Anda di halaman 1dari 18

RANGKUMAN FIQH

1. fiqih dan ushul fiqh ( pengertian, perbedaan, objek pembahasan,


kegunaan, contoh )

2. sejarah perkembangan ushul fikh dan aliran aliran ( sejarah,


aliran )

3. Hukum Syara, hukum Taklifi wadhi,azimah rukshah ( hukum syara. Taklifi,


wadhi, azimah dan rukhsah )

4. mahkum fiih dan mahkum alaih

5. al quran dan sunnah

6. ijma sebagai dalil

7. qiyas ( pengertian, rukun, contoh, macam macam )

8. istihsan ( pengertian, kehujjahan )

9. maslahah mursalah

10. istishab dan urf


1. Fiqih dan ushul fiqh
A. Pengertian fiqih, ushul fiqh, dan qawaid fihliyah
- Fiqih menurut bahasa yaitu bermakna tahu dan paham, sedangkan
menurut istilah, banyak ahli fiqih Atau biasa kita sebut dengan (fuqoha')
mendefinisikan berbeda-beda akan tetapi mempuyai tujuan yang sama,
yaitu menurut Ulama' Hanafi, pengikut Asy- Syafi'i, Jalul Mahalli, dan juga
Abdul Wahab Kallab.
Dari beberapa pendapat Ulama' diatas, bisa kita simpulkan bahwa ilmu
fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syariah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia , baik berupa ucapan,
ataupun perbuatan yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari
menginstinbath dalil-dalil syariat islam.
Ilmu Fiqih menurut syara' adalah pengetahuan tentang hukum syariat
yang diambil dari salil-dalilnya secara detail. Nah, bersasarkan penelitian,
para ulama menetapkan bahwa dalil yang dapat kita ambil sebagai hukum
syariat Itu ada empat, yaitu Al'Qur'an, As-Sunnah, Al-Ijma', dan Al-Qiyas.

- Ushul Fiqih adalah kumpulan dari beberapa kaidah dan pembahasannya


digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara yang berhubungan
dengan perbuatan manusia.

- Adapun pengertian qawa’id fiqhiyyah, secara istilah adalah kaidah-kaidah


yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya
dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya.

B. Perbedaan fiqih dan ushul fiqih


Ushul Fiqih secara umum merupakan suatu metoda bahasan dalil-dalil
dari orang mukallaf secara deduktif artinya pokok bahasan ini akan
menghasilkan hukum Islam yang selanjutnya menghasilkan Ilmu Fiqih.
Beberapa perbedaan dari Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh adalah :
- Ilmu Fiqih lebih membahas mengenai tuntunan perilaku dari orang
mukallaf sedangkan ushul fiqih kepada dalilnya yang syar'i.
- Ilmu Fiqih sejatinya berasal dari Ushul Fiqih sedangkan Ushul Fiqh
berdiri dengan sendirinya karena tuntutan bahasan ilmu Islam.
C. Objek Pembahasan
- Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Adapun pendapat lain
tentang objek fiqh ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal,
haram, ajib, mandub, makruh, dan  mubah baserta dalil- dalil yang
mendasari ketentuan hukun tersebut. Fiqh membahas dalil-dalil
tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang
berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh
meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta
situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.
- Objek Pembahasan Ushul Fiqh
1.    Sumber hukum dengan segala seluk beluknya.
2.    Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian
hukum dari sumbernya.
3.    Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan
semua permasalahaanya.
Selain itu ada objek pembahasan lain dalam ushul fiqh meliputi :
1.    Pembahasan tentang dalil.
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara
global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau
syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan
tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak
dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
2.    Pembahasan tentang hukum
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara
umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap
perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan
tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang
menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-
mahkum ‘alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-
mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan
yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
3.    Pembahasan tentang kaidah
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk
memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai
macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam
mengamalkannya.
4.    Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya,
syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-
tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum
melakukan ijtihad.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh ini bermuara pada hukum syara’
ditinjau dari segi hakikatnya, kriterianya, dan macam-
macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dalil yang menetapkan
hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara
untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.

