serupa. Terlebih lagi, tiap detil di mesjid ini dibangun berdasarkan makna
tertentu yang keseluruhannya merujuk pada ajaran agama Islam. 

Dibagian dalam bangunan mesjid yang berukuran 12x12 meter ini, akan ditemui
sebuah tiang yang dilindungi oleh kaca dan berdiri tapat di tengah-tengah ruangan.
Konon peletakan tiang inilah yang menjadi bakal penamaan kota Palopo. Terdapat
mitos di kalangan masyarakat Palopo yang menyatakan bahwa seseorang yang
mengunjungi Kota Palopo tanpa pernah menginjakkan kakinya sekalipun di
Mesjid Jami’ Tua, tidaklah merasakan menjadi orang Luwu. Jadi bagi anda yang
ingin merasakan menjadi Wija To Luwu, berkunjunglah ke Kota Palopo dan
sempatkanlah untuk melaksanakan Shalat di tempat ini.

Masih di seputaran jalan Andi Djemma Kota Palopo, tepat di sebelah timur Masjid Jami'
Tua terdapat objek wisata lain, yaitu Kompleks Istana Datu Luwu.
Rumah Adat Langkanae dan LokkoE
Kompleks Istana Datu' Luwu, seperti daerah-daerah lain yang berbentuk
kerajaan dulunya, pastinya memiliki rumah untuk kediaman Rajanya di Palopo
pun begitu (Kerajaan Luwu). Istana ini dulunya merupakan tempat kediaman para
Raja-Raja Luwu dan keluarganya. Di dalam kompleks ini selain terdapat Istana
adapula Rumah adat Langkana'e yang merupakan rumah adat khas kerajaan
Luwu, tempat ini sekarang sudah dialih fungsikan menjadi sebuah museum dan
dapat dimasuki oleh khalayak umum.

Di rumah adat Langkanae ini, terdapat beberapa bangunan gedung bersejarah yang
memiliki histori bagi masyarakat Palopo dan kawasan Luwu. Salah satunya adalah
Istana Datu Luwu, yang saat ini difungsikan sebagai Museum Kerajaan Luwu dan
diberinamaMuseumLaGaligo.
Lokasi rumah adat ini kerap digunakan sebagai tempat kegiatan sanggar budaya
dan kegiatan adat lainnya.Sementara kawasan wisata LokkoE yang terletak di
Luminda, Sabbamparu, merupakan tempat pemakaman raja-raja (datu) Luwu.
Tempat pemakaman ini menyerupai piramida yang ada di Mesir. Berbentuk
kerucut dan di dalamnya disemayamkan para mendiang raja-raja Luwu yang
dianggap dewan adat Luwu.
Makam Lokko'e, Obyek Wisata ini terletak di pusat Kota Palopo, makam ini
berbentuk Piramid. Makam ini merupakan tempat dikebumikannya Raja-Raja yang
pernah berkuasa atau memerintah pada masa kejayaan Kerajaan Luwu, selain itu
Makam ini juga diperuntukkan bagi anak cucu Raja atau keluarga dekat Raja Luwu
apabila wafat. 
Sampai saat ini Makam ini cukup ramai dikunjungi baik masyarakat Kota Palopo
sendiri, juga penduduk dari daerah lain yang secara garis keturunan masih ada
hubungan darah.

Anda mungkin juga menyukai