Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

PENYELESAIAN MASALAH PENCEMARAN LINGKUNGAN


LUMPUR MINYAK (OIL SLUDGE) DENGAN BIOREMEDIASI
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................3
2.1. Minyak Bumi sebagai Hidrokarbon...................................................................................3
2.1.1. Kondisi Oil Sludge........................................................................................................3
2.1.2. Analisa pada Limbah atau Tumpahan Oil Sludge.....................................................4
2.1.3. Mikroorganisme Hidrokarbon....................................................................................4
2.2. Bioremediasi.........................................................................................................................6
2.2.1. Prinsip Bioremediasi....................................................................................................6
2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Bioremediasi................................................................7
2.3. Solusi Teknis........................................................................................................................8
BAB III. ANALISA SOLUSI TEKNIS............................................................................................11
3.1. Site Assessment dan Pemantauan Awal............................................................................11
3.2. Analisa Kondisi Cemaran.................................................................................................12
3.3. Analisa Fisika dan Kimia Tanah di Area Tumpahan Oil Sludge...................................13
3.4. Analisa Biologi (Mikroorganisme) Tanah di Area Tumpahan Oil Sludge.....................14
3.5. Dilusi dengan Tanah (Tilling)...........................................................................................15
3.6. Optimasi Formulasi untuk Landfarming Skala Laboratorium dan Site Development..15
3.7. Analisa Terhadap Proses Pengolahan..............................................................................17
3.8. Penanganan Hasil Olahan Setelah Proses Pengolahan...................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pathway degradasi senyawa hidrokarbon: alkena dan aromatik............................................................6


Gambar 2. Contoh perbedaan karakteristik tanah yang tidak terpolusi dan terpolusi oleh hidrokarbon.................7
Gambar 3. Komposisi nutrisi nitrogen dan fosfor pada pupuk................................................................................8
Gambar 4. Pertimbangan untuk desain landfarming................................................................................................9
Gambar 5. Area cemaran........................................................................................................................................11
Gambar 6. Analisa Proyeksi Penanganan Oil Sludge............................................................................................11
Gambar 7. Kerangka tahapan.................................................................................................................................12
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


PT. Pertamina RU Cilacap merupakan salah satu unit kilang di Indonesia, dengan kapasitas produksi
348.000 barel/hari dan kilang paraxylene dengan kapasitas 590.000 ton/tahun, terdiri dari Bahan Bakar Minyak
(BBM) berupa premium, avtur, kerosene/minyak tanah, dan solar; Non BBM berupa LPG, bahan dasar minyak
pelumas, Minarek B, dan aspal; serta Petrokimia berupa paraxylene dan benzene. Dampak positif yang
dihasilkan dari beroperasinya kilang yaitu peningkatan devisa dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun dampak positif tersebut diiringi dengan dampak negative yaitu seperti halnya pencemaran lingkungan.
Beberapa pencemaran lingkungan yang pernah terjadi pada PT. Pertamina RU Cilacap yang tercatat
pada media adalah: tumpahan minyak dari kapal pada tahun 2001 (Tempo.co.id); tumpahan minyak dari kapal
pada tahun 2004 (Tempo.co.id); tumpahan minyak (oil sludge) pada tahun 2010 dan 2011 (kbr.id); dan
kebocoran pipa pada tahun 2015 (Mongabay.co.id). Bedasarkan media KBR, Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Cilacap, Jawa Tengah mencatat sejak tahun 2000 terjadi 12 kali insiden tumpahan atau
kebocoran minyak.
Penanganan cemaran tumpahan minyak di Laut telah dilakukan dengan beberapa tindakan, yaitu: in
situ burning; penyisihan secara mekanis; bioremediasi; penggunaan sorbent; penggunaan bahan kimia dispersan;
dan washing oil. In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan laut dengan menggunakan boom
(pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Namun, pada peristiwa tumpahan
minyak dalam jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak yang dibakar. Selain itu, penyebaran api sering
tidak terkontrol. Penyisihan minyak secara mekanis dilakukan melalui dua tahap, yaitu melokalisir tumpahan
dengan menggunakan boom dan pemompaan minyak ke tangki menggunakan peralatan mekanis (skimmer).
Bioremediasi dilakukan dengan mikroorganisme pengurai hidrokarbon. Teknik bioremediasi dapat
menambahkan nutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat penurunan polutan. Penggunaan sorbent dilakukan
dengan menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan
absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi
padat, sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik,
mudah disebarkan di permukaan minyak, dapat diambil kembali dan digunakan ulang. Ada tiga jenis sorbent
yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite,
pasir) dan sintetis (busa poliuretan, cellusorb, polietilen, polipropilen dan serat nilon). Dispersan kimiawi atau
surfaktan digunakan untuk memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet), sehingga mengurangi
kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan minyak. Washing oil yaitu kegiatan membersihkan
minyak dari pantai.
Penanganan pencemaran pada tanah dengan bentuk oil sludge belum dibahas dengan baik, oleh
karenanya tulisan ini akan membahas pengendalian atau penanganan pencemaran tumpahan minyak pada tanah
atau oil sludge. Beberapa tahap yang akan dilakukan yaitu: Analisa kadar cemaran atau Total Petroleum
Hydrocarbon (TPH), kadar air, dan pH pada area tercemar; Analisa komposisi oil sludge di area yang tercemar;
Analisa proyeksi penanganan bioremediasi (biostimulasi atau bioaugmentasi); studi skala laboratorium

1
mengenai komposisi autochthonous atau indigenous microorganism; dan studi skala laboratorium mengenai
komposisi yang efektif untuk menurunkan kadar cemaran.
Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 128 tahun 2003 tentang ’Tata cara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis’.

1.2. Rumusan Masalah


Diperlukannya komponen beserta solusi teknisnya untuk menurunkan kadar cemaran atau TPH pada
tanah yang tercemari oil sludge.

1.3. Tujuan Penelitian


1. Menurunkan kadar cemaran atau TPH
2. Mendapatkan konsorsium mikroorganisme untuk menurunkan kadar cemaran atau TPH
3. Mendapatkan komposisi yang efektif untuk menurunkan kadar cemaran atau TPH
4. Mengetahui solusi teknis yang efektif untuk menurunkan kadar cemaran

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Bumi sebagai Hidrokarbon


2.1.1. Kondisi Oil Sludge
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumin yang
diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain yang
berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha dan minyak bumi.
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi
menghasilkan fraksi hidrokarbon dari proses destilasi bertingkat. Apabila keberadaan minyak bumi berlebihan
di alam, masing-masing fraksi minyak bumi akan menyebabkan pencemaran yang akan mengganggu kestabilan
ekosistem yang dicemarinya.
Pada umumnya, limbah minyak bumi pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain
bersumber dari :
a. Tangki pemisah dan atau penimbun minyak mentah dan/atau produk bahan minyak, baik di darat maupun di
laut (tanker, floating storage, storage tank, dan lain-lain);
b. Instalasi Pengolah Air Limbah (Separator, Oil Catcher, Dissolved Air Floatation/DAF, Chemical Unit
dan/atau, Free Water Knock Out/Separator minyak dari sumur produksi) yang mengolah air limbah pada
kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah
minyak bumi;
c. Hasil pembersihan alat-alat proses pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain yang
berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi;
d. Timbunan kumulatif limbah minyak dari hasil kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain
yang telah beroperasi sebelum adanya peraturan pengelolaan limbah;
e. Limbah pemboran berupa limbah lumpur bor dan serbuk bor (cutting) yang mengandung residu minyak
bumi; Tumpahan minyak pada lahan akibat dari proses pengangkutan minyak melalui pipa, alat angkut,
proses pemindahan (transfer) minyak atau dari ceceran minyak pada tanah terkontaminasi.
Di dalam minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan
mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme
dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
a. Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam
minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi ke
dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif banyak karena
substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi
ini biasanya merupakan pengoksidasi alkana normal.
b. Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil
dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri pendegradasi komponen ini
berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang
memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang

3
masih ada setelah pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah
didegradasi.

2.1.2. Analisa pada Limbah atau Tumpahan Oil Sludge


Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan
pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun
kontaminan yang terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat digunakan kembali
dalam proses produksi. Analisa yang dilakukan pada tumpahan oil sludge yaitu kadar cemaran, sifat fisika,
kimia dan biologinya.
Analisis terhadap bahan yang diolah untuk mengetahui komposisi dan karakteristik limbah atau
cemaran yang terdiri dari:
a. Kandungan minyak atau oil content (bila kandungan minyak relatif besar) dan/ atau Total Petroleum
Hydrocarbon / TPH (bila kandungan minyak relative kecil);
b. Kandungan total logam berat;
c. Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) logam berat.
Prosedur persiapan contoh dan metode analisis untuk mengidentifikasi limbah tersebut adalah sebagai
berikut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003) :
Analisa Metode
TPH US EPA SW - 846, Spektrofotometri
Oil Content Ekstraksi, Spektrofotometri infra merah
Total Logam Berat Spektrofotometri serapan atom
TCLP US EPA 1311

Persyaratan limbah minyak bumi yang diolah secara biologis adalah konsentrasi maksimum TPH awal
sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15%. Parameter fisika yang diperiksa pada tanah yang
tercemar adalah kadar air, densitas, porositas, void ratio, derajat saturasi, analisis ayakan tanah dan specific
gravity tanah. Analisis kimia tanah yang diperiksa adalah C-organik, N-total, pH, P-total, Kalium dan KTK.

2.1.3. Mikroorganisme Hidrokarbon


Mikroorganisme yang dapat mendegradasi kandungan hidrokarbon pada minyak bumi atau menjadikan
hidrokarbon sebagai donor elektronnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik. Contoh dari bakteri
hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter, Arthrobacter, Acinetobacter, Actinomyces,
Aeromonas, Brevibacterium, Flavobacterium, Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces, Pseudomonas, dan Bacillus.
Beberapa contoh fungi yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus
Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyce, Cladosporium, Debaromyces,
Fusarium, Hansenula, Rhodosporidium, Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma, dan Trichosporon.
Bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp., dan
Streptomyces viridans dapat menghasilkan biosurfaktan. Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan enzim
regulatori yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang
terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan
mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan
emulsifikasi hidrokarbon, sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan

4
ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme. Substrat yang berupa cairan akan teremulsi
menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel.
Umumnya ada dua macam biosurfaktan yang dihasilkan bakteri yaitu:
a. Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid, asam lemak dan
fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok ini bersifat aktif permukaan,
ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan medium cair.
b. Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida amfifatik. Dalam
medium cair, bioemulsifier mempengaruhi pembentukan emulsi serta kestabilannya dan tidak selalu
menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada. Tipe pertama, substrat yang
menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam
medium. Tipe kedua, substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan
ke dalam medium. Hal ini terjadi karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik. Oleh
karena itu, senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik dapat menyebabkan sel
tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri
dan juga melepaskannya ke dalam medium.
Secara umum terdapat tiga cara transport hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai berikut:
a. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air.
b. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel mikroba.
Perlekatan dapat terjadi karena sel bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan
hidrokarbon yang lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transpor
aktif.
c. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh bakteri. Pada kasus ini sel
mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi
dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan oleh bakteri ke dalam medium.
Mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri Pseudomonas yaitu:
a. Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik
jenuh merupakan proses aerobik. Tanpa adanya oksigen, hidrokarbon tidak didegradasi. Langkah
pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler sebagai sumber
reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
b. Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatic
Hidrokarbon aromatic digunakan sebagai donor elektron secara aerobic. Degradasi senyawa hidrokarbon
aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim
katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan
Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua
senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat
masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.

