Anda di halaman 1dari 3

Menjadi Guru Terbaik Anak di Rumah

Oleh: Rena Kinnara Arlotas, M.Psi, Psikolog

Hampir 2 bulan pemerintah memberlakukan Study From Home atau belajar di


rumah untuk anak sekolah. Sejak itu pula orang tua harus berperan menjadi guru anak
di rumah. Perubahan peran yang mendadak ini membuat sebagian orang tua kaget dan
tidak siap untuk menjalaninya. Namun, siap tidak siap orang tua tetap harus menjalani
peran barunya, sebagai guru anak di rumah.
Ada orang tua yang telah beradaptasi sehingga mulai memahami pola belajar
anak. Namun ada juga yang masih kewalahan, karena selain mendampingi anak
belajar, orang tua juga harus mengerjakan berbagai pekerjaan lain, baik pekerjaan
rumah tangga maupun pekerjaan kantor jika orang tua bekerja. Apalagi jika anak-
anaknya ada yang bersekolah di tingkat SMA, SMP, SD, dan TK, dengan dinamika
tugas masing-masing.
Anak yang sudah remaja seperti SMP dan SMA cenderung lebih mandiri dalam
menyelesaikan tugasnya, sehingga peran orang tua tidak seintens untuk anak yang
masih duduk di bangku SD. Anak yang masih duduk di bangku SD cenderung
membutuhkan bimbingan intens dan peran yang besar bagi orang tua untuk membantu
mereka mengerjakan tugas-tugasnya.
Saat mendampingi anak yang masih SD belajar, berbagai kondisi yang
ditunjukkan anak terkadang menyebabkan orang tua kewalahan, misalnya anak lebih
senang bermain daripada belajar, tidak mau mengerjakan tugasnya, saat diajarin
ngeyel, lambat dalam memahami pelajaran, apalagi jika anaknya mengatakan “Lebih
enak diajarin guru di sekolah, mama marah melulu” dan sebagainya. Sehingga ada
orang tua yang mengaku stres menghadapi anaknya dan ada juga yang merasa
hopeless, menyerah dan merasa bahwa ternyata peran guru tidak bisa digantikan oleh
orang tua. Orang tua baru menyadari bahwa selama ini guru memiliki jasa yang luar
biasa karena telah membimbing anaknya belajar di sekolah. Karena ternyata mengajar
anak itu tidak gampang.
Agar orang tua dapat menjalankan perannya sebagai guru anak di rumah dengan
tenang dan bahagia tanpa ketegangan emosi, berikut beberapa hal yang dapat
dilakukan. Pertama, pilihlah waktu yang tepat bagi anak untuk belajar. Setiap anak
punya waktu belajar masing-masing, yang biasa disebut peak learning time, atau
waktu terbaik untuk belajar. Anak akan mendapatkan hasil belajar optimal jika belajar
pada waktu tersebut, khususnya dalam hal memahami dan menghafal. Ada yang peak
learning time-nya di pagi hari, ada yang sore hari dan ada yang malam hari bahkan di
tengah malam. Jika anak belajar di luar waktu tersebut biasanya hasilnya tidak
seoptimal jika anak belajar pada peak learning time-nya tadi. Oleh karena itu,
diharapkan orang tua jeli melihat kapan waktu terbaik anak untuk belajar. Jika saat itu
bukanlah waktu terbaik anak untuk belajar sehingga anak tidak bisa memperlihatkan
hasil belajar yang optimal, orang tua hendaklah memahami dan tidak memaksa anak.
Kedua, buat kesepakatan antara orang tua dan anak mengenai jadwal belajar
anak. Kapan anak belajar, kapan bermain, kapan istirahat, kapan membaca Al-Quran,
dan sebagainya. Penetapan jadwal belajar ini tentu disesuaikan dengan peak learning
time tadi. Jika kesepakatan telah tercapai, bangun komitmen dan kedisiplinan anak
untuk mematuhinya. Meskipun terkadang dalam kondisi saat ini jadwal tersebut bisa
saja diterapkan secara fleksibel. Pada saat belajar, ciptakanlah lingkungan yang
mendukung proses belajar anak. Jauhkan anak dari hal-hal yang dapat mengganggu,
misalnya gadget, TV, mainan, atau stimulus lain yang akan memecah perhatian anak.
Ketiga, pastikan orang tua dan anak benar-benar telah siap untuk belajar. Dalam
proses belajar, ada yang disebut dengan law of readiness, atau hukum kesiapan.
Artinya, individu akan belajar dengan optimal jika ia benar-benar siap untuk belajar,
baik secara fisik maupun psikologis. Jika anak sedang lelah, sedang mengantuk,
sedang marah, sedang sedih, atau sedang memikirkan hal lain yang mengganggu
konsentrasinya, biasanya hasil belajarnya tidak akan optimal. Jadi pastikan dulu anak
