Anda di halaman 1dari 12

Perubahan Peran Pria dan Wanita (Changing Roles of Men & Women)

Oleh: Muhammad Muhar

Robert S. Feldman menulis bawa telah terjadi Evolusi Peran Pria dan Wanita, wanita lebih
banyak mengambil peran sebagai istri, ibu dan pencari nafkah. Pada pernikahan tradisional,
suami pencari nafkah utama, istri pengurus rumahtangga dan anak.

Feldman mengutip US Bureau of the Census, 2001; Halpern, 2005, bawa:

Hampir 75% Wanita yang menikah dan memilik anak usia sekolah, bekerja di luar rumah,

55% ibu memiliki anak usia di bawah 6 tahun, juga bekerja,

Pada pertenganan tahun 1960-an, hanya 17% ibu dari anak berusia 1 tahun, bekerja penuh waktu,

Sekarang lebih dari setengah kaum ibu adalah pekerja.

Feldman selanjutnya mengutip Ganong and Coleman, 1999; Juster, Ono, Stafford, 2002:


Mayoritas wanita bekerja yang sudah menikah, tidak terlepas dari tanggungjawab rumahtangga,

Pernikahan dengan pasangan yang status dan waktu bekerjanya sama, distribusi pekerjaan
rumahtangga belum berubah secara subtansi, seperti memasak dan membersihkan rumah.
Sebalinya suami masih memandang tanggungjawab utamanya mengerjakan tugas rumahtangga
tertentu, seperti memperbaiki perabotan yang rusak, membersihkan halaman

Memang terdapat temuan penelitian tentang peran gender baru dan implikasinya bagi keluarga
dan masyarakat. Ini menggambarkan perkembangan bentuk keluarga selama lima puluh tahun
terakhir yang dikaji di Eropa, dengan fokus pada biografi keluarga yang semakin beragam dan
perubahan peran pria dan wanita, yang menyoroti bahwa perubahan peran wanita telah lebih
komprehensif, sedangkan di sebagian besar negara berkembang, baru saja dimulai. (Jordi
Gumà, Gabriele Doblhammer, 2018)

Tahun 1990-an kaum wanita telah menunjukkan dominasi kuat di sektor informasi atau jasa
dengan jumlahnya lebih dari 80 %. Profesi sebagai eksekutif, pengacara, dokter, insinyur dan
peneliti pada tahun 1990-an hanya dimiliki oleh sebagian kecil kaum wanita pada tahun 1990-an
persentase wanita yang menjadi dokter telah menjadi dua kali lipat, di sekitar kepengacaraan dan
arsitek menjadi lima kali lipat. Wanita menguasai sekitar 39,9 % dari 14,2 juta pekerja eksekutif,
administrasi dan menegemen. (John Naisbitt & Aburdane Patricia, 2000)
Peran ganda ini dijalani bersamaan dengan peran tradisional wanita sebagai istri dan ibu dalam
keluarga, seperti menjadi mitra suami dalam membina rumahtangga, serta mengasuh dan
mendidik anak-anak (Suryadi, 2004). Peran ganda dalam kehidupan wanita modern dengan
segala aktivitasnya yang harus disiasati dengan pandai-pandai membagi waktu untuk karir dan
keluarga. Peran tersebut antara lain sebagai wanita karir, pendidik anak, pengatur rumah tangga,
peran sosialisasi sebagai anggota masyarakat. Wanita harus mengupayakan yang terbaik untuk
dapat melakukan perannya. Seorang wanita dituntut untuk menjadi partner dan seorang
profesional di tempatnya berkarir, namun tetap menjadi istri serta ibu yang dapat mengayomi
keluarganya. Peran wanita sebagai ibu akan sangat menentukan perkembangan potensi anak
(Barnett, 2004).

Wanita “Second Shift”

Jumlah jam yang dihabiskan oleh ibu bekerja dapat mengejutkan. Satu survei, misalnya,
menemukan bahwa jika kita menambahkan jumlah jam kerja di tempat kerja dan di rumah, ibu
yang bekerja dari anak di bawah usia 3 tahun dimasukkan ke dalam

rata-rata 90 jam per minggu! Pekerjaan tambahan yang dilakukan oleh perempuan kadang-
kadang disebut “shift kedua”.

Survei nasional menunjukkan wanita yang bekerja dan ibu rumahtangga, menghabiskan satu
bulan tambahan yang terdiri atas 24 jam /hari selama setahun.

Peneliti melihat pola serupa di banyak masyarakat berkembang di seluruh dunia, dengan wanita
bekerja di pekerjaan penuh waktu dan juga memiliki tanggung jawab utama untuk perawatan
anak (Hochschild, 2001; Jacobs & Gerson, 2004; Biro Statistik Tenaga Kerja, 2007).

Konsekuensinya, alih-alih karier menjadi pengganti apa yang dilakukan wanita di rumah, mereka
sering ada di samping peran ibu rumahtangga. Tidak mengherankan bahwa beberapa istri merasa
kesal terhadap suami yang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk perawatan anak dan
pekerjaan rumah daripada yang diharapkan istri sebelum kelahiran anak-anak mereka (Stier &
LewinEpstein, 2000; Kiecolt, 2003; Gerstel, 2005).

Baru-baru ini, ada hal yang cukup ramai diperbincangkan di media sosial. Sebuah organisasi
yang mendukung pemberdayaan perempuan, Queenrides, menggelar sayembara berbagi
pekerjaan rumah tangga dengan hashtag #CowoJugaBisa. Dalam sayembara ini, pria diminta
untuk mengunggah video sedang mencuci piring di akun Twitter dengan menggunakan hashtag
#CowoJugaBisa dan tag akun Twitter Queenrides pada video tersebut. Pihak Queenrides akan
memilih lima orang pemenang dengan total hadiah Rp 500.000.
Di satu sisi, banyak yang menanggapi positif kampanye ini, tetapi banyak juga pihak yang
kurang setuju, dengan alasan sayembara seperti ini melakukan glorifikasi terhadap pria yang mau
mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan akibatnya malah semakin menyuburkan pandangan
bahwa pekerjaan rumahtangga adalah bagian dari ranah domestik yang harus dikerjakan oleh
wanita. Sementara, jika pria mengerjakannya, ia hanya membantu saja, bukan yang mengambil
inisiatif utama.

Terlepas dari pro-kontra itu, baik pihak yang setuju maupun tidak setuju dengan sayembara ini
tentu sama-sama mengakui pekerjaan rumahtangga memang masih dianggap sebagai pekerjaan
yang harus dilakukan oleh wanita, sebagai tugas “Second Shift” atau “shift kedua” (‘giliran
kedua’).

Pada tahun 1989, seorang sosiolog Amerika Serikat bernama Arlie Russell Hochschild
menerbitkan buku berjudul The Second Shift. Buku ini memuat hasil penelitian berdasarkan
wawancara mendalam mengenai pembagian kerja rumahtangga terhadap 50 pasangan suami istri
yang sama-sama bekerja.

Hochschild mengemukakan bahwa sekalipun pria dan wanita sama-sama bekerja, perempuan
tetap menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Hochschild
mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan ‘the second shift’ (shift kedua), dengan
pemahaman ‘the first shift’ atau shift pertama adalah pekerjaan profesional perempuan di ranah
publik dan ‘the second shift’ adalah pekerjaan perempuan yang kedua setelah selesai jam kantor,
yaitu pekerjaan di ranah domestik seperti memasak, membereskan rumah, dan  mengurus anak.

Tahun Tahun Terakhir Dalam Kehidupan: Bertambah Tua

Terlepas dari stereotip masyarakat tentang "usia tua" sebagai waktu tidak aktif dan penurunan
fisik dan mental, ahli gerontologi, spesialis yang mempelajari penuaan, mulai melukis potret
yang sangat berbeda dari masa dewasa akhir.

Dengan berfokus pada periode kehidupan yang dimulai pada usia sekitar 65 tahun, ahli
gerontologi membuat kontribusi penting untuk mengklarifikasi kemampuan orang tua dewasa
akhir. Pekerjaan mereka menunjukkan bahwa proses perkembangan yang signifikan berlanjut
bahkan selama usia tua. Dan seiring dengan meningkatnya harapan hidup, jumlah orang yang
mencapai usia lanjut akan terus bertambah secara substansial (lihat figure 0). Akibatnya,
mengembangkan pemahaman dewasa akhir telah menjadi prioritas penting bagi psikolog (Birren,
1996; Moody, 2000, Schaie, 2005)
Perubahan Fisik Pada Masa Dewasa Akhir: Tubuh yang menua

Tidur siang, makan, jalan-jalan, bercakap-cakap; aktifitas yang tidak menimbulkan stress ini
mewakili ciri umum masa dewasa akhir. Tetapi sangat menarik, bahwa kegiatan ini identik
dengan kegiatan rekreasi yang paling umum, dilaporkan dalam survei mahasiswa (Harper, 1978).