D. Kegunaan Fiqh dan Ushul fiqh


- Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang
dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat
masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu,
maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
- Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam
kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya
karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum
sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus
ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan
timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan
kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan
usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang
semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh.

E. Contoh Ushul Fiqh


Contoh Kaidah Ushul Fiqh Contoh : Wa aqimush sholata wa aatuz
zakaata warka’u ma’ar rooki’iin : dasar dalam perintah menunjukkan
bahwa sholat dan zakat ialah wajib. ( al baqarah : 43 )
ْwa laa takrobuz zinaaa innahuu kaana fahisyah, wa saaa a saabilaa
‘ dan janganlah kamu mendekati zina ‘
dasar dalam larangan bahwa zina itu haram ( al isra : 32)
dalil terperinci tersebut tidaklah disebutkan dalam ilmu Ushul Fiqih
kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah.

2. Sejarah perkembangan ushul fiqh dan aliran alirannya


A. Sejarah ushul fiqh
- Pada masa rasulullah SAW
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan
fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat
dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Jadi Ushul
Fiqih itu secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, nah
tapi pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. 
- Pada masa sahabat
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sudah
sempurna tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran
dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan
tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu
mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil
suatu hukum. Mereka tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh
dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini telah
diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya
- Pada masa Tabiiin dan tabiut
Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, dan para imam mujtahid
kekuasaan Islam meluas ke daerah daerah yang di huni oleh orang-
orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab, kondisi
budayanya cukup berbeda-beda. Banyak di antara ulama yang
bertebaran ke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula
penduduk daerah tersebut yang masuk Islam. Semakin kompleksnya
persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak di jumpai di
dalam al-quran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang tinggal di
daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya
berdasarkan penalaran mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran dan
hadis Nabi.
B. Aliran – aliran ushul fiqh
- Aliran pertama disebut aliran Safi’iyah dan jumhur mutakallimin.
Aliran ini membangun Ushul Fiqh secara toeretis murni tanpa
dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan.
- Aliran kedua dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh
mazhab Hanafi. Dinamakan fuqaha karena dalam menyusun teori
aliran ini banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam mazhab
mereka.
3. Hukum Syara, Macam” hukum, hukum Taklifi wadhi,azimah rukshah
A. Hukum syara
- Pengertian Hukum syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku
serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
- Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat
atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk
menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang
lain.
Hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara’

1. hakim, hakim itu adalah pembuat hukum. Pembuat hukum disini


adalah Allah, karena hukum manusia itu harus tergantung pada hukum
Allah. Yang menyampaikan hukum Allah itu Rasulullah.

2. mahkum fiih, adalah perbuatan mukallaf yang ada kaitannya dengan


hukum syara’. Jadi, ketika manusia melakukan sesuatu harus di lihat dari
hukum syara’.

3. mahkum ‘alaih, adalah mukallaf itu sendiri. Mukallaf itu orang yang
layak di bebani dengan suatu hukum (beragama islam, umur cukup, akal
sehat).

2 macam mukallaf:

1. mukallaf yang layak untuk mendapatkan harta melaksanakan


kewajiban, ada 2 macam:

a. naqissul ahliyah ini yang kurang pantas untuk mendapatkan hak dan
kewajiban.

