Hampir 2 bulan pemerintah memberlakukan Study From Home atau belajar di
rumah untuk anak sekolah. Sejak itu pula orang tua harus berperan menjadi guru anak di rumah. Perubahan peran yang mendadak ini membuat sebagian orang tua kaget dan tidak siap untuk menjalaninya. Namun, siap tidak siap orang tua tetap harus menjalani peran barunya, sebagai guru anak di rumah. Ada orang tua yang telah beradaptasi sehingga mulai memahami pola belajar anak. Namun ada juga yang masih kewalahan, karena selain mendampingi anak belajar, orang tua juga harus mengerjakan berbagai pekerjaan lain, baik pekerjaan rumah tangga maupun pekerjaan kantor jika orang tua bekerja. Apalagi jika anak- anaknya ada yang bersekolah di tingkat SMA, SMP, SD, dan TK, dengan dinamika tugas masing-masing. Anak yang sudah remaja seperti SMP dan SMA cenderung lebih mandiri dalam menyelesaikan tugasnya, sehingga peran orang tua tidak seintens untuk anak yang masih duduk di bangku SD. Anak yang masih duduk di bangku SD cenderung membutuhkan bimbingan intens dan peran yang besar bagi orang tua untuk membantu mereka mengerjakan tugas-tugasnya. Saat mendampingi anak yang masih SD belajar, berbagai kondisi yang ditunjukkan anak terkadang menyebabkan orang tua kewalahan, misalnya anak lebih senang bermain daripada belajar, tidak mau mengerjakan tugasnya, saat diajarin ngeyel, lambat dalam memahami pelajaran, apalagi jika anaknya mengatakan “Lebih enak diajarin guru di sekolah, mama marah melulu” dan sebagainya. Sehingga ada orang tua yang mengaku stres menghadapi anaknya dan ada juga yang merasa hopeless, menyerah dan merasa bahwa ternyata peran guru tidak bisa digantikan oleh orang tua. Orang tua baru menyadari bahwa selama ini guru memiliki jasa yang luar biasa karena telah membimbing anaknya belajar di sekolah. Karena ternyata mengajar anak itu tidak gampang. Agar orang tua dapat menjalankan perannya sebagai guru anak di rumah dengan tenang dan bahagia tanpa ketegangan emosi, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, pilihlah waktu yang tepat bagi anak untuk belajar. Setiap anak punya waktu belajar masing-masing, yang biasa disebut peak learning time, atau waktu terbaik untuk belajar. Anak akan mendapatkan hasil belajar optimal jika belajar pada waktu tersebut, khususnya dalam hal memahami dan menghafal. Ada yang peak learning time-nya di pagi hari, ada yang sore hari dan ada yang malam hari bahkan di tengah malam. Jika anak belajar di luar waktu tersebut biasanya hasilnya tidak seoptimal jika anak belajar pada peak learning time-nya tadi. Oleh karena itu, diharapkan orang tua jeli melihat kapan waktu terbaik anak untuk belajar. Jika saat itu bukanlah waktu terbaik anak untuk belajar sehingga anak tidak bisa memperlihatkan hasil belajar yang optimal, orang tua hendaklah memahami dan tidak memaksa anak. Kedua, buat kesepakatan antara orang tua dan anak mengenai jadwal belajar anak. Kapan anak belajar, kapan bermain, kapan istirahat, kapan membaca Al-Quran, dan sebagainya. Penetapan jadwal belajar ini tentu disesuaikan dengan peak learning time tadi. Jika kesepakatan telah tercapai, bangun komitmen dan kedisiplinan anak untuk mematuhinya. Meskipun terkadang dalam kondisi saat ini jadwal tersebut bisa saja diterapkan secara fleksibel. Pada saat belajar, ciptakanlah lingkungan yang mendukung proses belajar anak. Jauhkan anak dari hal-hal yang dapat mengganggu, misalnya gadget, TV, mainan, atau stimulus lain yang akan memecah perhatian anak. Ketiga, pastikan orang tua dan anak benar-benar telah siap untuk belajar. Dalam proses belajar, ada yang disebut dengan law of readiness, atau hukum kesiapan. Artinya, individu akan belajar dengan optimal jika ia benar-benar siap untuk belajar, baik secara fisik maupun psikologis. Jika anak sedang lelah, sedang mengantuk, sedang marah, sedang sedih, atau sedang memikirkan hal lain yang mengganggu konsentrasinya, biasanya hasil belajarnya tidak akan optimal. Jadi pastikan dulu anak