Meskipun mahasiswa menyatakan lebih banyak kegiatan yang aktif—seperti berlayar dan
bermain basket—sebagai kegiatan favorit mereka, pada kenyataannya mereka relatif jarang
melakukan olahraga tersebut, menghabiskan sebagian besar waktu luang mereka untuk tidur
siang, makan, berjalan, dan mengobrol.

Meskipun kegiatan rekreasi orang dewasa akhir terlibat mungkin tidak berbeda dengan orang
muda, banyak perubahan fisik yang disebabkan oleh proses penuaan. Yang paling jelas adalah
penampilan—rambut menipis dan memutih, kulit berkerut dan terlipat, dan terkadang sedikit
berkurangnya tinggi badan karena penurunan lempeng di antara tulang belakang di punggung.
Tetapi perubahan yang lebih halus juga terjadi pada fungsi biologis tubuh, misalnya, kemampuan
sensorik menurun akibat penuaan: Penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasa menjadi
kurang sensitif. Waktu reaksi melambat, dan stamina fisik berubah. (Stenklev & Laukli, 2004;
Schieber, 2006; Madden, 2007)
Apa penyebab penurunan fisik ini?

Teori genetic pre-programming tentang penuaan menyebutkan bahwa sel manusia memiliki batas
waktu bawaan untuk reproduksinya. Teori-teori ini menunjukkan bahwa setelah waktu tertentu
sel-sel berhenti membelah atau menjadi berbahaya bagi tubuh—seolah-olah semacam tombol
penghancur otomatis telah ditekan. Sebaliknya,

Teori wear and tear tentang penuaan menunjukkan bahwa fungsi mekanis dari tubuh akan
bekerja kurang efisien seiring bertambahnya usia. Sisa dari produksi energi akhirnya
terakumulasi, dan kesalahan akan terjadi ketika sel membelah. Pada akhirnya tubuh sulit
‘dipakai’seperti halnya mobil tua (Ly et al., 2000; Miquel, 2006; Hayflick, 2007).

Bukti mendukung kedua pandangan tersebut dan mungkin kedua proses berkontribusi terhadap
penuaan alami. Jelas, bagaimanapun, bahwa penuaan fisik bukanlah penyakit, tetapi proses
biologis alami. Banyak fungsi fisik tidak menurun seiring bertambahnya usia. Misalnya,
hubungan seks tetap menyenangkan memasuki usia tua (walaupun frekuensi aktivitas seksual
menurun), dan beberapa orang melaporkan bahwa kesenangan yang mereka peroleh dari seks
meningkat selama masa dewasa akhir (Gelfand, 2000; DeLamater & Sill, 2005)

Perubahan Kognitif: Memikirkan tentang – dan saat – Dewasa Akhir

Pada suatu waktu, banyak ahli gerontologi setuju dengan pandangan umum bahwa orang tua
orang dewasa akhir itu: mudah lupa dan bingung.

Namun saat ini, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa penilaian itu jauh dari akurat.
Salah satu alasan perubahan pandangan adalah teknik penelitian yang lebih canggih sekarang,
yaitu mempelajari perubahan kognitif yang terjadi pada masa dewasa akhir. Misalnya, jika kita
memberikan tes IQ kepada sekelompok orang dewasa akhir, kita mungkin menemukan bahwa
skor usia rata-rata lebih rendah daripada skor yang dicapai oleh sekelompok orang yang lebih
muda. Kita mungkin menyimpulkan bahwa perbedaan ini menandakan penurunan kecerdasan.
Namun jika kita melihat sedikit lebih dekat pada tes tersebut, kita mungkin menemukan bahwa
kesimpulan itu tidak beralasan.

