2010
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan
tugas perkuliahan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar ini dengan tema “Manusia Sebagai Makhluk
Moral dan Hukum”.Dan sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi
agung Muhammad SAW.
Kritik dan saran kami harapkan agar dapat memperbaiki tugas kami serta kami juga
minta maaf apabila ada yang kurang atau salah dalam penyusunan makalah ini.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. PERUMUSAN MASALAH
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul “Manusia Sebagai Makhluk Moral
Dan Hukum”, penulis membagi berdasarkan kisi-kisi sebagai berikut :
o Pengertian Moral
o Pengertian Hukum
o Hubungan Moral dan Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral
1. (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-
minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan;
2. kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl
perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi;
3. ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita;
Menurut Bertens, moral berawal dari bahasa latin mos, jamaknya mores yang
juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral,
keduanya berarti adat kebiasaa. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya, Etika
berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula
berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih
banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah
laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal.
Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
B. Pengertian Hukum
Kata “hukum” mengandung makna yang luas meliputi semua peraturan atau
ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya.
Para ahli sarjana hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari
berbagai sudut yang berlainan dan titik beratnya. Berbeda-beda antara ahli yang
satu dengan yang lain, karena itu tidak ada kesatuan atau keseragaman tentang
definisi hukum, antara lain di bawah ini:
Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai
pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki
beberapa unsur yaitu :
Menurut DR. Haryatmoko, dalam Kompas, 10 Juli 2001 mengatakan, ada lima
pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka
pemahaman.Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang
mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum
mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai
gagasan masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum
positif.
Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang
berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita
moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi
(kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak
hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah
pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral
(partai politik, birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber
ekonomi).
Pola ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan
nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai
sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik.
Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau
kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak
murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak,
pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar
moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan
keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-
menerus. Di lain pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan,
misalnya Taliban di Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan
tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota
masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka
pemahaman kedua menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan
tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan
yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan
melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral
dan hukum.
Dalam pola keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral
menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari
suatu kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan
yang efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan
hukum. Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai
orang yang mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung,
tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi
memiliki kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan
hukum atau politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan
antara masalah agama dan masalah politik.
Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan
dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri
pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai
etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi
lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik
politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga
negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak
bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada
titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya
mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax
dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa
masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan
dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita
yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital
Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah
sakit itu terhadap dirinya melalui internet.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar
selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian
hukum.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan
pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana
diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas.