9. maslahah mursalah
3. mahkum ‘alaih, adalah mukallaf itu sendiri. Mukallaf itu orang yang
layak di bebani dengan suatu hukum (beragama islam, umur cukup, akal
sehat).
2 macam mukallaf:
a. naqissul ahliyah ini yang kurang pantas untuk mendapatkan hak dan
kewajiban.
b. kamilul ahliyah
C. Hukum Wadhi
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari
sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu
dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, aau
penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia
disebut pertimbangan hukum. Hukum wadhi ada 6 macam, yaitu :
1. Sabab (sebab).
Pengertian sabab Secara bahasa (lughawi), sabab berarti sesuatu
yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Menurut
definisi para ahli, sebab adalah sesuatu yang jelas, dapat diukur,
yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum;
lazim dengan adanya tanda itu ada hukum. Dengan tidak adanya,
tidak ada hukum.
Contoh, masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya
kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan disebut
sabab, sedangkan datangnya kewajiban puasa disebut musabbab
atau hukum.
2. Syarath (Syarat)
Pengertian Syarat menurut Abu Zahrah mendefinisikan syarath
sebagai “sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum,
lazim tidak adanya; tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan
adanya; ada hukum.
Contoh syarat umpamanya; wali dalam perkawinan yang menurut
jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali, pasti
nikahnya tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu
nikah itu sah karena masih ada syarat lain, seperti; saksi, akad, dan
lainnya.
3. Mani
Mani`, yaitu sesuatu yang dari segi hukum keberadaannya
meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum. Mani` yang
berpengaruh terhadap sebab. Umpamanya “hutang” menjadi
mani` bagi orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya
mencapai nisab
4. Shah ( sah )
Jadi sah dalam bidang ibadah dan muamalah adalah telah
tercapainya tujuan. Yaitu telah sesuai perbuatan yang dilakukan
sesuai dengan perintah (terpenuhi syarat dan rukunnya). Dalam
muamalah, sah bila diakui pembuat hukum dan menghasilkan
pengaruh dan juga terpenuhi syarat dan rukunnya.
5. Bathal (Batal)
Batal adalah kebalikan dari sah. Misal Muamalah dikatakan batal
dalam arti tidak tercapai arti atau faedah yang diharapkan darinya
secara hukum, yaitu pengalihan hak dan menghalalkan hubungan.
6. Fasid
Fasid juga kebalikan dari sah. Istilah fasid hanya berlaku
dikalangan ulama Hanafiyah, itu pun berlaku hanya untuk bidang
muamalah. Dalam bidang muamalah atau akad terdapat
kesepakatan dalam penggunaan arti sah, yaitu “suatu akad yang
telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak
terdapat padanya mani` apa pun”. Namun dalam menetapkan
hukum tidak sah terdapat perbedaan pendapat.
D. Azimah dan Rukshah
7. Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti “menyamakan” sedangkan menurut
istilah ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang
belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah ditetapkan
oleh nash, karena adanya persamaan dalam ‘illat (alasan) hukum, yang
tidak bisa diketahui dengan semata-mata memahami lafadz-lafadznya
dan mengeyahui dilalah-dilalah bahasanya.
Dari memahami definisi qiyas diatas, maka dapat dimengerti bahwa
qiyas itu harus terdiri dari empat perkara, yang sekaligus merupakan
rukun-rukunnya, yaitu:
1. Ashl (pokok) yaitu obyek atau masalah yang sudah ada hukumnya,
berdasarkan ketetapan nash (Al-quran atau As-sunnah).
2. Far’u (cabang) yaitu obyek (masalah) yang akan ditentukan
hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.
3. Illat yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang
dengan hukum pokok.
4. Hukum Al-ashl, yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh nash
Contoh qiyas :
1. Memakan daging anjing hukumnya haram karena hukum memakan
daging anjing diserupakan dengan hukum memakan daging babi
dalam Surat Al-Maidah ayat 3.
2. Haramnya jual beli saat adzan jumat dapat pula diqiyaskan pada
masalah masalah lain, seperti haramnya seminar atau akad nikah saat
adzan jumat dll.
2. Qiyas Musawi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama daripada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar,
menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak
yatim dengan “memakan harta anak yatim”.
3. Qiyas Dilalah adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya kewajiban,
tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata
lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat
hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban (tidak mewajibkan
adanya hukum). Seperti, mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta
orang yang sudah baligh (dewasa) sebagaimana Qiyas terhadap ibadah
haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk melaksanakan ibadah
haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak kecil
4. ‘illat hukum, satu sifat yang mendasari adanya hukum terdapat pada
asal dan far’un.
8. Istihsan
Istihsan secara etimologi berarti menganggap baik sesuatu atau mengira sesuatu itu
baik. Arti lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. Menurut terminologi bahwa istihsan
adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasarkan dalil syara, menuju hukum lain dari peristiwa itu juga, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya
Diantara ulama yang paling santer dalam membela dan mengamalkan istihsan sebagai
hujjah adalah ulama Mazhab Hanafi. Ditambah sebagian ulama-ulama lainnya 4 dari
Madzhab Maliki dan Hanbali
Ulama ushul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai segi sebagai
berikut:
1. Dari Segi Pengertiannya Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang mendukungnya
b. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah umum),
didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya
2. Dari Segi Sandarannya Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a. Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas tiga bagian, yakni:
istihsan dengan nas, istihsan dengan jimak, dan istihsan dengan darurat.
b. ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan qiyas khafi dan
istihsan ‘urf
c. Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni; istihsan dengan ‘urf,
istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat
Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan dijelaskan satu
persatu pembagian tersebut, yaitu :
1) Istihsan dengan nas, yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat
atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan minum di saat berpuasa karena ia lupa.
Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan
sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai ia berbuka.
Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis Rasulullah saw yang artinya ‘Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang makan atau minum
karena lupa, tidaklah batal puasanya, karena itu hal merupakan rezeki yang
diturunkan Allah kepadanya.’ Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal
puasa orang yang tidak sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa
adalah sengaja makan atau minum. Sebab secara psikologi, makan atau minum karena
kelupaan tidaklah dilandasi oleh kesadaran, sehingga orang yang makan atau minum
tanpa sengaja tidak menyebabkan puasanya batal.
2) Istihsan ijma’, yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. Contohnya,
penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak menghadirkan obyeknya, karena
transaksi semacam itu sudah jelas dan dikenal sepanjang zaman. Hal seperti ini menurut
qiyas tidak sah, kerena obyeknya tidak ada.
3) Istihsan darurat, yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang dari hukum
yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat yang mengharuskan
menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk menghindari kesulitan. Contohnya
syariat melarang seorang laki-laki melihat aurat wanita, tetapi dalam keadaan darurat,
misalnya dokter yang hendak mengobati diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat
pasien wanita. Kebolehan di sini hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan
apabila penyakit yang diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali
menjadi terlarang.
4) 4) Istihsan qiyas khafi, yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat perbedaan
yang mempengaruhi hukumnya. Contohnya, seseorang yang telah mewakafkan
sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang bersangkut paut dengan tanah
itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air di atas tanah tersebut sudah tercakup
dalam pengertian wakaf secara langsung, meskipun hak-hak itu tidak disebutkan secara
terinci. Sedangkan secara qiyas, hak-hak itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali
hak-hak itu tercakup di dalamnya atas ketetapan nas.
5) 5) Istihsan ‘urf, ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti pada nomor 2
di atas.
6) 6) Istihsan maslahat, yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat (kebaikan).
Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut Imam Malik, bahwa
hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak perlu ada jaminan, sebab yang
berserikat pada umumnya memiliki kejujuran. Namun Imam Malik melihat kebiasaan
ada buruh yang tidak mempunyai tanggung jawab.
7) Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan). Hal ini
merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah kecil dan menghindari
kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian kamar mandi umum tanpa
ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan banyaknya air yang dipakai. Karena itu asal
hukumnya tidak boleh, sebab termasuk sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan
tetapi, hal ini dibatalkan oleh Imam Malik.
Kehujjahan istishsan :
Menurut ulama hanafiyah, malikiyah dan sebagian hambaliyah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara, alasan yang mereka Kemukakan
adalah: 1. Dasar dalam Alquran, surat Az Zmmar ayat 18 Artinya: “(yaitu) mereka yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-
orang yang mempunyai akal sehat.”
Imam Syafi'i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti ia telah mengikuti
hawa nafsunya sedangkan istihsan yang dimaksudkan ulama hanafiyah adalah
berhujah berdasarkan dalil yang lebih kuat.
9. Maslahah mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata
maslahah menurut bahasa berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau
kegunaan. Pengertian mashlahah mursalah menurut Abdul Wahhab Khallaf, berarti sesuatu
yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Sementara maslahat adalah bahwa setiap sesuatu apa saja yang mengandung manfaat di
dalamnya baik itu untuk meraih kemanfaatan, kelezatan ataupun untuk menolak
kemudharatan
Jadi Maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan
tujjuan syara’ tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau
menggugurkan, dan dengan ditetapkannya hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan
tertolak kerusakan dari manusia
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah yang dilihat dari
berbagai segi tinjauan, yaitu:
a. Dilihat dari segi prioritas penggunaannya, mashlahat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
b. Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1). Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Kemashlahatan itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa
berbentuk kepentingan mayoritas umat.
c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushthafa
alSyalabi terdapat dua bentuk, yaitu:
1). Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai
akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
d. Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
1). Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang didukung syara’, baik dari al-Qur’an
maupun hadits. Maksudnya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemashlahatan tersebut. Misalnya untuk memelihara jiwa, disyari’atkan hukum qishah bagi
pembunuh yang melakukannya dengan sengaja dan bukan karena haknya, terdapat dalam
QS. Al-Baqarah ayat 179 Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
2). Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemashlahatan yang ditolak oleh syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’ atau dengan kata lain mashlahat yang dibatalkan
oleh dalil syari’at atau dilarang penggunaannya.
3). Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’
dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang terperinci. Mashlahat ini
dikatakan mursalah karena ia terlepas dari dalil yang mengesahkan ataupun
membatalkannya. Ia merupakan mashlahat mutlaq, yang tidak memiliki kaitan atau
gantungan khusus pada teks syari’at. Dalam bahasa al-Ghazali, mashlahat seperti ini disebut
dengan Istislah, sementara Abdul Wahab Khalaf menamakannya dengan Munasib Mursal