Misalnya, banyak tes IQ menyertakan porsi berdasarkan performa fisik (seperti: menyusun
sekelompok kubus) atau pada kecepatan. Dalam kasus seperti itu, performa IQ yang lebih buruk
mungkin karena penurunan bertahap dalam waktu reaksi — penurunan fisik yang menyertai
masa dewasa akhir dan sedikit atau tidak ada hubungannya dengan kemampuan intelektual dari
orang dewasa yang lebih tua.
Kesulitan lain menghambat penelitian tentang fungsi kognitif selama masa dewasa akhir.
Misalnya, orang yang lebih tua seringkali kurang sehat daripada yang lebih muda; kapan saja
orang dewasa yang lebih tua yang sehat dibandingkan dengan orang dewasa muda yang sehat,
perbedaan intelektual jauh kurang jelas. Selain itu, jumlah rata-rata tahun di sekolah seringkali
lebih rendah pada orang dewasa yang lebih tua (karena alasan historis) daripada yang lebih
muda, dan orang dewasa yang lebih tua mungkin kurang termotivasi untuk melakukan tes
kecerdasan dengan baik daripada orang yang lebih muda. Akhirnya, tes IQ tradisional mungkin
merupakan ukuran kecerdasan yang tidak tepat pada masa dewasa akhir. Orang dewasa yang
lebih tua terkadang tampil lebih baik dalam tes kecerdasan praktis daripada individu yang lebih
muda (Willis & Schaie, 1994; Dixon & Cohen, 2003).

Namun, beberapa penurunan fungsi intelektual selama masa dewasa akhir memang terjadi,
meskipun pola perbedaan usia tidak seragam untuk berbagai jenis kemampuan kognitif (lihat
figur 1).

Secara umum, kecakapan yang berkaitan dengan fluid intelligence (yang melibatkan
keterampilan pemrosesan informasi seperti memori, perhitungan, dan pemecahan analogi)
menunjukkan penurunan pada masa dewasa akhir. Sebaliknya, keterampilan yang berkaitan
dengan crystallized intelligence (kecerdasan berdasarkan akumulasi informasi, keterampilan, dan
strategi yang dipelajari melalui pengalaman) tetap stabil dan dalam beberapa kasus benar-benar
meningkat (Stankov, 2003; Rozencwajg dkk., 2005; van Hooren et al., 2007).

Bahkan ketika perubahan fungsi intelektual terjadi selama masa dewasa akhir, orang sering
mampu mengkompensasi penurunan apapun. Mereka masih bisa belajar apa yang mereka
inginkan, kemungkin hanya butuh lebih banyak waktu. Selain itu, mengajarkan strategi orang
dewasa akhir untuk menghadapi masalah baru dapat mencegah penurunan performa (Saczynski,
Willis, & Schaie, 2002; Cavallini, Pagnin, & Vecchi, 2003; Peters dkk., 2007)

Tentang mengajarkan strategi orang dewasa akhir untuk menghadapi masalah baru dapat
mencegah penurunan performa, Sutji Martiningsih Wibowo (1991), membuat tahap-tahapnya :

(1) Menyesuaikan pada menurunnya kekuatan-kekuatan fisik dan kesehatan

(2) Menyesuaikan diri pada status pensiun dan menyesuaikan diri pada penghasilan yang
berkurang

(3) Menyesuaikan diri pada kemungkinan kematian pasangan hidup

(4) Membina hubungan baru dengan sebaya (sesama Usia Lanjut)

(5) Memenuhi kewajiban-kewajiban sosial dalam lingkungannya

(6) Merancang dan menata suatu lingkungan (fisik) yang lebih menyenangkan

Perubahan Memori Pada Masa Dewasa Akhir: Apakah Orang Dewasa Yang Lebih Tua
Menjadi Pelupa?

Salah satu karakteristik yang paling sering dikaitkan dengan masa dewasa akhir adalah pelupa.

Seberapa akurat asumsi ini?

Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa perubahan memori bukanlah bagian yang tak bisa
dihindarkan dari proses penuaan.

Misalnya, penelitian menunjukkan budaya orang tua yang dijunjung tinggi, seperti Cina daratan,
cenderung tidak menunjukkan kehilangan ingatan dibandingkan mereka yang hidup dalam
budaya di mana harapannya adalah ingatannya akan menurun. Demikian pula, ketika orang tua
di masyarakat Barat diingatkan tentang keuntungan usia (misalnya, "usia membawa
kebijaksanaan"), mereka cenderung lebih baik dalam ujian memori (Levy, 1996; Hess, Hinson,
& Statham, 2004; Dixon et al., 2007).

