Anda di halaman 1dari 3

Loji yang sudah seperti rumah untuk Larasati ini dikelola dengan baik.

Jauh
terlihat terlalu efisien. Tidak ada yang tersisa untuk dikerjakan. Jadi, wanita itu
menghabiskan waktunya yang sangat membosankan lain untuk melihat ke luar
jendela dan mencoba membawa buku-buku yang tidak menarik di perpustakaan.
Tidak ada buku yang berbahasa Indonesia lagi di sana.
Sore harinya, Steve membawa dua orang dari desa yang dianggap pantas
menjadi pelayan pribadi Larasati. Kedua gadis itu periang dan bersikap
menyenangkan. Larasati senang bisa berbicara dengan seseorang yang lain, dan
bertanya-tanya tentang keluarga kedua gadis itu, dan tentang segala kegiatan
yang bisa ditemui di loji yang bagi sebagai orang yang merupakan tempat neraka
itu.
Sampai salah seorang bergerak gelisah seolah ingin memenuhi panggilan alam.
Larasati melihat ke arah wanita itu. Wanita yang jauh usianya di bawah dirinya.
Sekitar lima tahun lebih muda.
“Kau ingin pulang?” tanya Larasati dengan semburat senyuman yang tertahan.
Gadis itu kaget dengan apa yang ditanyakan oleh Larasati. Lalu sambil malu-
malu gadis itu menggeleng.
“Ohh, lalu untuk apa kau melihat ke arah pintu secara terus menerus.
Pandanganmu juga tampak tidak terlalu nyaman di dalam tempat ini,” seru
Larasati selanjutnya.
Minke yang membawa dua gadis itu ke dalam ruangan ini pun mendekati
Nyonyanya. Dirinya mengangguk dengan penuh hormat.
“Maaf Nyonya. Apakah Nyonya tidak suka dengan keduanya?” tanya Minke
seolah tiada tanpa hati. Larasati mendongak, “Aku hanya ingin memastikan, jika
perempuan-perempuan ini tidak dijadikan tumbal oleh ayah mereka. Kau tahu
kan apa yang kumaksudkan. Semua pekerjaan yang dikerjakan harus sepenuh
hati. Aku tidak mau kalau salah satu di antara keduanya harus menangis setiap
hari karena yang merindukan orang tuanya, aku tidak mau harus repot
mengurus. Lagi pula usianya masih sangat belia, aku tak terlalu berselera untuk
yakin jika mereka bisa mengerjakan pekerjaan di dalam loji dengan baik.
Usahakan untuk memilih dulu yang berkualitas baik barulah bawa ke
hadapanku,”
Sementara Larasati dengan rasa yang sungguh tidak tega melihat anak itu
berada di lojinya untuk disiksa oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kepentingan apa pun bahkan di dalam loji ini. Wanita itu mencoba untuk
melepaskan burung hasil buruan kekasihnya untuk segera pergi. Satu persatu.
“Bawa mereka kembali ke desanya. Tidak usah takut jika Steve mau bilang
seperti apa. Aku tidak akan peduli sama sekali dengan laki-laki itu sungguh, biar
mereka saja yang pergi,” ujar Larasati pada akhirnya.
Minke sebagai orang yang diberikan kepercayaan oleh Tuannya itu pun
menggelengkan mata sembari sedikit melotot karena terkejut dengan apa yang
dikatakan oleh Larasati sebelumnya.
“Maaf Nyonya. Kau harus memilih satu di antara mereka yang harus tetap berada
di dalam loji ini.” Ujar Minke menolak apa yang dikatakan oleh Larasati kepada
kedua perempuan tadi.
Setelah kedua gadis itu disuruh keluar, Minke masuk ke ruang duduk hijau dan
membngkuk hormat.
“Mengapa Nona tidak menyukai dua gadis yang telah dipilih secara khusus oleh
Tuan Steve untuk menjaga Nyonya?” tanya Minke selanjutnya. Larasati yang
baru selesai mandi dan duduk di kursi rias hanya bisa untuk mengetuk-ketukkan
jarinya di lengan kursi.
“Aku hanya tidak tahu saja. Kalau aku tidak akan pernah meleset dari sebuah
rasa yang aku rasakan. Setidaknya perasaanku itu sangat jauh dari kata meleset.
Aku mempunyai mimpi buruk tentang hal itu, Minke.”
Minke diam. Dirinya kembali merias rambut Larasati dengan tanpa membuka
mulutnya sama sekali. Larasati menikmati waktu berpakaian untuk makan
malam. Yang ia kenakan tidak penting, karena yang akan berada di kursi itu
