Anda di halaman 1dari 9

Menelisik kepercayaan Mistis Masyarakat Jember Pandhalungan

Terhadap Kesenian Can Macanan Kadduk

Kelompok 3

1. Mochmmad Riza Fanani (U20184012)


2. Fitria Dewi Rochmawati (U20184025)
3. Febyana Safitri (U20184032)
4. Mina Ayu Lestari (U20184049)

Abstrak

Kawasan budaya Pandalungan mengacu pada sebuah kawasan di pesisir utara dan timur Jawa
Timur yang sebagian besar penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Budaya
Pandalungan merupakan campuran dari dua budaya, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura.
Di antara semua kesenian yang ada di Kabupaten Jember, kesenian yang jarang ditemui di luar
daerah Jember adalah kesenian Can Macanan Kadduk. Tujuan dari penelitihan ini adalah untuk
Menelisik kepercayaan Mistis Masyarakat Jember Pandhalungan Terhadap Kesenian Can
Macanan Kadduk. Kesenian Can Macanan Kadduk awal mulanya adalah bentuk
penggambaran dari hewan macan, yang terbuat dari karung guna untuk menakuti perusak
lahan pertanian masyarakat. Kesenian ini berasal dari bahasa Madura yang berarti macan
karung. Dari kegiatan tersebut kesenian Can Macanan Kadduk memiliki perkembangan yang
dahulunya digunakan sebagai ruwatan desa guna kepentingan dilahan pertanian, sekarang
kesenian ini digunakan sebagai hiburan kaum petani dan masyarakat luas dengan
ditambahkan beberapa kesenian-kesenian lain seperti pencak silat, tari-tarian, atraksi serta
ditambahkannya pengiring musik dari seperangkat alat musik lain seperti gamelan. Kesenian
Can Macanan Kadduk merupakan seni tradisi rakyat yang memiliki dua unsur kebudayaan
yakni Madura dan Jawa. Dari pencampuran kedua unsur budaya tersebut maka dapat dilihat
dalam kesenian Can Macanan Kadduk. Dimana kesenian tersebut memiliki pengaruh budaya
pandhalungan yang dapat dilihat pada bentuk penyajian dan keseluruhan elemen-elemen yang
terdapat didalamnya, seperti gerak, kostum, lagu dan mitos serta hal-hal yang tak kasat mata.
Kesenian Can Macanan Kadduk selain sebagai upaya petani dalam menakuti pengganggu
lahan juga sebagai salah satu upacara tolak bala’ atau muang sangkal (dalam bahasa
maduranya). Hal ini ditandai dengan adanya sesajen yang ada dalam setiap pertunjukan Can
Macanan Kadduk. Sesajen memiliki peran yang cukup penting dalam keberlangsungan acara.
Sesajen sebagai media untuk berkmunikasi dengan hal-hal tak kasat mata (ghaib). Sesajen
tersebut meliputi nasi putih, telur rebus, bunga dan hal-hal yang berkaitan dengan sesajen-
sesajen pada umumnya.