b. kamilul ahliyah

2. mukallaf yang layak di nilai dari perkataan dan perbuatannya


(ahliyatul ada).
B. Hukum Taklifi
hukum taklifi adalah ketentuan hukum dalam bentuk hak, kewajiban,
maupun dalam bentuk larangan yang menuntut para mukallaf (aqil-
baligh) atau orang yang dipandang telah cakap memahami perbuatan
hukum.
Hukum taklifi ada 5 yaitu ijab, nadab, tahrim, qirahah, dan ibahah.
Hasil dari perintah itu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
- Ijab, Ijab adalah khitab yang berisi tuntutan yang harus dilakukan
atau dikerjakan. Konsekuensi atau hasil dari ijab dinamakan wujub
(kewajiban). Contoh Ijab = melaksanakan sholat fardu, puasa dibulan
ramadhan
- Nadab, Nadab adalah khitab berisi tuntutan yang tidak harus dituruti.
Dengan kata lain, tuntutannya tidak bersifat wajib dan penetapan.
Contoh nadab= sholat sunnah sebelum fajar subuh tiba
- Tahrim, Tahrim adalah khitab yang berisi larangan dan harus
ditinggalkan. Hasil atau konsekuensi dari tahrim disebut dengan
istilah hurmah. Sementara pelaksanaan yang dikenai hukum hurmah
dinamakan muharramun atau haram. Contoh tahrim= memakan
harta anak yatim
- Karahah, Karahah adalah khitab berisi larangan yang tidak mesti
dijauhi. Tuntutan karahah bersifat tidak mengharuskan dan tidak
menetapkan. Pelaksanaan kaidah karahah dinamakan makruh.
Contoh karahah= memakan daging kuda
- Ibahah adalah khitab yang memperbolehkan memilih antara berbuat
atau tidak berbuat. Kaidah ini memberi pilihan kepada mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkannya. Pelaksanaan yang dikenai
kaidah ibahah disebut dengan istilah mubah. Contoh ibahah=
melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji

C. Hukum Wadhi
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari
sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu
dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, aau
penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia
disebut pertimbangan hukum. Hukum wadhi ada 6 macam, yaitu :
1. Sabab (sebab).
Pengertian sabab Secara bahasa (lughawi), sabab berarti sesuatu
yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Menurut
definisi para ahli, sebab adalah sesuatu yang jelas, dapat diukur,
yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum;
lazim dengan adanya tanda itu ada hukum. Dengan tidak adanya,
tidak ada hukum.
Contoh, masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya
kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan disebut
sabab, sedangkan datangnya kewajiban puasa disebut musabbab
atau hukum.
2. Syarath (Syarat)
Pengertian Syarat menurut Abu Zahrah mendefinisikan syarath
sebagai “sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum,
lazim tidak adanya; tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan
adanya; ada hukum.
Contoh syarat umpamanya; wali dalam perkawinan yang menurut
jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali, pasti
nikahnya tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu
nikah itu sah karena masih ada syarat lain, seperti; saksi, akad, dan
lainnya.
3. Mani
Mani`, yaitu sesuatu yang dari segi hukum keberadaannya
meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum. Mani` yang
berpengaruh terhadap sebab. Umpamanya “hutang” menjadi
mani` bagi orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya
mencapai nisab
4. Shah ( sah )
Jadi sah dalam bidang ibadah dan muamalah adalah telah
tercapainya tujuan. Yaitu telah sesuai perbuatan yang dilakukan
sesuai dengan perintah (terpenuhi syarat dan rukunnya). Dalam
muamalah, sah bila diakui pembuat hukum dan menghasilkan
pengaruh dan juga terpenuhi syarat dan rukunnya.
5. Bathal (Batal)
Batal adalah kebalikan dari sah. Misal Muamalah dikatakan batal
dalam arti tidak tercapai arti atau faedah yang diharapkan darinya
secara hukum, yaitu pengalihan hak dan menghalalkan hubungan.
6. Fasid
Fasid juga kebalikan dari sah. Istilah fasid hanya berlaku
dikalangan ulama Hanafiyah, itu pun berlaku hanya untuk bidang
muamalah. Dalam bidang muamalah atau akad terdapat
kesepakatan dalam penggunaan arti sah, yaitu “suatu akad yang
telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak
terdapat padanya mani` apa pun”. Namun dalam menetapkan
hukum tidak sah terdapat perbedaan pendapat.
D. Azimah dan Rukshah

- Azimah  adalah ketetapan hukum berdasarkan dalil syar’i tanpa ada


perubahan. Seperti kewajiban shalat lima waktu secara sempurna
dan pada waktu yang telah ditetapkan. Contoh lain adalah kewajiban
puasa bagi orang yang tidak melakukan perjalanan.
Azimah  merupakan ketetapan hukum yang wajib dikerjakan. Tidak
boleh ditinggalkan. Karena merupakan hukum asal dan menjadi
kewajiban seutuhnya bagi orang Islam yang telah mukallaf.
- Rukhshah adalah semua ketetapan hukum yang keluar dari kaedah
asal karena ada faktor tertentu yang ditunjuk oleh syariat.
a. Hukum mengambil rukhsah

Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum menggunakan


ruskhshah takarannya  pada bentuk kualitas udzur yang
menyebabkan adanya ruskhshah itu. Oleh karena itu, hukum
mengerjakan rukhshah bisa bervariasi. Bisa wajib, Sunnah dan
mubah.Misalnya, wajib makan bangkai bagi seseorang yang tidak
mendapatkan makanan yang halal, karena khawatir seandainya
tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan dirinya.
Sunnah mengerjakan hukum ruskhshah seperti berbuka puasa
Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan walaupun
seandainya tidak berbuka tidak ada kekhawatiran yang terlalu.

b. Sebab sebab rukhsah

 Musafir, Pada kondisi seperti ini syariat Islam membolehkan


qashar (meringkas) shalat, meninggalkan puasa, mengusap
khuf (sepatu) lebih daripada kadar sehari semalam dan boleh
tidak shalat Jum’at.
 Kedua, sakit, maka boleh tidak puasa, melakukan tayammum
sebagai ganti wudhu jika penyakit tersebut ada pada salah satu
anggota wudhu dan secara medis tidak boleh terkena air dan
shalat sebisanya.
 Ketiga, paksaan. Orang yang dipaksa hingga mengancam
nyawa atau anggota badan seperti dipaksa supaya mengatakan
perkataan kufur, maka ia boleh mengatakan nya, akan tetapi
iman di hatinya tetap teguh kepada Allah.
 Keempat, lupa. seperti mereka yang berpuasa secara tidak
sengaja makan atau minum karena lupa tidak membatalkan
puasa.
 Kelima, faktor tidak tahu. Seperti seorang yang tidak tahu
rekanannya telah menjual sebagian rumah yang ia miliki secara
berkongsi maka syariat Islam memberlakukan hukum syuf’ah di
antara mereka berdua. Contoh lain, makanan yang telah
dikonsumsi tetapi tidak ia ketahui bahwa itu makanan haram.
 Keenam, Masyaqqat (penghalang) dan kesulitan. Yakni
kesukaran atau kekhawatiran yang sulit dihindari. Seperti
seseorang yang terkena penyakit beser, selalu keluar air
kencingnya. Dalam kondisi ini ia boleh shalat dalam keadaan
najis. Contoh lain kotoran burung yang merata di dalam masjid
dan di tempat-tempat tawaf. Konteks saat ini adalah khawatir
terjangkit virus Corona itu masuk dalam ranah sebab rukhshah.
 Ketujuh, sifat lemah. Seperti tidak ada kewajiban taklif
terhadap anak-anak dan orang gila. Kaum perempuan tidak
diwajibkan sembahyang Juma’at dan jihad

4. Mahkum fiih dan mahkum alaih


- Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang
dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). perbuatan
orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya),
yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
- Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban
hukum itu ada dua macam, yakni:
a.       Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau
tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu,
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab
syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
b.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan
hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

5. Al quran dan sunnah


- Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada
nabi Muhammad yang tertulis dalam mashahif merupakan ibadah
dalam mebacanya, yang diriwayatkan secara mutawatir diawali
dengan surat alFatihah dan diakhiri dengan an-Nas”.
- Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah
SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).
Adapun dalil yang menyatakan tentang ketaatan kita terhadap
sunnatullah :
 Surah An-Nisa : 80: Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul
itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat
tersebut adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau
dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya

6. Ijma sebagai dalil


Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat
dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’. Apabila
terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat
Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma
Jadi ijma ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia
Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada
suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam,
yaitu :
a) Ijma’Sharih/qouli/bayani Yaitu semua mujtahid mengemukakan
pendapat mereka masingmasing secara jelas dengan sistem fatwa
atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid
menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara
jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya.
b) Ijma sukuti, Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah
yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak
menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas
- Contoh ijma
Ijma tentang keharaman bunga bank yang riba, kehalalan mudharbah musyarakah dll

7. Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti “menyamakan” sedangkan menurut
istilah ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang
belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah ditetapkan
oleh nash, karena adanya persamaan dalam ‘illat (alasan) hukum, yang
tidak bisa diketahui dengan semata-mata memahami lafadz-lafadznya
dan mengeyahui dilalah-dilalah bahasanya.
Dari memahami definisi qiyas diatas, maka dapat dimengerti bahwa
qiyas itu harus terdiri dari empat perkara, yang sekaligus merupakan
rukun-rukunnya, yaitu:
1. Ashl (pokok) yaitu obyek atau masalah yang sudah ada hukumnya,
berdasarkan ketetapan nash (Al-quran atau As-sunnah).
2. Far’u (cabang) yaitu obyek (masalah) yang akan ditentukan
hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.
3. Illat yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang
dengan hukum pokok.
4. Hukum Al-ashl, yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh nash
Contoh qiyas :
1. Memakan daging anjing hukumnya haram karena hukum memakan
daging anjing diserupakan dengan hukum memakan daging babi
dalam Surat Al-Maidah ayat 3.
2. Haramnya jual beli saat adzan jumat dapat pula diqiyaskan pada
masalah masalah lain, seperti haramnya seminar atau akad nikah saat
adzan jumat dll.

Macam macam qiyas ;


1. Qiyas Aula adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) mempunyai hukum yang lebih utama dari ‘illat yang terdapat
pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau
yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih utama daripada
mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).Seperti mengqiyaskan
memukul pada kata kata “AH” pada ibu bapak karna illatnya menyakiti
maka hukumnya sama sama berdosa.

2. Qiyas Musawi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama daripada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar,
menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak
yatim dengan “memakan harta anak yatim”.

3. Qiyas Dilalah adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya kewajiban,
tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata
lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat
hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban (tidak mewajibkan
adanya hukum). Seperti, mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta
orang yang sudah baligh (dewasa) sebagaimana Qiyas terhadap ibadah
haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk melaksanakan ibadah
haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak kecil

Syarat-Syarat Qiyas Qiyas itu di tegakan di atas empat rukun qiyas ,


yaitu perkara ashal, perkara furu’, hukum ashal dan illat hukum.

1. ashal, adalah kasus yang sudah ada nashnya.


Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah
keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan
selalu dibutuhkan Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs,
dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. far’un, adalah kasus yang belum ada ketetapan hukumnya dalam


nash.
3. Hukum asal, adalah hukum yang sudah terdapat dalam nash.

4. ‘illat hukum, satu sifat yang mendasari adanya hukum terdapat pada
asal dan far’un.

Syarat-syarat illat Syarat-syarat illat yang telah di sepakati para ulama


ushul itu ada empat macam:

a. Illat itu berupa sifat yang jelas


b. Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
c. Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah
hukum
d. Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja

8. Istihsan
Istihsan secara etimologi berarti menganggap baik sesuatu atau mengira sesuatu itu
baik. Arti lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. Menurut terminologi bahwa istihsan
adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasarkan dalil syara, menuju hukum lain dari peristiwa itu juga, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya

Diantara ulama yang paling santer dalam membela dan mengamalkan istihsan sebagai
hujjah adalah ulama Mazhab Hanafi. Ditambah sebagian ulama-ulama lainnya 4 dari
Madzhab Maliki dan Hanbali
Ulama ushul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai segi sebagai
berikut:
1. Dari Segi Pengertiannya Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang mendukungnya
b. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah umum),
didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya
2. Dari Segi Sandarannya Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a. Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas tiga bagian, yakni:
istihsan dengan nas, istihsan dengan jimak, dan istihsan dengan darurat.
b. ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan qiyas khafi dan
istihsan ‘urf
c. Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni; istihsan dengan ‘urf,
istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat

Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan dijelaskan satu
persatu pembagian tersebut, yaitu :
1) Istihsan dengan nas, yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat
atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan minum di saat berpuasa karena ia lupa.
Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan
sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai ia berbuka.
Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis Rasulullah saw yang artinya ‘Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang makan atau minum
karena lupa, tidaklah batal puasanya, karena itu hal merupakan rezeki yang
diturunkan Allah kepadanya.’ Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal
puasa orang yang tidak sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa
adalah sengaja makan atau minum. Sebab secara psikologi, makan atau minum karena
kelupaan tidaklah dilandasi oleh kesadaran, sehingga orang yang makan atau minum
tanpa sengaja tidak menyebabkan puasanya batal.
2) Istihsan ijma’, yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. Contohnya,
penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak menghadirkan obyeknya, karena
transaksi semacam itu sudah jelas dan dikenal sepanjang zaman. Hal seperti ini menurut
qiyas tidak sah, kerena obyeknya tidak ada.
3) Istihsan darurat, yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang dari hukum
yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat yang mengharuskan
menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk menghindari kesulitan. Contohnya
syariat melarang seorang laki-laki melihat aurat wanita, tetapi dalam keadaan darurat,
misalnya dokter yang hendak mengobati diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat
pasien wanita. Kebolehan di sini hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan
apabila penyakit yang diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali
menjadi terlarang.
4) 4) Istihsan qiyas khafi, yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat perbedaan
yang mempengaruhi hukumnya. Contohnya, seseorang yang telah mewakafkan
sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang bersangkut paut dengan tanah
itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air di atas tanah tersebut sudah tercakup
dalam pengertian wakaf secara langsung, meskipun hak-hak itu tidak disebutkan secara
terinci. Sedangkan secara qiyas, hak-hak itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali
hak-hak itu tercakup di dalamnya atas ketetapan nas.
5) 5) Istihsan ‘urf, ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti pada nomor 2
di atas.
6) 6) Istihsan maslahat, yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat (kebaikan).
Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut Imam Malik, bahwa
hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak perlu ada jaminan, sebab yang
berserikat pada umumnya memiliki kejujuran. Namun Imam Malik melihat kebiasaan
ada buruh yang tidak mempunyai tanggung jawab.
7) Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan). Hal ini
merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah kecil dan menghindari
kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian kamar mandi umum tanpa
ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan banyaknya air yang dipakai. Karena itu asal
hukumnya tidak boleh, sebab termasuk sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan
tetapi, hal ini dibatalkan oleh Imam Malik.

 Kehujjahan istishsan :
Menurut ulama hanafiyah, malikiyah dan sebagian hambaliyah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara, alasan yang mereka Kemukakan
adalah: 1. Dasar dalam Alquran, surat Az Zmmar ayat 18 Artinya: “(yaitu) mereka yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-
orang yang mempunyai akal sehat.”
Imam Syafi'i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti ia telah mengikuti
hawa nafsunya sedangkan istihsan yang dimaksudkan ulama hanafiyah adalah
berhujah berdasarkan dalil yang lebih kuat.

9. Maslahah mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata
maslahah menurut bahasa berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau
kegunaan. Pengertian mashlahah mursalah menurut Abdul Wahhab Khallaf, berarti sesuatu
yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Sementara maslahat adalah bahwa setiap sesuatu apa saja yang mengandung manfaat di
dalamnya baik itu untuk meraih kemanfaatan, kelezatan ataupun untuk menolak
kemudharatan
Jadi Maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan
tujjuan syara’ tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau
menggugurkan, dan dengan ditetapkannya hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan
tertolak kerusakan dari manusia

Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah yang dilihat dari
berbagai segi tinjauan, yaitu:

a. Dilihat dari segi prioritas penggunaannya, mashlahat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1). Mashlahah al-Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan


pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Kemashlahatan ini terbagi menjadi lima, yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara
harta.