benar-benar siap untuk belajar, baru proses belajar dilaksanakan. Mempersiapkan
anak untuk belajar bisa dilakukan dengan pelan-pelan. Bisa dengan mengulang
pelajaran sebelumnya, dengan bercerita mengenai bahan yang akan dipelajari, tugas
yang akan dibuat, bermain tebak-tebakan mengenai materi yang telah atau akan
dipelajari, dengan saling bercanda, sehingga pikiran anak teralih kepada belajar.
Canda atau cerita humor bisa menjadi jeda untuk mengalihkan perhatian.
Begitu juga dengan orang tua. Sebelum membimbing anak belajar, orang tuga
juga harus siap secara fisik dan psikologis. Saat orang tua masih fokus pada pekerjaan
yang lain, orang tua akan sulit untuk fokus pada proses belajar anak. Hal ini mudah
memunculkan emosi negatif jika anak sedikit bertingkah. Jika orang tua membimbing
anak belajar sambil mengerjakan tugas lain, pastikan orang tua bisa mengatur emosi
dan perhatiannya agar terbagi dengan tepat. Bisa juga dengan menyampaikan kepada
anak mengenai tugas lain yang harus dikerjakan oleh orang tua sehingga anak juga
dapat memahami dan tidak terlalu menuntut orang tuanya. Orang tua juga harus
meyakinkan diri bahwa proses belajar dengan anak adalah hal yang menyenangkan,
bukan beban. Jika dari awal orang tua sudah ogah-ogahan, maka orang tua tidak
dapat menikmati proses pembelajaran bersama anak. Jika diperlukan, orang tua dapat
melakukan relaksasi sebelum membantu anak belajar. Yang tak kalah penting adalah
ubah mindset bahwa saat ini orang tua sedang membantu anak untuk memahami
proses belajarnya. Jika nanti anak belum memahami pelajaran, orang tua akan
menghadapinya dengan tenang.
Keempat, pahami bahwa anak bukanlah orang dewasa mini. Anak memiliki
keterbatasn kognitif, emosi dan psikomotorik jika dibandingkan dengan orang tua.
Sehingga bisa saja anak membutuhkan waktu lebih untuk memahami pelajaran dan
mengerjakan tugasnya. Untuk mempermudah anak dalam memahami pelajaran atau
informasi yang disampaikan, terkadang anak butuh trik-trik khusus. Pembelajaran
diberikan step by step, mulai dari yang mudah hingga yang sulit. Jika anak telah
memahami hal dasar baru dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan kesabaran dan kreativitas orang tua. Gunakan bahasa anak dan hal-hal
yang telah akrab dengan anak.
Kelima, ciptakan proses belajar yang santai dan menyenangkan. Jangan tekan
anak dengan tuntutan-tuntutan yang membuat anak merasa tertekan sehingga akan
mengakibatkan anak tidak termotivasi untuk melanjutkan proses belajarnya. Jika
melanjutkan pun hanya dengan keterpaksaan dan kondisi emosi yang negatif. Hal ini
tentu akan mengganggu proses belajar anak. Ajarkan anak dengan penuh kasih
sayang, ketenangan, sesekali gunakan humor untuk membentuk emosi positif pada
anak. Beri pujian jika anak membuat keberhasilan dan beri semangat jika anak
mengalami kendala. Jika belajar diasosiasikan dengan hal yang menyenangkan, maka
anak akan menilai bahwa belajar itu menyenangkan, sehingga meningkatkan motivasi
belajar anak untuk selanjutnya. Tetapi jika belajar diasosiasikan dengan hal yang tidak
menyenangkan, maka anak akan berfikir bahwa belajar itu tidak menyenangkan.
Karena setiap belajar kali pasti dimarahin mama, setiap belajar pasti kena pukul, dan
sebagainya. Hal ini akan menurunkan motivasi belajarnya untuk selanjutnya.
Keenam, bangun kerjasama dengan pasangan. Orang tua memiliki visi dan misi
yang sama untuk proses belajar anak, sehingga orang tua saling mendukung dan
saling membantu. Orang tua juga dapat melibatkan anak yang lebih tua, misalnya
yang SMP atau SMA untuk membantu adiknya belajar. Hal ini akan meningkatkan
hubungan persaudaraan dan kasih sayang antar saudara.
Pada dasarnya rumah adalah sekolah. Di rumah anak belajar banyak hal.
Sehingga Study From Home atau tidak, orang tua tetaplah guru bagi anak. Mari
menjadi guru terbaik bagi anak.

Penulis:
Psikolog Pendidikan
Dosen Program Studi Psikologi Islam UIN Imam Bonjol Padang
Anggota Satgas Covid 19 Himpsi Wilayah Sumbar

Anda mungkin juga menyukai