5
Gambar 1. Pathway degradasi senyawa hidrokarbon: alkena dan aromatik.

Fungi pendegradasi hidrokarbon umumnya berasal dari Genus Phanerochaete, Cunninghamella,


Penicillium, Candida, Sporobolomyces, dan Cladosporium. Fungi tersebut mendegradasi hidrokarbon polisiklik
aromatik. Phanerochaete chrysosporium mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah
yang persisten menggunakan enzim lignin peroksidase. Hidrogen peroksida menyebabkan enzim lignin
peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa
kuinon. Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan
digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi misalnya CO 2. Deuteromycota (Aspergillus niger,
Penicillium glabrum, P. janthinellum, Zygomycete, dan Cunninghamella elegans) serta Basidiomycetes
(Crinipellis stipitaria) dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatic menggunakan sistem enzim
monooksigenase Sitokrom P-450.

2.2. Bioremediasi
2.2.1. Prinsip Bioremediasi
Bioremidiasi adalah proses pengolahan limbah minyak bumi yang sudah lama atau tumpahan/ceceran
minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan mahluk hidup mikroorganisme, tumbuhan atau
organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar. Bioremediasi
dapat dilakukan secara Biostimulasi atau Bioaugmentasi. Bioaugmentasi yaitu suatu teknik pemulihan tanah
tercemar dengan menambahkan mikroorganisme tertentu pada daerah yang akan diremediasi. Bioaugmentasi
juga diikuti dengan penambahan nutrisi tertentu. Biostimulasi yaitu suatu teknik menambahkan nutrisi tertentu
dengan tujuan merangsang aktivitas mikroorganisme indigenous.
Nutrient Enrichment: Ketika minyak terlepas dalam jumlah besar, kemampuan mikroorganisme untuk
mendegradasi petroleum dibatasi oleh kurang mencukupinya nutrien. Penambahan nitrogen, fosfor, dan nutrien
lain dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya nutrien dan memungkinkan untuk proses biodegradasi
hidrokarbon pada laju yang optimal. Seeding with Naturally Occurring Microorganisms: Seeding (inokulasi)
merupakan penambahan mikroorganisme pada suatu lingkungan untuk menaikkan laju biodegradasi.

6
2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Bioremediasi
Biodegradasi pada bioremediasi ditentukan oleh mikroorganisme serta aktivitas enzim pendegradasi
hidrokarbon, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi proses bioremediasi meliputi kondisi tanah,
temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
a. Tanah
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim
mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga
proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ
adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung
dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam
tanah.

Gambar 2. Contoh perbedaan karakteristik tanah yang tidak terpolusi dan terpolusi oleh hidrokarbon

b. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40 °C. Pada temperatur yang rendah, viskositas
minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan
kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh
terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
c. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh mikroorganisme adalah oksidasi substrat dengan katalis
enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon
minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b)
tipe tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan
salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak.
d. Nutrien
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energi, electron aseptor, dan keseimbangan
metabolism sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain
sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan
pertumbuhannya meningkat. Penambahan pupuk harus diimbangi dengan penambahan air, konsentrasi pupuk
yang berlebih dapat menyebabkan toksik.
Penambahan nitrogen dengan bentuk ammonium dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan produksi
enzimnya. Ammonium dapat ditransformasi menjadi nitrit dan nitrat melalui nitrifikasi. Oksidasi hidrokarbon
dapat dilakukan dengan ammonia monooxygease.

7
Gambar 3. Komposisi nutrisi nitrogen dan fosfor pada pupuk

e. Interaksi antar Polusi


Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas mikroorganisme untuk
bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya
adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga
tidak ada energi yang dihasilkan.
f. Kelembaban
Kondisi yang terlalu lembab dapat menyebabkan aerasi tanah yang buruk dan melimitasi degradasi aerobic
hidrokarbon di landfarming. Kadar presipitasi menentukan kapasitas tanah untuk menahan air dengan kondisi
evaporasi dan difusi air.
g. Kadar Air pada Tanah
Kadar air pada tanah akan mempengaruhi aktivitas biologis dari mikroorganisme, kekurangan air dapat
menurunkan proses metabolisme. Tanah yang terkontaminasi oleh hidrokarbon dapat bersifat hidrofobik dan
menjadi susah untuk dilembabkan, saat tanah kekurangan air maka akan melimitasi degradasi hidrokarbon.
Solusinya adalah dengan menambahkan nutrisi dan air. Penambahan nitrogen dapat menungkatkan kadar air
pada tanah.