2).Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan


kemashlahatan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia atau dengan kata lain yaitu
mashlahat yang dibutuhkan oleh orang dalam mengatasi berbagai kesulitan yang
dihadapinya.

3). Mashlahah al-Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa


keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan untuk
memakan yang berigizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunah
sebagai amalan tambahan, dan berbagai cara menghilangkan najis dari badan manusia.

b. Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:

1). Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Kemashlahatan itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa
berbentuk kepentingan mayoritas umat.

2). Mashlahah al-Khashah, yaitu kemashlahatan pribadi. Seperti kemashlahatan yang


berkaitan dengan pemutusab hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(maqfud).

c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushthafa
alSyalabi terdapat dua bentuk, yaitu:

1). Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai
akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.

2). Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan


perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemashlahatan ini berkaitan dengan
permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

d. Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:

1). Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang didukung syara’, baik dari al-Qur’an
maupun hadits. Maksudnya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemashlahatan tersebut. Misalnya untuk memelihara jiwa, disyari’atkan hukum qishah bagi
pembunuh yang melakukannya dengan sengaja dan bukan karena haknya, terdapat dalam
QS. Al-Baqarah ayat 179 Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

2). Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemashlahatan yang ditolak oleh syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’ atau dengan kata lain mashlahat yang dibatalkan
oleh dalil syari’at atau dilarang penggunaannya.

3). Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’
dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang terperinci. Mashlahat ini
dikatakan mursalah karena ia terlepas dari dalil yang mengesahkan ataupun
membatalkannya. Ia merupakan mashlahat mutlaq, yang tidak memiliki kaitan atau
gantungan khusus pada teks syari’at. Dalam bahasa al-Ghazali, mashlahat seperti ini disebut
dengan Istislah, sementara Abdul Wahab Khalaf menamakannya dengan Munasib Mursal

10. Istishab dan Urf


A. Istihsab
Dilihat dari segi bahasa, kata istishab adalah bentuuk masdar dari
kata yang artinya selalu menyertai. Adapun secara istilah adalah Apa
yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu pada prinsipnya
berlaku pada masa yang akan datang”.
 Pembagian Istishab.
Syiekh Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh membagi
Istishab menjadi empat bagian:
a.      Baraah Ashliyah: baraah artinya bersih dan lepas. Dalam hal ini
bebas dari dari beban hukum. Adapun kata ashliyah mengandung arti
menurut aslinya. Dengan demikian baraah ashliyah berarti bebas dari
beban hukum menurut aslinya. Oleh karena itu, bagi baraah ashliyah
berlaku baginya kaidah                                   artinya “pada asalnya
hukum sesuatu itu tidak ada”.
b.      Istishab Syara’ atau akal, yaitu adanya suatu hukum pada sesuatu itu
ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal.
c.       Istishab Hukum, yaitu mengkukuhkan pemberlakuan suatu hukum,
boleh atau dilarang. Hukum pada sesuatu  terus berlangsung sampai ada
dalil yang mengharamkannya, atau hukum sesuatu itu haram sebelum ada
sesuatu yang meperbolehkannya. Maka dalam hal ini berlaku kaidah:
“Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang
mengharamkannya.”
Berdasarkan kaidah diatas maka sesuatu yang ada di dalam hal ini boleh
digunakan sebelum ada dalil yang mengharamkannya.
-  Istishab Sifat, yaitu mengkukuhkan berlakunya suatu sifat dimana sifat
ini berlaku pada suatu ketentuan hukum sampai sifat ini mengalami
perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum.
B. Urf
Urf adalah Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam
pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka

Anda mungkin juga menyukai