benar-benar siap untuk belajar, baru proses belajar dilaksanakan. Mempersiapkan anak untuk belajar bisa dilakukan dengan pelan-pelan. Bisa dengan mengulang pelajaran sebelumnya, dengan bercerita mengenai bahan yang akan dipelajari, tugas yang akan dibuat, bermain tebak-tebakan mengenai materi yang telah atau akan dipelajari, dengan saling bercanda, sehingga pikiran anak teralih kepada belajar. Canda atau cerita humor bisa menjadi jeda untuk mengalihkan perhatian. Begitu juga dengan orang tua. Sebelum membimbing anak belajar, orang tuga juga harus siap secara fisik dan psikologis. Saat orang tua masih fokus pada pekerjaan yang lain, orang tua akan sulit untuk fokus pada proses belajar anak. Hal ini mudah memunculkan emosi negatif jika anak sedikit bertingkah. Jika orang tua membimbing anak belajar sambil mengerjakan tugas lain, pastikan orang tua bisa mengatur emosi dan perhatiannya agar terbagi dengan tepat. Bisa juga dengan menyampaikan kepada anak mengenai tugas lain yang harus dikerjakan oleh orang tua sehingga anak juga dapat memahami dan tidak terlalu menuntut orang tuanya. Orang tua juga harus meyakinkan diri bahwa proses belajar dengan anak adalah hal yang menyenangkan, bukan beban. Jika dari awal orang tua sudah ogah-ogahan, maka orang tua tidak dapat menikmati proses pembelajaran bersama anak. Jika diperlukan, orang tua dapat melakukan relaksasi sebelum membantu anak belajar. Yang tak kalah penting adalah ubah mindset bahwa saat ini orang tua sedang membantu anak untuk memahami proses belajarnya. Jika nanti anak belum memahami pelajaran, orang tua akan menghadapinya dengan tenang. Keempat, pahami bahwa anak bukanlah orang dewasa mini. Anak memiliki keterbatasn kognitif, emosi dan psikomotorik jika dibandingkan dengan orang tua. Sehingga bisa saja anak membutuhkan waktu lebih untuk memahami pelajaran dan mengerjakan tugasnya. Untuk mempermudah anak dalam memahami pelajaran atau informasi yang disampaikan, terkadang anak butuh trik-trik khusus. Pembelajaran diberikan step by step, mulai dari yang mudah hingga yang sulit. Jika anak telah memahami hal dasar baru dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kesabaran dan kreativitas orang tua. Gunakan bahasa anak dan hal-hal yang telah akrab dengan anak. Kelima, ciptakan proses belajar yang santai dan menyenangkan. Jangan tekan anak dengan tuntutan-tuntutan yang membuat anak merasa tertekan sehingga akan mengakibatkan anak tidak termotivasi untuk melanjutkan proses belajarnya. Jika melanjutkan pun hanya dengan keterpaksaan dan kondisi emosi yang negatif. Hal ini tentu akan mengganggu proses belajar anak. Ajarkan anak dengan penuh kasih sayang, ketenangan, sesekali gunakan humor untuk membentuk emosi positif pada anak. Beri pujian jika anak membuat keberhasilan dan beri semangat jika anak mengalami kendala. Jika belajar diasosiasikan dengan hal yang menyenangkan, maka anak akan menilai bahwa belajar itu menyenangkan, sehingga meningkatkan motivasi belajar anak untuk selanjutnya. Tetapi jika belajar diasosiasikan dengan hal yang tidak menyenangkan, maka anak akan berfikir bahwa belajar itu tidak menyenangkan. Karena setiap belajar kali pasti dimarahin mama, setiap belajar pasti kena pukul, dan sebagainya. Hal ini akan menurunkan motivasi belajarnya untuk selanjutnya. Keenam, bangun kerjasama dengan pasangan. Orang tua memiliki visi dan misi yang sama untuk proses belajar anak, sehingga orang tua saling mendukung dan saling membantu. Orang tua juga dapat melibatkan anak yang lebih tua, misalnya yang SMP atau SMA untuk membantu adiknya belajar. Hal ini akan meningkatkan hubungan persaudaraan dan kasih sayang antar saudara. Pada dasarnya rumah adalah sekolah. Di rumah anak belajar banyak hal. Sehingga Study From Home atau tidak, orang tua tetaplah guru bagi anak. Mari menjadi guru terbaik bagi anak.
Penulis: Psikolog Pendidikan Dosen Program Studi Psikologi Islam UIN Imam Bonjol Padang Anggota Satgas Covid 19 Himpsi Wilayah Sumbar