Bahkan ketika orang menunjukkan penurunan memori selama masa dewasa akhir, defisit mereka
adalah terbatas pada jenis memori tertentu. Misalnya, kerugian cenderung terbatas pada episodik
ingatan, yang berhubungan dengan pengalaman khusus dalam kehidupan manusia. Jenis
kenangan lainnya, seperti ingatan semantik (yang mengacu pada pengetahuan dan fakta umum)
dan implisit ingatan (ingatan yang tidak kita sadari), sebagian besar tidak terpengaruh oleh usia
(Fleischman et al., 2004; Mitchell & Schmitt, 2006; St. Jacques & Levine, 2007)

Penurunan memori episodik sering dapat ditelusuri melalui perubahan dalam kehidupan orang
dewasa yang lebih tua tua.

Misalnya, tidak mengherankan bahwa seorang pensiunan, yang mungkin tidak lagi menghadapi
tantangan intelektual yang sama yang dihadapi di tempat kerja, mungkin kurang berlatih dalam
menggunakan memori atau bahkan kurang termotivasi untuk mengingat sesuatu, akhirnya bisa
penurunan jelas dalam memori. Bahkan dalam kasus di mana memori jangka panjang menurun,
orang dewasa yang lebih tua dapat mengambil keuntungan dari pelatihan yang menargetkan
kecakapan memori (Fritsch et al., 2007; Barat, Bagwell, & Dark-Freudeman, 2007)

Di masa lalu, orang dewasa yang lebih tua dengan kasus penurunan daya ingat yang parah,
disertai dengan kesulitan kognitif lainnya, dikatakan menderita kepikunan. Kepikunan adalah
istilah yang luas dan tidak tepat yang biasanya diterapkan pada orang dewasa yang lebih tua
yang mengalami kemunduran progresif dari kemampuan mental, termasuk kehilangan ingatan,
disorientasi waktu dan tempat, dan kebingungan umum. Pernah dianggap sebagai keadaan tak
terhindarkan yang menyertai penuaan, kepikunan adalah sekarang dipandang oleh sebagian besar
ahli gerontologi sebagai label yang telah melampaui kegunaannya. Lebih tepatnya daripada
kepikunan yang menjadi penyebab gejala tertentu, gejalanya dianggap disebabkan oleh beberapa
faktor lain.

Beberapa kasus hilangnya memori, bagaimanapun, dihasilkan oleh penyakit sebenarnya.


Contohnya, Penyakit Alzheimer adalah gangguan otak progresif yang menyebabkan penurunan
kemampuan kognitif secara bertahap dan tidak dapat diubah. Sembilan belas persen orang
berusia 75 hingga 84 tahun memiliki Alzheimer, dan hampir 50 persen orang di atas usia 85
tahun terkena penyakit ini. Kecuali obatnya ditemukan, sekitar 14 juta orang akan mengalami
Alzheimer pada tahun 2050—lebih dari tiga kali jumlah saat ini (Cowley, 2000b; Feinberg,
2002; Lovestone, 2005; Rogers, 2007).

Alzheimer terjadi ketika produksi protein prekursor beta amiloid menjadi kacau, menghasilkan
gumpalan besar sel yang memicu peradangan dan kerusakan sel saraf. Otak menyusut, neuron
mati, dan beberapa area hippocampus dan frontal dan lobus temporal memburuk. Sejauh ini,
tidak ada pengobatan yang efektif (Lanctot, Herrmann, & Mazzotta, 2001; Blennow &
Vanmechelen, 2003; Wolfe, 2006; Medeiros dkk., 2007).
Dalam kasus lain, penurunan kognitif mungkin disebabkan oleh kecemasan dan depresi
sementara, yang dapat ditangani, atau bahkan mungkin karena pengobatan yang berlebihan.
Bahayanya adalah bahwa orang-orang dengan gejala seperti itu mungkin tidak menerima
pengobatan, oleh karena itu penurunan mereka berkelanjutan. (Selkoe, 1997; Sachs-Ericsson et
al., 2005)

Singkatnya, penurunan fungsi kognitif di masa dewasa akhir, sebagian besar, tidak terelakkan.
Kunci untuk mempertahankan kecakapan kognitif mungkin terletak pada stimulasi intelektual.
Seperti kita semua, orang dewasa yang lebih tua membutuhkan lingkungan yang merangsang
untuk mengasah dan mempertahankan keterampilan mereka (Bosma et al., 2003; Glisky, 2007).

Dunia Sosial Dari Masa Dewasa Akhir: Tua, Tapi Tak Sendiri

Sama seperti pandangan bahwa penurunan mental usia tua telah terbukti salah, begitu pula
pandangan bahwa dewasa akhir pasti kesepian. Orang-orang di masa dewasa akhir paling sering
melihat diri mereka sebagai anggota masyarakat yang bisa difungsikan, dengan hanya sejumlah
kecil dari mereka yang melaporkan bahwa kesepian adalah masalah serius (Binstock & George,
1996; Jylha, 2004).

Tentu saja, masa dewasa akhir membawa tantangan yang signifikan. Orang yang menghabiskan
masa dewasa mereka bekerja memasuki masa pensiun, menghasilkan perubahan besar dalam
peran yang mereka mainkan. Apalagi banyak orang yang harus menghadapi kematian pasangan
mereka. Apalagi jika pernikahannya sudah lama dan harmonis pula, kematian pasangan berarti
kehilangan pendamping, orang kepercayaan, dan kekasih. Hal ini juga dapat membawa
perubahan dalam kesejahteraan ekonomi.

Tidak ada cara tunggal untuk menua dengan sukses. Menurut The disengagement theory of aging
(teori pembebasan tentang penuaan), penuaan menghasilkan penarikan bertahap dari dunia pada
tingkat fisik, psikologis, dan sosial. Namun, pembebasan tersebut memiliki tujuan penting,
memberikan kesempatan untuk peningkatan reflektifitas dan penurunan ketergantungan
emosional pada orang lain di saat hidup ketika hubungan sosial, dan hidup pasti akan berakhir
dengan kematian. (Adams, 2004; Wrosch, Bauer, & Scheier, 2005).

The activity theory of aging (Teori aktivitas tentang penuaan) menyajikan pandangan alternatif
penuaan, berpendapat bahwa orang yang paling berhasil menua adalah mereka yang
mempertahankan minat ketertarikan, aktivitas, dan tingkat interaksi sosial yang mereka alami
selama masa dewasa madya. Menurut teori aktivitas, dewasa akhir seharusnya mencerminkan
kelanjutan, sebanyak mungkin, dari kegiatan di mana orang-orang berpartisipasi selama bagian
awal kehidupan mereka (Crosnoe & Elder, 2002; Nimrod & Kleiber, 2007)
Baik disengagement (pembebasan) maupun activity (aktivitas) dapat menyebabkan menua
dengan sukses. Tidak semua orang di dewasa akhir membutuhkan kehidupan yang penuh dengan
aktivitas dan interaksi sosial agar bahagia; layaknya dalam setiap tahap kehidupan, beberapa
orang dewasa yang lebih tua sama puasnya dengan menjalani kehidupan yang relatif tidak aktif
dan menyendiri. Apa yang mungkin lebih penting adalah bagaimana orang memandang proses
penuaan: Bukti menunjukkan bahwa persepsi diri yang positif tentang penuaan dikaitkan dengan
peningkatan umur panjang (Levy et al., 2002; Levy & Myers, 2004)

Terlepas bagaimana orang menua, kebanyakan terlibat dalam proses life review (mengulas
kehidupan), di mana mereka mencermati dan mengevaluasi hidup mereka. Mengingat dan
mempertimbangkan kembali apa telah terjadi di masa lalu, orang di masa dewasa akhir sering
datang untuk pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri, terkadang menyelesaikan
masalah dan konflik yang berlarut-larut, dan menghadapi hidup mereka dengan kebijaksanaan
dan ketenangan yang lebih besar.

Jelas, orang-orang di masa dewasa akhir tidak hanya menandai waktu sebelum kematian.
Sebaliknya, usia tua adalah masa pertumbuhan yang berkelanjutan dan perkembangan, sama
pentingnya dengan periode kehidupan lainnya.

Pada suatu saat nanti, kita semua menghadapi kematian—tentu saja sendiri, serta kematian
teman, orang yang dicintai, dan bahkan orang asing. Meskipun tidak ada yang lebih tak
terelakkan dalam hidup, kematian tetap menjadi topik yang menakutkan dan sarat emosi. Tentu,
sedikit yang lebih menegangkan daripada kematian orang yang dicintai atau merenungkan
kematian kita yang akan segera terjadi, dan mempersiapkan kematian adalah salah satu tugas
perkembangan kita yang paling penting (Aiken, 2000).

Satu generasi yang lalu, berbicara tentang kematian adalah hal yang tabu. Topik itu tidak pernah
disebutkan kepada orang yang sekarat, dan ahli gerontologi tidak bisa berkata banyak tentang hal
itu. Walau bagaimanapun, hal ini berubah dengan kerja yang dipelopori oleh Elisabeth Kübler-
Ross (1969), yang membawa subjek kematian ke permukaan dengan observasinya bahwa
mereka yang menghadapi kematian yang akan datang cenderung bergerak melalui lima tahap
besar:

 Denial (Penyangkalan), Pada tahap ini, orang menolak gagasan bahwa mereka sedang
sekarat. Bahkan jika diberitahu itu peluang mereka untuk bertahan hidup kecil, mereka
menolak untuk mengakui bahwa mereka sedang menghadapi kematian.
 Anger (Amarah), Setelah melewati tahap penyangkalan, orang yang sekarat menjadi
marah-marah pada orang-orang di sekitar mereka yang dalam keadaan sehat, marah pada
tenaga medis karena tidak efektif, marah kepada Tuhan.

 Bargaining (Tawar-menawar), Kemarahan mengarah pada tawar-menawar, di mana


orang yang sekarat mencoba memikirkan cara untuk menunda kematian. Mereka
mungkin memutuskan untuk mendedikasikan hidup mereka untuk agama jika Tuhan
menyelamatkan mereka; mereka mungkin berkata, “Kalau saja saya bisa hidup untuk
melihat putra saya menikah, saya akan menerima kematian.”

 Depression (Depresi), Ketika orang sekarat merasa bahwa tawar-menawar tidak ada
gunanya, mereka pindah ke tahap berikutnya: depresi. Mereka menyadari bahwa hidup
mereka benar-benar akan berakhir, yang mengarah ke apa yang Kübler-Ross sebut
sebagai “preparatory grief” ("persiapan duka") untuk kematian mereka sendiri.

 Acceptance (Penerimaan), Pada tahap ini, orang menerima kematian yang menghantui.
Biasanya mereka tidak emosional dan tidak komunikatif; seolah-olah mereka telah
berdamai dengan diri mereka sendiri dan mengharapkan kematian tanpa kepahitan.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang mengalami setiap tahapan ini dengan jalan yang
sama. Faktanya, tahapan Kübler-Ross hanya berkaitan dengan orang-orang yang sepenuhnya
sadar bahwa mereka sedang sekarat dan memiliki waktu untuk mengevaluasi kematian mereka
yang akan datang.

Selanjutnya, perbedaan besar terjadi dalam cara individu bereaksi terhadap kematian yang akan
datang. Penyebab spesifik dan durasi kematian, serta jenis kelamin, usia, dan kepribadian
seseorang dan jenis dukungan yang diterima dari keluarga dan teman, semuanya berdampak pada
bagaimana orang menanggapi kematian (Carver & Scheier, 2002; Coyle, 2006).

Hanya sedikit dari kita yang menikmati perenungan/kontemplasi tentang kematian. Padahal
kesadaran akan aspek psikologis dan konsekuensinya dapat membuat kedatangannya yang tak
terhindarkan dapat mengurangi kecemasan dan mungkin lebih bisa dipahami.
Daftar Pustaka

 Feldman, Robert S, 2009, Essentials of Understanding Psychology

 Gumà,Jordi ;  Doblhammer, Gabriele; 2018, A Demographic Perspective on Gender,


Family and Health in Europe

 Barnett, Rosalind Chait, PhD, 2004, Women and Multiple Roles: Myths and Reality

 Suryadi, Denrich, 2004, Gambaran Konflik Emosional dalam Menentukan Prioritas


Peran Ganda.

 Sumiyatiningsih, Dien;2016, Pergeseran Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian


Feminis

 Naisbitt, John dan Patricia Aburdane, Megatrends 2000, Sepuluh Arah Baru Untuk
Tahun 1990-an, Jakarta Binarupa Aksara 1998.

 Wibowo , Sutji Martiningsih, 1991, Penyesuaian Diri Sebagai Salah Satu Faktor
Psikologis yang Penting Pada Masa Usia Lanjut

Anda mungkin juga menyukai