Kata kunci: Masyarakat Pandalungan, Can Macanan Kadduk, Sistem kepercayaan

Abstract

The Pandalungan cultural area refers to an area on the north and east coasts of East Java
where most of the population has a Madurese cultural background. Pandalungan culture is a
mixture of two cultures, namely Javanese culture and Madurese culture. Among all the arts in
Jember Regency, art that is rarely found outside the Jember area is the Can Macanan Kadduk
art. The purpose of this research is to investigate the mystical beliefs of the Jember
Pandhalungan community towards the art of Can Macanan Kadduk. The art of Can Macanan
Kadduk was originally a form of depiction of a tiger animal, which was made of sacks in order to
frighten destroyers of community agricultural land. This art comes from the Madurese language
which means sack tiger. From these activities, the Can Macanan Kadduk art has developed,
which was previously used as a village ruwatan for the benefit of agricultural land, now this art is
used as entertainment for farmers and the wider community with the addition of several other
arts such as pencak silat, dances, attractions and the addition of accompaniment. music from a
set of other musical instruments such as gamelan. Can Macanan Kadduk art is a traditional folk
art that has two cultural elements, namely Madura and Java. From the mixing of these two
cultural elements, it can be seen in the art of Can Macanan Kadduk. Where the art has the
influence of pandhalungan culture which can be seen in the form of presentation and the overall
elements contained in it, such as motion, costumes, songs and myths and things unseen. The
Can Macanan Kadduk art is not only an effort by farmers to scare land intruders but also as a
ceremony to reject reinforcements or muang sangkal (in Madurai language). This is marked by
the presence of offerings in every Can Macanan Kadduk show. Offerings have an important role
in the continuity of the event. Offerings as a medium for communicating with things that are
invisible (unseen). The offerings include white rice, boiled eggs, flowers and things related to
offerings in general. This is marked by the presence of offerings in every Can Macanan Kadduk
show. Offerings have an important role in the continuity of the event. Offerings as a medium for
communicating with things that are invisible (unseen). The offerings include white rice, boiled
eggs, flowers and things related to offerings in general. This is marked by the presence of
offerings in every Can Macanan Kadduk show. Offerings have an important role in the continuity
of the event. Offerings as a medium for communicating with things that are invisible (unseen).
The offerings include white rice, boiled eggs, flowers and things related to offerings in general.

Keywords: Pandalungan Community, Can Macanan Kadduk, Belief system

Pendahuluan

Kawasan budaya Pandalungan mengacu pada sebuah kawasan di pesisir utara dan
timur Jawa Timur yang sebagian besar penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Secara
kultural, yang disebut masyarakat Pandalungan adalah masyarakat campuran, yaitu
masyarakat budaya baru yang terbentuk dari percampuran dua budaya. Dalam konteks wilayah
“Tapal Kuda” Jawa Timur, budaya Pandalungan merupakan campuran dari dua budaya, yaitu
budaya Jawa dan budaya Madura. Secara umum, masyarakat Pandalungan tinggal di
perkotaan. Secara administratif, kawasan budaya Pandalungan meliputi Kabupaten Pasuruan,
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember dan Lumajang.

Di antara semua kesenian yang ada di Kabupaten Jember, kesenian yang jarang
ditemui di luar daerah Jember adalah kesenian Can Macanan Kaddu'. Can Macanan Kaddu'
merupakan kesenian yang menggunakan ciri-ciri wajah harimau barong kering. Barong adalah
topeng besar meniru harimau, menutupi seluruh kepala penari, dan tubuhnya ditutupi oleh
jubah yang menyatu dengan topeng. Bentuk bagian topeng Barongan Can Macanan Kaddu
dipahat dari kayu menjadi wajah harimau, sedangkan badan atau jubah yang digunakan
sebagai pakaian terbuat dari karung. barongan terdiri dari dua penari yang menari.

Paguyuban Bintang Timur adalah kelompok seni pertunjukan Can Macanan Kaddu yang
didirikan oleh Misnati pada tahun 1972, dan masih eksis di bawah kepemimpinan Sumarto.
Paguyuban Bintang Timur berlokasi di pusat kota, alamat kediaman Sumato Jalan Kalimantan 1
no.55 Desa Tegal Boto, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. Asosiasi tersebut
menampilkan penampilan Can Macanan Kaddu yang menampilkan karya-karya berbeda dari
kelompok lain. Perhimpunan Bintang Timur meluncurkan pertunjukan Can Macanan Kaddu
yang meliputi berbagai kesenian dari daerah lain, seperti tari Leak, tari Gandrung dan tari
Ganong. Tujuan dari penelitihan ini adalah untuk Menelisik kepercayaan Mistis Masyarakat
Jember Pandhalungan Terhadap Kesenian Can Macanan Kadduk.