hanya dirinya sendiri. Tidak bertemu dengan siapa pun. Larasati memilih salah
satu gaun kesayangannya. Sutra hjau pucat dengan sulaman burung-burung
kecil merah muda. ia merapikan rambutnya yang tadi telah ditata oleh Minke.
Mengencangkannya dengan jepit berhias mutiara, dan memakai kalung mutiara
panjang.
Larasati sampai di ruang makan sebelum siapa pun sampai di tempat tersebut.
Dan menganggu kepada pelayan pria untuk menuangkan anggur untuknya
karena, ya, setidaknya agggur adalah minuman wajib yang dikonsumsi oleh
Larasat. Ini peraturan khusus yang dibuat oleh kekasihnya--Steve.
Steve tiba beberapa menit kemudian, dan semarah apa pun Larasati pada pria
itu, mau tak mauia menyadari Steve tampak memukai dalam jas resmi berekor
dengan kerah kemeja seputih salju. Steve pria tampan walauapun dengan mata
biru menusuknya. Tubuhnya ramping, pundaknya leba. Larasati membayangkan
pria itu tersenyum, mencoba membayangkan bagaimana matanya yang mungkin
berbinar-binar karena senyum itu, namun rasanya mustahil. Steve tampak
menjaga jarak seta ekspresi, dan Larasati lumayan yakin dia tidak pernah
senyum.
Pandangan Steve menyusuri tubuh Larastai, dari ujung rambut sampai ujung
selop.
“Welterusten,” sapa Larasati dengan bahasa Belanda, yang artinya selamat
malam. Larasati mengucapkannya dengan sedikit menekuk lutut memberi hormat
yang kurang pantas memegang gelas anggurnya.
“Wekterusten.” steve melayangkan pandangan pada pelayan pria yang masih
berdiri dan mengangguk. Memberi tanda agar makan malam disajikan.
Seseorang pelayan melangkah maju dan menundukkan kursi Larasati. Sambil
mendesah, Larasati duduk. Ia meletakkan gelas anggur di meja. Pelayan pria itu
bergegas melintas di belakangnya dan memindahkan gelas itu untuk
menyamakan posisii dengan gelas-gelas pada peralatan makan. Gerakan kecil
yang tidak penting itu melukai hati Steve yang sejak tadi menatap penuh kekasih
yang dirindukannya selama berhari-hari itu.
Total ada seminggu, namun tidak ada sambutan hangat seperti kecupan atau
pelukan yang bisa dirinya lakukan dengan kekasihnya. Setidaknya itulah yang
saat ini dirinya jaga. Agar tidak ada sesuatu apapu yang membuat hati keduanya
sakit. Terlebih Larasati yang tidak tahu menahu soal semuanya.
Oarasati langsung meraih gelas anggur untuk memindahkannya, namun karena
ketergesaannya menciptakan sedikit ketidaksempurnaan ia menumpahkan
sepercik anggur merah ke taplak putih.
Pandangan Steve terpaku pada Ara. Larastai tersenyum manis. “maaf aku
menumpahkan anggurnya,” katanya seraya menyimpan rambutnya yang
menjuntai ke luar ke belaknag telinganya yang bersemu merah.
Steve mengalihkan pandnagan ketika pelayan pria tadi buru-buru mengelap noda
anggur dengan serbet. Ketika pelayan pria itu selesai mengelap. Larasati
tersenyum pada pria itu dan menyodorkan gelas untuk meminta anggur lagi. Ia
nyaris bisa merasakan ketidaksetujuan dari kekasihnya, namun ketika melihat ke
belakang ke arah Steve, diam-diam menantang pria itu bicara, sang earl tidak
melakukannya.
Larasati kembali menghabiskan makan malam yang panjang mengamati Steve
makan tanpa semangat, jemari pria itu tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja. Tok
tok tok tok--berhenti. Tok tot tok tok-- berhenti.
Ketika hidangan pertama sudah disingkirkan dari meja. Steve berkata, “Minke
memberitahuku tidak ada yang kau sukai dari gadis-gadis desa yang dia bawa
kemari.”
Akhirnya, pria menyebalkan itu bicara juga. “Tidak, tidak, tidak ada yang kusukai.
Aku sungguh tidak menyukai mereka.”
“Apakah kau punya alasan mengapa tidak menyukai mereka?”
“Alasanku hanya satu. Aku takut jika dirinya dijadikan tumbal oleh orang tua
mereka sendiri Steve.”

Anda mungkin juga menyukai