2.3. Solusi Teknis


Pengolahan limbah minyak bumi dapat dilakukan dengan menggunakan metoda biologis sebagai salah
satu alternatif teknologi pengolahan yang meliputi :
a. Landfarming;
b. Biopile;
c. Composting

8
Gambar 4. Pertimbangan untuk desain landfarming

Landfarming sering juga disebut dengan land-treatment atau land-application. Cara ini merupakan
salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah. Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat
dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah lama
digunakan, dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana, pelaksanaan, sasaran dan biaya. Kondisi lingkungan,
kondisi tanah yang tercemar, pencemar, dan kemungkinan pelaksanaan teknik landfarming. Untuk tanah
tercemar, tanah hendaknya memiliki konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan
(loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan kandungan clay lebih dari 70% akan sulit
dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat lempung yang mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming
dapat dilakukan secara ex-situ maupun in-situ. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas muka air ( water
table) maka landfarming dapat dilakukan secara in-situ. Pencemar yang tersusun atas bahan yang mempunyai
penguapan rendah masih sesuai untuk ditangani secara landfarming. Bahan pencemar yang mudah menguap
tidak cocok menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka. Sebaiknya kandungan TPH dibawah 10%.
Kemungkinan pelaksanaannya apabila tersedia lahan, alat berat untuk menggali dan meratakan tanah,
serta kondisi lingkungan yang mendukung. Apabila ini dipenuhi, maka memungkinkan untuk diterapkan teknik
landfarming secara ex-situ. Kondisi lingkungan; iklim di lingkungan tempat kegiatan landfarming sangat
mempengaruhi proses. Panas yang terik dapat mengakibatkan tanah cepat mengering, maka kelembaban harus
selalu dijaga dengan penyiraman. Sebaliknya pada musim hujan, tanah menjadi terlalu jenuh air, sehingga
menghambat biodegradasi pencemar karena aerasi terhambat.
Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan air, pengendali resapan, dan
sarana pemantau. Lahan pengolah untuk menampung tanah tercemar dan tempat pengolahan landfarming
dilaksanakan. Pengendali limpahan air, terutama berfungsi saat musim hujan, untuk menjaga kemungkinan
terjadinya pencemaran baru akibat limpahan air tercampur polutan. Pengendali resapan terletak di dasar lahan
pengolah, biasanya berupa lapisan clay yang dipadatkan sampai bersifat kedap air (liner). Pengendali yang lebih
baik adalah lapisan plastik geomembran HDPE (High Density Polyethylene). Hal tersebut untuk menjaga agar
cemaran tidak menginfiltrasi hingga ke lapisan aquifer. Sarana pemantau berupa alat pemantau gas, udara,
cuaca, air tanah dan sebagainya.

9
Apabila dilaksanakan secara ex-situ, tanah tercemar yang diambil dari lokasi yang tercemar
dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain. Selanjutnya tanah dicampur dengan nutrien dan pH-
nya diatur. Pada jenis tanah tertentu, perlu ditambahkan bahan penyangga berupa serbuk gergaji, kompos, atau
bahan organik lain untuk meningkatkan porositas dan konduktivitas hidrolik. Jika nutrisi diharapkan release
terkontrol maka dapat digunakan Slow Release Fertilizer (SRF). Setelah tercampur, tanah ditebarkan di lahan
pengolah. Hamparan tanah selalu dijaga kelembabannya agar kandungan air kurang lebih 15%. Secara periodik,
lapisan tanah dibajak agar tanah mendapat aerasi yang cukup. Apabila diperlukan pada periode tertentu, juga
diberi nutrisi agar proses biodegradasi cepat berlangsung. Selain penambahan nutrien dan O 2, juga dapat
ditambah inokulum mikroba.
Tahapan bioremediasi minyak bumi pada tanah adalah sebagai berikut.
1) Penyiapan lokasi
Lapisan tanah dipadatkan dengan ketebalan minimal 60 cm dan permeabilitas K< 10-7 m/detik atau jenis
lapisan sintetis lain yang mempunyai karakteristik sama. Selanjutnya dilapisi dengan geomembran dengan
ketebalan 1,5-2,0 mm, lapisan gravel 30 cm, dan penutup sementara.
2) Tahap bioremediasi
Limbah minyak bumi yang diolah, maksimal mengandung minyak 20% berat. Kemudian dicampur dengan
tanah dan bulking agent sampai rata. Perbandingan antara materi pencampur (tanah dan bulking agent lain)
dengan limbah sludge maksimal 3:1. Agar terjaga kelembabannya maka dicampur dengan air yang sudah
diperkaya nutrien untuk pertumbuhan bakteri. Mikroba atau bakteri perombak minyak bumi dapat
ditambahkan ke dalam air pencampur untuk mempercepat proses dan untuk menjamin terjadinya penurunan
TPH (Total Petroleum Hydrocarbon). Penggunaan bakteri perombak minyak bumi sebaiknya menggunakan
bakteri lokal yang diisolasi dari lokasi atau tempat lain di Indonesia. Penggunaan bakteri impor hanya
diizinkan apabila bakteri tersebut termasuk GMO (genetically modified microorganism) dan harus mendapat
persetujuan dari Departemen Pertanian.
Pengamatan terhadap penurunan kandungan minyak atau dalam bentuk TPH untuk meyakinkan terjadinya
proses biodegradasi dapat dilakukan dengan pengukuran terhadap pertumbuhan jumlah bakteri dalam tanah
dan transformasi nitrogen. Proses bioremediasi limbah sludge lebih baik dilakukan pada kondisi aerob,
sehingga perlu suplai oksigen. Kelembaban perlu dijaga agar tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering.
Pengolahan secara bioremediasi dinyatakan layak apabila berhasil menurunkan kadar minyak sebesar 70%
dari total kandungan minyak sebelum proses dalam waktu 4 bulan dan menurunkan kandungan petroleum
hidrokarbon dengan C< 9 sebesar 80% dari total kandungan C< 9 sebelum proses dalam waktu 4 bulan.
Limbah padat sisa bioremediasi dapat ditimbun ke dalam landfill dan atau dimanfaatkan. Landfilling harus
sesuai tata cara landfill yang diatur pemerintah.

10
BAB III. ANALISA SOLUSI TEKNIS

3.1. Site Assessment dan Pemantauan Awal


Pemantauan dilakukan terhadap lokasi tumpahan minyak bumi, pada kondisi oil sludge tumpahan dapat
berupa genangan air yang bercampur minyak bumi dengan fasa cair atau tanah yang bercampur minyak bumi
menjadi fasa lumpur. Pada fasa lumpur, oil sludge dianalisa sumber tumpahannya.

Peta Cilacap Contoh denah lokasi tumpahan pada pipa yang bocor
Gambar 5. Area cemaran

Penentuan tindakan dilakukan menggunakan borang pengendalian cemaran. Oil sludge dengan fasa
lumpur dapat di-treatment dengan bioremediasi karena komponen oil sludge adalah bahan organic dan
anorganik. Sebagian besar hidrokarbon dapat didegradasi oleh mikroorganisme, dan mikroorganisme tersebut
dapat menggunakan hidrokarbon sebagai sumber karbonnya. Bioremediasi hidrokarbon merupakan proses yang
aerobic. Pada oil sludge yang berfasa cair dapat digunakan bioreactor untuk mencegah infiltrasi tumpahan
secara vertical.

Gambar 6. Analisa Proyeksi Penanganan Oil Sludge

11
Penentuan formula yang optimum untuk Bioremediasi dilakukan terlebih dahulu dengan skala
laboratorium. Analisa awal dilakukan terhadap lokasi cemaran (5 titik sampling lateral, 1 titik sampling vertical
dan 2 sumur pantau), Parameter Analisa sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
128 tahun 2003. Jika hasil TPH < 15% maka akan dilakukan Bioremediasi. Analisa komposisi nutrisi pada tanah
yang tercemar juga ditentukan untuk menentukan penambahan nutrisi yang diperlukan (nutrient enrichment).
Analisa jumlah dan kandungan mikroorganisme dilakukan untuk menentukan penambahan mikroorganisme
(Seeding addition). Bioremediasi juga dimungkinkan dengan penambahan tanah yang tidak tercemar untuk
dilusinya. Sehingga formula akhir dapat berupa penambahan tanah + bulking agent (nutrient enrichment) +
mikroorganisme (Seeding addition).

Gambar 7. Kerangka tahapan

3.2. Analisa Kondisi Cemaran


Analisa awal dilakukan untuk mengetahui kondisi pencemaran pada lokasi (determination of oil
content). Jika TPH < 15% maka dapat dilakukan bioremediasi. Senyawa hidrokarbon akan mengalami degradasi
secara alami karena faktor-faktor lingkungan, meskipun laju degradasi berjalan lambat. Hal tersebut meliputi
penguapan (volatilisasi), teremulsi dalam air, teradsorpsi pada partikel padat, tenggelam dalam perairan serta
mengalami biodegradasi oleh mikroba.

Instansi : Tanggal :
Titik Lokasi : PPC :
Koordinat : No :

No Parameter Satuan Hasil BML Metode Uji Lembaga Uji


.
1 TPH US EPA SW - 846,
Spektrofotometri
2 Oil Content Ekstraksi,
Spektrofotometri
3 Total Logam Berat Spektrofotometri
serapan atom
4 TCLP US EPA 1311
Ket
Kondisi :
Suhu :

12
pH :
Konduktivitas

3.3. Analisa Fisika dan Kimia Tanah di Area Tumpahan Oil Sludge
Analisa dilakukan terhadap sifat fisika dan kimia dari tanah di area oil sludge. Analisa juga dilakukan
terhadap tanah yang akan dijadikan bahan dilusi. Hal tersebut untuk mengetahui komposisi nutrisi pada tanah
dan juga sifat serta jenis tanah. Jika jumlah komponen C, N, dan P kurang maka perlu ditambahkannya nutrisi
atau bulking agent yang berupa pupuk NPK, kompos, pupuk organik atau pupuk kandang.
Minyak bumi adalah senyawa hidrokarbon. Karbon merupakan senyawa organik yang digunakan oleh
mikoba heterotrof sebagai sumber energi. Sehingga penambahan bulking agent selain sebagai nutrisi juga
mampu memberikan porositas tanah lebih besar untuk pertukaran oksigen sehingga kebutuhan oksigen yang
diperlukan mikroba dapat terpenuhi.
Kadar air tanah selalu dinyatakan dalam persen dan nilainya dapat berkisar dari 0% sampai 200%
-300%. Pada tanah dalam keadaan aslinya kadar air biasa adalah dari 15% sampai 100%. Kadar air atau
kandungan air < 5% dapat menghambat proses remediasi sehingga diperlukannya penambahan air secara
berkala dan kadar air untuk mengoptimalkan proses degradasi hidrokarbon tidak boleh melebihi 60%.
Bioremediasi akan terhambat pada pH > 8,5; bakteri pendegradasi hidrokarbon memiliki pH optimum
sekitar 7,0-7,8. Pada tanah yang asam dapat ditambahkan lime atau kapur pertanian atau dolomit atau
magnesium untuk menstabilkan pH-nya. Pada tanah yang basa dapat ditambahkan pupuk kimia seperti NPK,
TSP, maupun ZA adalah pupuk yang bersifat asam karena mengandung belerang.
Pada suhu yang rendah, bioremediasi akan berjalan lebih lambat. Suhu mempengaruhi aktivitas
degragasi hidrokarbon oleh mikroorganisme dan sifat fisik hidrokarbon, Pada suhu yang rendah: viskositas
minyak akan meningkat, volatilisasi dari alkana rantai pendek akan berkurang dan meningkatnya kelarutan air.
Berat volume tanah (densitas) ditentukan dalam gr/cm3 sama dengan kg/cm³. Berat volume tanah
dibagi dua yaitu berat volume tanah basah dan berat volume tanah kering. Tanah yang tergolong gembur yaitu
tanah yang memiliki konsentrasi berat volume tanah basahnya adalah dari 1,6 sampai 2,0 kg/cm³ dan 0,6 sampai
2,4 kg/cm³ untuk konsentrasi berat volume keringnya.
Jenis tanah mempengaruhi aerasi (oksigen)-porositas, ketersediaan air dan ketersediaan nutrisi. Tanah
liat mampu menahan air lebih lama, permeabilitas rendah, memiliki tingkat aerasi yang rendah, dan memiliki
ketersediaan nutrient yang rendah. Tanah liat bermuatan negative sehingga mampu mengikat ion NH4+, K+, Na+,
Ca2+, and Mg2+. Sedangkan tanah berpasir tidak dapat menahan air lebih lama sehingga air cepat mengering,
memiliki permeabilitas dan porositas yang besar sehingga memiliki kadar oksigen yang tinggi (aerasinya
bagus). Mikroba membutuhkan porositas yang cukup untuk mendapatkan oksigen selama degradasi hidrokarbon
berlangsung.
Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan ukuran kemampuan tanah dalam menyerap dan dan
mempertukarkan sejumlah kation. Makin tinggi KTK, makin banyak kation yang dapat ditariknya. Tinggi
rendahnya KTK tanah ditentukan oleh kandungan liat dan bahan organik (BO) dalam tanah. Jika kadar KTK
tanah tinggi maka daya penyimpanan unsur hara akan tinggi. Tanah yang memiliki KTK yang tinggi akan
menyebabkan lambatnya perubahan pH tanah. KTK tanah juga mempengaruhi kapan dan berapa banyak pupuk
nitrogen (N-total), kalium dan pospat (P-total) yang harus ditambahkan ke dalam tanah.

13
Analisa tanah dapat dilakukan bedasarkan Analisa Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk oleh Balai
Penelitian Tanah, Kementan. Sedangkan Analisa Air limbah bedasarkan SNI 6989.

Instansi : Tanggal :
Titik Lokasi : PPC :
Koordinat : No :

No Parameter Satuan Hasil BML Metode Uji Lembaga Uji


.
1 Kadar Air
2 Densitas
3 Porositas
4 Void ratio
5. Derajat Saturasi
6. Mesh
7. Specific Gravity
8. C-Organik
9. N-Total
10. P-Total
11. Kalium
12. pH
13. KTK
14. Suhu

3.4. Analisa Biologi (Mikroorganisme) Tanah di Area Tumpahan Oil Sludge


Bioremediasi bergantung kepada keberadaan populasi mikroorganisme yang tepat; ketersediaan
nutrient dan kontaminan; serta kondisi lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa
hidrokarbon digunakan oleh mikroba sebagai sumber nutrisi dan sumber energi untuk melakukan metabolisme
dan perkembangbiakan. Bioremediasi terjadi karena mikroba karbonklastik melakukan proses perombakan
senyawa hidrokarbon dengan enzim pengoksidasi hidrokarbon, sehingga mikroba mampu mendegradasi
senyawa hidrokarbon minyak bumi dengan memotong rantai hirokarbon menjadi lebih pendek. Selain itu,
mikroba karbonklastik memiliki kemampuan untuk menempel pada hidrokarbon, kesanggupan memproduksi
emulsifier, serta memiliki mekanisme untuk membebaskan diri (desorption) dari hidrokarbon. Sintesis enzim
pengoksidasi hidrokarbon dikode oleh kromosom mikroba dan plasmid yang termutasi. Mutasi kromoson dan
plasmid mempengaruhi proses pemecahan molekul hidrokarbon. Karena senyawa hidrokarbon merupakan
senyawa organik alami, maka banyak jenis mikroba yang berevolusi untuk menggunakan senyawa hidrokarbon.
sehingga peningkatan populasi mikroba akan terjadi jika suatu lingkungan kaya akan kandungan hidrokarbon
(minyak bumi).
Analisa Mikoorganisme dilakukan pada tanah area tumpahan dan pada tanah yang akan ditambahkan,
Analisa meliputi jumlah koloni (enumeration of microorganism) dan jenis mikroorganisme. Jumlah atau
populasi mikroorganisme dapat diamati dengan Total Plate Count (TPC) atau dengan Most Probable Number
(MPN). Analisa jenis mikroorganisme dapat dilakukan secara analisa isolasi-16sRNA atau dengan
chemotaxonomic menggunakan karakteristik isoprenoid quinone; sedangkan untuk tahap lanjutannya diperlukan
karakteristik kurva pertumbuhan untuk menentukan fase eksponensial, serta perlu atau tidaknya dilakukan
immobilisasi pada mikroorganisme.
Analisa jumlah koloni dan jenis mikroorganisme bertujuan untuk mengetahui apakah: terdapat
mikroorganisme namun bukan pendegradasi hidrokarbon atau terdapat mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon namun jumlahnya sedikit (densitas rendah). Jika mikroorganisme yang ada bukan pendegradasi

14
hidrokarbon, maka diperlukannya bioaugmentasi yaitu penambahan mikroorganisme dari luar. Jika
mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon namun jumlahnya sedikit (densitas rendah) maka diperlukan
stimulant untuk pertumbuhan mikroorganisme disertai bioaugmentasi.

Instansi : Tanggal :
Titik Lokasi : PPC :
Koordinat : No :

No Parameter Satuan Hasil BML Metode Uji Lembaga Uji


.
1 TPC

Ket

Penambahan Mikoorganisme dapat menggunakan Biological Seed komersial; indigenous


microorganism; atau mikroorganisme dari tanah untuk dilusi. Beberapa Biological Seed komersial buatan lokal
adalah Samro Biorex oleh PT SAMRO technology; bakteri Bacillus sp. ICBB 7859 oleh Program Studi
Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana IPB yang lebih dikenal dengan PT GPI; Mikroba
SPL-02 dari LPP Yogya. Sedangkan untuk mikroorganisme indigenous kultivasi dapat dilakukan dengan
Medium Standard Bassal Salt dengan penambahan hidrokarbon sebagai stimulus mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon. Hidrokarbon yang ditambahkan dapat dicampur dengan emulsifier untuk meningkatkan
kelarutannya dengan medium. Beberapa informasi yang didapat dari isolasi dan identifikasi baik genus maupun
spesies adalah pengelompokkan mikroorganisme tersebut apakah pendegradasi hidrokarbon: alkana, alifatik,
aromatic atau hidrokarbon yang terklorinasi. Analisa juga dapat dilakukan hingga enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme tersebut sebagai fungsinya untuk mendegradasi hidrokarbon,

3.5. Dilusi dengan Tanah (Tilling)


Dilusi dilakukan dengan menggunakan bahan pencampur misalnya tanah dan pasir, dengan tetap
memungkinkan proses penguraian limbah hidrokarbon secara mikrobiologis terjadi. Bahan penggembur
(bulking agent) dapat ditambahkan untuk meningkatkan porositas campuran limbah minyak bumi dan juga
untuk meningkatkan nutrisi. Bahan penggembur (bulking agent) dapat berupa pupuk kandang, kompos, NPK,
serpihan kayu, sisa tumbuhan atau serasah daun, dan kotoran dari Rumah Potong Hewan (RPH). Selain
meningkatkan bioremediasi tilling juga berfungsi meningkatkan volatilisasi hidrokarbon.
Kompos disamping mengandung unsur nitrogen, fosfor, dan kalium, juga mengandung ion-ion logam
yang dapat berfungsi sebagai kofaktor. Kofaktor merupakan senyawa protein dan non-protein yang berperan
pada aktivitas katalitik enzim.

3.6. Optimasi Formulasi untuk Landfarming Skala Laboratorium dan Site Development

No. Treatment Perbandingan


A Oil Sludge : Tanah 1:1
B Oil Sludge : Tanah 1:3
C (Oil Sludge : Tanah) + Kompos (1 : 1) + 5% (b/b)
D (Oil Sludge : Tanah) + Kompos (1 : 1) + 10% (b/b)
E (Oil Sludge : Tanah) + Kompos (1 : 3) + 5% (b/b)

15
F (Oil Sludge : Tanah) + Kompos (1 : 3) + 10% (b/b)

A B C D E F
Tanpa penutupan agar dapat dijaga kelembaban atau kadar airnya dan disertai pengadukan atau pembajakan.

Inokulasi ditambahkan sebanyak 50 mL/kg dengan jumlah mikroorganisme 1 x 10 8 kol/mL. Inokulasi


dapat ditambahkan bersamaan dengan penambahan air untuk menstabilkan atau menjaga kelembaban tanah
yang disertai dengan pengadukan atau pembajakan. Inokulum yang digunakan adalah konsorsium dari
indigenous microorganism yang di dapat dari lokasi pencemaran lalu diisolasi dan di-enrichment untuk
meningkatkan populasi dan viabilitas-nya sehingga saat digunakan di lokasi pencemaran dapat ter-aklimatisasi
lebih baik karena telah teradaptasi dengan kondisinya.
Hasil penelitian sebelumnya pengunaan mikroorganisme konsorsium memberkan penurunan TPH yang
lebih efektif jika dibandingkan dengan single spesies. Pada pemantauan spesies mikroorganisme selama
bioremediasi ditemukan bahwa komposisi spesiesnya beragam dan berubah. Pada mikroorganisme
hidrokarbonuklastik yang ditemukan juga terdapat bakteri denitrifikasi dan desulfurisasi.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa formulasi D dapat menurunkan TPH 88,3% selang
durasi 30 hari. Sehingga dapat disimpulkan proses bioremediasi dengan metodee Landfarming formulasi D
dapat digunakan untuk menyelesikan masalah pencemaran tanah (oil sludge) oleh kebocoran pipa.
Setelah optimasi formulasi Landfarming skala laboratorium terpilih selanjutnya adalah scale up untuk
aplikasi atau site development (yang telah dipaparkan pada sub bab solusi teknis).

16
Pengolahan secara bioremediasi dinyatakan layak apabila berhasil menurunkan kadar minyak sebesar
70% dari total kandungan minyak sebelum proses dalam waktu 4 bulan dan menurunkan kandungan petroleum
hidrokarbon dengan C< 9 sebesar 80% dari total kandungan C< 9 sebelum proses dalam waktu 4 bulan.

3.7. Analisa Terhadap Proses Pengolahan


Analisa terhadap proses pengolahan dapat dilakukan per minggu atau per bulan sesuai dengan atau
sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 tentang ’Tata cara dan
persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara
biologis’.

Analisa Kadar Cemaran


Instansi : Tanggal :
Titik Lokasi : PPC :
Koordinat : No :

No Parameter Satuan Hasil BML Metode Uji Lembaga Uji


.
Analisa Limbah
1 pH µg/g 6–9 Potensiometri
2 TPH µg/g 10.000 Spektrofotomatri
3 Benzene µg/g 1 GC
4 Toluene µg/g 10 GC
5. Ethylbenzene µg/g 10 GC
6. Xylene µg/g 10 GC
7. Total PAH µg/g 10 GC
Analisa TCLP
8. Pb mg/L 5 AAS
9. As mg/L 5 AAS
10. Ba mg/L 150 AAS
11. Cd mg/L 1 AAS
12. Cr mg/L 5 AAS
13. Cu mg/L 10 AAS
14 Hg mg/L 0,2 AAS
15 Se mg/L 1 AAS
16 Zn mg/L 1 AAS

Analisa Sifat Fisika, Kimia dan Biologis Area Oil Sludge


Instansi : Tanggal :
Titik Lokasi : PPC :
Koordinat : No :

No Parameter Satuan Hasil BML Metode Uji Lembaga Uji


.
1 Kadar Air
2 Densitas
3 Porositas
4 Void ratio
5. Derajat Saturasi
6. Mesh
7. Spesivic Gravity
8. C-Organik
9. N-Total
10. P-Total
11. Kalium
12. pH
13. KTK

17
14. TPC

Analisa terhadap Sumur Pantau


Baku Mutu Sumur Pantau mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007
tentang ‘Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi’.

3.8. Penanganan Hasil Olahan Setelah Proses Pengolahan

a. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi dimana proses pengolahan biologis sebelumnya berlangsung jika
hasil analisis memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan. Keputusan ini dengan memberikan tanda dan titik
koordinat pada lokasi.
b. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi lain yang masih berada di sekitar area internal penghasil limbah
jika hasil analisis memenuhi baku mutu.
c. Persyaratan lahan penempatan hasil olahan tersebut sedapat mungkin terkonsentrasi pada satu area (tidak
menyebar).
d. Persyaratan lahan penempatan hasil olahan tersbeut harus merupakan daerah bebas banjir, bukan daerah
resapan atau sumber mata air, bukan daerah air permukaan dangkal (< 4 m) dan bukan daerah yang
dilindungi.
e. Penempatan hasil olahan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 4 (empat) m, bagian dasar
lahan dilapisi dengan tanah lempung setebal minimum 60 cm.
f. Penanganan hasil olahan yang dilakukan seperti yang dicantumkan pada butir 4, maka air lindi atau air
cucian diatur agar arah aliran tidak menyebar ke media lingkungan lain, seperti air tanah, persawahan,
perkebunan atau air sungai.
g. Setelah ditempatkan di atas lahan, di atas hasil olahan dapat ditanami tumbuhan yang bukan termasuk jenis
yang dapat dikonsumsi.
h. Hasil olahan yang ditempatkan di luar area penghasil limbah harus memperoleh ijin dari KLH.
i. Hasil olahan yang dimanfaatkan untuk keperluan tertentu, seperti bahan pencampur lapisan jalan, material
bangunan dan lain-lain harus memperoleh ijin dari KLH.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdika, A. 2008. Bioremediasi. UIN Syarif Hidayatullah.


Atlas, R.M. 1991. Microbial hydrocarbon degradation –bioremediation of oil spills. Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, 52: 149-156.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisa Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah
Kementerian Pertanian, Bogor.
Collins, M.D. and D. Jones. 1981. Distribution of Isoprenoid Quinone Structural Types in Bacteria and Their
Taxonomic Implications. Microbiological Reviews, Vol. 45, No. 2. p. 316-354.
Cookson, J.T. 1995. Bioremidiation Engineering : Design and Application. New York. McGraw-Hill Inc.
Cunningham, C.J. and J.C. Philp. 2000. Comparison of bioaugmentation and biostimulation in ex situ treatment
of diesel contaminated soil. Land Contamination & Reclamation, 8 (4).
Darmawan, L. 2015. Teluk Penyu Cilacap Tercemar Minyak Mentah. Kenapa?.
https://www.mongabay.co.id/2015/05/26/teluk-penyu-cilacap-tercemar-minyak-mentah-kenapa/, diakses
pada 9 April 2020.
Dennis, J & M.J. Penninckn. 1999. Nitrification and Autotrophic Nitrifying Bacteria In Hydrocarbon–Polluted
Soil. Applied and environmental microbiology. Vol. 65, No. 9: 4008 – 4013.
Dhahiyat, N.R. Bioremediasi Lumpur Minyak Bumi Dengan Zeolit Dan Mikroorganisme Serta Pengujiannya
Terhadap Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).
Filler, D.M., I. Snape, and D.L. Barnnes. 2008. Bioremediation of Petroleum Hydrocarbons in Cold Regions.
Cambridge University Press.
Juliani, A. dan F. Rahman. 2011. Bioremediasi Lumpur Minyak (Oil Sludge) dengan Penambahan Kompos
sebagai Bulking Agent dan Sumber Nutrien Tambahan. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Vol. 3,
No. 1: 001‐018.
Kementerian Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 tentang
’Tata cara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak
bumi secara biologis’.
Kementerian Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang
‘Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi’.
Perdana, O.E. 2013. Implementasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja serta Lingkungan di PT Pertamina (Persero)
Refinery Unit IV Cilacap Jawa Tengah. uns.ac.id.
Susanto, M.R. 2015. HNSI Cilacap: Sejak Tahun 2000, Ada 12 Insiden Minyak Tumpah.
https://kbr.id/nusantara/06-
2015/hnsi_cilacap__sejak_tahun_2000__ada_12_insiden_minyak_tumpah/71599.html, diakses pada 9
April 2020.
Tempo. 2004. Kapal Tanker Bocor, Minyak Mentah Genangi Perairan Cilacap.
https://nasional.tempo.co/read/47855/kapal-tanker-bocor-minyak-mentah-genangi-perairan-cilacap,
diakses pada 9 April 2020.

19
Zablotowicz, R.M. & H.K. Speidel. 1964. Bioremediation of Contaminated Soils: What it is and How To Do It.
University or Maryland.
Zam, S.I. 2006. Bioremediasi Limbah Pengilangan Minyak Bumi Pertamina UP II Sungai Pakning dengan
Menggunakan Bakteri Indigen. Tesis Program Studi Bioteknologi Institut Teknologi Bandung.

20

Anda mungkin juga menyukai