Kajian Literatur
Dari penelusuran penulis, sepertinya masih kurang kaum literasi yang menuliskan tentang
kepercayaan mistis atau nilai mistis Kesenian Can Macanan Kaddu' yang terdapat dalam
masyarakat Jember. Namun terdapat beberapa jurnal atau karya tulis yang masih dapat
digunakan oleh penulis sebagai rujukan, seperti halnya jurnal yang ditulis oleh Lindhiane
Saputri dengan judul "Pengaruh Budaya Pandhalungan Pada Bentuk Penyajian Kesenian Can
Macanan Kadduk", pada jurnal ini dijelaskan terkait pengaruh budaya Pandhalungan yang
terdapat pada bentuk penyajian Kesenian itu. Yang menarik dalam jurnal ini, ditemukan
penjelasan tentang ritual sesajen yang dilancarkan oleh pemain diawal permulaan acara.
Penjelasan ini dapat menjadi referensi pendukung dalam penulisan artikel.

Karya tulis yang memiliki topik yang sedikit berkaitan juga terdapat pada karya tulis yang
ditulis oleh Amanda Laras Sakanthi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dengan
judul "Nilai Mistis Pada Bentuk Pertunjukkan Kuda Lumping Satrio Wibowo di Desa Sanggrahan
Kabupaten Temanggung". Pada pembahasan karya tulis ini atau lebih tepatnya skripsi,
menjelaskan tentang nilai mistis yang terdapat pada kuda lumping. Nah, topik yang hampir
relevan dalam skripsi ini dapat digunakan oleh penulis untuk menulis teori-teori pendukung.

Landasan Teori

Sistem kepercayaan

Sistem kepercayaan secara khusus mengandung banyak sub unsur. Dalam rangka ini para
ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa, makhluk
halus, seperti roh leluhur dan sebagainya. Ritual dan sistem kepercayaan merupakan salah
satu unsur kebudayaan yang bisa dihampiri dalam setiap kelompok masyarakat di dunia.
Menurut Durkheim, religi adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-
upacara yang kramat. Dengan demikian, suatu religi masyarakat berkaitan dengan keyakinan
dan upacara yang dilakukan oleh anggota masyarakat, yang mana upacara ini adalah pusat
sistem religi masyarakat dan dengan melakukan upacara manusia mengira dapat memenuhi
kebutuhan dan tujuan hidupnya (Eka Kurnia dan Nurina, 2017).

Kepercayaan mistis

Mistis sebagai sebuah paham yakni merupakan paham yang memberikan ajaran yang
serba mistis (ajaran berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau
terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Mistis
yaitu subsistem yang ada hampir di semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat
manusia mengalami dan merasakan emosi dengan Tuhan (Amanda, 2019). Pemikiran mistis
dan magis selalu akan memiliki tempat dalam dimensi kehidupan manusia, karena dalam alam
pemikiran manusia, ada satu ruang mistis dan magis yang sewaktu waktu dapat muncul ketika
manusia berhadapan dengan kondisi-kondisi yang sulit diatasi dengan alam pemikiran rasional.
Kepercayaan terhadap dunia gaib dan praktek ilmu magis sepertinya bisa ditemukan dibanyak
wilayah Indonesia, seperti Jawa. O' keefe berpendapat bahwa kepercayaan terhadap magis
tidak hanya ditemukan pada zaman Batu dan masyarakat primitif saja, tapi juga bisa ditemui di
hampir setiap masamasa (Ayatullah, 2015).

Kesenian

Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat digunakan
sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan. Selain keindahan, kesenian juga memiliki
fungsi lain seperti mitos yang berguna dalam menentukan norma untuk mengatur perilaku yang
teratur dan meneruskan adat serta pula nilai-nilai kebudayaannya. Kesenian memiliki posisi
penting pula dalam bidang keagamaan. Di dalam melakukan segala aktifitas keagamaan sering
dituntut untuk mengucapkan syair-syair atau mantra tertentu. Penghayatan keagamaan atau
spritual religius terhadap nilai-nilai suci itulah yang menjadi penuntun para pendukung seni
memasuki ruang batin dan nafas keyakinan terhadap hal-hal yang paling hakiki, yakni ruang
batin wahyu ilahi (Purwadi, 2016).

HASIL DAN DISKUSI

A. Sosial dan Keagamaan Masyarakat Pandhalungan

Masyarakat pandhalungan dikenal sebagai masyarakat yang agamis (islam) dan


memiliki ketaatan pada tokoh-tokoh agama, namun mereka lebih terbuka dengan perbedaan
budaya dan agama. Karakter yang berbeda dengan masyarakat suku Madura ditanah Madura
ini terjadi karena adanya proses asimilasi dengan karakter masyarakat jawa. Dari segi kuantitas
masyarakat islam menjadi mayoritas. Walau demikian masyarakat pandhalungan mampu hidup
bersama dengan nilai-nilai toleransi yang kuat. Saling bersimpati, empati, dan peduli terhadap
keanekaragaman kultur dan agama. Masyarakat pandhalungan juga bisa hidup berdampingan,
saling percaya, dan mendukung (ko-eksistensi dan pro-eksistensi)[ CITATION mam171 \l 14345 ]
Bentuk tindakan masyarakat pandhalungan tersebut berupa kemampuan berfikir dan berprilaku
bijak dengan sesame. Hal itu terjadi karena mereka memiliki akar kebudayaan yang sama
( Madura dan Jawa ) sekaligus juga dikarenakan kultur yang sudah turun temurun dari leleuhur
mereka.

Sebagian besar masyarakat pandhalungan memiliki pandangan bahwa


keanekaragaman kultur dan agama bukanlah perkara yang sangat serius. Perbedaan tersebut
dipahami sebagai kekuatan untuk saling melengkapi, dan berfungsi sebagai pengawas
sekaligus penekan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap norma , nilai-nilai, dan
peraturan yang dibangun secara sosial. Konsekuensinya yakni terciptanya kehidupan harmoni
yang dibingkai dengan pemahaman kulturyang sangat kuat. Keanekaragaman merupakan
hukum Tuhan yang harus dijalani dan dirawat dengan baik pandangan tersebut tumbuh sesuai
dengan konteks sosial dan lingkungan mereka. Masyarakat pandhalungan sama-sama tumbuh
dari komunitas masyarakat dengan kebudayaan yang dominan (Madura dan Jawa).

Itulah salah satu sebabnya walaupun islam menjadi agama mayoritas yang eksis
sebelum masuknya agama-agama lain, masyarakat pandhalungan tidak merasa resisten
dengan adanya proses kristenisasi yang terjadi pada abad ke-19. Mereka saling menghormati
bahkan sampai menjadi komunitas Kristen yang cukup kuat.

Adapun beberapa istilah khas yang berkembang di masyarakat pandhalungan yang


berkaitan dengan sosial keagamaan didalamnya. Pertama, yakni adanya istilah Sangkolan.
Sangkolan merupakan konsep yang berarti peninggalan yang merujuk pada cara bagaimana
mereka harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan berbagi. Nilai-
nilai yang tergantung dalam Sangkolan diantaranya berupa rasa cinta kepada Tuhan, tanggung
jawab, kasih sayang, peduli, adil dan saling menghormati.sebagai Sangkolan, antar masyarakat
membangun komunitas yang setara tanpa adanya sekat didalamnya, hal ini menimbulkan
adanya rasa kekeluargaan yang erat, ditandai dengan berlangsungnya kegiatan seperti
selametan, tahlilan dan seterusnya. Kedua, yakni adanya istilah Teretan Dhibik, yang
merupakan istilah umum yang sering diungkapkan untuk mengatakan bahwa seluruh
masyarakat pandhalungan merupakan saudara sendiri. Mereka tidak menganggap masyarakat
agama lain adalah orang lain melainkan semuanya merupakan saudara.

B. Asal-usul dan Model Kesenian Can Macanan Kadduk

Kesenian Can Macanan Kadduk awal mulanya adalah bentuk penggambaran dari
hewan macan, yang terbuat dari karung guna untuk menakuti perusak lahan pertanian
masyarakat. Kesenian ini berasal dari bahasa Madura yang berarti macan karung. Dari kegiatan
tersebut kesenian Can Macanan Kadduk memiliki perkembangan yang dahulunya digunakan
sebagai ruwatan desa guna kepentingan dilahan pertanian, sekarang kesenian ini digunakan
sebagai hiburan kaum petani dan masyarakat luas dengan ditambahkan beberapa kesenian-
kesenian lain seperti pencak silat, tari-tarian, atraksi serta ditambahkannya pengiring musik dari
seperangkat alat musik lain seperti gamelan. Kesenian Can Macanan Kadduk merupakan seni
tradisi rakyat yang memiliki dua unsur kebudayaan yakni Madura dan Jawa.

Model kesenian Can Macanan Kadduk ini merupakan sebuah kesatuan pertunjukan seni
yang didalamnya berkolaborasi dengan beberapa bidang kesenian lain seperti seni musik,
atraksi, pencak silat dan lain-lain. Bentuk penyajiannya diawali dengan salawatan, sebagai
pembuka ditamplkan Tari Garuda, berlanjut dengan pencak silat, penampilan sinden, dilanjut
dengan Tarian Bujangganong, dan penampilan Can Macanan Kadduk, serta penampilan
jaranan sebagai puncak acara. Pertunjukan ini biasanya dilakukan di tempat terbuka, tanpa
diberi penutup dengan latar belakang (backdrop) terbuat dari papan yang disangga dengan
rangka-rangka kayu dibelakangnya (Lindhiane, 2019).

C. Kepercayaan Mistis yang Terdapat Pada Kesenian Can Macanan Kaddu’

Pengaruh budaya pandhalungan dalam masyarakat dapat diidentifikasikan dalam


sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah upacara ritual, dan sebuah kostum, dalam hal
ini setiap gejala dipandang memiliki pengaruh. Dengan adanya proses akulturasi menjadikan
adat istiadat serta kebiasan tingkahlaku masyarakat mengalami perubahan, tidak hanya pada
pola kehidupan saja melainkan hasil dari proses akulturasi yang membuat suatu kebudayaan
baru hal ini juga terjadi di masyarakat jember dengan adanya budaya yang disebut sebagai
budaya pandhalungan.

Dari pencampuran kedua unsur budaya tersebut maka dapat dilihat dalam kesenian
Can Macanan Kadduk. Dimana kesenian tersebut memiliki pengaruh budaya pandhalungan
yang dapat dilihat pada bentuk penyajian dan keseluruhan elemen-elemen yang terdapat
didalamnya, seperti gerak, kostum, lagu dan mitos serta hal-hal yang tak kasat mata.

Kesenian Can Macanan Kadduk selain sebagai upaya petani dalam menakuti
pengganggu lahan juga sebagai salah satu upacara tolak bala’ atau muang sangkal (dalam
bahasa maduranya). Hal ini ditandai dengan adanya sesajen yang ada dalam setiap
pertunjukan Can Macanan Kadduk. Sesajen memiliki peran yang cukup penting dalam
keberlangsungan acara. Sesajen sebagai media untuk berkomunikasi dengan hal-hal tak kasat
mata (ghaib). Sesajen tersebut meliputi nasi putih, telur rebus, bunga dan hal-hal yang
berkaitan dengan sesajen-sesajen pada umumnya. Pelaksanaan Kesenian Can Macanan Kadduk
sebagai upacara tolak bala' ialah berawal dari sejarah keadaan wilayah Jember sendiri yang dulunya
berupa hutan. Maka dengan keadaan seperti itu, pada masa itu diadakan upacara ruwatan penolak bala'
dengan hadirnya pertunjukan atau Kesenian Can Macanan Kadduk. Sedangkan penggambaran hewan
yang terkesan sangar dan menakutkan, dianggap memiliki kekuatan yang berhubungan dengan roh-roh
leluhur sehingga memiliki fungsi sebagai perlindungan. Hingga sampai saat ini, penulis yakin
kepercayaan itu masih tertanam dalam kepercayaan masyarakat Jember, terbukti dengan masih
lestarinya kesenian Can Macanan Kadduk di wilayah Jember Pandhalungan dengan beberapa ritualnya.
Karena peran masyarakat pendukung terhadap kesenian Can Macanan Kadduk, merupakan
pengakuan pada suatu kepercayaan dan pemikiran-pemikiran akan nilai-nilai yang tertuang
dalam kesenian tersebut (Lindhiane, 2019). Didalam kesenian Can Macanan Kadduk juga terdapat
atraksi jaranan yang di dalamnya tidak lepas dari nilai kereligiusan kepercayaan terhadap sesuatu yang
gaib, dan kekuatan Tuhan.

Kesimpulan

Masyarakat pandhalungan dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan memiliki


ketaatan pada tokoh-tokoh agama, namun mereka lebih terbuka dengan perbedaan budaya
dan agama. Karakter yang berbeda dengan masyarakat suku Madura ditanah Madura ini terjadi
karena adanya proses asimilasi dengan karakter masyarakat jawa. Dari segi kuantitas
masyarakat islam menjadi mayoritas. Walau demikian masyarakat pandhalungan mampu hidup
bersama dengan nilai-nilai toleransi yang kuat.

Kesenian Can Macanan Kadduk awal mulanya adalah bentuk penggambaran dari
hewan macan, yang terbuat dari karung guna untuk menakuti perusak lahan pertanian
masyarakat. Dari kegiatan tersebut kesenian Can Macanan Kadduk memiliki perkembangan
yang dahulunya digunakan sebagai ruwatan desa guna kepentingan dilahan
pertanian, sekarang kesenian ini digunakan sebagai hiburan kaum petani dan masyarakat luas
dengan ditambahkan beberapa kesenian-kesenian lain seperti pencak silat, tari-tarian, atraksi
serta ditambahkannya pengiring musik dari seperangkat alat musik lain seperti gamelan.

Kesenian Can Macanan Kadduk selain sebagai upaya petani dalam menakuti
pengganggu lahan juga sebagai salah satu upacara tolak bala’ atau muang sangkal (dalam
bahasa maduranya). Hal ini ditandai dengan adanya sesajen yang ada dalam setiap
pertunjukan Can Macanan Kadduk. Sedangkan penggambaran hewan yang terkesan sangar dan
menakutkan, dianggap memiliki kekuatan yang berhubungan dengan roh-roh leluhur sehingga memiliki
fungsi sebagai perlindungan. Didalam kesenian Can Macanan Kadduk juga terdapat atraksi jaranan yang
di dalamnya tidak lepas dari nilai kereligiusan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib, dan kekuatan
Tuhan.

Refrensi

Firmansyah, Eka Kurniawan dan Nurina Dyah Puspitasari. 2017. "Sistem Religi dan
Kepercayaan Masyarakat Kampung Adat Kuta Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis".
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol. 1. No. 4. 236-243.

Humaeni, Ayatullah. 2015. "Ritual, Kepercayaan Lokal dan Identitas Budaya Masyarakat
Ciomas Banten. IAIN Sultan Maulana Hasanuddin BantenBanten". El Harakah. Vo. 17. No.
2.157-181.

Soeriadireja, Purwadi. 2016. Fenomena Kesenian Dalam Studi Antropologi. Universitas


Udayana Denpasar.

Saputri, Lindhiane. 2019. "Pengaruh Budaya Pandhalungan Pada Bentuk Penyajian Kesenian
Can Macanan Kadduk". Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Vol. 4. No. 2. 167-183.

. 2019. "Makna Pertunjukkan Can Macanan Kadduk di Kabupaten Jember Jawa Timur".
Institut Seni Indonesia Yogyakarta.Tesis.

Sakanthi, Amanda Laras. 2019. "Nilai Mistis Pada Bentuk Pertunjukkan Kuda Lumping Satrio
Wibowo di Desa Sanggrahan Kabupaten Temanggung". Universitas Negeri Semarang.
Skripsi.

Eska Wiedyana, Nanik Sri Prihatini. “Eksistensi Pertunjukan Can Macanan Kaddu’ Paguyuban
Bintang Timur di Kabupaten Jember”. Institut Seni Indonesia Surakarta. Volume 17 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai